Anda di halaman 1dari 16

KELAINAN JANTUNG KONGENITAL

Angka kejadian kelaianan jantung kongenital dan sistem kardiovaskuler terjadi sebesar 7
sampai 10 setiap 1000 kelahiran hidup (0.7% sampai 1.0%). Kelainan jantung kongenital adalah
bentuk yang paling umum dari penyakit kongenital dan menyumbang sekitar 30% dari semua
penyakit kongenital yang terjadi. Dengan penurunan kejadian penyakit jantung rematik, kelainan
jantung kongenital menjadi penyebab utama dari penyakit jantung, sebesar 10%-15% anak yang
disertai juga dengan kelainan kongenital lain seperti kelaianan pada otot, genitourinaria, dan
sistem gastrointestinal. Sembilan lesi atau kelainan jantung kongenital pada (Tabel 1.1) meliputi
lebih dari 80% dari kelainan jantung kongenital, dengan berbagai komplikasi yang lebih tidak
biasa dan rumit. Populasi dari orang dewasa dengan kelainan jantung kongenital, baik yang
belum maupun sudah dikoreksi dengan pembedahan, dipekirakan melebihi satu juta jiwa di
Amerika Serikat. Seiring dengan meningkatnya kesuksesan operasi jantung, semakin banyak
pasien dengan kelainan jantung yang rumit akan bertahan hingga dewasa dan dapat menjalani
pembedahan non-kardiak serta kateterisasi jantung.
Transthoracic dan transesophageal echocardiography telah difasilitasi sejak dini dan
secara akurat mendiagnosis kelainan jantung kongenital, menilai tindakan intraoperative dan
postoperative, serta evaluasi dari respon fungsi ventrikular kepada anesthesia pada pasien.
Ultrasonografi jantung janin telah dapat mendiagnosis kelainan jantung kongenital pada prenatal,
yang memungkinkan pengelolaan perinatal berikutnya. Modus imaging seperti imaging
resonansi jantung magnetik dan ekokardiografi tiga dimensi telah meningkatkan pemahaman
akan malformasi jantung yang rumit dan memungkinkan visualisasi aliran darah dan struktur
vaskular. Kateterisasi jantung dan angiokardiografi selektif adalah prosedur diagnostik yang
paling pasti yang tersedia untuk digunakan pada pasien dengan kelainan jantung kongenital.
Kemajuan dalam biologi molekuler juga telah memberikan pemahaman baru tentang dasar
genetik kelainan jantung kongenital.

Tabel 1.1 Klasifikasi dan insiden dari kelainan jantung kongenital


ASIANOTIK
 Ventrikel Septal Defek 35 (Lesi shunting)
 Atrial Septal Defek 9 (Lesi shunting)
 Patent Ductus Arteriosus (PDA) 8 (Lesi shunting)
 Stenosis Pulmonal 8 (Lesi stenotik)
 Stenosis Aorta 6 (Lesi stenotik)
 Koarktaksio Aorta 6 (Lesi stenotik)
 Atrioventikuler Septal Defek 3 (Lesi shunting)
SIANOTIK
 Tetralogy of Fallot 5
 Transposisi pembuluh darah besar 4
Tabel 1.2 Tanda dan gejala dari kelainan jantung kongenital

BAYI
 Takipneu
 Kegagalan untuk meningkatkan berat badan
 Laju nadi >200 kali per menit
 Gagal jantung kongestif
 Sianosis
ANAK-ANAK
 Dipsneu
 Perkembangan fisik yang lambat
 Penurunan kemampuan aktivitas fisik
 Murmur jantung
 Sianosis
 Clubbing fingers
 Squatting
 Hipertensi
Tabel 1.3 Masalah umum yang berhubungan dengan kelainan jantung
kongenital
 Endokarditis infektif
 Disritmia jantung
 Blok jantung komplit
 Hipertensi
 Eritrositosis
 Tromboemboli
 Koagulopati
 Abses serebri
 Peningkatan konsentrasi plasma uric acid
 Kematian mendadak
Tabel 1.4 Kelainan jantung kongenital yang menyebabkan a left-to-right
shunt atau ekuivalennya

 Secundum atrial septal defek


 Primum atrial septal defek
 Ventrikular septal defek
 Aortikopulmonal Fenestration

Tanda dan gejala dari kelainan jantung kongenital pada bayi dan anak-anak sering kali
disertai dengan dipsneu, perkembangan fisik yang lambat, dan adanya murmur jantung.
Diagnosis dari kelainan jantung kongenital dapat diketahui selama minggu pertama kehidupan
pada 50% neonatus yang terkena dan saat sebelum berusia lima tahun pada semua pasien.
Beberapa komplikasi nampak muncul pada kelainan jantung kongenital, misalnya endocarditis
infektif sebagai resiko yang berhubungan dengan kebanyakan kelainan jantung kongenital.

