KELAINAN JANTUNG KONGENITAL Asianotik
KELAINAN JANTUNG KONGENITAL Asianotik
Angka kejadian kelaianan jantung kongenital dan sistem kardiovaskuler terjadi sebesar 7
sampai 10 setiap 1000 kelahiran hidup (0.7% sampai 1.0%). Kelainan jantung kongenital adalah
bentuk yang paling umum dari penyakit kongenital dan menyumbang sekitar 30% dari semua
penyakit kongenital yang terjadi. Dengan penurunan kejadian penyakit jantung rematik, kelainan
jantung kongenital menjadi penyebab utama dari penyakit jantung, sebesar 10%-15% anak yang
disertai juga dengan kelainan kongenital lain seperti kelaianan pada otot, genitourinaria, dan
sistem gastrointestinal. Sembilan lesi atau kelainan jantung kongenital pada (Tabel 1.1) meliputi
lebih dari 80% dari kelainan jantung kongenital, dengan berbagai komplikasi yang lebih tidak
biasa dan rumit. Populasi dari orang dewasa dengan kelainan jantung kongenital, baik yang
belum maupun sudah dikoreksi dengan pembedahan, dipekirakan melebihi satu juta jiwa di
Amerika Serikat. Seiring dengan meningkatnya kesuksesan operasi jantung, semakin banyak
pasien dengan kelainan jantung yang rumit akan bertahan hingga dewasa dan dapat menjalani
pembedahan non-kardiak serta kateterisasi jantung.
Transthoracic dan transesophageal echocardiography telah difasilitasi sejak dini dan
secara akurat mendiagnosis kelainan jantung kongenital, menilai tindakan intraoperative dan
postoperative, serta evaluasi dari respon fungsi ventrikular kepada anesthesia pada pasien.
Ultrasonografi jantung janin telah dapat mendiagnosis kelainan jantung kongenital pada prenatal,
yang memungkinkan pengelolaan perinatal berikutnya. Modus imaging seperti imaging
resonansi jantung magnetik dan ekokardiografi tiga dimensi telah meningkatkan pemahaman
akan malformasi jantung yang rumit dan memungkinkan visualisasi aliran darah dan struktur
vaskular. Kateterisasi jantung dan angiokardiografi selektif adalah prosedur diagnostik yang
paling pasti yang tersedia untuk digunakan pada pasien dengan kelainan jantung kongenital.
Kemajuan dalam biologi molekuler juga telah memberikan pemahaman baru tentang dasar
genetik kelainan jantung kongenital.
BAYI
Takipneu
Kegagalan untuk meningkatkan berat badan
Laju nadi >200 kali per menit
Gagal jantung kongestif
Sianosis
ANAK-ANAK
Dipsneu
Perkembangan fisik yang lambat
Penurunan kemampuan aktivitas fisik
Murmur jantung
Sianosis
Clubbing fingers
Squatting
Hipertensi
Tabel 1.3 Masalah umum yang berhubungan dengan kelainan jantung
kongenital
Endokarditis infektif
Disritmia jantung
Blok jantung komplit
Hipertensi
Eritrositosis
Tromboemboli
Koagulopati
Abses serebri
Peningkatan konsentrasi plasma uric acid
Kematian mendadak
Tabel 1.4 Kelainan jantung kongenital yang menyebabkan a left-to-right
shunt atau ekuivalennya
Tanda dan gejala dari kelainan jantung kongenital pada bayi dan anak-anak sering kali
disertai dengan dipsneu, perkembangan fisik yang lambat, dan adanya murmur jantung.
Diagnosis dari kelainan jantung kongenital dapat diketahui selama minggu pertama kehidupan
pada 50% neonatus yang terkena dan saat sebelum berusia lima tahun pada semua pasien.
Beberapa komplikasi nampak muncul pada kelainan jantung kongenital, misalnya endocarditis
infektif sebagai resiko yang berhubungan dengan kebanyakan kelainan jantung kongenital.
Gambar 1.1. Atrial Septal Defek. A, Secundum ASD, di mana darah mengalir ke kanan
melintasi atrium sepanjang gradien tekanan. B, gambar skematik dari lokasi ASD. 1, Defek
septum primum; 2, defek septum secundum; 3, defek sinus venosus; 4, sinus koroner unroofed.
