Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Lakar Belakang
Studi perbandingan hukum pidana pada dasarnya memperbandingkan berbagai
sistem hukum yang ada. Dalam hal ini yang diperbandingkan adalah dua atau lebih
sistem hukum yang berbeda. Hukum pidana positif Indonesia ialah berasal dari
keluarga hukum Civil Law System yang mementingkan sumber hukum dari
peraturan perundangan yang ada dan berlaku di Indonesia.

Hukum Pidana Indonesia akan dibandikan dengan Hukum Pidana Swiss. Seperti
yang kita ketahui bahwa Swiss berbatasan dengan Jerman, Perancis, Italia, Austria,
dan kerajaan kecil Liechtenstein. Masyarakat Swiss menuturkan banyak bahasa, dan
terdapat empat bahasa resmi, yaitu bahasa Jerman, Perancis, Italia, dan bahasa
Romansh yang kurang populer.

Revolusi Prancis yang terjadi sangat mempengaruhi perkembangan Hukum


Pidana Swiss. Swiss secara umum mengadopsi hukum dari berbagai negara yang
berada di sekitarnya, seperti Jerman, Prancis dan Italia. Hukum Pidana Swiss terus
mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. The Swiss
Criminal Code (KUHP) terakhir mengalami perubahan pada tahun 2011 lalu.

Melalui makalah perbandingan Hukum Pidana Indonesia dan Swiss ini,


diharapkan dapat menjadi sarana penambahan pengetahuan bagi mahasiswa Ilmu
Hukum.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang diambil dalam makalah Perbandingan Hukum
Pidana Indonesia dan Swiss ini adalah :
a. Bagaimanakah sejarah hukum pidana Indonesia dan Swiss?
b. Apakah sumber hukum dan asas legalitas yang digunakan di Indonesia dan
Swiss?
c. Bagaimanakah sistem peradilan pidana Indonesia dan swiss?

1
1.3 Manfaat
Pembuatan makalah Perbandingan Hukum Pidana Indonsis dan Swiss diharafkan
dapat bermanfaat sebagai berikut :
a. Mengetahui sejarah perkembangan Hukum Pidana Indonesia ndan Swiss
b. Mengetahui sumber Hukum Pidana dan Asas Legalitas yang digunakan di
Indonesia dan Swiss
c. Mengetahui sistem peradilan pidana di Indonesia dan Swiss

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH HUKUM PIDANA INDONESIA DAN SWISS


Sebelum kita membandingkan hukum pidana Indonesia dengan Swiss
(Switzerland), ada baiknya kita mengetahui sejarah lahirnya hukum pidana di kedua
negara. Secara umum kita ketahui bahwa hukum pidana Indonesia terlahir dari wet-
boek voor de europeanen, yang di bawa Pemerintah Belanda dan di terapakan di
setiap negara jajahan Belanda. Pada saat Indonesia menjadi negara merdeka wet-
boek voor de europeanen disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang berlaku sampai saat ini dengan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh
pemerintah Republik Indonesia .
Hukum Pidana Swiss (Switzerland), banyak mendapat pengaruh dari
beberapa negara eropa seperti Jerman, Francis dan Italia. Diawal kembalinya Swiss
(Switzerland), menjadi negara federal, pemerintah Swiss (Switzerland), melakukan
penataan kembali terhadap sitem kenegaraan termasuk dalam penyusunan The Swiss
Criminal Code (KUHP). Carl Stooss mendapat mandat oleh Dewan Federal Swiss
untuk menyusun Kode criminal hukum pidana. Carl Stooss melakukan semua 25
hukum pidana cantonal, dan berhasil menyusun The Swiss Criminal Code. Carl
Stooss disebut sebagai bapak hukum pidana swiss.
Pada subjek pembahasan berikutnya akan dibahasan tentang sejarah hukum
pidana di Indonesia dan di Swiss (Switzerland).

