TINJAUAN PUSTAKA
sosial ekonomi, dan budaya serta interaksinya dengan kota-kota lain dan daerah
kota dan peningkatan pelayanan perkotaan. Bahkan yang terjadi justru sebagai
dalam arti yang luas, yaitu hemat mendapatkan lahan, pembiayaan pembangunan,
merupakan hal yang tidak dapat dihindari, yaitu tidak direncanakan oleh pemerintah
tetapi tumbuh sebagai proses alamiah.Dalam berbagai literatur dapat dilihat berbagai
Menurut studi yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan Arsitektur, Institut
untuk menentukan kekumuhan suatu kawasan, dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu :
dan dapat dikatakan hampir tidak ada fasilitas yang dibangun secara bersama
maka studi tersebut menentukan tiga skala permukiman kumuh, yaitu tidak
Berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan
1. Ditinjau dari keadaan kondisi rumahnya, yang antara lain dilihat dari stuktur
2. Ditinjau dari ketersediaan prasarana dasar lingkungan, seperti pada air bersih,
sarana ekonomi, ada tidaknya ruang terbuka di luar perumahan. Studi ini tidak
ilegal, dengan keadaan fisiknya yang sub standrat; penghasilan penghuni amat rendah
(miskin), tak dapat dilayani berbagai fasilitas kota; dan tidak diingini kehadirannya
oleh publik (kecuali yang berkepentingan). Berdasarkan kriteria Silas tersebut, aspek
kekumuhan suatu wilayah selain buruknya kondisi kualitas lingkungan yang ada
berasal dari kata housing dalam bahasa inggris yang artinya adalah perumahan dan
kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungan.
Perumahan menitikberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu house dan land
menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia
(human). Dengan demikian perumahan dan permukiman merupakan dua hal yang
tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakikatnya saling
melengkapi (Kurniasih,2007).
Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah
laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan
yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan (Kurniasih,2007).
dimana permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni antara lain
karena berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkan atau tata ruang,
kepadatan bangunan yang sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan
penyakit sosial dan penyakit lingkungan, kualitas umum bangunan rendah, tidak
lingkungan hunian atau komunitas. Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu
baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak mungkin
dicapainya kehidupan yang layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan
ciri tingkat kepadatan penduduk yang sangat rendah, tidak memadainya kondisi
sarana dan prasarana dasar, seperti halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik,
perbelanjaan.
sebagai berikut :
4. Sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan,
5. Hunian dibangun diatas tanah milik negara atau orang lain dan diatur
berdesakan,
3. Rumah hanya sekedar tempat untuk berlindung dari panas dan hujan,
4. Hunian bersifat sementara dan dibangun di atas tanah bukan milik penghuni,
6. Prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan, listrik, jalan lingkungan),
1. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/Ha. Pendapat para ahli perkotaan
jiwa/Ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang
2. Jalan-jalan sempit dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya,
3. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan-
jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan
7. Pemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status tanahnya masih
merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa.
antara lain :
1. Sebagian besar terdiri atas rumah tua (rusak) pada bagian lama suatu kota (
5. Ada yang berasal dari proyek perumahan yang kurang terpelihara, dan
6. Ada yang dibangun oleh sektor informal, dengan sewa murah untuk
Permukiman kumuh dipilah atas tiga macam berdasarkan asal atau proses
1. Rumah – rumah yang semula dibanguan dengan ijin, pada bagian kota yang
berpenghasilan rendah,
5. Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah serta
1. Karakter bangunan yaitu umur bangunan yang sudah terlalu tua, tidak
tanpa perawatan,
3. Kepadatan bangunan yang tinggi, dapat terlihat tidak adanya jarak antara
5. Sistem sanitasi yang miskin atau tidak dalam kondisi yang baik,
6. Kondisi sosial yang tidak dapat baik dilihat dengan banyaknya tindakan
rumah.
2. Permukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat
mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas
permukiman.
