Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berkembangbiak merupakan salah satu ciri yang dimiliki oleh makhluk hidup.
Perkembangbiakan pada makhluk hidup merupakan kemampuan makhluk hidup untuk
menghasilkan individu baru yang sifatnya sama atau menyerupai induknya serta untuk
mempertahankan atau melestarikan jenisnya . Drosophila melanogaster merupakan hewan yang
termasuk dalam kelas Insekta, dan tergolong dalam ordo Diptera yang melakukan
perkembangbiakan secara seksual. Pada pengamatan praktikum genetika ini digunakan
Drosophila melanogaster karena hewan ini mudah diperoleh dan mudah dibiakkan dalam
laboratorium, ukuran tubuhnya kecil, mempunyai siklus yang pendek, biaya untuk
mengembangbiakkannya murah, mudah dikontrol, hanya memiliki 4 pasang kromosom, dapat
menghasilkan ratusan telur yang dibuahi dalam siklus hidupnya yang pendek tersebut.(Campbell,
2008)
Drosophila melanogaster jantan dan betina mampu melakukan perkawinan dan
menghasilkan keturunan setelah mencapai kedewasaan seksual. Kedewasaan seksual pada
individu jantan ditandai dengan kemampuan menghasilkan dan mengeluarkan sperma,
sedangkan pada individu betina ditandai dengan kemampuan dalam mengovulasikan sel telur
yang dihasilkan oleh ovarium. Sel telur yang telah diovulasikan siap untuk menerima kehadiran
sperma dari individu jantan sehingga mampu untuk melakukan perkawinan. Jumlah telur yang
dihasilkan bervariasi tergantung umur betina, genotip, kelembapan, dan nutrisi. Jika makanan
induk betina tidak mencukupi, maka akan diproduksi keturunan yang sedikit karena jumlah telur
yang diproduksi sedikit. (Indayati, 1999).
Berdasarkan penelitian terkait yang dilakukan oleh Schnakenberg (2012), penyimpanan
sperma dan penggunaannya secara langsung dapat mempengaruhi kesuburan banyak organisme,
termasuk di Drosophila melanogaster. Sperma yang ditransfer saat kawin disimpan dalam
tempat yang spesifik pada sistem reproduksi D. melanogaster betina dan terus digunakan selama
2-3 minggu setelah kawin. Penyimpanan sperma memungkinkan untuk memperpanjang fertilitas
dan memungkinkan betina untuk kawin dengan banyak jantan yang berbeda, memberikan
peluang untuk menggunakan sperma yang berbeda dari jantan yang bervariasi. Dengan
demikian, sperma yang tersimpan akan mengalami perpindahan pada sistem reproduksi betina

1
sesuai dengan nasib dari masing-masing sperma. Sperma yang potensial digunakan untuk
melakukan fertilisasi, dan yang kurang potensial akan digeser oleh sperma lain atau ditolak oleh
betina. Dengan demikian, penerimaan sperma oleh betina, penyimpanan dan pemanfaatan
memainkan peran penting dalam keberhasilan reproduksi (Schnakenberg , 2012)
Menurut Wolfner (2011), pada Drosophila melanogaster, terdapat ribuan sperma yang
ditransferkan dari jantan ke betina dalam sekali kawin. Sperma dari individu jantan disimpan di
reseptakulum seminalis dan sepasang spermateka. Beberapa dari sperma tersebut akan langsung
digunakan, dan lainnya akan disimpan untuk penggunan yang akan datang, namun tidak sedikit
pula dari sperma-sperma tersebut yang tak tertampung karena terbatasnya kapasitas organ
penyimpanan sperma. Pada betina normal, kemampuan penyimpanannya hanya sekitar 20-25%
dari seluruh jumlah sperma yang ditransferkan.
Menurut Singh, et al., (2002), individu betina D. melanogaster mampu melakukan
peristiwa perkawinan kembali. Perkawinan kembali pada individu betina D. melanogaster
dipengaruhi antara lain oleh jumlah sperma yang tersisa dalam spermateka. Jika sperma yang
disimpan dalam spermateka semakin berkurang, maka individu betina tersebut akan semakin
reseptif untuk melakukan perkawinan kembali. Betina D. melanogaster tidak hanya mampu
melakukan perkawinan dengan jantan yang berasal dari strain yang sama, namun juga dapat
melakukanan perkawin dengan beberapa jantan yang berasal dari strain yang berbeda (Clark, et
al, 1994).
Individu betina D. melanogaster memiliki mekanisme pemanfaatan sperma yang sangat
baik. Ketika melakukan peristiwa perkawinan kembali, akan terdapat keadaan dimana sperma
yang berasal dari jantan kedua lebih diutamakan dibandingkan sperma yang telah disimpan dan
berasal dari individu jantan sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa faktor yang
menentukan proses pemanfaatan sperma dalam individu betina. antara lain fenomena kapan dan
bagaimana sperma tersebut disimpan, pergeseran sperma, kapasitasi serta tingkat motilitas dari
sperma tersebut. (Catherine, 1999)
D. melanogaster memiliki banyak variasi strain sehingga terdapat beberapa sifat beda
antar strain dalam satu spesies. Pada penelitian ini, digunakan D. melanogaster yang berasal dari
strain ecl, e, cl, mal, emal, N. Menurut Lefevre (1962) diketahui bahwa pemanfaatan sperma
pada individu betina D. melanogaster dapat terjadi secara tidak acak maupun secara acak.
Pemanfaatan sperma dalam fertilisasi bersifat tidak acak jika turunan dari jantan pertama tidak

2
muncul pada persilanganbetina tersebut dengan jantan kedua, ketiga maupun keempat atau
dengan kata lain keturunan pada persilangan tertentu hanya akan menghasilkan fenotip
keturunan pertama dari hasil persilangan tersebut dan sesuai dengan rekonstruksi. Pemanfaatan
sperma bersifat acak terjadi apabila keturunan dari jantan pertama dengan betina muncul kembali
pada persilangan betina tersebut dengan jantan kedua, ketiga maupun keempat atau dengan kata
lain muncul pada persilangan dengan jantan selanjutnya sehingga, fenotip anakan yang dhasilkan
pada perkawinan kedua, ketiga dan keempat tidak sesuai dengan rekonstruksi. D. melanogaster
memiliki banyak variasi strain sehingga terdapat beberapa sifat beda antar strain dalam satu
spesies. Pada penelitian ini, digunakan D. melanogaster yang berasal dari strain ecl, e, mal, emal,
cl, N karena memiliki beberapa sifat beda pada warna tubuh, warna mata, dan bentuk sayap.
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan tersebut, maka dilakukan penelitian dengan judul
“Pemanfaatan Sperma pada Individu Betina Drosophila melanogaster Strain ecl dan emal”

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini yaitu:
1.2.1 Bagaimana pemanfaatan sperma pada individu betina D. melanogaster strain ecl?
1.2.2 Bagaimana pemanfaatan sperma pada individu betina D. melanogaster strain emal?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini yaitu:
1.3.1 Untuk mengetahui pemanfaatan sperma pada individu betina D. melanogaster strain ecl.
1.3.2 Untuk mengetahui pemanfaatan sperma pada individu betina D. melanogaster strain emal.

1.4 Kegunaan Penelitian


1.4.1 Bagi Mahasiswa Biologi
1.4.1.1 Dapat memberikan informasi mengenai pemanfaatan sperma pada individu betina. D.
melanogaster strain ecl dan emal, dimana penelitian ini masih jarang dilakukan.
1.4.1.2 Memberikan kontribusi pengetahuan tentang ruang lingkup genetika.
1.4.1.3 Memberikan motivasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan
sperma pada individu betina D. melanogaster dengan menggunakan macam strain yang
lain.

1.4.2 Bagi Peneliti


1.4.2.1 Memberikan wawasan baru mengenai aplikasi ilmu genetika pada D. melanogaster

3
1.4.2.2 Sebagai program pengayaan bahan praktikum matakuliah Genetika II tentang kajian
pemanfaatan sperma pada individu betina D. melanogaster strain ecl dan emal.
1.4.2.3 Mengetahui fenomena yang terjadi dalam proses pemanfaatan sperma pada individu
betina D. melanogaster strain ecl dan emal.
1.4.2.4 Menambah rasa tekun, kerja keras, tidak mudah putus asa, sabar, dan jujur, serta
menghargai dan menjaga ciptaan Tuhan YME.

1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya


1.4.3.1 Memberikan informasi ilmiah dalam imu genetik tentang pemanfaatan sperma pada
individu betina Drosophila melanogaster strain ecl dan emal
1.4.3.2 Memberikan bukti bahwa Drosophila melanogaster betina dalam pemanfaatan sperma
jantan
1.4.3.3 Memberikan acuan bagi peneliti lanjut genetik tentang pemanfaatan sperma pada
individu betina Drosophila melanogaster strain ecl dan emal
1.4.3.4 Sebagai bahan perbandingan dalam melakukan suatu penelitian baru serta
mengembangkan penelitian yang sebelumnya.

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah


Dalam penelitian ini terdapat beberapa batasan masalah antara lain adalah sebagai
berikut:
1.5.1 Penelitian menggunakan D. melanogaster strain ecl, e, cl, emal, mal, dan N.
1.5.2 Pada penelitian ini, individu betina yang digunakan berasal dari 2 jenis strain yaitu ecl dan
emal.
1.5.3 Pada penelitian ini, individu jantan yang digunakan berasal dari 6 jenis strain yang
berbeda, antara lain ecl, e, cl, mal, emal, dan N.
1.5.4 Pada satu individu betina dilakukan 4 tipe persilangan dengan 4 kali ulangan pada masing-
masing tipe persilangan.
1.5.5 Pada penelitian ini hanya membahas tentang pemanfaatan sperma pada individu betina D.
melanogaster strain ecl yang terjadi pada persilangan ♀ecl>< ♂ecl, ♀ecl>< ♂e, ♀ecl><
♂cl dan ♀ecl>< ♂N. Serta membahas mengenai pemanfaatan sperma pada individu betina
D. melanogaster strain eclyang terjadi pada persilangan ♀emal>< ♂emal, ♀emal>< ♂e,
♀emal>< ♂mal dan ♀emal>< ♂N.

4
1.5.6 Data yang diperoleh berasal dari pengamatan fenotip F1 yang meliputi warna mata, faset
mata, warna tubuh, keadaan sayap, jenis kelamin, dan jumlah keturunan F1 dari masing-
masing tipe persilangan.
1.5.7 Penelitian yang dilakukan hanya mengamati sebatas keturunan F1. Pengambilan data
berupa perhitungan F1 dimulai dari hari pertama hingga hari ketujuh.
1.5.8 Data yang diperoleh dihitung dari jumlah keturunan jantan dan betina untuk setiap tipe
persilangan, ulangan, dan tiap persilangan dalam botol A, B, C, dan D

1.6 Asumsi Penelitian


Beberapa hal dari penelitian ini yang diasumsikan sama yaitu sebagai berikut.
1.6.1 Usia D. melanogaster yang disilangkan dalam penelitian ini dianggap sama
1.6.2 Tahap kopulasi yang dilakukan oleh D. melanogaster pada seluruh strain dianggap sama.
1.6.3 Kondisi medium yang digunakan dalam botol sebagai tempat peremajaan dan persilangan
baik ukuran, jumlah, jenis dianggap sama.
1.6.4 Faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, kelembaban, pH, temperatur di tempat
diletakkannya kardus persilangan, dan stok, dianggap sama.
16.5 Nutrisi yang diterima oleh individu dianggap sama.
16.6 Waktu yang digunakan selama penelitian dalam mengembangbiakkan Drosophila
melanogaster dianggap sama
16.7 Kesuburan atau fertilitas semua induk betina maupun jantan dianggap sama
16.8 Viabilitas setiap strain dianggap sama

1.7 Definisi istilah


Untuk memudahkan dalam memahami beberapa istilah dalam penelitian ini maka perlu
diberikan definisi operasional sebagai berikut:

1.7.1 Fenotip adalah karakter yang dapat diamati pada suatu individu seperti morfologi, fisiologi,
tingkah laku yang merupakan hasil interaksi antara genotip dengan lingkungan tempat
hidup dan berkembang. Pada penelitian ini fenotip yang diamati meliputi warna mata,
warna tubuh, ukuran sayap dan faset mata.
1.7.2 Strain merupakan suatu kelompok intra spesifik yang hanya memiliki 1 atau sejumlah kecil
ciri yang berbeda, biasanya secara genetik dalam keadaan homozigot untuk ciri-ciri
tersebut. Strain yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain ecl (ebony-clot) yang
mengalami mutasi berupa tubuh berwarna gelap dan mata berwarna cokelat; e (ebony)

5
yang mengalami mutasi berupa tubuh berwarna gelap; cl (clot) yang mengalami mutasi
berupa mata berwarna cokelat; emal (ebony-maroon-like), yang mengalami mutan berupa
mutan warna tubuh dan warna mata mal (maroon-like) yang mengalami mutasi pada
warna mata dan N (wild type) normal.
17.3. Pemanfaatan sperma adalah penggunaan sperma yang tersimpan dalam organ penyimpanan
sperma (reseptakulum seminalis dan spermateka) oleh individu betina Drosophila
melanogaster (Clark, et al, 1994). Pemanfaatan sperma pada penelitian ini dapat dilihat
dari jumlah dan strain dari keturunan F1 yang dihasilkan pada setiap tipe persilangan
1.7.4 Daya reseptivitas adalah kemampuan individu betina untuk menerima kehadiran individu
jantan kedua, ketiga, dan seterusnya setelah melakukan perkawinan dengan jantan
sebelumnya (Nusantari, 1997). Daya reseptivitas pada penelitian ini adalah kemampuan
betina yang dapat dikawinkan lagi dengan jantan lain setelah dua hari dari perkawinan
sebelumnya.