2.1.1 Sejarah Hukum Pidana Indonesia


Sejarah hukum pidana Indonesia secara umum tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia yang terbagi dalam banyak
kerajaan, masyarakat Indonesia di bawah jajahan Belanda dan masyarakat Indonesia
setelah masa kemerdekaan. Hukum pidana modern Indonesia dimulai pada masa
masuknya bangsa Belanda di Indonesia, adapun hukum yang ada dan berkembang
sebelum itu atau setelahnya, yang hidup dimasyarakat tanpa pengakuan pemeritah
Belanda dikenal dengan hukum adat.
Pada masa penjajahan Belanda pemerintah Belanda berusaha melakukan
kodifikasi hukum di Indonesia, dimulai tahun 1830 dan berakhir pada tahun 1840,
namun kodifikasi hukum ini tidak termasuk dalam lapangan hukum pidana. Dalam
3
hukum pidana kemudian diberlakukan interimaire strafbepalingen. Pasal 1 ketentuan
ini menentukan hukum pidana yang sudah ada sebelum tahun 1848 tetap berlaku dan
mengalami sedikit perubahan dalam sistem hukumnya.
Walaupun sudah ada interimaire strafbepalingen, pemerintah Belanda tetap
berusaha menciptakan kodifikasi dan unifikasi dalam lapangan hukum pidana, usaha
ini akhirnya membuahkan hasil dengan diundangkannya koninklijk besluitn 10
Februari 1866. wetboek van strafrech voor nederlansch indie (wet-boek voor de
europeanen) dikonkordinasikan dengan Code Penal Perancis yang sedang berlaku di
Belanda. Inilah yang kemudian menjadi Wetboek van Strafrecht atau dapat disebut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sampai saat ini dengan
perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia .
Zaman Indonesia merdeka untuk menghindari kekosongan hukum
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 semua perundang-undangan yang
ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru. Untuk mengisi kekosongan
hukum pada masa tersebut maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 tentang berlakunya hukum pidana yang berlaku di Jawa dan Madura
(berdasarkan Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1946 diberlakukan juga untuk
daerah Sumatra) dan dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958
untuk diberlakukan untuk seluruh daerah Indonesia untuk mengha-pus dualsme
hukum pidana Indonesia. Dengan demikian hukum pidana yang berlaku di Indonesia
sekarang ialah KUHP sebagaimana ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 beserta perubahan-
perubahannya antara lain dalam Undang-Undang 1 Tahun 1960 tentang perubahan
KUHP, Undang-Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan
dalam KUHP, Undang-Undang Nomor 18 Prp. Tahun 1960 tentang Perubahan
Jumlah Maksimum Pidana Denda Dalam KUHP, Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1976 tentang Penambahan Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pembajakan Udara pada
Bab XXIX Buku ke II KUHP. Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
antara lain, Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103). Buku II Tentang
Kejahatan (Pasal 104-488). Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
KUHP peninggalan kolonial hingga saat ini masih berlaku. Indonesia melalui
lembaga legeslatif (DPR RI) telah menyusun RUU KUHP. RUU KUHP masuk
dalam proritas DPR RI ditahun 2018. Rencanya RUU KUHP dapat disahkan ditahun

4
2018, namun hingga memasuki bulan kesebelas di tahun 2018, RUU KUHP belum
dapat disahkan.

2.1.2 Sejarah Hukum Pidana Swiss (Switzerland)


Setelah Revolusi Prancis, Swiss jatuh ke invasi Prancis pada 1798 dan
direformasi menjadi Republik Helvetic, negara klien Prancis. Napoleon Act of
Mediation pada tahun 1803 memulihkan status Swiss sebagai Konfederasi, dan
setelah berakhirnya masa Napoleon, Konfederasi Swiss mengalami periode
kekacauan yang memuncak dalam perang sipil singkat pada tahun 1847 dan
pembentukan konstitusi federal pada tahun 1848.
Sejak 1848, Konfederasi Swiss telah menjadi negara federal dari daerah-
daerah yang relatif otonom, beberapa di antaranya memiliki sejarah konfederasi yang
telah berlangsung lebih dari 700 tahun, menempatkan mereka di antara republik
tertua yang masih hidup di dunia. Swiss memiliki struktur federal dengan tiga tingkat
politik yang berbeda:
- Konfederasi (Negara Federal),
- Cantons (Negara), dan
- Kotamadya (Penguasa Lokal), yang tunduk pada Kanton, meskipun
mereka diberikan otonomi tertentu
Pada 1889 Carl Stooss Mandat oleh Dewan Federal Swiss untuk menyusun
kode criminal, dengan perbandingan 25 hukum pidana cantonal Carl Stooss disebut
sebagai bapak hukum pidana Swiss.
The Swiss Criminal Code (KUHP) didasarkan pada rancangan awal oleh Carl
Stooss pada tahun 1893. Dia mengusulkan salah satu kode kriminal pertama yang
mencakup tindakan pencegahan hukuman dan preemptif. Kode asli disetujui oleh
orang-orang pada 3 Juli 1938 dalam referendum, dengan 358.438 suara mendukung
312.030 suara menentang. Dengan berlakunya pada tanggal 1 Januari 1942, semua
perundang-undangan daerah yang bertentangan dengan The Swiss Criminal Code
(KUHP) yang baru dihapuskan. Ini terutama termasuk hukuman mati, yang masih
berlaku di beberapa wilayah. Selain itu, kompetensi untuk hukum substantif sebagian
besar ditransfer dari kanton ke Konfederasi. Kanton hanya mempertahankan
kompetensi dalam hukum acara dan undang-undang perpajakan dan pelanggaran
pajak cantonal. Kode ini telah direvisi beberapa kali sejak 1942. Revisi signifikan
terbaru berlaku pada tahun 2007 dan memperkenalkan kemungkinan untuk
5
mengubah hukuman penjara singkat (kurang dari satu tahun) menjadi denda,
dihitung dengan menggunakan tarif harian berdasarkan "pribadi dan ekonomi"
situasi terpidana pada saat putusan ", dengan batas atas ditetapkan pada CHF 3000
per hari dari hukuman. Hampir semua hukuman penjara yang lebih pendek dari satu
tahun sejak itu diubah menjadi denda, hukuman bersyarat (dibebaskan) hingga denda
bersyarat. Hal ini menimbulkan kontroversi karena hasilnya adalah bahwa
pelanggaran ringan yang tidak dapat dihukum dengan hukuman penjara selalu
menghasilkan denda tanpa syarat, sementara pelanggaran yang lebih parah saat ini
sering mengakibatkan denda bersyarat yang tidak perlu dibayar sama sekali. Dewan
Federal pada Oktober 2010 mengumumkan niatnya untuk kembali ke sistem
sebelumnya, dan semua partai besar menyatakan setidaknya mendukung sebagian.

