Anda di halaman 1dari 21

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/263965733

Alih Fungsi Lahan Rawa dan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana Banjir:
Studi Kasus Kota Palembang

Chapter · October 2013


DOI: 10.13140/RG.2.1.2763.1206

CITATIONS READS
0 8,910

4 authors, including:

Saut Sagala Dian Lutfiana


Bandung Institute of Technology Economic Research Institute For ASEAN and East Asia
35 PUBLICATIONS   146 CITATIONS    1 PUBLICATION   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Ramanditya Wimbardana
United Nations University (UNU)
8 PUBLICATIONS   14 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Disaster Recovery View project

Key Stakeholder in Waste Management in Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Saut Sagala on 16 July 2014.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Alih Fungsi Lahan Rawa dan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana Banjir: Studi
Kasus Kota Palembang

FOR REFERENCE: Sagala, S., Dodon, Wimbardana, R., Lutfiana, D. (2013) Alih Fungsi Lahan Rawa dan
Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana Banjir: Studi Kasus Kota Palembang, dalam Anwar, H. (2013)
Perencanaan Tata Ruang dan Kebencanaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Saut Sagala, Dodon, Ramanditya Wimbardana, Dian Lutfiana

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung.


Jl. Ganesha 10, Bandung. 40132. Jawa Barat.

Kontak: saut.sagala@sappk.itb.ac.id

Abstrak
Tulisan ini mengangkat isu alih fungsi lahan basah pada kota-kota di Indonesia dan akibatnya terhadap
bencana banjir. Walaupun banjir termasuk bencana yang sering terjadi di Indonesia, pengurangan risiko
bencana yang sistematis, masih terbatas jumlahnya. Salah satu pendekatan yang sistematis di dalam
pengurangan risiko bencana adalah melalui penerapan tata guna lahan yang baik. Tulisan ini
menggunakan fokus studi kasus di Kota Palembang, salah satu kota yang memiliki lahan basah (rawa)
yang banyak dengan menganalisis dampak pembangunan terhadap persoalan banjir. Alih fungsi lahan
yang tinggi di Kota Palembang, mengancam terjadinya banjir secara rutin. Tulisan ini melakukan kajian
spasial dengan menganalisis hubungan antara lokasi-lokasi lahan basah dan lokasi terjadinya bencana
banjir. Upaya adaptasi yang telah dilakukan oleh masyarakat baik juga dibahas di dalam tulisan ini.
Selanjutnya tingkat peningkatan jumlah banjir dihubungkan dengan peningkatan kejadian banjir.
Beberapa rekomendasi diberikan untuk meningkatan ketahanan kota di dalam mengurangi risiko
bencana banjir dalam konteks perencanaan tata ruang.
1. Pendahuluan
Dalam beberapa dekade terakhir, kejadian atau peristiwa banjir mengalami peningkatan secara global
(IFRC, 2010; Jha et al., 2012a). Sebagai konsekuensinya, peningkatan kejadian banjir ini tidak dapat
dilepaskan pula dengan risiko yang harus diterima masyarakat dari segi fisik, sosial, dan ekonomi, seperti
hancurnya infrastruktur, terhambatnya kegiatan perekonomian, hilangnya mata pencaharian, dan
hilangnya korban jiwa yang tidak sedikit. International Federation of Red Cross (IFRC) (2010) mencatat
diantara jenis bencana alam lainnya, banjir merupakan bencana yang menimbulkan kerugian dan
kerusakan paling parah. Banjir memberikan dampak langsung kepada rata-rata 99 juta jiwa per tahun di
seluruh dunia dari tahun 2000 hingga 2008. Bahkan, Jha et al. (2012a) mencatat terdapat 178 juta jiwa
yang terkena dampak langsung bencana banjir di tahun 2010. Total kerugian yang diakibatkan banjir dari
tahun 1998 hingga tahun 2008 mencapai US$ 40 triliun (Jha et al., 2012a).

1
Sebagai pusat pertumbuhan sosial dan ekonomi dari tingkat lokal hingga global, kawasan perkotaan
adalah salah satu wilayah di permukaan bumi yang rentan terhadap bencana banjir. Besarnya derajat
kerentanan kawasan perkotaan terhadap bencana banjir sebagai hasil dari proses yang diakibatkan oleh
kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat, seperti cepatnya pertumbuhan populasi, pertumbuhan
kegiatan ekonomi, degradasi lingkungan, dan proses urbanisasi di kawasan perkotaan yang tidak
didukung dengan perencanaan dan pengelolaan perkotaan yang memadai (Adelekan, 2011; Birkmann et
al., 2010; Mekvichai, 2008; Razafindrabe et al., 2012). Munculnya permukiman kumuh di dataran banjir
perkotaan, padatnya permukiman penduduk tanpa kawasan resapan, dan kapasitas drainase perkotaan
yang tidak memadai adalah contoh faktor kerentanan yang dapat meningkatkan risiko banjir. Di sisi lain,
faktor perubahan lingkungan dalam skala global (contoh: meningkatnya curah hujan yang ekstrim,
periode musim hujan yang tidak menentu, meningkatnya frekuensi badai ekstrim, dan lainnya) juga
turut menyumbangkan besarnya risiko banjir di kawasan perkotaan (Coumou and Rahmstorf, 2012;
Guhathakurta et al., 2011; Rowe and Villarini, 2013; Trenberth, 2012; Wang et al., 2013).
Dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia memiliki kota-kota besar dengan tren urbanisasi
yang lebih dinamis, bertambahnya macam kegiatan ekonomi, dan pertumbuhan proporsi penduduk
yang cepat, seperti Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya (Jones, 2002). Sebagai dampaknya,
perkembangan kota-kota tersebut diiringi dengan kebutuhan lahan dan ruang. Namun, terbatasnya
lahan dan ruang yang dapat dibangun di kawasan perkotaan mengakibatkan perkembangan kota-kota
diiringi upaya alih fungsi lahan, terutama perubahan kawasan yang memiliki fungsi lindung menjadi
kawasan terbangun (Firman, 2009; Partoyo and Shrestha, 2013). Sebagai contoh, banjir yang terjadi di
Jakarta tahun 2002, 2007 dan 2013, merupakan sebuah dampak dari pemanfaatan lahan yang berubah
dari kawasan hutan lindung ke kawasan terbangun (seperti perumahan dan industri) di kawasan hulu
Bogor, Puncak, dan CIanjur (Bopuncur) hampir dua dekade terakhir (Firman, 2009). Ketidakseimbangan
antara jumlah air yang turun oleh hujan dengan berkurangnya kapasitas kawasan resapan menyebabkan
air yang tidak terserap mengalir ke bagian hilir dan bermuara pada bagian kawasan yang lebih rendah di
bagian utara, yaitu Jakarta. Selain itu, keterbatasan kapasitas drainase alami dan buatan yang tersedia di
Jakarta menyebabkan tidak dapat dihindarinya banjir besar di sebagian besar wilayah Jakarta (Sagala et
al 2013).
Di beberapa kota di Indonesia, upaya alih fungsi lahan dilakukan juga dengan menimbun lahan basah,
seperti rawa dan gambut, dengan tanah kering untuk memperluas area terbangun, seperti perumahan,
komersial, infrastruktur, dan/atau lahan pertanian. Upaya penimbunan atau reklamasi lahan basah lazim
ditemukan pada kota-kota di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan, seperti Pekanbaru, Jambi,
Palembang, Pontianak dan Banjarmasin (Dahliani, 2012; Khaliesh et al., 2012; Murod and Hanum, 2012;
Pulungan, 2009; Sa'ad et al., 2010). Padahal, beberapa penelitian membuktikan keberadaan lahan basah
dapat menjadi fungsi retensi dan filterisasi air, pengatur iklim lokal, habitat keanekaragaman hayati kota
dan pencegah terjadinya banjir (Jia et al., 2011; Kim et al., 2010; Lantz et al., 2013). Sebagai pengendali
banjir, vegetasi di dalam ekosistem lahan basah dapat menangkap dan melepas air permukaan dan air
hujan. Vegetasi ini juga dapat mengurangi kecepatan air banjir di daerah banjir. Berkurangnya lahan
basah di dataran banjir kota Lagos (Nigeria) karena perubahan fungsi lahan menjadi permukiman kumuh
dari tahun 1986 – 2006 mengakibatkan munculnya bencana banjir di daerah ini, seperti di tahun 2002
dan 2006 (Adelekan, 2010).

