Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PROSES PRODUKSI
PEMBUATAN ASAP CAIR DAN KARBON AKTIF
DENGAN PROSES PIROLISIS
DISUSUN OLEH :
DISUSUN OLEH :
Mengetahui
Dosen Pembimbing
Air 11 – 92
Ter 1 – 17
Asap cair pertama kali diproduksi pada tahun 1980 oleh sebuah pabrik
farmasi di Kansas City, dikembangkan dengan metode kasar dari distilasi kayu asap
(Pszczola, 1995). Produk yang berupa asap cair digunakan untuk mengawetkan
daging babi dan babi asin dan untuk memberi citarasa pada beberapa bahan makanan.
Menurut Maga (1988), asap cair mempunyai kelebihan antara lain :
1. Beberapa flavor dapat dihasilkan dalam produk yang seragam dengan konsentrasi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengasapan tradisional.
2. Lebih intensif dalan pemberian flavor.
3. Kontrol hilangnya flavor lebih mudah
4. Dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan.
5. Dapat digunakan oleh konsumen pada level komersial.
6. Lebih hemat dalam pemakaian kayu sebagai sumber asap.
7. Polusi lingkungan dapat diperkecil.
8. Dapat diaplikasikan ke dalam berbagai cara penyemprotan, pencelupan, atau
dicampur langsung ke dalam makanan (Pearson and Tauber, 1984).
Berikut ini merupakan standar kualitas asap cair spesifikasi jepang.
pH 1,50 - 3,70
(Tranparent)
Keasaman (Acidity), % 1 – 18
Fenol (Phenol), % -
Karbonil (Carbonil) % -
pH merupakan salah satu parameter tinggi rendahnya kualitas dari asap cair,
nilai pH ini menunjukkan tingkat dari proses penguraian yang terjadi pada komponen
kayu untuk menghasilkan asam organik. Nilai pH yang rendah pada asap cair
menunjukkan bahwa kualitas asap cair yang digunakan tinggi sedangkan nilai pH
yang rendah menunjukkan bahwa kualitas asap cair rendah, karena pH sangat
berpengaruh terhadap keawetan dan daya simpan produk asap cair. Tinggi rendahnya
pH pada asap cair ini dipengaruhi oleh kadar fenol, suhu pirolisis dan sitem destilasi.
Senyawa yang sangat berperan sebagai antimikrobial adalah senyawa fenol
dan asam asetat, dan peranannya semakin meningkat apabila kedua senyawa tersebut
ada bersama – sama (Darmadji, 1995). Selain fenol, senyawa aldehid, aseton dan
keton juga memiliki daya bakteriostatik dan bakteriosidal pada produk asap. Menurut
Maga (1987), asap cair pada konsentrasi 6,5 gr/kg dapat memperpanjang fase lage
Staphylococcus aurus (105 CFU/ml) selama 4 hari pada suhu kamar (30ºC) dan pada
konsentrasi 9,8 g/kg adalah 14 hari. Girrard (1992) menyatakan bahwa asap dalam
bentuk cair berpengaruh terhadap keseluruhan jumlah asam dalam kondensat asap,
yaitu mencapai 40% dengan 35 jenis asam. Kandungan asam yang mudah menguap
dalam asam akan menurunkan pH, sehingga dapat memperlambat pertumbuhan
mikroorganisme (Buckle et al.,1985). Menurut Haris dan Karmas (1989), kerja
bakteriosidal dari pengasapan adalah faktor nyata dalam perlindungan nilai gizi
produk yang diasap terhadap perusakan biologis. Efek fungisidal dalam asap
disebabkan oleh fenol dan formaldehid (Daun, 1979; Toth dan Potthast, 1984).
Asap dalam bentuk cair juga masih mempunyai berbagai sifat fungsional.
Fungsi lainnya adalah untuk memberikan flavor yang diinginkan pada produk asap
karena adanya senyawa fenol dan karbonil (Pszczola, 1995). Rasa dan aroma khas
produk pengasapan terutama disebabkan oleh senyawa guaiakol, 4-metil-guaiakol,
dan 2,6-dimetoksi fenol. Girard (1992) mengatakan bahwa dari berbagai penelitian
terdahulu, diketahui bahwa senyawa – senyawa fenolat tertentu seperti guaiakol, 4-
metil guaiakol, 2,6-dimetoksi fenil dan seringol menentukan flavor dari bahan pangan
yang diasap dimana guaiakol akan memberikan rasa asap dan seringol memberikan
aroma asap. Rasa dan aroma yang khas pada makanan yang diasap disebabkan oleh
senyawa fenol yang bereaksi dengan protein dan lemak yang terdapat pada makanan
(Daun, 1979).
