Oleh:
A. Latar Belakang
Pengukuran adalah suatu rangkaian kegiatan untuk mengamati
sesuatu dan menjelaskan dengan menggunakan alat ukur atau instrumen
tertentu. Dalam melakukan pengukuran harus ada instrument yang
digunakan sebagai alat untuk mengukur obyek tertentu. Instrument yang
digunakan terdapat 2 macam yaitu instrument tes dan instrument non
tes. Instrumen tes adalah salah satu jenis alat ukur yaitu instrumen yang
digunakan untuk menghasilkan informasi guna pengambilan keputusan.
Sedangkan instrument non-tes adalah intrumen yang biasanya digunakan
untuk mengevaluasi hasil belajar, aspek psikomotorik atau keterampilan,
sikap atau nilai, yaitu untuk menggali informasi atau mengumpulkan data
yang berkaitan dengan penilaian, pendapat atau opini terhadap sesuatu
yang berkaitan dengan keterampilan, perilaku, sikap atau nilai. Alat yang
dapat digunakan adalah lembar pengamatan atau observasi dan istrumen
tes sikap, minat, skala dan sebagainya.
Penggunaan Instrumen non tes bagi seorang konselor sekolah
sangatlah penting. Penelitian pengembangan instrument non tes sudah
banyak dikembangkan oleh para ahli dan praktisi guna menunjang
pemberian layanan konselor sekolah terhadap peserta didik. Salah satu
bidang layanan bimbingan dan konseling tersebut adalah bidang pribadi
sosial. Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2005 : 11) merumuskan bimbingan pribadi-
sosial sebagai suatu upaya membantu individu dalam memecahkan masalah yang
berhubungan dengan keadaan psikologis dan sosial klien.
Upaya pengembangan instrument non tes masih dilakukan hingga saat ini, sebagai
alat bantu konselor sekolah dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling.
Makalah ini akan membahas materi mengenai pengembangan salah satu instrument non
tes berupa skala psikologis yang juga digunakan konselor sekolah dalam memberikan
layanan bimbingan dan konseling. Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat berguna
sebagai sumber dan literatur pembelajaran khususnya pada mata kuliah pengembangan
instrument dan media bimbingan dan konseling.
B. Rumusan Masalah
2
1. Apakah yang dimaksud dengan skala psikologi?
C. Tujuan Penulisan
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
sedangkan kesimpulan akhir sebagai suatu diagnosis diperoleh berdasarkan respon
terhadap semua aitem.
3. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau “salah”. Semua
jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh. Skor
yang diberikan hanyalah kuantitas yang mewakili indikasi adanya atribut yang diukur.
METODE DESKRIPSI
Meranking Subjek mengurutkan stimulus berdasarkan kesesuaiannya dengan
kondisi dirinya
Menilai (rating) Subjek menilai stimulus berdasarkan kesesuaiannya dengan kondisi
dirinya
Mengkategorika Subjek meletakkan stimulus pada kategori yang sesuai dengan
n kondisi dirinya
Membandingkan Subjek memilih pasangan stimulus yang sesuai dengan kondisi
dirinya
5
Mengestimasi Subjek mengestimasi dengan memberikan penilaian pada atribut
yang sesuai dengan kondisi dirinya
Memetakan Subjek memetakan kesamaan antar stimulus pada sebuah peta
Kemiripan dimensi stimulus
Validitas adalah karakteristik utama yang harus dimiliki oleh setiap alat ukur.
Apakah suatu skala berguna atau tidak sangat ditentukan oleh tingkat validitasnya. Oleh
karena itu sejak tahap awal perancangan skala sampai dengan tahap administrasi dan
pemberian skornya, usaha-usaha untuk menegakkan validitas harus selalu dilakukan.
Dalam rangka itulah perancang skala perlu mengenali beberapa faktor yang dapat
mengancam validitas skala psikologi. Faktor-faktor yang dimaksud menurut Saifuddin
Azwar (2013: 10-14), antara lain:
1. Konsep Teoritik Tidak Cukup Dipahami
Untuk mengukur “sesuatu” maka sesuatu itu harus dikenali terlebih dahulu
dengan baik. Bila konsep mengenai atribut yang hendak diukur tidak dikenali dengan
baik maka perancang skala mungkin hanya memiliki gambaran yang tidak
komprehensif atau bahkan keliru mengenai atribut yang bersangkutan. Gambaran
yang tidak tepat akan melahirkan aspek dan indikator keperilakuan yang juga tidak
tepat, yang pada akhirnya bila dijadikan acuan dalam penulisan aitem akan
menghasilkan aitem-aitem yang tidak valid.
