Anda di halaman 1dari 3

INILAH UPAYA NEGARA MELINDUNGI GENERASI BANGSA DARI

ANCAMAN PENYAKIT BERBAHAYA


DIPUBLIKASIKAN PADA : SENIN, 15 JANUARI 2018 00:00:00, DIBACA : 5.302 KALI

Jakarta, 15 Januari 2017

Cacar Variola dan Polio, merupakan dua penyakit menular dan berbahaya telah berhasil
dicegah, bahkan polio nyaris musnah dari bumi Indonesia. Tahun 1974, penyakit cacar
variola (berbeda dengan penyakit cacar air yg masih ditemui saat ini yaitu varicella) telah
berhasil dihilangkan. Tahun 1995 label eradikasi polio sempat disematkan kepada
Indonesia. Situasi ini bertahan hingga sepuluh tahun kemudian muncul laporan bahwa
polio telah melumpuhkan beberapa Balita di salah satu wilayah di pulau Jawa hanya
karena mereka tidak diimunisasi.

Hingga saat ini, sejarah terus mencatat upaya Indonesia untuk melindungi generasi
bangsanya dari ancaman penyakit berbahaya melalui program imunisasi secara nasional.

Lawan Penyakit Infeksi dengan Imunisasi

Telah lama disadari bahwa penyakit adalah penghambat pembangunan. Jika seseorang
sakit, maka waktunya akan tersita untuk pengobatan dan upaya penyembuhan, sehingga
produktivitasnya pun tentu akan berkurang.

Upaya untuk membuat masyarakat sehat telah dirintis sejak lama, bahkan sejak Indonesia
merdeka, namun saat itu fokus utama adalah upaya kuratif yang lebih menekankan
pengobatan. Seperti diketahui banyaknya kasus penyakit berdampak pada besarnya biaya,
sehingga program lebih diprioritaskan kepada langkah-langkah preventif (pencegahan)
secara bertahap, salah satunya adalah imunisasi yang tentu harus dibarengi dengan
penyuluhan dan sosialisasi yang masif pada masyarakat.

Sejarah imunisasi di Indonesia dimulai dengan imunisasi cacar (1956); imunisasi campak
(1963); dengan selang waktu yang cukup jauh mulai dilakukan imunisasi BCG untuk
tuberculosis (1973); disusul imunisasi tetanus toxoid pada ibu hamil (1974); imunisasi
difteri, pertusis, tetanus (DPT) pada bayi (1976); lalu polio (1981); campak (1882); dan
hepatitis B (1997); hingga inisiasi  imunisasi Haemophilus Influenza tipe B dalam bentuk
vaksin pentavalen.

Adapun keunggulan vaksin Pentavalen (DPT-HB-Hib) jika dibandingkan dengan program


imunisasi sebelumnya adalah mengurangi risiko lima penyakit sekaligus, mengurangi
kesakitan pada anak, dan mengurangi kunjungan ke Posyandu. Belakangan, Kemenkes
mulai menginisiasi vaksin Rubella (2017) ke dalam program imunisasi nasional dan
melakukan program demonstrasi vaksin HPV untuk mencegah kanker serviks bagi siswi
dan remaja putri (2016) di beberapa provinsi.

Pelaksanaan expanded Program on Immunization (EPI) yang dikenal di Indonesia sebagai


Program Pengembangan Imunisasi (PPI) secara resmi dimulai di 55 Puskesmas pada tahun
1977, meliputi pemberian vaksin kekebalan terhadap empat Penyakit  yang Dapat Dicegah
Dengan Imunisasi (PD3I), yaitu Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Tetanus. Saat ini program
nasional Imunisasi berkembang dengan menambah 5 lagi  PD3I yang dapat dilindungi
yaitu Campak, Polio, Hepatitis B.

Pneumonia dan Meningitis akibat infeksi Hib. Target awal program imunisasi nasional
adalah mensukseskan Indonesia dalam program Universal Child Immunization (UCI) pada
tahun 1982. Saat ini sesuai dengan RPJMN, maka pemerintah menargetkan 95%
kabupaten/kota sudah mencapai IDL minimal 80%. Untuk dapat mencapai tujuan ini,
dibutuhkan kerjasama dari semua pihak baik Pusat, perintah daerah maupun
masayarakat. Jika tujuan ini tercapai maka PD3I bisa ditekan sehingga tidak menjadi
masalah bagi kesehatan masyarakat Indonesia.