Kualitas karbon aktif tergantung dari jenis bahan baku, teknologi pengolahan,
cara pengerjaan dan ketetapan penggunaannya. Oleh karena itu, bagi produsen karbon
aktif yang perlu diketahui adalah kualitas apa yang ingin dihasilkan dengan
menggunakan bahan baku yang ada, serta untuk apa tujuan kegunaan karbon aktif
tersebut. Berikut pada tabel 1.3 adalah standar mutu karbon aktif berdasarkan SNI
No.06-3730-1995 dan tabel 1.4 adalah persyaratan karbon aktif menurut SII No.0258
– 79 :
Tabel 1.3 Standar mutu karbon aktif menurut SNI 06-3730-1995
Persyaratan
Uraian
Kualitas
Bagian yang hilang pada pemanasan 950oC, % Maks. 25
Kadar Air, % Maks. 15
Kadar Abu, % Maks. 10
Daya serap terhadap I2, mg/g Min. 750
Karbon aktif murni, % Min. 65
Jenis Persyaratan
Secara umum, Proses pembuatan karbon aktif terdiri dari dua tahapan
utama, yaitu proses karbonisasi dan proses aktivasi.
1. Karbonisasi
Karbon aktif dapat dibuat melalui dua tahap, yaitu tahap karbonisasi
dan aktivasi (Kvech dan Tull, 1988 dalam Budiono, 2010). Karbonisasi
merupakan suatu proses pengarangan dalam ruang tanpa adanya oksigen dan
bahan kimia lainnya, sedangkan aktivasi adalah perlakuan terhadap arang yang
bertujuan untuk memperbesar pori dengan cara memecah ikatan hidrokarbon
atau mengoksidasi molekul permukaan sehingga arang mengalami perubahan
sifat baik fisika atau kimia (Triyana dan Tuti, 2003 dalam Budiono, 2010).
Karbonisasi merupakan proses pemecahan atau peruraian selulosa menjadi
karbon pada suhu sekitar 275°C. (Taufik, 2001).
Tujuan dari dilakukannya proses karbonisasi adalah untuk menghilang
senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam bentuk unsur-unsur non
karbon, hidrogen, dan oksigen. Karbonisasi adalah proses pembakaran
material organik pada bahan baku. Karbonisasi akan menyebabkan terjadinya
dekomposisi material organik bahan baku dan pengeluaran pengotor. Sebagian
besar unsur non-karbon akan hilang pada tahap ini. Pelepasan unsur-unsur
yang volatil ini akan membuat struktur pori-pori mulai terbentuk/pori-pori
mulai terbuka. Seiring karbonisasi, struktur pori awal akan berubah.
Karbonisasi dihentikan bila tidak mengeluarkan asap lagi. Penambahan suhu
memang diperlukan untuk mempercepat reaksi pembentukan pori. Namun,
pembatasan suhu pun harus dilakukan. Suhu yang terlalu tinggi, seperti di atas
1000℃ akan mengakibatkan banyaknya abu yang terbentuk sehingga dapat
menutupi pori-pori dan membuat luas permukaan berkurang serta daya
adsorpsinya menurun.
2. Aktivasi
1. Kadar Air
Penentuan total moisture atau kadar air ada dua cara, yaitu cara satu tahap
dan cara dua tahap. Pada cara satu tahap, semua moisture dalam sampel langsung
ditentukan, sedangkan pada cara dua tahap, pertama ditentukan free moisture,
kemudian ditentukan residual moisture. Metode yang digunakan yaitu standar
ASTM D-2216-98 dengan rumus :
( ) ……………… (1.1)
Keterangan:
2. Kadar Abu
Abu adalah bahan yang tersisa apabila bahan bakar padat ditentukan
melalui metode ASTM D 3174-02 ‘Standard practice of determination of ash in
the analysis sampel of coal and coke from coal’. Kandungan abu dapat ditentukan
dengan rumus berikut :
( ) ………………. (1.2)
Keterangan :
3. Volatile Matter
Volatile matter ialah banyaknya zat yang hilang bila sampel dipanaskan
pada suhu dan waktu yang telah ditentukan (setelah dikoreksi oleh kadar
moisture). Besarnya zat mudah menguap dihitung menggunakan standar ASTM
D-3175-02 dengan rumus:
VM = ( ({{ }
}
) x 100% ) - Mad ……..…. (1.3)
Keterangan :
( )…....... (2.5)
Keterangan :
Fp = Faktor pengenceran
METODOLOGI
Keterangan:
m1 = massa cawan kosong (gram)
m2 = massa cawan + sampel (sebelum pemanasan) (gram)
m3 = massa cawan + sampel (setelah pemanasan) (gram)
Keterangan:
