PROBLEMATIK
Paramita Ersan
Hakim Mahkamah Partai Golkar
Jl. Fatmawati Raya No. 50, Blok D-11, Jakarta 14320
ABSTRACT
“Corruption” and Human Rights clearly remains as a problematique. The state in the
fight against corruption is central to the struggle for human rights. For too long the anti
corruption and human rights movements have been working in parallel rather then
tackling these problems together. The real paid of corruption is not paid in currency,
after all. The true costs are eroded opportunities, increased of the people walfare
disadvantaged and feelings of injustice. Special attention is paid to the United Nations
for the substantial progress achievement against corruptions with enhance
international cooperation. Identifies thematic achievements and challenges to the
current global anti-corruption framework: The link between corruption and good
governance and that between corruption and human rights;
INTISARI
Korupsi dan HAM jelas tetap menjadi suat problematik tersendiri. Praktik negara
memerangi korupsi adalah faktor kekuatan sentral dalam perlindungan HAM. Sejarah
menorehkan perjuangan anti korupsi dan HAM hanya berjalan parallel, tidak mampu
mengatasi kedua problematik secara bersamaan. Dampak korupsi yang sesungguhnya
adalah Kerugian negara dalam bentuk kehilangan kesempatan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan kehilangan rasa keadilan. Atensi khusus diberikan kepada
Perserikatan bangsa-bangsa untuk keberhasilan menggalang kerjasama internasional.
Pada era globalisasi, perjuangan anti korupsi mengacu pada dua hubungan antara
korupsi dan pemerintahan yang bersih, hubungan antara korupsi dan HAM.
PENDAHULUAN
Hak asasi manusia (HAM) dan korupsi merupakan dua hal yang pada awalnya
dianggap tidak saling memiliki keterkaitan, hal ini disebabkan substansi tindak pidana
korupsi secara tekstual tidak menyinggung secara langsung hubungan substantive
korupsi dengan HAM. Secara defacto korelasi keduanya sangat jelas, karena hampir
dalam semua kasus korupsi, secara langsung maupun tidak langsung akan diikuti oleh
pelanggaran HAM. Kofi Annan mengatakan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa melawan korupsi UNCAC pada tahun 2002, “that corruption “hurts the poort
disproportionately” and promotes “inequality”.1 Bahkan C. Raj Kumar pakar hukum
1
UN Secretary General Kofi Annan, Foreword UNCAC (2003) dalam Anne Peters Corruption
and Human Rights, (Germany:Basel Institute on Governance, September 201), hal. 23
SOCIAL JUSTITIA
Vol I No. 1 July 2017
Paramita Ersan
Sebagai contoh, korupsi dalam dunia pendidikan terjadi pada tahun 2012., ketika
Bank Dunia (The World Bank), mengumumkan kejahatan penyuapan dan penipuan
yang dilakukan oleh Oxford University Press (OUP) dan Oxford University Press
Tanzani Limited (OUPT). Kedua perusahaan tersebut dituntut telah melakukan
gratifikasi (bribery) terhadap official government of the World Bank East Africa untuk
mendapatkan kontrak proyek buku yang dibiayai oleh World bank tahun 2010 di
Aftrika Timur. Penyelesaikan kasus ini, OUP dan OUPT membayar total ganti rugi
kepada World Bank sebesar USD 9.5 Juta atas kejahatan penipuan tersebut. Di sisi lain,
komitmen Bank Dunia dalam membantu program pemerintah mencegah korupsi, telah
diperkenalkan sejak tahun 1995 oleh President The World Bank Group, James
Wolfensohn pada acara First Annual Meeting. Wolfensohn menyebut dengan istilah
combating “The Cancer of Corruption”;6
2
Ibid.., lihat C. Raj Kumar, Corruption and Human Rights in India: Comparative Perspectives
on Transparancy and Good Governance (Oxford: OUP 2011), 36, 46-47
3
Transparency International, 2013, Corruption Perceptions Index: Corruption remains A
Global Threat. https://www.transparency.org/cpi2013, di akses 30 Maret 2017
4
Transparancy International, 2006, Corruption Perceptions Index,
https://www.transparency.org/research/cpi/cpi_2006, di akses 30 Maret 2017
5
Op.Cit.