KLB Difteri dan ORI

Saat ini kita dihadapkan dengan meningkatnya kasus Difteri yang dilaporkan di lebih dari
sebagian provinsi di Indonesia pada berbagai range usia, sebagian besar pada anak-anak.
Setiap wilayah yang melaporkan satu kasus difteri, maka wilayah tersebut dinyatakan
mengalami kejadian luar biasa (KLB), yang ditetapkan oleh kepala daerahnya.

Hal ini berarti bila ditemukan satu kasus klinis Difteri walaupun belum dinyatakan positif
secara laboratorium, maka daerah tersebut dinyatakan mengalami KLB, tetapi artinya
berupa warning bukan wabah. Setelah kasus Difteri ditemukan dan dilaporkan, segera
dilakukan penyelidikan epidemiologi (PE) dan outbreak response immunization (ORI).

ORI merupakan salah satu upaya penanggulangan KLB yang bertujuan untuk
meningkatkan kekebalan masyarakat dengan mengurangi immunity gap sehingga
diharapkan dapat memutus mata rantai penularan. Program ini menyasar bayi berusia 1
tahun sampai anak yang berusia <19 tahun. ORI Difteri sebanyak tiga putaran perlu
dilakukan untuk membentuk kekebalan tubuh dari terhadap bakteri corynebacterium
diphteriae.

ORI putaran pertama sebagai upaya pengendalian KLB Difteri telah dilaksanakan mulai
pertengahan Desember 2017 di 12 kabupaten/kota di 3 provinsi, yakni DKI Jakarta, Banten
dan Jawa Barat. Hingga tanggal 7 Januari 2017 pukul 20.30 WIB rata-rata cakupan sebesar
59,34% dengan rincian cakupan DKI Jakarta (64,86%); Banten (59,09%); dan Jawa Barat
(48,95%).

Bulan Januari 2018 ini merupakan jadwal putaran kedua ORI Difteri, sementara putaran
ketiga dilakukan 6 bulan lagi. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi orang tua yang
memiliki putra dan putrinya belum mendapatkan vaksin di putaran pertama ORI Difteri,
tidak perlu khawatir, lapor saja ke petugas kesehatan agar bisa mendapatkannya.

Antara Vaksin dan Anti Difteri Serum

Vaksin adalah suatu kuman (bakteri/virus) yang sudah dilemahkan yang kemudian
dimasukkan ke dalam tubuh seseorang untuk membentuk kekebalan tubuh (imunitas)
secara aktif, dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara suntik ataupun oral (diteteskan).
Sedangkan serum adalah produk biologi yang sudah mengandung kekebalan terhadap
suatu infeksi, diberikan kepada individu bila terserang adanya infeksi penyakit, atau
diduga akan terkena infeksi.

Dari definisi tersebut, fungsi vaksin dan serum memang berbeda. Fungsi utama dari vaksin
adalah untuk pencegahan terhadap suatu penyakit, sedangkan serum berfungsi untuk
pengobatan.

Pengobatan difteri membutuhkan serum anti-difteri dan antibiotik. Serum dan antibiotik
diberikan bersamaan karena serum tidak dapat digunakan untuk mengeliminasi bakteri
penyebab Difteri. Begitu juga sebaliknya, antibiotik tidak dapat menggantikan peran serum
untuk menetralisasi toksin difteri.

Anti difteri serum (ADS) harus segera diberikan ketika diagnosis difteri ditemukan
gejalanya. Serum akan efektif bila diberikan pada tiga hari pertama sejak timbul gejala.
Penundaan pemberian serum akan meningkatkan risiko komplikasi dan kematian.
Sementara itu, antibiotik dibutuhkan untuk membunuh bakteri penyebab dan mencegah
penularan penyakit.

Masyarakat tidak perlu khawatir karena pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, menjamin
keamanan dan ketersediaan produk vaksin, baik untuk program imunisasi rutin maupun
ORI, juga ketersediaan ADS bagi pengobatan kasus Difteri yang ditemukan.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat,Kementerian


Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui
nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat
email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id.(myg)

Anda mungkin juga menyukai