6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sistematika Drosophila melanogaster
D. melanogaster merupakan lalat buah yang tergolong pada Ordo Insekta dengan tiga bagian
tubuh yakni sepal, thorak, dan abdomen. D. Melanogaster memiliki mata merah, mata majemuk
berbentuk bulat agak ellips dan mata tunggal (oceli) pada bagian atas kepalanya dengan ukuran
relatif lebih kecil dibanding mata majemuk, warna tubuh kuning kecoklatan dengan cincin
berwarna hitam di tubuh bagian belakang. Ukuran tubuh Drosophilla melanogaster berkisar
antara 3-5 mm. Sayap Drosophilla melanogaster cukup panjang dan transparan, posisi sayapnya
bermula dari thorak, vena tepi sayap (costal vein) memiliki dua bagian yang terinterupsi dekat
dengan tubuhnya, aristanya pada umumnya berbentuk rambut dan memiliki 7-12 percabangan.
Crossvein posterior umumnya berbentuk lurus, tidak melengkung. Thoraknya memiliki bristle,
baik panjang dan pendek, sedangkan abdomen bersegmen lima dan bergaris hitam (Hotimah,
2017). Drosophila melanogaster memiliki siklus hidup yang pendek, jumlah kromosom sedikit,
ukuran genom kecil, dan memiliki kromosom yang besar pada kelenjar ludahnya, kromosom
yang berukuran besar inilah yang menyebabkan Drosophila melanogaster sering digunakan
dalam penelitian genetika (Oltmanns, 2012).
Berikut merupakan klasifikasi dari D. melanogaster menurut Borror (1992):
Kingdom : Animalia
Phyllum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Famili : Drosophilidae
Genus : Drosophila
Spesies : Drosophila melanogaster

Di bawah ini merupakan gambar morfologi dari individu jantan dan betina D.
melanogaster.

7
Gambar 2.1 : a. Morfologi D. melanogaster dari bagian lateral b. morfologi D. melanogaster
dari bagian dorsal (sumber : Gompel, 2013).

2.2 Deskripsi D. melanogaster Strain ecl, e, cl, emal, mal, dan N

2.2.1 Karakteristik D. melanogaster Strain ecl


Pada D. melanogaster strain ecl memiliki karakteristik yang diatur oleh gen yang
mengalami mutasi pada kromosom 3 lokus 70.7 dan kromosom 2 lokus 16.5. Kromosom 3 lokus
70.7 menunjukkan mutasi yang terjadi pada tubuh dan mengakibatkan fenotipe berupa warna
tubuh menjadi gelap, sedangkan mutasi yang terjadi kromosom 2 lokus 16,5 mengakibatkan
perubahan fenotipe pada mata D. melanogaster menjadi berwarna coklat (Gompel, 2013).
2.2.2 Karakteristik D.melanogaster Strain ebony
Pada strain ebony (e) D. melanogaster memiliki karakteristik tubuh berwarna gelap, faset
mata halus, warna mata merah, dan sayap menutup tubuh secara sempurna. Pada strain ini
diketahui terjadi mutasi pada kromosom 3 lokus 70.7 (Gompel, 2013). Berikut merupakan
gambar morfologi dari D. melanogaster strain ebony

Gambar 2.2 D. melanogaster strain ebony (e) (Sumber: Gompel, 2013)

8
2.2.3 Karakteristik D. melanogaster Strain clot (cl)
Pada strain clot (cl) memiliki karakteristik fenotipe faset mata berwarna coklat, tubuh
berwarna kuning kecoklatan, dan sayap menutupi tubuh secara sempurna. Pada strain cl
diketahui terjadi mutasi pada kromosom ke 2 tepatnya pada lokus nomer 16.5. Mutasi tersebut
berkaitan dengan warna mata yang menyebabkan fenotip warna mata D. melanogaster strain cl
adalah coklat (Gompel, 2013). Berikut merupakan gambar morfologi dari D. melanogaster strain
clot.

Gambar 2.3 D. melanogaster strain clot (cl) (Sumber: Gompel, 2013)

2.2.4 Karakteristik D.melanogaster Strain emal


Pada strain emal (ebony-maroon-like), memiliki karakteristik fenotipe faset mata
berwarna merah maroon, tubuh berwarna kehitaman, dan sayap menutupi tubuh secara
sempurna. Pada strain emal diketahui terjadi mutasi pada kromosom ke 3 dan 2.
2.2.5 Karakteristik D.melanogaster Strain mal
Pada strain mal (maroon-like), memiliki karakteristik fenotipe faset mata berwarna merah
maroon, tubuh berwarna kuning kecoklatan, dan sayap menutupi tubuh secara sempurna. Pada
strain emal diketahui terjadi mutasi pada kromosom ke 1.
2.2.6 Karakteristik D. Melanogaster Strain N
Karakteristik Drosophilla melanogaster tipe normal dicirikan dengan mata merah, mata
majemuk berbentuk bulat agak ellips dan mata tunggal (oceli) pada bagian atas kepalanya
dengan ukuran relatif lebih kecil dibanding mata majemuk, warna tubuh kuning kecokelatan
dengan cincin berwarna hitam di tubuh bagian belakang. Ukuran tubuh Drosophilla melanogaster
berkisar antara 3-5 mm. Sayap Drosophilla melanogaster cukup panjang dan transparan, Posisi
sayapnya bermula dari thorak, vena tepi sayap (costal vein) memiliki dua bagian yang
terinterupsi dekat dengan tubuhnya. Aristanya pada umumnya berbentuk rambut dan memiliki 7-
9
12 percabangan. Crossvein posterior umumnya berbentuk lurus, tidak melengkung. Thoraknya
memiliki bristle, baik panjang dan pendek, sedangkan abdomen bersegmen lima dan bergaris
hitam (Hotimah, 2017).

Gambar 2.4 D. Melanogaster Strain Normal (N) – wild type (Sumber: Gompel, 2013)

2.3 Sistem Reproduksi D. Melanogaster

2.3.1 Sistem Reproduksi jantan D. Melanogaster


Reproduksi jantan pada Drosophila melanogaster terdiri dari testis, kelenjar tambahan,
saluran ejakulasi dan vesikula seminalis (Zamore, 2011). Menurut Boror et al (1992) testis terdiri
dari sekelompok buluh-buluh sperma atau folikel-folikel yang dikelilingi oleh selaput
peritoneum. Setiap sperma bermuara ke dalam buluh penghubung yang pendek yaitu vas
defferens dan buluh ini berhubungan dengan satu vas deferens tunggal pada masing-masing sisi.
Dua vas deferens biasanya bersatu pada bagian posterior untuk membentuk saluran ejakulasi.
Kelenjar tambahan mensekresikan cairan-cairan yang berfungsi sebagai suatu carrier untuk
spermatozoa atau membentuk spermatofor.
Ejakulasi jantan tidak hanya mengandung sperma, tapi juga banyak zat gizi dan zat kimia
yang dapat dikenai seleksi melalui kompetisi sperma. Protein kelenjar aksesori dan protein
saluran ejakulasi pada cairan mani yang ditransfer ke betina selama perkawinan memiliki fungsi
reproduksi yang penting, termasuk peningkatan oogenesis, ovulasi, tingkat oviposisi, penurunan
penerimaan terhadap tahap pacaran, mediasi penyimpanan sperma, kompetisi sperma, dan
rentang hidup yang menurun (Singh, et al., 2002).
Jantan D melanogaster juga mentransfer protein antibakteri dari kelenjar aksesori dan
saluran ejakulasi ke pasangan mereka (Singh, et al., 2002), yang membantu melindungi saluran
reproduksi pria dan setelah kawin, juga melindungi saluran reproduksi betina dan telur dalam
melawan infeksi bakteri. Mereka juga melindungi sperma karena jantan mentransfer protein

10
cairan mani sebelum sperma. Duktus ejakulasi protein esterase-6 ditransfer ke betina dalam
cairan mani, dan dilaporkan mempengaruhi penggunaan sperma dan produksi keturunan (Singh,
et al., 2002). Ada delapan jenis protein cairan mani yang dilaporkan pada Drosophila. Protein
kelenjar aksesori dibagi menjadi tiga kelas structural yakni peptida sederhana, yang menengahi
perubahan dalam penempatan dan daya penerimaan telur, yang kedua molekul mirip prohormon
dan molekul besar lainnya seperti Acp26Aa dan Acp76A yang merangsang fertilisasi telur pada
hari pertama setelah kawin, dan yang ketiga glikoprotein besar, seperti Acp36DE, yang dapat
berfungsi dalam penyimpanan atau pemanfaatan sperma. Acp36DE juga berperan dalam
"memperbaiki" sperma, mengurangi pemborosan sperma dan memastikan bahwa jumlah sperma
yang lebih banyak memasuki organ penyimpanan betina. Berikut gambar representatif dari
sistem reproduksi pada individu jantan D.melanogaster.
Pada Gambar 2.5 dibawah ini dapat dilihat bagian-bagian dari alat reproduksi jantan D.
melanogaster. Pada huruf T menunjukkan sepasang testis yang terhubung dengan vas diferen
yang tertunjuk pada huruf VD ke saluran ejakulator anterior. Sepasang lobus kelenjar asesori
juga terhubung ke saluran ejakulator anterior. setiap lobus dikelilingi oleh selubung otot yang
rupanya menekan sekresi dari sel ke saluran ejakulator (ED) dan bulb (EB) untuk mencampur
dengan sperma. sperma dikeluarkan dari vas diferen ke saluran ejaculator (Schnakenberg, et al.,
2012). Berikut merupakan alat reproduksi jantan D. Melanogaster.

Gambar 2.5 Alat Reproduksi Jantan D. melanogaster. T:Testis, VD:Vas Deferens, AG :


Acessory Gland, ED: Ejaculator ductus, EB: Ejaculator bulb. (Sumber: Schnakenberg, et al,
2012)

11
2.3.2 Sistem Reproduksi betina D. Melanogaster
Alat reproduksi betina dari D. melanogaster terdiri dari beberapa organ. Pada Gambar
2.6 dapat dilihat Pada huruf SP menunjukkan spermateka sebagai organ penyimpanan sperma,
selain itu spermateka juga berfungsi sebagai struktur kelenjar. Saluran spermateka dikelilingi
oleh sebuah lapisan otot tipis dan jaringan epitel. setiap saluran spermateka dari uterus anterior-
dorsal menuju ke lumen sebuah selubung kutikular tempat sperma disimpan. Huruf SR
menunjukkan reseptakel seminal yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan sperma Kelenjar
spermateka (spermathecal gland) memproduksi enzim dan nutrisi untuk mempertahankan sperma
sementara berada di penyimpanan. (Schnakenberg, et al, 2012). Berikut merupakan alat
reproduksi betina D. melanogaster.

Gambar 2.6 Alat Reproduksi Betina D. melanogaster. O: Ovarium, LO: Lateral oviduct,
CO: Common oviduct, SR: Seminal Reseptakel, SP: Spermateka, AG : Asesory gland, U: uterus
(Sumber: Schnakenberg, et al, 2012)

2.4 Kematangan Seksual Individu Jantan dan Betina D. melanogaster

2.4.1 Kematangan Seksual Individu Jantan D. Melanogaster


Menurut Indayati (1999), pada umumnya individu jantan akan kawin ketika sudah
mencapai kematangan seksual. Kematangan seksual pada individu jantan kurang lebih berumur
12 jam setelah menetas. Kematangan individu jantan ditandai dengan kemampuannya dapat
menghasilkan sperma. Secara sitologi sperma mulai bergerak pada D. melanogaster jantan yang
berusia 8 jam setelah menetas, dan sperma mulai bergerak pada bagian terminal dari testis
melalui kutub menuju kutub testiculo deferensial menuju ke vesikula seminalis antara 610 jam.

12
Adanya pergerakan sperma tersebut menunjukkan bahwa sperma telah memiliki motilitas dan
siap untuk diejakulasikan.
2.4.2 Kematangan Seksual Individu Betina D. melanogaster
Menurut Indayati (1999), individu betina memiliki kematangan seksual kurang lebih 48
jam setelah menetas. Kematangan seksual individu betina ditandai dengan kemampuannya dapat
menghasilkan ootid atau sel telur. Menurut Indayati (1999), produksi telur oleh individu betina
bervariasi. Hal ini tergantung pada umur betina, nutrisi, serta kelembapan lingkungan. Menurut
Indayati (1999), D. melanogaster betina rata-rata dapat menghasilkan telur 64 butir per hari.
Telur pada D. melanogaster tahap blastula kemudian akan berkembang menjadi larva setelah 12
jam kemudian. Larva akan berubah menjadi pupa yang menetas setelah 8-11 hari kemudian yang
dalam kondisi ini keadaan internal dan eksternal sangat berpengaruh.
2.5 Kemampuan Kawin Kembali Pada Individu Betina D. melanogaster
Daya reseptivitas betina untuk perkawinan lagi tergantung pada jumlah sperma yang
disimpan dalam alat penyimpanan, dimana akan meningkatkan kesuksesan reproduksi antara
betina dan jantan yang memiliki sperma dalam alat penyimpanannya (Indayati,1999).
Penyesuaian betina merupakan komponen penting dari sistem kawin D. melanogaster, karena
betina menyimpan sperma dalam jumlah besar setelah kawin dalam sepasang spermathecae
spherical dan tubulus seminal, setelah betina D. melanogaster kawin, biasanya tidak mau
menerima jantan lain untuk beberapa saat, biasanya individu betina yang membedakan atau
membatasi dalam kegiatan kawin dan secara aktif menerima atau menolak pacaran dengan
jantan. Panjang periode refrakter bervariasi antar strain dari spesies yang sama, tetapi betina D.
melanogaster mungkin juga tidak akan kawin lagi sebelum sperma dari perkawinan sebelumnya
telah habis (Singh, et al., 2002) Setelah kawin, perubahan perilaku dan fisiologis terlihat pada
betina D. melanogaster yang meliputi penurunan daya tarik pada jantan, gerakan yang kurang
dalam menanggapi jantan, penurunan penerimaan untuk kawin lebih lanjut, peningkatan kadar
oogenesis, ovulasi, oviposisi, penyimpanan dan pemanfaatan sperma serta rentang umur yang
menurun. (Singh, et al., 2002)
Perubahan perilaku dan fisiologis pada betina setelah kawin memiliki efek jangka pendek
maupun jangka panjang. Efek jangka pendek disebut "efek kopulasi", pada D. melanogaster
disebabkan oleh komponen cairan mani (protein) yang ditransfer saat kawin oleh jantan,
menyebabkan penurunan reseptivitas awal sehingga memaksimalkan penggunaan sperma dan
meminimalkan persaingan sperma. Penundaan jangka panjang terhadap perkawinan kembali
13
betina di D melanogaster secara tidak langsung terkait dengan beban sperma dan disebut "efek
sperma", kopulasi dan efek sperma tidak selalu saling eksklusif dan bisa keduanya hadir pada
hari pertama setelah kawin, namun dalam perkawinan normal, sperma dan cairan mani
ditransfer, jadi efek kopulasi biasanya akan mengaburkan efek sperma dalam sehari. Sistem saraf
pusat (SSP) secara keseluruhan mengendalikan penerimaan betina D. melanogaster. Stimulasi
mekanis SSP oleh gerakan sperma, terdeteksi oleh inervasi organ penyimpanan sperma sehingga
terjadi penundaan jangka panjang perkawinan betina kembali pada betina (Singh, et al., 2002).
Diketahui bahwa frekuensi perkawinan kembali betina D. melanogaster bergantung pada
jumlah sperma yang disimpan, komponen cairan mani jantan, tingkat nutrisi, oviposisi dan
ukuran testis. Protein ejakulasi esterase-6, yang disekresikan dari kelenjar aksesori D.
melanogaster jantan dan dipindahkan ke betina bersamaan dengan sperma selama kopulasi
diketahui bertanggung jawab untuk penggunaan sperma, stimulasi oviposisi dan penekanan pada
perkawinan kembali betina (Singh, et al., 2002). Keberhasilan reproduksi betina akan menurun
sampai persediaan sperma yang tersimpan turun di bawah ambang batas, jika ambang batas
ditentukan oleh betina, jalan utama jantan untuk meningkatkan keberhasilan reproduksi akan
melalui peningkatan jumlah sperma yang ditransfer harus di atas ambang batas sehingga sperma
ini terlindungi dari kerugian akibat perkawinan kembali betina yang dibatasi oleh ambang batas
kawin kembali (Singh, et al., 2002).
Sperma pendek dan tidak terfertilisasi dapat berfungsi dalam kompetisi sperma dengan
menjadi "pengisi murah" untuk menunda perkawinan kembali betina, Sperma pendek relatif
lebih mudah untuk diproduksi dari pada sperma panjang karena jantan D. melanogaster yang
memproduksi sperma yang lebih besar membutuhkan waktu menjadi dewasa lebih lama dari
pada jantan yang menghasilkan sperma lebih pendek, selain itu oviposisi lebih penting dari pada
pemasukan sperma dalam menunda penerimaan betina terhadap kawin kembali dan bahwa
genotipe heterosperma yakni sperma pembawa genotip x dan y, berperan dalam mempengaruhi
kawin kembali betina, hal ini berkaitan dengan adanya perbedaan jumlah atau kualitas cairan
mani yang ditransfer saat kawin (Singh, et al., 2002).
Jantan pertama mempengaruhi waktu kawin kembali pada betina, betina dengan sperma
yang kurang pada kawin pertama lebih mungkin untuk kawin kembali, betina yang melahirkan
lebih banyak telur menghabiskan persediaan sperma mereka lebih cepat dan sering mengulang
untuk, selain itu ketika betina disimpan pada makanan berkualitas tinggi, dapat meningkatkan

