Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada masa perkembangan Islam, masjid merupakan salah satu bukti

monumental bahwa Islam diterima oleh masyarakat setempat. Dibangunnya

masjid di suatu kerajaan, menandai bahwa Islam diterima secara resmi sebagai

agama kerajaan. Di situs-situs Islam di Kerajaan Bungku atau yang saat ini di

kenal dengan Kecematan Bungku Tengah, di temukan Masjid Tua Bungku, yang

masih tampak utuh, atau yang hanya tinggal sekedar cerita masa lalu, sebab

banyak wajah masjid yang sudah sangat berubah menjadi masjid modern, bahkan

sebagian ciri ciri kekunoannya sudah hampir hilang hanya sebagian yang

bertahan. Tapi bagaimanapun, masjid Tua Bungku merupakan penanda paling

utama, sebuah wilayah itu telah mendapat pengaruh Islam atau sudah diislamkan.

Dengan demikian, masjid menjadi salah satu data yang paling spesifik yang

menggambarkan cara Islam berkembang di Kecamatan Bungku, Desa Marsoleh.

Warisan keagamaan sejarah Islam nusantara yang kini masih dapat dilacak

sebagai bagian dari budaya yang kelestariannya masih terjaga dalam rangka

memberikan informasi arkeologis kepada generasi meliputi 1). Bangunan/

monument/ fitur: masjid, menara, pesantren, madrasah, rangkang, gapura, istana,

makam, taman kerajaan, benteng, ghunongan, balai karapatan, rumah tinggal

kaum bangsawan dan lain-lain; 2). artefak bergerak: perlengkapan masjid;

mimbar, maksurah, cis dan sebagainya (Tawalinuddin, 2009). Pertama-tama

1
muncullah bangunan masjid yang merupakan salah satu wujud penampilan

budaya Islam. Kemudian muncul bangunan-bangunan yang sifatnya non religi

sebagai fasilitas yang menampung kebutuhan manusia. Istana-istana, keraton,

puri, bangunan benteng pertahanan, dan kuburan ( AbdulRochym. 1983:3).

Masjid dapat dianggap sebagai ikon atau ciri utama sebuah situs Kerajaan

Islam, karena dalam tradisi Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW pendirian

kerajaan Islam senantiasa didahului dengan pembangunan masjid yang dianggap

sebagai pusat kegiatan dalam segala aspek kehidupan umat (Salam, 1960: 19;

Gazalba, 1966, dalam Mahmud, 2003: 40). Dengan demikian masjid adalah

simbol utama keberagamaan umat Islam, menjadi pusat orientasi dan sumber

utama untuk memperoleh kebajikan dan pengetahuan dan menjadi bagian inspirasi

manusia untuk memperoleh segala kemuliaan sekaligus tempat mensucikan diri.

Masjid Secara bahasa, istilah masjid berasal dari bahasa Arab “sajada-

yasjudu –sujudan” yang berarti meletakkan kening di atas permukaan bumi untuk

beribadah kepada Allah SWT. Dari kata sajada terbentuk kata “Masjid” yang

artinya tempat sujud. Pengertian tempat sujud di sini tidak mengacu pada

bangunannya apakah beratap atau tidak, terbatas atau tidak, yang terpenting

adalah tempat sujud. Di dalam al-Quran terdapat 92 kata sujud, sajada dan

berbagai bentukannya. Sedangkan istilah masjid (tunggal) disebut 22 kali dan

masajid (jamak) 6 kali di dalam al- Quran. Menurut A. Rochym (1983: 4), pada

prinsipnya tujuan utama pendirian masjid sejak awal mula terjadinya sampai saat

2
ini tetap tak berubah, yakni tempat untuk melaksanakan ajaran Islam secara

keseluruhan, dari peribadahan umum, sampai shalat Jumat, juga dakwah, dan

tempat suci untuk mempertemukan diri dengan Dzat Yang Maha Agung. Dan

Masjid yang pertama dibangun pada masa awal pembentukan masyarakat Islam

adalah Masjid Nabawi, yang memiliki peran serta fungsi sebagai tempat ibadah

(Shalat dan zikir), tempat konsultasi dan komunikasi mengenai ekonomi, sosial,

budaya pendidikan, militer serta tempat pengadilan (Yulianto Sumalyo, 2006:1).

Dalam perkembangan selanjutnya pengertian masjid menjadi lebih spesifik

yaitu sebuah bangunan atau gedung bahkan lingkungan yang ditembok

dipergunakan sebagai tempat mengerjakan shalat. Masjid sebagai suatu bangunan

merupakan wujud dan aspek fisik dari kebudayaan Islam. Di Indoonesia kata

Masjid dilapalkan berbeda-beda di berbagai daerah, seperti mesigit (Jawa

Tengah); Masigit (Jawa Barat); meuseugit (Aceh); dan mesigi (Sulawesi Selatan).

Sedangkan bangunan masjid atau bangunan tempat shalat yang tidak dipakai

untuk shalat jumat, umumnya tidak terlalu besar, banyak nama disebut di berbagai

dareah misalnya meunasah (Aceh); surau (minang); langgar (Jawa); tajuk (Sunda);

bale (Banten); langgara (Sulawesi); Suro atau mandersa (Batak); dan santren

(Lombok). Selain itu dikenal pula dengan istilah mushalla sebagai tempat shalat

sehari-hari dn tidak dipakai shalat jumat. Disamping itu terdapat pula istilah

mashad yaitu masjid makam karena masjid yang dibangun di kompleks makam,

dan masjid madrasah atau masjid pesantren.(Andrew Petersen, 1996: 113).

Secara umum fungsi masjid di Indonesia tidaklah jauh berbeda dengan

fungsi masjid di belahan bumi lainnya. Selain digunakan sebagai tempat shalat,

3
masjid juga seringkali digunakan sebagai tempat pengajian (ceramah keagamaan),

peringatan-peringatan hari besar agama Islam, kegiatan dak’wah dan pendidikan

bahkan pelaksanaan akad nikah akhir-akhir ini sering dilakukan di masjid. Masjid

juga berfungsi sebagai pusat kebudayaan tempat umat Islam belajar dan mengajar,

berpikir dan berdzikir, berdiskusi dan bermusyawarah (Faridl 1984, 42).

Bangunan masjid merupakan salah satu bentuk dari wujud penampilan

budaya Islam. Masjid muncul sebagai bangunan religi yang merupakan perpaduan

dari fungsi bangunan sebagai unsur arsitektur Islam yang berpedoman pada

kekuatan-kekuatan yang diperintahkan oleh Allah SWT. sebagai tempat

pelaksanaan ajaran Islam, dan bangunan sebagai ungkapan tertinggi dari nilai

luhur suatu kehidupan manusia yang juga melaksanakan ajaran Islam.

Di dalam Al-Quran dan Al Hadist sendiri tidak ditemukan ketentuan

tentang bagaimana bentuk masjid. Hal ini justru menunjukkan bahwa bentuk

bangunan dan penampilan masjid dapat beraneka ragam sesuai dengan bentuk

ekspresi kebudayaan masyarakat Islam pada masanya (Prihantoro 1994, 9). Selain

itu, selera dan persepsi serta model atau langgam sering ikut mempengaruhi

bentuk masjid (Anom dkk. 1999, 158). Bentuk tata ruang masjid adalah

tersedianya sebuah ruangan besar untuk menjalankan shalat. Biasanya dalam

sebuah masjid terdapat sebuah ruangan yang dinamakan mihrab. Di sebelah

kanannya di dalam masjid besar terdapat sebuah mimbar, tempat

menyampaikan khutbah jum’at. Selain itu, terdapat ruang pelengkap yang

terbuka semacam teras atau serambi dan dilengkapi dengan sarana wudhu (Glasse

1999, 263).

4
Berbicara mengenai karakteristik berarti membahas mengenai ciri khas

apa yang paling dominan dalam sebuah bangunan. Pengertian karakter secara

umum adalah salah satu atribut atau ciri-ciri yang membuat objek dapat

dibedakan, Dengan demikian, karakter dapat digunakan untuk memberikan

gambaran atau deskripsi baik fisik maupun nonfisik (tergantung kandungan atau

muatan isi objek) dengan penekanan terhadap sifat-sifat, ciri-ciri yang spesifik dan

khusus, yang membuat objek tersebut dapat dikenali dengan mudah (Suryasari

2003, 154). Menurut Smardon karakter arsitektur sebuah bangunan mempunyai

ciri-ciri dan elemen-elemen arsitekur tersebut memiliki kualitas khusus yang dapat

dibedakan 7 dari objek atau bangunan lain. Karakteristik arsitektur sebuah

bangunan dapat dikenali dengan mudah karena memiliki pola yang dapat dibaca

dan mampu menimbulkan kesan. Karakteristik tersebut ditunjukkan dengan ciri

khas yang ditekankan pada ciri-ciri fisik yang dapat dengan mudah dilihat secara

visual. Karakteristik harus dapat menggambarkan atau mencerminkan arsitektur

sebuah bangunan yang dapat dipahami dalam bentuk verbal maupun piktorial

(Suryasari 2003, 154).

Wilayah Morowali atau tepatnya desa Marsoleh, kecamatan Bungku

tengah merupakan salah satu tempat persinggahan Syekh Maulana Ibrahim, dalam

pengembaraanya menyebarkan islam di Desa Marsoleh, diketahuai dari beberapa

pustaka dan observasi awal dalam penelitian islam di Desa terdapat temuan

makam dan Masjid Tua Bungku serta ditemukan Istana Kerjaan Bungku atau.

Temuan Arkeologis yang dimaksud adalah makam Abduk Rabbi Raja ke XIX dan

bangunan Masjid yang dimaksud Adalah Masjid Tua Bungku.

5
Dipilihnya masjid Tua Bungku sebagai objek dalam penelitian ini, didasari

atas pertimbangan: Pertama, Masjid Tua Bungku diketahui sebagai produk

budaya dimasa Raja Bungku yang bernama Moh. Baba; Kedua, Masjid Tua

diketahui hadir sebagai masjid kedua di pusat pemerintahan Kerajaan Bungku,

Ketiga, Masjid Tua Bungku diketahui memiliki ciri arsitektur yang unik. Selain

unik, arsitektur masjid Tua Bungku juga sarat akan makna filosofi.

Namun dalam pengkajian studi tentang karakteristik arsitektur masjid Tua

Bungku dalam penelitian ini lebih pada kajian studi arkeologi arsitektur.

Mengingat dalam penelitian ini, yang menjadi skala prioritas penulis lebih

ditekankan dan di khususkan pada ciri arsitektur masjidnya. Meski diketahui

bahwa dalam bidang ilmu arkeologi, pada dasarnya masjid adalah tinggalan

arkeologi Islam, namun pada prinsipnya masjid adalah kajian arkeologi arsitektur.

Olehnya itu penelitian ini lebih pada penerapan kajian arkeologi arsitektur.

Secara karakter arsitektur masjid Tua Bungku sampai saat ini masih dapat

diamati mengenai sisi kekunoannya, baik dari bahan material yang digunakan

maupun teknik atau teknologi yang membentuk konstruksi bangunannya. Karena

ciri arsitektur masjid Tua Bungku sampai saat ini masih menyajikan nuansa

arsitektur masjid kuna/kuno. Meskipun sebagian dari bahan atau atribut penyusun

masjid Tua Bungku sudah menggunakan bahan material produksi moderen.