2. Aspek Keperilakuan Tidak Operasional
Indikator keperilakuan diciptakan berdasarkan batasan konseptual mengenai
atribut yang diukur menjadi rumusan operasional yang terukur (measurable). Bila
perumusan ini tidak cukup operasional atau ternyata masih menimbulkan penafsiran
ganda mengenai bentuk-bentuk perilaku yang dinginkan, atau sama sekali tidak
mencerminkan konsep yang akan diukur, maka akan melahirkan aitem-aitem yang
tidak valid. Pada gilirannya, aitem-aitem yang tidak valid tidak akan menjadi skala
yang valid.
3. Penulisan Aitem Tidak Mengikuti Kaidah
Aitem yang sukar dimengerti maksudnya oleh pihak responden karena terlalu
panjang atau karena kalimatnya tidak benar secara tata-bahasa, aitem yang
6
mendorong responden untuk memilih jawaban tertentu saja, aitem yang memancing
reaksi negatif dari pihak responden, aitem yang mengandung muatan social
desirability tinggi, dan aitem yang memiliki cacat semacamnya hampir dapat
dipastikan adalah hasil dari proses penulisan aitem yang mengabaikan kaidah-kaidah
penulisan yang standar. Aitem-aitem seperti itu tidak akan berfungsi sebagaimana
diharapkan.
4. Administrasi Skala Tidak Berhati-Hati
Skala yang disajikan dan diadministrasikan kepada responden dengan cara
sembarangan dapat menghasilkan data yang tidak valid mengenai keadaan responden.
Administrasi skala memerlukan berbagai persiapan dan antisipasi dari pihak penyaji.
Beberapa di antara banyak hal yang berkaitan dengan kehati-hatian administrasi ini
adalah:
a) Penampilan skala (validitas tampang)
Skala psikologi bukan sekedar kumpulan aitem-aitem yang diberkas menjadi satu.
Dari segi penampilan, skala harus dikemas dalam bentuk yang berwibawa
sehingga mampu menimbulkan respek dan apresiasi dari pihak respondennya.
b) Situasi ruang
Situasi ruang menunjuk pada kondisi di dalam tempat pelaksanaan penyajian atau
administrasi skala. Ruang harus cukup nyaman, cukup pencahayaan, dan tidak
bising. Tidak boleh ada gangguan atau kehadiran pihak orang ketiga yang dapat
mempengaruhi respon subjek.
c) Kondisi subjek
Skala psikologi hanya boleh disajikan pada subjek yang kondisinya (baik fisik
maupun psikologis) memenuhi syarat. Jangan mengharapkan jawaban yang valid
apabila responden harus membaca dan menjawab skala dalam keadaan sakit,
lelah, tergesa-gesa, tidak berminat, merasa terpaksa dan semacamnya.
5. Pemberian Skor Tidak Cermat
Sekalipun disediakan “kunci” skor, namun kadang-kadang masih dapat terjadi
kesalahan dari pihak pemeriksa dikarenakan salah dalam penghitungan skor atau
keliru cara penggunaan kunci jawaban. Pada skala yang menggunakan konversi skor,
kesalahan dapat terjadi sewaktu mengubah skor mentah menjadi skor derivasi karena
salah liat pada tabel konversi.
6. Keliru Interpretasi
Penafsiran terhadap hasil ukur skala merupakan bagian penting dari proses
diagnosis psikologis. Sekalipun disediakan norma penilaian sebagai acuan interpretasi
terhadap skor skala namun harus selalu diingat bahwa skor yang diperoleh dari
pengukuran psikologi tidak sempurna reliabilitas dan validitasnya sehingga tetap
dituntut kecermatan interpretasi.