14
kawin kembali, namun perkawinan kembali itu merugikan karena mengurangi masa hidup dan
mengurangi keberhasilan reproduksi seumur hidup pada betina, fekunditas yang lebih rendah
dari kawin kembali dapat disebabkan oleh kelelahan sebagian dari penyimpanan sperma dan
perpindahan atau inaktivasi cairan mani yang mendahului transfer sperma (Singh, et al., 2002).
Betina akan kawin kembali sebagai respons terhadap sperma rendah, betina yang
menerima kawin kembali memproduksi lebih sedikit keturunan dari pada betina yang tidak
kawin kembali. Perkawinan kembali betina D. melanogaster menghasilkan lebih banyak telur
dari pada betina yang tidak kawin kembali, dan menunjukkan bukti bahwa oogenesis dan
oviposisi juga memicu perkawinan kembali betina, baik sendiri atau bersamaan dengan efek
jantan. Kawin kembali dapat memperbaharui atau mengisi persediaan sperma yang berkurang,
Kawin kembali adalah asuransi terhadap sterilitas dan kesuburan jantan juga dapat meningkatkan
heterogenitas genetik keturunan betina (Singh, et al., 2002).

2.6 Pemanfaatan Sperma Pada Individu Betina D. melanogaster


Perkawinan kembali dan penyimpanan sperma pada individu betina merupakan aspek
penting pada perilaku seksual Drosphila melanogaster karena berkaitan dengan pola
pemanfaatan sperma (Singh et al, 2001). Drosophila melanogaster memiliki dua tipe organ
untuk penyimpanan sperma yaitu reseptakulum seminalis yang mengandung sebagian besar
sperma (65-80%), dan pasangan spermateka sebagai tempat penyimpanan sperma jangka
panjang. Sperma disimpan di dalam lumen spermateka dimana sperma menerima protein-protein
yang masih belum diketahui fungsinya dari sel epitelial sekretori yang mengelilingi lumen
spermateka (Adrianne, et al, 2008). Sperma yang tersimpan dalam reseptakulum seminalis
digunakan untuk fertilisasi terlebih dahulu dari pada yang tersimpan di spermateka. Mekanisme
ini terjadi karena posisi dari organ penyimpanan sperma pada traktus genetalis individu betina
yang mana bagian proksimal reseptakulum seminalis terbuka langsung ke oviduk di atas uterus
(Muliati, 2000).
Jumlah sperma yang tersimpan di dalam organ penyimpanan sekitar 500-700, sehingga
diperkirakan adanya pembuangan sperma dari Drosophila dan hanya 10%-20% yang disimpan.
Penyimpanan sperma berada dalam keadaan berputar secara kontinyu. Adanya tingkat
penggunaan sperma yang tinggi disebabkan oleh kontraksi otot reseptakulum seminalis yang
membantu pergerakan sperma untuk keluar masuk dari reseptakulum seminalis (Muliati, 2000).
Pemanfaatan sperma dalam fertilisasi dapat bersifat acak maupun tidak acak.

15
Pemanfaatan sperma dalam fertilisasi tidak acak apabila keturunan dari jantan pertama
tidak muncul pada persilangan betina dengan jantan kedua, ketiga, keempat, atau dengan kata
lain keturunan pada persilangan tertentu hanya akan menghasilkan fenotip keturunan pertama
hasil persilangan tersebut. Pemanfaatan sperma yang bersifat acak terjadi jika keturunan dari
jantan pertama dengan betina tersebut muncul pada persilangan dengan jantan kedua, ketiga
maupun keempat atau dengan kata lain muncul pada persilangan dengan jantan selanjutnya.
Gen-gen spesifik dan protein-protein diketahui memiliki peran penting dalam kompetisi
antar sperma. Pada individu jantan Drosophila melanogaster, sperma dari jantan kedua lebih
diutamakan. Protein-protein dari kelenjar asesori pada individu jantan memainkan peran dalam
kompetisi sperma pada Drosophila (Adrianne, et al, 2008).
2.7 Kompetisi Sperma Pada Individu Betina D. melanogaster
Kompetisi sperma yakni kompetisi sperma dalam tubuh betina dari dua atau lebih jantan
yang akan membuahi sel telur. Dari perkawinan yang dilakukan oleh individu betina D.
melanogaster, penggunaan sperma dari individu jantan kedua lebih utama dan reduksi
kesuksesan reproduksi dari jantan kedua berhasil terjadi setelah 2 hari perkawinan. Hal tersebut
karena sperma dari jantan pertama masih tertinggal dalam organ penyimpanan sampai beberapa
hari sebelum terkena pengaruh dari cairan seminal sperma jantan kedua dimana cairan seminal
dari jantan kedua menghalangi penggunaan sperma jantan pertama yang disimpan (Singh, et al.,
2002).
Persaingan sperma timbul terutama karena kapasitas penyimpanan sperma yang rumit di
dalam betina, karena penggunaan sperma yang sangat efisien saat pembuahan, dan karena
probabilitas kawin kembali yang tinggi. Persaingan sperma mungkin sangat kuat saat sperma
beberapa jantan disimpan bersamaan di dalam organ penyimpanan khusus atau bagian dari
saluran reproduksi betina sebelum pembuahan. Peran manipulasi betina mungkin besar dan dapat
memiliki efek dramatis pada hasil permainan kompetisi sperma dalam kasus yang ekstrim, betina
dapat kawin dengan sejumlah jantan dan kemudian memilih sperma yang akan digunakan untuk
membuahi telur mereka, betina memilih sperma melalui spermisida, kejadian ini dengan
membuang sperma yang diterima, dengan mencerna sperma atau melalui fagositosis
spermatozoa, dilain sisi jantan telah berevolusi untuk menghasilkan sperma dalam jumlah besar
untuk membingungkan atau mencampuradukkan sistem pilihan betina yang samar sehingga

16
spermisida dapat bermanfaat bagi betina hanya dengan menyediakan sumber nutrisi yang
berharga (Singh, et al., 2002).
Kemampuan bersaing sperma juga meliputi pertahanan sperma (sperm defense).
Kemampuan bertahan jantan pertama mungkin dihitung oleh kemungkinan bahwa betina akan
kawin kembali sebelum menggunakan semua spermanya yang tersimpan. Betina yang
dikawinkan dengan jantan pertama dengan kemampuan defensif yang lebih besar tidak akan
kawin kembali sampai lebih sedikit sperma yang tersimpan di penyimpanannya. Kemampuan
pertahanan sperma jantan pertama mungkin lebih jauh diukur dengan kemampuan spermanya
untuk menahan perpindahan atau untuk mengurangi keberhasilan fertilisasi sperma jantan kedua
(Singh, et al., 2002). Ada juga pelanggaran sperma (sperm offense). Kemampuan ofensif jantan
kedua bisa dihitung oleh kemampuannya untuk mendorong seorang betina untuk kawin lagi
sebelum dia menggunakan semua sperma yang tersimpan. kemampuan ofensif bisa diukur
dengan kemampuan jantan kedua untuk menggantikan sperma jantan pertama. Dari perspektif
kemampuan kesuburan jantan dengan kemampuan yang tinggi akan datang dari genotipe yang
memaksimalkan jumlah keturunan induk jantan, terlepas dari urutan kawin (Singh, et al., 2002).
2.8 Mekanisme Perpindahan Sperma Pada Individu Betina D. melanogaster
Perkawinan yang terjadi pada D. melanogaster dapat terjadi secara berulang kali oleh
beberapa jantan yang berbeda terhadap individu betina yang sama. Hal tersebut menunjukkan
adanya penyimpanan sperma dari beberapa jantan yang berbeda pada seekor individu betina.
Setekah ejakulasi, sperma menuju ke titik khusus dalam betina dimana mereka akan disimpan.
Sperma disimpan dalam tiga organ penyimpanan yaitu dua spermateka dan satu reseptakulum
seminalis. Reseptakulum seminalis berukuran rata-rata 2 mm panjangnya dengan diameter
terluar rata-rata 15 cm yang bertambah sampai 30 cm pada bagian akhir distal dan akhirnya
menyempit kembali berupa saluran penutup. Dua spermateka pada Drosophila berfungsi sebagai
organ penyimpan sperma (Lefevre, 1962).
Adanya dua tempat penyimpanan sperma tersebut juga menimbulkan perbedaan dalam
jumlah sperma yang tersimpan dalam masing-masing organ. Menurut Iida (2003), bahwa 20%
sperma disimpan di spermateka dan 80% disimpan dalam reseptakulum seminalis. Dengan
penjlasan ini, maka jelas komposisi penyimpanan sperma pada kedua organ ini berbeda (20:80).
Adapun waktu yang dibutuhkan untuk habisnya sperma dalam organ penyimpanan adalah relatif.
Hal ini berhubungan dengan jumlah sperma yang ditransfer. Semakin banyak sperma yang

17
ditransfer, maka waktu yang dibutuhkan untuk habisnya sperma dalam pembuahan sel telur juga
semakin lama.
Lefevre (1962) menjelaskan bahwa D. melanogaster betina menggunakan sperma dengan
efisiensi yang tinggi, 100% sperma yang tersimpan digunakan untuk fertilisasi. Ada dua
pendapat tentang penggunaan sperma yang tersimpan dalam organ penyimpanan betina.
Pendapat pertama adalah penggunaan sperma bersifat tidak acak sedangkan pendapat kedua
menyatakan bahwa penggunaan sperma bersifat acak. Singh, et al., (2002), mengatakan bahwa
sperma yang tersimpan dalam reseptakulum seminalis dan spermateka dikeluarkan secara acak
dalam fertilisasi
2.9 Kerangka Konseptual
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan sperma pada individu betina D.
melanogaster strain ecl dan emal dengan melakukan persilangan D. melanogaster strain ♀ecl
sebanyak 4 tipe yaitu ♀ecl dengan ♂ecl, ♂e, ♂cl, ♂N dan persilangan strain ♀emal sebanyak 4
tipe yaitu ♀emal dengan ♂emal ♂e, ♂mal, dan ♂N. Untuk itu digunakan kerangka konseptual
sebagai berikut:

Masing-masing makhluk hidup memiliki kemampuan berkembangbiak yang


bervariasi

D. melanogaster jantan dan betina mampu melakukan perkawinan setelah mencapai


kedewasaan seksual

Individu Drosophila melanogaster Individu Drosophila melanogaster


betina disebut mencapai kematangan jantan disebut mencapai kematangan
seksual setelah mampu mengovulasikan seksual setelah mampu menghasilkan
sel ovum. dan mengeluarkan sperma.

18
Sperma dari individu jantan disimpan pada kedua reseptakulum seminalis dan pada
pasangan spermateka. Spermateka merupakan organ tempat penyimpanan sperma
dalam jangka panjang

Individu betina mampu melakukan perkawinan kembali dengan jantan yang lain
ketika sperma yang tersimpan dalam spermateka mulai berkurang

Persilangan pada penelitian ini menggunakan Drosophila melanogaster strain ♀ecl


sebanyak 4 tipe yaitu ♀ecl dengan ♂ecl ♂e, ♂cl, dan ♂N dan persilangan strain
♀emal sebanyak 4 tipe yaitu ♀emal dengan ♂emal ♂e, ♂mal, dan ♂N.

Terjadi kompetisi antara sperma dari jantan pertama dengan jantan kedua, ketiga dan
seterusnya di dalam organ penyimpanan sperma individu betina

Terdapat fenomena pemanfaatan sperma secara acak atau tidak acak pada individu
betina Drosophila melanogaster

Bersifat acak terjadi jika keturunan dari Bersifat tidak acak jika keturunan pada
perkawinan antara betina dengan jantan persilangan tertentu hanya akan
pertama muncul pada persilangan menghasilkan fenotip anakan yang
dengan jantan kedua, ketiga dan sesuai dengan hasil yang seharusnya
keempat. muncul pada persilangan tersebut.