Namun, ciri khas arsitektur yang dimiliki masjid Tua Bungku, menurut penulis

memiliki makna berluansa Islami dari ciri arsitektur, khususnya masjid yang ada

di Bungku Tengah. Karena hal itu, penulis memaknai arsitektur Masjid Tua

Bungku sebagai ciri arsitektur masjid yang unik dan memiliki makna tertentu.

6
Sebagai ciri arsitektur yang unik, maka tergugah hati penulis untuk mengangkat

judul sebagai berikut:

“Karakteristik Arsitektur Masjid Tua Bungku di Desa Maersoleh Kecamatan

Bungku Tengah Kabupaten Morowali.”

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

1. Bagaimana Karakteristik Arsitektur Masjid Tua Bungku, Kecamatan

Bungku Tengah, Kabupaten Morowali?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik arsitektur

Masjid Tua Bungku, Kecamatan Bungku Tengan, Kabupaten Morowali?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui karakteristik Arsitektur Masjid Tua Bungku,

Kecamatan Bungku Tengan, Kabupaten Morowali.

2. Untuk menjelaskan faktor-faktor yang pengaruhi karakteristik arsitektur,

Kecamatan Bungku Tengan, Kabupaten Morowali.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini manfaat teoritis dan prkatis serta Manfaat bagi yang

berkepentingan terhadapan tinggalan islam di Desa Marsoleh:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang dapat disumbangkan dalam penelitian ini, yaitu

pengetahuan mengenai karakteristik arsitektur Masjid Tua Bungku sebagai salah

satu tinggalan arkeologi pada masa Kerajaan Bungku. Serta pengetahuan

7
arkeologi dalam bingkai kajian arkeologi arsitektur terhadap fenomena budaya

yang diturunkan dalam seni bangunan (masjid). Khususnya bentuk arsitektur pada

bangunan Masjid Tua Bungku yang ada di Desa Marsoleh, Kecamatan Bungku

Tengah, Kabupaten Morowali. Pada akhirnya penelitian ini, bisa memberi

sumbangsih dalam pengembangan ilmu arkeologi dengan mengembangkan kajian

arkeologi arsitektur, khususnya pada tinggalan arkeologi yang berwujud

monumental (masjid).

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, dapat dijadikan sebagai

referensi untuk acuan bagi peneliti selanjutnya terkait dengan arsitektur Masjid

Tua Bungku. Untuk melihat lebih dalam lagi mengenai morfologi dan gaya

arsitektur ataupun unsur lain yang mempengaruhi arsitektur Masjid Tua Bungku

yang ada di Desa Marsoleh, Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali.

sebagai ciri bangunan masjid yang unik dan fenomenal.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PIKIR.

2.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap masjid sudah banyak dilakukan di Indonesia dengan

beragam bentuk penelitian. Namun dalam penelitian ini, ada beberapa tulisan

8
yang dirujuk oleh penulisa karena dianggap relevan dengan penelitian yang

dilakukan diantaranya:

Penelitian pertama berjudul “Karakteristik Masjid Keramat Banua Halat

Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan”, yaitu penelitian yang dilakukan di

Kalimantan selatan, skripis yang di buat oleh Mahasiswa Fakhriah Cynthia (2007)

Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, dimana dalam

penelitiannya Dalam tulisan ini, diuraikan mengenai ciri khas arsitektur Masjid

Keramat Banua Halat sebagai ciri pembeda dengan ciri arsitektur masjid lainnya.

Serta dilakukan identifikasi dan analisis mengenai ciri kekunoan yang terdapat

pada arsitektur masjid Keramat Banua Halat baik dari sisi arsitektural, dekorasi,

konstruksi, serta bahan material yang digunakan. Selain mengamati sisi

arsitekturnya, juga dilakukan pengamatan seperti pengaruh faktor alam, aspek

sosial, agama serta penguasaan teknologi sebagai faktor yang mempengaruhi

karakteristik masjid Keramat Banua Halat. Simpulan dari penelitian tersebut,

diketahui bahwa karakteristik arsitektur masjid Keramat Banua Halat yang paling

menonjol dengan masjid lainnya, adalah bentuk konstruksi atapnya yang

berbentuk atap tumpang tiga dengan bentuk yang sangat mengerucut pada bagian

atasnya. Kesamaan penelitian ini, dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis

diantaranya memiliki kemiripan judul yang hampir sama, permasalahan penelitian

yang diajukan serta tujuan penelitian yang ingin dicapai memiliki kesamaan.

Namun yang membedakan diantaranya tempat dan objek penelitian serta

penggunaan metode analisis yang digunakan berbeda. Dimana penelitian yang

9
dirujuk menggunakan metode analisis kontekstual sedangkan penelitian yang

dilakukan penulis sendiri menggunakan analisis morfologi, teknologi dan gaya.

Selanjutnya dengan judul Penelitian Sebaran Sumber Daya Arkeologi Di

Kabupaten Morowali: Gambaran Toleransi Masyarakat Masa Lalu, Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi tinggalan sumber daya arkeologi

dan sebarannya di wilayah Kabupaten Morowali. yang di lakukan Irfanuddin

Wahid Marzuki (2011) Selain itu, untuk melihat bagaimana tinggalan sumber

daya arkeologi dapat menggambarkan adanya toleransi kerukunan dalam

masyarakat Morowali pada masa lampau. Penelitian yang dilakukan bersifat

deskriptif analitis, yaitu memberikan gambaran data arkeologi yang ditemukan,

baik dalam kerangka waktu, bentuk, maupun keruangan serta mengungkapkan

hubungan di antara variabel penelitian (Puslitbang Arkenas 2008, 20). Penelitian

ini menggunakan penalaran induktif, yaitu penelitian yang berdasarkan pada

pengamatan, kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum atau

generalisasi empiris (Tanudirdjo 1989, 34). Dalam penelitian yang dilakukan pada

situs islam Masjid Tua Bungku lebih khusus kepenelitian Masjid memiliki

kesamaan yaitu memiliki metode yang sama yaitu Penelitian yang dilakukan

bersifat deskriptif analitis, yaitu memberikan gambaran data arkeologi yang

ditemukan, baik dalam kerangka waktu, bentuk, maupun keruangan serta

mengungkapkan hubungan di antara variabel penelitian (Puslitbang Arkenas 2008,

20).

