Naila Hanum 12030112140309 E-Journal
Naila Hanum 12030112140309 E-Journal
Oleh:
Naila Hanum – 17/417079/PEK/22642
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan
Pusat dan Pemerintah Daerah dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah (Revisi
Secara konseptual, Indonesia dilandasi oleh tiga tujuan utama yang meliputi: tujuan
politik, tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Hal yang ingin diwujudkan melalui tujuan
politik dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya untuk mewujudkan demokratisasi
politik melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perwujudan tujuan
administratif yang ingin dicapai melalui pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya
pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah, termasuk sumber keuangan, serta
masyarakat Indonesia.
2
Naila Hanum Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc.Sc.
NIM 17/417079/PEK/22642 Lingkungan Ekonomi Regional
Reg 36 AK/AM/SI dan Kebijakan Fiskal dan Moneter
Praktik otonomi daerah dilaksanakan pertama kali di Indonesia pada tahun 2000, namun
bagaimana keberhasilan atas pelaksanaannya hingga kini? Kita dihadapkan pada fakta -fakta
2. Pertumbuhan belanja lebih tinggi dari pada penerimaan (fly paper effect).
Berikut kajian dari fakta-fakta diatas, bahwa yang terjadi di Indonesia adalah Fiscal
Capacity masih lebih rendah dari Fiscal Need, selisih diantaranya menjadikan Fiscal Gap.
Fiscal Gap yang tinggi merupakan indikasi bahwa desentralisasi fiskal belum dapat dikatakan
berhasil. Indikasi lainnya yaitu dana transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah sangat besar berupa dana perimbangan yang menunjukkan bahwa ketergantungan
Beralih pada fenomena Fly Paper Effect yang merupakan keadaan dimana
pertumbuhan belanja lebih tinggi daripada pertumbuhan penerimaan pemerintah, hal ini
memberikan konsekuensi hutang yang merangkak semakin tinggi. Dalam tiga tahun
belakangan, hutang Indonesia mencapai 1288 Triliun, nilai ini begitu besar karena digunakan
untuk membayar cicilan hutang sekalius bunganya. Akibatnya belanja rutin akan naik namun
belanja modal akan turun. Dengan hutang yang tinggi pemerintah fokus untuk melunasi
3
Naila Hanum Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc.Sc.
NIM 17/417079/PEK/22642 Lingkungan Ekonomi Regional
Reg 36 AK/AM/SI dan Kebijakan Fiskal dan Moneter
kewajibannya dalam bentuk cicilan pokok hutang dan bunganya yang merupakanbelanja
rutin, namun jadi sedikit melalaikan belanja modal yang justru berperan untuk meningkatkan
penting bahwa ketika cicilan utang beserta bunganya terus meningkat, yang terjadi adalah
kenaikan nilai Dollar karena hutang-hutang tersebut dibayar menggunakan Dollar, sementara
Akhir tahun 2017 ini nilai dollar berada pada kisaran Rp 13.500 dikhawatirkan akan
masih naik nilainya. Namun mari kita boleh berharap bahwa dollar dapat turun nilainya,
misalkan menjadi Rp 13.000 bukan perkara mudah bagi pemerintah Indonesia untuk meraih
penguatan rupiah kembali. Terdapat cara yang dapat diupayakan untuk menurunkan nilai
dollar terhadap rupiah. Cara yang pertama yaitu Pemerintah melepas cadangan devisa, upaya
ini bergantung pada elastisitas permintaan ekspor dan impor. Perlu diperhatikan juga ketika
upaya ini dilakukan maka pemerintah dapat menghadapi kesulitan dalam membiayai impor.
Cadangan devisa yang ideal adalah ketika tia dapat digunakan untuk menutup impor hingga 7
bulan kedepan. Cara yang kedua adalah untuk mencintai produk-produk dalam negeri
sehingga tidak membiarkan barang impor berjaya di dalam negeri yang kita tahu hal ini
Gross Domestic Product Indonesia lebih tinggi dibanding Gross National Product,
hal ini mengindikasikan produktifitas yang tidak baik pada negara Indonesia. GDP
merupakan nilai keseluruhan pasar dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan di suatu
negara tertentu terlepas dari siapapun yang memproduksinya, dalam hal ini perusahaan luar
negeri pun yang berproduksi terhitung angkanya dalam GDP yang pada dasarnya
menitikberatkan pada aspek tempat produksi (WHERE). Sedangkan GNP adalah nilai pasar
dari seluruh produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh Warga Negara Indonesia, jadi
4
Naila Hanum Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc.Sc.