m1 = massa cawan kosong (sebelum pemanasan) (gram)
m2 = massa cawan + sampel (sebelum pemanasan) (gram)
m3 = massa cawan + sampel (setelah pemanasan) (gram)
m4 = massa cawan kosong (setelah pemanasan) (gram)
Keterangan:
m1 = massa cawan kosong (gram)
m2 = massa cawan + sampel (sebelum pemanasan) (gram)
m3 = massa cawan + sampel (setelah pemanasan) (gram)
Keterangan :
b = volume titran blanko (ml)
a = volume titran untuk contoh (ml)
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
-8 +9 715,23
-9 +10 311,31
Total 1150,00
30 Menit Ke -2 603
30 Menit Ke -3 600
Variabel Nilai
pH sebelum pemurnian 2
pH setelah disaring 2
pH setelah destilasi 2
Tabel 3. 6 Data pengamatan analisa kadar asam asetat pada asap cair
Parameter Nilai
I = 44,6
Volume NaOH 0,1 N yang digunakan untuk titrasi (ml) II = 44,7
Parameter Nilai
Parameter Nilai
Tabel 3.12 Data Pengamatan Analisa Daya Serap Karbon Aktif Terhadap I2
Volume Titran Volume Sampel (ml)
Sampel
Blanko (ml)
1 4,9 2,1
2 4,8 2,2
Xi
Nomor Massa Davg D3 Dv
(fraksi C. D3 Xi/ C.D3
ayakan (g) (mm) (mm3) (mm)
massa)
-8 + 9 715,23 0,6219 2,18 10,3602 5,4246 0,1146
-9 +10 311,31 0,2707 1,85 6,3316 3,3152 0,0816
1,2772
-10 +12 123,46 0,1074 1,55 3,7239 1,9498 0,0551
Total 1150 1 10,6896 0,2513
Hasil Uji
Berat jenis
(specific >1,005 - - -
gravity)
Bahan
Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Terapung
Keasaman 10,72%
1 – 18% - -
(acidity)
3.2.3 Hasil Percobaan Karbon Aktif
3.3 Pembahasan
Praktikum ini bertujuan untuk mengoperasikan alat pirolisis dan membuat asap
cair grade 2. Bahan baku yang digunakan yaitu tempurung kelapa sebanyak 1150 gram dan
temperatur pengoperasian alat pirolisis 600 oC selama kurang lebih 2 jam hingga tetesan
terakhir asap cair. Dari proses pirolisis menghasilkan asap cair sebanyak 312,98 gram
dengan rendemen asap cair sebesar 27,21% dan residu arang sebanyak 373,88 gram
dengan rendemen residu sebesar 32,51% serta total massa yang hilang adalah 463,14 gram.
Massa yang hilang tersebut berupa gas yang mengandung H2O, CO2, CO, H2 dan CH4.
Produk asap cair yang dihasilkan dari proses pirolisis memiliki warna cokelat kemerahan
dengan pH 3, warna kemerahan tersebut dikarenakan adanya senyawa tar yang masih
terkandung dalam produk asap cair. Produk asap cair kemudian didiamkan selama 1
minggu, kemudian dilakukan penyaringan sehingga senyawa tar terpisah dan diperoleh
produk asap cair berwarna coklat kemerahan bening dengan pH 2.
Selanjutnya yaitu membuat asap cair grade 2. Asap cair hasil penyaringan
berwarna coklat kemerahan transparan dan pH asam sedang, dimana hasil penyaringan
menunjukkan bahwa warna dari produk asap cair tersebut mendekati mutu asap cair grade
2, sedangkan pH belum memenuhi mutu asap cair grade 2. Produk asap cair hasil
penyaringan kemudian didestilasi selama 7 jam 1 menit dan dihasilkan asap cair sebanyak
233,08 gram, berwarna kuning keemasan dengan pH 2. Adanya perubahan warna setelah
destilasi menandakan berkurangnya senyawa tar dalam produk asap cair tersebut. Asap
cair hasil destilasi ini selanjutnya direndam zeolit dengan perbandingan 1 : 1 selama 1 jam
dan dihasilkan asap cair sebanyak 173,95 gram berwarna kuning bening dengan pH 2. pH
asam pada asap cair disebabkan oleh adanya senyawa asam yang terkandung dalam asap
cair yaitu fenol, asam asetat, asam format, asam butirat. Saat perendaman menggunakan
zeolit, terjadi proses adsorbsi sebagian senyawa yang bersifat karsinogen seperti
benzopyrene dan sebagian tar yang masih terdapat pada asap cair. Berdasarkan tabel 3.16,
menghasilkan produk asap cair dengan pH 2, kadar asam asetat sebesar 10,72% dan
berwarna kuning bening atau kuning transparan. Hasil asap cair yang diperoleh memenuhi
standar kualitas Jepang.