Dalam penelitian arkeologi dengan judul “karesteristik arsitektur Masjid

Kuno dan perkembagan islam di Maluku” tentang kajian Masjid kuno yang

10
terdapat di Indonesia Khususnya di Maluku yang di lakukan pada tahnu (2013),

oleh Wuri Handoko yaitu, yang didalam penelitiannya juga membahas mengenai

karakteristik arsitektur Masjid Kuno juga dapat memberikan gambaran, darimana

pengaruh Islam berasal. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan

data utama berupa deskripsi arsitektur masjid untuk melihat perkembangan Islam

di wilayah Maluku. Selain itu juga melihat karakteristik masjid kuno di Maluku,

yang dapat memperlihatkan ciri spesifik masjid kuno di Maluku, sekaligus

kemungkinan makna simbolik dari karakteristik masjid itu sendiri. Dalam

penelitian yang dilakukan pada situs islam Masjid Tua Bungku memiliki

kesamaan yaitu melihat Karakteristik Arsitektur Masjid Tua untuk mencari tahu

karaktersti arsitektur Masjid, dalamana dalam arsitektur Masjid memiliki

kesamaan yaitu atap bertingkat. gaya arsitektur bangunan Masjid yang masih

terlihat seperti bertingkat dan semakin tinggi semakin kecil dan di atas atap masjid

tersebut terdapat huruf Alif, memiliki atap tumpang tiga sampai lima, makin ke

atas makin kecil (Graf, 1963; Pijper, 1984, dalam Dijk, 2009: 52,58).

Penelitian dengan judul “Morfologi Masjid Kuno Aji Amir Hasanuddin

Tenggarong Kutai Kartanegara”. yang dilakukan Abu Muslim (2015) dijadikan

sebagai tulisan jurnal oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar,

yang mengangkat judul Dalam tulisan ini, diuraikan tentang ciri morfologi,

bahan, teknologi, gaya arsitektur serta fungsi bangunannya. Tulisan ini juga

memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan. Sehingga langkah

metodologi yang digunakan, juga menjdi acuan dalam penelitian ini. Kesamaan

tulisan ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis yakni terletak pada

11
telaah tentang arsitektur masjid. Namun penelitian yang dilakukan oleh Abu

Muslim lebih pada pengungkapan ciri morfologi. Sedangkan penelitian yang

dilakukan penulis lebih pada pengungkapan karakteristik beserta faktor yang

mempengaruhi karakteristik arsitektur pada masjid. Khususnya karakteristik

arsitektur yang terdapat pada masjid Tua Bungku.

Penelitian selanjutnya berjudul meneliti tentang “Karakteristik Arsitektur

Masjid Quba Baadia di Kelurahan Baadia Kecamatan Murhum Kota

Baubau”.yang dilakukan oleh Udin (2018) Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Halu oleo yang dengan bentuk penelitian kualitatif dengan jenis

penerapan deskriptif−analitis dan interpretatif. Model penerapan adalah penalaran

induktif. Dalam pengembangan deskripsi, mengambarkan secara fakultas

mengenai konsep penyusun arsitektur masjid Quba Baadia. Sementara dalam

pengembangan analisis, mengorganisir semua data yang dikumpulkan baik data

primer maupun data sekunder untuk dianalisis lebih lanjut langka interpertasi

yang diambil dalam penelitian ini, sebagai langka penafsiran terhadap

karakteristik yang terdapat pada bangunan masjid Quba Baadia sebagai faktor

yang mempengaruhi ciri arsitekturnya, berdasarkan pengembangan hasil analisis

dan teori yang berkenaan dengan teori arsitektur, utamanya teori yang

menjelaskan tentang arsitektur rumah tradisional Buton. Dalam penelitian yang

dilakukan pada Masjid Tua Bungku yaitu mencoba menfasirkan karakteristik dan

member gamaran aksitektur yang terkandung pada Masjid Tua Bungku, dengan

Metode penelitian yang sama mengkaji Morfologi Masjid.

2.2 Landasan Teori

12
Adapun pandangan teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori

arkeologi dengan pendekatan arsitektur. Teori arkeologi yang dimaksud di sini

adalah teori Sejarah Budaya. Sedangkan pendekatan arsitektur adalah pernyataan-

pernyataan teoritis yang berkaitan dengan disiplin ilmu arsitektur yang dijadikan

sebagai perangkap teori. Guna untuk memahami elemen-elemen arsitektur yang

terdapat pada masjid Masjid Tua Bungku, yang menjadi ciri pembeda dengan

masjid lainnya. Berikut ini akan diuraikan beberapa poin sub teori diantaranya

teori sejarah budaya, teori arsitektur, dan konsep masjid.