2
Untuk mengurangi risiko banjir di masa depan dan mencapai pembangunan yang berkelanjutan, perlu
dilakukan berbagai strategi pengurangan risiko bencana banjir. Hingga saat ini, masih sedikit literatur
dan penelitian membahas tentang perubahan pemanfaatan lahan basah dan hubungannya dengan
timbulnya potensi dan bencana banjir di kota-kota Indonesia. Selain itu, kebijakan pengurangan risiko
bencana di kota-kota di Indonesia terkait perubahan alih fungsi lahan basah belum banyak dikaji.
Mengambil studi kasus di Kota Palembang, tulisan ini ditunjukkan untuk mengkaji hubungan perubahan
alih fungsi lahan basah dan bencana banjir serta peninjauan kebijakan terkait dengan pengurangan
risiko bencana banjir.
Tulisan ini selanjutnya terbagi ke dalam beberapa bagian, diantaranya: tinjauan literatur terkait
pengelolaan risiko banjir dan tata guna lahan. Selanjutnya diberikan penjelasan terkait metodologi dan
sumber-sumber data yang digunakan di dalam tulisan ini. Pada bagian studi kasus, dibahas bagaimana
alih fungsi guna lahan yang terjadi di Kota Palembang dan dikaitkan dengan aspek teoretis terkait
pengurangan risiko banjir dan tata guna lahan.
2. Tinjauan Literatur
Pengelolaan Risiko Banjir
Untuk mengatasi persoalan banjir, setiap perencana dan pembuat kebijakan harus memahami terlebih
dahulu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya risiko banjir. Terjadinya banjir di
kawasan perkotaan dapat disebabkan oleh sungai, pesisir pantai, curah hujan, luapan air tanah maupun
kegagalan sistem artifisial (Jha et al., 2012a). Penyebab banjir di wilayah perkotaan adalah hasil dari
kombinasi kejadian meteorologis dan hidrologis, seperti pengendapan di dasar permukaan sungai dan
aliran yang ekstrim. Akan tetapi, faktor dari sisi bahaya (hazard) ini bukan satu-satunya penyebab utama
terjadinya bencana banjir. Risiko bencana adalah hubungan dan interaksi antara faktor bahaya dan
faktor kerentanan (vulnerability) yang terdapat pada kehidupan dan kegiatan-kegiatan manusia (Wisner
et al., 2004). Pertumbuhan dan perkembangan kota yang tidak terencana atau tidak terkontrol dapat
menjadi meningkatkan risiko banjir karena proses tersebut dapat menempatkan aspek-aspek kehidupan
manusia yang berpotensi untuk terpapar pada suatu potensi bahaya di suatu wilayah (Jha et al., 2012a).
Pemahaman ini sangat penting dalam merumuskan pendekatan dan solusi untuk mengurangi kerusakan
dan kerugian akibat banjir, sehingga nantinya para pembuat kebijakan dan perencana mampu
mengatasi kebutuhan, urgensi dan prioritas dalam menerapkan tindakan-tindakan pengelolaan risiko
banjir.
Pengelolaan risiko bencana adalah salah satu proses dan cara-cara untuk mengatasi dan mengendalikan
permasalahan mengenai risiko-risiko yang dapat diakibatkan oleh kejadian banjir. Pengelolaan risiko
banjir dalam perspektif yang sempit dapat dilihat sebagai suatu proses penanggulangan pada risiko-
risiko yang terjadi di saat banjir sedang terjadi. Namun, Plate (2002) berpendapat manajemen risiko
banjir perlu dilihat pada perspektif yang lebih luas, yaitu adanya peran perencana dan pembuat
kebijakan untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana banjir di dalam sistem perencanaan
dimana terdiri dari tahapan-tahapan yang berkelanjutan. Hal ini didasari oleh besaran faktor bahaya dan
kerentanan yang dapat berubah dari waktu ke waktu yang menghasilkan bertambahnya permasalahan
risiko banjir sebagai akibat dari proses pembangunan, seperti intensitas dan volume air hujan yang
semakin tinggi karena perubahan iklim dan perubahan guna lahan yang mengurangi kapasitas kawasan