6
James Wolfensohn, the 9th President of The World Bank Group, 1995-2005
http://www.worldbank.org/en/about/archives/history/past-presidents/james-david-wolfensohn di akses 5
Mei 2017
73
SOCIAL JUSTITIA
Vol I No. 1 July 2017
Paramita Ersan
METODE PENELITIAN
Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah; yuridis normatif, sehingga jenis
data yang digunakan Bahan hukum sekunder dan bahan ‟Hukum Tertier‟ dapat
menjelaskan, atau memberikan informasi mengenai bahan hukum yang digunakan
dalam penelitian. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan untuk
meneliti dan mengalisis undang-undang dan pengaturan yang bersangkut paut dengan
HAM dan penanggulangan kejahatan Korupsi Transnasional. Pendekatan konsep
(conceptual approach), digunakan untuk mempelajari pandangan dan doktrin yang
berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan Case Approach, dipahami oleh Peneliti
adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk
sampai kepada putusannya yang dapat diketemukan dengan memerhatikan fakta
materiel, berupa orang, tempat, waktu, dan segala yang menyertainya asalkan tidak
terbukti sebaliknya. Oleh karena itu Peneliti bukanlah merujuk kepada diktum putusan
pengadilan, melainkan merujuk kepada ratio decidendi. Dengan mempelajarinya,
Peneliti dapat menemukan konsep kebijakan pencegahan dan pemberantasan Korupsi
transnasional secara global menuju kepastian hukum dan keadilan yang merupakan hak
asasi paling esensial dari semua warga negara.
PEMBAHASAN
1. HISTORIS HAM & KORUPSI DALAM KERANGKA INTERNASIONAL
Dilatar belakangi oleh keinginan untuk mencegah terulangnya kembali
kekejaman,pembunuhan masal, kekerasan dan penganiayaan selama Perang Dunia II,
yang merupakan pelanggaran berat HAM. Dengan berdasarkan pada konsep sosialis,
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya meminta hak yang lebih jauh dari negara sebagai
satu-satunya lembaga yang dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Menurut Martin Dixon; “The role and nature of human rights law is concerned with
the procedures which exist in internasional law for the promotion, protection and
vindication of the human rigths and fundamental freedoms of individuals”.7 Didorong
oleh kesadaran yang mendalam ini, berbagai upaya dilakukan secara gencar oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beserta organisasi-organisasi regional merumuskan
Piagam Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945 dan Universal Declaration
of Human Rights (UDHR) tahun 1948, yang mengatur berbagai bentuk dan cara
melindungi HAM dalam bentuk pengaturan-pengaturan konvensional yang diterima
oleh masyarakat internasional.
Masalah perlindungan HAM ini sudah diatur secara baik dalam hukum
internasional yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan individu dan
kelompok dari pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Hukum
Internasional secara jelas melindungi dan memajukan hak asasi manusia yang secara
internasional dilindungi, pengaturan tersebut dinamakan sebagai International
protection of human rights atau International Human Rights Law. Menurut Brownlie:
7
Martin Dixon MA, Text Book on International Law 3rd Edition, Glasgow:Blackstone Press
Limited, 1996), hal. 308
74
SOCIAL JUSTITIA
Vol I No. 1 July 2017
Paramita Ersan
“In the real world of practice and procedure, there is no such entity as „International
Human Rights Law”8
Secara garis besar ada pelbagai variasi dari kejahatan internasional dalam
kerangka nternasional, meskipun perbedaannya antara satu dengan lainnya kadang-
kadang tidaklah begitu tajam. Hal ini disebabkan karena kejahatan itu sendiri juga
sangar bervariasi. Hukum pidana nasional negara-negara memang sudah mengaturnya
sedemikian rupa, supaya tidak ada satupun kejahatan yang berada diluar jangkauannya.
Akan tetapi selalu ada saja kemungkinan munculnya kejahatan jenis baru yang ternyata
tidak mampu dijangkau oleh hukum pidana nasional negara-negara di dunia.
