disebut UUD NRI Tahun 1945) merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan
hukum dasar Indonesia dimasa depan. Sebagai hukum dasar, perumusan isinya
disusun secara sitematis mulai dari prinsip-prinsip yang bersifat umum dan
cabangnya yang disusun secara berurutan. Konstitusi adalah hukum dasar yang
dijadikan pegangan dalam penyelengaraan suatu negara. Oleh karena itu, Undang-
(Selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), telah menimbulkan perubahan yang
mendasar dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Salah satu hasil yang jelas
terlihat dengan adanya perubahan terhadap UUD NRI 1945 adalah dengan
1
Mahkamah Konstitusi tersebut telah menjadikan praktek demokrasi konstitusional
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai organ konstitusi, lembaga
untuk menjadi pengawal atau penjaga konstitusi (the guardian of constitution) dan
ketiga UUD NRI 1945 yang di sahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan
diuraikan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai berikut:
pada setiap negara memiliki latar belakang yang beragam, namun secara umum
adalah berawal dari suatu proses perubahan politik kekuasaan yang otoriter
2
menuju negara yang demokratis tidak bisa dihindari munculnya pertentangan
Pasal 24 ayat (2) Perubahan ketiga UUD 1945 menetapkan bahwa kekuasaan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di dalamnya
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum
dan keadilan sebagaimana dimaktub dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945.
seperti halnya dalam sistem hukum Anglo Saxon, tetapi berdiri sendiri serta
3
dikatakan bahwa dengan adanya perubahan UUD 1945, maka selain Mahkamah
Secara umum, kewenangan Mahkamah Konstitusi telah jelas diatur dalam Pasal
24C ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa :
Wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur lagi dalam Pasal
bahwa :
4
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, salah satunya adalah
di kepaniteraan MK..8
diakui pula bahwa ide pengujian konstitusional (contitutional review) itu memang
pengujian Formal dan pengujian materiil. Pengujian secara formal secara singkat
disebut dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a, yang menyatakan pemohon wajib
1945”. Pengujian secara formal akan dilakukan pengujian atas dasar kewenangan
dalam pembentukan UU dan prosedur yang harus ditempuh dari tahap drafting
8
Prof. Dr. H. Abdul Latif, S.H., M.H, dkk, 2009, Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, hlm. 29.
9
Prof. Dr. H. Abdul Latif, S.H., M.H, dkk, 2009, Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, hlm.9
5
sampai dengan pengumuman dalam Lembaran Negara yang harus menuruti
ketentuan yang berlaku untuk itu. Pengujian formal adalah pengujian undang-
Tahun 2003 mengatur tentang uji materil muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
Yang diuji boleh juga hanya ayat, pasal tertentu atau bagian undang-undang saja
dengan konsekuensi hanya bagian, ayat dan pasal tertentu saja yang dianggap
mengikat secara hukum hanya sepanjang mengenai ayat, pasal dan bagian tertentu
Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
Indonesia Tahun 1945 dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan
yaitu Pasal 34 terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
6
Republik Indonesia Tahun 1945 (Putusan MK No.5/PUU-IX/2011), Pasal 21 ayat
(5) UU No. 30 Tahun 2002 terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
Pasal 79 ayat (3) UU No. 42 Tahun 2014 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 20A ayat
(2), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Hal yang menarik untuk disimak adalah bahwa dalam putusannya kali ini MK
selaku pengawal konstitusi memberikan dua putusan yang berbeda terhadap status
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK
Republik Indonesia Tahun 1945. Feri Amsari, S.H., M.H., Ardisal, S.H., Drs.
(ICW) dalam hal ini diwakili oleh Danang Widyoko sebagai Pemohon.
10
Zainal Arifin Mochtar, Lembaga Negara Independen, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016,
hlm. 67.