Dengan adanya daya tarik pusat kota maka akan menyebabkan arus migrasi
desa ke kota maupun dari luar kota ke pusat kota. Kaum urbanisasi yang
bekerja di pusat kota ataupun masyarakat yang membuka usaha di pusat kota,
tentu saja memiliki untuk tinggal di permukiman di sekitar pusat kota. Hal ini
pusat kota.
2.2 Urbanisasi
2.2.1 Pengertian
misalnya :
1. Dari segi Demografi, urbanisasi ini dilihat sebagai suatu proses yang
2. Dari segi ekonomi, urbanisasi ini dilihat dari perubahan struktural dalam
sektor mata pencaharian. Ini dapat dilihat pada banyaknya penduduk desa
urbanisasi dilihat dari segi pentingnya atau sejauh mana manusia itu dapat
kehidupan.
kualitas, baik infrastruktur fisik maupun kehidupan sosial. Namun dalam proses dan
baru yang menimbulkan problema, antara lain masalah migrasi terutama urbanisasi.
Buruh Sedunia (ILO) berpendapat bahwa kota memberi kesempatan kerja lebih
respon terhadap harapan tentang penghasilan yang lebih baik, yang akan diperoleh di
tempat tujuan (kota) dibandingkan dengan yang diterima di tempat asal yakni desa
yang mencolok antara upah buruh di desa dengan di kota merupakan salah satu
Darrundono (2007) menyatakan bahwa tidak menjadi soal benar atau salah, penduduk
membuat keputusan untuk bermigrasi karena mereka yakin bahwa migrasi akan
terjadi secara terpaksa, spontan dan terencana. Mobilitas penduduk karena terpaksa
(migran terpaksa) terjadi karena beberapa faktor, antara lain akibat bencana alam dan
atau tragedi sosial seperti konflik bersenjata atau akibat dari situasi-situasi rawan
secara alamiah atas inisiatif pelakunya dengan dorongan (motif) perbaikan ekonomi,
baru seperti okupasi (pendudukan) lahan yang melahirkan permukiman liar (tidak
terdiri dari dua jenis, yaitu migrasi permanen dan migrasi sementara. Migrasi
permanen adalah perpindahan penduduk yang berakhir pada menetapnya migran pada
penduduk yang tidak menetap pada tempat tujuan migran, tetapi kembali ke tempat
asal atau berpindah ke lain tempat. Migran non-permanen hanya tinggal untuk
sementara waktu di kota (bisa dalam hitungan minggu atau bulan) tetapi datang dan
pergi dalam jangka waktu tertentu. Karena sifatnya yang sementara dan masih
niat bermigrasi. Faktor-faktor tersebut meliputi karakteristik daerah asal dan tujuan,
kesempatan kerja, tingkat upah, tanah dan sistem pemilikannya, ikatan keluarga,
terhadap pengaturan tata ruang kota, yang pada umumnya kurang menguntungkan
ke daerah pinggiran kota, tetapi seringkali mereka juga harus berpuas diri dengan
minimnya berbagai fasilitas publik, jauh berbeda dengan warga kota yang
ekonominya lebih maju. Luas tanah yang terbatas di perkotaan umumnya dikuasai
Salah satu yang merupakan masalah terbesar kota-kota di Negara Dunia Ketiga
saat ini adalah peruntukan ruang untuk permukiman kelompok masyarakat miskin,
dimana kesempatan kelompok ini untuk memperoleh akses tanah di perkotaan makin
terbatas bahkan nyaris tidak ada. Kemampuan penyediaan perumahan secara formal
dibiarkan mencari jalan keluar sendiri. Menurut penelitian Dinas Perumahan DKI,
karya perancang dan arsitek diperuntukkan bagi golongan menengah dan tinggi,
tinggal di tanah-tanah kosong milik pemerintah atau swasta tanpa status yang jelas,
yang mendorong dual hal: tersedotnya sebagian tenaga kerja agraris ke kota
6. Tarikan sosial dan kultural, dimana di kota banyak hal yang menarik dalam
hal hiburan.
untuk pindah ke kota, juga media massa yang menyadarkan masyarakat akan
sehingga kesempatan kerja pun meningkat dan menarik tenaga kerja dari daerah di
masalah perumahan,
gelandangan,
5. Masalah lalu lintas, kemacetan jalan dan masalah parkir yang menghambat
kelancaran kota,
6. Industrialisasi di kota yang menimbulkan polusi udara, polusi air dan polusi
kebisingan.
