Anda di halaman 1dari 3

Asap Gunung Bawakaraeng

Siapa yang tak tahu gunung Bawakaraeng? Semua warga Bulukumba pasti tahu tentang
gunung Bawakaraeng. Keindahannya sudah tak diragukan lagi. Semua mata pasti tak bisa
berpaling darinya jika sudah memandangnya. Apalagi ketika senja, ketika matahari sudah
ingin terbenam, ketika siang sudah ingin berganti menjadi malam, disitulah puncak
keindahan gunung Bawakaraeng.
Di Siang hari, ketika matahari terik memancarkan panas yang begitu menyengat tubuh,
aku pulang ke rumah setelah menuntut ilmu kurang lebih selama 5 jam di SMP. Rumahku
tepat berada di kaki surganya Sul-Sel, di situlah aku menjalani pahit manisnya kehidupan
bersama keluarga, teman, tetangga, dan warga lainnya.
Tiba di rumah, aku mencium aroma asap yang tak biasa ku cium selama ini. Aku
penasaran, dari mana asap ini muncul?. Aku memeriksa lingkungan sekitar, ternyata tak ada
seorang pun yang melakukan pembakaran. Kemudian, aku menghadapkan mata menuju
puncak gunung Bawakaraeng. Ternyata, asap ini berasal dari gunung Bawakaraeng.
Gumpalan-gumpalan asap mulai bertebaran di udara. Dengan bantuan angin, asap pekat itu
bergerak menuju permukiman warga.
Tak lama kemudian, semua warga sudah merasakan keberadaan kabut asap gunung
Bawakaraeng. Warga mulai sesak nafas, anak-anak mulai batuk, akibat dari bencana kabut
asap yang melanda. Mendengar kabar ini, Pak Kepala Desa segera turun tangan, ia
membagikan masker kepada masyarakat untuk menghidari masuknya asap di paru-paru
mereka, aku pun begitu.
Senja sudah tiba, aku dan teman-teman sudah tak bisa menikmati keindahan gunung
Bawakaraeng. Kabut asap sudah menghalangi pancaran keindahan gunung. Gunung
Bawakaraeng sudah bak ikan mas di air keruh. Matahari sudah tak bisa disaksikan terbenam,
hanya sedikit cahaya yang bisa kita rasakan. Jarak pandang mata pun mulai berkurang akibat
kabut asap pekat, warga sudah mulai terserang ISPA (infeksi saluran pernafasan akut).
Malam tiba, ketika masyarakat sudah tenang di rumah, warga laki-laki berbondong ke
rumah Pak Desa untuk membincangkan masalah ini. Aku hanya bisa diam dirumah menonton
berita tentang kabut asap gunung Bawakaraeng, setelah kabut asap di pulau Sumatera dan
Kalimantan. Sambil menunggu ayah pulang ke rumah, aku merenung. Aku bertanya dalam
hati, apa yang menyebabkan adanya kabut asap ini?, mengapa ini bisa terjadi?, apakah ini
sebab alam?, ataukah manusia?.
Ayahku pun akhirnya pulang ke rumah. Aku kemudian bertanya apa yang tadi aku
renungkan. Penyebab adanya kabut asap ini ternyata belum diketahui secara pasti oleh Pak
Desa. Namun, ia memprediksi penyebabnya adalah kekeringan yang membuat hutan di
gunung Bawakaraeng sangat mudah untuk termakan api, ditambah dengan teriknya wajah
matahari semakin memperkuat si jago merah untuk muncul melalap hutan. Kekeringan
memang sangat meresahkan masyarakat, mulai dari kurangnya air bersih, sampai petani padi
yang gagal panen karena tidak adanya air yang mengaliri sawah mereka. Sawah kini sudah
menjadi tanah lapang yang gersang, tak ada satupun tanaman hijau yang berani tumbuh.