7
kepada Abdul Azis, S.H., Abdul Kadir Wokanubun, S.H., Abdul Muttalib, S.H.,
Ahmad Irwandi Lubis, S.H., Alvon Kurnia Palma, S.H., Dasmy Delda, S.H.,
Donal Fariz, S.H., Carolina S Martha, S.H., Chairuddin, S.H., Era Purnama Sari,
S.H., Ema Ratna Ningsih, S.H., LL.M., Eti Gustina, S.H., M.H., Febri Diansyah,
S.H., Hospinovizal Sabri, S.H., Indra Firsada S.H., Irsyad Tamrin, S.H., M.H.,
M. Saiful Aris, S.H., M.H., M. Farid, S.H., Maharani Caroline, S.H., Mercy
Herman Umboh, S.H., Muslim Muis, S.H., Ni Luh Gede Yastini S.H., Nuriono,
S.H., Nurkholis Hidayat, S.H., Poniman, S.Hi., Roni Saputra, S.H., Siti Rahma
Mary, S.H., M.Si., Surya Adinata, S.H., Suryadi, S.H., Syamsul Munir, S.Hi.,
Syahrijal Munthe, S.H., Tandio Bawor Purbaya, S.H., Yurika N, S.H., Zulkifli
Hasanuddin, S.H., Wahrul Fauzi Silalahi, S.H. Kesemuanya adalah Advokat dan
Pengabdi Bantuan Hukum, yang tergabung dalam Tim Advokasi UU KPK, yang
Korupsi terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
11
Lihat, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8
menimbulkan ketidakpastian hukum dan berdampak pada efektivitas kerja
9
6. Bahwa selain itu, menurut Mahkamah KPK adalah lembaga negara
independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain
melaksanakan sebagian fungsi yang terkait dengan kekuasaan
kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan serta melakukan supervisi atas penanganan perkara-
perkara korupsi yang dilakukan oleh istitusi negara yang lain.
berkesimpulan :
kepada Windu Wijaya, SH., Vera Tobing, SH., M.Hum., Hazmin, A. ST., Muda,
SH., Muhammad Zakir, SH., Handy Wira Utama, SH., Rezky, SH., dan Fedhli
Faisal, SH. Kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum yang memilih
10
12
domisili hukum di kantor Farhat Abbas & Rekan. Kemudian yang dimaksud
Pidana Korupsi terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Para Pemohon Pasal 21 ayat (5) UU
KPK telah secara nyata dan potensial telah menimbulkan kerugian konstitusional
bagi para pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum. Dalam pasal 21 ayat
(5) UU KPK terdapat frasa “bekerja secara kolektif kolegial” frasa inilah yang
membuat hambatan kerja bagi pimpinan KPK. Dalam hal ini, ketika semua
pimpinan KPK mengambil keputusan dan terjadi perbedaan keputusan maka akan
pemberantasan korupsi.
12
Lihat, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XI/2013tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
11
2. Keputusan berdasarkan kolektif kolegial yang ditentukan dalam pasal
21 ayat (5) UU KPK tidak berlandaskan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan, melanggar asas kepatutan dan
keadilan bagi warga negara yang bertujuan untuk cepat membebaskan
Negara Indonesia dari perbuatan tindak pidana korupsi yang sudsh
membudaya di kalangan politisi, pejabat, dan birokrasi.
3. Bahwa pengambilan keputusan oleh pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi tidak harus dimaknai disetujui secara bersama-sama oleh
seluruh Pimpinan komisi Pemberantasan Korupsi melainkan bila tidak
ada musyawarah untuk mufakat maka pengambilan keputusan dapat
dilakukan berdasarkan suara terbanyak sehingga dapat menjamin
kepastian hukum.
4. Bahwa KPK adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-
Undang dan merupakan lembaga yang tidak secara tegas
diperintahkan pembentukannya oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945. Pembentukan lembaga yang terkait
dengan fungsi kekuasaan kehakiman termasuk KPK mempunyai
landasan konstitusional pada pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
5. Bahwa menurut Mahkamah dali-dalil para pemohon mengenai
pengujian konstitusionalitas Pasal 21 ayat (5) UU KPK tidak
beralasan menurut hukum.
berkesimpulan :
12
Sedangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-
17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut
1945. Achmad Saifudin Firdaus, S.H., Bayu Segara, S.H., Yudhistira Rifky
Darmawan, Tri susilo, S.H., M.H. sebagai pemohon. Berdasarkan Surat Kuasa
S.H., M.Si. (Han)., Okta Heriawan, S.H., Victor Santoso Tandiasa, S.H., M.H.,
dan Kurniawan, S.H. Kesemuanya adalah Advokat yang memilih domisili hukum
di law firm 218 & partners.13 Kemudian yang dimaksud dengan Termohon
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
dan DPRD terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 20A ayt (2), dan Pasal 28D ayat (1).
Menurut Para Pemohon Pasal 79 ayat (3) UU MD3 terdapat frasa “pelaksanaan
13
menganut paham negara hukum yang menjadikan semua tindakan lembaga
menyebabkan kesewenang-wenangan.
Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
berkesimpulan :
14
Dari uraian yang telah dikemukakan diatas, maka penulis mendapatkan isu
hukum, yakni adanya aturan yang terdapat pada Undang-undang No.30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Pasal 34 dan
Pasal 21 ayat (5) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No.17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah oleh Undang-
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yaitu pasal 79 ayat (3)
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 20A ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1)
konstitusionalisme.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
C. Tujuan Penelitian
15
1. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan Komisi Pemberantasan
D. Manfaat Penelitian
dalam proses perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan hak-hak warga
negara.