1. Dalam sektor ekonomi, strutur ekonomi menjadi lebih bervariasa dari yang
kejuruan atau adanya program non gelar yang biasa dicapai dalam waktu yang
4. Selain itu juga adanya perluasan fisik kota kearah pinggiran kota yang
pemerintahan.
6. Perubahan tata guna lahan menjadi masalah yang juga patut diperhatikan.
Banyak daerah hijau (green belts) telah menjai daerah industri atau daerah
maupun air.
Secara umum, ada 2 (dua) faktor yang bertindak sebagai kekuatan pembangkit
disebabkan dari dalam permukiman dan dari pemukim itu sendiri seperti:
seperti Pemilik lahan, Keamanan tetap, Kebijakan Pemerintah kota atau Lama
menetap di kota.
kumuh dan liar, melalui rangkaian tahap pembangunan yang menyatu. Tahap-tahap
ini menentukan hasil akhir, dalam pengertian bahwa dapat berupa sebuah rangkaian
kesatuan dengan satu tahap/proses yang tumpang tindih, atau sebagai tahap yang
berjalan paralel. Efek yang ditimbulkan dari tahap-tahap ini bersifat kumulatif dan
liar (slum and squatter settlement) memiliki variasi yang luas bergantung pada
keberagaman parameternya.
pinggiran kota, tetapi dapat juga berada di tengah kota (yang disebut dengan
kampung kota). Permukiman kumuh ini disebut sebagai permukiman liar (illegal)
untuk permukiman seperti di pinggiran sungai, di bantaran rel kereta api, di bawah
Apabila ditinjau dari segi sosial dan ekonomi, permukiman kumuh memiliki ciri-
ekonomi penghuninya.
secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu
terwujud sebagai:
b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau RW.
atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan, dan bukan hunian liar.
permukiman yang terbangun pada lahan kosong “liar” di kota baik milik swasta
ataupun pemerintah tanpa hak yang legal terhadap lahan dan/atau izin dari penguasa
yang membangun, didiami oleh orang yang sangat miskin yang tidak mempunyai
akses terhadap pemilikan lahan tetap. Istilah permukiman liar sesungguhnya dimulai
sejak masa pembangunan yang diprakarsai negara Barat, sekitar kehadiran tulisan
Charles Abrams dan John Turner, terutama sekali sekitar Konferensi Habitat tahun
sebagai suatu penaklukan daerah kota untuk tujuan perlindungan, yang didefinisikan
oleh 2 (dua) hal yaitu kekuatan hukum dan hukum kekuatan. Sedangkan Turner
Begitu juga Payne (1977) dalam Srinivas (2007) menyatakan permukiman liar
dalam pandangan menyeluruh dari pertumbuhan kota di negara ketiga dengan sifat
yang tidak dapat dihindarkan. Patrick McAuslan (1986) dalam Purnawan (2004)
dan perumahan di atas tanah tertentu, maksudnya seorang permukiman liar adalah
seorang yang menempati sebidang tanah, sebuah rumah, atau sebuah bangunan tanpa
permukiman liar merupakan produk kebijakan yang gagal, tata pemerintahan yang
buruk, korupsi, peraturan yang berbelit-belit, pasar pertanahan yang tidak berfungsi,
sistem keuangan yang tidak jelas, dan kemauan politik yang lemah. Pada dasarnya
Suatu permukiman liar, karena memiliki status illegal maka infrastruktur dan
pelayanan (baik jaringan maupun sosial) yang ada tidak memadai atau berada pada
tingkat minimum, seperti penyediaan air, sanitasi, listrik, jalan dan drainase, sekolah,
pusat kesehatan, tempat perbelanjaan, dll. Sebagai contoh, penyediaan air untuk
setiap rumah tangga dapat dikatakan tidak ada, atau pipa umum yang tersedia sedikit,
sehingga pemukim mempergunakan jaringan kota atau pompa tangan sendiri bahkan
menyediakan jaringan informal untuk menyediakan air di tempat. Hal serupa berlaku
untuk jaringan listrik, drainase, fasilitas toilet/kamar mandi/WC, dll dimana kecilnya
2. Karakteristik Sosial :
berpenghasilan rendah, baik bekerja sebagai buruh bergaji maupun dalam usaha-
usaha sektor informal lain yang bervariasi. Tetapi terdapat juga rumah tangga
paruh waktu. Permukiman liar umumnya didominasi oleh migran, baik desa-kota atau
kota-kota. Namun banyak juga dari generasi kedua atau generasi ketiga pemukim liar
tersebut.
