Hari Kushartono
TUJUAN PEMBELAJARAN
Mampu memahami fisiologi cairan dan elektrolit
Mampu menentukan status keseimbangan cairan dan elektrolit.
Mampu melakukan tatalaksana keseimbangan cairan dan elektrolit.
PENDAHULUAN
Secara umum tatalaksana cairan dan elektrolit bisa secara enteral maupun
parenteral. Dalam konteks perawatan anak sakit kritis maka pembahasan
terutama pada tatalaksana secara parenteral, karena biasanya intake peroral
sangat tidak memadai.
Dalam keadaan sakit kritis sering didapatkan gangguan metabolisme air
dan elektrolit. Perburukan maupun perbaikan keadaan klinis penderita
berjalan paralel dengan perubahan-perubahan pada variabel fisiologis.
Sebagaimana kita ketahui bahwa anak bukanlah miniatur dewasa, sehingga
tatalaksana cairan dan elektrolit pada anak haruslah didasarkan pada prinsip-
prinsip fisiologi sesuai tahapan tumbuh kembangnya dan patofisiologi
terjadinya gangguan metabolisme air dan elektrolit.
Untuk memudahkan tatalaksana cairan dan elektrolit pada anak, maka dari
gambar 1 di atas bisa diambil titik-titik imajiner seperti pada tabel 1.
Tabel 1 Persentasi Total Cairan Tubuh, Cairan Intraseluler dan Cairan Ekstraseluler
Berdasarkan Umur
Umur
Kompartemen
Lahir Bulan Tahun
cairan tubuh
0 3 6 6 16
Total Cairan Tubuh 78% 75% 70% 65% 60%
Cairan Intraseluler 33% 37,5% 40% 42,5% 40%
Cairan Ekstraseluler 45% 37,5% 30% 22,5% 20%
C. Masalah osmolalitas.
Osmolalitas diatur oleh :
ADH melalui mekanisme pengenceran dan pemekatan urin.
Mekanisme rasa haus.
Perubahan osmolalitas serum yang terjadi akut menyebabkan
perubahan volume sel secara cepat termasuk sel otak, sehingga bisa
menimbulkan abnormalitas neurologi. Dalam hal ini memerlukan koreksi
cepat.
Tubuh mampu melakukan kompensasi terhadap perubahan
osmolalitas serum yang terjadi lambat melalui pengaturan osmolalitas
intrasel. Koreksi abnormalitas osmolalitas serum yang sudah berlangsung
lama harus dilakukan lambat untuk memberikan kesempatan terhadap
mekanisme adaptasi tubuh.
Sebagaimana diketahui bahwa natrium mempunyai peranan penting
terhadap osmolalitas ekstrasel, karena itu pembahasan osmolalitas akan
kami tekankan pada masalah gangguan keseimbangan natrium.
1. Dehidrasi iso-osmotik.
Kadar natrium serum 130-150 mEq/L.
Setelah volume sirkulasi efektif diatasi dengan cairan isotonik, sisa
defisit diberikan cairan yang mengandung elektrolit sesuai kebutuhan
rumatannya.
2. Hiponatremi.
Natrium serum <130 mEq/L
Biasanya disebabkan karena jumlah air yang berlebih, dari pada
karena jumlah natriumnya yang rendah.
Anak dengan dehidrasi hipo-osmotik umumnya menunjukan gejala
klinis yang lebih berat dari gambaran yang sesuai penurunan berat
badannya.
Perlu menentukan status cairan untuk klarifikasi penyebab
hiponatremi:
Hiponatremi simtomatik:
o Penurunan kadar natrium (biasanya <120 mEq/L) disertai dengan
kejang dan perubahan mental status.
o Salin hipertonis (NaCl 3%) hanya diindikasikan untuk kasus ini.
Dinaikkan bertahap dengan kenaikan cepat cukup 5-10 mEq/L
(cukup hanya sampai kadar natrium 125 mEq/L) atau gejala klinis
hilang, dengan batas kecepatan tidak lebih dari 3 mEq/L/jam atau
6 ml/kg/jam (yang terbaik 1 mEq/L/jam atau 2 ml/kg/jam).