19
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif observatif karena tidak ada perlakuan
khusus dalam penelitian. Penelitian dilakukan dengan cara mengamati secara langsung ciri-ciri
fenotip turunan F1 dan menghitung jumlah keturunan F1 dari persilangan ♀ecl tipe I
(♀ecl><♂ecl ; ♀ecl><♂e ; ♀ecl><♂cl; ♀ecl><♂N ), tipe II (♀ecl><♂e ; ♀ecl><♂cl ;
♀ecl><♂N; ♀ecl><♂ecl ), tipe III (♀ecl><♂cl ; ♀ecl><♂N ; ♀ecl><♂ecl ; (♀ecl><♂e), tipe IV
(♀ecl><♂N ; ♀ecl><♂ecl ; ♀ecl><♂e ; ♀ecl><♂cl) serta persilangan ♀emal tipe I
(♀emal><♂emal ; ♀emal><♂e ; ♀emal><♂mal; ♀emal><♂N ), tipe II (♀emal><♂e ;
♀emal><♂mal ; ♀emal><♂N; ♀emal><♂emal ), tipe III (♀emal><♂mal ; ♀emal><♂N ;
♀emal><♂emal ; ♀emal><♂e), tipe IV (♀emal><♂N ; ♀emal><♂emal ; ♀emal><♂e ;
♀emal><♂mal). Persilangan tanpa memberikan perlakuan pada D. melanogaster sebagai subyek
penelitian. Data yang didapat dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan analisis
rekonstruksi kromosom tubuh dan kromosom kelamin.
3.2 Waktu Dan Tempat Penelitian
3.2.1 Waktu penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Agustus 2018 hingga Desember 2018. Waktu penelitian
di Laboratorium Genetika adalah mulai Pukul 07.00 WIB hingga 18.00 WIB.
3.2.2 Tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika, Ruang 310, Gedung O5 Biologi,
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang. Kegiatan yang
dilakukan di Laboratorium Genetika terdiri dari pembuatan medium, peremajaan strain lalat,
pengampulan pupa dari setiap strain lalat, dan melakukan persilangan.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi yang digunakan adalah Drosophila melanogaster strain ecl, e, cl, emal, mal, dan
N yang dibiakkan di Laboratorium Genetika Jurusan Biologi FMIPA UM.

20
3.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan adalah Drosophila melanogaster strain ecl, e, cl, emal, mal dan
N yang diperoleh dari biakkan di Laboratorium Genetika Jurusan Biologi FMIPA UM dan
dijadikkan stok dalam penelitian ini.
3.5 Alat Dan Bahan
3.5.1 Alat :
Alat-alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain:
1. Mikroskop setereo, digunakan untuk mengamati fenotip masing-masing strain D.
melanogaster.
2. Botol selai, digunakan sebagai tempat medium menyimpan D. melanogaster.
3. Selang, digunakan sebagai alat mengambil D. melanogaster dan tempat mengampul.
4. Kain kasa, digunakan sebagai pemisah antar selang untuk mengambil D. melanogaster.
5. Kuas/ cotton bud, digunakan untuk mengambil pupa.
6. Kardus, digunakan untuk menyimpan botol-botol yang berisi D. melanogaster.
7. Alat tulis, digunakan untuk menulis pada saat pengambilan data.
8. Gunting, digunakan untuk memotong selang, label, spons/busa.
9. Neraca, digunakan untuk mengukur massa bahan untuk pembuatan medium.
10. Kompor gas, digunakan untuk membuat medium, dan sterilisasi botol dan spons/busa.
11. Pisau, digunakan untuk memotong bahan untuk pembuatan medium, dan memotong pisang
untuk mengampul.
12. Cutter, digunakan untuk memotong spons.
13. Blender, digunakan untuk membuat medium.
14. Panci, digunakan sebagai wadah untuk memasak medium.
15. Pengaduk, digunakan untuk memasak medium.
16. Lap, digunakan untuk membersihkan sisa medium.
17. Spidol, digunakan untuk memberikan tanda pada botol persilangan.
3.5.2 Bahan :
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain
1. D. melanogaster strain ecl, e, cl, emal, mal, dan N, digunakan sebagai objek penelitian.
2. Pisang rajamala, digunakan sebagai bahan medium/ sumber nutrisi D.melanogaster.
3. Gula merah, digunakan sebagai bahan medium/ sumber nutrisi D.melanogaster.

21
4. Tape, digunakan sebagai bahan medium/ sumber nutrisi D.melanogaster.
5. Fermipan, digunakan untuk mengawetkan medium.
6. Air, digunakan sebagai bahan tambahan pada pembuatan medium D.melanogaster.
7. Gabus penutup, digunakan untuk menutup botol tempat pemeliharaan D.melanogaster.
8. Kertas pupasi, digunakan sebagai tempat hinggap D.melanogaster.
9. Kertas label, digunakan untuk memberikan tanda/ nama pada botol pemeliharaan dan selang
ampulan pupa D. melanogaster.
10. Plastik transparan, digunakan untuk menghitung anakan hasil persilangan D.melanogaster.

3.6 Prosedur Kerja


3.6.1 Prosedur membuat medium untuk 1 resep
1. Disiapkan pisang rajamala sebanyak 700 gram.
2. Disiapkan gula merah sebanyak 100 gram.
3. Disiapkan tape sebanyak 200 gram.
4. Diblender pisang yang telah dikupas dan dipotong sebanyak 700 gram dengan tape sebanyak
200 gram dan ditambah air secukupnya.
5. Sambil menunggu hasil blenderan sampai halus, dimasukkan gula merah yang telah dipotong
kecil-kecil sebanyak 100 gram ke dalam panci kecil kemudian ditambah dengan air
secukupnya selanjutnya campuran gula merah dan air tersebut dipanaskan sampai meleleh.
6. Setelah pisang dan tape halus, kemudian dituang pada panci yang berukuran besar yang telah
berisi gula merah yang telah dilelehkan.
7. Dinyalakan kompor, untuk awal api dengan ukuran besar tapi selanjutnya intensitas ukuran
api harus semakin kecil.
8. Diaduk medium selama 45 menit tanpa henti.
9. Setelah 45 menit medium siap digunakan.

3.6.2 Prosedur meremajakan lalat strain ecl, e, cl, emal, mal dan N
1) Disiapkan botol stok yang berisi lalat strain ecl.
2) Disiapkan botol selai dengan jumlah tertentu dan diisi dengan medium yang berasal dari
panci.
3) Setelah botol diisi dengan medium, kemudian ditutup dengan gabus, lalu didinginkan terlebih
dahulu.

22
4) Setelah medium dingin, kemudian medium dalam botol diberi fermipan sebanyak 2-4 butir
dan juga diberi kertas pupasi kemudian ditutup dengan gabus.
5) Disedot lalat strain ecl dari botol stok dan dipindah ke botol peremajaan. Dalam 1 botol
peremajaan minimal terdapat 2-3 pasang lalat.
6) Lalat strain ecl dibiarkan berkembang biak di botol peremajaan yang baru.
7) Disiapkan botol stock yang berisi lalat strain e.
8) Diulangi prosedur 2 sampai 5 secara berurutan.
9) Lalat strain e dibiarkan berkembang biak pada botol peremajaan yang baru.
10) Disiapkan botol stock yang berisi lalat strain cl.
11) Diulangi prosedur 2 sampai 5 secara berurutan.
12) Lalat strain cl dibiarkan berkembang biak pada botol peremajaan yang baru.
13) Disiapkan botol stock yang berisi lalat strain emal.
14) Diulangi prosedur 2 sampai 5 secara berurutan.
15) Lalat strain emal dibiarkan berkembang biak pada botol peremajaan yang baru.
16) Disiapkan botol stock yang berisi lalat strain mal.
17) Diulangi prosedur 2 sampai 5 secara berurutan.
18) Lalat strain mal dibiarkan berkembang biak pada botol peremajaan yang baru.
19) Disiapkan botol stock yang berisi lalat strain N.
20) Diulangi prosedur 2 sampai 5 secara berurutan.
21) Lalat strain N dibiarkan berkembang biak pada botol peremajaan yang baru.
3.6.3 Prosedur mengampul pupa
1) Digunting selang bening sepanjang ± 6 cm, kemudian dibersihkan.
2) Diiris buah pisang secara melintang
3) Dicetak pisang yang telah diiris menggunakan pipa selang yang telah dipotong.
4) Dimasukkan cetakan pisang hingga pisang masuk ke tengah pipa selang.
5) Dibasahi ujung kuas menggunakan air bersih.
6) Diambil pupa yang telah menghitam pada dinding botol menggunakan kuas.
7) Dimasukkan pupa yang telah diambil ke dalam salah satu lubang selang.
8) Ditutup ujung selang yang telah berisi pupa yang sudah hitam menggunakan gabus.
9) Diambil lagi satu pupa yang sudah menghitam pada dinding botol dengan strain yang sama
untuk dimasukkan ke dalam salah satu lubang selang yang belum terisi menggunakan kuas.

23
10) Dimasukkan ke dalam ujung pipa selang yang belum terisi.
11) Ditutup ujung selang dengan menggunakan gabus. 12) Diberkan tanda sesuai nama strain
yang dimasukkan dengan menggunakan kertas label

3.6.4 Prosedur persilangan D. melanogaster


1) Persilangan tipe I dengan betina ecl
 ♀ ecl disilangkan dengan ♂ ecl
 Setelah 2 hari ♂ ecl dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ e.
 Setelah 2 hari ♂ e dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ cl.
 Setelah 2 hari ♂ cl dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ N.
 Setelah 2 hari ♂ N dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
tanpa disilangkan.
 Jika sudah keluar pupa ♀ecl dilepas.
 Mengamati fenotif dan jenis kelamin serta menghitung jumlah hasil persilangan F1 dari
hari ke-1 sampai hari ke-7.
 Melakukan persilangan sebanyak 4 kali ulangan.
2) Persilangan tipe II dengan betina ecl
 ♀ ecl disilangkan dengan ♂ e
 Setelah 2 hari ♂ e dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ cl.
 Setelah 2 hari ♂ cl dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ N.
 Setelah 2 hari ♂ N dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ ecl.
 Setelah 2 hari ♂ ecl dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
tanpa disilangkan.
 Jika sudah keluar pupa ♀ecl dilepas.
 Mengamati fenotip dan jenis kelamin serta menghitung jumlah hasil persilangan F1 dari
hari ke-1 sampai hari ke-7.

24
 Melakukan persilangan sebanyak 4 kali ulangan.
3) Persilangan tipe III dengan betina ecl
 ♀ ecl disilangkan dengan ♂ cl.
 Setelah 2 hari ♂ cl dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ N.
 Setelah 2 hari ♂ N dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ ecl.
 Setelah 2 hari ♂ ecl dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ e.
 Setelah 2 hari ♂ e dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva tanpa
disilangkan.
 Jika sudah keluar pupa ♀ ecl dilepas.
 Mengamati fenotif dan jenis kelamin serta menghitung jumlah hasil persilangan F1 dari
hari ke-1 sampai hari ke-7.
 Melakukan persilangan sebanyak 4 kali ulangan.
4) Persilangan tipe IV dengan betina ecl
 ♀ ecl disilangkan dengan ♂ N
 Setelah 2 hari ♂ N dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ ecl.
 Setelah 2 hari ♂ ecl dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ e.
 Setelah 2 hari ♂ e dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ cl.
 Setelah 2 hari ♂ cl dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
tanpa disilangkan.
 Jika sudah keluar pupa ♀ecl dilepas.
 Mengamati fenotif dan jenis kelamin serta menghitung jumlah hasil persilangan F1 dari
hari ke-1 sampai hari ke-7.
 Melakukan persilangan sebanyak 4 kali ulangan.

25
5) Persilangan tipe I dengan betina emal.
 ♀ emal disilangkan dengan ♂ emal.
 Setelah 2 hari ♂ emal dilepas dan ♀ emal dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ e.
 Setelah 2 hari ♂e dilepas dan ♀ emal dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ mal.
 Setelah 2 hari ♂ mal dilepas dan ♀ emal dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ N.
 Setelah 2 hari ♂ N dilepas dan ♀ emal dipindah ke medium baru setelah muncul larva
tanpa disilangkan.
 Jika sudah keluar pupa ♀emal dilepas.
 Mengamati fenotif dan jenis kelamin serta menghitung jumlah hasil persilangan F1 dari
hari ke-1 sampai hari ke-7.
 Melakukan persilangan sebanyak 4 kali ulangan.
6) Persilangan tipe II dengan betina emal
 ♀ emal disilangkan dengan ♂ e.
 Setelah 2 hari ♂ e dilepas dan ♀ emal dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ mal.
 Setelah 2 hari ♂ mal dilepas dan ♀ emal dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ N.
 Setelah 2 hari ♂N dilepas dan ♀ emal dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ emal.
 Setelah 2 hari ♂ emal dilepas dan ♀ emal dipindah ke medium baru setelah muncul larva
tanpa disilangkan.
 Jika sudah keluar pupa ♀emal dilepas.
 Mengamati fenotif dan jenis kelamin serta menghitung jumlah hasil persilangan F1 dari
hari ke-1 sampai hari ke-7.
 Melakukan persilangan sebanyak 4 kali ulangan.
7) Persilangan tipe III dengan betina emal
 ♀ emal disilangkan dengan ♂ mal.

26
 Setelah 2 hari ♂ cl dilepas dan ♀ emal dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ N.
 Setelah 2 hari ♂ N dilepas dan ♀ emal dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ emal.
 Setelah 2 hari ♂ emal dilepas dan ♀ emal dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ e.
 Setelah 2 hari ♂ e dilepas dan ♀ emal dipindah ke medium baru setelah muncul larva tanpa
disilangkan.
 Jika sudah keluar pupa ♀emal dilepas.
 Mengamati fenotif dan jenis kelamin serta menghitung jumlah hasil persilangan F1 dari
hari ke-1 sampai hari ke-7.
 Melakukan persilangan sebanyak 4 kali ulangan.
8) Persilangan tipe IV dengan betina emal
 ♀ emal disilangkan dengan ♂ N.
 Setelah 2 hari ♂ N dilepas dan ♀ emal dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ emal.
 Setelah 2 hari ♂emal dilepas dan ♀ ecl dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ e.
 Setelah 2 hari ♂ e dilepas dan ♀ emal dipindah ke medium baru setelah muncul larva
kemudian disilangkan dengan ♂ mal.
 Setelah 2 hari ♂ mal dilepas dan ♀ emal dipindah ke medium baru setelah muncul larva
tanpa disilangkan.
 Jika sudah keluar pupa ♀emal dilepas.
 Mengamati fenotif dan jenis kelamin serta menghitung jumlah hasil persilangan F1 dari
hari ke-1 sampai hari ke-7.
 Melakukan persilangan sebanyak 4 kali ulangan.