3. Karakteristik Legal :
yakni ketiadaan hak milik terhadap lahan yang dipergunakan untuk membangun
rumah. Hal ini dapat terjadi pada lahan kosong milik pemerintah atau umum, di
lahan tersebut tidak dipergunakan oleh pemiliknya, maka diambil oleh pemukim liar
zona bebas okupasi seperti bantaran sungai atau rel kereta api, cagar alam (budaya),
lahan konservasi (jalur hijau dan atau zona penyangga). Sedangkan Kelompok
Marginal Kota yakni kelompok urban kota yang mendiami wilayah-wilayah kumuh
dan miskin dan kelompok lain yang rentan dan malang (vulnarable and disadvantage
fisik (jalan raya, waduk, saluran irigasi, dermaga, dll) karena menggunakan lahan
sumber daya alam lainnya. Asian Development Bank (ADB) menyebut kelompok ini
umum, penduduk menjadi liar dapat disebabkan oleh 2 (dua) faktor (Srinivas, 2007),
yaitu :
mereka,
baik oleh “penguasa kumuh” atau benar-benar berawal dari suatu kelompok kecil/inti
membaginya lagi dan menjualnya kepada beberapa rumah tangga untuk membangun
rumah. Pelayanan seperti penyediaan air atau listrik disediakan oleh yang
bersangkutan atau oleh kelompok permukiman liar tersebut dan biasanya dilakukan
bersama-sama.
(Srinivas, 2007).
tanah itu, tetapi tidak mempunyai persetujuan yang sah mengenai pembagian
mempunyai hak, baik untuk memiliki atau menjual tanah itu kepada siapa
pun. Berbekal sedikit sumber finansial, keterampilan dan akses lain, serta
adanya kebebasan nyata untuk mendiami lahan kosong illegal telah memberi
Selain dicirikan oleh pemilihan lokasi tempat tinggal yang kumuh, permukiman
(baik diproduksi sendiri maupun diambil dari orang lain), penjual rokok dan
menggunakan 'lapak' sebagai pedagang kaki lima. Jenis pekerjaan lain yang cukup
kasar lainnya.
karena sektor ini sangat mudah dimasuki, meski oleh mereka yang tidak memiliki
dan jasa (misalnya tenaga kerja kurang terampil/kurang terdidik un tuk kebutuhan
namun mereka juga membentuk lembaga Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga
(RW), bahkan sebagian dapat menikmati penerangan listrik, ada pula yang punya
telepon rumah, dan tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga
sumberdaya manusia asal pedesaan berkualitas rendah, namun mereka telah menjadi
bagian dari ekosistem perkotaan yang secara langsung menyumbangkan jasa tenaga
kerja murah, dan menyediakan produksi skala rumah tangga, yang terutama sangat
diperlukan bagi usaha formal maupun masyarakat golongan menengah ke atas, baik
sebagai tenaga kerja maupun sebagai bagian dari segmen pasar, bahkan sebagai
kumuh dan liar sangat kompleks. Pada permukiman tersebut tercipta suatu kehidupan
kenyataan, putus asa, ketergantungan, rendah diri, kriminalitas, berorientasi pada hari
Secara umum rumah tangga permukiman kumuh dan liar termasuk ke dalam
satu istilah yang subjektif. Namun biasanya kemiskinan dikaitkan dengan kekurangan
pendapatan, kesusahan dan ketidakmampuan individu dan isi rumah untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang berarti “tidak berharta-benda”. Dalam
pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi
ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain. Menurut Nasikun
(1995) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007), kemiskinan adalah sebuah fenomena
multiaset, multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di
berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat
tersebut, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Lebih dari
itu, hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang
rendah terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan
pengap.
