Anda di halaman 1dari 27

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT

KEDUDUKAN LEMBAGA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI


DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945(selanjutnya

disebut UUD NRI Tahun 1945) merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan

hukum dasar Indonesia dimasa depan. Sebagai hukum dasar, perumusan isinya

disusun secara sitematis mulai dari prinsip-prinsip yang bersifat umum dan

mendasar, dilanjutkan dengan perumusan prinsip-prinsip kekuasaan dalam setiap

cabangnya yang disusun secara berurutan. Konstitusi adalah hukum dasar yang

dijadikan pegangan dalam penyelengaraan suatu negara. Oleh karena itu, Undang-

Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis yang hidup sebagai konvensi

ketatanegaraan dalam praktik penyelengaraan negara sehari-hari, termasuk

kedalam pengertian konstitusi atau hukum dasar (droit constitusionnel).

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(Selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), telah menimbulkan perubahan yang

mendasar dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Salah satu hasil yang jelas

terlihat dengan adanya perubahan terhadap UUD NRI 1945 adalah dengan

dibentuknya sebuah lembaga negara baru yang bertugas untuk mengawal

konstitusi di Indonesia, dan lembaga negara tersebut dikenal dengan nama

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK). Praktek demokrasi

konstitusional saat ini relatif telah memenuhi prinsip-prinsip demokrasi

konstitusional modern karena ditegakannya mekanisme check and balance dan

adanya jaminan hak-hak konstitusional warga negara. Melalui pembentukan

1
Mahkamah Konstitusi tersebut telah menjadikan praktek demokrasi konstitusional

di Indonesia semakin mantap.

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara baru dalam sistem

ketatanegaraan di Indonesia yang merupakan hasil perubahan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai organ konstitusi, lembaga

ini dibentuk untuk melaksanakan kekuasaan peradilan dalam sistem konstitusi,

untuk menjadi pengawal atau penjaga konstitusi (the guardian of constitution) dan

sekaligus penafsir konstitusi.1

Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dilakukan melalui perubahan

ketiga UUD NRI 1945 yang di sahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan

ketiga UUD NRI 1945 juga mengadopsi pembentukan Mahkamah Konstitusi

sebagai lembaga yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung yang

diuraikan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai berikut:

“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.2

Ni’matul Huda menjelaskan bahwa Pembentukan Mahkamah Konstitusi

pada setiap negara memiliki latar belakang yang beragam, namun secara umum

adalah berawal dari suatu proses perubahan politik kekuasaan yang otoriter

menuju demokratis, sedangkan keberadaan Mahkamah Konstitusi lebih untuk

menyelesaikan konflik antarlembaga negara karena dalam proses perubahan


1
Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajuddin, Memahami Keberadaan Mahkamah
Konstitusi Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, hlm, 78.
2
Lihat, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 24 ayat (2)

2
menuju negara yang demokratis tidak bisa dihindari munculnya pertentangan

antarlembaga negara.3Selain itu, adanya kekosongan pengaturan pengujian

terhadap undang-undang secara tidak langsung telah menguntungkan kekuasaan

karena produk perundang-undangannya tidak akan ada yang mengganggu gugat,

dan karenanya untuk menjamin bahwa penyusunan peraturan perundang-

undangan akan selaras dengan konstitusi harus ditentukan mekanisme untuk

mengawasinya melalui hak menguji.4

Pasal 24 ayat (2) Perubahan ketiga UUD 1945 menetapkan bahwa kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan

oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di dalamnya

dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi

adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum

dan keadilan sebagaimana dimaktub dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945.

H.M. Laica Marzuki,5 mengemukakan MK bukan bagian dari Mahkamah Agung

(selanjutnya disebut MA) dalam makna perkaitan struktur unity jurisdiction,

seperti halnya dalam sistem hukum Anglo Saxon, tetapi berdiri sendiri serta

terpisah dari Mahkamah Agung secara duality of jurisdiction. Mahkamah

Konstitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah Agung. Keduanya adalah

penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, dapat

Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian terhadap Dinamika Perubahan


3

UUD 1945 (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), hlm. 223.


4
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian terhadap Dinamika Perubahan
UUD 1945 (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), hlm. 222.
5
H.M. Laica Marzuki, Berjalan-jalan Di Ranah Hukum, 2006, Jakarta, hlm. 83.

3
dikatakan bahwa dengan adanya perubahan UUD 1945, maka selain Mahkamah

Agung sebagai puncak pelaksana kekuasaan kehakiman dari lingkungan peradilan

yang berada dibawahnya, juga terdapat Mahkamah Konstitusi yang secara

fungsional juga sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, namun tidak

mempunyai hubungan struktural dengan MA. Kedua lembaga tersebut adalah

memiliki fungsi yang sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, namun

dibedakan dalam yurisdiksi atau kompetensinya.6

Secara umum, kewenangan Mahkamah Konstitusi telah jelas diatur dalam Pasal

24C ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa :

1)Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan


terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara dan kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilu.
2)Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang.7

Wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur lagi dalam Pasal

10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

bahwa :

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan


terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a. Menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
6
Harjono, 2002, Kedudukan dan Kewenangan MK dalam Sistem Ketatanegaraan di
Indonesia, hlm. 3.
7
Lihat, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24C.

4
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, salah satunya adalah

Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan tugas yang mendominasi

kewenangan MK sebagaimana tampak dari permohonan yang masuk dan terdaftar

di kepaniteraan MK..8

Ide pengujian konstitusional (constitusional review) ini telah demikian luar

diterima dan di praktekan di dunia sebagai hasil perkembangan ketatanegaraan di

masing-masing negara. Oleh karena itu, perkembangannya di tiap-tiap negara

berbeda-beda satu sama lain. Tradisi konstitusional sebagai “barometer”

penyelengaraan kegiatan bernegara di dunia terus berkembang luas, dan semakin

diakui pula bahwa ide pengujian konstitusional (contitutional review) itu memang

diperlukan dalam rangka melindungi dan mengawal pelaksanaan hukum dan

konstitusi dalam praktek sehari-hari.9

Dalam hal kewenangan Mahkamah Konstitusi yaitu Menguji Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar, dikenal dengan adanya dua pengujian yaitu

pengujian Formal dan pengujian materiil. Pengujian secara formal secara singkat

disebut dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a, yang menyatakan pemohon wajib

menguraikan dengan jelas bahwa “pembentukan undang-undang tidak memenuhi

ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945”. Pengujian secara formal akan dilakukan pengujian atas dasar kewenangan

dalam pembentukan UU dan prosedur yang harus ditempuh dari tahap drafting

8
Prof. Dr. H. Abdul Latif, S.H., M.H, dkk, 2009, Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, hlm. 29.
9
Prof. Dr. H. Abdul Latif, S.H., M.H, dkk, 2009, Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, hlm.9

5
sampai dengan pengumuman dalam Lembaran Negara yang harus menuruti

ketentuan yang berlaku untuk itu. Pengujian formal adalah pengujian undang-

undang berkenaan dengan bentuk pembentukan UUD 1945 yang meliputi

pembahasan, pengesahan, pengundangan dan pemberlakuan. Sedangkan

pengujian materil yaitu Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 mengatur tentang uji materil muatan ayat, pasal, dan/atau bagian

Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945 dapat diminta

untuk dinyatakan sebagai tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.

Yang diuji boleh juga hanya ayat, pasal tertentu atau bagian undang-undang saja

dengan konsekuensi hanya bagian, ayat dan pasal tertentu saja yang dianggap

bertentangan dengan konstitusi dan karenanya tidak mempunyai kekuatan

mengikat secara hukum hanya sepanjang mengenai ayat, pasal dan bagian tertentu

dari undang-undang yang bersangkutan.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas mengenai pengujian, terdapat

beberapa permohonan pengujian di Mahkamah Konstitusi dan juga telah

dikeluarkan putusannya. Pengujian tersebut dalam hal ini adalah Pengujian

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,

DPD, dan DPRD bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan

Nomor Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011, Nomor 49/PUU-XI/2013, dan Nomor

36/PUU-XV/2017. Dimana Pasal yang diujikan dalam UU No.30 Tahun 2002

yaitu Pasal 34 terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

6
Republik Indonesia Tahun 1945 (Putusan MK No.5/PUU-IX/2011), Pasal 21 ayat

(5) UU No. 30 Tahun 2002 terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Putusan MK No. 49/PUU-XI/2013), dan

Pasal 79 ayat (3) UU No. 42 Tahun 2014 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 20A ayat

(2), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (Putusan MK No.36/PUU-XV/2017).

Hal yang menarik untuk disimak adalah bahwa dalam putusannya kali ini MK

selaku pengawal konstitusi memberikan dua putusan yang berbeda terhadap status

dari lembaga KPK sehingga status KPK menjadi tidak jelas.

Lembaga KPK sendiri merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan UU

No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK

merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya

bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. 10

Telah dijelaskan diatas mengenai beberapa Putusan MK No.5/PUU-

IX/2011, Putusan MK No.49/PUU-XI/2013, dan Putusan MK No. 36/PUU-

XV/2017. Dalam Putusan MK no.5/PUU-IX/2011 Pemohon Mengajukan

Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Feri Amsari, S.H., M.H., Ardisal, S.H., Drs.

