Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fungsi ginjal diketahui sebagai alat untuk membersihkan tubuh dari bahan-bahan sisa
metabolisme baik yang berasal dari hasil pencernaan maupun dari hasil metabolisme. Selain
itu, fungsi ginjal yang lain adalah untuk mempertahankan homeostasis tubuh manusia seperti:
1) Ekskresi produk sisa metabolik dan bahan kimia asing; 2) Pengaturan keseimbangan air
dan elektrolit; 3) Pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit; 4)
Pengaturan tekanan arteri; 5) Pengaturan keseimbangan asam-bas; 6) Pengaturan produksi
eritrosit; 7) Sekresi, metabolisme, dan ekskresi hormon; 8) Glukoneogenesis.1

Pada gagal ginjal kronik, terjadi kerusakan pada jaringan ginjal sehingga lama
kelamaan fungsi di atas mulai terganggu. Gagal ginjal kronik secara garis besar adalah suatu
proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal
yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.2

Anemia terjadi pada 80-90% pasien dengan gagal ginjal kronik.2 Anemia pada gagal
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoeitin, hal lain yang dapat berperan
adalah defisiensi besi, kehilangan darah, masa hidup eritrosit yang pendek, defisiensi asam
folat, serta proses inflamasi akut dan kronik.2 Dokter harus memikirkan keadaan anemia jika
tingkat laju filtrasi glomerulus (LFG) pasien mencapai atau di bawah 60 ml/menit/1,73m2.
Saat LFG mengalami penurunan, dapat timbul komplikasi seperti gangguan elektrolit,
hiperparatiroid, hipertensi, dan anemia.2

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Eritrosit
Eritrosit membawa hemoglobin didalam sirkulasi. eritrosit merupakan cakram
bikonkaf yang dibentuk dalam sumsum tulang. Pada mamalia, eritrosit kehilangan intinya
sebelum memasuki sirkulasi. Untuk mengangkut hemoglobin agar berkontak erat dengan
jaringan dan agar pertukaran gas berhasil, eritrosit yang berdiameter 8 μm harus dapat
secara berulang melalui mikrosirkulasi yang diameter minimumnya 3,5 μm, untuk
mempertahankan hemoglobin dalam keadaan tereduksi (ferro) dan untuk mempertahankan
keseimbangan osmotik walaupun konsentrasi protein (hemoglobin) tinggi dalam sel.
Perjalanan secara keseluruhan selama masa hidupnya yang 120 hari diperkirakan
sepanjang 480 km (300 mil). Untuk memenuhi fungsi ini, eritrosit yang fleksibel dengan
kemampuan menghasilkan energi sebagai adenosin trifosfat (ATP) melalui jalur glikolisis
anaerob (Embden-meyerhof) dan menghasilkan kekuatan pereduksi sebagai NADH
melalui jalur ini serta sebagai nikotinamida adenine dinukleotida fosfat tereduksi
(NADPH) melalui jalur pintas heksosa monofosfat.3
2.1.1 Fungsi Eritrosit
Fungsi utamanya adalah pengangkutan oksigen dan dengan tingkat yang lebih
rendah yaitu karbondioksida, ion hidrogen dalam darah. oksigen yang didalamnya terdapat
hemoglobin. Hemoglobin di dalamnya terdapat dua bagian globin suatu protein yang
terbentuk dari rantai poplitida yang sangat berlipat-lipat gugusheme empat gugus protein
yang mengandung besi.3
2.1.2 Eritropoiesis
Pembentukan eritrosit (eritropoiesis) merupakan suatu mekanisme umpan balik. Ia
dihambat oleh peningkatan kadar eritrosit bersirkulasi dan dirangsang oleh anemia. Ia juga
dirangsang oleh hipoksia dan peningkan aklimatisasi ke tempat tinggi. Eritropoiesis
dikendalikan oleh suatu hormon glikoprotein bersirkulasi yang dinamai eritropoietin yang
terutama disekresikan oleh ginjal. Setiap orang memproduksi sekitar 10 eritrosit baru tiap
hari melalui proses eritropoiesis yang kompleks dan teratur dengan baik. Eritropoiesis
berjalan dari sel induk menjadi prekursor eritrosit yang dapat dikenali pertama kali di
sumsum tulang, yaitu pronormoblas. Pronormoblas adalah sel besar dengan sitoplasma
biru tua, dengan inti ditengah dan nucleoli, serta kromatin yang sedikit menggumpal.3

2
Pronormoblas menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian normoblas yang makin
kecil melalui sejumlah pembelahan sel. Normoblas ini juga mengandung sejunlah
hemoglobin yang makin banyak (yang berwarna merah muda) dalam sitoplasma, warna
sitoplasma makin biru pucat sejalan dengan hilangnya RNA dan apparatus yang
mensintesis protein, sedangkan kromatin inti menjadi makin padat. Inti akhirnya
dikeluarkan dari normoblas lanjut didalam sumsum tulang dan menghasilkan stadium
retikulosit yang masih mengandung sedikit RNA ribosom dan masih mampu mensintesis
hemoglobin (gambar 2.1). 3

Gambar 2.1 Sel-sel Darah dalam Hematopoiesis3

Sel ini sedikit lebih besar daripada eritrosit matur, berada selama 1-2 hari dalam
sumsum tulang dan juga beredar di darah tepi selama 1-2 hari sebelum menjadi matur,
terutama berada di limpa, saat RNA hilang seluruhnya. Eritrosit matur berwarna merah
muda seluruhnya, adlah cakram bikonkaf tak berinti. Satu pronormoblas biasanya
menghasilkan 16 eritrosit matur. Sel darah merah berinti (normoblas) tampak dalam darah
apabila eritropoiesis terjadi diluar sumsum tulang (eritropoiesis ekstramedular) dan juga
terdapat pada beberapa penyakit sumsum tulang. Normoblas tidak ditemukan dalam darah
tepi manusia yang normal. 3

