Anda di halaman 1dari 15

Sari Pustaka Kepada Yth :

Divisi Pediatric Intensive Care Unit

HUBUNGAN 25-HYDROXYVITAMIN D DENGAN SEPSIS PADA ANAK

Penyaji : Austin Simon Tjowanta


Hari/ Tanggal :
Pembimbing : Prof. dr. H. Chairul Yoel, Sp.A(K)
Prof. dr. H. Munar Lubis, Sp.A(K)
dr. Yunnie Trisnawati, M.Ked(Ped), Sp.A
dr. Gemma Nazri Yani, M.Ked(Ped), Sp.A
dr. Rina A.C. Saragih, M.Ked(Ped), Sp.A
dr. Aridamuriany Lubis, M.Ked(Ped), Sp.A
dr. Putri Amelia, M.Ked(Ped), Sp.A
dr. Badai Buana Nasution, M.Ked(Ped), Sp.A

Pendahuluan
Sepsis adalah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) yang disertai dugaan atau bukti
ditemukan infeksi di dalam darah.1 Sepsis merupakan penyebab tersering kematian pada bayi dan
anak. Insidensi sepsis berat dan syok septik meningkat dalam 30 sampai 40 tahun terakhir. 2 Data
di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kejadian sepsis pada pasien yang dirawat di unit
perawatan intensif anak mencapai lebih dari 42 000 kasus dengan angka kematian sebesar
10.3%.1 Penelusuran rekam medik internal Divisi Pediatrik Gawat Darurat Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) tahun 2009 menemukan
persentase kejadian sepsis 19.3% dari 502 pasien anak yang dirawat di Pediatric Intensive Care
Unit (PICU) RSCM dengan angka mortalitas 10%.3
Beberapa faktor yang berperan terhadap mortalitas sepsis pada anak meliputi faktor
pejamu, mikroorganisme penyebab, serta tata laksana yang diberikan. Status imun pejamu
merupakan faktor penting yang menentukan luaran pada sepsis. Respons pejamu terhadap sepsis
bergantung pula kepada kematangan sistem imunitas. Tahap perkembangan sistem imun
menunjukkan bahwa semakin muda usia orang, semakin sedikit tingkat kematangan sistem imun
yang dicapai, sehingga semakin rendah pula kemampuan membunuh patogen. 3 Selain usia muda,
imunodefisiensi dapat ditemukan pada kondisi malnutrisi, penyakit kronis, luka bakar, atau
penyakit keganasan.3,4
Banyak anak dirawat di PICU dengan infeksi serius atau dengan peluang yang besar
tertular infeksi nosokomial saat dirawat. Sepsis berat sendiri memiliki morbiditas dan mortalitas
yang tinggi.5

1
Vitamin D memainkan peran penting dalam banyak fungsi fisiologis yang
berbeda. Fungsi utama vitamin D adalah untuk mempertahankan homeostasis kalsium dan fosfor
dan mineralisasi tulang, tetapi saat ini banyak penelitian telah difokuskan pada peran baru
vitamin D dalam metabolisme glukosa, fungsi endotel dan modulasi sistem imun. 6,7 Vitamin D
memiliki peran penting dalam mengoptimalkan fungsi dari sistem pertahanan dini dengan
menginduksi peptida antimikroba dalam sel epitel, neutrofil dan makrofag serta memodulasi
respon imun adaptif.8 Beberapa studi menyebutkan bahwa defisiensi vitamin D pada pasien
sepsis mempunyai risiko mortalitas saat dirawat di unit perawatan intensif.9

Tujuan penulisan sari pustaka ini adalah untuk mengetahui hubungan 25-hydroxyvitamin D
dengan sepsis pada anak.

Sepsis
Sepsis adalah suatu keadaan SIRS yang terjadi akibat infeksi, baik infeksi yang sudah terbukti
maupun yang masih dicurigai. Definisi SIRS pada dewasa dan anak tidak sama, yakni SIRS pada
anak harus dijumpai suhu tubuh abnormal atau hitung leukosit yang abnormal.1
Goldstein dalam International Pediatric Sepsis Consensus Conference telah
memodifikasi definisi sepsis dan gagal organ yang dikeluarkan pada konferensi konsensus tahun
1992. Berdasarkan perubahan fisiologis, tanda-tanda vital dan data laboratorium yang normal
pada anak, maka Goldstein mengelompokkan usia menjadi 6 kelompok yaitu bayi baru lahir
(usia 0 hari hingga 1 minggu), neonatus (usia 1 minggu hingga 1 bulan), bayi (usia 1 bulan
hingga 1 tahun), balita (usia 2 hingga 5 tahun), anak usia sekolah (usia 6 hingga 12 tahun) dan
remaja atau dewasa muda (usia 13 hingga < 18 tahun). Tanda-tanda vital dan variabel
laboratorium sesuai usia yang digunakan sebagai acuan dalam menegakkan diagnosis.1
Merujuk hasil konferensi internasional tentang konsensus sepsis pada anak (International
pediatric sepsis consensus conference) pada tahun 2002 definisi SIRS, infeksi, sepsis, sepsis
berat, dan syok septik adalah sebagaimana dijelaskan pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Defenisi SIRS, infeksi, sepsis, sepsis berat, dan syok septik1
SIRS
Terdapat sekurang-kurangnya 2 dari 4 kriteria, dimana salah satu diantaranya harus
suhu tubuh abnormal atau jumlah leukosit yang abnormal :
 Temperatur > 38.5 °C atau < 36 °C (rektum, kantung kemih, oral atau kateter
sentral).
 Takikardi : Rerata denyut jantung > 2 SD diatas normal sesuai usia tanpa
adanya stimulasi eksternal, obat kronis, atau rangsang nyeri
ATAU
adanya kenaikan denyut jantung persisten selama 0.5-4 jam yang tidak bisa
diterangkan penyebabnya