Ao, Aorta; IVC, vena kava inferior; LA, atrium kiri; LV, ventrikel kiri; PA, arteri pulmonalis;
PV, vena pulmonal; RA, atrium kanan; RV, ventrikel kanan; SVC, superior vena cava
Penatalaksaan Anestesi
Untuk strategi manajemen umum dan manajemen anestesi, lihat bagian selanjutnya pada bab
“Balancing Pulmonary and Vascular Resistance (Qp:Qs)”. Bagi pasien yang menjalani
penutupan ASD, manajemen bergantung pada pendekatan yang dipilih. Penutupan ASD perkutan
dapat dilakukan dengan pemantauan minimal atau non-invasif di bawah anestesi umum atau
sedasi dalam, sedangkan operasi perbaikan ASD memerlukan semua monitor dan akses yang
diperlukan untuk bypass kardiopulmoner dan kapasitas untuk mengobati/mengelola potensi blok
jantung pasca operasi.
Penatalaksanaan Anestesi
Sebagian besar pasien yang duktusnya gagal menutup secara spontan akan dioperasi
selama masa neonatal. Penutupan duktus invasif minimal dengan intervensi kardiologi belum
dipraktekkan secara luas dan biasanya dilakukan pada anak yang lebih tua dan orang dewasa
muda. Rentang usia ini merupakan periode kedua untuk pembedahan mengingat sebagian besar
pasien yang belum pernah didiagnosis dalam masa perinatal tetap asimtomatik sampai masa
remaja, yang mana pada suatu saat dimana mereka mungkin mengalami gagal jantung atau
hipertensi pulmonal. Kondisi ini harus segera memicu tindakan karena perkembangan hipertensi
pulmonal berat bisa menjadi kontraindikasi penutupan saluran.
Sebagian besar bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 28 minggu akan memerlukan
perawatan untuk memfasilitasi penutupan saluran. Dari jumlah tersebut, sebagian besar dapat
diobati secara medis dengan infus inhibitor cyclooxygenase indometasin secara kontinu, untuk
menurunkan produksi prostaglandin yang diperlukan agar duktus tetap terbuka. Indometasin
dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk PDA.
Jika perawatan medis gagal atau dikontraindikasikan, duktusnya biasanya tertutup secara
operasi selama periode neonatal. Prosedur dapat dilakukan melalui bypass melalui torakotomi
kiri baik di ruang operasi atau di samping tempat tidur di unit perawatan intensif neonatal,
dengan morbiditas rendah (<1%).
Untuk strategi manajemen umum dan manajemen anestesi, lihat bab “Balancing
Pulmonary and Vascular Resistance (Qp:Qs).” Selama tahap pembedahan dari operasi, dokter
bedah biasanya mendorong paru-paru keluar dari tempatnya. Tindakan ini dapat menyebabkan
penurunan saturasi oksigen sementara, mengingat tingginya kejadian penyakit paru-paru dengan
kompilans paru-paru yang buruk pada bayi prematur, dan mungkin memerlukan beberapa
penyesuaian pengaturan ventilator untuk mengoptimalkan oksigenasi.
4. Aortikopulmonal Fenetration
Fenestrasi Aortikopulmonari digambarkan dengan hubungan antara bagian kiri dari aorta
ascendens dan dinding kanan dari arteri pulmonal utama, hanya bagian anterior sampai asal dari
arteri pulmonal kanan. Hubungan ini berkaitan dengan kegagalan dari septum aortikopulmonari
untuk berfusi dan secara komplit memisahkan aorta dari pulmonal arteri. Manifetasi klinik dan
hemodinamik dari komunikasi aortikopulmonari serupa dengan PDA. Diagnosis difasilitasi pleh
ekokardiografi dan angiokardiografi. Pengobatannya adalah pembedahan dan pertimbangan
untuk menggunakan bypass kardiopulmonari. Pengelolaan anesthesianya mengikuti prinsip yang
sama dengan prinsip yang dijelaskan untuk pasien PDA.
5. Stenosis Aorta
Stenosis pada left ventricular outflow tract (LVOT) dapat disebabkan oleh stenosis aorta
subvalvular, valvular, dan supravalvular. Stenosis aorta valvular sering merupakan hasil dari
katup aorta bikuspid, yang terjadi pada kira-kira 2% dari semua bayi yang baru lahir di Amerika
Serikat. Dikarenakan frekuansinya yang sangat tinggi, hampir 10 kali lebih sering dibandingkan
VSD dan setidaknya 2 kali lebih sering jika semua kerusakan kongenital jantung digabungkan,
dan karena sangat jarang menjadi simptomatik hingga pasien mencapai usia dewasa, sehingga
biasanya tidak dicatat dalam statistik penyakit kongenital jantung. Namun, hal ini sering
dikaitkan dengan kelainan vaskular lainnya, seperti PDA atau koarktasio aorta.