4. Bagi ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Hukum Tata Negara, tulisan ini
16
Tata Negara, khususnya pengetahuan mengenai Mahkamah Konstitusi dan
E. Kerangka Pemikiran
1. Teori Konstitusi
membentuk, jadi konstitusi berarti pembentukan.14 Dalam hal ini yang dibentuk
adalah suatu negara, maka konstitusi mengandung permulaan dari segala macam
besar yang bernama negara.15 Dalam pada itu istilah “Undang-Undang Dasar”
oleh Gijsbert Karel Van Hogendrop dalam tahun 1813 untuk menggantikan istilah
“staatsregeling”.16
Dikalangan ahli kenegaraan, ada yang mengartikan konstitusi sama dengan UUD,
namun adapula yang memberi makna bahwa UUD hanya salah satu bagian dari
konstitusi. Karena konstitusi sebagai suatu istilah yang pada mulanya berkembang
14
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta,
1989,hlm. 10.
15
C.A.J.M. Kortmann, Constitutionalrecht, dalam Taufiqurrohman Syahuri, Hukum
Kostitusi proses dan prosedur perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, Ghali Indonesia, Jakarta,
2004, hlm. 29.
16
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem ..., hlm.2.
17
di Eropa, sebab itu perlu ditelusuri dari pendapat para ahli konstitusi Eropa.17 Pada
dalam arti formil dan konstitusi dalam arti materiil. Pembedaan ini pertama
dibedakan oleh Georg Jellinek, yang dikembangkan dari Paul Laband yang
arti materiil. Herman Heller dan E Lassalle termasuk ahli yang membedakan
Ada keterkaitan secara historis antara pengertian secara luas dan secara
sempit, pengertian konstitusi dalam arti luas yang dikemukakan oleh Bolingbroke
konstitusi lebih mengarah pada suatu dokumen tertulis yang menjadi ciri hampir
dipahami dalam arti luas dan dalam arti sempit, dalam perspektif politik konstitusi
ketatanegaraan suatu negara, kumpulan peraturan itu sebagian yang bersifat legal
dan sebagian lagi yang bersifat ekstra-legal berupa kebiasaan, persetujuan, adat
atau konvensi. Dalam arti sempit, kata konstitusi menurut K.C Wheare, bukan
dalam suatu dokumen atau dalam beberapa dokumen yang terkait secara erat. 18
17
A.S.S. Tambunan, Hukum Tata Negara Perbandingan, Puporis Publisher, Jakarta, 2001,
hlm.15.
K.C. Wheare, Modern Constitutions, Oxford University Press, London-New York-
18
18
Berdasarkan pengamatannya, Ia menyimpulkan bahwa disebagian besar negara
didunia, kecuali Inggris, kata kostitusi dipergunakan dalam arti sempit, karena
itulah dalam tulisannya Ia juga termasuk ahli yang memberi arti konstitusi dalam
arti sempit.19
Fungsi kosntitusi menurut Hene van Maarseven dan Ger van der Tang
adalah:20
a.Ideological function.
b.Nationalistic function.
c.Structuring function.
d.Rationalizing function.
e.Public relations function.
f.Registration function.
g.Symbol function.
h.Barrier function.
19
.K.C. Wheare, Modern Constitutions, Oxford University Press, London-New York-
Toronto, 1975, hlm. 2
20
Henc van Maarseven & Ger van der Tang , Wrriten Constitutions – A Computerized
Comparative Study, Oceana Publications, Inc, Dobs Ferry, New York, 1978, hlm. 274.
21
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005, hlm. 33-34.
19
e.Fungai penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang
asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara.
f.Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity).
g.Fungsi simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan
(identity of nation).
h.Fungsi simbolik sebagai pusat upacara (center of ceremony).
i.Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control), baik
dalam arti sempit hanya di bidang politik maupun dalam arti luas
mncakup bidang sosial dan ekonomi.
j.Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan (social engineering
atau social reform), baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas.
Lebih lanjut lagi, Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa Konstitusi
negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-
Undang Dasar itu sendiri selain merupakan dasar daripada semua peraturan
perundang-undangan terutama apabila kita lihat dari segi materi yang diatur. 24
Oleh karena itu, di dalam suatu negara yang memiliki konstitusi, konstitusi
hukum yang tertinggi adalah jukum dasar atau konstitusi yang dibuat oleh suatu
22
Jimly Asshidiqie, Memuju Negara Hukum yang Demokrasi, PT.Bhuana Ilmu Populer
Kelompok Gramedia, Jakarta, 2009, hlm. 158.