Teten Masduki, Zainal Arifin Mochtar Husein, Indonesia Corruption Watch

(ICW) dalam hal ini diwakili oleh Danang Widyoko sebagai Pemohon.

Berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 6 Desember 2010 memberikan kuasa

10
Zainal Arifin Mochtar, Lembaga Negara Independen, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016,
hlm. 67.

7
kepada Abdul Azis, S.H., Abdul Kadir Wokanubun, S.H., Abdul Muttalib, S.H.,

Ahmad Irwandi Lubis, S.H., Alvon Kurnia Palma, S.H., Dasmy Delda, S.H.,

Donal Fariz, S.H., Carolina S Martha, S.H., Chairuddin, S.H., Era Purnama Sari,

S.H., Ema Ratna Ningsih, S.H., LL.M., Eti Gustina, S.H., M.H., Febri Diansyah,

S.H., Hospinovizal Sabri, S.H., Indra Firsada S.H., Irsyad Tamrin, S.H., M.H.,

M. Saiful Aris, S.H., M.H., M. Farid, S.H., Maharani Caroline, S.H., Mercy

Herman Umboh, S.H., Muslim Muis, S.H., Ni Luh Gede Yastini S.H., Nuriono,

S.H., Nurkholis Hidayat, S.H., Poniman, S.Hi., Roni Saputra, S.H., Siti Rahma

Mary, S.H., M.Si., Surya Adinata, S.H., Suryadi, S.H., Syamsul Munir, S.Hi.,

Syahrijal Munthe, S.H., Tandio Bawor Purbaya, S.H., Yurika N, S.H., Zulkifli

Hasanuddin, S.H., Wahrul Fauzi Silalahi, S.H. Kesemuanya adalah Advokat dan

Pengabdi Bantuan Hukum, yang tergabung dalam Tim Advokasi UU KPK, yang

memilih domisili hukum di jalan Diponegoro nomor 74 Jakarta Pusat. 11

Kemudian yang dimaksud dengan Termohon adalah Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) dan Pemerintah.

Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 34 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Menurut Para Pemohon Pasal 34 UU KPK tidak

memberikan kejelasan tafsir masa jabatan pimpinan pengganti KPK sehingga

11
Lihat, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

8
menimbulkan ketidakpastian hukum dan berdampak pada efektivitas kerja

pimpinan KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memberikan Putusan

Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:

1. Bahwa dalam Pasal 34 UU KPK dimaknai bahwa pimpinan KPK


berhenti secara bersaman. Dengan demikian, pimpinan pengganti
yang menggantikan anggota pimpinan yang berhenti dalam masa
jabatannya hanya bertindak sebagai pengganti antar waktu, karena itu
hanya melanjutkan masa jabatan anggota pimpinan yang digantikan
itu.
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
“kedaulatan berada ditangan rakyatdan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”. Terkandung makna bahwa penyelenggaraan
pemerintahan negara oleh organ-organ negara harus berdasarkan
konstitusi.
3. Bahwa menurut Mahkamah ketentuan Pasal 34 UU KPK sudah sangat
jelas dan tegas bahwa masa jabatan pimpinan KPK adalah empat
tahun, dan hal itu tidak menimbulkan persoalan konstitusionalitas.
4. Bahwa untuk menguji konstitusionalitas penafsiran yang benar atas
norma ketentuan Pasal 34 Undang- Undang a quo, Mahkamah
mendasarkan pada prinsip-prinsip umum yang terkandung dalam
konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil, prinsip persamaan
dan keadilan, prinsip kemanfastsn hukum, serta prinsip kepentingan
umum.
5. Bahwa menurut Mahkamah, jika anggota pimpinan KPK hanya
menduduki masa jabatan sisa dari anggota pimpinan yang
digantikannya, hal itu melanggar prinsip kemanfaatan yang mejadi
tujuan hukum.

9
6. Bahwa selain itu, menurut Mahkamah KPK adalah lembaga negara
independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain
melaksanakan sebagian fungsi yang terkait dengan kekuasaan
kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan serta melakukan supervisi atas penanganan perkara-
perkara korupsi yang dilakukan oleh istitusi negara yang lain.

Berdasarkan pertimbangan fakta dan hukum diatas, Mahkamah Konstitusi

berkesimpulan :

1. Mahakamh berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus


permohonan a quo;
2. Para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
3. Dalil-dalil permohonan para pemohon beralasan hukum.

Berdasarkan Pertimbangan diatas, maka Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

adalah menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XI/2013 Pemohon

Mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. M. Farhat Abbas,

S.H.,M.H., Narliswandi Piliang Alias Iwan Piliang sebagai pemohon.