Pasien dengan katup aorta bikuspid tidak dilahirkan dengan katup stenosis. Sebaliknya,
karena katup aorta hanya memiliki dua dan bukan tiga katup normal, aliran darah menjadi lebih
turbulen, mengakibatkan gangguan endotel dan peradangan lokal, serta predisposisi kalsifikasi.
Faktor-faktor ini berujung pada stenosis aorta prematur. Tingkat keparahan umumnya ditentukan
oleh gradien tekanan pada katup aorta. Gradien rata-rata 20 mmHg dianggap ringan, namun lebih
dari 40 mmHg dianggap parah.
Tanda dan Gejala
Sebagian besar pasien dengan katup aorta bikuspid tidak mengeluhkan gejala
(asimptomatik) sampai usia dewasa. Bayi dengan stenosis aorta parah (lebih mungkin
subvalvular) menderita kesulitan menyusui, pertumbuhan yang buruk, dan kegagalan jantung.
Stenosis aorta supravalvular tidak terlalu umum terjadi dan dapat dikaitkan dengan fenotip khas
(dahi bulat, tulang wajah menonjol, bibir atas yang mengerucut). Selama anestesi, pasien dengan
stenosis aorta supravalvular berisiko tinggi mengalami kematian mendadak, kemungkinan
disebabkan oleh iskemia miokard. Hal yang sama juga berlaku untuk pasien dengan stenosis
aorta subvalvular, yang dapat disebabkan oleh stenosis tetap (membran, rongga fibromuskular,
dll.) atau komponen dinamis dari obstruksi outflow ventrikel kiri.
Gejala klasik pasien dengan stenosis aorta adalah sinkop (penurunan detak jantung dan
tekanan darah secara tiba-tiba dan dapat menyebabkan pingsan), angina, dan dyspnea (susah
napas atau napas pendek). Pada pasien tersebut ventrikel kiri harus menghasilkan tekanan yang
lebih tinggi dari normal untuk mengatasi lesi stenotik, yang tidak tercermin oleh tekanan darah
sistemik normal yang diukur pada poststenosis. Konsekuensi logisnya adalah hipertrofi
konsentris ventrikel kiri, yang seiring waktu meningkatkan kebutuhan oksigen, menurunkan
penyesuaian miokard dan dengan demikian mengisi ventrikel kiri, serta mengurangi gradien
yang diperlukan arteri koroner untuk menyempurnakan miokardium ventrikel kiri, yang
menyebabkan angina apabila tidak ada penyakit arteri koroner. Dikarenakan kecepatan aliran
darah yang tinggi dan aliran turbulen poststenosis, akar aorta dan aorta asenden dapat merespon
dengan pelebaran postfrotik, yang memerlukan perbaikan tidak hanya katup tapi juga akarnya
dan bahkan mungkin aorta asenden.
Pasien dengan stenosis aorta memiliki ciri dan cukup mudah untuk mengidentifikasi
murmur sistolik. Hal tersebut terasa paling keras di ruang interkostal kedua dan terpancar ke
leher. EKG dapat menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri dengan regangan, terutama saat
berolahraga. Rontgen dada menunjukkan siluet ventrikel kiri yang diperbesar dan berpotensi
aorta asenden menonjol. Akhirnya diagnosis akan dikonfirmasi dengan ekokardiografi dengan
menggunakan pencitraan 2D, gelombang Doppler kontinu, dan warna Doppler untuk
mengevaluasi lokasi stenosis yang tepat, tingkat keparahannya, lesi atau perubahan terkait, dan
fungsi ventrikel. Demikian pula, kateterisasi jantung dan angiografi dapat digunakan untuk
menilai tingkat keparahan dan lesi terkait yang tidak mudah terdeteksi dengan ekokardiografi
(misalnya, penyakit arteri koroner yang terjadi bersamaan). Baru-baru ini, MRI jantung semakin
sering menggabungkan semua pilihan evaluasi menjadi satu studi komprehensif.
Penatalaksanaan Anestesi
Lihat Bab 6, "Penyakit Jantung Valvular," dan bagian tentang stenosis aorta untuk rincian
tentang manajemen anestesi.