2.2 SUMBER HUKUM DAN ASAS LEGALITAS INDONESIA DAN SWISS


Sumber hukum merupakan sebuah materi yang pada dasarnya akan menjadi
sebuah pedoman bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan berbangsa dan
bernegara.

Sumber hukum biasanya dapat diartikan menjadi dua arti, Yang pertama
menjawab pertanyaan: “mengapa hukum itu mengikat?”. Pertanyaan ini bisa juga
dirumuskan “apa sumber (kekuatan) hukum hingga mengikat atau dipatuhi
manusia”. Pengertian sumber dalam arti ini dinamakan sumber hukum dalam arti
materiil. Kata sumber juga dipakai dalam arti lain, yaitu untuk menjawab pertanyaan
“dimanakah kita bisa dapatkan atau temukan aturan-aturan hukum yang mengatur
kehidupan kita itu?”. Sumber dalam arti kata ini dinamakan sumber hukum dalam
arti formal.

Pengertian Asas Legalitas adalah merupakan suatu jaminan dasar bagi


kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat
dan jelas. Asas ini juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim,
menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang. Pengertian
Asas legalitas (the principle of legality) yaitu asas yang menentukan setiap tindak
pidana harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-
tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu
melakukan perbuatan. Setiap orang yang melakukan tindak pidana harus dapat
mempertanggungjawabkan secara hukum perbuatannya itu.

6
Setiap Negara di dunia mempunyai sumber hukum yang sesuai dengan yang
berlaku di Negara masing-masing. Indonesia dan Swiss memiliki sumber hukum dan
asas legalitas yang berbeda. Berikut akan dijelaskan tentang sumber hukum dan asa
legalitas Indonesia dan Swiss.

2.2.1 SUMBER HUKUM DAN ASAS LEGALITAS INDONESIA


Indonesia adalah Negara yang sumber hukumnya menganut hukum postif.
Mempelajari ilmu hukum positif, sumber-sumber hukum dalam arti formal jauh
lebih penting. Secara umum hukum pidana dapat ditemukan dalam beberapa sumber
hukum yakni :

a. KUHP (Wet Boek van Strafrecht) sebagai sumber utama hukum pidana
Indonesia terdiri atas :
 Tiga Buku KUHP, yaitu Buku I Baguan Umum, Buku II tentang
Kejahatan, Buku III tentang Pelanggaran.
 Memorie van Toelichting (MvT) atau penjelasan terhadap KUHP.
Penjelasan ini tidak seperti penjelasan dalam perundang-unda-ngan
Indonesia. Penjelasan ini disampaikan bersama rancangan KUHP
pada tweede kamer (parlemen Belanda) pada tahun 1881 dan
diundangkan tahun 1886.
KUHP sendiripun telah mengalami banyak perubahan maupun pe-
ngurangan. Dengan demikian undang-undang yang mengubah
KUHP jugs merupakan sumber hukum pidana Indonesia.
b. Undang-undang diluar KUHP yang berupa tindak pidana khusus, seperti
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, UU Narkotika, UU Kekerasan dalam Rumah
Tangga (KDRT).
c. Beberapa yurisprudensi yang memberikan makna atau kaidah hukum
tentang istilah dalam hukum pidana, misalnya perbuatan apa saja yang
dimaksud dengan penganiayaan sebagaimana dirumuskan Pasal 351 KUHP
yang dalam perumusan pasalnya hanya menyebut kualifikasi (sebutan
tindak pidananya) tanpa menguraikan unsur tindak pidananya. Dalam salah
satu yurisprudensi dijelaskan bahwa terjadi penganiayaan dalam hal
terdapat perbuatan kesengajaan yang menimbulkan perasaan tidak enak,
rasa sakit dan luka pada orang lain. Selain itu Pasal 351 ayat (4) KUHP
7
menyebutkan bahwa penga-niayaan disamakan dengan sengaja merusak
kesehatan orang lain.
d. Di daerah-daerah perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang dan tercela
menurut pandangan masyarakat yang tidak diatur dalam KUHP. Hukum
adat (hukum pidana adat) masih tetap berlaku sebagai hukum yang hidup
(The living law). Keberadaan hukum adat ini masih diakui berdasarkan UU
Darurat No. 1 Tahun 1951 Pasal 5 Ayat (3) Sub b. Seperti misalnya delik
adat Bali Lokika Sanggraha sebagaima dirumuskan dalam Kitab Adi
Agama Pasal 359 adalah hubungan cinta antara seorang pria dengan
seorang wanita yang sama-sama belum terikat perkawinan, dilanjutkan
dengan hubungan seksual atas dasar suka sama suka karena adanya janji
dari si pria untuk mengawini si wanita, namun setelah si wanita hamil si
pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita dan memutuskan
hubungan cintanya tanpa ala-san yang sah. Delik ini hingga kini masih
sering diajukan ke penga-dilan.
Delik adat Malaweng luse (Bugis)/Salimara’ (Makassar) adalah hubu-ngan
kelamin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana yang
satu terhadap yang lainnya terlarang untuk mengadakan perkawinan baik
larangan menurut hukum islam atau hukum adat berhubung karena
hubungan yang terlalu dekat.