2.2.1 Teori Sejarah Budaya

Pada dasarnaya bidang kajian ilmu arkeologi tidak terlepas dengan

tinggalan kebudayaan manusia masa lalu, baik benda budaya yang sudah

ditinggalkan maupun yang masih digunakan hingga sekarang. Menurut Binford

(1972), arkeologi mempelajari kebudayaan masyarakat masa lalu melalui

peninggalan yang terbatas. Oleh karena itu, untuk mengungkap hal tersebut, para

arkeolog harus merumuskan tujuan penelitiannya ke dalam tiga pokok: (1)

rekonstruksi sejarah kebudayaan, (2) menyusun kembali atau rekonstruksi cara-

cara hidup masyarakat masa lalu dan (3) memusatkan perhatian pada proses dan

berusaha memahami proses perubahan budaya, sehingga dapat menjelaskan

bagaimana dan mengapa kebudayaan masa lalu mengalami perubahan bentuk,

arah dan kecepatan perkembangannya (Binford dalam Sukendar, ddk.

1999/2000:8).

Menurut Indiastuti (2002), arkeologi sebagai disiplin ilmu mempunyai

karakteristik metodologi yang berbeda dengan disiplin ilmu lainnya. Untuk

13
sampai pada tujuannya, ilmu arkeologi mengandalkan data masa lampau yang

secara kualitatif dan kuntitatif sangat terbatas. Data-data tersebut berupa artefak,

struktur, bangunan, kawasan, dan situs. Semua tinggalan ini merupakan garapan

manusia di masa lalu berupa budaya materi yang kemudian diteliti dan dianalisa

dengan menggunakan berbagai macam pendekatan teori dan metode, yang pada

akhirnya digunakan untuk merekonstruksi sejarah budaya masa lalu (Indiastuti

dalam Hayunira, 2013:14-15).

Sejarah Budaya (cultural history) yang didukung oleh Arkeologi

Tradisional (traditional archaelogy), adalah paradigma yang berkembang pada

fase perkembangan arkeologi yang pertama. Dimulai dengan pencatatan

peninggalan-peninggalan kuno yang dilakukan oleh perorangan. Pengembangan

data yang dikembangkan, baru pada pengembangan data deskripsi terhadap

tinggalan arkeologi (Sukendar, ddk. 1999/2000:7-9).

Menurut Sumantri (2004), istilah sejarah budaya dapat diartikan sebagai

deskripsi tentang budaya-budaya manusia masa lampau yang terpendam selama

ribuan tahun. (Sumantri dalam Hayunira, 2013:15). Hal ini dimaksutkan, bahwa

penelitian deskriptif yang dilakukan dalam arkeologi dapat memberikan gambaran

tentang data arkeologi yang ada, baik dalam kerangka waktu, bentuk, maupun

ruang atau bermaksud menunjukan adanya hubungan antar variabel (Sukendar,

ddk. 1999/2000:10).

Namun, yang menjadi karakteristik dari pandangan sejarah budaya, yaitu

lebih pada pandangan deskriptif. Dari deskriptif, pandangan sejarah budaya

mampu menggambarkan data arkeologi secara faktual. Sehingga kebanyakan

14
kegiatan sejarah budaya lebih bersifat deskiptif dengan mengakumulasikan data-

data arkeologi secara rinci dalam kerangka spasial dan temporalis. Kegiatan

seperti ini dipandang sebagai langka dasar untuk mengamati bagaimana budaya

tertentu telah berubah dan berkembang sepanjang waktu (Hayunira, 2013:15).

Oleh karena itu, deskripsi sejarah budaya menurut Sumantri (2004), adalah sebuah

langka awal yang penting dalam upaya yang berhubungan dengan upaya

pengungkapan cara-cara hidup atau proses perubahan kebudayaan suatu

masyarakat tertentu (Sumantri dalam Hayunira, 2013:15-16).

2.2.2 Teori Arsitektur

Menurut Sukendar, dkk. (1999/2000:83), ada dua pengertian arsitektur

yaitu pengertian artsitektur secara sederhana dan pengertian arsitektur secara luas.

Pengertian yang pertama adalah pengertian arsitektur sebagai seni bangunan.

Sementara pengertian yang kedua adalah pengertian arsitektur sebagai seni dan

proses membangun yang disertai kemampuan tenaga dan intelektual tinggi baik

bangunan keagamaan atapun bangunan umum.

Menurut Sumalyo ( 2000:7), Arsitektur adalah hasil dari proses

perancangan dan pengembangan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam

pemenuhan kebutuhan ruang untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Lebih lanjut

dijelaskan, arsitektur adalah bagian dari kebudayaan manusia yang erat kaitannya

dengan kehidupan manusia yang meliputi seni, teknik, ruang, geografi, dan

sejarah. Dari segi seni, arsitektur adalah sistem mendirikan bangunan yang

menyangkut aspek dekorasi dan keindahan. Dari segi teknik, arsitektur adalah

sistem mendirikan bangunan termasuk proses perancangan, konstruksi, dan

15
struktur. Dipandang dari segi ruang, arsitektur adalah pemenuhan kebutuhan

ruang oleh manusia atau kelompok manusia untuk melaksanakan aktivitas

tertentu. Dari segi sejarah, kebudayaan dan geografi, arsitektur adalah ungkapan

fisik dan peninggalan budaya dari suatu masyarakat dalam batasan tempat dan

waktu tertentu (Sumalyo dalam Cynthia, 2007:1-2).

2.2.3 Konsep Masjid

Menurut Rochym (1983) masjid sebagai salah satu unsur arsitektur Islam

dibangun dengan bentuk, gaya, corak dan penampilannya dari setiap kurun waktu,

setiap daerah, lingkungan kehidupan dengan adat kebiasaannya serta latar

belakang manusia yang menciptakannya (Rochym dalam Cynthia (2007:2).

Secara prinsip masjid adalah tempat membina umat, untuk itu masjid dilengkapi

dengan fasilitas sesuai dengan keperluan pada zamannya−siapa yang mendirikan

dan di lingkungan mana masjid itu dibangun (Juliadi, 2007:10).