7
E. Langkah-Langkah Penyusunan Skala Psikologi
Langkah-langkah dasar dalam konstruksi skala psikologi menurut Saifuddin Azwar
(2013: 14-20) memberikan gambaran alur kerja umum mengenai prosedur yang biasanya
dilakukan oleh para penyusun skala. Alur kerja yang diilustrasikan dalam gambar 1.1.
tentu saja tidak selalu dapat dan tidak perlu untuk diikuti secara ketat disebabkan model
dan format skala yang dibuat banyak ragamnya dan oleh karena itu dalam pelaksanaannya
menuntut keluwesan dari pihak perancang dan penyusun skala.
Kisi-kisi (Blue-print)
&
Spesifikasi Skala
Penskalaan
Field Test
Evaluasi kuantitatif
Seleksi Aitem
Estimasi Reliabiilitas
8
1. Identifikasi Tujuan Ukur
Awal kerja penyusunan suatu skala psikologi dimulai dari melakukan
identifikasi tujuan ukur, yaitu memilih suatu definisi, mengenali dan memahami
dengan seksama teori yang mendasari konstrak psikologi atribut yang hendak diukur.
2. Pembatasan Domain Ukur
Pembatasan kawasan (domain) ukur berdasarkan pada konstrak yang
didefinisikan oleh teori yang dipilih. Pembatasan domain dilakukan dengan cara
menguraikan konstrak teoretik atribut yang diukur menjadi beberapa rumusan dimensi
atau aspek keperilakuan yang konsep keperilakuannya lebih jelas.
3. Operasionalisasi Aspek
Sekalipun dimensi keperilakuan, sudah lebih jelas konsep keperilakuannya,
biasanya masih konseptual dan belum terukur sehingga perlu dioperasionalkan ke
dalam bentuk keperilakuan yang lebih konkret sehingga penulis aitem akan
memahami benar arah respon yang harus diungkap dari subjek. Operasionalisasi ini
dirumuskan ke dalam bentuk indikator keperilakuan (behavioral indocators).
4. Kisi-kisi (Blue-print) dan Spesifikasi Skala
Himpunan indikator-indikator keperilakuan beserta dimensi yang diwakilinya
kemudian dituangkan dalam kisi-kisi atau blue-print yang setelah dilengkapi dengan
spesifikasi skala, akan dijadikan acuan bagi para penulis aitem.
5. Penskalaan
Berbeda dari prosedur penyusunan tes kemampuan kognitif yang dalam
penentuan pilihan format aitemnya memerlukan beberapa pertimbangan menyangkut
keadaan subjek, materi uji, dan tujuan pengukuran, pada perancangan skala psikologi
penentuan format aitemnya tidak terlalu mempertim-bangkan keadaan subjek maupun
tujuan penggunaan skala. Biasanya pemilihan format skala lebih tergantung pada
keunggulan teoretik dan sisi praktis penggunaan format yang bersangkutan.
6. Penulisan Aitem
Penulisan aitem harus selalu memperhatikan kaidah-kaidah penulisan yang
sudah ditentukan. Pada tahapan awal penulisan aitem, umumnya dibuat aitem yang
jumlahnya jauh lebih banyak daripada jumlah yang direncanakan dalam spesifikasi
skala, yaitu sampai tiga kali lipat dari jumlah aitem yang nanti akan digunakan dalam
skala bentuk final. Hal ini dimaksudkan agar nanti penyusunan skala tidak kehabisan
aitem akibat gugurnya aitem-aitem yang tidak memenuhi persyaratan.
Reviu (review) pertama harus dilakukan oleh penulis aitem sendiri, yaitu dengan
selalu memeriksa ulang setiap aitem yang baru saja ditulis apakah telah sesuai dengan
indikator perilaku yang hendak diungkap dan apakah juga tidak keluar dari pedoman
penulisan aitem. Apabila semua aitem telah selesai ditulis, reviu dilakukan oleh
beberapa orang yang berkompeten (sebagai panel). Kompetensi yang diperlukan
9
dalam hal ini meliputi penguasaan masalah konstruksi skala dan masalah atribut yang
diukur. Selain itu penguasaan bahasa tulis standar sangat diperlukan. Semua aitem
yang diperkirakan tidak sesuai dengan spesifikasi blue-print atau yang tidak sesuai
dengan kaidah penulisan harus diperbaiki atau ditulis ulang.