Keesokan pada hari minggu, di kala ayam sudah berkokok, ketika matahari sudah mulai
memancarkan sinarnya, di kala hari sudah berganti dari malam menuju pagi, asap masih tetap
setia menghampiri gunung dan pemukiman warga, tak ada perubahan dari kemarin bahwa
asap segera hilang dari pandangan mata, hilang dari penciuman hidung, dan hilang dari desa.
Warga kemudian berkumpul, mereka bersiap menuju tempat munculnya kabut asap untuk
menyelidiki apakah sebenarnya penyebab adanya kabut asap ini.
Ternyata, sesampai di sana, puluhan bahkan ratusan hektar hutan dilalap si jago merah
dengan mudahnya. Pohon-pohon telah runtuh, daun telah menjadi abu, udara sudah berubah
warna menjadi abu-abu, dan hawa yang amat sangat panasnya yang meneteskan keringat
yang sangat banyak. Aku dan warga lainnya hanya bisa diam melihat dari jauh hutan
terbakar, kita tak bisa masuk ke dalam, karena amat sangat panasnya api yang membakar
hutan gunung Bawakaraeng. Jika kita masuk ke dalam, mungkin kita tidak bisa untuk
kembali atau kembali dalam keadaan hangus termakan api.
Kami pun akhirnya bergegas untuk kembali ke desa. Namun, pada saat itu, aku
menemukan puntung rokok yang masih terbakar. Hatiku mulai curiga bahwa puntung rokok
inilah yang menjadi penyebab terbakarnya penghasil oksigen di gunung Bawakaraeng.
Ditambah dengan panasnya terik matahari membuat api dengan gampangnya untuk membagi
porsi makanan.
Kami pun akhirnya sampai kembali di Desa dengan raut wajah kesedihan, berselimuti
keringat, penuh kecemasan akan bencana yang melanda. Namun, ada seorang pria yang telah
menunggu kedatangan kita di Desa. Pria yang memakai pakaian serba hitam, tas ransel, dan
sepatu ini kelihatan amat sangat panik, wajahnya penuh kekhawatiran, bak orang yang
kehilangan salah satu bagian tubuhnya. Kemudian berkata bahwa ia yang tadinya bertiga,
sekarang tinggal sendirian, kedua temannya sudah tak bernyawa. Pria itu mengatakan bahwa
rekannya mengikuti jejak pohon yang termakan si jago merah di gunung Bawakaraeng. Ia
kemudian tiba-tiba memandang puntung rokok yang ku pegang, sepertinya ia sedang
mengingat kejadian yang terjadi sebelumnya.
Terungkaplah semua yang berada di balik terbakarnya hutan di gunung Bawakaraeng.
Ternyata pemilik puntung rokok ini adalah Sang Pria yang bernama Andi. Ia tidak sengaja
membuang puntung rokok yang asapnya belum mati. Dan kemudian asap dari puntung rokok
inilah yang membakar pohon dan menyebar dengan amat cepat karena didukung oleh cuaca
yang sangat panas sehingga menghasilkan kabut asap yang sangat membahayakan
masyarakat.
Andi kemudian meminta maaf kepada seluruh warga atas perbuatan yang ia lakukan, ia
tidak menyangka bahwa perbuatannya sendiri yang membuat rekannya menjadi korban. Tak
ada yang terlintas di benaknya bahwa ia yang tadinya berangkat dengan niat untuk menikmati
keindahan gunung Bawakaraeng dengan mendakinya, kini akan pulang dengan membawa
mayat kedua temannya.
Akhirnya, aku dan warga lain serta Andi menuju ke lokasi tempat kedua rekannya itu
dilalap si jago merah. Kami kemudian membawa mayatnya menuju Desa untuk dipulangkan
ke tempat tinggalnya.