I. Kelainan Jantung Kongenintal Asianotik


1. Atrial Septal Defek
Atrial Septal Defek (ASD), jarang ditemukan pada anak-anak dibandingkan kelainan jantung
asianotik lainnya, namun merupakan kelainan jantung kongenital yang sering terdeteksi pada
saat dewasa. Ventrikel Septal Defek (VSD) terjadi lebih sering daripada ASD, namun memiliki
tingkat penutupan spontan yang tinggi (hampir 70%). Selain itu, ASD yang kecil tidak
menunjukan gejala selama beberapa dekade. Hal ini menyebabkan ASD lebih sering terdiagnosis
saat dewasa.
ASD dapat dibedakan menjadi empat tipe yang berbeda berdasarkan asal embriologi dan
letak kelainan pada septum interatrial (Gambar 1.1). Kelainan ostium primum terjadi saat ostium
primum gagal menyatu dengan endokardial cushions. Hasilnya adalah kelainan pada septum
interatrial yang terletak tepat di atas katup atrioventrikular. Tipe ASD yang paling umum, yaitu
kelainan ostium secundum (75% dari semua ASD) terletak di tengah septum interatrial di lokasi
yang sama dengan foramen ovale dan dapat bervariasi dari satu lubang hingga fenestrasi septum.
Dua tipe ASD yang lainnya, kelainan sinus venosus (dapat terletak pada vena cava superior atau
sambungan vena cava inferior) dan sinus koroner unroofed (pembukaan sinus koroner ke atrium
kiri melalui persimpangan di belakang jantung), terjadi dengan frekuensi yang paling jarang.
Kelainan ini tidak selalu hadir secara terpisah namun bisa menjadi bagian dari sindrom yang
lebih kompleks, yang masing-masing terkait dengan lesi spesifik lainnya. Secara khusus,
kelainan ostium primum dikaitkan dengan cleft (sumbing) katup mitral dan/atau mitral
regurgitasi, kelainan ostium secundum dikaitkan dengan prolaps katup mitral dan /atau mitral
regurgitasi, kerusakan sinus vena dikaitkan dengan anomali pulmonary venous return, dan sinus
koroner unroofed dikaitkan dengan vena kava superior kiri yang persisten.
Terlepas dari tipe ASD, perubahan fisiologis yang dihasilkan bergantung pada tingkat
shunting darah bersih dari atrium kiri ke atrium kanan. Tingkat shunting pada akhirnya tidak
hanya bergantung pada perbedaan tekanan antara dua ruang tetapi juga pada ukuran lesi dan
kompilans relatif ventrikel. Hasil yang dihasilkan dari left-to-right shunting meningkatkan aliran
darah paru-paru dan menyebabkan pembebanan volume ventrikel kanan dan atrium kanan.
Kelainan yang lebih kecil menyebabkan shunting kecil atau terabaikan yang sebagian
besar tanpa konsekuensi hemodinamik. ASD yang lebih besar yang memungkinkan peningkatan
aliran darah paru lebih dari 50% dapat menyebabkan konsekuensi hemodinamik yang parah yang
menghasilkan hipertensi pulmonal, remodeling ventrikel, dan supraventrikular takidisritmia
seperti atrial fibrillation.
Mirip dengan banyak kelainan jantung kongenital lainnya, diagnosis pada pasien
asimtomatik sering dimulai setelah auskultasi murmur jantung. Pada pasien dengan ASD
biasanya terdapat murmur sistolik dengan bunyi jantung yang terbelah dua karena penutupan
katup pulmonal tertunda akibat peningkatan aliran yang melewati katup pulmonal. Temuan ini
kemudian dapat ditindaklanjuti dengan elektrokardiogram (EKG), yang dapat menunjukkan
tanda-tanda deviasi axis kanan dan blok cabang bundel kanan yang tidak sempurna dari regangan
ventrikel kanan. Rontgen dada mungkin menunjukkan pembesaran arteri paru, pembuluh darah
paru menonjol, dan kardiomegali. Diagnosis akhir dikonfirmasi dengan menggunakan
echocardiography dengan Doppler untuk menentukannya lokasi ASD, tingkat shunting, arah
aliran darah, dan anomali jantung terkait.
Tanda dan Gejala
Pasien dapat menunjukkan gejala sesak saat berolahraga, menurunnya toleransi olahraga,
kelelahan, gagal jantung, palpitasi, atau stroke embolik. Namun, banyak pasien dengan ASD
akan tetap asimtomatik selama bertahun-tahun dan diagnosis hanya dilakukan secara tidak
sengaja setelah dilakukan evaluasi murmur jantung.
Kelainan yang lebih kecil dengan rasio aliran darah pulmonal sampai sistemik (rasio Qp :
Qs) < 1,5 : 1 biasanya tetap asimtomatik dan tidak memerlukan intervensi lebih lanjut. Lesi shunt
dengan rasio Qp : Qs > 1,5 : 1 harus dipertimbangkan untuk penutupan septum untuk mencegah
sekuele jangka panjang. Dengan mempertimbangkan lokasi dan ukuran ASD, kelainan septal
dapat ditutup secara perkutan dengan menggunakan perangkat oklusi septal atau pembedahan
dengan sternotomi penuh atau pendekatan invasif minimal melalui torakotomi.