Selanjutnya diberikan lebih lambat dengan cairan lain yang lebih
hipotonis dari NaCl 3%(D50,45NaCl, D50,225NaCl, dsb), total
kenaikan perhari tidak lebih dari 10-15 mEq/L. Salin hipertonis
(NaCl 3%) tidak ada tempat untuk hiponatremi asimtomatik.
3. Hipernatremi.
Natrium serum >150 mEq/L.
Biasanya disebabkan karena relatif defisiensi air (sebenarnya kadar
natriumnya normal). Bisa terjadi karena kehilangan banyak air, atau
kehilangan air dan natrium yang lebih encer (lebih hipotonis) dari
pada serum.
Hipernatremia sebenarnya hampir tidak pernah terjadi pada pasien
dengan sistem pengaturan osmolalitas serumnya normal.
Anak dengan dehidrasi hiperosmotik biasanya irritable, kulit lembab
dan penurunan turgor tidak nyata. Rehidrasi pada dehidrasi
hiperosmotik harus dilakukan dengan perlahan, kecuali bila
simtomatik atau kadar natrium serum >180 mEq/L membutuhkan
penurunan kadar natrium hingga 175-180 mEq/L dengan cepat. Bila
terdapat syok, maka tetap diberikan cairan kristaloid isotonik dengan
cepat untuk mengatasi syok. Selanjutnya cairan rehidrasi harus
diberikan dengan memperhitungkan free water deficit sesuai rumus:
Hipernatremi simtomatik:
Gejala neurologis berupa kejang dan perubahan mental status
biasanya mulai tampak pada kadar natrium > 160 mEq/L.
Kecepatan penurunan kadar natrium pada prinsipnya sama dengan
kecepatan peningkatan kadar natrium pada penanganan
hiponatremi simtomatik. Diturunkankan bertahap dengan penurunan
cepat cukup 5-10 mEq/L atau gejala klinis hilang, dengan batas
kecepatan tidak lebih dari 3 mEq/L/jam atau yang terbaik 1
mEq/L/jam.
o Selanjutnya lebih lambat dengan tetap memperhitungkan sisa
defisit air. Ganti setengah sisa defisit air dalam 12-24 jam,
setengahnya dalam 24-36 jam berikutnya.
Total penurunan perhari (24 jam) tidak lebih dari 10-15 mEq/L.
D. Masalah elektrolit lain.
Dalam hal ini pembahasan kami batasi tentang kalium dan kalsium.
1. Kalium
Kalium merupakan kation intrasel yang sangat penting. Perbedaan
konsentrasi intrasel dan ekstrasel dipertahankan melalui mekanisme
transport aktif. Banyak mekanisme (Na/K pump, renal mechanisms,
insulin, acidosis, rate of cell breakdown, hyperosmolality) yang
mempengaruhi keseimbangan kalium sehingga menjamin secara
ketat kadar kalium serum 3,5−5,5 mEq/L. Jumlah ion kalium di
ekstrasel kurang dari 2 persen total kalium tubuh. Masa sel
berkorelasi erat dengan total kalium tubuh. Diperkirakan jumlah
kalium tubuh berada antara 40−55 mEq/kg berat badan.
Kalium yang diberikan oral maupun intravena masuk ke ekstrasel,
selanjutnya ke intrasel melalui proses yang membutuhkan energi. Bila
proses ini terganggu, misalnya akibat hipoksia atau racun tertentu,
akan terjadi akumulasi kalium dalam ekstrasel yang toksik. Akumulasi
juga terjadi pada sindroma tumor lisis dan gagal ginjal. Sekresi kalium
terjadi di tubulus distal ginjal oleh pengaruh aldosteron. Asidosis dan
alkalosis mempengaruhi keseimbangan kalium tubuh. Ion hidrogen
yang bermuatan positif masuk ke dalam sel ditukar dengan ion kalium
untuk menjaga netralitas muatan. Akibatnya pada asidosis kadar
kalium ekstrasel meningkat. Pada alkalosis terjadi kondisi sebaliknya.