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus, bertanggal 15 April 2015 memberikan kuasa

kepada Windu Wijaya, SH., Vera Tobing, SH., M.Hum., Hazmin, A. ST., Muda,

SH., Muhammad Zakir, SH., Handy Wira Utama, SH., Rezky, SH., dan Fedhli

Faisal, SH. Kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum yang memilih

10
12
domisili hukum di kantor Farhat Abbas & Rekan. Kemudian yang dimaksud

dengan Termohon adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah.

Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 21 ayat (5)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Para Pemohon Pasal 21 ayat (5) UU

KPK telah secara nyata dan potensial telah menimbulkan kerugian konstitusional

bagi para pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum. Dalam pasal 21 ayat

(5) UU KPK terdapat frasa “bekerja secara kolektif kolegial” frasa inilah yang

membuat hambatan kerja bagi pimpinan KPK. Dalam hal ini, ketika semua

pimpinan KPK mengambil keputusan dan terjadi perbedaan keputusan maka akan

menghambat upaya pemberantasan korupsi sehingga pengambilan keputusan

yang kolektif kolegial ini tidak memiliki kedayagunaan untuk mempercepat

pemberantasan korupsi.

Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memberikan Putusan

Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:

1. Bahwa Pasal 21 ayat (5) UU KPK mengandung kelemahan dari


sebuah konsep keputusan yang berdasarkan kolektif kolegial dan pasal
21 ayat (5) UU KPK tidak mengandung kepastian hukum.

12
Lihat, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XI/2013tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

11
2. Keputusan berdasarkan kolektif kolegial yang ditentukan dalam pasal
21 ayat (5) UU KPK tidak berlandaskan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan, melanggar asas kepatutan dan
keadilan bagi warga negara yang bertujuan untuk cepat membebaskan
Negara Indonesia dari perbuatan tindak pidana korupsi yang sudsh
membudaya di kalangan politisi, pejabat, dan birokrasi.
3. Bahwa pengambilan keputusan oleh pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi tidak harus dimaknai disetujui secara bersama-sama oleh
seluruh Pimpinan komisi Pemberantasan Korupsi melainkan bila tidak
ada musyawarah untuk mufakat maka pengambilan keputusan dapat
dilakukan berdasarkan suara terbanyak sehingga dapat menjamin
kepastian hukum.
4. Bahwa KPK adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-
Undang dan merupakan lembaga yang tidak secara tegas
diperintahkan pembentukannya oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945. Pembentukan lembaga yang terkait
dengan fungsi kekuasaan kehakiman termasuk KPK mempunyai
landasan konstitusional pada pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
5. Bahwa menurut Mahkamah dali-dalil para pemohon mengenai
pengujian konstitusionalitas Pasal 21 ayat (5) UU KPK tidak
beralasan menurut hukum.

Berdasarkan pertimbangan fakta dan hukum diatas, Mahkamah Konstitusi

berkesimpulan :

1. Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;


2. Para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
3. Dalil – dalil para Pemohon tidak beralasan hukum.

Berdasarkan Pertimbangan diatas, maka Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

adalah menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

12
Sedangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-

XV/2017 Pemohon Mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah

oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut

UU MD3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Achmad Saifudin Firdaus, S.H., Bayu Segara, S.H., Yudhistira Rifky

Darmawan, Tri susilo, S.H., M.H. sebagai pemohon. Berdasarkan Surat Kuasa

Khusus, bertanggal 19 Juni 2017 memberikan kuasa kepada Syaugi Pratama,

S.H., M.Si. (Han)., Okta Heriawan, S.H., Victor Santoso Tandiasa, S.H., M.H.,

dan Kurniawan, S.H. Kesemuanya adalah Advokat yang memilih domisili hukum

di law firm 218 & partners.13 Kemudian yang dimaksud dengan Termohon

adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah.

Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 79 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang

perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,

dan DPRD terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 20A ayt (2), dan Pasal 28D ayat (1).

Menurut Para Pemohon Pasal 79 ayat (3) UU MD3 terdapat frasa “pelaksanaan

suatu Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah” dalam norma a quo

bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat karena Negara Indonesia


13
Lihat, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah
oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

13
menganut paham negara hukum yang menjadikan semua tindakan lembaga

penyelenggara negara harus berdasarkan hukum yang berlaku agar tidak

menyebabkan kesewenang-wenangan.

Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memberikan Putusan

Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan

DPRD sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014

tentang perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,

DPD, dan DPRD sebagai berikut:

1. Bahwa menurut Mahkamah tidaklah dapat dijadikan landasan untuk


menyatakan Hak Angket DPR tidak meliputi KPK sebagai lembaga
independen, karena secata tekstual jelas bahwa KPK adalah organ
atau lembaga yang termasuk eksekutif dan pelaksana Undang-Undang
di bidang penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi.
2. Bahwa menurut Mahkamah tidak terdapat masalah konstitusionalitas
dalam norma yang dimohonkan pengujian a quo.
3. Bahwa menurut Mahkamah dalil para pemohon menyangkut
inkonstitusionalitas Pasal 79 ayat (3) UU 17/2014 khususnya frasa
“pelaksanaan suatu Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah”
tidak beralasan menurut hukum.