Gambar 1.1. Atrial Septal Defek. A, Secundum ASD, di mana darah mengalir ke kanan
melintasi atrium sepanjang gradien tekanan. B, gambar skematik dari lokasi ASD. 1, Defek
septum primum; 2, defek septum secundum; 3, defek sinus venosus; 4, sinus koroner unroofed.
Ao, Aorta; IVC, vena kava inferior; LA, atrium kiri; LV, ventrikel kiri; PA, arteri pulmonalis;
PV, vena pulmonal; RA, atrium kanan; RV, ventrikel kanan; SVC, superior vena cava
Penatalaksaan Anestesi
Untuk strategi manajemen umum dan manajemen anestesi, lihat bagian selanjutnya pada bab
“Balancing Pulmonary and Vascular Resistance (Qp:Qs)”. Bagi pasien yang menjalani
penutupan ASD, manajemen bergantung pada pendekatan yang dipilih. Penutupan ASD perkutan
dapat dilakukan dengan pemantauan minimal atau non-invasif di bawah anestesi umum atau
sedasi dalam, sedangkan operasi perbaikan ASD memerlukan semua monitor dan akses yang
diperlukan untuk bypass kardiopulmoner dan kapasitas untuk mengobati/mengelola potensi blok
jantung pasca operasi.

2. Ventrikel Septal Defek


Dengan kejadian lebih dari 30%, tidak termasuk katup aorta bikuspid, VSD adalah bentuk
paling umum dari kelainan jantung kongenital pada anak-anak. Namun, karena tingkat
penutupan spontan yang tinggi, terutama untuk kelainan septum muskular, VSD lebih jarang
pada orang dewasa. Klasifikasi VSD dapat membingungkan karena terdapat beberapa nama
untuk masing-masing dari empat lesi yang berbeda, yang diklasifikasikan menurut lokasinya di
septum interventrikular (Gambar 1.2). Menurut Congenital Heart Surgery Nomenclature and
Database project, tipe VSD I, yang juga disebut subarterial, suprakristal, outlet, subpulmonik,
atau infundibular VSD, terletak tinggi di septum interventrikular tepat di bawah katup pulmonik
di atas krista terminalis. VSD yang paling umum (lebih dari dua pertiga dari semua VSD) adalah
tipe II VSD, juga disebut VSD perimembran atau infrakristal, yang terletak lebih rendah di
septum tepat di bawah krista terminalis. Tipe III VSD, juga disebut VSD tipe kanal inlet, terletak
tepat di bawah katup mitral dan trikuspid. Tipe terakhir dari VSD, tipe IV atau VSD muskular,
terletak jauh di bagian otot septum ventrikular dan defek dapat berkisar dari perforasi tunggal
hingga banyak lubang dengan ukuran berbeda. Serupa dengan ASD, beberapa jenis VSD
dikaitkan dengan lesi yang berbeda. Tipe I VSD dikaitkan dengan insufisiensi aorta yang
disebabkan oleh prolaps pada titik katup katup aorta, dan VSD tipe II dikaitkan dengan
aneurisma katup trikuspid atau insufisiensi yang disebabkan oleh terperangkapanya daun katup.
Tipe III VSD dikaitkan dengan cleft katup mitral atau katup trikuspid dan merupakan bagian
dari kelainan kanal atrioventrikular komplit. Terakhir, tipe IV VSD dapat dikaitkan dengan
banyak lesi yang berbeda namun memiliki probabilitas penutupan tertinggi secara spontan
seiring bertambahnya usia.
Gambar 1.2. Ventrikel Septal Defek. A, Penggambaran skematis VSD yang menghasilkan lesi
shunting kiri-ke-kanan. B, Lokasi berbagai tipe VSD. 1, Subarterial; 2, perimembran; 3, inlet; 4,
muskular. Ao, Aorta; IVC, vena kava inferior; LA, atrium kiri; LV, ventrikel kiri; PA, arteri
pulmonalis; PV, vena pulmonal; RA, atrium kanan; RV, ventrikel kanan; SVC, superior vena
cava