7. Uji Coba Bahasa
Ketentuan meloloskan aitem dalam tahap evaluasi kualitatif oleh panel para ahli
tersebut adalah kesepakatan expert judgment bahwa isi aitem yang bersangkutan
adalah logis untuk mengungkap indikatornya (logical validity). Sampai pada tahap ini,
kerja sistematik yang dilakukan merupakan dukungan terhadap validitas isi (content
validity) dan validitas konstruk (construct validity) skala.
Kumpulan aitem yang telah berhasil melewati proses reviu kemudian harud
dievaluasi secara kualitatif lebih jauh, yaitu dengan diujicobakan pada sekelompok
kecil responden guna mengetahui apakah kalimat yang digunakan dalam aitem mudah
dan dapat dipahami dengan benar oleh responden. Reaksi-reaksi responden berupa
pertanyaan mengenai kata-kata atau kalimat yang digunakan dalam aitem merupakan
pertanda kurang komunikatifnya kalimat yang ditulis dan itu memerlukan perbaikan.
8. Field Test
Setelah perbaikan bahasa dan kalimat selesai dilakukan, pada tahap berikut
adalah langkah evaluasi terhadap fungsi aitem secara kuantitatif, yaitu berdasar skor
jawaban responden. Data skor aitem dari responden diperoleh dari hasil field-test.
Evaluasi terhadap fungsi aitem yang biasa dikenal dengan istilah analisis aitem
merupakan proses pengujian aitem secara kuantitatif guna mengetahui apakah aitem
memenuhi persyaratan psikometrik untuk disertakan sebagai bagian dari skala.
9. Seleksi Aitem
Hasil analisis aitem menjadi dasar dalam seleksi aitem. Aitem-aitem yang tidak
memenuhi persyaratan psikometrik akan disingkirkan atau diperbaiki lebih dahulu
sebelum dapat menjadi bagian dari skala. Di samping memperhatikan parameter
aitem, kompilasi skala harus dilakukan dengan mempertimbangkan proporsionalitas
aspek keperilakuan sebagaimana dides-kripsikan oleh blue-printnya.
Komputasi koefisien reliabilitas sebagai estimasi terhadap reliabilitas skala
dilakukan bagi kumpulan aitem-aitem yang telah terpilih yang banyaknya disesuaikan
dengan jumlah yang telah dispesifikasi oleh blue-print. Apabila koefisien reliabilitas
skala ternyata belum memuaskan, maka penyusunan skala dapat kembali ke langkah
kompilasi dan merakit ulang skala dengan lebih mengutamakan aitem-aitem yang
memiliki daya beda tinggi sekalipun perlu sedikit mengubah proporsi aitem dalam
setiap komponen atau bagian skala.
10. Validasi Konstrak
10
Validasi skala pada hakikatnya merupakan suatu proses berkelanjutan. Pada
skala-skala yang hanya akan digunakan secara terbatas memang pada umumnya
dicukupkan dengan validasi isi yang dilakukan melalui proses reviu aitem oleh panel
ahli (expert judgement) namun sebenarnya semua skala psikologi harus teruji
konstraknya. Skala yang secara isi sudah sesuai dengan kisi-kisi indicator perilaku
tetap perlu ditunjukkan secara empiric apakah konstrak yang dibangun dari teori
semula memang didukung oleh data.
11. Kompilasi Final
Format final skala dirakit dalam tampilan yang menarik namun tetap
memudahkan bagi responden untuk membaca dan menjawabnya. Dalam bentuk final,
berkas skala dilengkapi dengan petunjuk pengerjaan dan mungkin pula lembar
jawaban yang terpisah. Ukuran kertas yang digunakan perlu juga mempertimbangkan
usia responden jangan sampai memakai huruf berukuran terlalu kecil sehingga
responden yang agak lanjut usia kesulitan membacanya.
11
diri, dan sikap-sikap yang positif, serta kemampuan-kemampuan pribadi sosial yang
tepat.
12
7. Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak
melecehkan martabat atau harga dirinya.
8. Memiliki rasa tanggung jawab yang diwujudkan dalam bentuk komitmen, terhadap
tugas dan kewajibannya.
9. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan
dalam bentuk persahabatan, persaudaraan atau silaturahmi dengan sesama manusia.
10. Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal
(dalam diri sendiri) maupun orang lain.
11. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.
