Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y) adalah kelompok demografi setelah
Generasi X (Gen-X). Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Gen-X yang tua. Milenial kadang-kadang disebut sebagai "Echo Boomers" karena adanya 'booming' (peningkatan besar) tingkat kelahiran pada tahun 1980-an dan 1990-an. Untungnya di abad ke 20 tren menuju keluarga yang lebih kecil di negara-negara maju terus berkembang, sehingga dampak relatif dari "baby boom echo" umumnya tidak sebesar dari masa ledakan populasi pasca Perang Dunia II. Menurut Fidelis Waruwu dalam seminar Integrated Solution In Education (2016), generasi milenial memiliki sifat-sifat positif antara lain: cepat menangkap, trampil menggunakan IT, kreatifitas tinggi, daya ingat kuat, percaya diri, pandai bicara, lebih berani berpendapat, rasa ingin tahu besar, dan cepat dewasa. Namun generasi milenial juga memiliki kekurangan atau sifat-sifat negatif. Antara lain: kurang daya juang, membangkang, susah diatur, kurang mandiri, kurang menghormati orang tua (kurang sopan), kurang bertanggung jawab, materialis, suka jalan pintas, santai, manja cengeng, cari perhatian, kurang fokus, konsentrasi, cepat bosan, emosi tinggi, mudah tersinggung, suka hal yang instan, cuek, egois, dan kurang peka. Sifat-sifat negaitif tersebut tercermin dalam kegiatan sehari-hari mereka yang cenderung kecanduan gadget, sulit mengatur waktu, banyak membuang waktu, individualis, kurang peduli lingkungam sekitar, cenderung malas, rentan cyber bullying, dan kurang usaha. Oleh karena itu, perlu adanya edukasi yang tepat untuk generasi milenial ini agar dapat memaksimalkan sifat-sifat positif yang dimiliki dan mengurangi sifat-sifat negatif yang ada. Edukasi akademik maupun edukasi non-akademik harus disesuaikan degan kondisi generasi ini demi mencetak pemimpin-pemimpin Indonesia yang unggul. Seorang peneliti dari Dalton State College, Christy Price, EdD mencoba untuk memetakan seperti apa karakteristik pembelajar dari generasi milennials. Penelitian ini diperkuat oleh Price, yang mencoba melakukan analisis kualitatif dari ratusan pembelajar generasi milennials untuk menemukan karakeristik umumnya. Berdasarkan hasil penelitiannya, ditemukanlah ada 5 teknik untuk membuat pengajar atau dosen lebih berhasil dalam memberikan pelajaran kepada generasi millennials. Berikut adalah cara-caranya: Research – Based Methods: Satu hal yang pasti, teknik lecture konvensional sudah sulit menarik minat milennials. Sebagai generasi multimedia, mereka lebih suka diberikan multimedia, kesempatan kolaborasi, dan kemampuan mencari serta merangkum informasi sendiri. Di sinilah kemudian tugas dosen lebih ke arah menjadi fasilitator untuk ‘meluruskan’ jika ada sesuatu yang salah dipahami mahasiswa untuk mencegah terjadinya sesat pikir. Relevance: Generasi Milennials adalah generasi yang menghargai sebuah informasi karena ‘relevan’ dengan kehidupan mereka. Maka di sini peran dosen adalah ‘menyortir’ materi – materi yang ada di buku, mana yang relevan dan akan banyak digunakan dalam kehidupan mahasiswa dan mana yang tidak. Sudah bukan zamannya lagi seorang dosen ‘menyuapi’ seluruh materi yang ada di buku, tanpa mahasiswa tahu apa manfaatnya untuk mereka. Rationale: Tidak seperti generasi sebelumnya yang dididik dengan pola otoriter, para generasi milenial ini banyak yang dibesarkan dengan pola – pola demokratis oleh orang tua atau lingkungan mereka. Sehingga, generasi milenial ini akan cenderung respek kalau tugas atau kebijakan yang diterapkan rasional. Relaxed: Berdasarkan hasil penelitian, milenial lebih senang berinteraksi dalam kondisi belajar yang kurang formal atau lebih santai. Makanya dalam beberapa kasus, bisa dilakukan pemanggilan nama murid dengan ‘Kak’ atau ‘Mas’. Dengan membuat mereka rileks dan bisa terbuka, maka proses belajar akan jadi lebih baik. Namun tetap, harus diterapkan batas – batas tertentu, apalagi dalam etika orang timur. Jika sudah melewati batas, maka mahasiswa akan mendapat teguran tegas. Relation: Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa milenial ini bersifat relasional. Milenial mungkin bukan orang yang banyak teman dekat, tetapi sekalinya dekat mereka bisa sangat loyal. Dengan mengingat nama, menanyakan kabar, atau mendengarkan mahasiswa curhat, mereka cenderung untuk respek, terbuka, dan berminat belajar tinggi jika memiliki kedekatan personal dengan dosennya. Hasilnya kualitas pembelajaran pun jauh lebih meningkat. Selain itu perlu juga pembelajaran di luar akademik (non-akademik). Tentu saja, mendidik di era ini tidak mudah. Namun, barangkali, kita bisa mulai beberapa langkah. Pertama, memastikan diri terus belajar atau bersedia meng-uprade pemahaman serta keterampilan menggunakan media baru. Kedua, secara logis dan kreatif menunjukkan betapa produk teknologi informasi sebagaimana teknologi apa pun--ialah pisau bermata dua. Bisa membuat mereka lebih baik, atau sebaliknya. Ketiga, menjadikan kekayaan dunia digital sebagai ruang belajar bersama, alih-alih menegasikannya. Pemanfaatan e-learning, penugasan menulis dengan bimbingan ketat melalui personal blog, mengembankan kreativitas lewat film pendek, iklan, dan lain sebagainya sekadar contoh dalam konteks ini. Keempat, perkuat jaringan, belajar bersama, sebagaimana (salah satu) ‘amanah’ era digital: perbanyak kolaborasi. Akhir kata, setiap pembimbing harus bertekad menjadi ‘guru pembimbing perjalanan transisi kultural’ para anak didik, memperbaiki cara-cara kita mentransmisi pengetahuan, memperbaharui metode, strategi dan pendekatan sebagai seorang pembimbing agar anak-anak tumbuh mandiri, hidup mulia dan mampu memuliakan kehidupan.