Scribner dan Bunrell mengembangkan normogram memperkirakan
kekurangan kalium tubuh total berdasar kadar kalium serum dan pH
(Gambar 3).
b. Hiperkalemia.
Kadar kalium serum > 5,5 mEq/L.
Penyebab :
- Pemberian kalium yang berlebihan.
- Perpindahan kalium:
Hiperglikemia, katabolisme (hemolisis, tumor lysis), asidosis.
- Ekskresi melalui ginjal berkurang:
K sparing diuretics (aldactone), gagal ginjal, Hipoaldo-steronisme
(bisa karena ACE inhibitors, Tacrolimus, Cyclosporine, Prostaglandin
inhibitors, Heparin).
Gejala klinis :
- Kelemahan sampai kelumpuhan otot, parestesi, penurunan reflek-
reflek, perubahan ECG (tall-T), bisa terjadi ventricular fibrillation dan
cardiac arrest.
Terapi :
- Sedang sampai berat (simtomatik):
• calcium gluconate 10% 60-100 mg/kgBB (0,6-1 ml/kgBB) iv pelan
10-15 menit (akses vena harus berfungsi baik, tidak lebih 100
mg/menit atau 1 ml/menit) atau calcium chloride 10% 20-25
mg/kgBB (0,2-0,25 ml/kgBB) iv pelan 5-10 menit (harus vena
sentral).
Sediaan:
- CaGluc 10% (9 mg elemental Ca/100 mg CaGluc 10%).
- CaCl 10% (27 mg elemental Ca/100 mg CaCl 10%).
Bila perlu tambahkan nebulizer albuterol 0,1-0,3 mg/kgBB atau
salbutamol 4-5 µg/kgBB iv 20 menit, dapat diulang setelah 2 jam.
• Buat alkalosis dengan natrium bikarbonat 1-2 mEq/kg iv bolus
pelan. Jangan dicampur (1 jalur infus) dengan kalsium karena bisa
menimbulkan presipitasi, kalau 1 jalur kalsium diberikan lebih
dahulu.
• Glukosa 1 gram/kgBB + insulin (RI) 0,2 U/gram glukosa iv drip
dalam 15-30 menit. Bisa diulang dengan jumlah yang sama dalam 1
jam. Biasanya digunakan dekstrose 25%.
• Sodium polystyrene sulfonate (Kayexalate): oral, nasogastric, atau
rektal 1-2 g/kg berat badan dalam larutan sorbitol atau dekstrose.
Bila diberikan rektal konsentrasinya tidak boleh lebih 20%. Lebih
efektif bila diberikan oral dan dipertahankan 15-30 menit.
• Keluarkan kalium dengan tranfusi tukar atau dialisis.
• Bila tidak gagal ginjal, loop diuretic dan/thiazide diuretic bisa
diberikan untuk membantu pengeluaran melalui ginjal.
- Ringan sampai sedang (asimtomatik):
• Kurangi masukan kalium.
• Obati penyakit yang mendasari.
• Dilusi dengan pemberian cairan bebas kalium.
2. Kalsium
Kalsium, magnesium dan fosfat merupakan regulator penting pada fungsi sel
dan organ. Kalsium merupakan elektrolit terbanyak dan mempunyai peranan
sangat luas di dalam tubuh. Total kalsium tubuh meningkat dari 30 gram saat
lahir menjadi sekitar 1300 gram pada usia dewasa. 99% dalam tulang rangka
dan 1% berada dalam gigi, jaringan lunak dan ruang ekstraseluler. Hanya 1
gram berada dalam plasma dan ekstravaskuler. Organ yang mengatur
keseimbangan kalsium adalah usus halus, ginjal dan tulang. Regulasinya
diatur oleh parathyroid hormone (PTH), vitamin D, dan kalsitonin.
