Anda di halaman 1dari 6

Tugas Lingkungan Bisnis

Resume Lingkungan Ekonomi Regional dan


Kebijakan Fiskal & Moneter
Dosen pengampu: Prof. Dr. Samsubar Saleh M.Soc. Sc.

Oleh:
Naila Hanum – 17/417079/PEK/22642

Program Magister Akuntasi


Fakultas Ekonomika Bisnis
Universitas Gadjah Mada
2017
Naila Hanum Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc.Sc.
NIM 17/417079/PEK/22642 Lingkungan Ekonomi Regional
Reg 36 AK/AM/SI dan Kebijakan Fiskal dan Moneter

LINGKUNGAN EKONOMI REGIONAL – DAERAH


Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah selain

berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus

diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan

bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber

potensi yang ada di daerah masing-masing. Otonomi daerah diselenggarakan diantaranya

berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah (Revisi

UU No.32 Tahun 2004).

Secara konseptual, Indonesia dilandasi oleh tiga tujuan utama yang meliputi: tujuan

politik, tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Hal yang ingin diwujudkan melalui tujuan

politik dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya untuk mewujudkan demokratisasi

politik melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perwujudan tujuan

administratif yang ingin dicapai melalui pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya

pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah, termasuk sumber keuangan, serta

pembaharuan manajemen birokrasi pemerintahan di daerah. Sedangkan tujuan ekonomi yang

ingin dicapai dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah terwujudnya

peningkatan indeks pembangunan manusia sebagai indikator peningkatan kesejahteraan

masyarakat Indonesia.

2
Naila Hanum Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc.Sc.
NIM 17/417079/PEK/22642 Lingkungan Ekonomi Regional
Reg 36 AK/AM/SI dan Kebijakan Fiskal dan Moneter

Peningkatan Kualitas Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiska

Praktik otonomi daerah dilaksanakan pertama kali di Indonesia pada tahun 2000, namun

bagaimana keberhasilan atas pelaksanaannya hingga kini? Kita dihadapkan pada fakta -fakta

berikut ini di lapangan

1. Rerata rasio PAD/APBD masih dibawah 20%

2. Pertumbuhan belanja lebih tinggi dari pada penerimaan (fly paper effect).

3. Tidak terjadi konvergensi antar daerah

4. Efisiensi anggaran meskipun WTP

5. Masih banyak ditemukan adanya SILPA

6. Pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi

Berikut kajian dari fakta-fakta diatas, bahwa yang terjadi di Indonesia adalah Fiscal

Capacity masih lebih rendah dari Fiscal Need, selisih diantaranya menjadikan Fiscal Gap.

Fiscal Gap yang tinggi merupakan indikasi bahwa desentralisasi fiskal belum dapat dikatakan

berhasil. Indikasi lainnya yaitu dana transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

Daerah sangat besar berupa dana perimbangan yang menunjukkan bahwa ketergantungan

Pemda masih sagat tinggi terhadap Pemerintah Pusat.

Beralih pada fenomena Fly Paper Effect yang merupakan keadaan dimana

pertumbuhan belanja lebih tinggi daripada pertumbuhan penerimaan pemerintah, hal ini

memberikan konsekuensi hutang yang merangkak semakin tinggi. Dalam tiga tahun

belakangan, hutang Indonesia mencapai 1288 Triliun, nilai ini begitu besar karena digunakan

untuk membayar cicilan hutang sekalius bunganya. Akibatnya belanja rutin akan naik namun

belanja modal akan turun. Dengan hutang yang tinggi pemerintah fokus untuk melunasi

3
Naila Hanum Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc.Sc.
NIM 17/417079/PEK/22642 Lingkungan Ekonomi Regional
Reg 36 AK/AM/SI dan Kebijakan Fiskal dan Moneter

kewajibannya dalam bentuk cicilan pokok hutang dan bunganya yang merupakanbelanja

rutin, namun jadi sedikit melalaikan belanja modal yang justru berperan untuk meningkatkan

infrastruktur dan mewujudkan tercapainya tujuan pembangunan Indonesia. Tidak kalah

penting bahwa ketika cicilan utang beserta bunganya terus meningkat, yang terjadi adalah

kenaikan nilai Dollar karena hutang-hutang tersebut dibayar menggunakan Dollar, sementara

nilai Rupiah akan melemah.

Akhir tahun 2017 ini nilai dollar berada pada kisaran Rp 13.500 dikhawatirkan akan

masih naik nilainya. Namun mari kita boleh berharap bahwa dollar dapat turun nilainya,

misalkan menjadi Rp 13.000 bukan perkara mudah bagi pemerintah Indonesia untuk meraih

penguatan rupiah kembali. Terdapat cara yang dapat diupayakan untuk menurunkan nilai

dollar terhadap rupiah. Cara yang pertama yaitu Pemerintah melepas cadangan devisa, upaya

ini bergantung pada elastisitas permintaan ekspor dan impor. Perlu diperhatikan juga ketika

upaya ini dilakukan maka pemerintah dapat menghadapi kesulitan dalam membiayai impor.

Cadangan devisa yang ideal adalah ketika tia dapat digunakan untuk menutup impor hingga 7

bulan kedepan. Cara yang kedua adalah untuk mencintai produk-produk dalam negeri

sehingga tidak membiarkan barang impor berjaya di dalam negeri yang kita tahu hal ini

hanya akan melemahkan nilai mata uang bangsa Indonesia.