Tanda dan Gejala


Tingkat keparahan tanda dan gejala tergantung pada ukuran kelainan, perbedaan tekanan
antara ventrikel, dan rasio resistensi vaskular paru terhadap sistemik. Kelainan kecil dengan rasio
Qp : Qs yang dihasilkan 1,4 : 1 atau kurang biasanya tetap asimtomatik dan tidak mengakibatkan
ganggguan hemodinamik utama (misalnya, hipertensi pulmonal atau gagal jantung). Kelainan ini
biasanya disebut sebagai VSD restriktif karena jumlah shunting dibatasi oleh ukuran dari
kelainan tersebut. VSD restriktif moderat dengan rasio Qp : Qs berkisar antara 1,4-2,2 : 1 atau
VSD nonrestriktif dengan rasio Qp : Qs > dari 2,2 : 1 dapat mengakibatkan pemerataan tekanan
sistolik ventrikel kiri dan kanan yang menyebabkan volume dan tekanan yang berlebihan dari
peredaran paru-paru. Kelebihan beban ini kemudian dapat menyebabkan hipertensi pulmonal.
Seiring waktu, pembuluh darah paru mulai melakukan perombakan (remodeling),
mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular paru dan penurunan rasio Qp : Qs yang pada
akhirnya dapat menyebabkan pembalikan shunt (lihat bagian "Eisenmenger Syndrome"). Pasien
menjadi semakin hipoksia karena lebih banyak darah yang melewati paru-paru. Pasien semacam
itu bukan lagi kandidat untuk penutupan VSD karena ini pasti akan menyebabkan gagal jantung
kanan. Seiring berjalannya waktu, bahkan dengan tidak adanya penyakit lanjut dan sindrom
Eisenmenger, pasien dengan VSD restriktif moderat atau nonrestriktif menyebabkan kegagalan
ventrikel kiri dan hipertensi pulmonal, menempatkan mereka pada risiko perioperatif yang
meningkat. Oleh karena itu penting untuk mendiagnosis pasien lebih awal dan melakukan
penutupan VSD sebelum resistensi vaskular paru naik ke tingkat tinggi sehingga penutupan tidak
lagi memungkinkan.
Secara klinis, pasien dengan VSD memiliki murmur holosistolik yang paling keras di
perbatasan sternal kiri. Dengan meningkatnya ukuran defek, EKG dapat menunjukkan tanda-
tanda hipertrofi ventrikel atrium kiri dan kiri serta regangan ventrikel kanan. Demikian pula,
rontgen dada akan menunjukkan siluet jantung yang membesar pada penyakit lanjut.
Echocardiography (2 dimensi [2D] dan color Doppler) adalah modalitas pencitraan yang paling
umum digunakan untuk mengevaluasi keabnormalan, arah, dan tingkat keparahan VSD. Teknik
lain yang lebih invasif termasuk kateterisasi jantung dan angiografi untuk mengukur jumlah
shunting intrakardiak, tekanan intravaskular dan intrakavitasi, dan resistensi vaskular paru dan
sistemik.
Penatalaksanaan Anestesi
Ringkasan yang paling konservatif mungkin akan mengobati pasien dengan VSD dengan
tingkat keparahan yang tidak diketahui seperti pasien dengan CHF dan hipertensi pulmonal.
Untuk strategi manajemen umum dan manajemen anestesi, lihat bab “Balancing Pulmonary and
Vascular Resistance (Qp:Qs).”
VSD dapat ditutup secara perkutan pada anak yang lebih tua dan orang dewasa, terutama
jika ukuran defek kecil. Sebagai alternatif, operasi penutupan VSD saat ini dapat dilakukan pada
anak-anak dari semua umur. Oleh karena itu sangat jarang bagi dokter untuk menemukan bayi
yang baru lahir yang menjalani pulmonary artery banding untuk mengurangi sirkulasi paru
berlebih yang diinduksi shunting dari kiri ke kanan untuk mengantisipasi penutupan vsd di
kemudian hari. Namun, dalam situasi penempatan pita yang tidak lazim, penempatan pita paru
yang ketat dapat menyebabkan bradikardia dan hipotensi sistemik dan harus dikoreksi dengan
pengeluaran pita yang tepat. Lebih jauh, tekanan positif pada ekspirasi akhir sering dihentikan
setelah meletakan pulmonary arteri band untuk memfasilitasi kekencangan optimal.
Kebanyakan anak – anak akan menjalanai operasi penutupan VSD, yang mana secara umum
sangat dapat ditoleransi. Komplikasi pasca pembedahan yang termasuk blok atrioventrikular,
takikardia ventricular, dan gagal jantung kronis (terutama dengan berkembangnya hipertensi
pulmonal.
3. Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Selama perkembangan fetus duktus arteriosus menghubungkan arteri pulmonal kiri dan aorta
descenden tepat dibawah arteri subklavian kiri. Hal ini memungkinkan adanya shunting dari
darah dari kanan (arteri pulmonal) ke kiri (aorta descenden), dengan melewati paru yang belum
mengembang. Dalam 24 jam pertama setelah kelahiran duktus mulai menutup dan menutup
sempurna dalam satu bulan pertama dari kelahiran. Namun, pada beberapa pasien, (terutama
pada bayi prematur) duktus tetap terbuka melebihi waktu tersebut. Jalur penghubungan ini
menybabkan adanya aliran darah dari kiri-ke-kanan dari aorta yang bertekanan tinggi ke arteri
pulmonal yang bertekanan rendah. Jumlah darah yang memintas dari kiri ke kanan tergantung
dari ukuran duktus (diameter dan lebar), dan perbedaan tekanan antara aorta dan arteri pulmonal,
dan rasio antara resistensi pulmonal dan sistemik.
Tanda dan Gejala
Kebanyakan pasien dengan PDA memiliki shunting yang ringan dan sedang dan tetap
asimptomatis. Tidak jarang pasien tersebut didiagnosis secara kebetulan selama rutinitas fisik
dimana auskultasi murmur jantung memicu pemeriksaan lebih lanjut. Pada kejadian yang jarang
terjadi bahwa shunt besar dan shunting kiri-ke-kanan adalah substansial, pasien dapat
menunjukkan tanda-tanda hipertrofi ventrikel dan hipertensi pulmonal yang menyebabkan gagal
jantung, gagal berkembang, dilatasi aneurisma duktus, dan dalam waktu lama dapat
menyebabkan sindrom Eisenmenger. Temuan klasik auskultasi adalah murmur sistolik dan
diastolik kontinus yang paling baik didengar di daerah infraklavikular kiri atau batas sternum kiri
atas. Diagnosis dan kuantifikasi pasti kemudian dapat ditentukan dengan ekokardiografi 2D dan
Doppler atau kateterisasi jantung dan angiografi.
Gambar 1.3. Patent ductus arteriosus (PDA). Gambaran skematik dari PDA yang
menghubungkan lengkung aorta distal ke arteri pulmonalis (PA). Hubungan ini menghasilkan
shunt kiri-ke-kanan, dengan darah mengalir dari aorta (Ao) ke arteri pulmonalis. IVC, vena kava
inferior; LA, atrium kiri; LV, ventrikel kiri; PV, vena pulmonal; RA, atrium kanan; RV,
ventrikel kanan; SVC, superior vena cava