Mengenai Kejahatan Korupsi yang diatur dalam hukum Internasional adalah
International Crime Organisation – TOC, mengandung pengertian, adanya kaidah, asas
hukum yang mengatur tentang kejahatan transnasional atau lintas batas negara,
hukumnya itu tidak semata-mata berlaku di dalam batas-batas wilayah satu negara,
melainkan berlaku dengan melintasi batas-batas wilayah negara, jadi menyangkut dua
atau lebih negara. Dengan demikian, hukum pidana nasional masing-masing negara itu
dapat diterapkan terhadap kejahatan atau tindak pidana tersebut melalui ratifikasi
perundang-undangan.
Sejarah menorehkan catatan panjang perjuangan bangsa-bangsa dunia melawan
kejahatan pelanggaran HAM dan Korupsi , pertama diperkenalkan dalam instrumen
Hukum Internasional pada “Vienna Convention On The Law of Treaties Between States
and International Organizations or Between International Organisastion”. Konvensi
yang mengatur perjanjian antara negara dengan organisasi internasional atau antara
organisasi internasional. Pada konvensi ini diadopsi General Principle of International
Law yang terkenal dengan Pacta Sunt servanda. T.O Elias menyatakan “The most
fundamental principle in the whole of customary international law of treaties is the
maxim pacta sunt servanda”.9
Pasca Perang Dunia II, hak asasi manusia mendapat alokasi posisi permanen
dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 26 Juni 1945 Charter of The
united Nations yang ditandatangani oleh 44 negara di San Francisco. Pasal 1, Pasal 55
dan Pasal 56 dari Charter States secara tegas menyatakan prinsip-prinsip human rights
dalam menyelesaikan pelbagai masalah kemiskinan dan deksriminasi yang merupakan
salah satu penyebab utama tercampaknya human dignity.10 Istilah Kejahatan Korupsi
dalam Hukum Internasional adalah suatu bentuk kejahatan terorganisasi transnasional
(Transnational Organized Crime - TOC), ditandai dengan maraknya korupsi di seluruh
dunia, maka muncul bermacam-macam konvensi bilateral dan multilateral di dunia
menyangkut pemberantasan korupsi.
Ada konvensi pemberatasan korupsi antara negara-negara Amerika (Inter-
American ConventionAgainst Corruption) yang diterima oleh organisasi negara-negara
Amerika pada tanggal 29 Maret 1996. Konvensi untuk memerangi korupsi yang
melibatkan pejabat Masyarakat Eropa atau pejabat-pejabat Uni Eropa (The Convention
on the Fight against Corruption involving Officials of the Eropean Communities or
8
Ibid.
9
T.O. Elias, The Modern Law of Treaties, (N.Y. Dobss Ferry, Leiden, A.W. Suthoff:Oceana
Publications, Inc, 1974), hal. 40.
10
Charter of the united Nations (1945), reproduced in I Brownlie, Basic Documents in
International Law (5th edn, 2002) 2. Op.Cit., Rosanne Van alebeek, hal. 302-303
75
SOCIAL JUSTITIA
Vol I No. 1 July 2017
Paramita Ersan
Officials of member States of European Union), yang diterima oleh Dewan Uni Eropa
pada tanggal 26 Mei 1997 hingga kemudian Konvesi PBB mengenai Kejahatan
Terorganisasi Transnasional (The United nations Convention Against Transnational
Organized Crime), yang mulai berlaku 29 September 2003 (Resolusi Mejelis Umum
55/25).11
Selanjutnya, pada tanggal 18 Desember 2003 di Markas Besar Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), Pemerintah Indonesia turut menandatangani Konvensi
Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Antikorupsi, The United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC) yang diadopsi oleh Sidang ke 58 Mejelis Umum melalui
Resolusi Nomor 58/4 pada tangal 31 Oktober 2003. Tiga tahun setelahnya, pada tanggal
18 April 2006 diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang
Pengesahan The United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi
Perserikatan bangsa-bangsa Antikorupsi, 2003).12
11
Andi Hamzah, Opt.Cit, hal. 219
12
Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 Tentang Pengesahan The United Nations
Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi), disahkan di
Jakarta, 18 April 2006 LNRI Tahun 2006 Nomor. 32
13
Susan Rose -Ackerman, Korupsi dan Pemerintahan Sebab, Akibat dan Reformasi,
(Jakarta:Pustaka Sinar Harapan 2010), hal. 37-38
14
Romli Atmasasmita, Op.Cit., hlm. 4
76
SOCIAL JUSTITIA
Vol I No. 1 July 2017
Paramita Ersan
15
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, (Bandung:Citra Aditya Bakti 1998), hal. 69
16
Serious Fraud Office, SFO, Press Release, “Four sentenced for role in Innospec corruption”
(SFO:London, 4 August 2014), https://www.sfo.gov.uk/2014/08/04/four-sentenced-role-innospec-
corruption/ di akses 7 Mei 2017.