Asas legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang


berbunyi :”tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan
dilakukan”.Konsekuensi dari pasal tersebut ialah bahwa perbuatan seseorang yang
tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak
dapatdipidana; jadi dengan asas ini hukum yang tidak tertulis tidak memiliki
kekuatan hukum untuk diterapkan. Namun atas hal itu dikecualikan terhadap daerah-
daerah yang dulu termasuk kekuasaan pengadilan swapraja dan pengadilan adat
dengan dilakukan pembatasan-pembatasan tertentu.Selain itu KUHP Indonesia juga
melarang adanya analogi terhadap suatu perbuatan konkret yang tidak diatur oleh
undang-undang.
Realitas asas legalitas di Indonesia menjadi piranti utama dalam penegakan
hukum pidana. Sifat kepastian hukum yang melekat pada asas legalitas menjadikan

8
hukum pidana sebagai salah satu bidang ilmu hukum yang pasti dalam kacamata
hukum karena melekat padanya bingkai-bingkai hukum yang jelas dan tegas, yang
menjadikannya sebagai instrument pedoman, panduan dan pembatas dalam
penerapan kasus konkrit.
Asas legalitas dalam konstitusi di Indonesia dimasukkan dalam Amande-men kedua
UUD 1945 Pasal 281 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa :

"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".

Sedangkan dalam Pasal 28J Ayat (2) menyatakan bahwa :

"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk


kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atau hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis".

Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dinyatakan bahwa :

Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan keten-tuan pidana
dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbua-tan itu.

Dalam konteks asas legalitas tersebut di atas mengandung makna bahwa (1)
Perundang-undangan pidana harus dirumuskan secara jelas dalam bentuk tertulis, (2)
Perundang-undangan hukum pidana tidak boleh berlaku surut, (3). Dalam hukum
pidana tidak dibenarkan untuk menerapkan analogi.

2.2.2 SUMBER HUKUM DAN ASAS LEGALITAS SWISS


Swiss merupakan negara di Dunia yang memiliki kedewasaan hukum.
Pertumbuhan dan perkembangan hukum swiss tidak lepas dari pengaruh beberapa
negara yang ada di sekitar Swiss. Revolusi Prancis sangat memberikan perubahan
besar terhadap perkembangan hukum di Swiss. Carl Stooss adalah tokoh hukum
Swiss yang berhasil menyusun draf hukum pidana yang sahkan oleh Dewan Federal
Swiss.

9
Harus diingat bahwa sistem hukum yang berlaku di Swiss sangat berbeda.
Sebagai gambaran umum, undang-undang di Swiss disetujui oleh Parlemen dan
diputuskan oleh Mahkamah Agung Federal Swiss atau, dalam kasus-kasus terkait
asuransi saja, Pengadilan Asuransi Federal (G: Eidgenössisches
Versicherungsgericht, F: Tribunal fédéral des assurances). Mahkamah Agung
Federal memiliki peran yang sebanding dengan Mahkamah Agung AS, namun
pengadilan di Lucerne adalah satu-satunya pengadilan federal. Dalam mengadili
kasus, Mahkamah Agung Federal biasanya tidak dapat mengesampingkan undang-
undang federal kecuali (jarang) ini dianggap melanggar hak asasi manusia secara
langsung, tetapi dapat memanggil undang-undang yang ditetapkan oleh kanton yang
dipertanyakan. Namun ada tinjauan berkala undang-undang, dengan banyak undang-
undang baru yang mulai berlaku pada 1 Januari 2011 tentang berbagai masalah mulai
dari privasi hingga kejahatan perang, dan dari upah minimum untuk pembersih untuk
pencegahan pernikahan imigran gelap di Swiss.
Undang-undang cantonal ditentukan oleh masing-masing canton, agak
seperti undang-undang negara bagian di Amerika Serikat. Ini tidak seperti Inggris, di
mana undang-undang nasional untuk Inggris dan Wales berlaku untuk semua
penduduk negara-negara tersebut, dan juga hukum Skotlandia berlaku untuk
penduduk Skotlandia, tanpa kekuatan hukum yang signifikan yang dilaksanakan oleh
kabupaten atau sub-divisi regional lainnya.
Menariknya, tiga canton tidak ada di kompilasi Carl Stooss: Uri,
Unterwalden dan Appenzell Innerrhoden. Alasannya adalah ini canton kecil tidak
memiliki kode kriminal formal, hanya beberapa sumber tertulishukum pada waktu
itu. Fribourg, seperti yang disebutkan, masih bergantung pada kompilasi kode-kode
cantonal yang berfokus pada apa yang dipandang sebagai inti dari hukum pidana
(pembunuhan, penyerangan, pencurian, penipuan, pemerkosaan, dll.). Anak di
bawah umur "Pelanggaran polisi" (menggelandang, memohon, alkoholisme,
perjudian, dan undian) tidak tertutupi. Aturan cantonal tentang hukuman mati
menjadi bagian dari kompilasi meskipun hukuman mati sudah sangat kontroversial
pada saat ini. Sanksi yang paling kontroversial adalah hukuman mati. Hari ini,
hukuman mati dilarang (Pasal 10 I Constitution). Pada tahun 2002, Swiss
meratifikasi Protokol No 13 kepada ECHR, tentang penghapusan hukuman mati di
semua keadaan