Penatalaksanaan Anestesi
Sebagian besar pasien yang duktusnya gagal menutup secara spontan akan dioperasi
selama masa neonatal. Penutupan duktus invasif minimal dengan intervensi kardiologi belum
dipraktekkan secara luas dan biasanya dilakukan pada anak yang lebih tua dan orang dewasa
muda. Rentang usia ini merupakan periode kedua untuk pembedahan mengingat sebagian besar
pasien yang belum pernah didiagnosis dalam masa perinatal tetap asimtomatik sampai masa
remaja, yang mana pada suatu saat dimana mereka mungkin mengalami gagal jantung atau
hipertensi pulmonal. Kondisi ini harus segera memicu tindakan karena perkembangan hipertensi
pulmonal berat bisa menjadi kontraindikasi penutupan saluran.
Sebagian besar bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 28 minggu akan memerlukan
perawatan untuk memfasilitasi penutupan saluran. Dari jumlah tersebut, sebagian besar dapat
diobati secara medis dengan infus inhibitor cyclooxygenase indometasin secara kontinu, untuk
menurunkan produksi prostaglandin yang diperlukan agar duktus tetap terbuka. Indometasin
dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk PDA.
Jika perawatan medis gagal atau dikontraindikasikan, duktusnya biasanya tertutup secara
operasi selama periode neonatal. Prosedur dapat dilakukan melalui bypass melalui torakotomi
kiri baik di ruang operasi atau di samping tempat tidur di unit perawatan intensif neonatal,
dengan morbiditas rendah (<1%).
Untuk strategi manajemen umum dan manajemen anestesi, lihat bab “Balancing
Pulmonary and Vascular Resistance (Qp:Qs).” Selama tahap pembedahan dari operasi, dokter
bedah biasanya mendorong paru-paru keluar dari tempatnya. Tindakan ini dapat menyebabkan
penurunan saturasi oksigen sementara, mengingat tingginya kejadian penyakit paru-paru dengan
kompilans paru-paru yang buruk pada bayi prematur, dan mungkin memerlukan beberapa
penyesuaian pengaturan ventilator untuk mengoptimalkan oksigenasi.

4. Aortikopulmonal Fenetration
Fenestrasi Aortikopulmonari digambarkan dengan hubungan antara bagian kiri dari aorta
ascendens dan dinding kanan dari arteri pulmonal utama, hanya bagian anterior sampai asal dari
arteri pulmonal kanan. Hubungan ini berkaitan dengan kegagalan dari septum aortikopulmonari
untuk berfusi dan secara komplit memisahkan aorta dari pulmonal arteri. Manifetasi klinik dan
hemodinamik dari komunikasi aortikopulmonari serupa dengan PDA. Diagnosis difasilitasi pleh
ekokardiografi dan angiokardiografi. Pengobatannya adalah pembedahan dan pertimbangan
untuk menggunakan bypass kardiopulmonari. Pengelolaan anesthesianya mengikuti prinsip yang
sama dengan prinsip yang dijelaskan untuk pasien PDA.