Masjid dapat dianggap sebagai ikon atau ciri utama sebuah situs Kerajaan

Islam, karena dalam tradisi Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW pendirian

kerajaan Islam senantiasa didahului dengan pembangunan masjid yang dianggap

sebagai pusat kegiatan dalam segala aspek kehidupan umat (Salam, 1960: 19;

Gazalba, 1966, dalam Mahmud, 2003: 40). Dengan demikian masjid adalah

simbol utama keberagamaan umat Islam, menjadi pusat orientasi dan sumber

utama untuk memperoleh kebajikan dan pengetahuan dan menjadi bagian inspirasi

manusia untuk memperoleh segala kemuliaan sekaligus tempat mensucikan diri.

Masjid Secara bahasa, istilah masjid berasal dari bahasa Arab “sajada-

yasjudu –sujudan” yang berarti meletakkan kening di atas permukaan bumi untuk

16
beribadah kepada Allah SWT. Dari kata sajada terbentuk kata “Masjid” yang

artinya tempat sujud. Pengertian tempat sujud di sini tidak mengacu pada

bangunannya apakah beratap atau tidak, terbatas atau tidak, yang terpenting

adalah tempat sujud. Di dalam al-Quran terdapat 92 kata sujud, sajada dan

berbagai bentukannya. Sedangkan istilah masjid (tunggal) disebut 22 kali dan

masajid (jamak) 6 kali di dalam al- Quran. Menurut A. Rochym (1983: 4), pada

prinsipnya tujuan utama pendirian masjid sejak awal mula terjadinya sampai saat

ini tetap tak berubah, yakni tempat untuk melaksanakan ajaran Islam secara

keseluruhan, dari peribadahan umum, sampai shalat Jumat, juga dakwah, dan

tempat suci untuk mempertemukan diri dengan Dzat Yang Maha Agung. Dan

Masjid yang pertama dibangun pada masa awal pembentukan masyarakat Islam

adalah Masjid Nabawi, yang memiliki peran serta fungsi sebagai tempat ibadah

(Shalat dan zikir), tempat konsultasi dan komunikasi mengenai ekonomi, sosial,

budaya pendidikan, militer serta tempat pengadilan (Yulianto Sumalyo, 2006:1).

Secara umum fungsi masjid di Indonesia tidaklah jauh berbeda dengan

fungsi masjid di belahan bumi lainnya. Selain digunakan sebagai tempat shalat,

masjid juga seringkali digunakan sebagai tempat pengajian (ceramah keagamaan),

peringatan-peringatan hari besar agama Islam, kegiatan dak’wah dan pendidikan

bahkan pelaksanaan akad nikah akhir-akhir ini sering dilakukan di masjid. Masjid

juga berfungsi sebagai pusat kebudayaan tempat umat Islam belajar dan mengajar,

berpikir dan berdzikir, berdiskusi dan bermusyawarah (Faridl 1984, 42).

Adapun fungsi masjid itu sendiri seperti yang tercantum dalam al-Qur’an

adalah:

17
َ ‫ح لَ ٍهُ فِي َها بِالغُد ٍُِو َواآل‬
ٍ‫صا ِل‬ َ ُ‫ّللاُ أَنٍ تُرفَ ٍَع َويُذك ٍََر فِي َها اس ُم ٍهُ ي‬
ٍُ ‫س ِب‬ ٍَ ‫ِن‬ٍَ ‫فِي بُيُوتٍ أَذ‬

َ ‫اء‬
ٍ‫الزكَا ِة‬ ٍِ َ ‫صال ٍِة َوإِيت‬ ٍِ َ‫ّللاِ َوإِق‬
َ ‫ام ال‬ ٍَ ‫ارةٍ َول بَيعٍ عَنٍ ذِك ٍِر‬ ِ ‫( ِر َجالٍ ٍَل تُل ِه‬36)
َ ‫يهمٍ تِ َج‬

(37)‫ار‬
ٍُ ‫ص‬
َ ‫وب َواألب‬ ٍَ ُ‫يَ َخاف‬
ٍُ َ‫ون يَو ًما تَت َ َقل‬
ٍُ ُ‫ب فِي ٍِه القُل‬

Artinya:

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan

untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi

dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan

tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan

sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu

hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS. An-

Nur:36-37).

Sementara itu perintah untuk mendirikan masjid sesuai hadist Nabi Muhammad

SAW, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang berbunyi “man

banalillahi masjidan banallahu baytan filjanna”, yang artinya: Barang siapa

membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangunkan baginya

rumah di surga (Juliadi, 2007:5, Wiryoprawiro, 1986:3). Namun kitab suci Al-

Quran dan Al-Hadist tidak menegaskan lebih rinci mengenai aturan-aturan teknis,

bagaimana bentuk dan cara mendirikan masjid (Sukendar, dkk. 1999/2000:94).

Bangunan masjid merupakan salah satu bentuk dari wujud penampilan

budaya Islam. Masjid muncul sebagai bangunan religi yang merupakan perpaduan

dari fungsi bangunan sebagai unsur arsitektur Islam yang berpedoman pada

18
kekuatan-kekuatan yang diperintahkan oleh Allah SWT. sebagai tempat

pelaksanaan ajaran Islam, dan bangunan sebagai ungkapan tertinggi dari nilai

luhur suatu kehidupan manusia yang juga melaksanakan ajaran Islam.