77
SOCIAL JUSTITIA
Vol I No. 1 July 2017
Paramita Ersan
Putusan Kongres Pakar Hukum Pidana sedunia di Beijing pada September 2004
mengatakan, ““Investigation, prosecution and adjudication of corruption and related
ofences should be free from improper political, economic or other influences”
(Penyidikan, penuntutan, dan peradilan korupsi dan perbuatan criminal yang berkaitan
harus bebas dari politik, ekonomi atau pengaruh lain yang tidak patut, mutu hakim dan
jaksa harus ditingkatkan)‟. 17 Ketegasan gagasan korupsi sebagai pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat menurut Jimly Asshiddiqie:
“Keseimbangan dalam penerapan prinsip doelmatigheid dan penerapan prinsip
rechtsmatigheid dapat ditemukan jika majelis hakim dapat mengembangkan
pemikiran yang bersifat kontekstual. Selanjutnya dijelaskan bahwa kejahatan
korupsi telah berurat akar dalam keseluruhan sendi kehidupan masyarakat
Indonesia, sehingga sudah melebihi dampak dan bahaya pelanggaran hak asasi
manusia sehingga kejahatan korupsi dapat disetarakan dengan jenis pelanggaran
hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights).18
"Identifikasi pelanggaran HAM dalam korupsi perlu dilihat dari dua sisi,
Pertama, kualitas pembangunan manusia di suatu negara yang banyak korupsi sangat
rendah, sehingga „pelaku‟ korupsi dikategorikan pelanggar Ham berat karena
menyebabkan pembangunan manusia di suatu bangsa menjadi terhambat. Kedua, upaya
“luar biasa” untuk memberantas tindak pidana korupsi, terkadang bersinggungan
dengan hak asasi manusia itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, praktik penegakan
hukum dalam pemberantasan korupsi dewasa ini terutama pasca reformasi di Indonesia,
misalnya upaya penyadapan pada saat proses penyelidikan berpotensi melanggar hak
privasi seseorang, tidak dikenalnya pemberhentian penyidikan. Kondisi demikian
berpotensi melanggar asas presumption of innocence, upaya “memiskinkan koruptor”
dengan mengkaitkan pencucian uang juga dapat melanggar hak seseorang untuk
memiliki properti (right to property), diperkuat dengan kondisi kebebasan pers saat ini,
sehingga tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi mengalami dua kali degradasi
kemanusiaannya yaitu ketika dinyatakan tersangka dengan (presumption of corruption)
dan ketika dimuat nama lengkapnya di dalam harian nasional (trial by the press).19
Asas presumsion of innonce bagi pelaku kejahatan dalam kerangka hukum
internasional dikenal dengan The Compatibility of Immunity Rules and the Funamental
Rights of Individuals with the right to a fair trial, the right to a remedy and the right to
effective protection.20 Perlindungan HAM terhadap pelaku kejahatan dipertegas dalam
European Convention on Human Rights Article 6.1:
17
Ibid.