Praktikum ini bertujuan untuk membuat karbon aktif dengan proses pirolisis dan
menganalisa kualitas karbon aktif. Karbon aktif merupakan residu yang diperoleh dari
hasil pirolisis menggunakan bahan baku tempurung kelapa, kemudian diaktivasi secara
kimia menggunakan NaCl (natrium klorida). Analisa yang dilakukan pada karbon aktif
meliputi kadar air, kadar abu, kadar volatile matter dan daya serap iod. Berdasarkan
standar kualitas karbon aktif yaitu SNI (Standar Nasional Indonesia) batas maksimal untuk
kadar air sebesar 15%, kadar abu maksimal 10%, volatile matter maksimal 25%. Untuk
daya serap iod menggunakan standar kualitas karbon aktif berdasarkan standar SII
(Standar Industril Indonesia) yaitu daya serap iod minimalnya sebesar 20%. Hasil analisa
karbon aktif diperoleh kadar air sebesar 6,0232%, kadar abu sebesar 0,3599%, volatile
matter sebesar 20,1366%, dan daya serap iod sebesar 3,3797%. Kualitas karbon aktif pada
analisa kadar air, kadar abu, dan volatile matter telah memenuhi standar SNI, namun pada
analisa daya serap terhadap larutan I2 belum memenuhi standar SII.
Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui sifat higroskopis dari karbon
aktif tersebut. Karbon aktif bersifat higroskopis sehingga sanggat mudah untuk mengikat
uap air di udara, karena sifatnya yang higroskopis ini karbon aktif dapat dijadikan
adsorben (Ikawati dan Melati, 2009). Kadar air yang dihasilkan dari proses aktivasi NaCl
memenuhi standar SNI, hal ini dapat disebabkan NaCl bersifat higrokopis. Higrokopis
adalah kemampuan suatu zat untuk menyerap molekul air dari lingkungannya baik melalui
absorbsi atau adsorpsi. Sehingga, air yang terdapat dalam karbon aktif bereaksi
membentuk NaOH dan HCl (Evi Setiawati, Suroto, 2010).
Kandungan abu berpengaruh pada karbon aktif, dimana keberadaan abu yang
berlebihan dapat membuat pori-pori karbon aktif tersumbat, sehingga luas permukaan
karbon aktif berkurang. Kandungan Analisa volatile matter dilakukan untuk mengetahui
seberapa besar permukaan karbon aktif mengandung zat lain sehingga mempengaruhi daya
jerapnya. Semakin rendah volatile matter akan meningkatkan daya jerap dari karbon aktif
karenaakan semakin besar kandungan karbon terikatnya (Pari dkk., 2006). Pada praktikum
ini kadar abu dan volatile matter sesuai dengan standar SNI .
Daya serap iod menjadi persyaratan umum untuk menilai kualitas karbon aktif.
Semakin besar nilai adsorpsi iod maka semakin besar kemampuan karbon aktif dalam
mengadsorpsi adsorbat atau zat terlarut. (Idrus dkk., 2013). Hasil uji daya serap pada
praktikum ini jika dibandingkan dengan SII tidak memenuhi standar, hal ini dikarenakan
waktu aktifasi kimia yang digunakan dalam praktikum ini relatif singkat, yaitu 2,5 jam
sehingga menyebabkan masih ada pori-pori karbon aktif yang tertutup oleh pengotor dan
belum semua pori-pori karbon aktif terbuka maksimal, sehingga menyebabkan daya serap
I2 belum maksimal. Meningkatnya waktu aktifasi membuat pori-pori karbon aktif terbuka
membentuk rongga yang lebih besar ukurannya dari molekul I2 sehingga molekul I2 dapat
masuk ke dalam rongga karbon aktif (Polii, 2017). Selain waktu aktivasi, suhu merupakan
salah satu faktor untuk meningkatkan daya serap iod. Semakin tinggi suhu pirolisis, maka
semakin banyak pori karbon aktif yang terbuka sehingga molekul iod masuk ke dalam
rongga karbon aktif. Semakin besar angka iod maka semakin besar kemampuannya dalam
mengadsopsi. Daya serap terhadap iod semakin besar dengan kenaikan suhu, ini berarti
bahwa kualitas karbonaktif akan semakin baik dalam penjerapan (Pari, 2006).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Pada pratikum proses pirolisis didapatkan rendamen asap cair sebesar 27,21% ;
rendamen karbon aktif sebesar 32,51 % dan bagian yang hilang sebesar 40,28%
2. Kualitas asap cair sudah memenuhi standar Jepang dengan nilai pH 2; transparan
atau tidak keruh; tidak ada bahan terapung pada asap cair dan kadar keasaman
sebesar 10,72 %. Tetapi, warna dan pH hasil akhir pemurnian asap cair tidak
memenuhi standar mutu asap cair grade 2.