10
The Swiss Criminal Code (KUHP) Swiss memuat 392 Artikel. Ini dibagi
menjadi tiga buku.
 Bagian I (pasal 1-110) ketentuan umum tentang kriminal kewajiban
(kelalaian, niat dan kelalaian, pembenaran, rasa bersalah, tanggung jawab,
upaya, dan partisipasi) dan sanksi (misalnya kalimat kustodian,hukuman
moneter, penangguhan hukuman, pembebasan bersyarat, tindakan terapeutik,
dan penahanan tak terbatas). Misalnya, ada dua jenis niat dalam Hukum
pidana Swiss: ini tercantum dalam Pasal 12. Pasal 12 meliputi baik niat
langsung dan niat bersyarat. Niat langsung dimiliki ketika pelaku tahu bahwa
konsekuensi tertentu mungkin dan menginginkan ini konsekuensi terjadi.
 Bagian II mencakup ketentuan-ketentuan khusus (articless 111-332) yang
menetapkan pidana pelanggaran yang melindungi kepentingan individu
seperti kehidupan dan anggota tubuh (pembunuhan, serangan), properti
(pencurian, penipuan), kehormatan (pencemaran nama baik), kebebasan
(paksaan), penyanderaan, masuk yang melanggar hukum) atau integritas
seksual (pemerkosaan, eksploitasi, pornografi, pelecehan seksual). Selain itu,
pelanggaran kriminal yang melindungi kepentingan kolektif seperti keluarga
(incest, bigamy), keamanan publik (pembakaran), kesehatan masyarakat
(transmisi penyakit), ketertiban umum (kerusuhan, organisasi kriminal,
diskriminasi rasial), genosida dan kejahatan perang, perdagangan
kepentingan (pemalsuan, pemalsuan), keamanan nasional (pengkhianatan
tingkat tinggi, spionase), peradilan kepentingan (tuduhan palsu, pencucian
uang, sumpah palsu), dan kepentingan negara (penyalahgunaan jabatan
publik, penyuapan) juga dimasukkan.
 Bagian III (artikel 333-392) berkaitan dengan pengenalan dan penerapan The
Swiss Criminal Code (KUHP) banyak ketentuan pidana ada dengan kode
kriminal, misalnya pelanggaran lalu lintas jalan, kejahatan narkoba, dan
penggunaan senjata ilegal semuanya merupakan bagian dari kode federal
tertentu. Dalam praktiknya, undang-undang ini sangat relevan, khususnya
pelanggaran lalu lintas jalan.
Asas legalitas Swiss diatur dalam Swiss Criminal Code (of 21 December
1937 (Status as of 1 March 2018)) pada art 1 yang berbunyi sebagai berikut :

11
“Art. 1 No one may be punished for an act unless it has been expressly
declared to be an offence by the law.”
“Tidak seorang pun dapat dihukum karena suatu tindakan kecuali
telah dinyatakan secara tegas menjadi pelanggaran hukum”

Asas legalitas yang terapkan oleh Swiss mempunyai kesamaan dengan asas
legalitas yang dianut oleh Indoinesia. Carl Stooss sebagai perancang draf The Swiss
Criminal Code (KUHP), substantive law sebagian besar ditransfer dari kanton ke
Konfederasi. Kanton hanya mempertahankan kompetensi dalam hukum acara dan
undang-undang perpajakan dan pelanggaran pajak cantonal. Substantive Law adalah
seperangkat hukum yang mengatur bagaimana anggota masyarakat berperilaku. Hal
ini kontras dengan hukum acara, yang merupakan serangkaian prosedur untuk
membuat, mengelola, dan menegakkan hukum substantif. Substantive Law
mendefinisikan hak dan tanggung jawab dalam hukum perdata, dan kejahatan dan
hukuman dalam hukum pidana. Ini dapat dikodifikasikan dalam common law.

2.3 SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA DAN SWISS

Menurut Mardjono Reksodiputro, Sistem peradilan pidana adalah sistem


pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga – lembaga kepolisian. Kejaksaan,
pengadilan dan permasyarakatan terpidana. Dikemukakan pula bahwa sistem
peradilan pidana ( criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat
untuk menanggulangi kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan
kejahatan agar berada dalam batas – batas toleransi masyarakat. Pengendalian
kejahatan agar masih dalam batas toleransi masyarakat tidak berarti memberikan
toleransi terhadap suatu tindak kejahatan tertentu atau membiarkannya untuk terjadi.
Toleransi tersebut sebagai suatu kesadaran bahwa kejahatan akan tetap ada selama
masih ada manusia di dalam masyarakat. Jadi, dimana ada masyarakat pasti tetap
akan ada kejahatan.

Istilah sistem peradilan pidana (criminal justice system) menunjukan


mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan yang menggunakan dasar
pendekatan sistem. Pendekatan sistem adalah pendekatan yang menggunakan
segenap unsur yang terlbat di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling
berhubungan (interelasi) dan saling mempengaruhi satu sama lain. Melalui

12
pendekatan ini kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan
merupakan unsur penting dan berkaitan satu sama lain.

Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu
open system. Open system merupakan suatu sistem yang di dalam gerakan mencapai
tujuan baik tujuan jangka pendek (resosialisasi), jangka menegah (pencegahan
kejahatan) maupun jangka panjang (kesejahteraan sosial) sangat dipengaruhi oleh
lingkungan masyarakat dan bidang – bidang kehidupan manusia, maka sistem
peradlian pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi,
interkoneksi, interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat – peringkat,
masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi, serta subsistem – subsistem
dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system).