23
M.Solly Lubis, SH., Asas-asas Hukum Tata Negara, cetakan kedua (cetakan pertama
tahun 1976), PT. Alumni Bandung, 1978, hlm. 48-49.
24
Lihat Padmo Wahjono,., Pembangunan Hukum Di Indonesia, IndHiil-co., Jakarta, 1989,
hlm. 63, sebagaimana dikutip oleh Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Loc.cit. hlm. 360.
20
badan yang khusus dibentuk untuk keperluan itu dan disebut Majelis pebuatan
hukum dasar itu. Adapun hukum biasa, yang terdiri atas rangkaian undang-
undang, dibuat oleh badan legislatur biasa, yang umumnya disebut Dewan
dibahwa konstitusi tidak boleh bertentangan dengan konstitusi yang berisi nilai-
kehidupan manusia. HAM, ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan
25
Lihat G.S. Diponolo, Ilmu Negara, op.cit, hlm. 160-161.
26
Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 334.
27
Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2001), hlm.121.
21
Pengakuan atas eksistensi manusia menandakan bahwa manusia sebagai makhluk
hidup adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT yang patut
Namun penting bagi kita, yang hidup pada saat konsepsi HAM telah berkembag
sedemikian rupa bahwa dewasa ini HAM telah menjadi objek kajian yang
menarik. HAM terus berkembang seiring perkembangan wajah dan tuntutan diri
manusia itu sendiri yang cenderung dipengaruhi oleh lokalitas lingkungan diri dan
masyarakatnya. Karena itu juga, sekalian pengaruh yang berada disekitar wacana
HAM layak dipertimbangkan sebagai kesatuan kajian agar pemahaman yang utuh
Oleh karena itu, jika disebutkan sebagai konsepsi, maka itu berarti pula sebuah
upaya maksimal dalam melakukan formulasi pemikiran strategis tentang hak dasar
yang dimiliki manusia. Perbincangan itu sulit dipisahkan dari sejarah manusia dan
peradabannya.29
HAM merupakan hak yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia. Meskipun
kemunculan HAM adalah sebagai respons dan reaksi atas berbagai tindakan yang
mengancam kehidupan manusia, namun sebagai hak, maka HAM pada hakikatnya
telah ada ketika manusia itu ada di muka bumi. Dengan kata lain, wacana HAM
28
Lihat A.Masyhur Effendi, Tempat Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Internasional/Nasional, (Bandung: Alumni 1980), hlm. 17.
29
Lihat Dante C. Simbulan, “Perjuangan Hak-hak Asasi Manusia”, dalam Prisma
(Jakarta: LP3ES, No. 12 Desember 1979), hlm. 49.
22
bukanlah berarti menafikan eksistensi hak-hak asasi yang sebelumnya memang
dalam memberi ikatan ideologis antara yang berkuasa dengan yang dikuasai
Manusia memiliki hak yang dibatasi untuk kepentingan masyarakat, yang tidak
lain hanyalah untuk kepentingan manusia itu sendiri yang menurut tabiatnya ia
dengan sesamanya. Sebagian hak tersebut dianggap asasi dan vital yang disebut
hak-hak manusia. Hal itu sebagai penghargaan dan penghormatan atas martabat
dalam sistem konstitusi dan perundang-undangan serta hal-hal yang harus diikuti
konkret dan definitif, karena berkisar disekitar prinsip kebebasan dan prisip
23
pengertian dan batasan-batasan yang relatif serta dipengaruhi oleh aliran
Maka Undang-Undang Dasar (UUD) berperan penting sebagai hukum dasar bagi
konstitusi merupakan sumber hukum tertinggi, maka konstitusi harus melihat hak-
hak setiap warga negara yang telah diatur dalam konstitusi itu sendiri.
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
penelitian yuridis normatif. Adapun dalam penelitian ini, penulis akan meneliti
penelitian tersebut menggunakan bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum
30
Lihat Dahlan Thaib, et.al, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2001), hlm. 16-17.
24
Penelitian hukum normatif ini mencakup:
b) Infentarisasi undang-undang.
d) Perbandingan hukum.
e) Sejarah hukum.31
2. Pendekatan Masalah
Mahkamah Konstitusi dari waktu ke waktu, dan memahami makna filosofi dari
bahan hukum, uraian tentang bahan hukum dikaji meliputi beberapa hal berikut.
a) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri atas peraturan
31
Soerjono soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: suatu tinjauan
singkat, edisi pertama, cetakan kelima. Jakarta: PT. Rsdjs Grafindo Persada, 2001.
25
Dasar, Tap MPR, Undang-Undang (UU)/ Peraturan Pengganti Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
terdiri atas buku-buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum
26
dan DPRD sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 42
4. Teknik Analisis
27