5. Stenosis Aorta
Stenosis pada left ventricular outflow tract (LVOT) dapat disebabkan oleh stenosis aorta
subvalvular, valvular, dan supravalvular. Stenosis aorta valvular sering merupakan hasil dari
katup aorta bikuspid, yang terjadi pada kira-kira 2% dari semua bayi yang baru lahir di Amerika
Serikat. Dikarenakan frekuansinya yang sangat tinggi, hampir 10 kali lebih sering dibandingkan
VSD dan setidaknya 2 kali lebih sering jika semua kerusakan kongenital jantung digabungkan,
dan karena sangat jarang menjadi simptomatik hingga pasien mencapai usia dewasa, sehingga
biasanya tidak dicatat dalam statistik penyakit kongenital jantung. Namun, hal ini sering
dikaitkan dengan kelainan vaskular lainnya, seperti PDA atau koarktasio aorta.
Pasien dengan katup aorta bikuspid tidak dilahirkan dengan katup stenosis. Sebaliknya,
karena katup aorta hanya memiliki dua dan bukan tiga katup normal, aliran darah menjadi lebih
turbulen, mengakibatkan gangguan endotel dan peradangan lokal, serta predisposisi kalsifikasi.
Faktor-faktor ini berujung pada stenosis aorta prematur. Tingkat keparahan umumnya ditentukan
oleh gradien tekanan pada katup aorta. Gradien rata-rata 20 mmHg dianggap ringan, namun lebih
dari 40 mmHg dianggap parah.
Tanda dan Gejala
Sebagian besar pasien dengan katup aorta bikuspid tidak mengeluhkan gejala
(asimptomatik) sampai usia dewasa. Bayi dengan stenosis aorta parah (lebih mungkin
subvalvular) menderita kesulitan menyusui, pertumbuhan yang buruk, dan kegagalan jantung.
Stenosis aorta supravalvular tidak terlalu umum terjadi dan dapat dikaitkan dengan fenotip khas
(dahi bulat, tulang wajah menonjol, bibir atas yang mengerucut). Selama anestesi, pasien dengan
stenosis aorta supravalvular berisiko tinggi mengalami kematian mendadak, kemungkinan
disebabkan oleh iskemia miokard. Hal yang sama juga berlaku untuk pasien dengan stenosis
aorta subvalvular, yang dapat disebabkan oleh stenosis tetap (membran, rongga fibromuskular,
dll.) atau komponen dinamis dari obstruksi outflow ventrikel kiri.
Gejala klasik pasien dengan stenosis aorta adalah sinkop (penurunan detak jantung dan
tekanan darah secara tiba-tiba dan dapat menyebabkan pingsan), angina, dan dyspnea (susah
napas atau napas pendek). Pada pasien tersebut ventrikel kiri harus menghasilkan tekanan yang
lebih tinggi dari normal untuk mengatasi lesi stenotik, yang tidak tercermin oleh tekanan darah
sistemik normal yang diukur pada poststenosis. Konsekuensi logisnya adalah hipertrofi
konsentris ventrikel kiri, yang seiring waktu meningkatkan kebutuhan oksigen, menurunkan
penyesuaian miokard dan dengan demikian mengisi ventrikel kiri, serta mengurangi gradien
yang diperlukan arteri koroner untuk menyempurnakan miokardium ventrikel kiri, yang
menyebabkan angina apabila tidak ada penyakit arteri koroner. Dikarenakan kecepatan aliran
darah yang tinggi dan aliran turbulen poststenosis, akar aorta dan aorta asenden dapat merespon
dengan pelebaran postfrotik, yang memerlukan perbaikan tidak hanya katup tapi juga akarnya
dan bahkan mungkin aorta asenden.
Pasien dengan stenosis aorta memiliki ciri dan cukup mudah untuk mengidentifikasi
murmur sistolik. Hal tersebut terasa paling keras di ruang interkostal kedua dan terpancar ke
leher. EKG dapat menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri dengan regangan, terutama saat
berolahraga. Rontgen dada menunjukkan siluet ventrikel kiri yang diperbesar dan berpotensi
aorta asenden menonjol. Akhirnya diagnosis akan dikonfirmasi dengan ekokardiografi dengan
menggunakan pencitraan 2D, gelombang Doppler kontinu, dan warna Doppler untuk
mengevaluasi lokasi stenosis yang tepat, tingkat keparahannya, lesi atau perubahan terkait, dan
fungsi ventrikel. Demikian pula, kateterisasi jantung dan angiografi dapat digunakan untuk
menilai tingkat keparahan dan lesi terkait yang tidak mudah terdeteksi dengan ekokardiografi
(misalnya, penyakit arteri koroner yang terjadi bersamaan). Baru-baru ini, MRI jantung semakin
sering menggabungkan semua pilihan evaluasi menjadi satu studi komprehensif.
Penatalaksanaan Anestesi
Lihat Bab 6, "Penyakit Jantung Valvular," dan bagian tentang stenosis aorta untuk rincian
tentang manajemen anestesi.