Dalam kondisi normal, kalsium ekstrasel sangat konstan walaupun terjadi
pertukaran bebas dengan cadangan di tulang. Konsentrasinya dipertahankan
dalam batas yang sempit sekitar 2,2-2,7 mM/L (8,8-10,8 mg/dL), 40% terikat
protein (nondiffusible) dan 60% ultrafilterable. 1 gram albumin mengikat 0,8
mg kalsium, tetapi 1 gram globulin hanya mengikat 0,16 mg. Jadi 80%-90%
kalsium berikatan dengan albumin, penurunan kadar albumin serum akan
menurunkan kadar kalsium serum total. 14% dari kalsium ultrafilterable
membentuk komplek dengan anion-anion seperti fosfat dan sitrat, sisanya
46% (1,2 mM/L atau 4,8 mg/dL) dalam bentuk ion bebas (ionized calcium).
Ionized calcium berada dalam keseimbangan dengan bentuk ikatan dengan
protein (protein-bound calcium). Aktifitas ion hidrogen dalam plasma
mempengaruhi konsentrasi ionized calcium. Perubahan pH 0,1 merubah
konsentrasi ionized calcium 10%. Asidosis menurunkan protein-bound calcium
dan meningkatkan ionized calcium, sedangkan alkalosis meningkatkan
protein-bound calcium dan menurunkan ionized calcium. Bentuk ionized
calcium merupakan bentuk paling penting dalam fungsi fisiologi dan
berperanan dalam banyak proses biologi, antara lain: mineralisasi dan
pembentukan tulang, pembelahan dan pertumbuhan sel, koagulasi, hormone-
response coupling, stabilitas membran saraf dan neuromuscular junction,
electrical stimulus-response coupling dalam kontraksi otot (rangka dan
jantung) dan pelepasan neurotransmitter, modulasi proses-proses enzimatik,
dan cellular "second messenger".
Walaupun ionized calcium bisa diukur, suatu perkiraan bisa dilakukan
untuk kepentingan klinis pada pasien-pasien yang status asam basanya
diketahui dan diasumsikan bahwa penurunan konsentrasi serum albumin 1
g/dL akan menurunkan bentuk ikatan dengan albumin dan karena itu juga
penurunan total serum kalsium 0,8 mg/dL. Penghitungan Ca corrected terhadap
albumin:
a. Hipokalsemia
Penyebab:
1. Neonatal: rendahnya asupan kalsium pada bayi-bayi prematur.
2. Gangguan pada PTH : hypoparathyroidism (kongenital, didapat),
polyglandular autoimmune, pasca bedah, hipomagnesemia,
pseudohypoparathyroidism.
3. Gangguan pada vitamin D:
- Kurangnya intake, paparan sinar matahari dan penyerapan.
- Hepatic disease.
- Obat-obat anti kejang (phenobarbital, phenytoin,
carbamazepine).
- Gagal ginjal kronik
4. Lain-lain: gagal ginjal akut, pankreatitis akut.
Manifestasi klinis:
1. Neuromuskular: iritabel, tetani, carpopedal spasm, laryngospasm.
2. SSP: apnea, kejang.
3. Jantung: prolonged Q-T interval, dysrhythmia, cardiac arrest.
RISK FACTOR: ALKALOSIS!
4. Kronik: Rickets, letargi dan poor feeding (newborn), katarak,
ectopic calcifications (pseudohypoparathyroidism).
Pengobatan:
1. Parenteral:
- Calcium gluconate 10% = 10 gram/100 ml (=100 mg/ml, 9 mg
elemental calcium/100 mg CaGluc 10%):
• Cardiac arrest : 1-2 ml/kgBB iv pelan tidak boleh lebih 100
mg/mnt atau 1 ml/mnt (akses vena harus berfungsi baik),
bisa diulang tiap 10 mnt.
• Rumatan: 1 ml/kgBB, bisa diulang tiap 4 jam sesuai indikasi.
- Calcium chloride 10% = 10 gram/100ml (=100 mg/ml, 27 mg
elemental calcium/100 mg calcium chloride):
• Cardiac arrest : 0,1-0,2 ml/kgBB iv 5-10 mnt, bisa diulang tiap
10 mnt (harus vena sentral).