3
2.1.3 Membran Eritrosit
Membran eritrosit terdiri atas lipid dua lapis (lipid bilayer), protein membran
integral, dan suatu rangka membrane. Sekitar 50% membran adalah protein, 40% lemak,
dan 10 % karbohidrat. Karbohidrat hanya terdapat pada permukaan luar sedangkan protein
dapat diperifer atau integral, menembus lipid dua lapis. 3

2.2 Hemoglobin
Pigmen merah pembawa oksigen didalam eritrosit vertebrata merupakan
hemoglobin, suatu protein dengan berat molekul 64.450. Hemoglobin suatu molekul
globin yang dibentuk 4 subunit. Tiap subunit mengandung suatu gugus hem yang
dikonjugasi ke suatu poplipeptida. Hem merupakan turunan porfirin yang mengandung
besi. Polipeptida dinamai secara bersama-sama sebagai bagian globin dari molekul
hemoglobin. Ada 2 pasangan polipeptida dalam tiap molekul hemoglobin, 2 subunit
mengandung satu jenis polipeptida dan 2 mengandung lainnya. Pada hemoglobin manusia
dewasa normal (hemoglobin A), 2 jenis polipeptida dinamai rantai α, masing-masingnya
mengandung 141 gugusan asam amino dan rantai β, yang masing-masingnya mengandung
146 gugusan asam amino. Sehingga hemoglobin A dinamai a2b2. Tidak semua hemoglobin
dalam darah dewasa normal merupakan hemoglobin A. sekitar 2,5% hemoglobin
merupakan hemoglobin A, tempat rantai β digantikan oleh a (α2δ2). Rantai δ juga
mengandung 146 gugusan asam amino, tetapi 10 gugusan tersendiri berbeda dari yang
dalam rantai β.1
Ada sejumlah kecil dari rantai 3 turunan hemoglobin A1c yang berhubungan erat
dengan hemoglobin A yang diglikolisasi. Salah satu dari ini, hemoglobin A (HbA1c),
mempunyai suatu glukosa yang dilekatkan ke valin terminal dalam tiap rantai β dan
mempunyai minat khusus karena jumlah dalam darah meningkat didalam diabetes mellitus
terkontrol buruk. 1
Hemoglobin mengikat O2 untuk membentuk oksihemoglobin, O2yang melekat ke

Fe2+ didalam hem. Afinitas hemoglobin bagi O2 dipengaruhi oleh pH, suhu, dan
konsentrasi 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG). 2,3-DPG dan Hbersaing dengan O2 dalam
pengikatan ke hemoglobin di deoksigenasi, yang menurunkan afinitas hemoglobin bagi O2
dengan memindahkan posisi 4 rantai polipeptida (struktur kuatener).3 Bila darah terpapar
ke berbagai obat dan zat pengoksidasi lain in vitro atau in vivo, maka besi fero (Fe2+)
dalam molekul diubah ke ion feri (Fe3+), yang membentuk methemoglobin.

4
Methemoglobin berwarna gelap dan bila ia ada didalam jumlah besar didalam sirkulasi,
maka ia akan menyebabkan pewarnaan kulit berwarna kehitaman yang menyerupai
sianosis. Normalnya timbul sejumlah oksidasi hemoglobin ke methemoglobin, tetapi
system enzim didalam eritrosit, sistem NADH-methemoglobin reduktase, mengubah
methemoglobin kembali ke hemoglobin.1
Karbon monoksida bereaksi dengan hemoglobin membentuk karbonmonoksida
hemoglobin (karboksihemoglobin). Afinitas hemoglobin bagi O2 jauh lebih rendah
dibandingkan afinitasnya bagi karbon monoksida, yang akibatnya menggeser O2 dari
hemoglobin, yang mengurangi kapasitas darah membawa oksigen. 1
2.2.1 Sintesis Hemoglobin
Kandungan hemoglobin normal rata-rata 16 g/dl pada pria dan 14 g/dl pada wanita,
yang semuanya terdapat dalam eritrosit. Didalam badan pria 70 kg ada sekitar 900 g
hemoglobin serta 0,3 g hemoglobin dirusak dan 0,3 g disintesis setiap jam. Bagian hem
dari molekul hemoglobin disintesis dari glisin dan suksinil-KoA.4
2.2.2 Katabolisme Hemoglobin
Bila eritrosit tua dirusak di dalam system retikuloendotel, maka bagian globin
molekul hemoglobin dipecah dan heme diubah ke biliverdin. Pada manusia, kebanyakan
biliverdin diubah ke bilirubin dan diekskresikan ke dalam empedu. Besi dari heme
digunakan kembali untuk sintesis hemoglobin; jika darah hilang dari badan dan defisiensi
besi tidak dikoreksi, maka timbul anemia defisiensi besi.4
2.2.3 Pemberi Warna Merah pada Darah
Protein heme berfungsi dalam pengikatan dan pengangkutan O2, serta fotosintesis.
Gugus prostetik heme merupakan senyawa tetrapirol siklik, yang jejaring ekstensifnya
terdiri atas ikatan rangkap terkonjugasi, yang menyerap cahaya pada ujung bawah
spektrum visibel sehingga membuatnya berwarna merah gelap. Senyawa tetrapirol terdiri
atas 4 molekul pirol yang dihubungkan dalam cincin planar oleh 4 jembatan metilen-α.
Substituen β menentukan bentuk sebagai heme atau senyawa lain. Terdapat 1 atom besi
fero (Fe2+) pada pusat cincin planar, yang bila teroksidasi, akan menghancurkan aktivitas
biologik.4