Setiap negara memiliki sistem peradilan yang berbeda sesuai dengan sumber
hukum dan asas legalitas hukum yang mendasari penerapan hukum disetiap negara.
Berikut akan di bahas tentang sistem peradilan Indonesia dan sistem peradilan Swiss.

2.3.1 SISTEM PERADILAN INDONESIA

Istilah criminal justice system atau Sistem Peradilan Pidana menunjukan


mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar
“pendekatan sistem”. Sebagai suatu sistem penegakan hukum, sistem peradilan
pidana tidak hanya dimaksudkan untuk memproses penyelesaian kejahatan yang
cepat, berbiaya murah dan transparan, akan tetapi juga memberikan perlindungan
hak-hak asasi manusia, menghormati asas praduga tak bersalah dari status tersangka
sampai dinyatakan bersalah, dan proses penghukuman yang memberikan jaminan
keseimbangan antara perlindungan masyarakat dan kepentingan terdakwa.
Sistem Peradilan Pidana yang diserap dalam KUHAP, diberlakukan melalui
Undang-Undang Nomor : 8 tahun 1981, menganut sistem Campuran yang meletakan
kerangka landasan penyelenggaraan sistem peradilan dengan mengatur hubungan
antar subsistem peradilan. Hal demikian juga dapat dilihat dari penyelenggaraan
peradilan pidana secara normatif dapat digambarkan sebagai berikut :
- Tahap Penyelidikan.
- Tahap Penyidikan.
- Tahap Penuntutan.
- Tahap Pemeriksaan disidang peradilan

13
- Tahap upaya Hukum.
- Pelaksanaan Putusan Pengadilan.
Dalam sistem peradilan pidana terpadu, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Lembaga Pemasyarakatan sebagai institusi penegak hukum memiliki hubungan yang
erat. Keempat institusi ini seharusnya dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan
baik untuk mencapai tujuan dari sistem ini. Mengingat, dalam penegakan hukum
faktor penghambat sangat banyak, termasuk faktor-faktor sosial, ekonomi dan
sebagainya, tetapi justru faktor terpenting penghambat penegakan hukum itu ada di
dalam sistem hukum itu sendiri.
Seperti disinggung diatas bahwa sistem peradilan pidana selalu melibatkan dan
mencakup sub sistem dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidana
sebagai berikut :
- Kepolisian, dengan tugas utama : menerima laporan dan pengaduan dari publik;
manakala terjadi tindak pidana; melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana; melakukan penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi syarat
diajukan ke Kejaksaan; melaporkan hasil penyidikan kepada Kejaksaan dan
memastikan dilindunginya para pihak terlibat dalam proses peradilan pidana.
- Kejaksaan dengan tugas pokok : menyaring kasus-kasus yang layak diajukan ke
Pengadilan; mempersiapkan berkas penuntutan; melakukan penuntutan dan
melaksanakan putusan pengadilan.
- Pengadilan yang berkewajiban untuk : menegakan hukum dan keadilan; melindungi
hak-hak terdakwa; saksi dan korban dalam proses peradilan pidana; melakukan
pemeriksaan kasus-kasus secara efisien dan efektif; memberikan putusan yang adil
dan berdasar hukum; dan menyiapkan arena publik untuk persidangan sehingga
masyarakat dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses peradilan
di tingkat ini.
- Lembaga pemasyarakatan, yang berfungsi untuk : menjalankan putusan pengadilan
yang merupakan pemenjaraan; memastikan terlindunginya hak-hak narapidana;
menjaga agar kondisi LP memadai untuk penjalanan pidana setiap narapidana;
melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana; mempersiapkan narapidana
untuk kembali ke masyarakat.
- Pengacara, dengan fungsi : melakukan pembelaan bagi klien; dan menjaga agar hak-
hak klien dipenuhi dalam proses.
Sub sistem dalam sistem peradilan pidana sebagaimana dimaksud diatas,
mengacu pada kodifikasi hukum pidana formil yakni, Kitab Undang-Undang Hukum

14
Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor : 8 tahun 1981, yang merupakan
dasar pijakan penegakan hukum pidana materiil. Ketentuan mengenai proses
beracaranya hukum pidana di Indonesia harus mengacu pada ketentuan KUHAP,
disamping juga terdapat hukum pidana formil selain yang telah diatur dalam
KUHAP tersebut, dan tersebar dalam Undang-undang diluar KUHAP.
Tugas lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan
serta Lembaga Pemasyarakatan harus dibedakan sebagai konsekuensi pembagian
kekuasaan demi mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan didalam satu tangan
dengan berbagai eksesnya. Pembedaan dan pembagian kekuasaan/kewenangan juga
dimaksudkan agar terjamin pelaksanaan spesialisasi yang mendorong
profesionalisme. Namun demikian pembagian kewenangan tersebut tentunya tidak
perlu menghalangi kerjasama positif, yang justru sangat diperlukan bagi berjalannya
pelaksanaan peradilan.
Pada sistem peradilan pidana terpadu, setiap fungsi lembaga penegak hukum
selalu terkait dalam setiap penyelesaian perkara, oleh karenanya dalam praktek
fungsi yang dimiliki masing-masing lembaga penegak hukum seyogianya harus
dicermati dengan memperhatikan kesinambungan proses. Berdasarkan kerangka
berpikir demikian maka aktifitas pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana (Criminal
Justice System), merupakan “fungsi gabungan” (collection funtion) dari legislator,
polisi, jaksa, pengadilan, penjara serta badan terkait. Sedangkan tujuan pokok
gabungan fungsi tersebut adalah untuk menegaskan, melaksanakan (menjalankan)
serta memutuskan hukum pidana. Dengan demikian secara luas kegiatan sistem
peradilan pidana terpadu, harus didukung dan dilaksanakan oleh 4 (empat) fungsi
utama, yaitu :
1. Fungsi Pembuatan Undang-undang (Law Making Function),
2. Fungsi Penerapan Hukum (Law Enforcement Function),
3. Fungsi Pemeriksaan Persidangan Pengadilan,
4. Fungsi Memperbaiki Terpidana (The Correction).