Dapat disimpulkan tujuan bimbingan pribadi pribadi sosial yang harus
dikembangkan dalam program layanan bimbingan dan konseling adalah memfasilitasi
peserta didik dalam mengarahkan pemantapan kepribadian serta mengembangkan
kemampuan dalam mengatasi masalah-masalah pribadi dan sosial siswa.
13
4. Pengumpulan data yang relevan untuk mengenal kepribadian siswa, misalnya sifat-
sifat kepribadian yang tampak dalam tingkah laku, latar belakang keluarga dan
keadaan kesehatan.
Aspek-aspek dalam bidang bimbingan dan pribadi sosial antara lain (Dewa Ketut
Sukardi & Nila Kusmawati, 2008: 12):
1. Pemantapan sikap dan kebiasaan serta pengembangan wawasan dalam beriman dan
bertaqwa
2. Pemantapan pemahaman tentang kekuatan diri dan pengembangan untuk kegiatan-
kegiatan yang kreatif dan produktif
3. Pemantapan pemahaman tentang bakat dan minat pribadi serta penyaluran dan
pengembangan pada atau melalui kegiatan-kegiatan yang kreatif dan produktif
4. Pemantapan pemahaman tentang kelemahan diri dan usaha-usaha penanggulanggan
5. Pemantapan kemampuan mengambil keputusan
6. Pemantapan kemampuan mengarahkan diri sesuai dengan keputusan yang telah
diambilnya
7. Pemantapan dalam perencanaan dan penyelenggaraan hidup sehat secara rohani dan
jasmani
8. Pemantapan kemampuan berkomunikasi baik lisan maupun tulisan secara efektif
9. Pemantapan kemampuan menerima dan menyampaikan pendapat serta beragumen
secara dinais, kreatif, dan produktif
10. Pemantapan kemampuan bertingkah laku dan berhubungan sosial, dan menjunjung
tinggi tata karma, sopan santun, serta nilai-nilai agama, adat hokum, ilmu, dan
kebiasaan yang berlaku
11. Pemantapan hubungan yang dinamis, harmonis, dan produktif dengan teman sebaya
12. Pemantapan pemahaman kondisi dan peraturan sekolah serta upaya pelaksanaannya
secara dinamis dan bertanggung jawab
13. Orientasi tentang hidup berkeluarga
Sedangkan Abin Syamsuddin (Sutirna, 2013: 42) mengemukakan tentang aspek-
aspek kepribadian, yang mencakup :
1. Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya
dalam memegang pendirian atau pendapat.
2. Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap
rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
3. Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
14
4. Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari
lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
5. Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau
perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan,
atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
6. Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal.
Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi
dengan orang lain.
Sementara Aspek Sosial (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2006: 3) seorang
individu adalah:
1. Berkembangnya sifat toleran, empati, memahami, dan menerima pendapat orang lain
2. Santun dalam menyampaikan pendapat dan kritik kepada orang lain
3. Ada keinginan untuk selalu bergaul dengan orang lain da bekerja sama dengan orang
lain
4. Suka menolong kepada siapa yang membutuhkan pertolongan
5. Kesediaan menerima sesuatu yang dibutuhkan dari orang lain
6. Bersikap hormat, sopan, ramah, dan menghargai orang lain
Dari pendapat kedua ahli tersebut, maka aspek-aspek materi bimbingan dan
konseling pribadi sosial adalah karakter, temperamen, sikap, stabilitas emosi,
responsibilitas, sosiabilitas, sifat toleran dan empati, sopan santun dalam lingkungan
sosial, dan sikap menolong.