5
2.3 Gagal Ginjal Kronis

Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Kriteria penyakit ginjal kronik:2
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus dengan manifestasi
kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

2.3.1 Klasifikasi
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut: (dimana pada perempuan dikalikan
0,85).2
(140 − 𝑢𝑚𝑢𝑟)𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛
𝐿𝐹𝐺 =
72 𝑥 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎
Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit2
Derajat Penjelasan LFG (ml/menit/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG ≥ 90


normal
2 Kerusakan ginjal dengan LFG 60-89
menurun ringan

3 Kerusakan ginjal dengan LFG 30-59


menurun sedang

4 Kerusakan ginjal dengan LFG 15-29


menurun berat

5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

6
Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi2
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular (autoimun, infeksi sistemik, obat,
neoplasia)
Penyakit vaskular (hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial (pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Tranplant glomerulopathy

2.3.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus per juta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar
8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus
baru gagal ginjal per tahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per tahun.

2.3.3 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-

7
angiotensin-aldosteron sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor β (TGF- β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulointerstitial.2

Pada stadium paling dini, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana
basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60% pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 30% mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah,
mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lainnya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran
napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air, gangguan
keseimbangan elektrolit yaitu natrium dan kalium.2 Pada LFG di bawah 15% akan terjadi
gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti
ginjal antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai
pada stadium gagal ginjal.2

2.3.4 Etiologi

Tabel 2.3 Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia tahun 20002
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes Melitus 18,65%
Obstruksi dan Infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%

Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat,
penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.

8
2.3.5 Pendekatan Diagnostik
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien gagal ginjal kronik meliputi: a) sesuai dengan penyakit yang
mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemia, lupus eritematosus sistemik, dan sebagainya; b) Sindrom uremia yang terdiri
dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang sampai koma; c) gejala komplikasinya
antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik,
gangguan keseimbangan elektrolit.2
Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium meliputi: a) sesuai dengan penyakit yang mendasarinya; b)
penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan
LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja
tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal; c) Kelainan biokimiawi darah
meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,
hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik; d)
kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.2
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis meliputi: a) foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak;
b) Pieolografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, di samping itu dapat terjadi pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan; c) Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan
indikasi; d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi; e) Pemeriksaan
pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.2
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan
terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.2

2.3.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan GGK meliputi:
 Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
9
 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
 Memperlambat pemburukan fungsi ginjal
 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
 Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia, osteodistrofi renal,
hiperfosfatemia, gangguan keseimbangan elektrolit)
 Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Tabel 2.4 Rencana Tatalaksana Berdasarkan Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik2


Derajat Penjelasan LFG Rencana Tatalaksana
(ml/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi
dengan LFG normal komorbid, evaluasi pemburukan
fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler
2 Kerusakan ginjal 60-89 Menghambat perburukan fungsi
dengan LFG ginjal
menurun ringan
3 Kerusakan ginjal 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
dengan LFG
menurun sedang
4 Kerusakan ginjal 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti
dengan LFG ginjal
menurun berat
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis Terapi pengganti ginjal

Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang
masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah
menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.2

10
Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
penyakit ginjal kronis. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk
keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-
obatan nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.2

Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi


glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah pembatasan
asupan protein dan terapi farmakologis.2
1. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit/1,73m2
sedangkan di atas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak dianjurkan. Protein
diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari dimana 0,35-0,50 gram di antaranya merupakan protein nilai
biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Kelebihan protein
tidak disimpan dalam tubuh tetapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain yang
terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu makanan tinggi protein yang mengandung
ion hidrogen, fosfat, sulfat, dan ion anorganik diekskresikan melalui ginjal sehingga
pemberian diet tinggi protein pada pasien GGK akan mengakibatkan penimbunan substansi
nitrogen dan ion anorganik lain yang menyebabkan uremia. Asupan protein berlebih juga
mengakibatkan peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus di ginjal sehingga
memperburuk fungsi ginjal.2 Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan
fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
2. Terapi Farmakologis
Pemakaian obat antihipertensi selain untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga
untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa obat antihipertensi terutama Angiotensin
Converting Enzyme (ACE) inhibitor) melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat
proses perburukan fungsi ginjal karena mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria.2 Beberapa studi membuktikan bahwa pengendalian tekanan darah

11
mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein. Proteinuria
merupakan faktor resiko terjadinya perburukan fungsi ginjal.2

Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular


Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular penting karena 40-45%
kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang
termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian
diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia,
pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit.2

2.4 Anemia

2.4.1 Pendekatan Anemia

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit


sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer. Anemia merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar,
sehingga dalam diagnosis anemia harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan
anemia tersebut.3

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit dan hitung eritrosit. Kadar normal
hemoglobin tergantung dari umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat
tinggal. WHO menetapkan cut off point anemia yaitu laki-laki dewasa <13 g/dL, wanita
dewasa tidak hamil <12 g/dL, dan wanita hamil <11 g/dL.3

Etiologi dan Klasifikasi Anemia

Anemia dapat disebabkan karena: 1) Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum


tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3) Proses penghancuran eritrosit
dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).3

Berdasarkan gambaran morfologis dengan melihat indeks eritrosit atau gambaran


darah tepi, klasifikasi untuk anemia dibagi menjadi: 1) Anemia mikrositik hipokrom bila
MCV <80 fl dan MCH <27 pg; 2) Anemia normositik normokrom bila MCV 80-95 fl dan
MCH 27-34 pg; 3) Anemia makrositik bila MCV >95 fl.3

12
Tabel 2.5 Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis3

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang


1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
- Anemia defisiensi besi
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
- Anemia akibat penyakit kronik
- Anemia sideroblastik
- Anemia aplastik
- Anemia mieloplastik
- Anemia pada keganasan hematologi
- Anemia diseritropoeitik
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
- Anemia akibat kekurangan eritropoeitin: anemia pada gagal ginjal kronik
B Anemia akibat perdarahan
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
- Gangguan membran eritrosit (membranopati)
- Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
- Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalassemia
- Hemoglobinopati struktural: HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakospuskuler
- Anemia hemolitik autoimun
- Anemia hemolitik mikroangiopatik, lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks

13
Tabel 2.6 Klasifikasi Anemia berdasarkan Morfologi dan Etiologi3

1. Anemia mikrositik hipokrom


1. Anemia defisiensi besi
2. Thalassemia mayor
3. Anemia akibat penyakit kronik
4. Anemia sideroblastik
2. Anemia normositik normokrom
- Anemia pasca perdarahan akut
- Anemia aplastik
- Anemia hemolitik didapat
- Anemia akibat penyakit kronik
- Anemia pada gagal ginjal kronik
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
- Anemia pada keganasan hematologik
B Anemia markositik
1. Bentuk megaloblastik
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi B12
2. Bentuk non megaloblastik
- Anemia pada penyakit hati kronik
- Anemia pada hipotiroidisme
- Anemia pada sindrom mielodisplastik

Gejala Umum Anemia


Gejala umum anemia timbul karena anoksia organ dan mekanisme kompensasi tubuh
terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Gejala umum anemia menjadi jelas
(simptomatik) apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dL. Berat ringannya gejala
umum anemia tergantung pada derajat penurunan hemoglobin, kecepatan penurunan
hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.3

Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia. Sindrom anemia terdiri
dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga berdenging (tinitus), mata berkunang-kunang, kaki

14
terasa dingin, sesak napas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat yang mudah
dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan di bawah kuku.3

Gejala Khas Anemia

Gejala spesifik untuk masing-masing jenis anemia contohnya: a) anemia defisiensi


besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok (koilonychia); b)
anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologis pada defisiensi vitamin B12; c) anemia
hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali; d) anemia aplastik: perdarahan dan tanda-
tanda infeksi.3

Gejala Penyakit Dasar


Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi
tergantung dari penyebab anemia tersebut, misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang:
sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu
sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit
kronik oleh karena artritis reumatoid.3

Pemeriksaan untuk Diagnosis Anemia3

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan terdiri dari: 1) Pemeriksaan penyaring; 2) Pemeriksaan darah seri


anemia; 3) Pemeriksaan sumsum tulang; 4) Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan Penyaring

Pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan apusan darah tepi dapat
memastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut.

Pemeriksaan Darah Seri Anemia

Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit,
dan laju endap darah.

15
Pemeriksaan Sumsum Tulang

Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik,


anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid
seperti sindrom mielodisplatik (MDS).

Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus:
 Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC (total iron binding capacity), saturasi
transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pewarnaan besi
pada sumsum tulang (Perl’s stain)
 Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksiuridin dan
tes Schiling
 Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin, dan lain-
lain
 Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang
Juga diperlukan pemeriksaan non hematologik tertentu seperti misalnya pemeriksaan
fungsi hati, fungsi ginjal, atau fungsi tiroid.

16
Pendekatan Diagnosis Anemia

Gambar 2.2 Jenis Anemia4

17
Gambar 1 3 Algoritme Diagnosis Anemia4

18
2.5 Anemia pada Gagal Ginjal Kronis

Anemia merupakan salah satu manifestasi klinis dan laboratorium dari GGK. Anemia
didefinisikan penurunan hemoglobin (Hb) < 13 gram/dL pada laki-laki dan Hb<12 g/dL pada
perempuan. Saat fungsi ginjal menurun dan meningkatnya derajat GGK, insidens dan
prevalensi anemia meningkat. Terdapat hubungan yang eksponensial antara penurunan laju
filtrasi glomerulus dengan anemia. Biasanya, anemia muncul jika LFG menurun di bawah 0,5
mL/detik atau di bawah 0,75 mL/detik pada pasien dengan nefropati diabetik. Pada gambaran
morfologisnya, anemia pada GGK menggambarkan anemia yang normositik dan normokrom
dan bisa diasosiasikan dengan adanya akantosit dan schistosit.5

Berdasarkan beberapa penelitian, anemia juga berkontribusi pada progresivitas CKD


dan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada tingginya morbiditas dan mortalitas
pasien dengan GGK. Patofisiologi anemia pada GGK terdiri dari defisiensi eritropoeitin dan
metabolisme besi dan beberapa faktor yang penting pada berkembangnya anemia (proses
infeksi, kondisi inflamasi, pengobatan, hiperparatiroidisme sekunder, kanker), dan beberapa
hal yang sifatnya tambahan (defisiensi vitamin B12, defisiensi asam folat) atau uremic
inhibitors of erythropoeisis.5

Insufisiensi Produksi Eritropoeitin

Defisiensi eritropoeitin (EPO) merupakan penyebab utama terjadinya anemia renal.


EPO yang diproduksi utama di ginjal merupakan hormon yang diproduksi oleh specialized
type I interstitial fibroblasts di korteks dan lapisan luar medula renal antara membran
basolateral dari tubulus proksimal dan kapiler peritubular. EPO merupakan faktor krusial
yang mengatur ukuran eritrosit yang berhubungan dengan sistem transportasi oksigen.
Rangsangan utama peningkatan sintesis EPO adalah hipoksia jaringan, yang normalnya
menyebabkan peningkatan level EPO serum.5

EPO endogen merupakan glikoprotein yang memiliki komposisi 165 asam amino
dengan berat molekul 30,400 Da. Hampir 39% molekul mengandung karbohidrat. Struktur 3
dimensi molekul EPO mengandung empat helix paralel (A, B, C, D) yang dihubungkan
dengan berbagai panjang rantai peptida. Paruh waktu EPO endogen adalah 5 jam.5

Gen yang mengkode EPO terletak pada kromosom 7 (q11-q22). Transkripsi gen EPO
diaktivasi oleh hypoxia-induced factor (HIF-1) yang merupakan protein dasar yang
mengaktivasi transkripsi semua gen hypoxia-induced selain EPO seperti vascular endothelial

19
growth factor, platelet derived growth factor, dan enzim glikolitik seperti aldolase A,
enolase-1, laktat dehidrogenase A, fosfofruktokinase-1 dan fosfogliserat kinase-1. HIF-1
terdiri atas 2 unit yaitu HIF-1α yang mengandung 826 asam amino dan HIF-1β yang
mempunyai 2 isoform asam amino 774 dan 789. Dari penelitian menunjukkan penurunan
konsentrasi oksigen meningkatkan aktivitas HIF-1α dan HIF-1β pada inkubasi medium sel
Hela, sedangkan pada kondisi normal, HIF-1α dihidroksilasi dan didegradasi.5

Teknik hibridisasi menunjukkan EPO tidak diproduksi untuk penyimpanan, namun


peningkatan produksinya berhubungan dengan rangsangan hipoksia oleh peningkatan
eksponensial sel specialized.

Sumber lain EPO selain ginjal adalah hepar, yang memproduksi 10-15% total EPO
dimana 80% EPO dari hepar diproduksi di hepatosit dan sisanya dalam sel Ito. Mekanisme
ekspresi gen untuk sintesis EPO di hepar berbeda dengan regulasi produksi EPO di ginjal,
dan sensitivitas inisiasi produksi EPO terhadap sinyal hipoksia di hepar jauh lebih rendah
daripada di ginjal.5

Efek stimulasi EPO pada eritropoeisis dimediasi oleh interaksi EPO dengan reseptor
spesifik pada permukaan sel progenitor hematopoeitik di sumsum tulang, disebut BFU-E
(Burst Forming Unit Erythroid) dan CFU-E (Colony Forming Unit Erythroid), yang
distimulasi untuk proliferasi dan diferensiasi. Reseptor eritropoeitin merupakan glikoprotein
dengan 484 asam amino residu. Ikatan EPO terhadap reseptornya mengaktivasi Janus kinase
2 (JAK-2) yang mengakibatkan inhibisi apoptosis sel progenitor melalui proses regulasi
multipel. Ekspresi reseptor EPO dikendalikan selama diferensiasi sel eritroid oleh highly
specialized transcription factor yang disebut GATA-1.5

CFU-E merupakan sel target primer EPO. Sel-sel ini sensitif meski jumlah EPO
sedikit dan secara cepat bermultiplikasi jika ada EPO, memproduksi koloni sampai 50
eritroblas dalam 7 hari. CFU-E merepresentasikan sekitar 0,1% dari semua sel berinti di
sumsum tulang dan mengekspresikan 300 sampai 1.000 reseptor di permukaan membran sel.
Normalnya, CFU-E dieliminasi melalui mekanisme apoptosis, namun pada pasien anemia
jumlah sel tidak dieliminasi dan terus berdiferensiasi karena peningkatan level EPO. Reseptor
eritropoeitin pada membran sel progenitor menghilang pada basophilic normoblast stage
karena bentuk matur dari sel tidak membutuhkan EPO lagi untuk pematangan.5

20
Gangguan Metabolisme Besi

Defisiensi besi merupakan mekanisme patogenetik penting terjadinya anemia renal.


Hepsidin dipercaya memegang peranan penting dalam regulasi metabolisme besi. Hormon ini
pertama kali ditemukan oleh Krause pada tahun 2000 dan Park pada tahun 2001. Hepsidin
terdiri atas 250 asam amino dan disintesis terutama di hepatosit. Regulasi absorpsi besi dan
distribusinya ke dalam jaringan dimediasi oleh pengaturan ekspresi dari reseptornya yaitu
ferroportin yang dikenal sebagai sole cellular iron exporter. Sintesis hepsidin diinduksi oleh
berlebihnya jumlah besi atau inflamasi, sedangkan hepsidin dihambat jika ada peningkatan
eritropoeisis atau hipoksia. Peningkatan hepsidin diketahui akan mem-blok absorbsi besi dari
makanan pada usus halus dan menghambat pengeluaran besi dari cadangannya. Sintesis
hepsidin distimulasi oleh sitokin pro inflamasi yaitu IL-6.5

Kehilangan besi sehari-hari terjadi karena deskuamasi sel epitel kulit, mukosa traktus
intestinal, pertumbuhan rambut dan kuku, dan sebagian pada empedu, keringat dan urin. Pada
wanita produktif dapat kehilangan 30-60 mg besi saat menstruasi, dan 500 mg besi pada saat
melahirkan.5

Pada keadaan normal, kehilangan besi yang fisiologis dapat dikompensasi sepenuhnya
oleh reabsorpsi besi dari makanan. Pada pasien dialisa, kehilangan besi fisiologis meningkat
sehingga menginduksi defisiensi besi lebih mudah. Faktor utama defisiensi besi pada pasien
dialisa adalah kehilangan banyak darah selama dialisis. Rata-rata kehilangan besi pada pasien
dialisa yang masih diterima adalah 1.5-20 gram. Intake normal besi sehari-hari adalah 10-15
mg dan absorpsi maksimum adalah 20%. Namun, besi dari makanan saja tidak dapat
mengkompensasi kehilangannya. Karena itu pasien dialisa yang tidak mendapat terapi besi
tambahan dapat mengalami penurunan serum besi dan cadangan besi.5

Tubuh orang dewasa yang sehat normalnya mengandung 4-5 gram besi. Defisiensi
besi didefinisikan sebagai keadaan dimana jumlah besi dalam tubuh menurun yang dicirikan
dengan penurunan cadangan besi di sumsum tulang, hepar dan lien, dan ketidakseimbangan
antara persediaan besi dengan kebutuhannya. Berdasarkan penelitian terbaru, pemeriksaan
pewarnaan besi pada sumsum tulang tetap merupakan standar emas (gold standard) untuk
menentukan level cadangan besi dalam tubuh. Kekurangan besi dalam tubuh dapat diketahui
dengan kurangnya besi di dalam sel sistem fagosit mononuklear dan penurunan jumlah
sideroblas di bawah 10%.5

21
Faktor Lain yang Mendukung Terjadinya Anemia

Faktor-faktor yang dapat memicu eksaserbasi anemia pada pasien GGK yaitu proses
inflamasi, tumor, asam folat, obat-obatan, atau uremic inhibitors of erythropoeisis. Supresi
eritropoeisis timbul selama proses infeksi berat, penyakit inflamasi, dan keganasan. Inflamasi
sering dibarengi dengan malnutrisi dan keduanya sering menimbulkan anemia. Penyebab
utama sindrom MIA (malnutrition, inflammation, anemia) adalah peningkatan produksi
sitokin seperti IL-1, IL-6, TNF-alfa, dan interferon gamma yang menghambat pengeluaran
besi dari tempat cadangan besi, menurunkan produksi EPO endogen, dan menekan
eritropoeisis. Inflamasi meningkatkan pengambilan besi dalam sel sistem retikuloendotelial
yang mengakibatkan pembatasan availabilitas besi untuk sel progenitor eritroid dan akhirnya
menurunkan eritropoeisis. Kunci utama anemia yang berhubungan dengan inflamasi kronis
diperankan oleh hepsidin, yang sintesis dan level pada serumnya meningkat sampai 100 kali
lipat selama inflamasi. Pada pemeriksaan laboratorium, keadaan ini dikonfirmasi oleh
peningkatan konsentrasi feritin serum dan penurunan pFe (serum besi), level transferin, dan
TSAT (saturasi transferin).5

Pada pasien dengan penyakit ginjal, penurunan usia eritrosit intravaskular disebabkan
karena hemolisis kronik yang merupakan hasil dari akumulasi toksin ureum dalam darah.
Umur eritrosit pada pasien dengan gagal ginjal kronik dapat normal kembali dengan transfusi
eritrosit dari orang sehat. Toksin ureum paling penting dalam patofisiologi anemia renal
adalah poliamin seperti spermin, spermidin, putrescine, dan cadaverine. Poliamin merupakan
kation organik yang berhubungan dalam pertumbuhan sel dan maturasi sel sehingga
menurunkan aktivitas proliferatif sel eritroid dalam sumsum tulang oleh efek toksik
langsung.5

Anemia renal dapat dieksaserbasi oleh kurangnya asam folat dan vitamin B12.
Defisiensi vitamin B12 atau asam folat tidak sering, timbul <10% pada pasien dialisa. Pada
kasus ini, biasanya terdapat morfologi eritrosit yang makrositik. Defisiensi asam folat dapat
terjadi pada pasien hemodialisa, karena asam folat bersifat dialisabel. Rekomendasi dosis
asam folat adalah 50 mikrogram per hari.5

Penurunan hemoglobin dapat terjadi pada intoksikasi aluminium. Anemia yang


diinduksi oleh akumulasi aluminium memiliki morfologi eritrosit mikrositik dan hiperkrom.
Aluminium berkompetisi dengan besi pada binding site molekul transferin dan ikatan
aluminium dengan reseptor bebas meningkat terutama pada pasien dengan defisiensi besi.

22
Selain itu, aluminium dapat menekan cystosolic uroporphyrinogen decarboxylase dan
mitochondrial ferrochelatase. Anemia yang disebabkan karena akumulasi aluminium bersifat
ireversibel dan membaik jika diterapi dengan desferrioxamine.5

Anemia hiperproliferasi dapat dieksaserbasi oleh osteodistrofi fibrosa yang biasanya


disebabkan hiperparatiroidisme sekunder berat. Level parathormon yang berlebihan diketahui
menurunkan produksi EPO, meningkatkan hemolisis, dan menekan stem sel eritrosit pada
sumsum tulang.

Anemia dapat dipengaruhi oleh obat-obatan, terutama ACE-inhibitor. ACE-inhibitor


menekan sintesis eritropoeitin melalui oksigenasi yang meningkat di regio peritubular karena
penurunan resistensi vaskular di arteriol eferen, penurunan konsentrasi IGF-1 dan
meningkatkan apoptosis progenitor sel eritroid CD34+. Imunosupresan juga memegang
peranan penting seperti Azathioprine, mycophelonate mofetil dan mycophelonate sodium
mempunyai efek antiproliferatif langsung pada sel sumsum tulang. Sirolimus dan everolimus
(mTOR inhibitors) dapat menyebabkan anemia mikrositik. Siklosporin A dan mTOR
inhibitor diketahui dapat merangsang sindrom uremik hemolitik dan anemia hemolitik. Agen
imunosupresif lain seperti antithymocite globulin (ATG) dapat menurunkan konsentrasi
hemoglobin melalui efek toksik pada sumsum tulang.5

Faktor tambahan yang berhubungan dengan anemia adalah malnutrisi. Hubungan


antara malnutrisi dengan anemia dapat disebut malnutrition-inflammation complex syndrome
(MIA syndrome).

2.6 Tatalaksana Anemia pada Gagal Ginjal Kronik

KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcomes) mempublikasikan pada bulan


Agustus 2012 mengenai rekomendasi baru terapi anemia pada pasien GGK. Rekomendasi
barunya terdiri atas syarat terapi feritin serum 500 mcg/L dan saturasi transferin 30%,
diberikan Erythropoeisis Stimulating Agents (ESA) jika pasien mendapat cukup suplementasi
besi, dan target konsentrasi Hb 9-10 g/dL. Pada pasien dengan gejala sindrom anemia, ESA
dapat diberikan dengan Hb ≥ 10 g/dL. Direkomendasikan juga saat terapi pemeliharaan ESA,
Hb tidak boleh melebihi 12 g/dL. Terapi anemia pada gagal ginjal bervariasi dari pengobatan
simptomatik melalui transfusi sel darah merah sampai ke penyembuhan dengan transplantasi

23
ginjal. Transfusi darah hanya memberikan keuntungan sementara dan beresiko terhadap
infeksi dan hemokromatosis sekunder.6-7

1. Suplementasi eritropoeitin (EPO)6-8

Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan recombinant
human eritropoeitin yang diberikan intravena kepada pasien hemodialisa. Penelitian
membuktikan bahwa saat sejumlah eritropoeitin diberikan IV 3 kali seminggu setelah setiap
dialisa, pasien reguler hemodialisis merespon dengan peningkatan Ht dengan dosis tertentu
dalam beberapa minggu. Efek samping utamanya adalah meningkatkan tekanan darah dan
memerlukan dosis heparin yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi
ekstrakorporial selama dialisis.

Indikasi EPO:

 Bila Hb< 10 g/dL, Ht <30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain
anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
o Cadangan besi adekuat: ferritin serum >100 mcg/L, saturasi transferin > 20%
o Tidak ada infeksi berat

Kontraindikasi EPO:

 Hipersensitivitas terhadap EPO


 Hati-hati pada keadaan:
o Hipertensi tidak terkendali
o Hiperkoagulasi
o Beban cairan berlebih

Terapi eritropoeitin fase koreksi:8

Tujuan: untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai

 Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3 kali seminggu selama 4
minggu
 Target respon yang diharapkan: Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4%
dalam 2-4 minggu
 Pantau Hb, Ht tiap 4 minggu. Bila target respon tercapai, pertahankan dosis EPO
sampai target Hb tercapai (10-12 g/dL). Bila target respon belum tercapai naikkan

24
dosis 50%. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik>8% dalam 4 minggu, turunkan dosis
25%.
 Pemantauan status besi: selama terapi eritropoeitin, pantau status besi dan berikan
suplemen sesuai dengan panduan terapi besi.

Terapi EPO fase pemeliharaan

 Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL) dengan dosis 2 atau 1 kali 2000
IU/minggu. Pantau Hb dan Ht setiap bulan dan periksa status besi setiap 3 bulan.
 Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai >12 g/dL dan status besi cukup, maka
dosis EPO diturunkan 25%

Pemberian eritropoeitin dapat menimbulkan efek samping hipertensi dan kejang. Agar
pemberian eritropoeitin optimal, perlu diberikan terapi penunjang: asam folat 5 mg/hari,
vitamin B6 100-150 mg/hari, vitamin B12 0,25 mg/bulan, vitamin C 300 mg IV, vitamin D,
vitamin E 1200 IU.

2. Suplementasi besi8

Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronis masih terus dalam perdebatan.
Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan besi dapat mencegah
pembentukan TNF-α. Namun, sampai saat ini pemberian preparat besi masih belum
direkomendasikan untuk diberikan pada anemia penyakit kronis.

Terapi besi pemeliharaan:

 Tujuan: menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoeisis selama terapi EPO
 Target terapi:
o Ferritin serum >100mcg/L - <500 mcg/L
o Saturasi transferin > 20% - <40%
 Dosis
o IV
 Iron sucrose: maksimum 100 mg/minggu
 Iron dextran: 50 mg/minggu
 Iron gluconate: 80 mg/2 minggu
o IM
 Iron dextran: 80 mg/2 minggu

25
o Oral : 200 mg besi elemental 2-3 kali/hari
 Status besi diperiksa setiap 3 bulan, bila status besi dalam batas target yang
dikehendaki lanjutkan terapi besi dosis pemeliharaan. Bila ferritin serum > 500 mcg/L
atau saturasi transferin > 40% suplementasi besi distop selama 3 bulan. Bila
pemeriksaan setelah 3 bulan ferritin serum < 500 mcg/L dan saturasi transferin <
40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan dosis 1/3 – ½ sebelumnya.
Pemberian besi tidak dianjurkan jika ferritin serum >800 mcg/L.