6. Stenosis Pulmonal
Banyak konsep untuk stenosis aorta dapat diekstrapolasikan ke stenosis paru, dengan
perbedaan utama yaitu ventrikel kanan jauh lebih sensitif terhadap peningkatan afterload
(tekanan yang harus dilakukan jantung untuk mengeluarkan darah selama sistol). Serupa dengan
stenosis aorta, stenosis pulmonal lebih sering berasal dari katup valvular daripada supravalvular
atau subvalvular. Lesi terkait dengan stenosis pulmonal supravalvular, meliputi ASD, VSD,
PDA, dan tetralogy of Fallot (TOF) (kondisi langka disebabkan oleh kombinasi empat cacat
jantung yang terjadi saat lahir). Stenosis pulmonalis subvalvular biasanya berhubungan dengan
VSD, sedangkan stenosis pulmonalis valvular cenderung terjadi secara terpisah atau kadang
dikombinasikan dengan VSD. Menariknya, gradien tekanan puncak sering digunakan untuk
klasifikasi stenosis pulmonal (berlawanan dengan gradien rataan), dengan kurang dari 36 mmHg
yang dianggap ringan dan lebih dari 64 mmHg dianggap parah.
Tanda dan Gejala
Gejala bergantung pada tingkat keparahan dan cacat terkait (misalnya sianosis pada kasus
parah dengan VSD yang terkait). Secara umum, pasien akan hadir dengan tanda-tanda gagal
jantung kanan, termasuk dyspnea, distensi vena jugularis, edema perifer, dan asites. Pada
auskultasi murmur ejeksi sistolik, paling baik didengar di ruang interkostal kiri kedua, sehingga
mungkin dapat ditemukan. EKG dapat menunjukkan tanda-tanda hipertrofi ventrikel kanan dan
regangan. Ekokardiografi atau MRI dapat digunakan untuk mengkonfirmasi dan
mengklasifikasikan jenis dan tingkat keparahan lesi.
Penatalaksanaan Anestesi
Stenosis pulmonal dapat diobati dengan operasi terbuka yang memerlukan bypass
kardiopulmoner atau perkutan melalui balon valvuloplasti. Untuk setiap pasien dengan stenosis
pulmonal yang menjalani operasi jantung atau noncardiak, tujuan anestetik untuk menghindari
peningkatan kebutuhan oksigen ventrikel kanan. Lihat Bab 6, "Penyakit Jantung Valvular," dan
bagian tentang stenosis pulmonal untuk rincian tentang manajemen anestesi.