18
Jimly Asshiddiqie, Judicial Review: Kajian Atas Hak Uji Materiil Terhadap Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2000 tentang Tim Gabungan Tindak Pidana Korupsi, (Tangerang:Majalah
Hukum dan HAM, Edisi ke Sepuluh Tahun ke Dua, Desember, 2006 )
19
Romli Atmasasmita, Hukum Kejahatan Bisnis Teori & Praktik di Era Globalisasi,
Prenadamedia Group 2014, hal. 66
20
Rosanne Van alebeek, The Immunity of States And Their Officials In International Criminal
Law and International Human Rights Law, (Oxford:Unvieristy Press, 2008), hal. 365-366
78
SOCIAL JUSTITIA
Vol I No. 1 July 2017
Paramita Ersan
“In the determination of his civil rights and obligations of any criminal charge
against him, everyone is entitledto a fair and public hearing within a reasonable
time by and independent and impartial tribunal established by law. 21 (For the
purposes of this study it is important to point out that the article has been
interpreted to guarantee individuals a right to equality of arms, 22 as well as a
right of access to court. 23
Jawaban persoalan diatas tidak dapat begitu saja ditemukan jawabannya dalam
peraturan perundang-undangan. Setiap sistem hukum modern seyogianya, dengan
berbagai cara, mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan
orang yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan „dengan berbagai cara‟ karena
pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum merumuskan
tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik dalam komsep maupun
implementasinya. Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system
lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan
pembuat tidak dipertanggungjawabkan.24
Sebagai contoh kasus korupsi nasional, di penghujung tumbangnya orde baru,
sejumlah pengusaha dan bankir panen BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).
Banyak di antara mereka yang kemudian melarikan diri ke luar negeri dengan
meninggalkan aset rongsokan sebagai jaminan dana talangan. Eddi Tansil alias Tan
Tjoe Hong atau Tan Tju Fuan. Pada awal 1990 periode order baru membobol Bank
Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebesar Rp 1,5 trilyun ketika nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika sekitar Rp 1.500,- per dollar.25 Kini, ketika nilai tukar rupiah
mengalami depresiasi sekitar 700 persen, berarti keuntungan Eddi Tanzil setara dengan
Rp 9 triliun, lebih besar dari nilai skandal Bank Century yang Rp 6,7 triliun.
Di sisi lain, pada Undang-undang Pengadilan HAM, Indonesia tidak mengakui
korupsi sebagai subjek delik, sehingga kalaupun korupsi melakukan pelanggaran HAM
yang berat, maka eksistensi undang-undang tersebut tidak dapat digunakan. Namun
demi-ian, ketiadaan pengaturan korupsi sebagai subjek delik tidak kemudian menutup
kemungkinan penerapan pertanggungjawaban pidana korupsi dalam pelanggaran HAM
yang berat. Perlunya korupsi dipertanggungjawabkan secara pidana dalam pelanggaran
HAM yang berat dalam sistem hukum pidana Indonesia setidaknya di-dasarkan pada
alasan; pertama, dampak negatif pelanggaran hukum oleh korupsi begitu kompleks,
tidak hanya aspek hukum saja tapi juga aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Kedua, korban pelanggaran HAM oleh korupsi lebih kompleks dampaknya.
Namun demikian, mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana
bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya
dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas
21
Ibid.
22
Neumeister v Austria Series A-8, 1 EHRR91 (ECHR, 1968); XvFederal Republic of
Germany (1963) 6 Yearbook on the European Convention on Human Rights 520 (EComHR, 1963) 574.
Ibid.
23
Golden v United Kingdom Series A-18, 1 EHRR 524 (EHCR, 1975), Ibid.
24
Chaerul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertangungjawaban
pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2006), hal, 67-69
25
New York Times, Bank Scandal May Expose Corrupt Links in Indonesia
https://www.nytimes.com/1994/05/28/business/bank-scandal-may-expose-corrupt-links-in-indonesia.html
di akses 19 Desember 2017
79
SOCIAL JUSTITIA
Vol I No. 1 July 2017
Paramita Ersan
tindak pidana yang dilakukannya. Pertangungjawaban pidana tidak hanya berarti „right
fully sentenced‟ tetapi juga „rightfully accused‟. 26 Dalam praktiknya, tentu ada
kontroversi perbedaan sistem hukum Civil law dan Common Law dalam menempatkan
dan memperlakukan hukum terkaitnya kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu
kejahatan. Misalnya, khusus tindak pidana korupsi, dimana pelaku (offender) maupun
aset hasil korupsi tersebut kemudian disimpan di negara lain, sehingga tidak saja
meliputi batas wilayah negara yang bersangkutan tetapi juga memasuki wilayah negara
lain. Kenyataan praktik, sangat disesalkan langkah hukum terhadap kasus korupsi
transnasional banyak tidak tuntas dan menemui kegagalan, karena penegakan hukum
dilaksanakan dengan tidak hati-hati (within due care) dan jujur (prudent), serta tidak
mempertimbangkan kepentingan masa depan ekonomi nasional.27
26
Alf Rose, on Guilt, Responsibility and Punishment, (London: Stevens & Sons, 1975), ibid.