Berdasarkan pertimbangan fakta dan hukum diatas, Mahkamah Konstitusi

berkesimpulan :

1. Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;


2. Para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo;
3. Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum.

Berdasarkan Pertimbangan diatas, maka Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

dalam pokok permohonan adalah menolak permohonan para pemohon.

14
Dari uraian yang telah dikemukakan diatas, maka penulis mendapatkan isu

hukum, yakni adanya aturan yang terdapat pada Undang-undang No.30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Pasal 34 dan

Pasal 21 ayat (5) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No.17 Tahun 2014

tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah oleh Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yaitu pasal 79 ayat (3)

bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 20A ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1)

terkait dengan status kedudukan lembaga KPK dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia. Pengujian dari undang-undang tersebut telah diputus oleh Mahakamah

Konstitusi, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan analisis

terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang dianggap penulis tidak

konstitusionalisme.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem

Ketatanegaraan Indonesia setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan dua

putusan yang berbeda?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut :

15
1. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan Komisi Pemberantasan

Korupsi dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia setelah Mahkamah

Konstitusi Mengeluarkan dua putusan yang berbeda.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis diharapkan dapat menambah wawasan penulis dengan

mengembangkan cakrawala berpikir penulis. Dalam hal ini menyangkut

tentang Mahkamah Konstitusi dan kewenangannya dalam hal menguji

Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan kedudukan

lembaga KPK dalam sistem ketatanegaraan indonesia.

2. Bagi masyarakat dan khalayak umum, penelitian ini diharapkan dapat

meningkatkan kesadaran hukum masyarakat agar dapat berpartisipasi

dalam proses perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan hak-hak warga

negara.

3. Bagi Mahkamah Konstitusi, tulisan ini diharapkan dapat menjadi masukan

untuk memperkuat kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga

yang diberikan tugas untuk menjaga nilai-nilai yang termuat di dalam

konstitusi sebagai hukum tertinggi di Indonesia.

4. Bagi ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Hukum Tata Negara, tulisan ini

dapat dijadikan penambah literatur dalam memperluas pengetahuan hukum

masyarakat serta dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Hukum

16
Tata Negara, khususnya pengetahuan mengenai Mahkamah Konstitusi dan

kedudukan lembaga KPK itu sendiri.

E. Kerangka Pemikiran

1. Teori Konstitusi

Menurut Rukmana Amanwinata, istilah “konstitusi” dalam bahasa

Indonesia antara lain berpadanan dengan kata “constitution” (bahasa Inggris),

“constitutie” (bahasa Belanda), “constitutional” (bahasa Perancis), “Verfassung”

(bahasa Jerman), “constitutio” (bahasa Latin). Istilah Konstitusi menurut Wirjono

Prodjodikoro berasal dari kata kerja “constituer” (Perancis) yang berarti

membentuk, jadi konstitusi berarti pembentukan.14 Dalam hal ini yang dibentuk

adalah suatu negara, maka konstitusi mengandung permulaan dari segala macam

peraturan pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan

besar yang bernama negara.15 Dalam pada itu istilah “Undang-Undang Dasar”

adalah terjemahan dari bahasa Belanda Grondwet, Grond mengandung arti

dasar/tanah dan wet artinya undang-undang. Perkataan “grondwet” dipergunakan

oleh Gijsbert Karel Van Hogendrop dalam tahun 1813 untuk menggantikan istilah

“staatsregeling”.16

Dikalangan ahli kenegaraan, ada yang mengartikan konstitusi sama dengan UUD,

namun adapula yang memberi makna bahwa UUD hanya salah satu bagian dari

konstitusi. Karena konstitusi sebagai suatu istilah yang pada mulanya berkembang

14
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta,
1989,hlm. 10.
15
C.A.J.M. Kortmann, Constitutionalrecht, dalam Taufiqurrohman Syahuri, Hukum
Kostitusi proses dan prosedur perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, Ghali Indonesia, Jakarta,
2004, hlm. 29.
16
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem ..., hlm.2.

17
di Eropa, sebab itu perlu ditelusuri dari pendapat para ahli konstitusi Eropa.17 Pada

umumnya para ahli konstitusi Eropa mengadakan pembedaan antara konstitusi

dalam arti formil dan konstitusi dalam arti materiil. Pembedaan ini pertama

dibedakan oleh Georg Jellinek, yang dikembangkan dari Paul Laband yang

membedakan antara undang-undang dalam arti formal dan undang-undang dalam

arti materiil. Herman Heller dan E Lassalle termasuk ahli yang membedakan

antara konstitusi dan UUD, UUD hanya sebagian dari konstitusi.