2
ATAU
pada anak usia < 1 tahun, adanya bradikardia persisten (rerata denyut jantung
< persentil ke 10 untuk usianya tanpa rangsang vagus, obat ß blocker atau
penyakit jantung bawaan) selama 0.5 jam.
 Rerata laju napas > 2 SD diatas normal untuk usianya atau kebutuhan akut
pemasangan ventilasi mekanis yang tidak berhubungan dengan penyakit
neuromuskular atau anastesi umum.
 Jumlah leukosit yang meningkat atau menurun untuk usianya (bukan
keukopenia sekunder karena kemoterapi) atau adanya neutrofil imatur > 10%.
Infeksi
 Tersangka atau terbukti infeksi (dari hasil kultur yang positif, pewarnaan
jaringan, atau uji polymerase chain reaction)
ATAU
sindrom klinik yang dihubungkan dengan kemungkinan yang tinggi untuk
terjadinya infeksi.
 Bukti adanya infeksi dilihat dari pemeriksaan klinik, pencitraan dan
laboratorium yang positif (misalnya: adanya sel leukosit pada cairan tubuh
yang seharusnya steril, terdapatnya tanda perforasi, gambaran foto thorax
adanya pneumonia, petekie atau purpura).
Sepsis
SIRS ditambah tersangka atau terbukti infeksi.
Sepsis berat
Sepsis yang disertai salah satu hal berikut : adanya disfungsi organ kardiovaskular
atau adanya sindrom distress napas akut (acute respiratory distress syndrome/ARDS)
atau adanya disfungsi 2 organ atau lebih (kriteria disfungsi organ pada tabel 2).
Syok septik
Sepsis dengan disfungsi organ kardiovaskular.

Kriteria untuk disfungsi multi organ dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini :
Tabel 2. Kriteria disfungsi multi organ pada anak1
Kardiovaskular
 Setelah pemberian bolus cairan isotonik intravena ≥ 40 ml/kg dalam 1 jam
masih terdapat hipotensi yaitu, tekanan darah < persentil 5 sesuai usia atau
tekanan darah sistolik < 2 SD dibawah nilai normal sesuai usia
ATAU
 Membutuhkan obat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah normal
( dopamin > 5 μg/kg/menit atau dobutamin, epinefrin, atau norepinefrin
dengan dosis berapapun)

3
ATAU
 Dua dari kriteria berikut ini :
- Asidosis metabolic yang tidak dapat dijelaskan: base deficit > 5 mEq/L
- Peningkatan laktat arteri > 2 kali lipat dari nilai normal tertinggi
- Oliguria, yaitu keluaran urin < 0.5 mL/kg/jam
- Waktu pengisian kapiler memanjang > 5 detik
- Perbedaan suhu tubuh terhadap suhu perifer > 3°C
Respirasi
 PaO2/FIO2 < 300 tanpa adanya penyakit jantung tipe sianotik atau penyakit
paru sebelumnya
ATAU
 PaCO2 > 65 torr atau 20 mmHg diatas nilai PaCO2
ATAU
 Terbukti memerlukan atau FiO2 > 50% untuk mempertahankan saturasi ≥
92%
ATAU
 Membutuhkan ventilasi mekanik non elektif baik secara invasif maupun non
invansif
Neurologis
 Nilai GCS (Glasgow Coma Score) ≤ 11
ATAU
 Perubahan status mental secara akut dengan penurunan GCS ≥ 3 angka dari
dasar
Hematologi
 Jumlah trombosit < 80 000/mm3 atau penurunan jumlah mencapai 50% dari
jumlah trombosit tertinggi dalam 3 hari terakhir (untuk pasien
hematologi/onkologi kronis)
ATAU
 International normalized ratio > 2
Renal
 Kreatinin serum ≥ 2 kali lipat dari nilai normal tertinggi sesuai usia atau
peningkatan 2 kali lipat dari nilai dasar kreatinin.
Hepar
 Bilirubin total ≥ 4 mg/dL (tidak dapat diaplikasikan pada neonatus)
ATAU
 ALT (SGPT) mengalami peningkatan 2 kali lipat nilai normal tertinggi sesuai
usia

4
Sepsis dapat terjadi tidak hanya melalui penyebaran langsung dari patogen ke dalam
aliran darah, tetapi juga secara tidak langsung seperti dari komplikasi pascaoperasi, trauma,
terbakar, perdarahan, dan translokasi bakteri melalui reperfusi iskemik usus. Setelah patogen
masuk, respon pejamu terhadap patogen dimediasi sistem pertahanan dini dan adaptif.10
Sistem pertahanan bawaan merupakan baris pertahanan pertama, sedangkan sistem imun
adaptif terdiri dari sel-sel sistemik yang sangat khusus untuk mendeteksi patogen tertentu dan
menimbulkan respon yang semakin kuat setiap kali patogen terdeteksi. Setelah dipicu oleh
stimulus awal, sel-sel sistem pertahanan bawaan akan melepaskan sejumlah besar sitokin,
kemokin, produk aktivasi komplemen, dan molekul endogen intraseluler baik pada fase awal
maupun fase lanjut dari sepsis. Demikian pula, respon imun adaptif yang diinduksi karena
interaksi antara antigen-presenting cells (APC) dengan patogen. Saat antigen telah dikenal, sel-
sel sistem imun adaptif, seperti sel T naïve, akan berproliferasi untuk menghasilkan sel-sel
efektor, yang pada gilirannya, melepaskan profil sitokin yang berbeda.10,11