Hal senada juga dinyatakan oleh Oscar Lewis dalam Simanihuruk (2003),
tetapi juga kekurangan dalam ukuran budaya dan kejiwaan dimana di dalamnya
berikutnya, yang mana ini disebut juga budaya kemiskinan. Budaya kemiskinan ini
akan tumbuh pada kondisi masyarakat yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Sistem ekonomi uang, buruh, upahan dan sistem produksi untuk keuntungan.
tidak terampil.
pemerintah.
penumpukan harta kekayaan dan adanya sikap hemat serta adanya anggapan
rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin
sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan
persentase pengeluaran rumah tangga terbesar adalah untuk makanan yaitu sebesar
pendidikan 2,4% dan pengeluaran untuk listrik 3,3% (Badan Pusat Statistik Republik
Indonesia, 2010).
kekurangan, kemiskinan dan peminggiran sosial sangat berkaitan erat. Ini disebabkan
dalam jiwa, disebabkan tekanan terhadap masalah harian seperti kehidupan yang terus
kelemahan (kondisi serba kekurangan), tetapi dalam diri mereka juga terdapat potensi
yang dapat dipergunakan sebagai modal dasar dalam pengembangan dirinya. Dari
sudut pandang ekonomi mereka adalah orang-orang yang memiliki sedikit” (have-
little) tetapi di sisi lain orang-orang miskin memiliki kekayaan budaya dan sosial.
penanggulangan kemiskinan, mereka tidak hanya didekati sebagai objek (gejala yang
diamati), tetapi harus dipandang sebagai subjek atau pelaku yang dikelompokkan
Oleh karena itu, dalam kerangka memahami potensi keluarga miskin, paling
1. Pengeluaran keluarga,
(human capital).
1. Peran dalam bidang ekonomi (dilihat dari kegiatan utama dalam mencari
nafkah).
anak belajar).
dari upaya yang mereka lakukan untuk mempertahankan diri dari tekanan ekonomi
dan non ekonomi. Dari hasil penelitian yang dilakukan (Gunawan dan Sugiyanto,
2007) menunjukkan bahwa peran sosial yang dilaksanakan oleh keluarga fakir miskin
lebih banyak bersifat intern, artinya lebih banyak terkonsentrasi dalam urusan
aktif untuk melakukan kunjungan keluarga, rekreasi, dan kegiatan lain yang berkaitan
penghasilan karena tuntutan hidup yang semakin besar. Berbagai bentuk strategi yang
dibangun oleh keluarga fakir miskin antara lain melakukan aktivitas sendiri,
sekolah. Di satu sisi, strategi pelibatan anak dalam peran ekonomi ini akan memupuk
uang. Namun di sisi lain, strategi ini akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan hak
anak terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagian besar waktu yang
seharusnya untuk belajar mereka pergunakan untuk bekerja atau membantu keluarga
dalam peran ekonomi. Akibat lanjut, kualitas pendidikan anak-anak mereka relatif
rendah. Sadar ataupun tidak, pemanfaatan strategi ini dapat dikonotasikan sebagai
2. Penekanan/pengetatan pengeluaran.
kesehatan lebih banyak dilakukan, karena kesehatan tidak menjadi prioritas utama
mereka. Perhatian mereka lebih terfokus kepada kegiatan yang berhubungan dengan
pencarian nafkah.
3. Pemanfaatan jaringan.
oleh keluarga fakir miskin dalam mengatasi masalah keluarga. Jaringan yang
dimaksud adalah relasi sosial mereka, baik secara informal maupun formal dengan
yang pinjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya. Relasi mereka tidak hanya
sebatas bidang ekonomi, tetapi mencakup bidang-bidang yang lain, misalnya dalam
peningkatan mental spiritual. Kegiatan ini merupakan strategi yang bersifat aktif
macam dimensi yang bergerak paralel dengan mobilitas tempat tinggal yaitu :
1. Dimensi Lokasi, mengacu pada lokasi tertentu pada suatu kota yang dianggap
paling cocok untuk tempat tinggal sesuai dengan kondisi diri. Kondisi diri ini
dalam konteks ini berkaitan erat dengan jarak terhadap tempat kerja.
sendiri. Secara umum, makin lanjut tahap siklus kehidupan maka makin tinggi
penghasilan yang diperoleh persatuan waktu, dengan asumsi bahwa makin lama
menetap di kota maka makin mantap pekerjaannya sehingga makin tinggi pula
Lebih lanjut Turner (1968) menyatakan bahwa terdapat kaitan antara kondisi
ekonomi dengan tingkat prioritas kebutuhan perumahan pada setiap manusia. Bagi
perumahan yaitu :
pada lokasi rumah yang berdekatan dengan tempat yang dapat memberikan
kesempatan kerja. Tanpa kesempatan kerja yang dapat menopang kebutuhan sehari-
hari, sulit bagi mereka untuk dapat mempertahankan hidupnya. Status pemilikan
rumah dan lahan menempati prioritas kedua, sedangkan bentuk maupun kualitas
rumah menjadi prioritas terakhir. Yang terpenting bagi mereka adalah tersedianya
2. Kualitas fisik rumah dan lingkungan, tidak penting sejauh masih dapat
menyelenggarakan kehidupan.
3. Hak-hak penguasaan khususnya hak milik atas tanah dan bangunan, tidak
penting. Yang penting adalah tidak diusir atau digusur, sesuai dengan cara
Menurut Urban Poor Consortium (2007), rakyat bergerak mencari nafkah dan
tempat bermukim yang sesuai dengan kemampuan mereka untuk bekerja mencari
nafkah. Gerakan semut yang mencari sumber-sumber gula seperti ini, seharusnya
oleh Suparlan (2007) bahwa permukiman kumuh dan liar yang umumnya merupakan
Hal ini telah memungkinkan bagi mereka untuk dapat hidup sebagai sebuah
komunitas yang mandiri karena telah memungkinkan untuk dapat saling menghidupi
menyebabkan bahwa rumah bukan hanya sebagai tempat untuk beristirahat, sebagai
ruang untuk kegiatan-kegiatan pribadi dan keluarga, tetapi rumah juga merupakan
tempat bekerja. Bahkan bukan hanya rumah saja, tetapi juga ruang-ruang terbuka
yang menerima beban yang terlalu besar, yang disebabkan fisik, sosial, ekonomi,
maupun psikologis (Setiawan, 1995). Kota (lingkungan) yang padat dan semrawut
akan menghasilkan jiwa warganya yang sakit. Jiwa sakit menghasilkan kelalaian,
sifat malas, dan rasa tidak peduli terhadap sesama yang berdampak datangnya
musibah penyakit bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya (Supriatna,
2005).
sebidang lahan untuk mendukung kehidupan. Dari konsep tersebut bahwa daya
sebagai suatu lingkungan, dengan manusia sebagai penghuni rumah dan berbagai
kebutuhan yang melekat padanya. Oleh sebab itu daya dukung lingkungan tidak
pemanfaatan dan populasi yang dapat didukung oleh lingkungan telah melewati batas
untuk menentukan jenis hunian yang diinginkan. Maksudnya semakin baik ekonomi
seseorang maka semakin baik pula kualitas hunian yang dapat dibeli atau disewa.