3
resapan (catchment area) dalam meresap air hujan (Jha et al., 2012a; Nicholls et al., 1999). Bahkan,
Plate (2002) mengatakan sistem dan aksi-aksi dalam pengelolaan risiko banjir yang telah diterapkan
dapat berpotensi tidak mampu lagi mengatasi bertambahnya besaran faktor bahaya dan kerentanan,
sehingga diperlukan aspek perencanaan untuk mengatasi permasalahan risiko banjir dalam jangka
waktu yang panjang.
Pendekatan terintegrasi untuk mengelola risiko banjir perkotaan merupakan kombinasi dari tindakan-
tindakan pengeloan risiko banjir baik yang bersifat struktural maupun non-struktural (Brody et al.,
2009). Tindakan struktural bertujuan untuk mengurangi risiko banjir dengan mengendalikan aliran air
dari luar maupun dari dalam tempat tinggal di perkotaan. Brody et al. (2009) dan Correia et al. (1999)
menjelaskan pendekatan struktural merujuk kepada pembangunan fisik untuk mengendalikan banjir
atau melindungi tempat tinggal manusia, seperti membangun dinding dan tangguldi laut dan sepanjang
aliran sungai, sumur resapan, saluran air dan revetment. Selain itu, dalam mengurangi risiko banjir,
pendekatan struktural dapat dilakukan dengan memodifikasi struktur lingkungan melalui pembangunan
tanggul di bantaran sungai; perbaikan saluran (bandul, saluran pematang, waduk dan metode untuk
mempercepat atau melambatkan arus air, memperdalam dan meluruskan atau melebarkan saluran);
perbaikan tanah (pengendalian selokan, memodifikasi praktik tanam, konservasi tanah, revegetasi dan
stabilisasi lereng). Berbagai teknik tersebut akan menjadi sangat efektif apabila dimanfaatkan secara
tepat, seperti yang telah didokumentasikan melalui keberhasilan pencegahan sungai Thames,
perlindungan laut di Belanda dan sistem perairan sungai di Jepang.
Beberapa solusi pengurangan risiko banjir yang diterapkan di wilayah perkotaan masih menggunakan
pendekatan struktural untuk mengelola dan mengendalikan faktor bahaya banjir (Correia et al., 1999;
Nicholls et al., 1999; Plate, 2002). Solusi pengurangan risiko bencana tersebut dilakukan dengan
pendekatan secara teknis klasik dan struktural dimana masalah banjir dapat diselesaikan dengan
metode-metode hidrologis, seperti studi hidrologi tentang bahaya banjir dan penyelesaian
pembangunan infrastruktur (contoh: pembuatan kanal, saluran air, pembuatan tanggul raksasa dan lain-
lain) (Plate, 2002). Akan tetapi, Jha et al. (2012a) dan Holway and Burby (1993) berpendapat pendekatan
struktural pun masih memiliki keterbatasan, diantaranya: (1) Banjir dengan kapasitasmelebihi kapasitas
desain struktur yang dibuat dapat meluap dan merusak secara signifikan dapat lebih tinggi; (2) Struktur
seperti saluran atau tanggul dapat meningkatkan level sungai, meningkatkan banjir di hilir dan
kecepatan air dengan membatasi jalur air dan dataran banjir alami sehingga memperpendek waktu
banjir di hulu dan mengakibatkan banjir di hilir yang lebih besar; (3) Solusi struktural dapat memberikan
rasa aman yang sementara kepada publik; (4) Tindakan struktural seringkali menghabiskan biaya
finansial yang tidak sedikit; dan (5) Pembangunan bendungan dan struktur pengontrolan banjir lainnya
berkontribusi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Bencana banjir di Jakarta tahun 2013
memperlihatkan bahwa pendekatan struktural, seperti normalisasi sungai dan pembuatan kanal besar,
yang dilakukan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta belum dapat menyelesaikan permasalahan risiko
(Sagala et al., 2013).
Sesempurna apapun tindakan strukturalyang dilakukan,pendekatan yang terintegrasi dengan peran
tindakan non-struktural tetap dibutuhkan untuk mengurangi risiko banjir. Tindakan-tindakan non-
struktural mencakup berbagai langkah-langkah pencegahan atau penyesuaian untuk mengurangi risiko

4
banjir melalui memodifikasi kerentanan dari aktivitas pembangunan yang mengakibatkan kerusakan di
dataran banjir. Hal ini dapat meliputi memprediksi kejadian banjir, sistem peringatan dini, asuransi
terhadap bencana banjir, kesiapsiagaan bencana dan rencana tanggap darurat serta peraturan
penggunaan lahan untuk pengendalian pembangunan (Correia et al., 1999; Hansson et al., 2008).
Biasanya tindakan non-struktural tidak memerlukan investasi yang besar di muka, namun sering
bergantung pada pemahaman manusia mengenai ancaman banjir dan sistem ramalan yang dapat
diandalkan, seperti rencana evakuasi gawat darurat tidak akan berfungsi bila tidak ada peringatan di
awal. Selain itu, perwujudan upaya ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif dengan dukungan
dari kapasitas institusi dan partisipasi publik, khususnya di dalam tatanan sosial masyarakat dan
permasalahan lingkungan perkotaan yang kompleks (Pearce, 2003).
Perencanaan Guna Lahan Untuk Pengurangan Risiko Banjir
Pentingnya peran pengaturan guna lahan untuk mengurangi risiko banjir ke dalam proses perencanaan
telah dikemukan oleh beberapa peneliti (Burby and French, 1981; Correia et al., 1999; Gilard and
Givone, 1997; Highfield and Brody, 2006; Wheater and Evans, 2009). Upaya ini perlu dilakukan karena
semakin berkembangnya peradaban manusia kebutuhan manusia mengakibatkan perubahan guna
lahan yang tidak terkendali, khususnya di kawasan perkotaan (Wheater and Evans, 2009).
Kecenderungan penggantian fungsi lahan dari kawasan lindung dan resapan menjadi kawasan
terbangun adalah salah satu contoh permasalahan pembangunan perkotaan dan pengelolaan banjir.
Banyaknya wilayah tangkapan air (catchment area) dan aliran air (run-off) yang beralih fungsi menjadi
area terbangun mengakibatkan peningkatan risiko banjir di dataran banjir (floodplain) di kawasan
perkotaan. Akibatnya, terdapat aliran air yang tidak tertangkap dari air hujan yang turun di daerah
resapan sehingga ini meningkatkan risiko banjir di dataran banjir. Sebagai contoh, kawasan resapan di
Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Puncak, dan Cianjur) mengalami perubahan guna
lahan menjadi kawasan terbangun dalam lima dekade terakhir di wilayah ini. Fenomena ini menjadi
salah satu pemicu terjadinya banjir besar di kawasan yang lebih rendah pada tahun 2002, 2007, dan
2013, terutama di wilayah Provinsi DKI Jakarta (Firman, 2009; Sagala et al., 2013).
Pengarusutamaan pengaturan guna lahan berbasis risiko banjir di dalam proses perencanaan pada
tingkat kota (contoh: rencana tata ruang, rencana pembangunan, dan lainnya) adalah salah satu cara
mengatur dan mengontrol pemanfaatan lahan berdasarkan ruang, desain, tipe, dan waktu
pembangunan untuk mengurangi risiko banjir di dataran banjir di kawasan perkotaan (Beatley, 2009; Jha
et al., 2012b). Beberapa cara pengaturan guna lahan yang dapat mengurangi kerugian akibat banjir dan
meningkatkan kualitas lingkungan diantaranya melestarikan lahan basah, merestorasi habitat untuk
ekosistem di kawasan resapan, pengaturan lahan terbangun dengan kepadatan rendah, penyediaan
ruang terbuka hijau dan kawasan resapan,pembebasan wilayah dataran sungai dari bangunan, dan
membuka lahan pertanian dengan intensitas rendah (Birkland et al., 2003). Bentuk pengeloalan banjir
lainnya dapat berupa perlindungan dan pembatasan pembangunan fisik pada area tangkapan air,
seperti pusat ekonomi kota maupun industri yang memiliki potensi kerusakan yang tinggi.

