Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Infeksi menular seksul (IMS) adalah penyakit-penyakit yang timbul atau
ditularkan atau melalui hubungan seksual dengan manifestasi klinis berupa
timbulnya kelainan-kelainan terutama pada alat kelamin. Kegagalan deteksi dini
IMS dapat menimbulkan berbagai komplikasi misalnya kehamilan di luar
kandungan, kanker anogenital, infeksi pada bayi yang baru lahir atau infeksi pada
kehamilan. Pada prakteknya banyak IMS yang tidak menunjukkan gejala
(asimtomatik), sehingga mempersulit pemberantasan dan pengendalian penyakit
ini (Widoyono, 2011).
Infeksi menular seksual merupakan penyakit yang mudah ditularkan
melalui hubunga seksual, dengan ciri khas adanya penyebab dan kelainan yang
terjadi terutamadi daerah genital. Dahulu kelompok penyakit ini dikenal sebagai
penyakit kelamin yang hanya terdiri dari 5 jenis penyakit yaitu gonorrhea
(kencing nanah), syphilis (raja singa), ulkus mole, limfogranuloma inguinale
(bungkul) dan granuloma inguinale (Widiyono. 2011).

Dengan perkembangan di bidang sosial, demografik, serta meningkatnya


migrasi penduduk, populasi berisiko tinggi tertular IMS akan meningkat pesat.
Beban terbesar akan ditanggung negara berkembang, namun negara maju pun
dapat mengalami beban akibat meningkatnya IMS oleh virus yang tidak dapat
diobati, perilaku seksual berisiko serta perkembangan pariwisata. IMS menempati
peringkat 10 besar alasan berobat di banyak negara berkembang, dan biaya yang
dikeluarkan dapat mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Pelayanan untuk
komplikasi atau sekuele IMS mengakibatkan beban biaya yang tidak sedikit,
misalnya untuk skrining dan pengobatan kanker serviks, penanganan penyakit
jaringan hati, pemeriksaan infertilitas, pelayanan morbiditas perinatal, kebutaan
bayi, penyakit paru pada anak-anak, serta nyeri panggul kronis pada wanita.
Beban sosial meliputi konflik dengan pasangan seksual dan dapat mengakibatkan

1
kekerasan dalam rumah tangga.

Fenomena peningkatan dan penyebaran kasus IMS yang terjadi pada


kelompok resiko tinggi demikian cepat, salah satunya adalah pada kelompok
wanita pekerja seks (Widiyono, 2011). Wanita pekerja seks (WPS) diperkirakan
mencapai 10 juta orang jumlahnya di seluruh dunia (Stanley, et al. 2008).
Berdasarkan 42 studi yang dilakukan di seluruh dunia antara tahun 1995 sampai
2006 dilaporkan lima patogen yang paling sering menyebabkan IMS pada wanita
pekerja seks ini adalah Neisseria gonorrheae, Chlamydia trachomatis, Treponema
pallidum, HIV, dan Trichomonas vaginalis (Cwikel,et al. 2009). Beberapa
penelitian yang berkaitan prevalensi IMS pada WPS, yang diselenggarakan di 10
kota besar di Indonesia menunjukkan 69% WPS sedang terinfeksi satu atau lebih
IMS (Jazan S, 2005).
Infeksi menular seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di seluruh dunia. IMS menempati peringkat 10 besar alasan
berobat di banyak negara berkembang. World Health Organization (WHO)
memperkirakan 448 juta bahkan lebih kasus baru setiap tahunnya di seluruh dunia
( Lewis, 2011). Angka kejadian infeksi baru terbanyak terjadi di daerah Asia
Selatan dan Asia Tenggara, yang diikuti oleh Afrika Sub-Sahara dan Amerika
Latin (Widiyono. 2011).
Pada tahun 2005, diperkirakan aada 318 juta IMS dengan perkiraan
39.690.000 kasus infeksi klamidia, 9.430.000 kasus gonore, 2,54 juta kasus sifilis
dan sekitar 25.760.000 kasus trikomonas. Kasus baru IMS diperkirakan lebih dari
110 juta dikalangan laki-laki dan perempuan di dunia (WHO.2012).
Di Indonesia sendiri telah ada laporan mengenai prevalensi infeksi
menular seksual ini. Di Indonesia sendiri, belum banyak laporan mengenai
prevalensi IMS. Beberapa laporan yang ada dari beberapa lokasi antara tahun
1999-2001 menunjukkan prevalensi infeksi gonorea dan klamidia yang tinggi
antara 20-35% (Jazan S, 2005).