dengan lingkungan tempat tinggal dengan latar belakang sosial yang ada sehingga
pendidikan yang diperoleh, status sosial yang dipakai untuk menempatkan diri di
lingkungannya, norma, kultur, serta adat istiadat. Faktor fisik terutama menyangkut
dimensi tempat, kepadatan, serta suasana suatu ruanagan atau tempat (warna, susunan
fisik yang timbul berupa menurunnya kualitas lingkungan yang disebabkan oleh
kepadatan, sarana dan prasarana yang tidak ada/memadai, dan menurut teori stress
lingkungan, ada dua elemen dasar yang menyebabkan manusia bertingkah laku
seperti kebisingan, suhu udara dan kepadatan. Stress (ketegangan, tekanan jiwa)
adalah hubungan antara stressor dengan reaksi yang ditimbulkan dalam diri sendiri.
lingkungan yang terlalu besar maka menyebabkan interaksi antar manusia dan
lingkungan tidak berjalan secara baik dan optimal yang menimbulkan perilaku yang
tidak wajar atau patologi sosial (Sarwono, 1995). Para sosiologi mendefinisikan
patologi sosial adalah semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan,
stabilitas lokal, pola ketinggalan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup
maupun budaya maka manusia berkeinginan untuk memiliki kehidupan dan status
yang lebih baik yaitu dengan mengadakan perubahan-perubahan, seperti gaya hidup
Pertumbuhan berarti pula berubah baik bentuk dan ukurannya. Tidak dimungkinkan
penghasilan mereka membuat ruang-ruang baru. Perubahan hunian ini akan merubah
wajah suatu hunian. Hal ini akan berpengaruh pada penyediaan fasilitas sarana
prasarana lingkungan yang harus bertambah juga jika jumlah permukiman bertambah.
Selain hal tersebut di atas, faktor kemiskinan juga sangat berpengaruh pada kualitas
lingkungan fisik permukiman. Karena dana yang terbatas dan hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, maka masyarakat kurang mampu tidak dapat
kawasan Perumahan Permukiman tidak hanya mempelajari area terbangun dan area
dengan kawasan lainnya. Karena aktifitas disekitar kawasan permukiman juga sangat
Ada dua pendekatan dalam menangani lingkungan kumuh ini menurut Drs.
Dalam kaitannya dengan dua hal tersebut diatas ada sebelas hal sulitnya
1. High rise building (bangunan tinggi) yang akan ditangani oleh penghuni yang
tergusur, memerlukan biaya yang besar karena biaya yang digunakan bukan
dimukimkan kembali,
sampah, pemadam kebakaran dan tempat bermain anak. Karena hal tersebut
profesional.
lingkungan kumuh harus memilih lokasi yang tepat dan disesuaikan dengan
1. Perbaikan Permukiman
memenuhi kebutuhan rumah yang sesuai norma. Ada usaha yang dapat
rumahnya. Bentuk tindakan dapat berupa pindah rumah juga dapat berupa
tanpa merubah rumahnya. Dalam hal ini penghuni bersifat pasif atau
kualitas perumahan dan permukiman yang selama ini menjadi perhatian pemerintah
kumuh, yang ditandai antara lain dengan kondisi prasarana dan sarana yang tidak
memadai baik secara kualitas dan kuantitas, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
rendah, kondisi sosial budaya masyarakat, dan kondisi lingkungan yang rawan
manfaat, adil, dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri
permukiman bertujuan:
rasional.
bidang lain.
sebagai berikut :
akibat dari tambahan beban yang diterima masyarakat sekitar pasar karena
tempat sampah, los-los yang tidak teratur serta tidak memenuhi syarat/kurang
berfungsi. Pasar dan masyarakat pasar adalah satu kesatuan yang saling
secara fisik agar dapat menampung lebih banyak penghuni atau pihak lain
yang membutuhkan. Keuntungan dari program ini adalah relatif cepat dan
rangka pengembangan tata ruang kota, khususnya bagian wilayah kota secara
keseluruhan dengan tujuan untuk menata kembali suatu kawasan kota, baik
2. Peremajaan
perumahan dan pemukiman dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana
dan sarana lingkungan perumahan dan pemukiman baru yang lebih layak dan sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk
meningkatkan nilai pemanfaatan lahan yang optimal sesuai dengan potensi lahannya.
Untuk menata permukiman kota menjadi lebih teratur, rapi dan indah, dan
kumuh diberbagai kota di indonesia. Berbagai program dengan bernagai istilah telah
permukiman menjadi semakin tertata dan dilengkapi sarana prasarana dasar kota.
kampung improvement program (KIP) telah lama diupayakan. Hingga saat ini
program tersebut masih tetap dilakukan dengan berbagai penyesuaian seiring dengan
1923 di Kota Surabaya. Dengan demikian, KIP sudah dilakukan pada waktu zaman
mendasar antara KIP pada zaman pemerintahan Belanda dan KIP pada saat setelah
kemerdekaan. Pada zaman Belanda, KIP dilaksanakan untuk menangani politik etis
yang dilakukan oleh kaum oposisi di Parlemen Belanda. Tujuan lain adalah untuk
melindungi penduduk warga eropa yang umumnya tinggal didekat kampung dari
bahaya epidemi.
Jadi pada dasarnya, program ini hanya menangani aspek sanitasi kampung.
Untuk memahami dan merumuskan kebijakan masa depan, perlu lebih dahulu
ini telah dilaksanakan dengan memberikan evaluasi singkat. Akan nampak pula
Gagasan ini muncul akibat maraknya pembangunan perumahan mewah dan super
mewah. Di samping itu ada desakan agar fisik swasta yang menikmati laba besar ikut
bertanggung jawab atas kesenjangan yang dirasakan masyarakat kecil. Namun dalam
kenyataan, kebijakan ini mudah diselewengkan dan lebih banyak memberi untung
• Taperum PNS
sebenarnya baik, namun dalam pelaksanaannya belum efisien sehingga masih cukup
Pola kredit ini hanya varian dari KPR biasa. Dalam pelaksanaannya pola kredit ini
sulit terralisasi sebab ada beberapa persyaratan dasar yang sebelumnya harus
dipenuhi seperti adanya serrtipikat tanah, izin mendirikan bangunan, jumlah yang
Ini merupakan pola umum yang dikembangkan akhir tahun limapuluhan. Saat
pengadaan perumahan oleh rakyat sendiri diakui, agar pembangunan dapat lebih
tertib dan persyaratan dasar dipenuhi seperti air bersih, saluran pembuangan. Dimina
pemerintah diminta mengambil inisiatif dengan pembangunan dasar dari rumah yang
rumah inti dan membantu pembangunan rumah oleh pelaku real-estate wong cilik
yang banyak dijumpai di kampung. Ketika skema perumahan ini diminta dukungan
kredit pemilikan rumah yang bersubsidi, oleh kalangan Bappenas gagasan ini
Bentuk perumahan ini gencar dilakukan pada akhir tahun tujuhpuluhan saat ada
pendapatan tiban akibat embargo minyak bumi saat terjadi perang Arab-Israel. Dalam
terjaga. Dampak negatif yang ditimbulkan adalah rumah yang tidak memenuhi
kebutuhan siapapun sehingga banyak yang dibongkar kembali atau tidak dapat
Wadah (facility) harus berarti berbagai saran untuk melaksanakan kehidupan dan
artinya yang mendukung dan merangsang proses pertumbuhan aspek sosial dan
ekonomi keluarga dalam lingkungan yang bermutu. Program perumahan seperti KIP,
P2BPK dan sejenisnya merupakan upaya untuk mendukung apa yang sudah dan
dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri. Dari berbagai program perumahn yang
2. P3KT
4. Rumah Susun.