1.3 Kerangka Pikir

kerangka pikir adalah pengambaran atau penentuan sub-sub poin penting

yang digambarkan dalam bentuk skema sesuai dengan arah penelitian, yang bisa

menjawab permasalahan serta capain tujuan penelitian yang diharapkan. Dalam

penelitian masjid Tua Bungku, skema kerangka pikir tersusun sebagai berikut:

Adapun penjelasan tentang bagan kerangka pikir dapat dijelaskan sebagai

berikut; Pada bagian poin yang Pertama, menerangkan tentang objek dan lokasi

penelitian. Poin yang Kedua, adalah bentuk pandangan teoritis yang terdiri dari

teori arkeologi dan teori arsitektur. Poin Ketiga Teori Arkeologi yang dimaksud

adalah teori sejarah budaya, dijadikan sebagai acuan dan tumpuan dalam

penelitian untuk memahami kebudayaan materi pada bangunan masjid Tua

Bungku sebagai data arkeologi. Sementara pendekatan teori Arsitektur, dijadikan

sebagai perangkap teori dalam penelitian untuk memahami elemen-elemen atau

komponen penyusun arsitektur masjid Tua Bungku secara menyeluruh.

Dari komparasi teori Arkeologi dan teori Arsitektur, maka dapat diuraikan

seperti poin yang ketiga dan yang keempat. Poin yang Ketiga, diuraikan

mengenai ciri arsitektur masjid Masjid Tua yang terdiri atas bentuk dan gaya. Dari

bentuk, dapat diuraikan seperti konstruksi bentuk masjid Tua Bungku seperti

konstruksi bentuk denah masjid, konstruksi bentuk ruang, konstruksi bentuk tubuh

19
dan konstruksi bentuk atap. Sementara untuk gaya, diuraikan mengenai gaya

arsitektur yang dimiliki oleh masjid Tua Bungku.

Sedangkan poin yang Keempat, adalah langka yang diambil untuk

mengamati dan menelusuri sumber data mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi arsitektur masjid Tua Bungku, seperti pengaruh arsitektur lokal

dan pengaruh makna filosofi oleh masyarakat Bungku Tengah terhadap masjid

Tua Bungku. Selanjutnya, untuk mensistematiskan pengetahun antara poin yang

ketiga dan yang keempat, maka pada poin yang kelima, digunakan kacamata

analisis visual dengan menerapkan tiga bentuk analisis yakni analisis morfologi,

teknologi dan gaya. Dari pendalaman tiga analisia ini, diperoleh kesimpulan

penelitian yang dirumusankan pada poin yang ketujuh, yakni pengetahuan

mengenai karakteristik arsitektur masjid Tua Bungku yang ada di Desa Marsoleh,

Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali sebagai ciri pembeda dengan

ciri arsitektur masjid lainnya.

20
(1)

Banguna Masjid Tua Bungku, Desa Marsoleh,


Kec. Bungku Tengah, Kab. Morowali

(2) (3)
Teori Arkeologi Teori Sejarah
dengan Pendekatan Budaya
Arsitektur.
Arsitektur
(4) (5)

Ciri Arsitektur Faktor yang Mepengaruhi


Masjid Tua Bungku Arsitektur Masjid Tua Bungku

(6)
Analisis Morfologi,
Teknologi dan Gaya

(7)

Karakteristik Arsitektur Masjid Tua


Bungku yang ada di Desa
Marsoleh, Kec. Bungku Tengah,
Kab. Norowali.

Bagan Skema Kerangka Pikir

21
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian arkeologi dilakukan untuk melihat

kesesuaian antara teori dan praktek yang dilakukan pada masjid Tua Bungku di

Desa Marsoleh, Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali. Bentuk

penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan jenis penerapan

deskriptif−analitis dan interpretatif. Model penerapan ini adalah penalaran

induktif. Dalam pengembangan deskripsi, penulis mengambarkan secara faktual

mengenai konsep penyusun arsitektur masjid Tua Bungku. Sementara dalam

pengembangan analisis, penulis mengorganisir semua data yang dikumpulkan

baik data primer maupun data sekunder untuk dianalisis lebih lanjut.

`3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan Desa Marsoleh yang berada di kompleks Masjid

Tua Bungku Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali, Lokasi situs yang

berada 70 meter dari dermaga Bungku.

3.3 Sumber Data

Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, terdiri dari dua

sumber yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. Data Primer, adalah

data yang dikumpulkan oleh penulis lansung dari lapangan penelitian melalui

pengamatan observasi dan perekaman data yang dilakukan pada masjid Tua

Bungku. Sedangkan Data Sekunder, adalah data kepustakaan yang dikumpulkan

22
yang dianggap relevan dengan penelitian yang dilakukan berupa buku, hasil

penelitian beserta susmber yang ada kaitannya dengan masjid Tua Bungku.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan atas dua bentuk yang terdiri dari observasi

dan perekaman data.

3.4.1 Observasi

Observasi adalah pengamatan lansung terhadap objek yang di teliti melalui

metode survey. Pengamatan ini, dilakukan langsung pada masjid Tua Bungku

yang ada di Desa Marsoleh , Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali.

Pada tahap ini, penulis turun langsung di lapanagan dalam upaya pengamatan

secara seksama berkenaan dengan objek yang diteliti. Guna untuk lebih

mengatahui ciri arsitektur masjid Tua Bungku.

3.4.2 Perekaman Data

Perekaman data adalah proses aktif penulis dalam mengumpulkan semua

data yang dibutuhkan selama proses penelitian berlansung. Adapun perekamana

data dalam penelitian dilakukan atas tiga tahapan diantaranya pencatatan,

pendokumentasian, dan wawancara.

3.4.2.1. Studi Pustaka

Untuk mengumpulkan, literatur, jurnal dan buku yang berhubungan

dengan objek penelitian.