5
Penggunaan Hanya Untuk Ruang Terbuka

Gambar 1 Ilustrasi Zonasi Dataran Banjir

Untuk mengimplementasikan strategi-strategi di atas, hubungan perencanaan guna lahan dan kapasitas
institusi pemerintah daerah sangatlah diperlukan. Salah satu kapasitas pemerintah daerah adalah
sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk mengintegrasikan dan melaksanakan perencanaan
tersebut ke dalam regulasi. Perencanaan tata ruang adalah salah satu produk perencanaan yang dapat
digunakan sebagai dasar pembuatan regulasi (Jha et al., 2012b). Regulasi yang dibuat berdasarkan
rencana tata ruang tersebut menjadi alat untuk menentukan guna lahan yang tepat dalam kondisi
tersebut. Regulasi tersebut dapat berupa peraturan lahan terbangun, desain bangunan, izin
pembangunan, hingga kode bangunan. Selanjutnya, hal tersebut digunakan untuk penentuan
pembangunan di suatu wilayah. Selain itu, regulasi perlu juga dikombinasikan dengan kebijakan
pemberlakuan intensif seperti keringanan pajak bangunan kepada pemilik lahan yang mengikuti regulasi
yang dibuat dan pemberian edukasi publik terkait regulasi (Beatley, 2009; Jha et al., 2012b).
Kapasitas institusi pemerintah daerah juga diperlukan untuk mengumpulkan informasi risiko banjir,
mengkomunikasikan strategi perencanaan dengan seluruh pemangku kepentingan pembangunan
(swasta, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat lokal), mengawasi pelaksanaan perencanaan dan
merevisi kembali perencanaan yang telah dibuat (Jha et al., 2012b). Namun, peran pemerintah daerah
saja tidak cukup untuk menyukseskan pelaksanaan pengurangan risiko banjir dengan pemerintah
memiliki keterbatasan dalam pengawasan, koordinasi dan pendanaan yang lemah. Diperlukan peran
aktor lainnya untuk mendukung proses perencanaan ini, salah satunya partisipasi masyarakat menjadi
salah satu kunci penting untuk mendukung dan menyepakati tujuan dari perencanaan yang dibuat.
Namun, strategi-strategi dalam perencanaan dan kebijakan guna lahan tidaklah mudah untuk
diimplementasikan. Terdapat beberapa hambatan yang sering dijumpai dalam praktek implementasi
perencanaan dan kebijakan guna lahan untuk mengurangi risiko banjir (Birkland et al., 2003; Jha et al.,
2012b), diantaranya: (1) lemahnya mekanisme pelaksanaan regulasi perencanaan guna lahan, (2)
perbedaan batas yuridiksi antar pemerintahan lokal dan batas wilayah daerah aliran sungai atau dataran
banjir mempersulit pelaksanaan dan integrasi, (3) tekanan kebutuhan pemanfaatan lahan untuk
kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, (4) kemauan politik pemerintah lokal dan aktor
pembangunan lainnya untuk melaksanakan mekanisme regulasi, dan (5) hak pemilik lahan untuk
memanfaatkan lahan yang cenderung tidak melindungi kapasitas lahan untuk resapan air hujan.

6
3. Metodologi
Penelitian ini dibuat berdasarkan kajian terhadap alih fungsi guna lahan di Kota Palembang. Kajian tata
guna lahan dilakukan dengan mengidentifikasi dokumen peraturan daerah dari periode 1980an – 2012
terkait perencanaan perkotaan dan peraturan pemanfaatan lahan di Kota Palembang. Dokumen-
dokumen yang diperoleh, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) (Bappeda, 2012), Status
Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) (BLHD, 2012) dan master plan drainase. Selain itu, dilakukan interview
terhadap para pengelola perkotaan, yaitu Badan Penanggulangan Bencana dan Kebakaran Kota
Palembang, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palembang, Dinas Pekerjaan
Umum (PU) Bidang Sumber Daya Air Kota Palembang, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota
Palembang, dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Palembang. Selain itu, observasi juga dilakukan
oleh penulis, termasuk di kunjungan Kota Palembang pada bulan April 2013. Dengan menggunakan
timeline analysis, dilakukan kajian terkait perubahan guna lahan pada dua tempat di Palembang, untuk
menunjukkan perubahan guna lahan dan kejadian bencana banjir. Kajian juga dilakukan dengan menilai,
perkembangan dan sumber bencana banjir, dampak yang terjadi dan juga potensi intervensi yang dapat
dilakukan. Metode analisis dalam tulisan ini adalah metode kualitatif dengan membahas temuan-
temuan tentang perubahan guna lahan dan kejadian bencana banjir di Kota Palembang dengan
mengacu pada tinjauan literatur yang dibahas pada bagian dua.Analisis spasial dilakukan untuk
mengidentifikasi hubungan antara lahan basah dengan bahaya banjir yang terjadi di Kota Palembang.

4. Studi Kasus
Alih Fungsi Rawa di Kota Palembang
Proses perubahan guna lahan di Palembang tidak terlepas dari pengaruh urbanisasi dan kebijakan
perkotaannya. Jumlah penduduk Kota Palembang pada tahun 2011 berjumlah 1.676.544 jiwa dari
1.396.823 jiwa di tahun 2007 atau rata-rata pertumbuhan sekitar 5% setiap tahunnya (Hapsoro and
Gunanto, 2013; Murod and Hanum, 2012). Hal ini disebabkan adanya peran dan fungsi Kota Palembang
sebagai kota jasa dan pusat pertumbuhan ekonomi regional di Sumatera Selatan. Kebijakan ini di mulai
dari ditetapkannya kota Palembang sebagai kota perdagangan, industri, pendidikan, pemerintahan dan
wisata di Rencana Induk Kota (RIK) Palembang 1974-1994. Pada saat kebijakan pembangunan kota
mengacu RIK ini, kegiatan ekonomi Kota Palembang didominasi oleh kegiatan perdagangan terutama
sebagai pusat distribusi hasil pertanian yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan RTRW Kota
Palembang 2012-2032, kegiatan ekonomi utama dari Kota Palembang tetap berupa perdagangan dan
industri manufaktur.
Pembangunan Kota Palembang terpusat di pusat kota dengan jumlah lahan terbangun sekitar 4,5%
(tahun 1919) dimana saat itu sebagian besar Kota Palembang berupa rawa dan sungai. Kondisi saat ini
Kota Palembang memiliki luas lahan terbangun 34,5%, peningkatan jumlah lahan terbangun ini
disebabkan oleh pertumbuhan berbagai kegiatan ekonomi di Kota Palembang seperti ekonomi
pariwisata, perdagangan dan jasa, serta pembangunan berbagai fasilitas penting lainnya yang
mendorong masyarakat untuk bertempat tinggal di Kota Palembang. Perubahan pemanfaatan lahan di
Kota Palembang menyebabkan tertariknya kegiatan dari luar kota untuk berlokasi di Kota Palembang.

7
Sebagai konsekuensinya, kebijakan ini mendorong peningkatan kebutuhan ruang dan lahan terhadap
area yang dapat terbangun, sebagaimana dibuktikkan pada (Gambar 2).