• Rumatan : 0,2 ml/kgBB, bisa diulang tiap 4 jam sesuai
indikasi.
- Selama pemberian iv dilakukan monitoring EKG, observasi
bradikardi, hipotensi, dan ekstravasasi.
2. Oral:
Pengobatan kombinasi dengan suplemen kalsium and vitamin D:
- Dosis kalsium oral : 1-5 mMol (40 - 200 mg elemental kalsium)
/kg/hari.
• Calcium carbonate: Calsan tab, Calos caplet, Osteocal
chewable tab.
• Calcium gluconate: Biocalcin syr, Calcidin tab, Calcium AD
chew tab.
• Calcium acetate, Calcium glubionate.
- Dosis vitamin D: individual.
• Ergocalciferol (calciferol), Calcitriol.
b. Hiperkalsemia:
Penyebab:
- Primary hyperparathyroidism. - Skeletal dysplasias.
- Hypervitaminosis D atau A - Thiazide diuretics.
- Hyperthyroidism - Milk alkali syndrome.
- Adrenal insufficiency - Familial hypocalciuric hypercalcemia.
- Imobilisasi - Malignancy.
- Williams syndrome - Total parenteral nutrition.
Manifestasi klinis :
- Neurologi: letargi, iritabel, koma.
- Gastrointestinal: anoreksia, nausea, muntah, konstipasi.
- Kardiovaskuler: hipertensi.
- Ginjal: nephrogenic DI, nephrocalcinosis.
Pengobatan:
- Eliminasi penyebab (tiazide, vitamin A, vitamin D).
- Penigkatan ekskresi urin: peningkatan intake air, furosemide.
- Penurunan absorbsi intestinal: peningkatan diet fosfat,
glucocorticoid
- Penurunan resorbsi tulang: calcitonin, bisphosphonates.
- Dialisis: Calcium free dialysate.
Ringkasan
Pada kondisi kritis sering terjadi gangguan metabolisme air dan
elektrolit. Perburukan maupun perbaikan klinis berjalan paralel dengan
perubahan variabel fisiologis. Anak bukanlah miniatur dewasa, tatalaksana
cairan dan elektrolit pada anak memerlukan penguasaan prinsip-prinsip
fisiologi sesuai tahapan tumbuh kembangnya dan patofisiologinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Greenbaum LA. Pathophysiology of body fluids and fluid therapy. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St. Geme III JW, Behrman RE,
Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics, 19th ed. Philadelphia : WB
Saunders, 2004: 212-49.
2. Carcillo JA, Fields AI. Clinical practice parameters for hemodynamic
support of pediatric and neonatal patiens in septic shock. Crit Care Med;
2002, 30:1365-1378.
3. Stewart PA. How to understand acid-base. Diakses dari http://www.
qldanaesthesia.com, 20 Mei 2003
4. Kavanagh BP, Meyer LJ. Normalizing physiological variables in acute
illness: five reasons for caution. Intensive Care Med; 2005, 31:1161-67.
5. Wood EG, Lynch RE. Electrolyte management in pediatric critical illness.
Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ. Pediatric critical care, edisi ke-3.
Elsevier: Mosby, 2006: 939-57.
6. Allen DB, Hagen SA, Carrel AL. Disorders of the endocrine system
relevant to pediatric critical illness. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ.
Pediatric critical care, edisi ke-3. Elsevier: Mosby, 2006: 1105-24.
7. Nadel S, Kissoon NT, Ranjit S. Recognition and initial management of
shock. Dalam: Nichols DG. Rogers’ textbook of pediatric intensive care,
edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2008: 372-83.
8. Kelly A, Moshang T. Disorders of water, sodium, and potassium
homeostasis. Dalam: Nicholas DG. Roger’s Textbook of Pediatric
Intensive Care, edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins,
2008: 1615-34.
9. McKay CP. Disorders of Calcium Metabolism. Dalam: Feld LG, Kaskel FJ.
Fluid and electrolytes in pediatrics: a comprehensive handbook. New
York: Springer Science, 2010: 105-47.