27
Romli Atmasasmita, Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta:Gramedia
Pustaka Utama 2017), hal. 53
28
Internasional Covenant On Civil and Political Rights: International Covenant On Economic,
Social and Cultural Rights.
29
L. Oppenheim, International Law A Treatise Vol. 1 Peace (London:Longmans, 1955), hal. 739
80
SOCIAL JUSTITIA
Vol I No. 1 July 2017
Paramita Ersan
penegakan hukumnya dan pengembalian asset hasil kejahatan tindak pidana korupsi,
sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Undang-Undang No. 5 tahun 2009 tentang
Pengesahan United Nations Against Transnational organized rimes.30
Dalam praktik untuk mencegah korupsi dan pelanggaran HAM, telah
dilaksanakan Indonesia dengan mengesahkan Convention Against Transational
organized Crimes, Dalam pelaksanaan Konvensi dibentuk Central Authority dalam
setiap negara anggota termasuk Indonesia berada di Kementerian Hukum dan Ham.
Beberapa undang-undang di Indonesia yang telah diratifikasi berkaitan dengan konvensi
selain undang-undang tindak korupsi ialah: (1) tentang Ekstradisi; (2) tentang
Narkotika; (3) tentang kehutanan; (4) tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; (5)
tentang Pemberantasan TIndak Pidana Terorimes; (6) tentang Bantuan Hukum Timbali
Balik dalam Masalah Pidana; (7) tentang Perlindungan Saksi dan Korban; (8) tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.31
Selanjutnya Indonesia membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai
lembaga negara bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Landasan filosofis pembentukan lembaga anti rasuah ini, tercantum pada bagian
konsideran undang-undang KPK. Metode khusus pemberantasan korupsi merupakan
salah satu bagian dari hukum pidana khusus, dengan demikian telah diadopsi dalam
undang-undang Tindak pidana korupsi nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.32
Menghadapi kasus-kasus pelanggaran Ham yang terkait korupsi, Negara
memberikan reaksi beragam. Reaksi tersebut umumnya dilatarabelakangi
pertimbangan-pertimbangan conflict of interest mengenai kewajiban negara untuk
melindungi HAM bagi setiap warga negara, dan kewajiban sebagai negara hukum
untuk melindungi hak tersangka pelaku kejahatan korupsi (presemption of innonce)
melalui kebijakan pidana dalam perundang-undangan dan perangkat sistem peradilan
pidana.
PENUTUP
Terdapat dua pokok permasalahan melalui penelitian ini yang telah dikaji
Penulis yaitu: Pertama, hubungan antara Hak Asasi Manusia dan Korupsi sebagai
suatu bentuk kejahatan transnasional terorganisir harus dilihat dari dua sisi, (1)
Perbuatan korupsi selalu berawal dari adanya penyalahgunaan kekuasaan, artinya
pelaku korupsi biasanya dilakukan oleh para pemegang kekuasaan, perbuatan
menyimpang yang dilakukan oleh aparat birokrasi dalam bentuk korupsi, dapat
membuat kesengsaraan bagi rakyat disuatu negara. Itu artinya dengan perbuatan korupsi
telah terjadi perampasan terhadap hak-hak masyarakat atas hak ekonomi, sosial dan
budaya, itu berarti telah terjadi pelanggarn HAM. (2) Dalam praktik penengakan hukum
30
Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi), disahkan Jakarta, 12 Januari 2009, LNRI Tahun 2009
Nomor 5
31
Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Pidana Khusus Tindak Pidana Ekonomi, Pencucian Uag,
Korupsi dan Kerjamsaama Internasional serta Pengabalian Aset (Cikupa-Sukamajaya:Pustaka Kemang,
2016), hal.381
32
Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pindana
Korupsi, disahkan Jakarta, 16 Agustus 1999, LNRI Tahun 1999 Nomor 140
81
SOCIAL JUSTITIA
Vol I No. 1 July 2017
Paramita Ersan
pidana korupsi, penegak hukum tidak dapat dikalahkan oleh opini publik yang dibangun
melalui media pers yang sangat agresif, sering penanggulangan perkara korupsi
terhadap tersangka, tidak lagi merncerminkan asas „fair trial‟ dan „due process of law‟;
bahkan hak asasi manusia dikesampingkan dan jauh dari Keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga penegakan hukum tidak selalu menghasilkan
kepastian hukum, sebaliknya yang terjadi adalah legal certainty in a legal uncertainty.