40

Lahan Terbangun (%) 30

20

10

0
1919 1978 1989 2001 2010
Tahun

Gambar 2 Peningkatan Lahan terbangun di Kota Palembang (%)


(Sumber : Bappeda Kota Palembang, 2010)
Di sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan ruang dalam dinamika perkotaan, upaya pengalihan fungsi lahan
yang tidak produktif secara ekonomis menjadi lahan terbangun yang lebih produktif lazim dilakukan
(Lantz et al., 2013). Di Kota Palembang, upaya menambah ruang dan lahan terbangun untuk mendukung
perkembangan kota terlihat pada tren perubahan lahan terbangun dari lahan basah yang kini luasnya
hanya sekitar 37% luas kota dimana 25% diantaranya rawa (Gambar 3). Mengacu pada kebijakan
perkotaan Kota Palembang, pertumbuhan kegiatan perdagangan dan ekonomi memiliki peran penting
dalam meningkatnya pertumbuhan lahan terbangun di Kota Palembang, khususnya upaya reklamasi
kawasan rawa menjadi lahan terbangun. Hal ini didorong kebijakan oleh pemerintah Kota Palembang
yang mengizinkan para investor untuk mereklamasi rawa untuk mendapatkan lahan yang dapat
dibangun yang semakin sedikit di daerah perkotaan (Perda No. 11 Tahun 2012). Hasilnya, investor dapat
membuka kegiatan perdagangan dan pemerintah Kota Palembang mendapatkan pendapatan daerah.

8
Gambar 3 Peta Sebaran Rawa di Kota Palembang
(Sumber : RTRW Kota Palembang 2012 - 2032)
Akibatnya, pemanfaatan lahan basah, khususnya rawa, untuk menjadi lahan terbangun tidak dapat
dihindari. Jumlah rawa ini terus berkurang seiring dengan upaya reklamasi setiap tahunnya. Dari total
lahan rawa sebesar hampir 80% pada tahun 1919, lahan rawa yang tersisa adalah sekitar 25% pada
tahun 2010 (Gambar 4). Alih fungsi lahan rawa besar-besaran terjadi di beberapa kawasan seperti
kawasan Jakabaring dan di sekitar jembatan Musi II. Sebagian besar Kota Palembang merupakan lahan
rawa; saat ini rawa di Kota Palembang berjumlah 5.438 Ha, dengan komposisi rawa konservasi luasnya
mencapai 2.106 Ha, budidaya 2.811 Ha dan reklamasi 917 Ha. Jumlah ini jauh berkurang. Pada tahun
1989 jumlah rawa di Kota Palembang tidak kurang dari 40.000 Ha, sedangkan pada tahun 2001 jumlah
luasan rawa tidak kurang dari 22.000 Ha.

9
80

60

40

20

0
1919 1978 1989 2001 2007 2010

Gambar 4 Penurunan Jumlah Rawa di Kota Palembang (%)


(Sumber : Bappeda Kota Palembang, 2010)
Reklamasi dilakukan untuk pembangunan perumahan, pusat komersial, pabrik, dan pusat pemerintahan.
Beberapa contoh kawasan yang mengalami perubahan atau reklamasi dari rawa menjadi lahan
terbangun, dua diantaranya, adalah: Kawasan Perumahan Bukit Sejahtera atau Poligon dan Kawasan
Pengembangan Jakabaring. Kawasan Perumahan Polygon merupakan sebuah komplek perumahan yang
berdiri sejak tahun 1990. Konstruksi perumahan yang di mulai tahun 1986 ini pada awalnya memiliki
topografi sebagai lahan rawa yang kemudian direklamasi menjadi kawasan perumahan dan
menyebabkan berkurangnya daerah resapan air (Gambar 6). Pembangunan yang semakin luas
menyebabkan sedimentasi semakin tinggi dibeberapa sungai yang dekat dengan kawasan perumahan
seperti Sungai Musi. Sedangkan, Kawasan Jakabaring Sport City merupakan kawasan pengembangan
baru dan pada mulanya merupakan rawa yang direklamasi menjadi perumahan (Gambar 5).

Gambar 5 Perubahan Lahan Rawa menjadi Pusat Prasarana Olahraga di Kawasan Jakabaring
(Sumber : Observasi, 2013)
Sebagai akibatnya, perubahan rawa menjadi lahan terbangun berdampak negatif karena perubahan
tersebut mengkibatkan fungsi rawa sebagai penampung air tidak dapat dilakukan secara maksimal.

10
Banyaknya rawa yang ditimbun menyebabkan air yang seharusnya ditampung oleh rawa akan beralih ke
bagian perkotaan lainnya (seperti jalan, drainase, permukiman, dan lainnya) yang lebih rendah, sehingga
menyebabkan banjir di lokasi-lokasi tertentu. Hal ini juga diperburuk dengan karakteristik topografi Kota
Palembang yang relatif rendah, yaitu sekitar 0-20 mdpl. Kota Palembang sebagian besar terdiri dari
daerah berawa yang rentan terhadap bencana banjir terutama ketika musim hujan datang. Sebagai
contoh, berkurangnya kawasan berkurangnya daerah resapan di sekitar perumahan Polygon
mengakibatkan daerah ini menjadi daerah genangan air dan bahkan terdampak bencana banjir dengan
ketinggian 40-50 cm di tahun 2005 (Gambar 6). Oleh karena itu, kondisi ini membuat Kota Palembang
sangat berpotensi terkena dan terancam bencana banjir.

Gambar 6 Time line Analysis Kawasan Perumahan Poligon


(Sumber : Analisis, 2013)
Kejadian Bencana Banjir di Kota Palembang
Bencana banjir pada awalnya mengenangi daerah pinggiran Kota Palembang yang sebagian besar
wilayahnya berupa rawa. Namun, perkembangan pembangunan Kota Palembang yang mereklamasi
lahan wilayah rawa ini mengakibatkan peningkatan intensitas bencana banjir yang terjadi. Hal ini
membuat daerah ini rentan terhadap bencana banjir dan menjadi dataran banjir yang baru. Kejadian
banjir mengalami peningkatan dari 18 kejadian pada tahun 2007 menjadi 46 kejadian pada tahun 2012.
Peningkatan kejadian bencana banjir juga diikuti dengan peningkatan ketinggian genangan yaitudari
semula 30-100 cm, bahkan di beberapa lokasi genangan mencapai 1 meter. Lamanya genangan juga
menunjukkan kecenderungan yang meningkat, dimana pada tahun 2007 ketika bencana banjir melanda
Kota Palembang lama genangan sekitar 1-2 jam di beberapa ruas jalan protokol dan lokasi. Pada tahun
2013 lama genangan banjir di beberapa lokasi meningkat dari hitungan jam menjadi beberapa hari.
Peningkatan bencana banjir ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti alih fungsi lahan di daerah
resapan air dan peningkatan intensitas hujan. Selain itu peningkatan ketinggian genangan dan luas
genangan diakibatkan belum tersedianya sistem drainase yang terpadu. Hingga saat ini, belum ada
dokumen master plan pembangunan drainase yang terintegrasi dengan aliran air limpasan dan DAS
(Daerah Aliran Sungai) Sungai Musi dan DAS anak Sungai Musi.
Ada beberapa lokasi yang hampir selalu digenangi air ketika musim hujan seperti Ilir Timur I sebanyak
enam lokasi, Ilir Timur II sebanyak 12 lokasi, Kalidoni sebanyak tiga lokasi, Sako satu lokasi, Seberang
Ulu II dua lokasi dan Kemuning 3 lokasi (PSDA PU, 2008). Selain itu, ada beberapa lokasi yang selalu
banjir sebagai akibat topografi yang landai seperti daerah Pakjo dan Demang Lebar Daun dengan volume

11
143.000 m2. Sedangkan di sekitar daerah tengah Sungai Sekanak dengan volume 105.780 m2, sekitar
Simpang Polda 105.780 m2, sekitar sungai Bendung 16.800 m2, dan sekitar Patal 18.500 m2.

