Anda di halaman 1dari 3

NAMA : FARHAN ULA ADITYA

NRP : 02111540000186

PROSES PEMBELAJARAN AKADEMIK DAN NON-AKADEMIK


BAGI GENERASI MILENIAL

Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y) adalah kelompok demografi setelah


Generasi X (Gen-X). Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok
ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran
kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran.
Milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Gen-X yang tua.
Milenial kadang-kadang disebut sebagai "Echo Boomers" karena adanya 'booming'
(peningkatan besar) tingkat kelahiran pada tahun 1980-an dan 1990-an. Untungnya di abad ke
20 tren menuju keluarga yang lebih kecil di negara-negara maju terus berkembang, sehingga
dampak relatif dari "baby boom echo" umumnya tidak sebesar dari masa ledakan populasi
pasca Perang Dunia II.
Menurut Fidelis Waruwu dalam seminar Integrated Solution In Education (2016),
generasi milenial memiliki sifat-sifat positif antara lain: cepat menangkap, trampil
menggunakan IT, kreatifitas tinggi, daya ingat kuat, percaya diri, pandai bicara, lebih berani
berpendapat, rasa ingin tahu besar, dan cepat dewasa. Namun generasi milenial juga memiliki
kekurangan atau sifat-sifat negatif. Antara lain: kurang daya juang, membangkang, susah
diatur, kurang mandiri, kurang menghormati orang tua (kurang sopan), kurang bertanggung
jawab, materialis, suka jalan pintas, santai, manja cengeng, cari perhatian, kurang fokus,
konsentrasi, cepat bosan, emosi tinggi, mudah tersinggung, suka hal yang instan, cuek, egois,
dan kurang peka. Sifat-sifat negaitif tersebut tercermin dalam kegiatan sehari-hari mereka yang
cenderung kecanduan gadget, sulit mengatur waktu, banyak membuang waktu, individualis,
kurang peduli lingkungam sekitar, cenderung malas, rentan cyber bullying, dan kurang usaha.
Oleh karena itu, perlu adanya edukasi yang tepat untuk generasi milenial ini agar dapat
memaksimalkan sifat-sifat positif yang dimiliki dan mengurangi sifat-sifat negatif yang ada.
Edukasi akademik maupun edukasi non-akademik harus disesuaikan degan kondisi generasi
ini demi mencetak pemimpin-pemimpin Indonesia yang unggul.
Seorang peneliti dari Dalton State College, Christy Price, EdD mencoba untuk
memetakan seperti apa karakteristik pembelajar dari generasi milennials. Penelitian ini
diperkuat oleh Price, yang mencoba melakukan analisis kualitatif dari ratusan pembelajar
generasi milennials untuk menemukan karakeristik umumnya.
Berdasarkan hasil penelitiannya, ditemukanlah ada 5 teknik untuk membuat pengajar atau
dosen lebih berhasil dalam memberikan pelajaran kepada generasi millennials.
Berikut adalah cara-caranya:
 Research – Based Methods: Satu hal yang pasti, teknik lecture konvensional sudah sulit
menarik minat milennials. Sebagai generasi multimedia, mereka lebih suka diberikan
multimedia, kesempatan kolaborasi, dan kemampuan mencari serta merangkum informasi
sendiri. Di sinilah kemudian tugas dosen lebih ke arah menjadi fasilitator untuk
‘meluruskan’ jika ada sesuatu yang salah dipahami mahasiswa untuk mencegah terjadinya
sesat pikir.
 Relevance: Generasi Milennials adalah generasi yang menghargai sebuah informasi
karena ‘relevan’ dengan kehidupan mereka. Maka di sini peran dosen adalah ‘menyortir’
materi – materi yang ada di buku, mana yang relevan dan akan banyak digunakan dalam
kehidupan mahasiswa dan mana yang tidak. Sudah bukan zamannya lagi seorang
dosen ‘menyuapi’ seluruh materi yang ada di buku, tanpa mahasiswa tahu apa
manfaatnya untuk mereka.
 Rationale: Tidak seperti generasi sebelumnya yang dididik dengan pola otoriter, para
generasi milenial ini banyak yang dibesarkan dengan pola – pola demokratis oleh orang
tua atau lingkungan mereka. Sehingga, generasi milenial ini akan cenderung respek
kalau tugas atau kebijakan yang diterapkan rasional.
 Relaxed: Berdasarkan hasil penelitian, milenial lebih senang berinteraksi dalam kondisi
belajar yang kurang formal atau lebih santai. Makanya dalam beberapa kasus, bisa
dilakukan pemanggilan nama murid dengan ‘Kak’ atau ‘Mas’. Dengan membuat mereka
rileks dan bisa terbuka, maka proses belajar akan jadi lebih baik. Namun tetap, harus
diterapkan batas – batas tertentu, apalagi dalam etika orang timur. Jika sudah melewati
batas, maka mahasiswa akan mendapat teguran tegas.
 Relation: Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa milenial ini bersifat relasional.
Milenial mungkin bukan orang yang banyak teman dekat, tetapi sekalinya dekat mereka
bisa sangat loyal. Dengan mengingat nama, menanyakan kabar, atau mendengarkan
mahasiswa curhat, mereka cenderung untuk respek, terbuka, dan berminat belajar tinggi
jika memiliki kedekatan personal dengan dosennya. Hasilnya kualitas pembelajaran pun
jauh lebih meningkat.
Selain itu perlu juga pembelajaran di luar akademik (non-akademik). Tentu saja, mendidik
di era ini tidak mudah. Namun, barangkali, kita bisa mulai beberapa langkah. Pertama,
memastikan diri terus belajar atau bersedia meng-uprade pemahaman serta keterampilan
menggunakan media baru. Kedua, secara logis dan kreatif menunjukkan betapa produk
teknologi informasi sebagaimana teknologi apa pun--ialah pisau bermata dua. Bisa membuat
mereka lebih baik, atau sebaliknya. Ketiga, menjadikan kekayaan dunia digital sebagai ruang
belajar bersama, alih-alih menegasikannya. Pemanfaatan e-learning, penugasan menulis
dengan bimbingan ketat melalui personal blog, mengembankan kreativitas lewat film pendek,
iklan, dan lain sebagainya sekadar contoh dalam konteks ini. Keempat, perkuat jaringan,
belajar bersama, sebagaimana (salah satu) ‘amanah’ era digital: perbanyak kolaborasi.
Akhir kata, setiap pembimbing harus bertekad menjadi ‘guru pembimbing perjalanan
transisi kultural’ para anak didik, memperbaiki cara-cara kita mentransmisi pengetahuan,
memperbaharui metode, strategi dan pendekatan sebagai seorang pembimbing agar anak-anak
tumbuh mandiri, hidup mulia dan mampu memuliakan kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai