Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia
sumsum tulang. Anemia aplastik dapat diwariskan atau didapat. Anemia aplastik dikenal
sebagai sindrom gagalnya sumsum tulang dalam memproduksi sel darah. Anemia aplastik
yang didapat kadang-kadang dapat ditelusuri penyebabnya seperti hepatitis seronegative,
obat, racun atau kehamilan. Manifestasi klinis dapat berupa dispnea saat aktivitas, kelelahan,
mudah memar, petekie, epistaksis, perdarahan gingiva, menstruasi berat, sakit kepala dan
demam. Perbedaan antara keduanya bukan pada usia pasien melainkan berdasarkan
pemeriksaan klinis dan laboratorium. Pemeriksaan darah lengkap, hitung leukosit, jumlah
retikulosit dan aspirasi sumsum dan biopsi sumsung tulang dapat menegakkan diagnosis.
Oleh karena itu pasien dewasa mungkin membawa kelainan herediter yang muncul di usia
dewasa. 1,2,3
Laporan kasus ini, seorang wanita berusia 77 tahun menderita anemia aplastik sejak
2017 datang ke RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan lemas sejak 2 hari yang lalu.
Sehingga yang akan dibahas pada laporan ini adalah pasien dengan anemia aplastik.
Insidensi anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh duia dan berkisar antara 2 sampai 6
kasus per 1 juta penduduk per tahun degan variasi geografis. Anmeia aplastik didapat
umumnya muncul pada usia 15 sampai 25 tahun, puncak insiden kediua yang lebih kecil
muuncul setelah usia 60 tahun. Umur dan jenis kelamin pun bervariasi Di Amerika Serikat
dan Eropa umur sebagian besar pasien berkisar antara 15-24 tahun. Cina melaporkan
sebagian besar kasus anemia aplastik pada perempuan diatas 50 tahun dan pria diatas 60
tahun. Di Prancis, pada pria ditemukan dua puncak yaitu antara umur 15-30 tahun dan
setelah umur diatas 60 tahun.
Perjalanan penyakit pada pria juga lebih berat daripada perempuan. Perbedaan umur dan jeis
kelamin mungkin disebabkan oleh risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis miungkin
disebabkan oleh pengaruh lingkungan.
Pemeriksaan fisik di bangsal lantai 5, pada tanggal 25 Agustus 2018, pukul 10.30 WIB
Kesadaran : Compos mentis`
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tanda vital : TD : 110/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,0OC
Pernapasan : 20 x/menit
Kulit : Sawo matang
Kepala : Normocephali
Rambut : Hitam beruban, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Pupil isokor, refleks cahaya +/+, konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik
-/-
Hidung : Sekret -/- , deviasi septum (–).
Telinga : Sekret -/- , liang telinga lapang, nyeri tekan tragus (–)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Mulut : Mukosa lembab, sianosis (-), coated tongue (-)
Leher : KBG tidak teraba, Tiroid tidak ada pembesaran
Thorax :
Pulmo Depan Belakang
Inspeksi Bentuk dada normal Bentuk dada bagian belakang
Pernapasan regular, tidak ada normal
dinding dada yang tertinggal Bentuk scapula simetris
Jenis pernapasan Tidak ditemukan bekas luka
abdominothorakal ataupun benjolan
Otot-otot bantu pernapasan (-)
Palpasi Tidak teraba adanya pembesaran Perbandingan gerakan nafas dan
kelenjar getah bening vokal fremitus sama kuat di kedua
Vokal fremitus sama kuat di lapang paru
kedua lapang paru
Gerakan nafas sama kuat di kedua
paru
Perkusi Perkusi terdengar sonor pada Pada dada kanan dan kiri terdengar
kedua lapang paru sonor
Kardiovascular
Inspeksi Tidak terlihat pulsasi pada ictus cordis
Palpasi Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi Batas kiri jantung terletak pada ICS V lateral linea midclavicularis sinistra
Batas pinggang jantung terletak pada ICS III linea parasternalis sinistra
Batas kanan jantung terletak pada ICS V linea parasternalis dextra
Auskultasi Bunyi jantung I dan II terdengar regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi Perut datar, tidak terdapat striae, tidak terdapat tanda-tanda peradangan
Auskultasi Bising usus (+) normoperistaltik
Palpasi Supel, nyeri tekan (+) pada epigastrium,
Organ : Hepar
Kanan : pembesaran hepar 3 jari di bawah arkus kosta
Kiri : 2 jari di bawah prosesus xypoideus
Lien : tidak teraba pembesaran lien
Ginjal : kedua ginjal tidak teraba
Perkusi Bunyi pekak pada kuadran kanan atas dan bunyi timpani pada ketiga
kuadran abdomen
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-), Petechiae (-), CRT<2”, motorik 5/5
Inferior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-), Petechiae (-), CRT< 2”, motorik 5/5
Anemia aplastik dikenal sebagai sindrom gagalnya sumsum tulang dalam memproduksi
sel darah. Sel-sel darah yang mengalami penurunan adalah eritrosit, leukosit dan trombosit.
Berdasarkan The International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut
anemia aplastik bila kadar hemoglobin ≤ 10 g/dL atau hematokrit ≤ 30 %; hitung trombosit ≤
50.000/mm3 ; hitung leukosit ≤ 3.500/mm3 atau granulosit ≤ 1,5 x 109/L.1,3
Anemia aplastik merupakan kegagalan hematopoesis yang relatif jarang ditemukan
namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia
sumsum tulang dan pertama. Dasar penyakit ini adalah kegagalan sumsum tulang dalam
memproduksi sel-sel hematopoetik dan limfopoetik, yang mengakibatkan tidak ada atau
berkurangnya sel-sel darah di darah tepi, keadaan ini disebut sebagai pansitopenia. Pada tujuh
puluh persen kasus penyebab anemia aplastik didapat tidak dapat diterangkan, sedangkan
sisanya diduga akibat radiasi, bahan kimia termasuk obat-obatan, infeksi virus, dan lain-lain.
Gejala-gejala yang timbul pada pasien anemia aplastik merupakan gejala pansitopenia seperti
pucat, perdarahan, dan infeksi. Etiologi penyakit ini kebanyakan tidak diketahui maka tata
laksananya juga belum optimal dan seringkali menimbulkan masalah-masalah baru pada
pasien, bukan hanya memperburuk kondisi pasien atau bahkan dapat mengancam jiwa
pasien.4
Patofisiologi dan Patogenesis
Dahulu anemia aplastik dihubungkan erat dengan paparan terhadap bahan-bahan kimia dan
obat-obatan. Anemia aplastik dianggap disebabkan paparan terhadap bahan-bahan toksisk
seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau senyaa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi
kehamilan, hepatitis viral, dan fasciitis eosinofiilik. Jika pada seseorang pasien tidak
diketahui faktor penyebabnya, maka pasien digolongkan anemia aplastik idiopatik. Sebagian
besar kasus anemia aplastik bersifat idiopatik. Beberapa etiologi anemia aplastik tercantum
dalam tabel 2.
Anemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau dosis obat yang berlebihan.
Obat yang banyak menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan yang
juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas dan antikonvulsan, obat-
obatan sitotoksik misalnya mileran atau nitrosourea. Bahan kimia terkenal yang dapat
menyeababkan anemia aplastik ialah senyawa benzena.
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia aplastik sementara atau permanen,
misalnya virus Epstein-Barr, influenza A, dengue, tuberkulosis (milier). Sitomegalovirus
dapat menekan produksi sel sumsum tulang, melalui gangguan pada sel-sel stroma sumsum
tulang. Infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV) yang berkembang menjadi
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dapat menimbulkan pansitopenia. Infeksi
kronik oleh parvovirus pada pasien dengan defisiensi imun juga menimbulkan pansitopenia.
Akhir-akhir ini, sindrom anemia dikaitkan dengan hepatitis walaupun merupakan kasus yang
jarang. Meskipun sudah banyak studi dilakukan, virus yang pasti belum diketahui, namun
diduga virus hepatitis non-A, non-B, dan non-C.
Pada kehamilan, kadang-kadang ditemukan pansitopenia disertai aplasia sumsum tulang yang
berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan oleh esterogen pada seseorang dengan
predisposisi genetik, adanya zat penghambat dalam darah atau tidak ada perangsang
hematopoiesis. Anemia aplastik sering sembuh setelah terminasi kehamilan , dapat terjadi
lagi pada kehamilan berikutnya.
Namu, sekarang diyakini ada penjelasan patofisiologis anemia aplastik yang masuk akal,
yang disimpulkam dari berbagai observasi klinis hasil terapi dan eksperimen laboratorium
yang sistemik. Di akhir tahun 1960-an, Mathe et al memunculkan teori baru berdasarkan
kelainan autoimun setelah melakukan teransplantasi sumsum tulang untuk menyembuhkan
anemia aplastik memperlihatkan adanya kondisi defisiensi sel asal (stem cell).
Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan oleh percobaan in vitro
yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat pembentukan koloni hemopoietik
alogenik dan autologus. Selain itu diketahui bahwa limfosit T sitotoksik memerantarai
destruksi sel-sel asal hemopoietik pada kelainan ini. Sel-sel T efektor tampak lebih jelas di
sumsum tulang dibandingkan dengan darah tepi pasien anemia aplastik. Sel-sel tersebut
mengahasilkan interferon-g dan TNF-a yang merupakan inhibitor langsung hemopoiesis dan
meningkatkan ekspresi fas pada sel-sel CD34+. Klon sel-sel T imortal yang positif CD4 dan
CD8 dari pasien anemia aplastik juga mensekresi sitokin T-helper-1 yang bersifat toksik
langsung ke sel-sel CD34 positif autologus.
Sebagian besar anemia aplastik didapat secara patofisiologis ditandai oleh destruksi spesifik
yang diperantarai sel T ini. Pada seorang pasien, kelainan respon imun tersebut kadang-
kadang dapat dikaitkan dengan infeksi virus atau pajanan obat tertentu atau obat kimia
tertentu. Sangat sedikit adanya bukti mekanisme lain, seperti toksisitas langsung pada sel-sel
atas atau defisiensi fungsi faktor pertumbuhan hematopoietik. Lagipula, derajat destruksi sel
asal dapat menjelaskan variasi perjalanan klinis secara kuantitatif dan variasi kualitatif
respons terhadap terapi imunosupresif. Respons terhadap terapi imunosupresif menunjukan
adanya mekanisme imun yang betanggung jawab atas kegagalan hematopoietik.
Kegagalan Hematopoietik
Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas kosongnya sumsum tulang yang
tampak jelas pada pemeriksaan asupan aspirat sumsum tulang atau spesimen care biopsy.
Hasil pencitraan dengan magnetic resonance imaging vertebra memperlihatkan dihantinya
sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata. Secara kuantitatif, sel-sel hematopoietik
yang imatur dapat dihitung dengan flow cytometry. Sel-sel tersebut mengekspresikan protein
cytoadhesive, yang disebut CD34. Pada pemeriksaan flow cytometry, antigen sel CD34
dideteksi secara fluoresens satu persatu, sehingga jumlah sel-sel CD34+ dapat dihitung
dengan tepat. Pada anemia aplastik, sel-sel CD34+ juga hampir tidak ada yang berarti bahwa
sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan megakaryositik sangat kurang
jumlahnya. Assay lain untuk sel-sel hematopoietik yang sangat primitif dan “tenang”, yang
sangat mirip jika tidak dapat dikatakan identik dengan sel-sel asal, juga memperlihatkan
penurunan. Pasien yang mengalami pansitopenia mungkin telah mengalami penurunan
populasi sel asal dan sel induk sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi berat tersebut
mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerminkan oleh pemendekan telomer granulosit
pada pasien anemia aplastik.
Destruksi Imun
Banyak data laboratorium yang menyokong hipotesis bahwa pada pasien anemia aplastik
didapat, limfosit bertanggung jawab atas destruksi kompartemen sel hematopoietik.
Eksperimen awal memperlihatkan bahwa limfosit pasien menekan hematopoiesis. Sel-sel ini
memproduksi faktor penghambat yang akhirnya diketahui adalah interferon-g. Adanya
aktivitas respons sel T helper-1 (Th1) disimpulkan dari sifat imunofenotipik sel-sel T dan
produksi interferon, tumor necrosis factor, dan interleukin-2 yang berlebihan. Deteksi
interferon-g intraseluler pada sampel pasien secara flow cytometry mungkin berkolerasi
dengan respons terapi imunosupresif dan dapat memprediksi relaps.
Pada anemia aplastik, sel-sel CD34+ dan sel-sel induk (progenitor) hemopoietik sangat
sedikit jumlahnya. Namun, meskipun defisiensi myeloid (granulositik, eritroid, dan
megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini, defisiensi imunologik tidak lazim terjadi.
Hitung limfosit umumnya normal pada hampir semua kasus, demikian pula fungsi sel B dan
sel T. Lagipula, pemulihan hematopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi
imunosupresif yang efektif. Jadi, sel-sel asal hematopoietik tampaknya masih ada pada
sebagian besar pasien anemia aplastik.
Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam beberapa hari) atau perlahan-lahan
(berminggu-minggu atau berbulan-bulan). Hitung jenis darah menentukan manifestassi klinis.
Anemia menyebabkan fatig, dispnea, dan jantung berdebar-debar. Trombositopenia
menyebabkan mudah memear dan perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga mungkin megeluh sakit kepala dan demam.
Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit,
hitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang. Pemeriksaan flow cytometry
darah tepi dapat menyingkirkan hemoglobinuria nokturnal paroksismal, dan karyotyoing
sumsum tulang dapat membantu menyingkirkaan sindrom mielodisplastik. Pasien berusia
kurang dari 40 tahun perlu diskrining untuk anemia Fanconi dengan memaka obat
klastogenik diepoksibutan atau mitomisin. Riwayat keluarga sitopenia meningkatkan
kecurigaan adanya kelainan diwariskan walaupun tidak ada kelainan fisik tampak.
Anemia aplastik mungkin asimptomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin. Keluhan
yang dapat ditemukan sangat bervariasi (tabel 3.3) pada tabel 3.3 terlihat bahwa perdarahan,
badan lemah, dan pusing merupakan keluhan yang paling sering ditemukan.
Tabel 3.3 Keluhan Pasien Anemia Aplastik
Jenis Keluhan %
Perdarahan 83
Badan lemah 30
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
Nafsu makan berkurang 29
Pucat 26
Sesak napas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13
Pemeriksaan Fisis
Diagnosis Banding
Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi menunjukan aplasia, namun hiposelularitas
sumsum dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji diagnostik yang baru telah
mempengaruhi diagnosis banding dan pemahaman kita tentang kegagalan sumsum tulang
(gambar x). Perbedaan antara anemia aplastik didapat dan herideter telah dipertajam dengan
assay spesifik untuk kelainan kromosomal dan zat kimia tertentu yang menandai anemia
Fanconi. Meskipun biasanya muncul pada anak-anak, anemia Fanconi dapat didiagnosis pada
saat dewasa , walaupun tanpa kelainan skleteal atau urogenital.
Sumsum tulang hiposelular dibutuhkan untuk diagnosis anemia aplastik. Namun, aspirat
kadang-kadang secara mengejutkan tampak selular meskipun secara keseluruan sumsum
tulang hiposelular, sebab sebagian besar pasien masih mempunyai sarang-sarang hemopoiesis
yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy 1-2 cm penting untuk pengkajian selularitas. Atau
juga memiliki populasi sel-sel hemoglobiuria noktrunal paroksismal kecil sampai sedang,
namun, adanya sejumlah kecil sel-sel blas myeloid atau gambaran displastik seri myeloid
atau megakaryosit membentu diagnosis sindrom myelodisplastik hipoplastik.
Pemeriksaan sitogenik sel-sel sumsum tulang sekarang sudah rutin dilakukan, tetapi
interpretasi hasil dapat kontroversial. Kromsom umumnya normal pada anemia aplastik,
tetapi aneuploidi atau abnormalitas struktural relatif sering pada sindrom mielodisplastik. Jika
sumsum tulang normal atau hiperseluler dan sel-sel hematopoietik jelas-jelas dismorfik, maka
myelodisplasia mudah dibedakan dari anemia aplastik. Namun, mungkin pada sekitar 20%
kasus, sumsum tulang tampak hiposeluler, selain itu perubahan morfologinya mungkin ringan
atau meragukan, dan uji kromosom memberikan hasil normal atau tidak berhasil. Diagnosis
banding lebih dipersulit dengan evolusi anemia aplastik yang telah diobati menjadi
myelodisplasia.
Penyakit leukimia limfositik granular besar juga dapat menjadi diagnosis untuk sumsum
tulang yang kosong atau displastik. Penyakit ini dapat dikenali dari fenotipenya yang berbeda
pada pemeriksaan mikroskopik darah, yaitu pola pulasan sel-sel khusus pada flow cytometry
dan ketidakteraturan reseptor sel T yang membuktikan adanya ekspansi monoklonal populasi
sel T.
Terdapat hubungan yang sangatkuat antara anemia aplastik dan hemoglobinuria nokturnal
paroksismal (PNH). Pada PNH, sel asal hematopoietik abnormal menurunkan populasi sel
darah merah, granulosit, dan trombosit yang semuanya tidak mempunyai sekelompok protein
permukaan sel. Dasar genetik PNH adalah mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom X
yang menghentikan sintesis struktur jangkar glikosilfostatidilinositol. Defisiensi protein ini
menyebabkan hemolisis intravaskular, yang mengakibatkan ketidakmampuan eritrosit untuk
menginaktivasi komplemen permukaan. Tidak adanya protein tersebut mudah dideteksi
dengan flow cytometry eritrosit dan leukosit, tes Ham dan sukrosa sekarang sudah ketingalan
jaman (obsolete).
Telah lama diketahui bahwa beberapa PNH akan mengalami kegagalan sumsum tulang, dan
sebaliknya, PNH dapat ditemukan sebagai “peristiwa klonal lanjut” bertahun-tahun setelah
diagnosis anemia aplastik. Pemeriksaan flow cytometry memperlihatkan bahwa sejumlah
besar pasien dengan kegagalan sumsum tulang mengalami ekspansi klon PNH hematopoietik
pada saat datang.