Selain itu, faktor eksternal yang perlu diperhatikan adalah persoalan terkait dampak perubahan iklim.
Berdasarkan skenario yang dilakukan di dalam Kajian Risiko Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI),
Palembang memiliki kerentanan yang sedang terhadap dampak kenaikan muka air laut. Kenaikan muka
air laut, juga akan mengakibatkan perubahan pasang tinggi dan juga tingginya air permukaan. Akibatnya,
jika terjadi peningkatan air di Kota Palembang akibat hujan, maka air dapat tertahan akibat pasang
tinggi, yang berakibat pada banjirnya beberapa bagian di Kota Palembang. Ini terbukti pada Februari
2013, di mana banjir terjadi akibat tertahannya air hujan di drainase karena tingginya pasang.

Gambar 7 Peta Bahaya Banjir di Kota Palembang


(Sumber: Hasil Analisis, 2013)
Intervensi Pengendalian Banjir
Ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Palembang dalam mengintervensi
perubahan guna lahan dan mengurangi risiko bencana banjir, di antaranya: pengendalian rawa,
pembangunan kolam retensi, membangun turap, normalisasi sungai, dan membangun daerah resapan
air dengan memanfaatkan ruang terbuka hijau. Di dalam bagian ini, masing-masing intervensi tersebut
di atas akan dijelaskan.

12
Pemerintah Kota Palembang dan Provinsi Sumatera Selatan pengurangan risiko bencana banjir
dilakukan dengan upaya kebijakan non struktural. Pemerintah Kota Palembang menerbitkan peraturan
daerah terkait pengendalian dan pemanfaatan rawa, yaitu Peraturan Daerah (Perda) No. 11 Tahun 2012.
Dalam perda ini, sekitar 2.106,13 Ha merupakan rawa konservasi yang dilarang untuk dialihfungsikan
peruntukannya. Sedangkan terdapat rawa budidaya seluas 2.811,21 Ha yang dimanfaatkan sebagai
lahan pertanian, perikanan, perkebunan dan permukiman dengan rumah bertiang tanpa melakukan
penimbunan. Sementara itu, terdapat kebijakan terkait dengan DAS, yaitu Perda Gubernur Sumatera
Selatan no. 5 Tahun 2013, yang berisi cara mengatasi pencemaran, membatasi penerbangan liar
terutama di daerah hulu karena akan berdampak di daerah hulu, dan mengatur pemanfaatan lahan
disekitar DAS.

Selain itu, upaya pengurangan risiko bencana secara struktural juga dilakukan oleh pemerintah. Kota
Palembang memiliki 19 kolam retensi yang dibangun untuk mengendalikan genangan air. Jumlah ini
masih jauh dari yang dibutuhkan Kota Palembang, yaitu sekitar 48 kolam retensi (PU PSDA Kota
Palembang, 2013). Kolam yang berfungsi untuk menampung air hujan sementara waktu dengan
memberikan kesempatan untuk dapat meresap kedalam tanah yang operasionalnya dapat
dikombinasikan dengan pompa atau pintu air. Pemerintah juga melakukan pembangunan turap yang
dibangun disekitar sungai Musi untuk mengatasi bencana banjir. Saat ini Kota Palembang memiliki 2
turap, yaitu di kelurahaan 11-12 Ulu dan di sekitar kawasan pasar 16 Ilir Kota Palembang. Turap ini
berfungsi untuk mengurangi genangan yang ada disekitar dan menahan sampah dari Sungai Musi.
Kebijakan rutin yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Palembang adalah normalisasi sungai dan saluran
drainase. Setiap tahun pemerintah mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
kota melalui Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air (PU SDA) Kota Palembang untuk melakukan
normalisasi. Normalisasi ini untuk mengurangi sedimentasi di sungai-sungai yang ada di Kota Palembang
yang mencapai 1 meter. Untuk ruang terbuka hijau, pemerintah mengintegrasikan ruang terbuka hijau
dengan kolam dan tumbuhan yang dapat menyerap air (Gambar 9).

Gambar 8 Kolam Retensi Kambang Iwak Palembang

13
(Sumber : Observasi, 2013)

2500

2000

Luas (Ha)
1500

1000

500

0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun

Gambar 9 Perkembangan luasan Ruang Terbuka Hijau (2005-2011)


(Sumber: Dinas Kebersihan Kota Palembang, 2012)

Gambar 10 Overlay Peta Bahaya Banjir dan Peta Rawa


(Sumber: Hasil Analisis, 2013)

5. Adaptasi Banjir oleh Penduduk


Pertambahan penduduk di Kota Palembang mengakibatkan permintaan lahan semakin tinggi. Hal ini
ditunjukkan dengan alih fungsi lahan basah (rawa) menjadi lahan terbangun, seperti perumahan,
perdagangan, industri dan jasa semakin meningkat sejak tahun 1985 hingga saat ini. Pada tahun 1985,
pemerintah Kota Palembang mengeluarkan izin reklamasi rawa untuk dijadikan perumahan, yaitu
Perumahan Elit Bukit Sejahtera atau Poligon dan kawasan Jakabaring Sport City, pada tahun 2004, yang
difungsikan sebagai kawasan Olahraga untuk menunjang kegiatan PON (Pekan Olahraga Nasional) di

14
Palembang. Dampak yang ditimbulkan dari penimbunan rawa ini adalah banjir. Sebenarnya, kedua
pembangunan tersebut telah diatur oleh pemerintah sehingga diharapkan dampak dari pembangunan
tersebut tidak menimbulkan banjir. Akan tetapi, adanya kecenderungan pembangunan perumahan
disekitar lokasi tersebut dan pembangunan di bagian hulu sungai musi yang tidak terkendali
memperparah kejadian banjir di Kota Palembang. Umumnya, cara masyarakat mengatasi persoalan
tersebut adalah dengan meninggikan lantai bangunan dan akses menuju bangunan (Gambar 11)

Gambar 11 Adaptasi Masyarakat di Perumahan Bukit Sejahtera (Poligon) Terhadap Banjir


(Sumber: Observasi, 2013)

Menanggapi persoalan tersebut, Pemerintah Kota Palembang maupun Provinsi Sumatera Selatan
mengeluarkan kebijakan dalam mengendalikan perubahan guna lahan basah dan mengurangi risiko
bencana banjir. Beberapa kebijakan tersebut diantaranya: Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun
2012 mengenai rawa dan Perda yang dikeluarkan oleh Gubernur Nomor 5 tahun 2013 mengenai
pengendalian aktivitas di daerah hulu. Kebijakan ini merupakan bentuk pendekatan non-struktural
dalam mengelola risiko banjir (Correia et al., 1999; Hansson et al., 2008). Selain itu, pemerintah pun
mengeluarkan kebijakan dengan pendekatan struktural melalui pembangunan kolam retensi sebagai
pengendali banjir pada lahan terbangun, pembangunan turap (perkuatan tebing atau dinding penahan
tanah) di Sungai Musi, normalisasi Sungai Musi dan membangun daerah resapan air dengan
memanfaatkan RTH. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tampaknya telah
sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Brody et al., (2009), yaitu dengan mengintegrasikan
pendekatan struktural dan non-struktural dalam pengelolaan risiko banjir di kawasan perkotaan. Selain
itu beberapa kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah daerah menunjukkan adanya upaya
pengarusutamaan pengaturan guna lahan berbasis risiko banjir dalam proses perencanaan
pembangunan di tingkat kota (Beatley, 2009; Jha et al., 2012b).