Ada keterkaitan secara historis antara pengertian secara luas dan secara

sempit, pengertian konstitusi dalam arti luas yang dikemukakan oleh Bolingbroke

merupakan makna yang tua, namun dalam perkembangannya, pengertian

konstitusi lebih mengarah pada suatu dokumen tertulis yang menjadi ciri hampir

semua konstitusi di dunia.

K.C. Wheare, mengemukakan bahwa pengertian konstitusi biasanya

dipahami dalam arti luas dan dalam arti sempit, dalam perspektif politik konstitusi

diartikan dalam arti luas, yaitu untuk menggambarkan seluruh sistem

ketatanegaraan suatu negara, kumpulan peraturan itu sebagian yang bersifat legal

dan sebagian lagi yang bersifat ekstra-legal berupa kebiasaan, persetujuan, adat

atau konvensi. Dalam arti sempit, kata konstitusi menurut K.C Wheare, bukan

digunakan untuk menggambarkan seluruh kumpulan peraturan, baik legal maupun

non-legal, tetapi hasil seleksi dari peraturan-peraturan yang biasanya terwujud

dalam suatu dokumen atau dalam beberapa dokumen yang terkait secara erat. 18

17
A.S.S. Tambunan, Hukum Tata Negara Perbandingan, Puporis Publisher, Jakarta, 2001,
hlm.15.
K.C. Wheare, Modern Constitutions, Oxford University Press, London-New York-
18

Toronto, 1975, hlm. 1.

18
Berdasarkan pengamatannya, Ia menyimpulkan bahwa disebagian besar negara

didunia, kecuali Inggris, kata kostitusi dipergunakan dalam arti sempit, karena

itulah dalam tulisannya Ia juga termasuk ahli yang memberi arti konstitusi dalam

arti sempit.19

Secara umum pengertian konstitusi yang dikemukakan para ahli sama,

bahwa konstitusi dibuat untuk mengatur pembagian dan pembatasan kekuasaan

dalam negara, mengatur perlindungan konstitusionalitas HAM, dan mengatur

hubungan antara penguasa dan rakyat.

Fungsi kosntitusi menurut Hene van Maarseven dan Ger van der Tang

adalah:20

a.Ideological function.
b.Nationalistic function.
c.Structuring function.
d.Rationalizing function.
e.Public relations function.
f.Registration function.
g.Symbol function.
h.Barrier function.

Menurut Jimly Asshiddiqie, fungsi konstitusi dapat dirinci sebagai berikut:21


a.Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.
b.Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara.
c.Fungsi pengatur hubungan antar organ negara dengan warga negara.
d.Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara
ataupun kegiatan penyelengaraan kekuasaan negara,

19
.K.C. Wheare, Modern Constitutions, Oxford University Press, London-New York-
Toronto, 1975, hlm. 2
20
Henc van Maarseven & Ger van der Tang , Wrriten Constitutions – A Computerized
Comparative Study, Oceana Publications, Inc, Dobs Ferry, New York, 1978, hlm. 274.
21
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005, hlm. 33-34.

19
e.Fungai penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang
asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara.
f.Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity).
g.Fungsi simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan
(identity of nation).
h.Fungsi simbolik sebagai pusat upacara (center of ceremony).
i.Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control), baik
dalam arti sempit hanya di bidang politik maupun dalam arti luas
mncakup bidang sosial dan ekonomi.
j.Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan (social engineering
atau social reform), baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas.
Lebih lanjut lagi, Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa Konstitusi

adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu

negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-

Undang Dasar dan dapat pula tidak tertulis.22

M. Solly Lubis mengemukakan Undang-Undang Dasar adalah sumber

utama dari norma-norma hukum tata negara. Undang-Undang Dasar memuat

norma-norma yang mengatur struktur pemerintahan negara. 23 Kemudian, Undang-

Undang Dasar itu sendiri selain merupakan dasar daripada semua peraturan

(tertulis) yang ada, maka ia merupakan pula sumber (mengalirnya) peraturan

perundang-undangan terutama apabila kita lihat dari segi materi yang diatur. 24

Oleh karena itu, di dalam suatu negara yang memiliki konstitusi, konstitusi

diharapkan menjadi dasar dari penyelenggaraan negara tersebut.