NIM 17/417079/PEK/22642 Lingkungan Ekonomi Regional
Reg 36 AK/AM/SI dan Kebijakan Fiskal dan Moneter
menggarisbawahi pada aspek siapa yang memproduksi (WHO). Upaya untuk mencintai
produk-produk dalam negeri diharapkan dapat menghasilkan GNP yang lebih tinggi
dibandingkan GDP dari negara Indonesia, sehingga dapat mendukung perekonomian negara
Ketika pemerintah membutuhkan dana dan menerbitkan Surat Utang Negara Republik
Indonesia (SUN ORI) dan memberikan tingkat bunga yang bagus (promising), maka kita
sebagai warga negara yang logis perlu kritis juga dalam berfikir. Hal yang diperhatikan
adalah ketika negara kesulitan keuangan, lalu bagaimana pemerintah akan membayar bunga
setinggi itu. Jawabannya adalah pemerintah akan berhutang untuk membayar bunga SUN
ORI kepada para pemegangnya. Jadi sebaiknya kita tidak berbahagia terlebih dahulu jika
menerima bunga yang tinggi, karena pada masanya kita juga akan membayar pajak yang
lebih tinggi kedepannya. Pajak yang lebih tinggi dihimpun diantaranya untuk membayar
hutang-hutang pemerintah yang timbul sebelumnya. Disini kita dihadapkan pada fakta bahwa
Otonomi daerah yang telah lama berlangsung belum terlihat berhasil dalam mencapai
tujuannya, justru otonomi daerah menyebabkan tidak terjadinya konvergensi daerah. Daerah
tertinggal tidak mampu menyusul daerah-daerah yang telah maju. Otonomi daerah yang
kesenjangan.
Konvergensi antar daerah tidak dapat terwujud karena pelaksana otonomi daerah,
yaitu masing-masing daerah belum paham betul terhadap UUD 1945 yaitu pada poin
“kekayaan negara dimiliki oleh negara”. Seharusnya poin penting itulah yang
diimplementasikan. Dana yang diberikan kepada daerah harusnya adil pada setiap daerah,
5
Naila Hanum Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc.Sc.
NIM 17/417079/PEK/22642 Lingkungan Ekonomi Regional
Reg 36 AK/AM/SI dan Kebijakan Fiskal dan Moneter
tidak timpang antara daerah yang memiliki kekayaan alam lebih dan yang tidak memiliki
kekayaan alam signifikan. Karena ketika hal tersebut tidak dilakukan, maka yang terjadi
adalah realita yang kaya makin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Hal ini tentunya
merupakan akibat dari sitem dana bagi hasil yang tidak merata yang diselenggarakan oleh
negara. Jadi kekayaan sumber daya alam pada setiap daerah jelas salah apabila dijadikan
dengan upaya efisiensi daerah. Daerah yang belum efisien perlu diberikan insentif untuk
mendukung otonomi daerahnya. Hal yang perlu diperhatikan adalah quality over quantity.
Pemerintah perlu mengkaji ketersediaan sumber daya manusia, investor, dan sistem birokrasi
yang berbeda-beda pada setiap daerah sehingga efisiensi daerah dapat tercapai.
maka yang juga sangat perlu diperhatikan adalah bagaimana output dan outcome yang
dihasilkan dan dicapai. SILPA terjadi disebabkan oleh sistem birokrasi pencairan anggaran
yang rumit dan kecenderungan penyusunan APBD yang dihemat-hemat supaya daerah
mendapatkan sisa anggaran, padahal APBD adalah milik rakyat bukan milik daerah. APBD
masyarakat pada daerah tersebut, jadi output dan outcomenya pun nyata dapat dirasakan oleh
warga masyarakat. Penyebab lain mmunculnya SILPA adalah pada umumnya daerah
menghasilkan PAD nya hanya dari bunga yang didapatkan bukan dari hasil manfaat
pelayanan yang diselenggarakan. Selagi SILPA selalu ditemukan pada setiap daerah, maka
penyerapan anggaran masih jauh dari kata optimal sehingga yang terjadi adalah realitas