15
Gambar 12 Adaptasi Masyarakat di Perumahan Komplek Griya Asri (Kel. Pulo Kerto) Terhadap Banjir
(Sumber: Observasi, 2013)

Gambar 13 Adaptasi Masyarakat di sekitar Sungai Kel. Pulo Kerto) Terhadap Banjir
(Sumber: Observasi, 2013)

Walaupun pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan terkait pengendalian alih fungsi lahan,
namun upaya pemerintah masih memiliki kendala yang signifikan dalam upaya pengendalian dan
pengawasan implementasi kebijakan. Hal ini ditunjukkan dengan peraturan daerah yang dikeluarkan
untuk mengendalikan alih fungsi lahan basah baru dilakukan pada tahun 2012 - 2013. Tindakan ini
dianggap terlambat karena pengalih-fungsian lahan basah menjadi perumahan dan fasilitas lainnya telah

16
terlanjur berkembang pesat dan tidak terkendali. Sejauh ini, RTRW Kota Palembang 2012-2032 belum
disahkan atau dilegalkan dalam bentuk peraturan daerah. Hal ini mengakibatkan minimnya acuan dalam
pengendalian pembangunan dan kontrol dari pemerintah pasca dikeluarkannya izin reklamasi rawa
menjadi lahan terbangun dibeberapa lokasi. Implikasinya adalah tidak terkendalinya alih fungsi lahan
basah menjadi lahan terbangun di Kota Palembang. Kendala-kendala tersebut menunjukkan kapasitas
pemerintah Kota Palembang dalam menghadapi dan mengendalikan alih fungsi lahan masih rendah.

Untuk mengatasi persoalan dan kendala memang tidak mudah apabila dilakukan oleh pemerintah
daerah sendiri tanpa dukungan pihak lain. Oleh karena itu, hal yang perlu dilakukan dalam menghadapi
persoalan dan kendala dalam mengendalikan alih fungsi lahan basah, yaitu dengan cara
memaksimalkan kebijakan struktural yang sedang berlangsung maupun penegasan pengendalian alih
fungsi lahan dalam bentuk pengesahan RTRW Kota Palembang 2012-2032 sebagai acuan pembangunan
wilayah. Disamping itu, pengadaan peta rawan banjir pun penting sebagai dasar penetapan kebijakan
untuk minimalisir potensi kerusakan banjir (WMO, 2007). Upaya mengintegrasikan pendekatan
struktural dan non-struktural menjadi tantangan bagi Pemerintah Kota Palembang dan para aktor
lainnya dalam mengelola risiko banjir melalui peningatan kapasitas dan komitmen Pemerintah Daerah
Kota Palembang.

6. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, studi ini menyimpulkan bahwa perubahan fungsi lahan basah
menjadi lahan terbangun menjadi pemicu peningkatan kejadian bencana banjir di Kota Palembang. Hal
ini didukung oleh berkurangnya luasan lahan basah dan menigkatnya lahan terbangun di Kota
Palembang. Sebagai akibatnya, beberapa kawasan bekas rawa yang direklamasi menjadi dataran banjir
dan seringkali dilanda bencana banjir karena berkurangnya fungsi resapan dan retensi air alami
tersebut. Untuk mengurangi risiko banjir yang diakibatkan oleh bencana banjiir ini, pemerintah Kota
Palembang dan Provinsi Sumatera Selatan sudah melakukan berbagai upaya dan strategi pengurangan
risiko bencana. Sayangnya, upaya pengaturan guna lahan dan pengelolaan DAS belum signifikan dalam
hal pengawasan dan pengendalian pemanfaatan lahan basah, baik yang konservasi ataupun yang
ditunjukkan untuk lahan terbangun, sehingga praktek alih fungsi lahan masih dapat ditemui hingga ini.
Upaya struktural, seperti pembangunan turap, kolam retensi, drainase, dan lainnya, yang telah
dilakukan dan yang akan dilakukan akan sangat tidak efektif mengurangi risiko banjir apabila upaya
pengendalian guna lahan basah dan pengelolaan DAS tidak dilakukan secara maksimal.
Studi ini mengusulkan bahwa integrasi pembangunan, penataan ruang dan kebencanaan sangat penting
untuk mengurangi risiko yang akan muncul di kemudian hari. Bahwa kebijakan yang telah ada, sejauh ini
telah berkontribusi. Akan tetapi, untuk lebih efektif, kebijakan pengurangan risiko bencana banjir maka
diperlukan integrasi terhadap program pembangunan yang ada tanpa menghilangkan fungsi dari salah
satu elemen yang menopang dinamika pembangunan perkotaan. Salah satunya adalah perlu adanya
proporsi yang ditetapkan dalam regulasi kota tentang luasan kawasan terbangun dan kawasan lindung
dan disertai kebijakan insentif dan dis-insentif dalam pemanfaatannya. Kebijakan ini dapat
diintegrasikan dalam produk dari perencanaan guna lahan, perencanaan sumber daya air dan pengairan,
perencanaan kontingensi bencana banjir, dan lainnya. Sebagai contoh, memanfaatkan lahan rawa
sebagai kawasan konservasi dan kawasan wisata alam, sehingga terhindar dari pengalihan fungsi lahan.

17
Selain itu, peran aktif masyarakat juga perlu ditingkatkan melalui edukasi kesiapsiagaan masyarakat.
Kesiapan masyarakat menghadapi bencana banjir akan menimimalkan risikonya.

Ucapan Terima kasih.


Penulis mengucapkan bantuan data-data sekunder yang diperoleh dari Bank Dunia (2013) dan pada
waktu kunjungan ke Kota Palembang melalui program “National Urban Development Programme” yang
digunakan di dalam tulisan ini. Akan tetapi, segala tanggung jawab atas penulisan ini terdapat pada
penulis.