Kemudian G.S Diponolo mengemukakan, dalam negara konstitusional modern

hukum yang tertinggi adalah jukum dasar atau konstitusi yang dibuat oleh suatu

22
Jimly Asshidiqie, Memuju Negara Hukum yang Demokrasi, PT.Bhuana Ilmu Populer
Kelompok Gramedia, Jakarta, 2009, hlm. 158.
23
M.Solly Lubis, SH., Asas-asas Hukum Tata Negara, cetakan kedua (cetakan pertama
tahun 1976), PT. Alumni Bandung, 1978, hlm. 48-49.
24
Lihat Padmo Wahjono,., Pembangunan Hukum Di Indonesia, IndHiil-co., Jakarta, 1989,
hlm. 63, sebagaimana dikutip oleh Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Loc.cit. hlm. 360.

20
badan yang khusus dibentuk untuk keperluan itu dan disebut Majelis pebuatan

Undang-Undang Dasar atau konstituante atau konvensi nasional. Dalam Republik

Indonesia badan yang beroleh wewenang demikian adalah Majelis

Permusyawaratan Rakyat. Hukum Dasar adalah hukum tertinggi, karena ia

merupakan dasar landasan bagi seluruh organisasi negara dan pemerintahannya.

Segala hukum, segala undang-undang peraturan apapun harus berpedoman pada

hukum dasar itu. Adapun hukum biasa, yang terdiri atas rangkaian undang-

undang, dibuat oleh badan legislatur biasa, yang umumnya disebut Dewan

Perwakilan Rakyat atau Parlemen.25

Demikianlah, bahwa dalam suatu negara dengan pemerintahan yang

konstitusional, konstitusi merupakan sumber hukum, dan menjadi hukum tertinggi

di negara tersebut, dimana aturan-aturan yang dibuat berdasarkan dan berada

dibahwa konstitusi tidak boleh bertentangan dengan konstitusi yang berisi nilai-

nilai hukum masyarakat serta berfungsi untuk membatasi kekuasaan pemerintah

dan memberikan jaminan hak kepada warga negara.

2. Teori Hak Asasi Manusia

Membicarakan hak asasi manusia (HAM)26 berarti membicarakan dimensi

kehidupan manusia. HAM, ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan

kebaikan dari negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. 27

25
Lihat G.S. Diponolo, Ilmu Negara, op.cit, hlm. 160-161.
26
Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 334.
27
Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2001), hlm.121.

21
Pengakuan atas eksistensi manusia menandakan bahwa manusia sebagai makhluk

hidup adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT yang patut

memperoleh aspirasi secara positif.

Namun penting bagi kita, yang hidup pada saat konsepsi HAM telah berkembag

sedemikian rupa bahwa dewasa ini HAM telah menjadi objek kajian yang

menarik. HAM terus berkembang seiring perkembangan wajah dan tuntutan diri

manusia itu sendiri yang cenderung dipengaruhi oleh lokalitas lingkungan diri dan

masyarakatnya. Karena itu juga, sekalian pengaruh yang berada disekitar wacana

HAM layak dipertimbangkan sebagai kesatuan kajian agar pemahaman yang utuh

tentang HAM dapat diperoleh.

Dalam tataran konseptual,28 HAM mengalami proses perkembangan yang sangat

kompleks. HAM adalah puncak konseptualisasi manusia tentang dirinya sendiri.

Oleh karena itu, jika disebutkan sebagai konsepsi, maka itu berarti pula sebuah

upaya maksimal dalam melakukan formulasi pemikiran strategis tentang hak dasar

yang dimiliki manusia. Perbincangan itu sulit dipisahkan dari sejarah manusia dan

peradabannya.29

HAM merupakan hak yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia. Meskipun

kemunculan HAM adalah sebagai respons dan reaksi atas berbagai tindakan yang

mengancam kehidupan manusia, namun sebagai hak, maka HAM pada hakikatnya

telah ada ketika manusia itu ada di muka bumi. Dengan kata lain, wacana HAM

28
Lihat A.Masyhur Effendi, Tempat Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Internasional/Nasional, (Bandung: Alumni 1980), hlm. 17.
29
Lihat Dante C. Simbulan, “Perjuangan Hak-hak Asasi Manusia”, dalam Prisma
(Jakarta: LP3ES, No. 12 Desember 1979), hlm. 49.

22
bukanlah berarti menafikan eksistensi hak-hak asasi yang sebelumnya memang

telah diakui oleh manusia itu sendiri secara universal.

Dalam perkembangan kehidupan berbangsa, konstitusi merupakan pilihan terbaik

dalam memberi ikatan ideologis antara yang berkuasa dengan yang dikuasai

(rakyat). Konstitusi hadir sebagai “kata kunci” kehidupan masyarakat modern.

Maka, sebagai bagian yang terpenting dalam kehidupan bernegara, konstitusi

sekaligus mencerminkan hubungan yang signifikan antara pemerintah dan rakyat.

