Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ririn Anjasni Surya Dewi

NPM : 16020015
Kelas : 1-K1
MARGI WUTA

Margi wuta saya persembahkan untuk anda


Selamat datang di teater, dimana kegelapan menjadi pintu masuk untuk melihat
lebih banyak

Bandung, 5 Oktober 2016


Joned Suryatmoko

Hari itu kami mendapat tugas bahasa indonesia untuk menonton teater margi
wuta. Teater yang dimainkan oleh penyandang difabel netra di Auditorium PSBN
Wyata Guna Jalan Pajajaran No.52, Bandung. Awalnya saya berfikir akan
menyaksikan sebuah pertunjukkan drama di atas panggung. Ternyata tidak, ini
adalah pertunjukan dimana kami juga berada di panggung.
Dalam pertunjukkan ini, penonton dibagi menjadi dua yakni hadirin dan
penonton. Penonton dapat menonton dua kali, menonton dengan mata tertutup berada di
panggung bersama pemain dan terbuka setelah selesai menonton pertunjukkan pertama. Sedangkan

hadirin hanya menonton satu kali dengan mata terbuka dan berada di luar set panggung. K ebetulan

saya menjadi penonton sehingga dapat merasakan keduanya.


Menonton teater dengan mata tertutup merupakan pengalaman menonton
yang berbeda. Sehingga pada pertunjukkan ini kita bisa merasakan dan mengalami
apa yang terjadi dalam teater. Jadi, kita hadir dengan mata tertutup dan
menggunakan indra pendengaran sebagai alat untuk memahami kenyataan yang
sedang terjadi.
Acara dimulai dengan penonton ditutup matanya dengan penutup berupa kain
hitam. Lalu kami dituntun masuk kedalam gedung teater dengan berbaris memegang pundak teman
yang berada di depan kita. Setelah duduk kami disuguhkan dengan suara gemericik air,
dialog percakapan, kaleng terjatuh, deru pesawat dan denting lonceng sebagai
pembukaan.
Peristiwa yang diceritakan merupakan cerita sehari-hari warga di kampung.
Seperti mendengarkan ketoprak, sidang jesicca yang tak kunjung selesai dan ramai di
televisi, kucing yang mencuri makanan, beberapa pemuda yang sedang bermain
gitar dan tetangga yang memotong rumput lebih dari tiga hari tak kunjung selesai.
Mereka semua merasa terganggu karena suara-suara yang tak mereka inginkan.
Kami juga diberi martabak seolah-olah diberikan oleh pemain dan melemparkan
bola kasti dengan instruksi pemain. Pemain juga bersikap seolah-olah melihat kami,
padahal sebernanya tidak. Dan yang paling menyentuh adalah ketika mereka
menyanyikan lagu ‘Enternal Flame’.
Close your eyes, give me your hand, darling
Do you feel my heart beating, do you understand?
Do you fell the same?
Am I only dreaming?
Pertunjukkan pertama selesai dengan tepuk tangan yang meriah dari hadirin
maupun penonton. Setelah itu hadirin dipersilahkan meninggalkan ruangan,
sedangkan penonton diajak menikmati kudapan di lantai dua sembari menunggu
pertunjukkan selanjutnya.
Panggung pertunjukkan ditata sesuai dengan para kebutuhan pemain. Pemain
berada dalam sebuah ruangan yang bersekat kain tipis berwarna putih sebagai
dinding dan karpet sebagai penanda lantai. Dari atas, kami melihat para pemain
yang merupakan difabel netra sedang duduk di kursi melingkar. Mereka sedang
bergurau dan tertawa. Disini saya benar-benar menyadari bahwa kebahagiaan
seseorang bukan terletak dari seberapa kebahagiaan atau kesenangan yang mereka
dapatkan, melainkan dari rasa syukur atas semuanya.
Kami juga sempat mengobrol dengan salah satu panitia penyelenggara. Beliau
mengatakan bahwa ‘pertunjukkan dengan mata tertutup, penempatan duduk yang
berbeda diantara pemain dan perbedaan waktu saat mata dibuka bertujuan agar
penonton dapat merasakan respon yang berbeda’. Karena, apabila semua menonton
dengan mata terbuka dan berada di tempat yang sama tentu hasil akhir dan respon
rata-rata yang didapatkan sama.
Kegelapan? Apa yang akan terjadi jika malam itu benar-benar gelap tanpa
cahaya bulan ataupun bintang bahkan listrikpun tidak ada? Takut, sedih, sendiri dan
manusia akan berlomba-lomba menciptakan cahaya. Pasti manusia akan sibuk
mempersiapkan diri sebelum malam menjelang. Mereka akan makan, minum,
mandi, mengerjakan jurnal dan laporan. Tapi alangkah baiknya Allah karena telah
berbaik hati menciptakan bulan dan bintang yang sering kita lupakan. Sama seperti
halnya mata, kaki, tangan dan tubuh yang sehat. Itu saja sering kita lupakan, apalagi
orang-orang disekitar kita. Mereka yang telah diciptakan Allah dengan sempurna dan
keterbatasan mereka menurut manusia.
Apapun yang terlihat bisa jadi tidak seperti yang kita lihat. Gemericik air, deru
pesawat dan kendaraan yang tampaknya berlalu lalang, tapi kita hanya bisa
mendengar dan berimajinasi. Waktu itu yang saya rasakan adalah sedih. Karena saya
sering kali melihat keatas dan tidak kebawah. Rasa iri dengan orang lain yang
tampaknya lebih bahagia dan hidupnya sempurna, padahal saya tidak pernah tahu
apa yang telah Allah ambil darinya. Tapi hari ini, setelah melihat mereka saya sangat
bersyukur. Saya diberi kesempatan untuk melihat, belajar dan menyaksikan banyak
hal. Sesuatu yang sangat diinginkan oleh orang lain. Orang-orang yang menginginkan
hidupnya seperti kita.

Anda mungkin juga menyukai