Di Desa, warga sedang mencari solusi untuk memadamkan api yang terus-menerus
menghabisi penghasil oksigen manusia ini. Setidaknya, sudah lebih ratusan hektar yang
hangus hanya karena sebuah puntung rokok. Hari sudah senja, matahari sudah ingin berpisah
dengan hari, langit pun mulai berganti, tetapi asap tetap makin menjadi. Asap terus-menerus
melintas di udara yang sudah kotor, membuat suasana kehidupan seperti sudah akan berakhir.
Gunung Bawakaraeng pun sudah tak terlihat sama sekali, ditutupi oleh pekatnya asap, jarak
pandang juga sudah semakin menipis, bahkan tak sampai 100 meter. Hujan yang tak kunjung
turun semakin menambah penderitaan alam.
Semua warga terus berbincang hingga larut malam untuk mencari cara untuk
menghabisi si jago merah agar asap juga tidak lagi berputar-putar di udara Desa. Akhirnya,
warga pun telah mendapatkan cara, mereka membuat persetujuan bahwa seluruh warga Desa
harus membawa air sebanyak-banyaknya ke tempat terbakarnya hutan pada esok hari, Karena
mobil damkar yang tidak bisa menjangkau titik api akibat medan yang tak memungkinkan
mobil bahkan motor untuk melintas.
Keesokan harinya, kabut asap tak berubah, masih tetap tinggal di udara Desa, aku tak
bisa melihat matahari terbit, hanya sedikit cahaya orange yang aku dapatkan. Tapi, ini adalah
awal semangatku dan warga untuk menyelesaikan permasalahan yang memang harus
diselesaikan secepatnya. Karena jika tidak, itu berarti kita hanya ingin melihat warga Desa
untuk mati satu persatu akibat dari kabut asap yang melanda sebagian wilayah butta panrita
lopi. Aku dan semua warga Desa bergegas menyiapkan amunisi untuk berperang melawan
panasnya si jago merah.
Sebelum berangkat, aku dan seluruh warga Desa terlebih dahulu melakukan shalat
istisqa’ untuk meminta kepada Allah SWT untuk menurunkan hujan agar api dan kabut asap
benar-benar hilang dari gunung Bawakaraeng yang kita cintai ini. Dengan alat seadanya,
yaitu ember dan gayung, kami pun berangkat dengan penuh niat dan harapan untuk
membasmi kabut asap yang sangat mencemari lingkungan ini.
Kami akhirnya tiba di lokasi titik api, dengan semangat yang membara, melebihi bara
api yang membakar hutan, kami mengerahkan seluruh kekuatan untuk memadamkan
panasnya neraka dunia di gunung Bawakaraeng. Harapan kami untuk memusnahkan si jago
merah semakin kuat setelah melihat langit mulai hitam, angin bertiup kencang, titik-titik air
mulai turun. Perlahan hutan mulai basah, api mulai padam, dan asap mulai hilang dari udara
membuat kami semua larut dalam sukacita. Keringat dan air hujan bercampur di wajah kami
dalam satu kebahagiaan. Sujud syukur pun kami lakukan untuk berterima kasih kepada Allah
SWT yang telah mengabulkan permohonan kami.
Kami pun mulai melangkahkan kaki untuk pulang menuju Desa. Suara guntur yang
bergemuruh, dan derasnya hujan turun semakin menambah kebahagian kami, karena
disamping menghapuskan api dan kabut asap, kekeringan juga mulai berkurang akibat
turunnya hujan yang sangat bermakna dan membawa berkah ini. Sesampai di Desa, kami
semua langsung bersujud syukur kembali, melihat udara yang kembali jernih, menarik nafas
dengan sangat segar, dan memandang keindahan gunung Bawakareng yang beberapa hari tak
menampakkan diri dengan jelas. Perjuangan kami seakan terbayar setelah menikmati semua
ini. Ini semua berkat usaha dan doa dari kita semua, demi menjaga hutan kita, menjaga bumi
kita, dari kerusakan

Anda mungkin juga menyukai