Tidak dapat dinafikan, karenanya, konstitusi kemudian berisikan poin-poin

mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali persoalan

HAM. Konstitusi merupakan social contract antara yang diperintah (rakyat)

dengan yang memerintah (penguasa, pemerintah).

Manusia memiliki hak yang dibatasi untuk kepentingan masyarakat, yang tidak

lain hanyalah untuk kepentingan manusia itu sendiri yang menurut tabiatnya ia

sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial yang berinteraksi

dengan sesamanya. Sebagian hak tersebut dianggap asasi dan vital yang disebut

hak-hak manusia. Hal itu sebagai penghargaan dan penghormatan atas martabat

manusia dan nilai-nilai substantif kemanusiaan.

Secara umum, hak-hak manusia menghendaki ditetapkannya kaidah-kaidah umum

dalam sistem konstitusi dan perundang-undangan serta hal-hal yang harus diikuti

dalam pelaksanaannya. Hak tersebut tidak dapat diketahui batasannya dengan

konkret dan definitif, karena berkisar disekitar prinsip kebebasan dan prisip

persamaan. Sebab itu senantiasa menjadi arena perbedaan pendapat dan

pertentangan paham serta teori yang berbeda-beda. Penyebabnya bermaura pada

23
pengertian dan batasan-batasan yang relatif serta dipengaruhi oleh aliran

pemikiran, kepercayaan, adat-istiadat, kondisi dan situasi.

Maka Undang-Undang Dasar (UUD) berperan penting sebagai hukum dasar bagi

sebuah negara. UUD merupakan referensi terpenting bagi kehidupan dan

mekanisme ketatanegaraan. Sebagai konstitusi tertulis, UUD umumnya berisikan

latar belakang hasrat bernegara, landasan filosofi kenegaraan, tujuan negara,

stuktur organisasi dan mekanisme pemerintahan negara yang diinginkan oleh

bangsa yang mendirikan dan mempertahankan negara itu.30

Demikianlah, dalam suatu negara dengan pemerintahan yang kosntitusional,

konstitusi merupakan sumber hukum tertinggi, maka konstitusi harus melihat hak-

hak setiap warga negara yang telah diatur dalam konstitusi itu sendiri.

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian yuridis normatif. Adapun dalam penelitian ini, penulis akan meneliti

permasalahan konstitusional putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan

kedudukan lembaga KPK dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia, dimana

penelitian tersebut menggunakan bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum

primer dan sekunder.

30
Lihat Dahlan Thaib, et.al, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2001), hlm. 16-17.

24
Penelitian hukum normatif ini mencakup:

a) Penelitian terhadap asas-asas hukum.

b) Infentarisasi undang-undang.

c) Penelitian terhadap sistematika hukum.

d) Perbandingan hukum.

e) Sejarah hukum.31

2. Pendekatan Masalah

Adapun dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan historis

(historical aproach), untuk menjelaskan bagaimana sejarah perkembangan

Mahkamah Konstitusi dari waktu ke waktu, dan memahami makna filosofi dari

pembentukan Mahkamah Konstitusi, penulis juga menggunakan pendekatan

konseptual (conseptual aproach) untuk menjelaskan bagaimana pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum mengenai lembaga KPK,

kemudian pendekatan perundang-undangan (statute approach) pendekatan

tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan

dengan tema sentral penelitian.

3. Analisis Bahan Hukum

Penelitian ini adalah penelitian normatif maka yang digunakan adalah

bahan hukum, uraian tentang bahan hukum dikaji meliputi beberapa hal berikut.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

a) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri atas peraturan

perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki Undang-Undang

31
Soerjono soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: suatu tinjauan
singkat, edisi pertama, cetakan kelima. Jakarta: PT. Rsdjs Grafindo Persada, 2001.

25
Dasar, Tap MPR, Undang-Undang (UU)/ Peraturan Pengganti Undang-

Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden

(Perpres), Peraturan Daerah (Perda). Bahan hukum primer yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

Tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang –

Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014

tentang perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

b) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder juga

terdiri atas buku-buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum

yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat

para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil

siposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian. Bahan

hukum sekunder yang digunakan adalah Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor Nomor 5/PUU-IX/2011, Nomor 49/PUU-XI/2013, dan Nomor

36/PUU-XV/2017. dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan

Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,

26
dan DPRD sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 42

Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

c) Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan hukum yang dapat

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan sekunder, seperti : kamus-kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

4. Teknik Analisis

Bahan-bahan hukum yang berhasil dikumpulkan diidentifikasi sesuai dengan

permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Selanjutnya dilakukan

sistematisasi bahan hukum, kemudian terakhir diberikan interpretasi bagaimana

hukumnya dalam bentuk argumentasi hukum.

27

Anda mungkin juga menyukai