JAKARTA - Pengawasan sektor minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia menurut
Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) masih lemah sehingga membebani
keuangan negara. Tugas Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) juga
dianggap kontra produktif dengan berbagai kebijakan Pemerintah.
“Pengawasan mereka sangat lemah, tidak efektif. Bubarkan saja karena tidak ada
manfaatnya, hanya membebani keuangan negara,” kata Direktur Eksekutif CERI Yusri
Usman di Jakarta, Rabu (21/3/2018).
Menurut Yusri, BPH Migas tidak bekerja seperti amanah tentang Penyediaan,
Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. Dalam hal ini, terang dia seharusnya BPH
Migas melakukan pengawasan secara menyeluruh terhadap distribusi BBM.
Tapi nyatanya, lanjut dia badan tersebut tidak bisa mendeteksi banyaknya dugaan
pelanggaran distribusi. Yusri mencontohkan, di berbagai daerah banyak terjadi BBM yang
tidak tepat sasaran. Semisal, banyaknya kalangan industri yang diduga menggunakan BBM
penugasan.
Tidak hanya itu. Yusri juga menduga, bahwa BPH Migas tidak melakukan
pengawasan terhadap kualitas BBM . Hal ini tentu sangat rawan, karena yang dirugikan
adalah masyarakat sendiri. “Pernah tidak mereka melakukan uji petik terhadap kualitas di
tempat yang jauh dari kota? Sejauh ini tidak pernah. Padahal, yang seharusnya melakukan
kontrol adalah BPH Migas,” lanjut dia,
Salah satu contoh, ketika BPH Migas mempersoalkan sedikitnya konsumsi Premium.
Padahal penurunan terjadi, antara lain karena perkembangan kendaraan terbaru yang memang
diperuntukkan bagi BBM dengan oktan tinggi. Belum lagi terbitnya Permen Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.20/MENLHK/Setjen/KUM.1/3/2017 tentang Baku
Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor.
Selain itu, tentu saja hasil penelitian antara KPBB dan Universitas Indonesia tentang
emisi Premium yang menyebabkan kanker. “Semua itu berpengaruh terhadap penurunan
permintaan Premium,” jelasnya.
Sektor energi dan sumber daya mineral yang dimiliki negara ini, terutama minyak dan
gas bumi (migas), masih menjadi salah satu akselerator roda perekonomian nasional. Selain
dimanfaatkan langsung sebagai energi dan bahan baku industri domestik, hasil penerimaan
migas berperan menopang pembangunan daerah, mendorong investasi, serta melahirkan efek
berantai berupa terciptanya lapangan kerja. Mengingat peran pentingnya bagi penerimaan
negara, maka sumber daya ekstraktif migas harus dikelola secara transparan dan akuntabel.
Bahan bakar minyak merupakan komoditas yang memegang peranan penting pada
aktivitas perekonomian. Dampak lansung perubahan harga minyak ini adalah perubahan
perubahan biaya oprasional. Kenaikan harga BBM bukan saja memperbesar beban
masyarakat kecil padaumumnya, tetapi juga pada dunia usaha khususnya.
Beberapa tahun lalu kelompok kerja yang terdiri dari unsur pemerintah, industri, dan
masyarakat sipil telah bekerja sama dalam menerapkan asas transparansi terkait penerimaan
negara dari industri migas, mineral, dan batu bara. Kerja sama tersebut kemudian melahirkan
Peraturan Presiden (Perpres) tentang Transparansi Pendapatan Negara/Daerah yang diterima
dari Industri Ekstraktif Migas dan Minerba.
Perpres Nomor 26 tahun 2010 ini menjadi tonggak baru dalam hal pengaturan
mekanisme transparansi aliran pendapatan yang diperoleh pemerintah dari perusahaan yang
bergerak di bidang pertambangan migas, mineral, dan batu bara. Perpres yang ditandatangani
tanggal 23 April 2010 tersebut mewajibkan perusahaan-perusahaan pertambangan migas,
mineral, dan batu bara untuk melaporkan semua penerimaan/pendapatan yang diperoleh dari
sektor pertambangan migas, mineral, dan batu bara. Kewajiban yang sama ditimpakan kepada
pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk melaporkan segala penerimaan dan
pembayaran di sektor tersebut.
Pengawasan sektor minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia menurut Center of
Energy and Resources Indonesia (CERI) masih lemah sehingga membebani keuangan negara.
Tugas Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) juga dianggap kontra
produktif dengan berbagai kebijakan Pemerintah.