6. Stenosis Pulmonal
Banyak konsep untuk stenosis aorta dapat diekstrapolasikan ke stenosis paru, dengan
perbedaan utama yaitu ventrikel kanan jauh lebih sensitif terhadap peningkatan afterload
(tekanan yang harus dilakukan jantung untuk mengeluarkan darah selama sistol). Serupa dengan
stenosis aorta, stenosis pulmonal lebih sering berasal dari katup valvular daripada supravalvular
atau subvalvular. Lesi terkait dengan stenosis pulmonal supravalvular, meliputi ASD, VSD,
PDA, dan tetralogy of Fallot (TOF) (kondisi langka disebabkan oleh kombinasi empat cacat
jantung yang terjadi saat lahir). Stenosis pulmonalis subvalvular biasanya berhubungan dengan
VSD, sedangkan stenosis pulmonalis valvular cenderung terjadi secara terpisah atau kadang
dikombinasikan dengan VSD. Menariknya, gradien tekanan puncak sering digunakan untuk
klasifikasi stenosis pulmonal (berlawanan dengan gradien rataan), dengan kurang dari 36 mmHg
yang dianggap ringan dan lebih dari 64 mmHg dianggap parah.
Tanda dan Gejala
Gejala bergantung pada tingkat keparahan dan cacat terkait (misalnya sianosis pada kasus
parah dengan VSD yang terkait). Secara umum, pasien akan hadir dengan tanda-tanda gagal
jantung kanan, termasuk dyspnea, distensi vena jugularis, edema perifer, dan asites. Pada
auskultasi murmur ejeksi sistolik, paling baik didengar di ruang interkostal kiri kedua, sehingga
mungkin dapat ditemukan. EKG dapat menunjukkan tanda-tanda hipertrofi ventrikel kanan dan
regangan. Ekokardiografi atau MRI dapat digunakan untuk mengkonfirmasi dan
mengklasifikasikan jenis dan tingkat keparahan lesi.
Penatalaksanaan Anestesi
Stenosis pulmonal dapat diobati dengan operasi terbuka yang memerlukan bypass
kardiopulmoner atau perkutan melalui balon valvuloplasti. Untuk setiap pasien dengan stenosis
pulmonal yang menjalani operasi jantung atau noncardiak, tujuan anestetik untuk menghindari
peningkatan kebutuhan oksigen ventrikel kanan. Lihat Bab 6, "Penyakit Jantung Valvular," dan
bagian tentang stenosis pulmonal untuk rincian tentang manajemen anestesi.
7. Koarktasio Aorta
Koarktasio aorta lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita dan terdiri dari penyempitan
aorta di dekat duktus arteriosus serta dapat bersifat preductal, juxtaductal, atau postductal.
Bergantung pada lokasinya, gejala dan usia saat diagnosis cenderung bervariasi. Bentuk yang
paling umum yaitu koarktasio postductal, terletak di luar duktus arteriosus dan lebih sering
didiagnosis pada anak yang lebih tua. Koarktasio preduktal terletak pada duktus proksimal dan
kemungkinan besar terjadi pada bayi.
Tanda dan Gejala
Semua bentuk koarktasio aorta menyebabkan hal buruk yang umum dari hipertensi
sistolik, CHF, diseksi aorta, penyakit arteri koroner prematur, dan perdarahan intraserebral yang
disebabkan oleh ruptur aneurisma. Tanda dan gejala tidak hanya bergantung pada tingkat
keparahan koarktasio tetapi juga pada lokasinya (preductal atau postductal). Secara umum, gejala
yang muncul termasuk sakit kepala, pusing, palpitasi, dan epistaksis. Anak-anak atau orang
dewasa dengan koarktasio aorta postductal biasanya tetap tidak memunculkan gejala
(asimtomatik) dan mendapat perhatian medis untuk penanganan sakit kepala atau temuan
insidental pada pemeriksaan fisik rutin, seperti perbedaan tekanan darah antara ekstremitas atas
(hipertensi) dan bawah (normotensif atau hipotensi) atau lemah dan denyut femoral yang lambat.
Pada kasus berkurangnya aliran darah ekstremitas bawah yang parah, gejala awal yang muncul
dapat berupa klaudikasitas (sakit yang disebabkan terlalu sedikit aliran darah) ekstremitas bawah.
Pasien cenderung mengisolasi hipertensi sistolik dengan tekanan darah diastolik normal dan
akibatnya tekanan nadi melebar. Bayi dengan koarktasio aorta preductal, di sisi lain cenderung
menjadi gejala awal kehidupan. Bayi baru lahir dengan duktus masih terbuka memiliki sianosis
selektif pada ekstremitas bawah, dengan wajah merah muda dan ekstremitas atas. Jika koarktasio
ini tidak didiagnosis pada waktu yang tepat, perbedaan tekanan darah antara ekstremitas atas dan
bawah cenderung hilang di kemudian hari saat berkembangnya aliran darah kolateral yang
melibatkan arteri torak, interkostal, dan arteri subklavia.
Pada pemeriksaan fisik, murmur ejeksi sistolik dapat diauskultasi di sepanjang sternal
kiri. Hal ini juga dapat diauskultasi di belakang dan di atas area koarktasio, terutama jika
terdapat aliran darah kolateral yang cukup. EKG menunjukkan tanda klasik hipertrofi ventrikel
kiri. Rontgen dada juga dapat memperlihatkan penonjolan di bagian posterior tulang rusuk
sebagai tanda peningkatan aliran darah kolateral di arteri interkostal. Penonjolan ini hanya
terlihat posterior karena arteri interkostal anterior terletak pada alur kostal. Terkadang koarktasio
aktual dan dilatasi poststenotiknya juga dapat divisualisasikan (seperti tanda E terbalik).
Diagnosis pasti dapat dilakukan dengan ultrasonografi, computed tomography (CT), atau MRI,
yang dapat mengklasifikasikan lokasi dan tingkat keparahan stenosis. Dua teknik terakhir ini
dapat digunakan untuk mengukur tingkat arus kolateral.
Penatalaksanaan Anestesi
Koarktasio idealnya harus disembuhkan pada masa bayi atau masa kanak-kanak sebelum
pasien mengalami hipertensi sistemik. Begitu hipertensi berkembang, risikonya menjadi tinggi
sehingga akan tetap ada meskipun usaha penyembuhan yang memadai. Meskipun koarktasio
dapat disembuhkan secara perkutan oleh pelebaran balon dan penempatan stent, reseksi bedah
koarktasio dan perbaikan terbuka dengan patch (tambalan) atau anastomosis end-to-end tetap
merupakan pilihan pengobatan yang populer. Kedua pendekatan ini berhasil pada kebanyakan
pasien dan menimbulkan sedikit risiko aneurisma aorta atau koarktasio berulang.
Pengobatan dengan bedah umumnya tidak melibatkan bypass kardiopulmoner, tapi
memang memerlukan penjepit aorta (proksimal). Penempatan penjepit silang memerlukan
pengelolaan dua sirkulasi (proksimal dan distal pada penjepit) dengan tekanan yang sangat
berbeda. Hal yang penting adalah stenosis aorta yang lebih ketat, semakin sedikit gangguan
hemodinamik yang timbul saat penempatan penjepit. Sirkulasi proksimal (terutama jantung,
kepala, dan ekstremitas atas) terkena tekanan yang relatif tinggi yang berpotensi menyebabkan
gagal jantung dan pendarahan otak. Sirkulasi distal (terutama usus, ginjal, sumsum tulang
belakang, dan ekstremitas bawah) dihadapkan pada masalah yang berbeda yakni hipotensi dan
hipoperfusi hebat (tergantung pada jumlah aliran darah kolateral), yang berpotensi menyebabkan
iskemia usus, gagal ginjal, atau pada kasus paraplegia yang jarang terjadi. Tekanan darah harus
dipantau terus menerus di atas penjepit silang, yang hanya menyisakan lengan kanan sebagai
sumber pengukuran yang terpercaya (suplai darah ke lengan kiri dapat dikompromikan selama
operasi). Tekanan darah juga harus dipantau di bawah tingkat penjepit silang untuk memastikan
perfusi yang memadai melalui kolateral saat penjepitan silang dan untuk memastikan tidak
adanya gradien tekanan setelah operasi. Sebagai alternatif, bypass sirkulasi parsial mungkin
diperlukan. Tekanan darah secara proksimal terhadap penjepit silang aortik biasanya lebih
mudah dikendalikan. Kendati demikian, kenaikan tekanan sistemik harus dihindari.
Selain komplikasi yang telah disebutkan, pasien memiliki risiko pasca-operasi hipertensi
paradoksal, yang mungkin dipicu oleh refleks baroreseptor (salah satu mekanisme homeostatik
tubuh yang membantu mempertahankan tekanan darah pada tingkat yang hampir konstan),
aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, atau pelepasan katekolamin yang berlebihan.
Pengobatan awal meliputi infus obat vasoaktif. Cedera saraf yang paling umum adalah kerusakan
pada saraf laring kiri, yang menyebabkan stridor atau suara serak. Kerusakan saraf frenik (Saraf
yang terdapat di leher (C3-C5) dan melewati paru-paru dan jantung untuk mencapai diafragma)
kurang umum namun bisa mengakibatkan kebutuhan bantuan pernapasan yang berkepanjangan.