Patofisiologi Sepsis
Sepsis adalah proses inflamasi sistemik yang berat sebagai respon terhadap patogen yang
menginvasi. Suatu respon imun yang berlebihan yang dimediasi oleh pelepasan berbagai
mediator inflamasi, dapat menyebabkan syok, kerusakan organ multipel dan bahkan kematian.10
Setelah infeksi awal, patogen mulai bermultiplikasi secara lokal dan terjadi persaingan
antara kemampuan patogen untuk berkembang biak dan menyebar dengan kemampuan pejamu
untuk menahan dan membunuh patogen. Persaingan ini dimulai setelah sistem pertahanan
bawaan mendeteksi serangan mikroorganisme melalui pathogen recognition receptors, yang
diekspresikan pada barier epitel serta pada sel-sel imun seperti sel-sel dendritik dan makrofag.
Salah satu pathogen recognition receptors disebut toll-like receptors yang mengenali motif
makromolekul dari mikroorganisme, disebut pathogen-associated molecular patterns. Yang
merupakan contoh pathogen-associated molecular patterns bakteri adalah lipopolisakarida,
peptidoglikan, asam lipoteikoat, flagelin, dan asam deoksiribonukleat bakteri. Stimulasi terhadap
toll-like receptors memicu kaskade transduksi sinyal yang kemudian akan mengaktivasi nuclear
factor 𝜅B (NF-𝜅B) dan selanjutnya ditranslokasi ke inti serta menimbulkan pelepasan sitokin dan
kemokin. Hal ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi lokal, peningkatan permeabilitas vaskuler,
perekrutan neutrofil dan monosit, dan koagulopati lokal. Pengontrolan ketat proses awal sangat
penting untuk perlindungan pejamu. Patogen yang ditahan dan dieradikasi dapat melindungi
pejamu. Namun, jika inokulum tinggi dan patogen dapat menghindari pertahanan pejamu, atau
jika respon pejamu lambat untuk mengontrol multiplikasi patogen, maka infeksi sistemik dan
peradangan sistemik (sepsis) dapat terjadi.12,13

5
Gambar 1. Mekanisme pertahanan tubuh lokal dan sistemik12

Pada keadaan sepsis, sitokin proinflamasi yang dilepaskan makrofag seperti tumor
necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1), dan IL-6 akan meningkatkan inflamasi sistemik dan
disfungsi barier epitel sedangkan sitokin antiinflamasi seperti IL-10 dan transforming growth
factor-β (TGF-β) akan mengimbangi respon imun yang berlebihan. Istilah sitokin
menggambarkan suatu bagian fungsional mediator protein kecil dengan berat molekul rendah
(sebagian besar < 40 kDa), yang diproduksi secara teratur untuk mempengaruhi aktivasi dan
diferensiasi dari respon imun. Ketika dilepaskan, sitokin proinflamasi menyebabkan aktivasi dari
respon pertahanan bawaan dan adaptif, ditandai dengan produksi lebih lanjut dari sitokin
efektor.13
Kemokin seperti IL-8 dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1), yang
dilepaskan makrofag, mengaktifkan dan meningkatkan migrasi neutrofil menuju lokasi
peradangan, serta organ-organ jauh. Infiltrasi neutrofil yang terlalu banyak akan menimbulkan
inflamasi yang berlebihan dan cedera organ multipel yang berat dengan melepaskan mediator

6
proinflamasi seperti myeloperoxidase (MPO), nitrite oxide (NO), reactive oxygen species (ROS),
TNF, dan IL-6.13
Sel dendritik imatur berubah menjadi matur saat berinteraksi dengan patogen dan
bertindak sebagai APC untuk mengaktifkan sistem imun adaptif dengan meningkatkan fungsi sel
T melalui presentasi antigen. Makrofag juga dapat bertindak sebagai APC dengan memakan,
memproses, dan mempresentasikan patogen ke sel T dan meningkatkan aktivasi dan diferensiasi
mereka. Sel T yang teraktivasi kemudian akan berdiferensiasi menjadi profil sitokin yang
berbeda yaitu T helper 1 (Th1): IL-2, TNF-α, and interferon gamma (IFN- γ); Th2: IL-4, IL-5,
dan IL-10; dan Th17: IL-17 yang masing-masing mendukung imunitas seluler dan humoral.
Interleukin-10 mempunyai peran untuk mengontrol produksi sitokin proinflamasi yang
berlebihan dan juga mengurangi infiltrasi neutrofil dari berbagai organ sehingga mencegah
cedera organ multipel.10,13
Mekanisme yang terjadi pada infeksi lokal juga terjadi pada infeksi sistemik atau sepsis tapi
bersifat meluas yaitu vasodilatasi sistemik dan peningkatan permeabilitas vaskuler yang
mengarah ke syok septik, aktivasi neutrofil dan monosit yang menimbulkan cedera organ
multipel, dan koagulopati sistemik yang menimbulkan koagulasi intravaskuler diseminata dan
akhirnya kematian.12

Vitamin D
Vitamin D adalah unik karena bisa disintesis di kulit dari paparan sinar matahari. Vitamin D ada
dalam dua bentuk yaitu vitamin D2 (ergocalciferol) dan D3 (cholecalciferol). Vitamin D2 dapat
dijumpai pada jamur yang terpapar sinar matahari. Manusia mensintesis vitamin D3 setelah
terpapar dengan sinar ultraviolet, sehingga hal ini merupakan bentuk alami. Tanpa vitamin D,
hanya 10% sampai 15% dari kalsium dan sekitar 60% fosfor yang diserap di usus.14 Vitamin D,
selain berasal dari produk konversi sinar ultraviolet terhadap 7-dehydrocholesterol di kulit, juga
dapat diperoleh dari asupan makanan, seperti telur, ikan, mentega, produk susu difortifikasi dan
suplemen yang mengandung vitamin D. Vitamin D kemudian dikonversi ke bentuk sirkulasi
utama, 25-hydroxyvitamin D (calcifediol), oleh hati dengan enzim CYP2R1 atau 25-hydroxylase
dan kemudian diubah menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D atau calcitriol, oleh ginjal dengan enzim
1-α-hydroxylase (CYP27B1) untuk meningkatkan efisiensi penyerapan usus terhadap kalsium
sebagai fungsi klasik.7,15,16

7
7-dehydrocholesterol

Sinar ultravilolet dari matahari

Previtamin D

Cholecalciferol Makanan dan suplemen

Enzim 25-hydroxylase di hati

25-hydroxyvitamin D Ergocalciferol

Enzim 1-α-hydroxylase di ginjal

1,25-dihydroxyvitamin D

Berikatan dengan reseptor vitamin D

Efek biologis

Gambar 2. Sintesis vitamin D14

Kadar 25-hydroxyvitamin D merupakan marker yang digunakan secara luas untuk


menentukan status vitamin D di dalam tubuh kita karena 25-hydroxyvitamin D mewakili sintesis
vitamin D endogen di kulit setelah terpapar sinar ultraviolet dan juga asupan makanan yang
mengandung vitamin D.17
Institute of Medicine (IOM) melaporkan risiko terjadinya rickets, fraktur, dan kelainan
tulang lainnya lebih tinggi pada orang dengan kadar calcifediol < 12 ng/mL. Institute of
Medicine mengestimasi bahwa kadar calcifediol sebesar 16 ng/mL adalah sasaran yang perlu
dicapai untuk anak-anak dan dewasa. Kadar calcifediol sebesar 20 ng/mL digunakan sebagai
batasan yang dapat melindungi kesehatan tulang dari 97.5% populasi.5,17 Menurut pedoman
Endocrine Society, status vitamin D didefinisikan sebagai sufisiensi bila kadar calcifediol 31-60
ng/mL, insufisiensi bila kadar calcifediol 21-30 ng/mL dan defisiensi bila kadar calcifediol ≤ 20
ng/mL.18

8
Kekurangan vitamin D mempengaruhi hampir 50% dari populasi di seluruh dunia. 14
Diperkirakan 1 miliar orang di seluruh dunia, semua etnis dan kelompok usia, mengalami
kekurangan vitamin D.14,19 Ini pandemi hipovitaminosis D yang terutama dikaitkan dengan gaya
hidup dan faktor lingkungan dimana kurangnya paparan terhadap sinar matahari untuk
mensintesis vitamin D di kulit.14 Kekurangan vitamin D dapat dijumpai pada orang yang
menggunakan tabir surya, sindrom malabsorpsi lemak, sarkoidosis, tuberkulosis, infeksi jamur
kronis, beberapa limfoma, hiperparatiroidisme primer, obesitas, sindrom nefrotik, penggunaan
antikonvulsan, antikolesterol, obat HIV.20,21
Sumber utama vitamin D untuk anak-anak dan orang dewasa adalah paparan sinar
matahari alami. Dengan demikian, penyebab utama dari kekurangan vitamin D adalah kurangnya
paparan sinar matahari.14,20,22 Menggunakan tabir surya dengan faktor perlindungan sinar
matahari 30 mengurangi sintesis vitamin D di kulit lebih dari 95%. 14 Ada hubungan terbalik
antara calcifediol dan indeks massa tubuh > 30 kg/m2, sehingga kekurangan vitamin D
berhubungan dengan obesitas.14,23 Pasien dengan sindrom malabsorpsi lemak sering tidak dapat
menyerap vitamin D yang larut dalam lemak, dan pasien dengan sindrom nefrotik kehilangan
calcifediol yang terikat pada protein pengikat vitamin D melalui urin.14,20 Pasien yang
mengonsumsi berbagai obat-obatan, termasuk antikonvulsan dan obat-obatan untuk mengobati
AIDS/HIV, berisiko kekurangan vitamin D karena obat ini meningkatkan katabolisme calcifediol
dan calcitriol.14,24 Pasien dengan sarkoidosis, tuberkulosis, dan infeksi jamur kronis, beberapa
limfoma, dan hiperparatiroidisme primer yang mengalami peningkatan metabolisme calcifediol
menjadi calcitriol juga berisiko tinggi untuk kekurangan vitamin D.14,25

Vitamin D dan Sepsis


Pengetahuan tentang kemampuan vitamin D untuk berfungsi di luar perannya sebagai
homeostasis tulang bukanlah fenomena yang baru. Kadar calcitriol dalam sirkulasi terutama
ditentukan oleh aktivitas enzim CYP27B1 ginjal. Namun, tipe sel lainnya termasuk sel-sel imun
juga mengekspresikan enzim CYP27B1 dan mampu untuk mengubah calcifediol menjadi
calcitriol.26
Peran penting vitamin D dalam sistem imun manusia pada awalnya ditunjukkan dengan
ditemukannya reseptor vitamin D di hampir semua tipe sel imun, termasuk CD4+ dan CD8+ dari
sel T yang teraktivasi, sel B, neutrofil, makrofag dan sel dendritik. Sel-sel ini memicu respon
pertahanan tubuh bawaan dan adaptif terhadap patogen yang menyebabkan sepsis. Hubungan
tersebut yang ditemukan oleh para ilmuwan adalah kompleks, namun tema yang mendasari
adalah modulasi respon imun adaptif dan juga mengaktifkan imunitas bawaan. Dalam hal
imunitas adaptif, vitamin D mempengaruhi proliferasi dan diferensiasi sel T dan B dan
memodulasi produksi imunoglobulin.8
Sistem pertahanan bawaan bertindak cepat untuk mengidentifikasi organisme yang
menginvasi dan merespon dengan mekanisme pertahanan humoral dan selular untuk menahan,

9
menetralisir dan mematikan patogen yang masuk. Patogen-patogen ini kemudian diidentifikasi
sebagai pathogen-associated molecular patterns yang berikatan dengan   pattern recognition
receptors pada sel-sel imun. Sel-sel yang berperan dalam respon pertahanan bawaan ini termasuk
neutrofil dan monosit serta sel-sel epitel yang tidak hanya berfungsi sebagai barier tetapi juga
memiliki aktivitas antipatogen.8,27
Monosit (makrofag) berperan penting dalam sistem pertahanan bawaan sebagai sel
yang berhadapan dengan antigen dan juga dalam hal fagositosis. Monosit (makrofag) manusia
mengenali pathogen-associated molecular patterns melalui toll-like receptors yang merupakan
salah satu tipe pattern recognition receptors. Bakteri gram negatif yang merupakan salah satu
penyebab sepsis akan melepaskan endotoksin yang merupakan lipopolisakarida dan kemudian
berikatan dengan toll-like receptors 4 sehingga mengaktivasi kaskade inflamasi sepsis.
Makrofag dan sel dendritik dengan toll-like receptors pada permukaan selnya yang berikatan
dengan patogen atau toksin kemudian mempresentasikan MHC kelas II yang nantinya dibawa ke
sel T. Patogen yang berikatan dengan toll-like receptors akan memicu sintesis calcitriol dari
calcifediol di dalam sel imun. Sel dendritik dan makrofag yang disebut sebagai APC juga
mengekspresikan reseptor vitamin D yang akan berikatan dengan calcitriol untuk
menginduksi proliferasi monosit, meningkatkan produksi IL-1, IL-6, TNF-α dan juga
meningkatkan pembentukan cathelicidin (peptida antimikroba : LL-37) dan defensin-β dari
makrofag, sehingga berperan dalam respon pertahanan bawaan terhadap patogen. Cathelicidin
dan defensin-β memiliki aktivitas antimikroba yang luas terhadap bakteri gram positif dan gram
negatif, serta virus tertentu dan jamur. Calcitriol juga menghambat aktivasi lipopolisakarida dan
vasodilatasi endotel pembuluh darah pada sepsis sehingga mencegah terjadi koagulasi
intravaskuler diseminata.8,16,28-30
Calcitriol menurunkan maturasi sel dendritik, menghambat peningkatan MHC kelas II,
CD40, CD80 dan CD86. Selain itu, calcitriol juga menurunkan produksi IL-12 dari sel dendritik
dan menginduksi produksi IL-10. Makrofag dan sel dendritik matur dapat menginduksi imunitas
yang dimediasi oleh sel T dan sel B adaptif setelah berinteraksi dengan patogen sehingga terjadi
respon imun adaptif. Makrofag dan sel dendritik matur juga mengekspresikan enzim CYP27B1
dan akan mensintesis calcitriol dari calcifediol. Salah satu tipe sel T adalah sel T helper (Th).
Calcitriol dapat menekan proliferasi sel Th serta memodulasi produksi sitokin dari sel Th.
Aktivasi sel Th setelah berinteraksi dengan antigen dan MHC kelas II menimbulkan generasi Th
dengan profil sitokin yang berbeda : Th1 (IL - 2, interferon gamma, TNF-α) dan Th2 (IL - 3, IL -
4, IL - 5, IL -10) yang masing-masing mendukung imunitas seluler dan humoral.31,32
Calcitriol akan menurunkan sitokin Th1 dan meningkatkan respon sel Th2. Sel Th2
akan berinteraksi dengan sel B yang berikatan dengan antigen dan mengaktivasinya sehingga
terjadi proses proliferasi dan diferensiasi sel B. Sel B (antibody secreting cells/ASC) yang telah
berdiferensiasi akan menghasilkan antibodi (imunoglobulin) untuk melawan patogen. Calcitriol
berperan untuk menurunkan proliferasi sel B sehingga mengontrol secara efisien proses respon

10
imun. Sel Th lain yang dipengaruhi oleh vitamin D adalah effector, memory dan sel Th17 yang
mensekresi IL-17. Studi terbaru menunjukkan bahwa calcitriol menekan produksi IL-17 melalui
penekanan transkripsi langsung dari ekspresi gen IL-17. Sel T lainnya yang juga diinduksi oleh
calcitriol adalah sel T regulator (Treg). Treg berperan untuk menekan respon imun yang
distimulasi oleh sel T lainnya sebagai bagian dari mencegah respon imun yang berlebihan
maupun respon autoimun.26,31,32

Gambar 3. Mekanisme respon imun terhadap vitamin D32

11
Jeng L, dkk mengatakan dalam penelitian mereka bahwa pada pasien sepsis dijumpai
insufisiensi vitamin D (kadar calcifediol < 30 ng/mL) disertai penurunan kadar LL-37 sebagai
peptida antimikroba. Pada pasien sepsis, protein pengikat vitamin D (Gc-globulin) selain
berfungsi sebagai pembawa calcifediol dan calcitriol juga berfungsi mengikat actin monomer
sehingga mencegah polimerisasi menjadi F-actin. Polimerisasi actin yang dilepaskan oleh
jaringan cedera pada sepsis akan menimbulkan agregasi trombosit sehingga terjadi emboli mikro
pada end-organs. Hal inilah yang dicegah oleh Gc-globulin. Actin yang berikatan dengan Gc-
globulin menyebabkan berkurangnya kadar Gc-globulin sehingga vitamin D dan metabolitnya
terbuang melalui ginjal dan hal inilah yang menjelaskan terjadinya insufisiensi vitamin D pada
sepsis.16,33
Braun A, dkk menyebutkan dalam penelitian mereka bahwa risiko terjadinya sepsis pada
pasien berusia ≥ 18 tahun dengan defisiensi vitamin D (kadar calcifediol ≤ 15 ng/mL) adalah
1.6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa defisiensi vitamin D. Demikian juga
risiko mortalitas pada pasien sepsis dengan defisiensi vitamin D (kadar calcifediol ≤ 15 ng/mL)
adalah 1.6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan pasien sepsis tanpa defisiensi vitamin D.7
Moromizato T, dkk menyimpulkan dalam penelitian mereka, bahwa risiko terjadinya
sepsis pada pasien berusia ≥ 18 tahun dengan defisiensi vitamin D (kadar calcifediol ≤ 15
ng/mL) lebih tinggi 1.5 kali lipat dibandingkan dengan pasien tanpa defisiensi vitamin D. Risiko
kematian dalam 30 hari pada pasien sepsis dengan kadar calcifediol ≤ 30 ng/mL lebih tinggi 1.6
kali lipat dibandingkan dengan pasien sepsis dengan kadar calcifediol > 30 ng/mL. Mekanisme
potensial untuk peningkatan risiko sepsis pada pasien dengan kekurangan vitamin D
berhubungan dengan efek stimulasi pada sistem pertahanan bawan dan supresi reaktivitas imun.
Bukti adanya cacat dalam fungsi makrofag, seperti kemotaksis, fagositosis, produksi sitokin
proinflamasi dan pembentukan cathelicidin. Mekanisme lainnya yang meningkatkan risiko
kematian pada pasien sepsis dengan kekurangan vitamin D yaitu adanya vasodilatasi dan
inflamasi endotel pembuluh darah disertai berkurangnya Gc-globulin.34
Ismail AM, dkk menyebutkan bahwa adanya hubungan antara sepsis pada anak dengan
kadar calcifediol < 30 ng/mL (75%) dan juga kadar LL-37 (cathelicidin) yang rendah.
Cathelicidin adalah peptida kecil yang berperan penting dalam mekanisme pertahanan bawaan
terhadap infeksi dan membunuh patogen dengan cara merusak membran sel.35
Hasil yang kontras didapatkan dalam penelitian Aydemir G, dkk yang menyimpulkan
bahwa terjadi peningkatan kadar calcifediol pada anak dengan sepsis. Peningkatan kadar
calcifediol pada sepsis untuk memicu produksi peptida antimikroba yang berperan pada sistem
pertahanan tubuh.36
Penelitian Madden K, dkk menyebutkan bahwa pasien anak yang kekurangan vitamin D
(kadar calcifediol < 20 ng/mL) mempunyai risiko mengalami syok septik dan pemberian
suplemen vitamin D pada anak sebelum sakit dapat mencegah kekurangan vitamin D sehingga
pasien terlindung dari penyakit kritis.37

12
Rekomendasi asupan harian vitamin D untuk bayi berusia 0-1 tahun adalah 400 IU/hari
dan anak berusia 1 tahun ke atas adalah 600 IU/hari. Untuk bayi berusia 0-1 tahun dengan
kekurangan vitamin D dianjurkan pemberian vitamin D 2000 IU/hari atau 50 000 IU sekali
seminggu selama 6 minggu kemudian diteruskan dengan dosis 400-1000 IU/hari sedangkan
untuk anak berusia 1-18 tahun diterapi dengan vitamin D 2000 IU/hari atau 50 000 IU sekali
seminggu selama 6 minggu kemudian diteruskan dengan dosis 600-1000 IU/hari.21
Cetinkaya M, dkk menyebutkan bahwa 84% dari neonatus pada kelompok sepsis
memiliki kadar calcifediol < 11 ng/mL yang berarti neonatus dengan defisiensi vitamin D
mempunyai hubungan dengan peningkatan risiko terjadinya sepsis.38
Hasil penelitian Satheesh P, dkk menyimpulkan bahwa prevalensi pasien anak sepsis
dengan kekurangan vitamin D (kadar calcifediol < 20 ng/mL) lebih tinggi (51%) dibandingkan
dengan kontrol (17%) dan 90% dari seluruh kematian dijumpai pada anak dengan kekurangan
vitamin D.39
Amrein K, dkk menyampaikan dalam penelitian mereka bahwa pemberian vitamin D
dosis tinggi tunggal secara enteral sebesar 540 000 IU untuk pasien dewasa penyakit kritis (40%
penyakit infeksi) dengan kekurangan vitamin D (kadar calcifediol ≤ 20 ng/mL) dapat mengoreksi
kadar vitamin D menjadi normal dalam waktu 2 hari. Kenaikan kadar calcifediol pada pasien
antara 1-47 ng/mL.40
Amrein K, dkk juga menyebutkan dalam penelitian mereka yang berikutnya bahwa
pemberian vitamin D dosis tinggi secara oral atau melalui nasogastric tube sebesar 540 000 IU
sekali diikuti dengan dosis bulanan sebesar 90 000 IU selama 5 bulan untuk pasien dewasa
dengan penyakit kritis (13% sepsis) yang kekurangan vitamin D (kadar calcifediol ≤ 20 ng/mL)
dapat mengurangi mortalitas rumah sakit (30% penyebab kematian adalah sepsis). Mortalitas
rumah sakit secara signifikan lebih rendah pada kelompok vitamin D (28.6%) dibandingkan
dengan kelompok plasebo (46.1%) dengan hazard ratio 0.56 [95% CI, 0.35-0.90], p = 0.04.41

Ringkasan
Sepsis adalah sindrom klinis, yang digambarkan dengan banyaknya perubahan fisiologis dari
inflamasi sistemik pada tubuh, yang disebabkan oleh infeksi. Meskipun kemajuan besar dalam
perawatan intensif, sepsis terus menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Status imun
pejamu merupakan faktor penting yang menentukan luaran pada sepsis.
Vitamin D mempunyai peran di dalam sistem imun dan hal ini telah diteliti cukup lama
dimana bentuk aktifnya yaitu calcitriol mempunyai fungsi di dalam mekanisme pertahanan
humoral dan selular. Pada pasien sepsis dijumpai penurunan kadar calcifediol dan pasien dengan
kekurangan vitamin D mempunyai risiko terjadinya sepsis. Risiko mortalitas dijumpai lebih
tinggi pada pasien sepsis yang kekurangan vitamin D dibandingkan dengan pasien sepsis yang
mempunyai kadar vitamin D yang normal. Pemberian suplemen vitamin D pada anak sebelum
sakit dapat melindungi anak agar terhindar dari penyakit kritis dan juga menurunkan mortalitas.

13
Daftar Pustaka
1. Goldstein B, Giroir B, Randolph A. International pediatric sepsis consensus conference:
Definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatric Critical Care Medicine.
2005; 6: 2-8
2. Latief A, Pudjiadi AH, Somasetia DH, Alwi EH, Mulyo GD, Kushartono H, dkk. Diagnosis
dan tatalaksana sepsis pada anak. Unit Kerja Koordinasi Pediatri Gawat Darurat Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010: 1-22
3. Saraswati DD, Pudjiadi AH, Djer MM, Supriyatno B, Syarif DR, Kurniati N. Faktor risiko
yang berperan pada mortalitas sepsis. Sari Pediatri. 2014; 15: 281-8
4. Watson RS, Carcillo JA, Zwirble WT, Clermont G, Lidicker J, Angus DC. The epidemiology
of severe sepsis in children in the United States. Am J Respir Crit Care Med. 2003; 167: 695-
701
5. Hebbar KB, Wittkamp M, Alvarez JA, McCracken CE, Tangpricha V. Vitamin D deficiency
in pediatric critical illness. Journal of Clinical & Translational Endocrinology. 2014; 1: 170-5
6. Grant WB. Solar ultraviolet-B irradiance and vitamin D may reduce the risk of septicemia.
Dermatoendocrinol. 2009; 1: 37-42
7. Braun A, Chang D, Mahadevappa K, Gibbons FK, Liu Y, Giovannucci E, et al. Association
of low serum 25-hydroxyvitamin D levels and mortality in the critically ill. Crit Care Med.
2011; 39: 671-7
8. Kempker JA, Han JE, Tangpricha V, Ziegler TR, Martin GS. Vitamin D and sepsis: An
emerging relationship. Dermatoendocrinol. 2012; 4: 101-8
9. Rech MA, Hunsaker T, Rodriguez J. Deficiency in 25-hydroxyvitamin D and 30-day
mortality in patients with severe sepsis and septic shock. American Journal of Critical Care.
2014; 23, e72-9
10. Aziz M, Jacob A, Yang WL, Matsuda A, Wang P. Current trends in inflammatory and
immunomodulatory mediators in sepsis. Journal of Leukocyte Biology. 2013; 93: 329-42
11. Rittirsch D, Flierl MA, Ward PA. Harmful molecular mechanisms in sepsis. Nat Rev
Immunol. 2008; 8: 776-87
12. Seeley EJ, Matthay MA, Wolters PJ. Inflection points in sepsis biology: From local defense
to systemic organ injury. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol. 2012; 303: L355-L363
13. Schulte W, Bernhagen J, Bucala R. Cytokines in sepsis: Potent immunoregulators and
potential therapeutic targets - An updated view. Mediators of Inflammation. 2013: 1-16
14. Nair R, Maseeh A. Vitamin D: The “sunshine” vitamin. J Pharmacol Pharmacother. 2012; 3:
118-26
15. Walker VP, Modlin RL. The vitamin D connection to pediatric infections and immune
function. Pediatr Res. 2009; 65: 106R–113R
16. Jeng L, Yamshchikov AV, Judd SE, Blumberg HM, Martin GS, Ziegler TR, et al. Alterations
in vitamin D status and anti-microbial peptide levels in patients in the intensive care unit with
sepsis. Journal of Translational Medicine. 2009; 7: 28
17. Ganji V, Zhang X, Tangpricha V. Serum 25-hydroxyvitamin D concentrations and
prevalence estimates of hypovitaminosis D in the U.S. population based on assay-adjusted
data. The Journal of Nutrition. 2012; 142: 498-507
18. Lee JY, So TY, Thackray J. A review on vitamin D deficiency treatment in pediatric patients.
J Pediatr Pharmacol Ther. 2013; 18: 277-91
19. Gordon CM, DePeter KC, Feldman HA, Grace E, Emans SJ. Prevalence of vitamin D
deficiency among healthy adolescents. Arch Pediatr Adolesc Med. 2004; 158: 531-7
20. Holick MF. Vitamin D deficiency. N Engl J Med. 2007; 357: 266-81
21. Holick MF, Binkley NC, Bischoff-Ferrari HA, Gordon CM, Hanley DA, Heaney RP, et al.
Evaluation, treatment, and prevention of vitamin D deficiency: An endocrine society clinical
practice guideline. J Clin Endocrinol Metab. 2011; 96: 1911-30