3.4.2.2. Survey

23
Pencatatan adalah proses aktif penulis dilapangan dalam perekaman data

tertulis baik data yang diambil lansung dari lapangan penelitian (objek yang

diteliti) maupun data yang diambil di luar objek penelitian. Data yang diambil dari

objek penelitian adalah data arkeologis yang tidak lain adalah atribut-atribut

penyusun Masjid Tua Bungku seperti bahan material yang digunakan, bentuk

konstruksi, serta bentuk denah. Sedangkan data yang diambil di luar objek adalah

bentuk data wawancara. Serta Pendokumentasian adalah bentuk perekaman data

fisual yang diambil melalui kamera sebagai bukti otentik dalam penelitian yang

dilakukan pada masjid Tua Bungku yang ada di Desa Marsoleh , Kecamatan

Bungku Tengah, Kabupaten Morowali.

3.4.2.3. Wawancara

Wawancara adalah bentuk penjaringan data dalam bentuk oral mengenai

data kesejarahan masjid Tua Bungku melalui sumber sejarah lisan ataupun tradisi

lisan. Adapun pemilihan informan dalam penelitian ini, menggunakan teknik

purposive sampling. Dimana informan dipilih dengan sengaja, atas pertimbangan

bahwa yang bersangkutan mengetahui dan bersedia memberikan keterangan atau

informasi terkait dengan permasalahan penelitian yang diajukan. Mengenai bentuk

wawancara yang digunakan dalam penelitian ini, adalah bentuk wawancara

terbuka dengan tidak mengunakan panduan tertulis (kuisioner). Dengan tujuan

agar informan yang diwawancara dapat lebih mendalam dan terfokus pada objek

penelitian.

3.5 Teknik Analisis Data

24
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu menggunakan

metode analisis arsitektur yang terdiri dari analisis morfologi, teknologi dan gaya.

Dari penerapan tiga model analisis ini, diperoleh gambaran mengenai ciri khas

arsitektur masjid Tua bungku. Selanjutnya langka interpertasi yang diambil dalam

penelitian ini, sebagai langka penafsiran terhadap karakteristik yang terdapat pada

bangunan masjid Tua Bungku sebagai faktor yang mempengaruhi ciri

arsitekturnya, berdasarkan pengembangan hasil analisis dan teori yang berkenaan

dengan teori arsitektur.

Analisis data adalah proses yang dilakukan peneliti dalam memilah-milah

data yang sudah dikumpulkan dan mengelompokkan masing-masing

permasalahan yang sudah ditemukan kedalam permasalahan pokok, untuk

menjawab permaslahan penelitian yang diajukan dalam penelitian. Dan pada

akhirnya, penulis bisa menginterpretasi mengenai unsur-unsur yang

mempengaruhi bentuk dan gaya arsitektur masjid Tua Bungku yang ada di Desa

Marsoleh , Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali. Teknik analisis

data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu mengunakan teknik analisis visual

yang terdiri dari analisis morfologi, teknologi dan analisis gaya. Berikut ini ulasan

dari tiga analisis yang digunakan.

3.5.1 Analisis Visual

3.5.1.1 Analisis Morfologi

Analisis Morfologi, yang dimaksudkan disini adalah bukan sebagai istilah

yang digunakan dalam ilmu bahasa. Morfologi yang dimaksud adalah bentuk-

bentuk dari setiap bagian struktur bangunan Masjid yang diamati satu per satu

25
dengan berusaha mengungkap bahan, teknologi dan gaya serta fungsinya.

digunakan untuk mengamati semua bentuk fisik masjid Tua Bungku yang

meliputi tubuh, dan atap. Analisis bentuk Masjid Tua Bungku, variabel yang

diamati adalah bentuk fondasi. Sedangkan analisis bentuk tubuh Masjid Tua

Bungku, variabel yang diamati adalah bentuk dinding beserta pintu dan jendela.

Sementara analisis bentuk atap masjid Tua Bungku, variabel yang diamati adalah

bentuk konstruksi rangka bangunannya. Dari tiga fase ini, diperoleh gambaran

mengenai denah, ukuran, dan arah hadap.

3.5.1.2 Analisis Teknologi

Analisis teknologi yang diterapkan pada Masjid Tua Bungku yaitu teknik

pembuatan (kontruksi) dan bahan yang digunakan. Pada umumnya bahan yang

digunakan merupakan batu, bata, kayu.

3.5.1.3 Analisis Stilistik

Selanjutnya analisis Stilistik, digunakan untuk mengamati Stilistik

arsitektur masjid Tua Bungku secara keseluruhan, dengan tujuan untuk

mengetahui unsur yang mempengaruhi karakteristik arsitektur masjid Tua Bungku

yang terdiri dari unsur pengaruh arsitektur lokal dan unsur filosofi oleh

masyarakat Bungku.

Dari hasil analisis data yang didapatkan pada masjid Tua Bungku,

selanjutnya dijadikan pertimbangan dan langka dasar untuk menginterpretasikan

ciri arsitektur yang dimiliki oleh masjid Tua Bungu, dengan tujuan untuk

memperoleh satu kesimpulan mengenai karakteristik arsitektur yang dimiliki oleh

26
masjid Tua Bungku yang ada di Desa Marsoleh, Kecamatan Bungku Tengah,

Kabupaten Morowali.

3.6 Interpertasi

Metode ini biasanya disebut dengan metode penafsiran atau eksplanasi

data. Menurut Graaf dan Pijper seperti dikutip Dijk mengatakan prototipe masjid

ditemukan dimana- mana, dari Aceh hingga Ambon (Maluku). Jadi pada tahapan

ini, semua data yang sudah dianalisis akan disinergikan dengan teori yang

digunakan. Guna memperoleh kesimpulan mengenai karakteristik arsitektur yang

terdapat pada masjid Tua Bungku sebagai ciri pembeda dengan masjid lainnya.

27

Anda mungkin juga menyukai