Gross Domestic Product Indonesia lebih tinggi dibanding Gross National Product,

hal ini mengindikasikan produktifitas yang tidak baik pada negara Indonesia. GDP

merupakan nilai keseluruhan pasar dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan di suatu

negara tertentu terlepas dari siapapun yang memproduksinya, dalam hal ini perusahaan luar

negeri pun yang berproduksi terhitung angkanya dalam GDP yang pada dasarnya

menitikberatkan pada aspek tempat produksi (WHERE). Sedangkan GNP adalah nilai pasar

dari seluruh produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh Warga Negara Indonesia, jadi

4
Naila Hanum Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc.Sc.
NIM 17/417079/PEK/22642 Lingkungan Ekonomi Regional
Reg 36 AK/AM/SI dan Kebijakan Fiskal dan Moneter

menggarisbawahi pada aspek siapa yang memproduksi (WHO). Upaya untuk mencintai

produk-produk dalam negeri diharapkan dapat menghasilkan GNP yang lebih tinggi

dibandingkan GDP dari negara Indonesia, sehingga dapat mendukung perekonomian negara

dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Ketika pemerintah membutuhkan dana dan menerbitkan Surat Utang Negara Republik

Indonesia (SUN ORI) dan memberikan tingkat bunga yang bagus (promising), maka kita

sebagai warga negara yang logis perlu kritis juga dalam berfikir. Hal yang diperhatikan

adalah ketika negara kesulitan keuangan, lalu bagaimana pemerintah akan membayar bunga

setinggi itu. Jawabannya adalah pemerintah akan berhutang untuk membayar bunga SUN

ORI kepada para pemegangnya. Jadi sebaiknya kita tidak berbahagia terlebih dahulu jika

menerima bunga yang tinggi, karena pada masanya kita juga akan membayar pajak yang

lebih tinggi kedepannya. Pajak yang lebih tinggi dihimpun diantaranya untuk membayar

hutang-hutang pemerintah yang timbul sebelumnya. Disini kita dihadapkan pada fakta bahwa

hutang pemerintah yang tinggi pada akhirnya dibebankan kepada masyarakat.

Bagaimana Seharusnya Otonomi Daerah Dilaksanakan

Otonomi daerah yang telah lama berlangsung belum terlihat berhasil dalam mencapai

tujuannya, justru otonomi daerah menyebabkan tidak terjadinya konvergensi daerah. Daerah

tertinggal tidak mampu menyusul daerah-daerah yang telah maju. Otonomi daerah yang

diharapkan menwarkan solusi pemerataan daerah kenyataannya malah mempertajam

kesenjangan.

Konvergensi antar daerah tidak dapat terwujud karena pelaksana otonomi daerah,

yaitu masing-masing daerah belum paham betul terhadap UUD 1945 yaitu pada poin

“kekayaan negara dimiliki oleh negara”. Seharusnya poin penting itulah yang

diimplementasikan. Dana yang diberikan kepada daerah harusnya adil pada setiap daerah,

5
Naila Hanum Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc.Sc.
NIM 17/417079/PEK/22642 Lingkungan Ekonomi Regional
Reg 36 AK/AM/SI dan Kebijakan Fiskal dan Moneter

tidak timpang antara daerah yang memiliki kekayaan alam lebih dan yang tidak memiliki

kekayaan alam signifikan. Karena ketika hal tersebut tidak dilakukan, maka yang terjadi

adalah realita yang kaya makin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Hal ini tentunya

merupakan akibat dari sitem dana bagi hasil yang tidak merata yang diselenggarakan oleh

negara. Jadi kekayaan sumber daya alam pada setiap daerah jelas salah apabila dijadikan

indikator dalam pembagian dana bagi hasil dari pemerintah pusat.

Pemerintah perlu mengetahui bahwa kunci keberhasilan pemerataan daerah adalah

dengan upaya efisiensi daerah. Daerah yang belum efisien perlu diberikan insentif untuk

mendukung otonomi daerahnya. Hal yang perlu diperhatikan adalah quality over quantity.

Pemerintah perlu mengkaji ketersediaan sumber daya manusia, investor, dan sistem birokrasi

yang berbeda-beda pada setiap daerah sehingga efisiensi daerah dapat tercapai.

Solusi atas SILPA (Sisa Lebih Pakai Anggaran)

Ketika pemerintah telah berhasil mencapai efisiensi dalam pelaksanaan anggaran

maka yang juga sangat perlu diperhatikan adalah bagaimana output dan outcome yang

dihasilkan dan dicapai. SILPA terjadi disebabkan oleh sistem birokrasi pencairan anggaran

yang rumit dan kecenderungan penyusunan APBD yang dihemat-hemat supaya daerah

mendapatkan sisa anggaran, padahal APBD adalah milik rakyat bukan milik daerah. APBD

seharusnya dioptimalkan penggunaannya untuk pembangunan dan memastikan kesejahteraan

masyarakat pada daerah tersebut, jadi output dan outcomenya pun nyata dapat dirasakan oleh

warga masyarakat. Penyebab lain mmunculnya SILPA adalah pada umumnya daerah

menghasilkan PAD nya hanya dari bunga yang didapatkan bukan dari hasil manfaat

pelayanan yang diselenggarakan. Selagi SILPA selalu ditemukan pada setiap daerah, maka

penyerapan anggaran masih jauh dari kata optimal sehingga yang terjadi adalah realitas

pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi.

Anda mungkin juga menyukai