7. Koarktasio Aorta
Koarktasio aorta lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita dan terdiri dari penyempitan
aorta di dekat duktus arteriosus serta dapat bersifat preductal, juxtaductal, atau postductal.
Bergantung pada lokasinya, gejala dan usia saat diagnosis cenderung bervariasi. Bentuk yang
paling umum yaitu koarktasio postductal, terletak di luar duktus arteriosus dan lebih sering
didiagnosis pada anak yang lebih tua. Koarktasio preduktal terletak pada duktus proksimal dan
kemungkinan besar terjadi pada bayi.
Tanda dan Gejala
Semua bentuk koarktasio aorta menyebabkan hal buruk yang umum dari hipertensi
sistolik, CHF, diseksi aorta, penyakit arteri koroner prematur, dan perdarahan intraserebral yang
disebabkan oleh ruptur aneurisma. Tanda dan gejala tidak hanya bergantung pada tingkat
keparahan koarktasio tetapi juga pada lokasinya (preductal atau postductal). Secara umum, gejala
yang muncul termasuk sakit kepala, pusing, palpitasi, dan epistaksis. Anak-anak atau orang
dewasa dengan koarktasio aorta postductal biasanya tetap tidak memunculkan gejala
(asimtomatik) dan mendapat perhatian medis untuk penanganan sakit kepala atau temuan
insidental pada pemeriksaan fisik rutin, seperti perbedaan tekanan darah antara ekstremitas atas
(hipertensi) dan bawah (normotensif atau hipotensi) atau lemah dan denyut femoral yang lambat.
Pada kasus berkurangnya aliran darah ekstremitas bawah yang parah, gejala awal yang muncul
dapat berupa klaudikasitas (sakit yang disebabkan terlalu sedikit aliran darah) ekstremitas bawah.
Pasien cenderung mengisolasi hipertensi sistolik dengan tekanan darah diastolik normal dan
akibatnya tekanan nadi melebar. Bayi dengan koarktasio aorta preductal, di sisi lain cenderung
menjadi gejala awal kehidupan. Bayi baru lahir dengan duktus masih terbuka memiliki sianosis
selektif pada ekstremitas bawah, dengan wajah merah muda dan ekstremitas atas. Jika koarktasio
ini tidak didiagnosis pada waktu yang tepat, perbedaan tekanan darah antara ekstremitas atas dan
bawah cenderung hilang di kemudian hari saat berkembangnya aliran darah kolateral yang
melibatkan arteri torak, interkostal, dan arteri subklavia.
Pada pemeriksaan fisik, murmur ejeksi sistolik dapat diauskultasi di sepanjang sternal
kiri. Hal ini juga dapat diauskultasi di belakang dan di atas area koarktasio, terutama jika
terdapat aliran darah kolateral yang cukup. EKG menunjukkan tanda klasik hipertrofi ventrikel
kiri. Rontgen dada juga dapat memperlihatkan penonjolan di bagian posterior tulang rusuk
sebagai tanda peningkatan aliran darah kolateral di arteri interkostal. Penonjolan ini hanya
terlihat posterior karena arteri interkostal anterior terletak pada alur kostal. Terkadang koarktasio
aktual dan dilatasi poststenotiknya juga dapat divisualisasikan (seperti tanda E terbalik).
Diagnosis pasti dapat dilakukan dengan ultrasonografi, computed tomography (CT), atau MRI,
yang dapat mengklasifikasikan lokasi dan tingkat keparahan stenosis. Dua teknik terakhir ini
dapat digunakan untuk mengukur tingkat arus kolateral.
Penatalaksanaan Anestesi
Koarktasio idealnya harus disembuhkan pada masa bayi atau masa kanak-kanak sebelum
pasien mengalami hipertensi sistemik. Begitu hipertensi berkembang, risikonya menjadi tinggi
sehingga akan tetap ada meskipun usaha penyembuhan yang memadai. Meskipun koarktasio
dapat disembuhkan secara perkutan oleh pelebaran balon dan penempatan stent, reseksi bedah
koarktasio dan perbaikan terbuka dengan patch (tambalan) atau anastomosis end-to-end tetap
merupakan pilihan pengobatan yang populer. Kedua pendekatan ini berhasil pada kebanyakan
pasien dan menimbulkan sedikit risiko aneurisma aorta atau koarktasio berulang.
Pengobatan dengan bedah umumnya tidak melibatkan bypass kardiopulmoner, tapi
memang memerlukan penjepit aorta (proksimal). Penempatan penjepit silang memerlukan
pengelolaan dua sirkulasi (proksimal dan distal pada penjepit) dengan tekanan yang sangat
berbeda. Hal yang penting adalah stenosis aorta yang lebih ketat, semakin sedikit gangguan
hemodinamik yang timbul saat penempatan penjepit. Sirkulasi proksimal (terutama jantung,
kepala, dan ekstremitas atas) terkena tekanan yang relatif tinggi yang berpotensi menyebabkan
gagal jantung dan pendarahan otak. Sirkulasi distal (terutama usus, ginjal, sumsum tulang
belakang, dan ekstremitas bawah) dihadapkan pada masalah yang berbeda yakni hipotensi dan
hipoperfusi hebat (tergantung pada jumlah aliran darah kolateral), yang berpotensi menyebabkan
iskemia usus, gagal ginjal, atau pada kasus paraplegia yang jarang terjadi. Tekanan darah harus
dipantau terus menerus di atas penjepit silang, yang hanya menyisakan lengan kanan sebagai
sumber pengukuran yang terpercaya (suplai darah ke lengan kiri dapat dikompromikan selama
operasi). Tekanan darah juga harus dipantau di bawah tingkat penjepit silang untuk memastikan
perfusi yang memadai melalui kolateral saat penjepitan silang dan untuk memastikan tidak
adanya gradien tekanan setelah operasi. Sebagai alternatif, bypass sirkulasi parsial mungkin
diperlukan. Tekanan darah secara proksimal terhadap penjepit silang aortik biasanya lebih
mudah dikendalikan. Kendati demikian, kenaikan tekanan sistemik harus dihindari.
Selain komplikasi yang telah disebutkan, pasien memiliki risiko pasca-operasi hipertensi
paradoksal, yang mungkin dipicu oleh refleks baroreseptor (salah satu mekanisme homeostatik
tubuh yang membantu mempertahankan tekanan darah pada tingkat yang hampir konstan),
aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, atau pelepasan katekolamin yang berlebihan.
Pengobatan awal meliputi infus obat vasoaktif. Cedera saraf yang paling umum adalah kerusakan
pada saraf laring kiri, yang menyebabkan stridor atau suara serak. Kerusakan saraf frenik (Saraf
yang terdapat di leher (C3-C5) dan melewati paru-paru dan jantung untuk mencapai diafragma)
kurang umum namun bisa mengakibatkan kebutuhan bantuan pernapasan yang berkepanjangan.

Anda mungkin juga menyukai