3.7 Teknik Pengambilan Data


Pengambilan data dilakukan dengan cara mengamati fenotip dan jenis kelamin serta
menghitung jumlah hasil persilangan F1 dari masing-masing tipe-tipe persilangan mulai dari

27
hari pertama hingga hari ketujuh kemudian memasukkan data ke dalam table 3.1 sebagai
berikut.
Data hasil pengamatan fenotip D. melanogaster strain ecl, e, cl, emal, mal, N disajikan dalam
format tabel berikut
Tabel 3.1. Format Tabel Hasil Pengamatan F1
No Tipe Persilangan F1 Sex Ulangan Jumlah
1 2 3 4
1 ecl 1 ♀ecl><♂ecl ♀

2 ecl 2 ♀ecl><♂e ♀

3 ecl 3 ♀ecl><♂cl ♀

4 ecl 4 ♀ecl><♂N ♀

5 emal 1 ♀emal><♂emal ♀

6 emal 2 ♀emal><♂e ♀

7 emal 3 ♀emal><♂mal ♀

8 emal 4 ♀emal><♂N ♀

3.8 Teknik Analisis Data


Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif dengan
menggunakan rekonstruksi kromosom tubuh pada strain ecl dan rekonstruksi kromosom tubuh
pada strain emal. Hal tersebut dikarenakan, penelitian ini hanya terbatas pada penelitian tentang
pemanfaatan sperma pada D. Melanogaster.

28
BAB IV

HASIL DAN ANALISIS DATA

4.1 Hasil pengamatan


Data hasil pengamatan fenotip D. melanogaster strain ecl, e, cl, emal, mal, N disajikan
dalam tabel berikut.
Tabel 4.1 Tabel Ciri Fenotip
No Strain Ciri-ciri Foto
1 ecl a. Warna mata: Cokelat
b. Warna tubuh: kehitaman
c. Ukuran sayap: Melebihi
panjang tubuh
d. Faset mata : Halus

Sumber: Dokumentasi Pribadi,


06/09/2018

2. e a. Warna mata: Merah


b. Warna tubuh: Hitam
c. Ukuran sayap: Melebihi
panjang tubuh dan menutupi
tubuh
d. Faset mata : Halus

Sumber: Dokumentasi Pribadi,


06/09/2018

29
3 cl
a. Warna mata: Coklat
b. Warna tubuh: Kuning
c. Ukuran sayap: melebihi
panjang tubuh
d. Faset mata : Halus

Sumber: Dokumentasi Pribadi,


06/09/2018

4. Emal a. Warna mata: Merah


maroon
b. Warna tubuh: kehitaman
c. Ukuran sayap: melebihi
panjang tubuh
d. Faset mata :

Sumber: Dokumentasi Pribadi,


06/09/2018

30
5 Mal
a. Warna mata: Merah
maroon
b. Warna tubuh: Kuning
kecoklatan
c. Ukuran sayap: melebihi
panjang tubuh
d. Faset mata :

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 06/09/2018

6. N a. Warna mata: Merah


b. Warna tubuh: Kuning
kecoklatan dengan garis
hitam
c. Ukuran sayap: melebihi
panjang tubuh
d. Faset mata :

Sumber: Dokumentasi Pribadi,


06/09/2018

31
Tabel 4.2
Data hasil perhitungan jumlah anakan D. Melanogaster persilangan ♀ecl dan ♀emal disajikan
dalam tabel berikut.
Ulangan
No Tipe Persilangan F1 Sex TOTAL
1 2 3 4
♀ 10 - - - 10
♀ecl><♂ecl ecl
♂ 2 - - - 2
ecl ♀ 7 - - - 7
♂ 3 - - - 3
♀ 5 - - - 5
♀ecl><♂e e
♂ 3 - - - 3
♀ 8 - - - 8
cl
♂ 13 - - - 13
♀ - - - - -
1 ecl1 ecl
♂ - - - - -
♀ - - - - -
♀ecl><♂cl e
♂ - - - - -
♀ 1 - - - 1
cl
♂ 1 - - - 1
♀ - - - - -
cl
♂ - - - - -
♀ecl><♂N
♀ 7 - - - 7
N
♂ 1 - - - 1
♀ 4 - - - 4
e
♂ - - - - -
♀ecl><♂e
♀ 12 - - - 12
ecl
♂ 9 - - - 9
♀ 7 - - - 7
e
♂ 7 - - - 7
♀ecl><♂cl
♀ - - - - -
ecl
♂ 1 - - - 1
♀ 2 - - - 2
2 ecl2 ♀ecl><♂N N
♂ 1 - - - 1
♀ 10 - - - 10
e
♂ - - - -
♀ 2 - - - 2
cl
♂ 2 - - - 2
♀ecl><♂ecl
♀ - - - - -
N
♂ - - - - -
♀ 6 - - - 6
ecl
♂ 2 - - - 2

No Tipe Persilangan F1 Sex Ulangan ∑

32
1 2 3 4
♀ 30 - - - 30
♀emal><♂emal emal
♂ 12 - - - 12
♀ 20 - - - 20
emal
♂ 2 - - - 2
♀emal><♂e
♀ 14 - - - 14
e
♂ 8 - - - 8
♀ 5 - - - 5
emal
♂ 4 - - - 4
1 emal1 ♀emal><♂mal
♀ 4 - - - 4
mal
♂ 8 - - - 8
♀ 6 - - - 6
emal
♂ 3 - - - 3
♀ 13 - - - 13
♀emal><♂N mal
♂ 6 - - - 6
♀ 4 - - - 4
N
♂ 1 - - - 1
♀ 1 - - - 1
E
♂ 1 - - - 1
♀emal><♂e
♀ 1 - - - 1
emal
♂ 1 - - - 1
♀ - - - - -
2 emal2 ♀emal><♂mal
♂ - - - - -
♀ - - - - -
♀emal><♂N
♂ - - - - -
♀ - - - - -
♀emal><♂emal
♂ - - - - -
♀ 4 - - - 4
♀emal><♂mal emal
♂ 0 - - - 0
♀ 11 - - - 11
♀emal><♂N N
♂ 3 - - - 3
3 emal3
♀ 4 - - - 4
♀emal><♂emal emal
♂ 1 - - - 1
♀ - - - - -
♀emal><♂e
♂ - - - - -
♀ 9 - - - 9
♀emal><♂N N
♂ 10 - - - 10
♀ 4 - - - 4
N
♂ 2 - - - 2
♀emal><♂emal
♀ 3 - - - 3
4 emal4 emal
♂ - - - - -
♀ - - - - -
♀emal><♂e
♂ - - - - -
♀ - - - - -
♀emal><♂mal
♂ - - - - -

33
4.2 Analisis Data
Analisis Data Rekonstruksi Kromosom
Persilangan ♀ ecl
Rekonstruksi kromosom tubuh pada persilangan ♀ ecl

♀ ecl >< ♂ecl


𝑒 𝑐𝑙 𝑒 𝑐𝑙
P = ><
𝑒 𝑐𝑙 𝑒 𝑐𝑙

G = 𝑒 ; 𝑐𝑙

𝑒 𝑐𝑙
F1 = (ecl)
𝑒 𝑐𝑙

♀ ecl >< ♂e
𝑒 𝑐𝑙 𝑒 𝑐𝑙+
P = ><
𝑒 𝑐𝑙 𝑒 𝑐𝑙+

G = 𝑒 ; 𝑐𝑙 ; e ; cl+

𝑒 𝑐𝑙+
F1 = (e)
𝑒 𝑐𝑙

♀ ecl >< ♂cl


𝑒 𝑐𝑙 𝑒+ 𝑐𝑙
P = ><
𝑒 𝑐𝑙 𝑒+ 𝑐𝑙

G = 𝑒 ; 𝑐𝑙: e+ ; cl

𝑒+ 𝑐𝑙
F1 = 𝑒 (cl)
𝑐𝑙

♀ ecl >< ♂N

𝑒 𝑐𝑙 𝑒+ 𝑐𝑙+
P = ><
𝑒 𝑐𝑙 𝑒+ 𝑐𝑙+

G = 𝑒 ; 𝑐𝑙: e+ ; cl+

𝑒+ 𝑐𝑙+
F1 = 𝑒 (N heterozigot)
𝑐𝑙

34
Persilangan ♀ emal
Rekonstruksi kromosom tubuh pada persilangan ♀ emal

♀ emal >< ♂emal

𝑒 𝑚𝑎𝑙 𝑒 𝑚𝑎𝑙
P = ><
𝑒 𝑚𝑎𝑙 𝑒 ℸ

G = 𝑒 ; 𝑚𝑎𝑙 >< emal ; eℸ

𝑒 𝑚𝑎𝑙
F1 =𝑒 (emal)

♀ emal >< ♂e

𝑒 𝑚𝑎𝑙 𝑒 𝑚𝑎𝑙+
P = ><
𝑒 𝑚𝑎𝑙 𝑒 ℸ

G = 𝑒 ; 𝑚𝑎𝑙 >< e ; mal+ ; e ℸ

𝑒 𝑚𝑎𝑙
F1 = (e)
𝑒 ℸ

♀ emal >< ♂mal

𝑒 𝑚𝑎𝑙 𝑒+ 𝑚𝑎𝑙+
P = ><
𝑒 𝑚𝑎𝑙 𝑒+ ℸ

G = 𝑒 ; 𝑚𝑎𝑙 >< e+ ; mal ; e+ ℸ

𝑒+ ℸ
F1 = 𝑒 (mal)
𝑚𝑎𝑙

♀ emal >< ♂N

𝑒 𝑚𝑎𝑙 𝑒+ 𝑚𝑎𝑙+
P = ><
𝑒 𝑚𝑎𝑙 𝑒+ ℸ

G = 𝑒 ; 𝑚𝑎𝑙 >< e+ ; mal+ ; e+ ℸ

𝑒+ 𝑚𝑎𝑙+
F1 = (N heterozigot)
𝑒 𝑚𝑎𝑙

35
Data analisis hasil penghitungan jumlah anakan F1 D. melanogaster persilangan ♀ecl dan ♀emal
disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 4.3 Hasil Analisis Jumlah F1
Ulangan
No Tipe Persilangan F1 Sex ∑ TOTAL Ket
1 2 3 4
♀ 10 - - - 10
♀ecl><♂ecl ecl 12 Tidak acak
♂ 2 - - - 2
ecl ♀ 7 - - - 7
10
♂ 3 - - - 3
♀ 5 - - - 5
♀ecl><♂e e 8 Acak
♂ 3 - - - 3
♀ 8 - - - 8
cl 21
♂ 13 - - - 13
♀ 0 - - - 0
1 ecl1 ecl 0
♂ 0 - - - 0
♀ 0 - - - 0
♀ecl><♂cl e 0 Tidak acak
♂ 0 - - - 0
♀ 1 - - - 1
cl 2
♂ 1 - - - 1
♀ 0 - - - 0
cl 0
♂ 0 - - - 0
♀ecl><♂N Tidak acak
♀ 7 - - - 7
N 8
♂ 1 - - - 1
♀ 4 - - - 4
e 4
♂ 0 - - - 0
♀ecl><♂e Acak
♀ 12 - - - 12
ecl 21
♂ 9 - - - 9
♀ 7 - - - 7
e 14
♂ 7 - - - 7
♀ecl><♂cl Acak
♀ 0 - - - 0
ecl 1
♂ 1 - - - 1
♀ 2 - - - 2
2 ecl2 ♀ecl><♂N N 3 Tidak acak
♂ 1 - - - 1
♀ 10 - - - 10
e 10
♂ - - - - -
♀ 2 - - - 2
cl 4
♂ 2 - - - 2
♀ecl><♂ecl Acak
♀ - - - - -
N 2
♂ - - - - -
♀ 6 - - - 6
ecl 8
♂ 2 - - - 2

36
Ulangan
No Tipe Persilangan F1 Sex ∑ TOTAL Ket
1 2 3 4
♀ 30 - - - 30
♀emal><♂emal emal 42 Tidak acak
♂ 12 - - - 12
♀ 20 - - - 20
emal 22
♂ 2 - - - 2
♀emal><♂e Acak
♀ 14 - - - 14
e 22
♂ 8 - - - 8
♀ 5 - - - 5
emal 9
♂ 4 - - - 4
1 emal1 ♀emal><♂mal Acak
♀ 4 - - - 4
mal 12
♂ 8 - - - 8
♀ 6 - - - 6
emal 9
♂ 3 - - - 3
♀ 13 - - - 13
♀emal><♂N mal 19 Acak
♂ 6 - - - 6
♀ 4 - - - 4
N 5
♂ 1 - - - 1
♀ 1 - - - 1
e 2
♂ 1 - - - 1
♀emal><♂e Acak
♀ 1 - - - 1
emal 2
♂ 1 - - - 1
♀ - - - - -
2 emal2 ♀emal><♂mal 0 -
♂ - - - - -
♀ - - - - -
♀emal><♂N 0 -
♂ - - - - -
♀ - - - - -
♀emal><♂emal 0 -
♂ - - - - -
♀ 4 - - - 4
♀emal><♂mal emal 4 Acak
♂ 0 - - - 0
♀ 11 - - - 11
♀emal><♂N N 14 Tidak Acak
♂ 3 - - - 3
3 emal3
♀ 4 - - - 4
♀emal><♂emal emal 5 Tidak acak
♂ 1 - - - 1
♀ - - - - -
♀emal><♂e 0 -
♂ - - - - -
♀ 9 - - - 9
♀emal><♂N N 19 Tidak acak
♂ 10 - - - 10
♀ 4 - - - 4
N 6
♂ 2 - - - 2
♀emal><♂emal Acak
♀ 3 - - - 3
4 emal4 emal 3
♂ - - - - -
♀ - - - - -
♀emal><♂e 0 -
♂ - - - - -
♀ - - - - -
♀emal><♂mal 0 -
♂ - - - - -