Referensi

Adelekan, I.O., 2010. Vulnerability of poor urban coastal communities to flooding in Lagos, Nigeria.
Environment and Urbanization, 22(2): 433-450.
Adelekan, I.O., 2011. Vulnerability assessment of an urban flood in Nigeria: Abeokuta flood 2007.
Natural Hazards, 56(1): 215-231.
Beatley, T., 2009. Planning for coastal resilience: Best practices for calamitous times. Island Press.
Birkland, T.A., Burby, R.J., Conrad, D., Cortner, H. and Michener, W.K., 2003. River ecology and flood
hazard mitigation. Natural Hazards Review, 4(1): 46-54.
Birkmann, J., Garschagen, M., Kraas, F. and Quang, N., 2010. Adaptive urban governance: new
challenges for the second generation of urban adaptation strategies to climate change.
Sustainability Science, 5(2): 185-206.
Brody, S.D., Zahran, S., Highfield, W.E., Bernhardt, S.P. and Vedlitz, A., 2009. Policy learning for flood
mitigation: A longitudinal assessment of the community rating system in Florida. Risk Analysis,
29(6): 912-929.
Burby, R.J. and French, S.P., 1981. Coping with floods: the land use management paradox. Journal of the
American Planning Association, 47(3): 289-300.
Correia, F.N., Da Silva, F.N. and Ramos, I., 1999. Floodplain management in urban developing areas. Part
I. Urban growth scenarios and land-use controls. Water Resources Management, 13(1): 1-21.
Coumou, D. and Rahmstorf, S., 2012. A decade of weather extremes. Nature Climate Change, 2(7): 491-
496.
Dahliani, D., 2012. Konsep Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa, Banjarmasin. Lanting Journal
of Architecture, 1(2): 96 - 105.
Firman, T., 2009. The continuity and change in mega-urbanization in Indonesia: A survey of Jakarta–
Bandung Region (JBR) development. Habitat International, 33(4): 327-339.
Gilard, O. and Givone, P., 1997. Flood risk management: new concepts and methods for objective
negotiations. IAHS Publications-Series of Proceedings and Reports-Intern Assoc Hydrological
Sciences, 239: 145-158.
Guhathakurta, P., Sreejith, O. and Menon, P., 2011. Impact of climate change on extreme rainfall events
and flood risk in India. Journal of Earth System Science, 120(3): 359-373.
Hansson, K., Danielson, M. and Ekenberg, L., 2008. A framework for evaluation of flood management
strategies. Journal of Environmental Management, 86(3): 465-480.
Hapsoro, D.N.Y. and Gunanto, G., 2013. Analisis Pengaruh Variabel Makroekonomi Regional Terhadap
Tingkat Kemiskinan. Diponegoro Journal of Economics, 2(2): 1-12.

18
Highfield, W.E. and Brody, S.D., 2006. Price of permits: Measuring the economic impacts of wetland
development on flood damages in Florida. Natural Hazards Review, 7(3): 123-130.
Holway, J.M. and Burby, R.J., 1993. Reducing Flood Losses Local Planning and Land Use Controls. Journal
of the American Planning Association, 59(2): 205-216.
IFRC, 2010. World Disaster Report 2010: Focus On Urban Risk, International Federation of Red Cross and
Red Crescent Socities, Geneva.
Jha, A.K., Bloch, R. and Lamond, J., 2012a. Cities and flooding: a guide to integrated urban flood risk
management for the 21st century. World Bank Publications.
Jha, A.K., Minner, T. and Stanton-Geddes, Z., 2012b. Building Urban Resilience: Principles, Tools and
Practice, The World Bank.
Jia, H., Ma, H. and Wei, M., 2011. Urban wetland planning: A case study in the Beijing central region.
Ecological Complexity, 8(2): 213-221.
Jones, G.W., 2002. Southeast Asian Urbanization and The Growth of Mega-Urban Region. Journal of
Population Research, 19(2): 119 -136.
Khaliesh, H., Widiastuti, I. and Budi, S.B., 2012. Karakteristik Permukiman Tepian Sungai Kampung Beting
di Pontianak: Dari Rumah Lanting ke Rumah Tiang. In: A.S. Wibowo, I. Widiastuti, H.E. Kusuma
and D. Larasati (Editors), Temu Ilmiah IPLBI 2012. Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia,
Bandung, 3 - 4 November 2012.
Kim, D.G., Kim, S.J. and Ahn, T.J., 2010. Wetland Construction: Flood Control and Water Balance
Analysis. Environmental Engineering Research (EER), 15(4): 197-205.
Lantz, V., Boxall, P.C., Kennedy, M. and Wilson, J., 2013. The valuation of wetland conservation in an
urban/peri urban watershed. Regional Environmental Change: 1-15.
Mekvichai, B., 2008. Vulnerable Cities: Realities, Innovations, and Strategies. In: T. Kidokoro (Editor), The
Vulnerable City: Coping with Disasters. Springer, Tokyo.
Murod, C. and Hanum, M., 2012. Evaluasi Citra Kota Palembang Sebagai Kota Air Tempo Doeloe dan
Masa Kini. In: J. Adiyanto, T. Lusetyowati, A. Siswanto and W. Fransiska (Editors), Palembang:
Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan. Program Arsitektur Universitas Sriwijaya, Palembang, 17
November.
Nicholls, R.J., Hoozemans, F.M. and Marchand, M., 1999. Increasing flood risk and wetland losses due to
global sea-level rise: regional and global analyses. Global Environmental Change, 9: S69-S87.
Partoyo and Shrestha, R.P., 2013. Monitoring farmland loss and projecting the future land use of an
urbanized watershed in Yogyakarta, Indonesia. Journal of Land Use Science, 8(1): 59-84.
Pearce, L., 2003. Disaster management and community planning, and public participation: how to
achieve sustainable hazard mitigation. Natural hazards, 28(2-3): 211-228.
Plate, E.J., 2002. Flood risk and flood management. Journal of Hydrology, 267(1): 2-11.
Pulungan, C., 2009. Fauna Ikan dari Sungai Tenayan, Anak Sungai Siak, dan Rawa di Sekitarnya, Riau.
Berkala Perikanan Terubuk, 37(2): 78-90.
Razafindrabe, B.H., Kada, R., Arima, M. and Inoue, S., 2012. Analyzing flood risk and related impacts to
urban communities in central Vietnam. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change:
1-22.
Rowe, S.T. and Villarini, G., 2013. Flooding associated with predecessor rain events over the Midwest
United States. Environmental Research Letters, 8(2): 024007.
Sa'ad, A., Sabiham, S., Sutandi, A., Sumawinata, B. and Ardiansyah, M., 2010. Perubahan Penggunaan
Lahan Pasang SUrut Setelah Reklamasi di Delta Berbak, Jambi. Jurnal Hidrolitan, 1(3): 37 - 46.
Sagala, S., Lassa, J., Yasaditama, H. and Hudalah, D., 2013. The evolution of risk and vulnerability in
Greater Jakarta: contesting government policy in dealing with a megacity’s exposure to flooding.
IRGSC Reseach Working Paper, 2.

19
Trenberth, K.E., 2012. Framing the way to relate climate extremes to climate change. Climatic Change,
115(2): 283-290.
Wang, H.-W., Kuo, P.-H. and Shiau, J.-T., 2013. Assessment of climate change impacts on flooding
vulnerability for lowland management in southwestern Taiwan. Natural Hazards, 68(2): 1001-
1019.
Wheater, H. and Evans, E., 2009. Land use, water management and future flood risk. Land Use Policy,
26: S251-S264.
Wisner, B., Blakilie, P., Canon, T. and Davis, I., 2004. At Risk: Natural Hazards, People's Vulnerability and
Disasters. Routledge, New York.

20

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai