Anda di halaman 1dari 2

Pemimpin yang Bersedia Tinggalkan Meja

Oleh
Gede Sutmasa
Dosen FISIP Univ. Mahendradatta Bali

Ketika kita membuka nurani dan kepedulian sosial kita, sejak reformasi bergulir,
kegamangan, ketidakpatuhan, ketidakpedulian, mental menerabas dengan intensitas yang
semakin pekat, akan sangat mudah kita rasakan terjadi di berbagai lapisan masyarakat dan
level kepemimpinan. Dan jika kita tetap jujur, tentu penyebab situasi demikian tidak bisa
sepenuhnya ditimpakan pada kondisi masyarakat itu sendiri.

Dalam struktur sosial dan politik yang belum sepenuhnya disokong oleh pilar-pilar kultur
demokratis seperti kemandirian, fairnes, toleransi, profesionalisme, figur pemimpin masih
sangat determinan dalam segenap aktivitas dan arah perubahan masyarakat. Pemimpin
masih merupakan pusat orientasi dari cara berpikir, cara bertindak, dan bersikap
masyarakat.

Bahkan hingga saat ini, kita harus jujur, situasi mental, perilaku dan paradigma berpikir
masyarakat yang berbuah keterpurukan berkelanjutan, sesungguhnya adalah produk
kepemimpinan para pemimpin. Apa yang dilakukan oleh pemimpin (terutama formal, pada
semua level), maka itu pula yang dilakukan oleh masyarakat. “Guru kencing berdiri, murid
kencing berlari”.

Artinya, jika kita ingin segera membalik situasi ketidakberdayaan dan keterlecehan sebagai
bangsa berdaulat dan beradab, tumpuannya memang pada pemimpin. Pemimpin ke depan,
mutlak, benar-benar adalah pemimpin yang layak menjadi panutan, yang layak menjadi
kiblat dalam menggerakkan segenap potensi masyarakat dan sumber-sumber daya yang
lain, menuju kehidupan yang lebih baik.

Pemimpin seperti apakah itu? Sudah terlalu banyak teori tentang kepemimpinan yang
ditulis dan diajarkan. Kita yakin, para pemimpin pun telah menguasai dan menyimaknya
lalu memilah dan memilih mana yang sebaiknya diterapkan dan mana yang tidak dalam
kepemimpinan mereka untuk kesejahteraan, kemaslahatan dan kebaikan bersama. Namun
selalu saja, akhirnya segala yang baik sering sengaja dipenjara dalam ruang isolasi
kedegilan hati demi pragmatisme kekuasaan dan kepentingan materialistik, demi “apa kata
dunia”: prestise, gengsi, dan kehormatan artifisial.

Dari sejarah, kita bisa belajar banyak dan menemukan sosok-sosok yang
kepemimpinannya layak menjadi panutan, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Tan
Malaka. Terlepas dari keterampilan manajerial dan dukungan penguasaan terknologi
informasi dan komunikasi yang sangat penting untuk perkembangan kini dan ke depan,
pada mereka ada keutamaan kepemimpinan yang justru sangat dibutuhkan rakyat negara-
bangsa: kesederhanaan hidup, ketulusan, integritas tak terperikan, semangat kepelayanan,
menyatu dengan rakyat, dan tegas berwibawa.

Kesederhanaan hidup pemimpin diperlukan sebagai wujud solider terhadap kondisi rakyat
yang serba susah. Kesederhanyaan pada sisi yang lain juga menjadi jalan masuk menuju
pemerintahan yang bersih, bebas dari KKN. Ketika mobil dinas masih sangat layak untuk
menunjang kegiatan misalnya, seorang pemimpin tidak akan mengusulkan penggantian
dengan mobil baru yang lebih mahal dan tinggi gengsinya.

Ketulusan dan integritas adalah keharusan yang melekat pada tugas, pekerjaan dan
kewajiban-kewajiban pemimpin. Tanpa itu seorang pemimpin tidak akan mampu secara
sempurna mengaktualisasikan kepemimpinannya. Rakyat akan kehilangan respek jika
seorang pemimpin misalnya acap mengeluh atas situasi dan kondisi rakyat yang
dipimpinnya, bahkan sering bersikap irrasional-reaktif menghadapi berbagai implikasi dan
konsekuensi jabatannya.

Akhirnya seorang pemimpin memang harus sering meninggalkan mejanya, menjumpai


rakyatnya, merasakan kesejatian hidup mereka, apalagi pemimpin-pemimpin politik yang
dipilih oleh rakyat. Ini justru berangkat dari tuntutan bahwa seorang pemimpin harus
berpikir, bersikap dan bertindak rasional-objektif. Data dan fakta objektif adalah pijakan
mutlak untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang menyentuh kepentingan dan
kebutuhan rakyat sesungguhnya. Tidak sekadar menerima laporan para “pembantu”, yang
bahkan sering memanipulasi data dan fakta demi nama baik dan kelanggengan jabatan.
Dengan cara itu pula seorang pemimpin percaya diri untuk bersikap tegas dalam wibawa.

Pemimpin yang sukses dan memiliki kapasitas untuk menjadi panutan - dan yang kita
butuhkan - bukanlah pemimpin yang berhasil mengumpulkan sebanyak mungkin pujian
dan penghargaan, melainkan pemimpin yang mampu menemukan “tempat” yang tepat bagi
para pengikutnya, bagi rakyat. ***

Anda mungkin juga menyukai