15
2.3.2 SISTEM PERADILAN SWISS

Cover Konstitusi Federal Swiss 18 April 1999 (versi dalam bahasa Jerman).
Hukum Swiss adalah seperangkat aturan yang merupakan hukum di Swiss. Menurut
Konstitusi Federal saat ini, Kanton Swiss adalah berdaulat kecuali sejauh bahwa
kedaulatan mereka dibatasi oleh Konstitusi Federal. Mereka melaksanakan semua
hak yang tidak dijunjung dalam Konfederasi dan prinsip subsidiaritas harus diamati
dalam alokasi dan kinerja tugas negara. Beberapa aspek utama adalah Konstitusi
Federal Swiss, tindakan parlemen (undang-undang) atau oleh-hukum, undang -
undang, peraturan, atau ordonansi yang didelegasikan, dan ajudikasi (keputusan yang
mengikat) oleh pengadilan yang kompeten.Konfederasi adalah bertanggung jawab
untuk undang-undang di bidang hukum pidana dan hukum pidana prosedur.
Pengadilan Federal di Lausanne terdiri dari 30 anggota tetap yang ditunjuk
untuk masa jabatan enam tahun oleh Majelis Federal. Sampai tahun 2000,
pengadilan memiliki yurisdiksi asli dan terakhir dalam sebagian besar kasus di mana
sebuah kanton atau pemerintah federal terlibat, dan merupakan pengadilan banding
tertinggi untuk banyak jenis kasus. Reformasi peradilan yang dilakukan pada tahun
2000 mengurangi beban kasus Pengadilan Federal, dengan menciptakan pengadilan
pidana federal dan badan administrasi federal dengan kompetensi peradilan.
Sekarang, Pengadilan Federal ada sebagai pengadilan banding murni.
Setiap canton memiliki pengadilan cantonal sendiri. Pengadilan distrik
memiliki tiga hingga lima anggota dan mencoba kasus pidana dan perdata yang lebih
sedikit. Setiap canton memiliki pengadilan banding dan pengadilan kasasi, yurisdiksi
yang terbatas untuk meninjau prosedur peradilan. Hukuman mati dihapuskan pada
tahun 1942. Kasus-kasus kecil diadili oleh hakim tunggal, kasus-kasus sulit oleh
panel hakim, dan pembunuhan dan kejahatan berat lainnya oleh juri publik.
Peradilan bersifat independen dan bebas dari campur tangan oleh cabang
pemerintahan lainnya. Pengadilannya adil dan proses peradilannya efisien. Sistem
peradilan didasarkan pada hukum perdata yang dipengaruhi oleh hukum adat. Swiss
menerima yurisdiksi wajib Pengadilan Internasional.
Pengadilan Swiss Peradilan adalah cabang negara ketiga, di samping badan
legislatif dan eksekutif. Eksekutif bertanggung jawab atas hukum dan bertanggung
jawab atas hukum.

16
Peradilan di tingkat federal dan cantonal
Mahkamah Agung Federal adalah pengadilan tertinggi di Swiss. Ini
menjalankan fungsi peradilan di tingkat federal. Pengadilan Kriminal Federal,
Pengadilan Administratif Federal dan Pengadilan Paten Federal adalah tiga
pengadilan lain di tingkat federal.
Setiap canton memiliki pengadilannya sendiri, yang mendengar kasus pada
tingkat pertama di wilayah hukum mereka.