14
22. Hollis BW. Circulating 25-hydroxyvitamin D levels indicative of vitamin D sufficiency:
Implications for establishing a new effective dietary intake recommendation for vitamin D.
The Journal of Nutrition. 2005: 317-22
23. Wortsman J, Matsuoka LY, Chen TC, Lu Z, Holick MF. Decreased bioavailability of vitamin
D in obesity. Am J Clin Nutr. 2000; 72: 690-3.
24. Zhou C, Assem M, Tay JC, Watkins PB, Blumberg B, Schuetz EG, et al. Steroid and
xenobiotic receptor and vitamin D receptor crosstalk mediates CYP24 expression and drug-
induced osteomalacia. The Journal of Clinical Investigation. 2006; 116: 1703-12
25. Grey A, Lucas J, Horne A, Gamble G, Davidson JS, Reid IR. Vitamin D repletion in patients
with primary hyperparathyroidism and coexistent vitamin D insufficiency. J Clin Endocrinol
Metab. 2005; 90: 2122-6
26. Prietl B, Treiber G, Pieber TR, Amrein K. Vitamin D and immune function. Nutrients. 2013;
5: 2502-21
27. Mogensen TH. Pathogen recognition and inflammatory signaling in innate immune defenses.
Clin Microbiol Rev. 2009; 22: 240-73
28. Sadeghi K, Wessner B, Laggner U, Ploder M, Tamandl D, Friedl J, et al. Vitamin D3 down-
regulates monocyte TLR expression and triggers hyporesponsiveness to pathogen-associated
molecular patterns. Eur J Immunol. 2006; 36: 361-70
29. Wang TT, Nestel FP, Bourdeau V, Nagai Y, Wang Q, Liao J, et al. Cutting Edge: 1,25-
dihydroxyvitamin D3 is a direct inducer of antimicrobial peptide gene expression. The
Journal of Immunology. 2004; 173: 2909-12
30. Lee CJ, Buznyk O, Kuffova L, Rajendran V, Forrester JV, Phopase J. Cathelicidin LL-37 and
HSV-1 corneal infection: Peptide versus gene therapy. Transl Vis Sci Technol. 2014; 3: 1-14
31. Adams JS, Hewison M. Unexpected actions of vitamin D: New perspectives on the
regulation of innate and adaptive immunity. Nat Clin Pract Endocrinol Metab. 2008; 4: 80-90
32. Hewison M. Vitamin D and the immune system: New perspectives on an old theme.
Endocrinol Metab Clin North Am. 2010; 39: 365-79
33. Meier U, Gressner O, Lammert F, Gressner AM. Gc-Globulin: Roles in response to injury.
Clinical Chemistry. 2006; 52: 1247-1253
34. Moromizato T, Litonjua AA, Braun AB, Gibbons FK, Giovannucci E, Christopher KB.
Association of low serum 25-hydroxyvitamin D levels and sepsis in the critically ill. Crit
Care Med. 2014; 42: 97-107
35. Ismail AM, Abdelrahman SH, Elsayed AH, Alkheshen GA, Sadaney MAE. A study of
vitamin D status and cathelicidine plasma levels in pediatric population with sepsis. Journal
of American Science. 2015; 11: 1-6
36. Aydemir G, Cekmez F, Kalkan G, Fidanci MK, Kaya G, Karaoglu A, et al. High serum 25-
hydroxyvitamin D levels are associated with pediatric sepsis. Tohoku J Exp Med. 2014; 234:
295-8
37. Madden K, Feldman HA, Smith EM, Gordon CM, Keisling SM, Sullivan RM, et al. Vitamin
D deficiency in critically ill children. Pediatrics. 2012; 130: 1-8
38. Cetinkaya M, Cekmez F, Buyukkale G, Ercan TE, Demir F, Tunc T. Lower vitamin D levels
are associated with increased risk of early-onset neonatal sepsis in term infants. Journal of
Perinatology. 2015; 35: 39-45
39. Satheesh P, Verma S, Singhi S, Bansal A. Prevalence of vitamin D deficiency among
children with sepsis, its association with sepsis severity and its outcome in a pediatric ICU.
Crit Care. 2013; 17: 35
40. Amrein K, Sourij H, Wagner G, Holl A, Pieber TR, Smolle KH, et al. Short-term effects of
high-dose oral vitamin D3 in critically ill vitamin D deficient patients: A randomized,
double-blind, placebo-controlled pilot study. Crit Care. 2011; 15: 1-6
41. Amrein K, Schnedl C, Holl A, Riedl R, Christopher KB, Pachler C, et al. Effect of high-dose
vitamin D3 on hospital length of stay in critically ill patients with vitamin D deficiency: The
VITdAL-ICU randomized clinical trial. JAMA. 2014; 312: 1520-1530

15

Anda mungkin juga menyukai