3. Transfusi darah

Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi adalah:

 Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik


 Tidak memungkinkan penggunaan EPO dan Hb < 7 g/dL
 Hb <8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
 Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun yang telah
mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum
tersedia, dapat diberikan transfusi darah dengan hati-hati.

Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah 7-9 g/dL. Transfusi diberikan
secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi, hiperkatabolik (asidosis), dan
hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian transfusi darah sampai kadar Hb
10-12 g/dL berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat.8

2.6.1 Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi


Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoeitin. Hal-hal lain yang ikut
berperan adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misalnya perdarahan saluran cerna,
hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam
folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar Hb ≤ 10 g/dL atau Ht ≤ 30% meliputi evaluasi
terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron, kapasitas ikat besi total (TIBC), feritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan
sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya. Pemberian
eritropoeitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan dimana dalam pemberian EPO ini status

26
besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme
kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang
dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia,
dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran Hb menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.2

Osteodistrofi Renal

Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Penurunan fungsi ginjal menyebabkan hiperfosfatemia, intoksikasi Aluminium, a dynamic
bone disease, dan akumulasi beta2-mikroglobin. Hiperfosfatemia menyebabkan penurunan
1,25(OH)2D2, penurunan kalsium terionisasi, dan akhirnya peningkatan PTH. Peningkatan
PTH dapat menyebabkan osteitis fibrosa cystica. Penurunan 1,25(OH)2D2 dan intoksikasi
Aluminium dapat menyebabkan osteomalasia. Akumulasi beta2-mikroglobin menyebabkan
dialysis-related amyloidosis.2
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian kalsitriol (1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia
meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat
absorpsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga
ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.2
A. Mengatasi Hiperfosfatemia
1. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada
pasien penyakit ginjal kronik secara umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan
rendah garam karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk
hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari.
2. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam
kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara
oral untuk menghambat absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium
yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat.
3. Pemberian bahan kalsium mimetik (Calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini
dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar
paratiroid dengan nama sevelamer hidroklorida (CMA) yang dilaporkan mempunyai
efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal.

27
B. Pemberian Kalsitriol (1.25 (OH2D3))
Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan, tetapi
pemakaiannya tidak begitu luas karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di
saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam kalsium karbonat
di jaringan, yang disebut kalsifikasi metastasik. Selain itu juga dapat mengakibatkan
penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Karena itu, pemakaiannya dibatasi
pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali
normal.

Pembatasan Cairan dan Elektrolit

Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik bertujuan untuk mencegah
terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat
seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan
berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500-800 ml/hari maka
air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin.2
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan
kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal.
Karena itu pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium
seperti buah dan sayuran harus dibatasi. Kadar kalium darah yang dianjurkan adalah 3.5-5.5
mEq/L. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
Jumlah garam natrium yang diberikan disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan
derajat edema yang terjadi.2

Terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy)

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5 yaitu pada
LFG < 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis
atau transplantasi ginjal.2

28
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang irreversible. Kriteria penyakit ginjal kronik adalah adanya kerusakan ginjal
yang terjadi lebih dari tiga bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomelurus dengan manifestasi kelainan patologis atau terdapat
tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan
dalam tes pencitraan, atau laju filtrasi glomelurus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2
selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Anemia secara fungsional didefenisikan
sebagai penurunan jumlah masa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dengan jumlah yang cukup ke jaringan. Anemia sering dijumpai pada
pasien gagal ginjal kronik berupa suatu komplikasi. Biasanya ringan atau sedang disertai oleh
rasa lemah dan penurunan berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis. Pada
pemeriksaan fisik umumunya hanya dijumpai konjungtiva pucat tanpa kelainan yang khas
dari anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya bergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium.
Pada pemeriksaan laboratorium ditandai oleh Hb berkisar 7-11 g/dL, normokrom –
normositer, retikulosit absolut dalam batas normal atau sedikit meningkat, kadar besi (Fe)
serum menurun disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta
produksi sel darah merah berkurang. Perubahan pada leukosit dan trombosit tidak konsisten.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila
ditemukan. Pemberian eritropoeitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian
EPO, status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam
mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronis harus dilakukan dengan
hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Karena transfusi
darah yang tidak cermat dapat menyebabkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12
g/dl.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran Guyton & Hall. Edisi 11. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.h. 324-33.
2. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K SM,
Setiati S, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke 6. Jakarta: InternaPublishing;
2014.h. 2159-65.
3. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke 8. Jakarta: EGC; 2014. h.
418-23.
4. Ganong WF. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke 22.Jakarta: EGC. 2008.
5. Zadrazil J, Horak P. Pathophysiology of anemia in chronic kidney diseases: a review.
Biomed Pap Med Fac Univ Palacky Olomouc Czech Repub. 2015 Jun; 159(2):197-
202
6. Lerma EV. Anemia of chronic disease and renal failure. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1389854-overview#showall
7. MacGinley RJ, Walker RG. International treatment guidelines for anaemia in chronic
kidney disease: what has changed?. MJA 22 July 2013; vol 199 (2).
8. The Renal Association. Clinical practice guidelines: anemia of chronic kidney
disease. June 2017.

30

Anda mungkin juga menyukai