2
Dinas Kesehatan Kota Palu dalam rilisnya menyebutkan dari 25 kasus IMS
pada 2010, 50 persen di antaranya dialami remaja (Profil Kesehatan
Sulteng,2010).
Di puskesmas birobuli sendiri angka kejadian infeksi menular seksual pada
tahun 2016 berjumlah 48 kasus kemudian mengalami penurnan kasus pada tahun
2017 menjadi 30 kasus (Profil Puskesmas Birobuli, 2016).
Dengan angka kejadian infeksi menular seksual yang terus meningkat, maka
peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara tingkat pengetahuan dengan
jumlah infeksi menular seksual di puskesmas birobuli tahun 2017

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah di dalam
penelitian ini adalah :
Bagaimana hubungan antara tingkat pengetahuan dengan jumlah infeksi
menular seksual di puskesmas birobuli tahun 2017?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan jumlah
infeksi menular seksual di puskesmas birobuli tahun 2017
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat mengenai infeksi
menular seksual di puskesmas birobuli tahun2017
b. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan jumlah
infeksi menular seksual di puskesmas birobuli tahun 2017

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Pendidikan


a. Menambah bahan referensi bagi institusi pendidikan

3
b. Pihak puskesmas dapat memberikan penyuluhan mengenai infeksi menular
seksual baik di dalam gedung maupun di luar gedung puskesmas birobuli

2. Bagi Peneliti
a. Dapat meningkatkan pengetahuan peneliti mengenai gambaran
pengetahuan mengenai infeksi menular seksual
b. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peneliti dalam bidang
penelitian.

E. Keaslian Penelitian
Anom Widyaningrum, Sri Hendarsih, dalam penelitian mengenai
‘Pengetahuan dan sikap dengan perilaku seksual pada pasien infeksi menular
seksual di puskesmas srandakan bantul yogyakarta’ penelitian ini menggunakan
desain kuantitatif, analisis bivariat (Spearman Rank), analisis multivariat (Regresi
Linear). Sampel pasien ini adalah 50 pasien IMS yang berada di puskesmas
srandakan dengan metode total sampling. Hasil uji spearman rank didapatkan
perhitungan antara pengetahuan dengan perilaku seksual 0,074 (p>0,05). Jadi
pengetahuan tidak berhubungan dengan perilaku seksual pasien
(Widyadiningrum, A & Sri H. 2014).
Nurningtyas, dalam penelitian mengenai ‘Tingkat pengetahuan remaja
tentang infeksi menular seksual di SMA Al-Asiyah Cibinong Bogor Tahun 2015’
sampel penelitian ini adalah 132 responden usia 15-17 tahun dengan teknik
pengambilan sampel yaitu disproporsional stratified sampling. Jenis penelitian ini
adalah kuantitatif dengan rancangan desai penelitian deskriptif dengan pendekatan
cross sectional. Hasil analisa kuesioner menunjukkan (37,9%) responden
mengetahui dengan benar mengenai tanda dan gejala infeksi menular seksual.
Pengetahuan remaja tentang tanda dan gejala memberikan hasil <70%. Secara
keseluruhan tingkat pengetahuan remaja di SMA Al-Asiyah berada pada kategori
cukup (Nurningtyas,2015).
Resti Suwandani, dalam penelitian mengenai ‘Pengetahuan dan sikap berisiko
waria dengan kejadian infeksi menular seksual pada waria di sidoarjo’ penelitian

4
ini menggunakan desain penelitian analitik dimana jenis penelitian adalah kasus
kontrol. Responden dalam penelitian ini adalah waria yang berada dalam
jangkauan KPA sidoarjo sebanyak 54 orang yang dibagi dalam dua kelompok
yaitu kelompok kasus 18 dan kelompok kontrol 36 orang. Terdapat hubungan
antara pengetahuan dengan kejadian IMS pada waria (p=0,007) p < α. Terdapat
hubungan antara sikap dengan kejadian IMS pada waria (p=0,001) p < α.
(Suwandani, R. 2015).

Anda mungkin juga menyukai