15
dapat menimbulkan
masalah
Merasa tertekan saat
(ketidaksediaan untuk 3,4
berkomunikasi
berkomunikasi)
Menganggap komunikasi
adalah hal yang sangat 5,6
menakutkan
Menghindari komunikasi
Avoiding (penghindaran 7,8
secara langsung
dari partisipasi karena
Kecemasan terjadi saat
pengalaman komunikasi 9,10
Kecemasan berkomunikasi
yang tidak
Komunikasi Menghindari diskusi
menyenangkan) 11,12
kelompok
Ketidakmampuan dalam
mengembangkan 13,14
komunikasi
Control (rendahnya Kurang perhatian saat
pengendalian terhadap mendengarkan 15,16
situasi komunikasi) pembicaraan
Ketidakmampuan
menerima kritik dan 17,18
komentar dari orang lain
N Pernyataan SS S TS STS
o
1. Berbicara dengan orang lain hanya akan menimbulkan
masalah
2. Berbicara dengan orang lain akan menambah
pengetahuan
3. Saya merasa tertekan ketika harus ikut suasana
percakapan
4. Saya dapat mengarahkan pembicaraan seperti yang
saya inginkan
5. Saya takut berbicara di depan umum
6. Saya senang angkat bicara dalam suasana percakapan
7. Saya lebih senang berdiam diri daripada ikut terlibat
dalam pembicaraan
8. Saya senang berdiskusi saat saya sedang kuliah
16
9. Saya merasa cemas saat giliran saya untuk berbicara
semakin dekat
10. Setiap situasipembicaraan tidak akan membuat saya
menjadi berdebar-debar
11. Lebih baik saya tidak datang dalam acara diskusi, toh
saya tidak berani dalam mengemukakan pendapat
12. Saya sering dapat menciptakan suatu perbincangan
yang menyenangkan
13. Saya merasa ragu apakah saya dapat mengembangkan
pembicaraan setelah berhadapan dengan hadirin
14. Saya merasa yakin bahwa saya dapat engembangkan
pembicaraan saya setelah berhadapan dengan hadirin
15. Ketika saya mendengarkan pembicaraan orang lain,
saya kurang berkonsentrasi
16. Saya menatap penuh lawan bicara saya saat
berkomunikasi
17. Saya menjadi merasa dipojokkan ketika banyak
pertanyaan muncul saat saya menerangkan sesuatu
18. Saya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan atau
memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan
dengan penuh keyakinan
J.
17
BAB III
KESIMPULAN
Skala psikologi adalah suatu instrument yang berupa pertanyaan atau pernyataan
dan digunakan untuk mengukur serta mengidentifikasi atribut psikologis responden. Skala
adalah salah satu instrument non tes yang digunakan konselor untuk mengidentifkasi
kebutuhan peserta didik. Bidang layanan bimbingan dan konseling salah satunya adalah
bimbingan dan konseling pribadi sosial. Bimbingan pribadi-sosial merupakan upaya
layanan yang diberikan kepada siswa agar mampu mengatasi permasalahan-permasalahan
yang dialaminya, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, sehingga mampu membina
hubungan sosial yang harmonis di lingkungannya. Aspek-aspek materi bimbingan dan
konseling pribadi sosial diantaranya adalah karakter, temperamen, sikap, stabilitas emosi,
responsibilitas, sosiabilitas, sifat toleran dan empati, sopan santun dalam lingkungan
sosial, dan sikap menolong.
Dari beberapa aspek pribadi sosial tersebut di atas diharapkan dapat menjadi acuan
bagi seorang konselor dalam mengembangkan skala psikologis pribadi sosial yang dapat
membatu mengidentifikasi kebutuhan peserta didik, khususnya kebutuhan pribadi dan
sosial. Skala psikologis pada khususnya membantu seorang konselor untuk dapat
memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Sedangkan secara umumnya
pengembangan skala psikologi ini akan membantu pengembangan keilmuan bimbingan
dan konseling dalam sumber dan literatur instrument non tes
Diharapkan dengan adanya pengembangan skala psikologi ini, akan membantu
menambah sumber dan literatur untuk mengembangkan instrument non tes berupa skala
psikologi yang lain atau digunakan sebagai acuan penelitian selanjutnya.
18
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Saifuddin. (2013). Penyusunan Skala Psikologi (Edisi Dua). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Damayanti, Nidya. (2012). Buku Pintar Panduan Bimbingan Konseling. Yogyakarta: Araska.
Prayitno. (1987). Profesional Konseling dan Pendidikan Konselor. Padang: FIP IKIP.
Sukardi, Dewa Ketut & Nila Kusmawati. (2008). Proses Bimbingan dan Konseling di
Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Sutirna. (2013). Bimbingan dan Konseling Pendidikan Formal, Non Formal dan Informal.
Yogyakarta: Andi Offset.
Yusuf, S. (2007). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Yusuf, Syamsu & A. Juntika Nurihsan. (2009). Landasan Bimbingan dan Konseling.
Bandung: Remaja Rosdakarya
19