37
4.2.1 Persilangan pada betina ♀ecl
Dari hasil pengamatan persilangan tipe I yang telah dilakukan, diperoleh data pada
persilangan pertama yaitu♀ecl><♂ecl menghasilkan anakan dengan fenotip ecl. Pada
persilangan kedua yaitu ♀ecl><♂e menghasilkan turunan F1 dengan fenotip ecl, e, dan cl. Jika
dilakukan perbandingan, terlihat bahwa anakan dengan fenotip cl lebih banyak dibandingkan
anakan dengan fenotip ecl dan e. Pada persilangan ketiga yaitu ♀ecl><♂cl menghasilkan
turunan F1 dengan fenotip cl. Pada persilangan keempat yaitu ♀ecl><♂N menghasilkan
turuuanan F1 dengan fenotip N. Pada persilangan tipe II, persilangan pertama yaitu ♀ecl><♂e
menghasilkan anakan dengan fenotip e dan ecl, terlihat fenotip ecl lebih banyak dari pada fenotip
e. Pada persilangan kedua yaitu ♀ecl><♂cl menghasilkan anakan dengan fenotip e dan ecl,
terlihat fenotip e lebih banyak dari pada fenotip ecl. Pada persilangan ketiga yaitu ♀ecl><♂N
menghasilkan anakan dengan fenotip N. Pada persilangan keempat yaitu ♀ecl><♂ecl
menghasilkan anakan dengan fenotip e, cl, dan ecl, terlihat fenotip e lebih banyak dari pada
fenotip lainnya. Pada tipe III dan tipe IV masih belum didapatkan data.
4.2.2 Persilangan pada betina ♀ emal
Dari hasil pengamatan persilangan tipe I yang telah dilakukan, diperoleh data pada
persilangan pertama yaitu ♀emal><♂emal menghasilkan anakan dengan fenotip emal. Pada
persilangan kedua yaitu ♀emal><♂e menghasilkan anakan dengan fenotip emal dan e. Jika
dilakukan perbandingan, terlihat bahwa anakan dengan fenotip e memiliki jumlah yang sama
dengan anakan fenotip emal. Pada persilangan ketiga yaitu ♀emal><♂mal menghasilkan anakan
dengan fenotip emal dan mal. Jika dilakukan perbandingan, terlihat bahwa anakan dengan
fenotip mal memiliki jumlah yang lebih banyak dari anakan fenotip emal. Pada persilangan
keempat yaitu ♀emal><♂N menghasilkan anakan sedangkan fenotip emal, mal dan N. Jika
dilakukan perbandingan, terlihat bahwa anakan dengan fenotip mal lebih banyak dari pada
anakan fenotip N dan emal, sedangkan anakan fenotip emal lebih banyak dari pada anakan
fenotip N. Berikutnya, ♀emal dipindah pada medium baru tanpa disilangkan. Berdasarkan hasil
penelitian, terlihat bahwa anakan yang muncul pada setiap persilangan adalah anakan yang
berasal dari jantan pertama yaitu anakan dengan fenotip emal.
Pada persilangan tipe II, persilangan pertama yaitu ♀emal><♂e menghasilkan turunan
F1 dengan fenotip e dan emal. Jika dilakukan perbandingan, terlihat bahwa anakan dengan
fenotip e memiliki jumlah yang sama dengan anakan fenotip emal. Pada persilangan kedua

38
♀emal><♂mal, persilangan ketiga ♀emal><♂N, dan persilangan keempat ♀emal><♂emal
masih belum didapatkan data. Berikutnya, ♀emal dipindah pada medium baru tanpa disilangkan.
Pada persilangan tipe III persilangan pertama ♀emal><♂mal, menghasilkan anakan dengan
fenotipe emal, persilangan kedua ♀emal><♂N menghasilkan anakan dengan fenotipe N,
persilangan ketiga yaitu ♀emal><♂emal menghasilkan anakan dengan fenotip emal, sedangkan
untuk prsilangan keempat ♀emal><♂e masih belum diapatkan data. Berikutnya, ♀emal dipindah
pada medium baru tanpa disilangkan. Pada persilangan tipe IV, persilangan pertama yaitu
♀emal><♂N menghasilkan turunan F1 dengan fenotip N. Pada persilangan kedua
♀emal><♂emal menghasilkan turunan F1 dengan fenotip N dan emal. Jika dilakukan
perbandingan, terlihat bahwa anakan dengan fenotip N lebih banyak dari pada anakan fenotip
emal. Berikutnya, ♀emal dipindah pada medium baru tanpa disilangkan. Untuk persilangan tipe
II, III, IV data yang didapatkan masih belum lengkap.

39
BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dengan mengawinkan 1 betina D. melanogaster dengan 4 jantan


D. melanogaster dengan strain yang berbeda secara bergantian. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui pemanfaatan sperma yang dilakukan oleh betina Drosophila melanogaster dengan
melihat hasil turunan pertama nya (F1). Pada penelitian ini, strain individu betina D.
melanogaster yang digunakan adalah ♀ecl dan ♀emal. Individu betina D.melanogaster strain ecl
dikawinkan dengan empat jantan D.melanogster yang berbeda strain secara berurutan yaitu
jantan ecl, e, cl, dan N. Sama halnya dengan Individu betina D.melanogaster strain emal juga
dikawinkan dengan empat jantan D.melanogster yang berbeda strain secara berurutan yaitu
jantan emal, e, mal, dan N. Perkawinan dengan empat individu jantan yang berbeda strain
dilakukan secara bergantian setiap kali sudah muncul larva.
1. Pemanfaaatan sperma pada ♀ecl
Berdasarkan analisis rekonstruksi kromosom yang dibandingkan dengan data yang
diperoleh dari hasil penelitian, dapat dilihat bahwa terdapat pemanfaatan sperma pada ♀ecl
terjadi secara acak yaitu pada persilangan ♀ecl tipe I (♀ecl><♂e) dan tipe II (♀ecl><♂cl;
♀ecl><♂N) dan tipe II (♀ecl><♂e; ♀ecl><♂cl; ♀ecl><♂ecl) semua dari anakannya tidak sesuai
dengan hasil rekontruksi, sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat pemanfaatan sperma secara
acak yang menyebabkan munculnya anakan dari jantan pertama pada persilangan dengan jantan
kedua, pola pemanfaatan sperma acak atau tidak acak hanya dapat diamati pada anakan hasil
persilangan dengan jantan kedua, ketiga dan keempat. Pada persilangan ecl tipe I (♀ecl><♂ecl;
♀ecl><♂cl; ♀ecl><♂N) dan tipe II (♀ecl><♂N) menghasilkan anakan dengan fenotip yang
sesuai dengan hasil rekontruksi, sehingga dapat dikatakan bahwa terjadi pemanfaatan sperma
secara tidak acak pada persilangan tersebut yang menyebabkan tidak ada anakan dari jantan
pertama yang muncul pada persilangan dengan jantan kedua. Sedangakan untuk tipe III dan IV
belum didapatkan data.
Perkawinan yang terjadi pada D. melanogaster dapat terjadi secara berulang kali oleh
beberapa jantan yang berbeda terhadap individu betina yang sama. Hal tersebut menunjukkan
adanya penyimpanan sperma dari beberapa jantan yang berbeda pada seekor individu betina.
Setelah ejakulasi, sperma menuju ke titik khusus dalam betina dimana mereka akan disimpan.

40
Sperma disimpan dalam dua organ penyimpanan yaitu sepasang spermateka dan satu
reseptakulum seminalis. Sepasang spermateka pada D. melanogaster berfungsi sebagai organ
penyimpan sperma dalam jangka panjang (Lefevre, 1962).
Penyimpanan sperma secara acak dapat disebut sperm displacement atau sperm
precedence terjadi di dalam penyimpanan sperma pada sistem reproduksi betina D.
melanogaster. Sperm displacement adalah dimana sperma dari individu jantan pertama diubah
tempat penyimpanannya dalam organ penyimpanan sperma (reseptakulum seminalis dan
spermateka) oleh sperma dari individu jantan kedua sehingga sperma dari individu jantan
pertama menjadi jarang digunakan untuk membuahi sel telur individu betina. Sedangkan sperm
precedence adalah dimana sperma dari individu jantan kedua lebih diutamakan untuk membuahi
sel telur betina akibat kehadiran cairan semen dari individu jantan kedua menyebabkan
berhentinya proses kapasitasi dan mengurangi motilitas sperma individu jantan pertama (Clark,
et al, 1994).
Mekanisme sperm displacement dan sperm precedence pada Drosophila. melanogaster
saat ini belum diketahui sepenuhnya. Singh, et al., (2002) mengusulkan 5 model dari sperm
precedence dengan cara menganalisis nilai dari jumlah anakan jantan kedua (P2), antara lain
sebagai berikut:
1. Model “sperm mixing model” diasumsikan adanya pencampuran yang instan dan
sempurna dari dua ejakulat. Jumlah anakan P2 konstan, yaitu sekitar 50%.
2. Model “sperm stratification model”, sperma dari jantan yang kedua berada dekat dengan
tempat fertilisasi dari pada sperma dari jantan pertama. Jumlah P2 akan mendekati 100%
sampai akhirnya sperma dari jantan kedua habis, setelah habis maka giliran sperma dari
jantan pertama yang digunakan dan anakan dari jantan pertama (P1) akan naik hingga
100%.
3. Model “sperm repositioning model”, sperma dari jantan yang kedua berada dekat dengan
tempat fertilisasi tapi dua ejakulat memulai untuk bercampur dengan segera. Dalam
model ini nilai P2 menurun menjadi 50%.
4. Model “sperm removal model”, memprediksikan bahwa nilai P2 masih konstan dalam
proporsinya oleh pemindahan atau pergeseran sperma dari jantan pertama.
5. Model “passive sperm loss model”, memprediksi bahwa nilai P2 juga masih pada level
tinggi tertentu.

41
Berdasarkan model-model diatas, jika melihat jumlah P2 pada persilangan ♀ecl model
yang sesuai dengan hasil penelitian ini adalah sperm mixing model karena anakan yang
dihasilkan pada persilangan dengan jantan kedua, ketiga, maupun keempat masih terdapat
anakan dari jantan-jantan sebelumnya atau dengan kata lain anakan dari jantan pertama muncul
lagi pada persilangan dengan jantan kedua, ketiga, dan keempat. Misalnya saja pada perkawinan
antara ♀ecl dengan ♂ecl , kemudian ♀ecl tersebut disilangkan kembali dengan ♂e maka anakan
dari persilangan pertama dengan ♂ecl akan muncul kembali pada perkawinan kedua antara ♀ecl
dan ♂e tersebut.
Berkaitan dengan model diatas, Singh, et al., (2002) menjelaskan beberapa faktor yang
mempengaruhi hal tersebut, antara lain adalah:
1. Kualitas dari ejakulasi, yaitu jantan dengan jumlah sperma dan cairan seminal yang lebih
banyak bisa menyiram saluran reproduktif betina dengan sperma yang lebih banyak
tersimpan daripada jantan dengan jumlah sperma dan cairan seminal yang lebih sedikit,
2. Keseluruhan dari semangat pejantan, ini bisa menghalangi mekanisme yang pertama,
karena individu yang yang lebih bersemangat atau lebih giat bisa memproduksi sperma
dan cairan seminal yang lebih banyak,
3. Komposisi dari ejakulasi.
Kompetisi sperma yakni kompetisi sperma dalam tubuh betina dari dua atau lebih jantan
yang akan membuahi sel telur dari perkawinan yang dilakukan oleh individu betina D.
melanogaster, penggunaan sperma dari individu jantan kedua lebih utama dan reduksi
kesuksesan reproduksi dari jantan kedua berhasil terjadi setelah 2 hari perkawinan. Hal tersebut
karena sperma dari jantan pertama masih tertinggal dalam organ penyimpanan sampai beberapa
hari sebelum terkena pengaruh dari cairan seminal sperma jantan kedua dimana cairan seminal
dari jantan kedua menghalangi penggunaan sperma jantan pertama yang disimpan (Singh, et al.,
2002).
Sebagian besar mekanisme yang menjelaskan tentang penggunaan sperma jantan dari
jantan kedua lebih besar karena penyimpanan sperma dari jantan kedua tersebut juga lebih
banyak. Hal tersebut sering ditunjukkan dengan pola langsung yang menggambarkan keuntungan
dari sperma dari jantan kedua yang disimpan secara utuh dan banyak, karena individu betina
menggunakan sperma secara acak untuk membuahi sel telur. Sehingga dapat dilihat bahwa
sperma yang lebih banyak disimpan dalam individu betina merupakan sperma dari individu

42
jantan kedua karena adanya pemindahan sperma dari jantan pertama pada organ penyimpanan
(Singh, et al., 2002).
Selain itu, jika melihat bentuk dari organ spermateka yang lebih lurus daripada
reseptakulum seminalis, Nusantari (1997) menambahkan bahwa diduga pada spermateka, sperma
individu jantan kedua lebih leluasa berkompetisi dengan sperma dari individu jantan pertama
dibandingkan jika organ penyimpan sperma melingkar-lingkar. Jika memang demikian maka
sperma kedua yang lebih dekat dengan bagian luar organ penyimpan yang lebih mempunyai
kesempatan dimanfaatkan. Sehingga sperma dari reseptakulum seminalis yang paling cepat
dimanfaatkan.
Pada proyek ini, satu individu betina D.melanogaster dikawinkan dengan empat jantan
D.melanogaster dengan strain yang berbeda secara berurutan. Setiap persilangan pada betina
disilangkan kembali dengan jantan yang berbeda setelah muncul larva anakan F1. Tujuan dari
perlakuan tersebut berhubungan dengan daya reseptivitas yang dimiliki oleh individu betina
Drosophila melanogaster. (Nusantari, 1997) daya reseptivitas adalah kemampuan individu
betina untuk menerima kehadiran individu jantan kedua, ketiga, dan seterusnya setelah
melakukan perkawinan dengan jantan sebelumnya. Individu betina Drosophila melanogaster
tidak akan kawin dua kali dalam waktu yang cepat karena betina Drosophila melanogaster yang
telah dikawini biasanya enggan untuk menerima jantan lain dalam beberapa waktu (Sun, 2013).
Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan tingkah laku dan berkurangnya daya pikat terhadap
jantan oleh individu betina (Singh, 2002).
Beberapa protein yang diproduksi oleh kelenjar asesori pada sistem reproduksi Drosophila
melanogaster jantan akan bercampur dengan sperma selama proses ejakulasi dan akan
ditransferkan pada sistem reproduksi Drosophila melanogaster betina yang mana akan
mempengaruhi penyimpanan sperma, kapasitasi, dan akan memicu copulation effect dan sperm
effect (Sun, 2013). Copulation effect merupakan perubahan perilaku betina Drosophila
melanogaster disebabkan oleh adanya komponen cairan semen (Acp70A) yang ditransfer selama
proses kawin oleh individu jantan yang menyebabkan menurunnya reseptivitas dan
memaksimalkan penggunaan sperma sedangkan sperm effect dikaitkan dengan kuantitas dari
sperma jantan kedua (Singh, 2002). Kemampuan Drosophila melanogaster individu betina untuk
kembali dalam keadaan reseptif tidak menunggu sampai sperma dalam organ penyimpanan
(spermatheca) kosong (Singh, 2002), namun individu betina D.melanogaster dapat kembali

43
dalam keadaan reseptif meskipun dalam organ penyimpanannya masih didapati adanya sperma
dari jantan yang pertama.
Adanya sperma individu jantan sesudah perkawinan dengan jantan yang kedua akan
menyebabkan terjadinya kompetisi sperma. Ketika sperma dari individu jantan kedua memasuki
organ penyimpanan sperma, maka sperma dari individu jantan kedua akan berkompetisi dengan
sperma dari individu jantan pertama dalam hal membuahi ovum (Singh, 2002). Kompetisi
sperma ini akan melibatkan peristiwa sperm displacement and incapacitation (Sun, 2013).
Seperti yang telah dijelaskan diatas, sperm displacement adalah berubahnya kedudukan dari
sperma jantan pertama akibat digeser oleh sperma dari individu jantan kedua (Singh, 2002)
sehingga sperma dari individu jantan pertama menjadi jarang digunakan untuk membuahi sel
telur.
Menurut Addriane (2008) beberapa gen spesifik dan protein memiliki peranan penting
dalam kompetisi antar sperma. Protein-protein tersebut diproduksi oleh kelenjar asesori dari
sistem reproduksi individu jantan Drosophila melanogaster (Sun, 2013). Protein-protein yang
dihasilkan oleh kelenjar asesori tersebut akan tercampur dengan seminal fluid dan akan ditransfer
ke tubuh individu betina selama proses ejakulasi (Sun, 2013). Beberapa protein tersebut akan
mengatur banyak hal mulai dari daya reseptifitas, pengeluaran telur, penggunaan dan
penyimpanan sperma serta timbulnya proses incapacitation pada sperma jantan pertama (Sun,
2013). Protein-protein yang diketahui ikut berperan dalam sperm displacement diantaranya
protein Acp36DE, Acp26A, Acp29AB, dan Acp53Eb (Singh, et. al, 2002).
Menurut Singh (2002), protein Acp36DE, Acp26A, Acp29AB, dan Acp53Eb seluruhnya
berperan dalam mengatur penyimpanan dan pemanfaatan sperma yang dilepaskan dari individu
jantan kepada individu betina. Protein Acp26A berperan dalam menstimulasi pelepasan dan
penempatan telur pada hari pertama setelah perkawinan. Protein Acp36DE berperan dalam
mengatur penyimpanan dan pemanfaatan sperma; mengumpulkan sperma; mengurangi
kemungkinan adanya sperma yang terbuang/ tidak digunakan; dan menjamin bahwa sperma yang
belum digunakan, langsung dimasukkan dalam organ penyimpanan sperma. Protein Acp29AB
dan protein Acp 53EB belum diketahui fungsinya secara spesifik, namun ikut berperan dalam
penyimpanan sperma dan pemindahan tempat sperma (displacement). Berdasarkan hasil
penelitian Singh (2002), masih terdapat beberapa protein yang ikut berperan dalam pemanfaatan

44
sperma, akan tetapi masih belum diketahui secara spesifik mengenai peranan masing-masing
protein.
Pada Drosophila melanogaster, masuknya sperma dari pejantan kedua dapat berakibat
terhentinya proses kapasitasi (incapacitation) dari sperma jantan pertama akibat adanya cairan
semen dari jantan kedua yang masuk pada saat proses kopulasi. Sperma dari jantan pertama ini
terhambat oleh cairan semen dari individu kedua (Adrianne, et al, 2008). Menurut penelitian
lebih lanjut, adanya gen Acp36DE dan CG9997 memiliki kontribusi besar dalam kompetisi
sperma (Castillo, 2014). Adanya protein Acp36DE pada sperma individu jantan akan merubah
hasil dari kompetisi sperma. Transfer protein Acp36DE ke dalam saluran penyimpanan sperma
(spermatheca) oleh jantan kedua pada individu betina akan berinteraksi dengan sperma dari
jantan pertama dan menyebabkan sperma dari jantan pertama memiliki kemampuan fertilisasi
yang rendah (fewer fertilizations) dalam membuahi sel telur. Akibatnya sperma dari jantan
kedua lebih diutamakan untuk membuahi sel telur daripada sperma jantan pertama (Chapman,
2000). Sperma yang lebih diutamakan ini akan melakukan interaksi dengan protein reproduktif
pada individu betina di dalam organ penyimpanan sperma. Protein-protein reproduktif pada
betina disekresikan oleh sel sekretori (Secretory Cells) yang ada dalam sistem reproduksi betina
(female reproductive tract) (Sun, 2013). Studi lebih lanjut mengenai sistem reproduksi betina
menunjukkan bahwa terdapat sebuah gen Hr39 dan sekresi protein canonical yang dibutuhkan
untuk ovulasi pada individu betina Drosopohila melanogaster. Interaksi antara protein Acp36DE
dan CG9997 individu jantan kedua dengan protein Hr39 yang disekresikan oleh kelenjar
reproduktif pada betina juga akan menyebabkan berhentinya proses incapacitation sperma dari
jantan pertama sehingga keturunan yang dihasilkan pada anakan F1 didominasi oleh fenotip dari
individu jantan kedua (Castillo, 2014).
2. Pemanfaatan sperma pada ♀emal
Berdasarkan analisis rekonstruksi kromosom yang dibandingkan dengan data yang diperoleh
dari hasil penelitian, dapat dilihat bahwa terdapat pemanfaatan sperma pada ♀ecl terjadi secara
acak yaitu pada persilangan tipe I (♀emal><♂e; ♀emal><♂mal; ♀emal><♂N), tipe II
(♀emal><♂e), tipe III (♀emal><♂mal), tipe IV (♀emal><♂emal) menghasilkan anakan dengan
fenotip yang tidak sesuai dengan hasil rekonstruksi,sehigga dapat dikatakan pemanfaatan sperma
secara acak pada persilangan tersebut. Sementara itu, pada persilagan tipe I (♀emal><♂emal),
tipe III (♀emal><♂N; ♀emal><♂emal), tipe IV (♀emal><♂N), menghasilkan anakan dengan

45
fenotip yang sama dengan hasil rekonstruksi sehingga dapat dikatakan terjadi pemanfaatan
sperma secara tidak acak.
Penyimpanan sperma secara acak dapat disebut sperm displacement atau sperm
precedence terjadi di dalam penyimpanan sperma pada sistem reproduksi betina D.
melanogaster. Sperm displacement adalah dimana sperma dari individu jantan pertama diubah
tempat penyimpanannya dalam organ penyimpanan sperma (reseptakulum seminalis dan
spermateka) oleh sperma dari individu jantan kedua sehingga sperma dari individu jantan
pertama menjadi jarang digunakan untuk membuahi sel telur individu betina. Sedangkan sperm
precedence adalah dimana sperma dari individu jantan kedua lebih diutamakan untuk membuahi
sel telur betina akibat kehadiran cairan semen dari individu jantan kedua menyebabkan
berhentinya proses kapasitasi dan mengurangi motilitas sperma individu jantan pertama (Clark,
et al, 1994).
Mekanisme sperm displacement dan sperm precedence pada Drosophila. melanogaster
saat ini belum diketahui sepenuhnya. Singh, et al., (2002) mengusulkan 5 model dari sperm
precedence dengan cara menganalisis nilai dari jumlah anakan jantan kedua (P2), antara lain
sebagai berikut:
1. Model “sperm mixing model” diasumsikan adanya pencampuran yang instan dan
sempurna dari dua ejakulat. Jumlah anakan P2 konstan, yaitu sekitar 50%.
2. Model “sperm stratification model”, sperma dari jantan yang kedua berada dekat dengan
tempat fertilisasi daripada sperma dari jantan pertama. Jumlah P2 akan mendekati 100%
sampai akhirnya sperma dari jantan kedua habis, setelah habis maka giliran sperma dari
jantan pertama yang digunakan dan anakan dari jantan pertama (P1) akan naik hingga
100%.
3. Model “sperm repositioning model”, sperma dari jantan yang kedua berada dekat dengan
tempat fertilisasi tapi dua ejakulat memulai untuk bercampur dengan segera. Dalam model
ini nilai P2 menurun menjadi 50%.
4. Model “sperm removal model”, memprediksikan bahwa nilai P2 masih konstan dalam
proporsinya oleh pemindahan atau pergeseran sperma dari jantan pertama.
5. Model “passive sperm loss model”, memprediksi bahwa nilai P2 juga masih pada level
tinggi tertentu.

46
Berdasarkan model-model diatas, jika melihat jumlah P2 pada persilangan ♀emal, model
yang sesuai dengan hasil penelitian ini adalah sperm mixing model karena anakan yang
dihasilkan pada persilangan dengan jantan kedua, ketiga, maupun keempat masih terdapat
anakan dari jantan-jantan sebelumnya atau dengan kata lain anakan dari jantan pertama
muncul lagi pada persilangan dengan jantan kedua, ketiga, dan keempat. Misalnya saja pada
perkawinan antara ♀emal dengan ♂emal, kemudian ♀emal tersebut disilangkan kembali
dengan ♂e maka anakan dari persilangan pertama dengan ♂emal akan muncul kembali pada
perkawinan kedua antara ♀emal dan ♂e tersebut.
Berkaitan dengan model diatas, Singh, et al., (2002) menjelaskan beberapa faktor yang
mempengaruhi hal tersebut, antara lain adalah:
1. Kualitas dari ejakulasi, yaitu jantan dengan jumlah sperma dan cairan seminal yang
lebih banyak bisa menyiram saluran reproduktif betina dengan sperma yang lebih
banyak tersimpan daripada jantan dengan jumlah sperma dan cairan seminal yang lebih
sedikit,
2. Keseluruhan dari semangat pejantan, ini bisa menghalangi mekanisme yang pertama,
karena individu yang yang lebih bersemangat atau lebih giat bisa memproduksi sperma
dan cairan seminal yang lebih banyak,
3. Komposisi dari ejakulasi.
Kompetisi sperma yakni kompetisi sperma dalam tubuh betina dari dua atau lebih
jantan yang akan membuahi sel telur dari perkawinan yang dilakukan oleh individu betina
D. melanogaster, penggunaan sperma dari individu jantan kedua lebih utama dan reduksi
kesuksesan reproduksi dari jantan kedua berhasil terjadi setelah 2 hari perkawinan. Hal
tersebut karena sperma dari jantan pertama masih tertinggal dalam organ penyimpanan
sampai beberapa hari sebelum terkena pengaruh dari cairan seminal sperma jantan kedua
dimana cairan seminal dari jantan kedua menghalangi penggunaan sperma jantan pertama
yang disimpan (Singh, et al., 2002).
Sebagian besar mekanisme yang menjelaskan tentang penggunaan sperma jantan dari
jantan kedua lebih besar karena penyimpanan sperma dari jantan kedua tersebut juga lebih
banyak. Hal tersebut sering ditunjukkan dengan pola langsung yang menggambarkan
keuntungan dari sperma dari jantan kedua yang disimpan secara utuh dan banyak, karena
individu betina menggunakan sperma secara acak untuk membuahi sel telur. Sehingga dapat

47
dilihat bahwa sperma yang lebih banyak disimpan dalam individu betina merupakan sperma
dari individu jantan kedua karena adanya pemindahan sperma dari jantan pertama pada
organ penyimpanan (Singh, et al., 2002).
Selain itu, jika melihat bentuk dari organ spermateka yang lebih lurus daripada
reseptakulum seminalis, Nusantari (1997) menambahkan bahwa diduga pada spermateka,
sperma individu jantan kedua lebih leluasa berkompetisi dengan sperma dari individu jantan
pertama dibandingkan jika organ penyimpan sperma melingkar-lingkar. Jika memang
demikian maka sperma kedua yang lebih dekat dengan bagian luar organ penyimpan yang
lebih mempunyai kesempatan dimanfaatkan. Sehingga sperma dari reseptakulum seminalis
yang paling cepat dimanfaatkan.
Pada proyek ini, satu individu betina D.melanogaster dikawinkan dengan empat jantan
D.melanogaster dengan strain yang berbeda secara berurutan. Setiap persilangan pada betina
disilangkan kembali dengan jantan yang berbeda setelah muncul larva anakan F1. Tujuan
dari perlakuan tersebut berhubungan dengan daya reseptivitas yang dimiliki oleh individu
betina Drosophila melanogaster. (Nusantari, 1997) daya reseptivitas adalah kemampuan
individu betina untuk menerima kehadiran individu jantan kedua, ketiga, dan seterusnya
setelah melakukan perkawinan dengan jantan sebelumnya. Individu betina Drosophila
melanogaster tidak akan kawin dua kali dalam waktu yang cepat karena betina Drosophila
melanogaster yang telah dikawini biasanya enggan untuk menerima jantan lain dalam
beberapa waktu (Sun, 2013). Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan tingkah laku dan
berkurangnya daya pikat terhadap jantan oleh individu betina (Singh, 2002).
Beberapa protein yang diproduksi oleh kelenjar asesori pada sistem reproduksi
Drosophila melanogaster jantan akan bercampur dengan sperma selama proses ejakulasi dan
akan ditransferkan pada sistem reproduksi Drosophila melanogaster betina yang mana akan
mempengaruhi penyimpanan sperma, kapasitasi, dan akan memicu copulation effect dan
sperm effect (Sun, 2013). Copulation effect merupakan perubahan perilaku betina
Drosophila melanogaster disebabkan oleh adanya komponen cairan semen (Acp70A) yang
ditransfer selama proses kawin oleh individu jantan yang menyebabkan menurunnya
reseptivitas dan memaksimalkan penggunaan sperma sedangkan sperm effect dikaitkan
dengan kuantitas dari sperma jantan kedua (Singh, 2002). Kemampuan Drosophila
melanogaster individu betina untuk kembali dalam keadaan reseptif tidak menunggu sampai

48
sperma dalam organ penyimpanan (spermatheca) kosong (Singh, 2002), namun individu
betina D.melanogaster dapat kembali dalam keadaan reseptif meskipun dalam organ
penyimpanannya masih didapati adanya sperma dari jantan yang pertama.
Adanya sperma individu jantan sesudah perkawinan dengan jantan yang kedua akan
menyebabkan terjadinya kompetisi sperma. Ketika sperma dari individu jantan kedua
memasuki organ penyimpanan sperma, maka sperma dari individu jantan kedua akan
berkompetisi dengan sperma dari individu jantan pertama dalam hal membuahi ovum
(Singh, 2002). Kompetisi sperma ini akan melibatkan peristiwa sperm displacement and
incapacitation (Sun, 2013). Seperti yang telah dijelaskan diatas, sperm displacement adalah
berubahnya kedudukan dari sperma jantan pertama akibat digeser oleh sperma dari individu
jantan kedua (Singh, 2002) sehingga sperma dari individu jantan pertama menjadi jarang
digunakan untuk membuahi sel telur.
Menurut Addriane (2008) beberapa gen spesifik dan protein memiliki peranan penting
dalam kompetisi antar sperma. Protein-protein tersebut diproduksi oleh kelenjar asesori dari
sistem reproduksi individu jantan Drosophila melanogaster (Sun, 2013). Protein-protein
yang dihasilkan oleh kelenjar asesori tersebut akan tercampur dengan seminal fluid dan akan
ditransfer ke tubuh individu betina selama proses ejakulasi (Sun, 2013). Beberapa protein
tersebut akan mengatur banyak hal mulai dari daya reseptifitas, pengeluaran telur,
penggunaan dan penyimpanan sperma serta timbulnya proses incapacitation pada sperma
jantan pertama (Sun, 2013). Protein-protein yang diketahui ikut berperan dalam sperm
displacement diantaranya protein Acp36DE, Acp26A, Acp29AB, dan Acp53Eb (Singh, et.
al, 2002).
Menurut Singh (2002), protein Acp36DE, Acp26A, Acp29AB, dan Acp53Eb seluruhnya
berperan dalam mengatur penyimpanan dan pemanfaatan sperma yang dilepaskan dari
individu jantan kepada individu betina. Protein Acp26A berperan dalam menstimulasi
pelepasan dan penempatan telur pada hari pertama setelah perkawinan. Protein 36DE
berperan dalam mengatur penyimpanan dan pemanfaatan sperma; mengumpulkan sperma;
mengurangi kemungkinan adanya sperma yang terbuang/ tidak digunakan; dan menjamin
bahwa sperma yang belum digunakan, langsung dimasukkan dalam organ penyimpanan
sperma. Protein Acp 29AB dan protein Acp 53EB belum diketahui fungsinya secara
spesifik, namun ikut berperan dalam penyimpanan sperma dan pemindahan tempat sperma

49
(displacement). Berdasarkan hasil penelitian Singh (2002), masih terdapat beberapa protein
yang ikut berperan dalam pemanfaatan sperma, akan tetapi masih belum diketahui secara
spesifik mengenai peranan masing-masing protein.
Pada Drosophila melanogaster, masuknya sperma dari pejantan kedua dapat berakibat
terhentinya proses kapasitasi (incapacitation) dari sperma jantan pertama akibat adanya
cairan semen dari jantan kedua yang masuk pada saat proses kopulasi. Sperma dari jantan
pertama ini terhambat oleh cairan semen dari individu kedua (Adrianne, et al, 2008).
Menurut penelitian lebih lanjut, adanya gen Acp36DE dan CG9997 memiliki kontribusi
besar dalam kompetisi sperma (Castillo, 2014). Adanya protein Acp36DE pada sperma
individu jantan akan merubah hasil dari kompetisi sperma. Transfer protein Acp36DE ke
dalam saluran penyimpanan sperma (spermatheca) oleh jantan kedua pada individu betina
akan berinteraksi dengan sperma dari jantan pertama dan menyebabkan sperma dari jantan
pertama memiliki kemampuan fertilisasi yang rendah (fewer fertilizations) dalam membuahi
sel telur. Akibatnya sperma dari jantan kedua lebih diutamakan untuk membuahi sel telur
daripada sperma jantan pertama (Chapman, 2000). Sperma yang lebih diutamakan ini akan
melakukan interaksi dengan protein reproduktif pada individu betina di dalam organ
penyimpanan sperma. Protein-protein reproduktif pada betina disekresikan oleh sel sekretori
(Secretory Cells) yang ada dalam sistem reproduksi betina (female reproductive tract) (Sun,
2013). Studi lebih lanjut mengenai sistem reproduksi betina menunjukkan bahwa terdapat
sebuah gen Hr39 dan sekresi protein canonical yang dibutuhkan untuk ovulasi pada individu
betina Drosopohila melanogaster. Interaksi antara protein Acp36DE dan CG9997 individu
jantan kedua dengan protein Hr39 yang disekresikan oleh kelenjar reproduktif pada betina
juga akan menyebabkan berhentinya proses incapacitation sperma dari jantan pertama
sehingga keturunan yang dihasilkan pada anakan F1 didominasi oleh fenotip dari individu
jantan kedua (Castillo, 2014).

50
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sementara sebagai
berikut.
6.1.1 Pemanfaatan sperma pada persilangan ♀ecl pada tipe I (♀ecl><♂e) dan tipe II ♀ecl><♂cl;
♀ecl><♂N) dan tipe II (♀ecl><♂e; ♀ecl><♂cl; ♀ecl><♂ecl) seluruhnya bersifat acak.
Sementara itu pada pada persilangan ecl tipe I (♀ecl><♂ecl; ♀ecl><♂cl; ♀ecl><♂N) dan
tipe II (♀ecl><♂N) seluruhnya menghasilkan anakan yang sesuai dengan hasi rekonstruksi
kromosom, sehingga dapat dikatakan terjadi pemanfaatan sperma secara tidak acak pada
persilangan tersebut
6.1.2 Pemanfaatan sperma pada persilangan ♀emal pada tipe I (♀emal><♂e; ♀emal><♂mal;
♀emal><♂N), tipe II (♀emal><♂e), tipe III (♀emal><♂mal), tipe IV (♀emal><♂emal)
menghasilkan anakan dengan fenotip yang tidak sesuai dengan hasil rekonstruksi,sehigga
dapat dikatakan pemanfaatan sperma secara acak pada persilangan tersebut. Sementara itu,
pada persilagan tipe I (♀emal><♂emal), tipe III (♀emal><♂N; ♀emal><♂emal), tipe IV
(♀emal><♂N), menghasilkan anakan dengan fenotip yang sama dengan hasil rekonstruksi
sehingga dapat dikatakan terjadi pemanfaatan sperma secara tidak acak.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat diberikan untuk para
peneliti selanjutnya adalah sebagai berikut.
6.2.1 Pengamatan fenotip anakan F1 sebaiknya menggunakan mikroskop untuk menghindari
kesalahan dalam pengamatan
6.2.2 Penelitian ini hendaknya dilakukan dengan ketelitian dan kesabaran yang tinggi dalam hal
pengamatan perbedaan warna mata, sayap dan penghitungan jumlah keturunan sehingga
didapatkan hasil yang maksimal
6.2.3 Pada saat pengambilan anakan dari medium, hendaknya peneliti harus hati-hati agar tidak
banyak lalat yang lepas.
6.2.4 Perlu diadakan pengkajian lebih lanjut mengenai faktor gen yang berpengaruh terhadap
pemanfaatan sperma pada individu betina D. melanogaster

51
DAFTAR PUSTAKA

Adrianne, et al. 2008. An Evolutionary Expressed Sequence Tag Analysis of Drosophila


Spermatheca Genes. The International Journal of Organic Evolution 62:11
Borror, et al. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Campbell, Reece et al. 2008. Biologi. Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga


Castillo, Dean M, Moyle, Leoni C. 2014. Intraspecific sperm competition genes enforce post-
mating species barriers in Drosophila. (Online)
(http://rspb.royalsocietypublishing.org/content/281/1797/20142050.abstract?sid=308
cf62c-3405-4c61-91e5-0f8ab5fbc3a7) diakses pada 20 November 2018.

Catherine S. C. Price, Kelly A. Dyer dan Jerry A. Coyne. 1999. Sperm Competition Between
Drosophila Males Involves Both Displacement And Incapacitation. Department of Ecology
and Evolution. NATURE,VOL 400.
Chapman, T; Neubaumare, D.M, Wolfner,M. F. 2000. The role of male accessory gland protein
Acp36DE in sperm competition in Drosophila melanogaster. (Online)
(http://rspb.royalsocietypublishing.org/The role of male accessory gland protein
Acp36DE in-sperm-competition in Drosophila melanogaster.html) diakses pada 8
November 2014Feng, Kai. 2010. Neural Control of The Female Mating Decision
InDrosophilamelanogaster.Disertasi.(Online).(http://othes.univie.ac.at/10366/1/2010
-05-21_0701378.pdf), diakses 24 November 2018
Clark, Andrew G., Montserrat Made, Timothy Prout, Lawrence G. Harshmad dan Charles H.
Langleyf. 1994. (Variation in Sperm Displacement and Its Association With Accessory
Gland Protein Loci in Drosophila melanogaster). (online)
http://www.genetics.org/content/139/1/189.full.pdf diakses tanggal 20 November 2018
Gompel, Nicholas. 2013. Atlas of Drosophila melanogaster, wild-type and Classical Mutans.
China : Elsevier Inc
Hotimah, khusnul; Purwatiningsih; Kartika senjarini.2017. Dreskripsi morfologi Drosophilla
melanogaster Normal, Strain Sepia dan Plum. Jurnal Ilmu Dasar Vol. 18 No.1

52
Iida, Kaori dan Douglas Cavener. 2003. Glucose Dehydrogenase is Required for Normal Sperm
Storage and Utilization in Female Drosophila melanogaster: The Journal of Experimental
Biology: 207, 675-681.
Indayanti,N. 1999. Pengaruh Umur Betina dan Macam Strain Jantan Terhadap Keberhasilan
Kawin Kembali Individu Betina D. melanogaster. Skripsi.Tidak Diterbitkan. Malang:
FPMIPA IKIP MALANG.
Lefevre,G Jr. dan U. B. Jonsson.1962. Sperm Transfer, Storage, Displacement, And Utilization
In Drosophila melanogaster. Massachusetts: Harumd University Cambridge.
Muliati, L. 2000. Pengaruh Strain dan Umur Jantan Terhadap Jumlah Turunan Jantan dan
Betina Drosophila melanogaster. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang :
Skripsi tidak diterbitkan

Nusantari, Elya. 1997. Kajian Perkawinan Kembali pada Individu Betina Drosophila
melanogaster. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Schnakenberg, SL, Siegal ML, Bloch Qazi MC. 2012. Spermatogenesis. (Online)
https://openi.nlm.nih.gov/detailedresult.php?img=PMC3649444_spmg-2224-g1&req=4
diakses pada tanggal 23 November 2018
Singh, et al., 2002. Female Remating, Sperm Competition and Sexual Selection in
Drosophila.(online) (http://www.funpecrp.com.br/gmr/year2002/vol31/pdf/gmr0034.pdf)
diakses pada 23 November 2018
Wolfner, Mariana F.. 2011. Precious Essences: Female Secretions Promote Sperm Storage in
Drosophila. (Online) journals.plos.org/plosbiology/article?ide=101371/journal.pbio.1001191
diakses pada tanggal 23 November 2018.
Zamore, D.Philip; Shengmei Ma. 2011. Isolation of Drosophila melanogaster Testes. (Online)
(http://w.jove.com/details.php?id=2641) diakses pada 24 November 2018

53
DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran gambar

54
2. Lampiran data pengamatan

Ulangan
No Tipe Persilangan F1 Sex ∑ TOTAL Ket
1 2 3 4
♀ 10 11 32 - 53 Tidak
♀ecl><♂ecl ecl 113
♂ 2 12 36 - 60 acak
ecl ♀ 7 38 22 - 67
91
♂ 3 11 10 - 24
♀ 5 0 18 - 23
♀ecl><♂e e 46 Acak
♂ 3 10 5 - 18
♀ 8 0 0 - 8
cl 21
♂ 13 0 0 - 13
♀ 0 6 21 - 27
1 ecl1 ecl 43
♂ 0 8 8 - 16
♀ 0 0 15 - 15
♀ecl><♂cl e 19 Acak
♂ 0 0 4 - 4
♀ 1 17 24 - 42
cl 71
♂ 1 21 7 - 29
♀ 0 25 18 - 43
cl 87
♂ 0 28 18 - 46
♀ecl><♂N Acak
♀ 7 0 0 - 7
N 8
♂ 1 0 0 - 1
♀ 4 9 - - 13
e 13
♂ 0 0 - - 0
♀ecl><♂e Acak
♀ 12 13 - - 25
ecl 41
♂ 9 7 - - 16
♀ 7 2 - - 9
e 16
♂ 7 0 - - 7
♀ecl><♂cl Acak
♀ 0 6 - - 6
ecl 10
♂ 1 3 - - 4
♀ 2 2 - - 4 Tidak
2 ecl2 ♀ecl><♂N N 9
♂ 1 4 - - 5 acak
♀ 10 0 - - 10
e 10
♂ 0 0 - - 0
♀ 2 0 - - 2
cl 4
♂ 2 0 - - 2
♀ecl><♂ecl Acak
♀ 0 2 - - 2
N 2
♂ 0 0 - - 0
♀ 6 0 - - 6
ecl 8
♂ 2 0 - - 2

55
Ulangan
No Tipe Persilangan F1 Sex ∑ TOTAL Ket
1 2 3 4
♀ 30 28 38 - 96 Tidak
♀emal><♂emal emal 147
♂ 12 16 23 - 51 acak
♀ 20 2 1 - 23
emal 25
♂ 2 0 0 - 2
♀emal><♂e Acak
♀ 14 0 0 - 14
e 25
♂ 8 3 0 - 11
♀ 5 8 1 - 14
emal 20
♂ 4 1 1 - 6
1 emal1 ♀emal><♂mal Acak
♀ 4 4 3 - 11
mal 20
♂ 8 0 1 - 9
♀ 6 2 2 - 10
emal 14
♂ 3 1 0 - 4
♀ 13 0 5 - 18
♀emal><♂N mal 30 Acak
♂ 6 4 2 - 12
♀ 4 5 2 - 11
N 18
♂ 1 0 6 - 7
♀ 1 - - - 1
e 2
♂ 1 - - - 1
♀emal><♂e Acak
♀ 1 - - - 1
emal 2
♂ 1 - - - 1
♀ - - - - 0
2 emal2 ♀emal><♂mal 0 -
♂ - - - - 0
♀ - - - - 0
♀emal><♂N 0 -
♂ - - - - 0
♀ - - - - 0
♀emal><♂emal 0 -
♂ - - - - 0
♀ 4 - - - 4
♀emal><♂mal emal 4 Acak
♂ 0 - - - 0
♀ 11 - - - 11 Tidak
♀emal><♂N N 13
♂ 3 - - - 3 Acak
3 emal3
♀ 4 - - - 4 Tidak
♀emal><♂emal emal 5
♂ 1 - - - 1 acak
♀ - - - - 0
♀emal><♂e 0 -
♂ - - - - 0
♀ 9 - - - 9 Tidak
♀emal><♂N N 19
♂ 10 - - - 10 acak
♀ 4 - - - 4
N 6
♂ 2 - - - 2
♀emal><♂emal Acak
4 emal4 ♀ 3 - - - 3
emal 3
♂ - - - - 0
♀ - - - - 0
♀emal><♂e 0 -
♂ - - - - 0
♀emal><♂mal ♀ - - - - 0 0 -

56
57

Anda mungkin juga menyukai