3. Kualitas karbon aktif sudah memenuhi standar SNI pada parameter kadar air,
kadar abu dan kadar volatile matter sebesar 6,0232% , 0,3599% dan 20,1366%
14,3660%. Sedangkan daya serap I2 tidak memenuhi standar SII, dimana daya
serap I2 yang dioeroleh yaitu 3,3797%.
4.2 Saran
Perhatikan setiap sambungan pada alat pirolisis agar tidak ada produk asap cair
yang hilang ke lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Djeni, H., dkk. 2014. Pemanfaatan Limbah Tempurung Kemiri Sunan (Aleurites
trisperma) Sebagai Bahan Baku Pada Pembuatan Karbon aktif (Utilization Of
Kemiri Sunan Shell Waste as Raw Material in Manufacturing Of Activated
Charcoal). Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol.32 No.4 : 271- 282
Evi, Setiawati dan Suroto. 2010. Pengaruh Bahan Aktivator pada Pembuatan
Karbon Aktif Tempurung Kelapa. Peneliti Baristand Industri Banjarbaru..
Fauziah, N. (2009). Pembuatan Arang Aktif Secara Langsung Dari Kulit Acacia Mangium
Wild Dengan Aktivasi Fisika Dan Aplikasinya Sebagai Adsorben. Skripsi Institut
PertanianBogor. Repository,ipb.ac.id/bitstream/handle/
123456789/13071/E09nfa.pdf
Girrard, J.P. 1992. Technology of Meat and Meat Products. Ellis horwood. New
York.
Harris, R. S. dan E. Karmas. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Pangan. Terjemahan
Achmadi S., Bandung Technology Institute Press, Bandung.
Hendra, D. 1992. Hasil Pirolisis dan Nilai Kalor dari 8 Jenis Kayu di Indonesioa
Bagian Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 10(4);122-124.
Maulana, G.G.R., dkk. 2017. Proses Aktivasi Karbon aktif Dari Cangkang Kemiri
(Aleurites moluccana)Dengan Variasi Jenis Dan Konsentrasi Aktivator Kimia.
Jurnal Teknologi Industri Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lambung
Mangkurat Vol. 42 : 247 – 256.
Maulinada, L., dkk. 2015. Pemanfaatan Kulit Singkong sebagai Bahan Baku Karbon Aktif.
Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (73-77).
Pari, G., Hendra, D dan R.A. Pasaribu. 2006. Pengaruh Lama Waktu Aktivasi dan
Konsentrasi Asam Fosfat terhadap Mutu Arang Aktif Kulit Kayu Acacia
magium. Bogor: Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan.
Toth, L. dan K. Potthast. 1984. Chemical Aspect of the Smoking of Meat and Meat
Products dalam C. O. Chichester, E. M. Mrakdan B. S. Schweigert (ed.).
Advances in Food Research. Vol. 29. Academic Press, Inc., New York.
London.
Yunita, R. (2016). Pengaruh Waktu Aktivasi Kimia Terhadap Arang Aktif Cangkang
Kelapa Sawit Hasil Pirolisis Oksidasi Parsial. Tugas Akhir Politeknik Negeri
Samarinda.
PERHITUNGAN
∑
√ √ mm
∑
c. Rendemen Residu
Arang
373,88 g
Massa tempurung kelapa masuk (bahan baku) = 1150 g
Massa produk asap cair = 312,98 g
Massa residu (arang) = 373,88 g
Massa bahan baku = massa produk asap cair + massa residu + massa yang hilang
1150 g = 312,98 g + 373,88 g + massa yang hilang
Massa yang hilang = (1150 g – 312,98 g – 373,88) g
= 463,14 g
( )
( )
( )
( )
i. Konsentrasi Larutan Natrium Tiosulfat Sebenarnya
= 500 mg
Fp = =4
Bst = 49 mg/
Volume Natrium Tiosulfat yang digunakan untuk titrasi = 25,85 ml
= 3,3797 %