17
 Mahkamah Agung Federal (The Federal Supreme Court)
Mahkamah Agung Federal adalah otoritas peradilan tertinggi di Swiss. Ini
mengatur sebagai contoh terakhir pada semua banding terhadap keputusan
pengadilan cantonal tertinggi, Pengadilan Kriminal Federal, Pengadilan
Administratif Federal dan Pengadilan Paten Federal. Pengadilan memastikan
bahwa undang-undang federal Swiss diterapkan dengan benar dalam kasus-
kasus individual dan bahwa hak-hak warga negara yang diabadikan dalam
Konstitusi dilindungi
 Pengadilan Kriminal Federal (The Federal Criminal Court)
Sebagian besar kasus pidana diputuskan dalam kasus pertama oleh
pengadilan cantonal. Pengadilan Pidana Federal mendengar kasus-kasus
pidana yang melibatkan pelanggaran terhadap kepentingan federal, peledak
bahan peledak, kasus internasional kejahatan kerah putih, kasus yang
berkaitan dengan kejahatan terorganisir, korupsi dan pencucian uang, dan
pelanggaran yang berkaitan dengan penerbangan sipil atau bahan perang.
 Pengadilan Administratif Federal (The Federal Administrative Court)
Pengadilan Administratif Federal mengatur tentang banding terhadap
keputusan yang dibuat oleh otoritas dari Administrasi Federal. Beberapa
masalah mungkin kontroversial baik dari sudut pandang sosial dan politik.
Contohnya termasuk keputusan prinsip dalam kasus terkait suaka atau pada
proyek transportasi dan infrastruktur utama.
 Pengadilan Paten Federal (The Federal Patent Court)
Penemuan teknis, yang sering datang dengan biaya besar, diberikan
perlindungan hukum yang berharga dalam bentuk paten. Jika ada
perselisihan, Pengadilan Paten Federal memutuskan apakah paten untuk
inovasi teknis sah menurut hukum dan apakah hak paten telah dilanggar oleh
produk atau proses. Pengadilan juga memutuskan kasus-kasus di mana ada
perselisihan tentang siapa yang memegang hak paten tertentu, atau
bagaimana paten dapat digunakan dalam hal lisensi.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Setalah melakukan pembahasan tentang perbendaan Hukum Pidana
Indonesia dan Swiss maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
 Sejarah hukum pidana Indonesia secara umum tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia yang terbagi dalam
banyak kerajaan, masyarakat Indonesia di bawah jajahan Belanda dan
masyarakat Indonesia setelah masa kemerdekaan. Hukum pidana modern
Indonesia dimulai pada masa masuknya bangsa Belanda di Indonesia, adapun
hukum yang ada dan berkembang sebelum itu atau setelahnya, yang hidup
dimasyarakat tanpa pengakuan pemeritah Belanda dikenal dengan hukum
adat.
 The Swiss Criminal Code (KUHP) didasarkan pada rancangan awal oleh Carl
Stooss pada tahun 1893. Dia mengusulkan salah satu kode kriminal pertama
yang mencakup tindakan pencegahan hukuman dan preemptif. Kode asli
disetujui oleh orang-orang pada 3 Juli 1938 dalam referendum, dengan
358.438 suara mendukung 312.030 suara menentang. Dengan berlakunya
pada tanggal 1 Januari 1942, semua perundang-undangan daerah yang
bertentangan dengan The Swiss Criminal Code (KUHP) yang baru
dihapuskan. Ini terutama termasuk hukuman mati, yang masih berlaku di
beberapa wilayah. Selain itu, kompetensi untuk hukum substantif sebagian
besar ditransfer dari kanton ke Konfederasi.
 Secara umum hukum pidana dapat ditemukan dalam beberapa sumber hukum
yakni :
 KUHP (Wet Boek van Strafrecht) sebagai sumber utama hukum
pidana
 Undang-undang diluar KUHP yang berupa tindak pidana khusus
 Beberapa yurisprudensi yang memberikan makna atau kaidah hukum
tentang istilah dalam hukum pidana

19
 Di daerah-daerah perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang dan
tercela menurut pandangan masyarakat yang tidak diatur dalam
KUHP
 Asas legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang
berbunyi :”tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan
aturanpidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan
dilakukan”
 The Swiss Criminal Code (KUHP) Swiss memuat 392 Artikel:
 Bagian I (pasal 1-110) ketentuan umum tentang kriminal kewajiban
(kelalaian, niat dan kelalaian, pembenaran, rasa bersalah, tanggung
jawab, upaya, dan partisipasi) dan sanksi (misalnya kalimat
kustodian,hukuman moneter, penangguhan hukuman, pembebasan
bersyarat, tindakan terapeutik, dan penahanan tak terbatas).
 Bagian II mencakup ketentuan-ketentuan khusus (articless 111-332)
yang menetapkan pidana pelanggaran yang melindungi kepentingan
individu
 Bagian III (artikel 333-392) berkaitan dengan pengenalan dan
penerapan The Swiss Criminal Code (KUHP) banyak ketentuan
pidana ada dengan kode kriminal
 Asas legalitas Swiss diatur dalam Swiss Criminal Code (of 21 December
1937 (Status as of 1 March 2018)) pada art 1 yang berbunyi sebagai berikut :
“Tidak seorang pun dapat dihukum karena suatu tindakan kecuali telah
dinyatakan secara tegas menjadi pelanggaran hukum”
 Sistem Peradilan Pidana yang diserap dalam KUHAP, diberlakukan melalui
Undang-Undang Nomor : 8 tahun 1981, menganut sistem Campuran yang
meletakan kerangka landasan penyelenggaraan sistem peradilan dengan
mengatur hubungan antar subsistem peradilan.
 Cover Konstitusi Federal Swiss 18 April 1999 (versi dalam bahasa Jerman).
Hukum Swiss adalah seperangkat aturan yang merupakan hukum di Swiss.
Menurut Konstitusi Federal saat ini, Kanton Swiss adalah berdaulat kecuali
sejauh bahwa kedaulatan mereka dibatasi oleh Konstitusi Federal. Mereka
melaksanakan semua hak yang tidak dijunjung dalam Konfederasi dan
prinsip subsidiaritas harus diamati dalam alokasi dan kinerja tugas negara.

20
21

Anda mungkin juga menyukai