Kedua Perlindungan HAM dalam kerangka Internasional mengatasi Korupsi
telah diatur dalam berbagai sumber hukum internasional baik yang bersifat hard law
maupun yang besifat soft law, kebiasaan internasional, prinsip hukum umum, serta
putusan pengadilan. Di sisi lain perlindungan HAM dalam hukum nasional termaktub
dalam Undang-Undang Dasar 1945, hukum dasar yang menjadi sumber hukum seluruh
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Kewajiban Negara untuk
melindungi HAM dalam Korupsi mencakup obligation to respect, obligation to protect
dan obligation to fullfill.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ackerman, Susan Rose. Korupsi dan Pemerintahan Sebab, Akibat dan Reformasi,
Jakarta:Pustaka Sinar Harapan 2010
Atmasasmita, Romli. Hukum Kejahatan Bisnis Teori & Praktik di Era Globalisasi,
Jakarta:Prenadamedia Group 2014
Brownlie, Ian. Principles of Public International Law, Ed. 7, Oxford: Oxford university
Press, 2008
Martin Dixon MA, Text Book On International Law 3rd Edition, Glasgow:Blackstone
Press Limited, 1996
Elias, T.O. The Modern Law of Treaties, N.Y. Dobss Ferry, Leiden, A.W.
Suthoff:Oceana Publications, Inc, 1974
82
SOCIAL JUSTITIA
Vol I No. 1 July 2017
Paramita Ersan
Pangaribuan, Luhut M.P. Hukum Pidana Khusus Tindak Pidana Ekonomi, Pencucian
Uag, Korupsi dan Kerjamsaama Internasional serta Pengabalian Aset,
Cikupa-Sukamajaya:Pustaka Kemang, 2016
Van alebeek, Rosanne. The Immunity of States And Their Officials In International
Criminal Law and International Human Rights Law, Oxford:Unvieristy Press,
2008
ARTIKEL
Asshiddiqie, Jimly. Judicial Review: Kajian Atas Hak Uji Materiil Terhadap Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2000 tentang Tim Gabungan Tindak Pidana
Korupsi, Tangerang:Majalah Hukum dan HAM, Edisi ke Sepuluh Tahun ke Dua,
Desember, 2006
Peters, Anne: Corruption and Human Rights, Basel Institute on Governance, 2015
Wouters, Jan., Cedric Ryngaert and Ann Sofie Cloots, The International Legal
Framework Against Corruption: Achievements and Changellenges, Melbourne
Journal of International Law, Vol. 14.
http://law.unimelb.edu.au/__data/assets/pdf_file/0008/1687445/08Wouters,-
Ryngaert-and-Cloots1 di akses 18 Desember 2017
KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945
83
SOCIAL JUSTITIA
Vol I No. 1 July 2017
Paramita Ersan
PERJANJIAN INTERNASIONAL
International Covenant on Civil and Political Rights
International Covenant of the Economic, Social and Cultural Rights
International Convention Against Transational organized Crimes
INTERNET
Transparancy International, 2006: Corruption Perceptions Index,
https://www.transparency.org/research/cpi/cpi_2006, di akses 5 Januari 2018
PUTUSAN
Komisi Pemberantasan Korupsi, Surat Dakwaan Nomor: DAK-47/24/08/2017 A.n.
Terdakwa Andi Agustinus, Jakarta:JPU, 7 Agustus 2018
84