Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PERANCANGAN GEOMETRI JALAN BARU

2.1 TEORI UMUM


Jalan adalah prasarana dari transportasi darat yang meliputi segala bagian
jalan, termasuk bangunan pelengkap dan lainnya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas yang berada di atas permukaan tanah. Jalan dibuat dengan kemiringan
tertentu sesuai kontur daerahnya masing-masing. Jalan juga berfungsi sebagai
akses untuk masyarakat berpergian dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Diperlukan suatu perkerasan yang melapisi permukaan jalan tersebut agar
kendaraan dan pengguna jalan yang melewati merasa aman dan nyaman, yang
nantinya mempermudah masyarakat dalam menunjang segala aktivitasnya dengan
waktu yang lebih efisien untuk menuju suatu tempat.

2.1.1 Penentuan Standar Teknis Jalan


Satuan mobil penumpang (SMP) adalah satuan kendaraan di dalam arus
lalu lintas yang disetarakan dengan kendaraan ringan/mobil penumpang, dengan
menggunakan ekivalensi mobil penumpang (emp), dimana besaran SMP
dipengaruhi oleh tipe/jenis kendaraan, dimensi kendaraan, dan kemampuan olah
gerak.
SMP untuk jenis kendaraan dan kondisi medan lainnya dapat dilihat dalam
Tabel 2.1. Detail nilai SMP dapat dilihat pada buku Manual Kapasitas Jalan
Indonesia (MKJI) No.036/TBM/1997.
Tabel 2.1 Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)
10

Data mengenai lalu lintas merupakan data utama dari suatu perencanaan
disamping pengaruhnya yang besar terhadap perencanaan bentuk seperti lebar,
alinyemen landai dan sebagainya.
1. Volume Lalu Lintas
Volume Lalu Lintas Harian Rencana (VLHR) adalah prakiraan volume lalu lintas
harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dinyatakan dalam SMP/hari.
2. Volume Jam Rencana
Volume Jam Rencana (VJR) adalah prakiraan volume lalu lintas pada jam sibuk
tahun rencana lalu lintas, dinyatakan dalam SMP/jam, dihitung dengan rumus:

di mana :
K = faktor volume lalu lintas jam sibuk
F = faktor variasi tingkat lalu lintas perseperempat jam dalam satu jam
VJR = volume jam rencana
VLRH = volume lalu lintas harian
Berikut Tabel 2.2 menyajikan faktor-K dan faktor-F yang sesuai dengan VLHR-
nya.
Tabel 2.2 Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume Lalu Lintas
Harian Rata-rata

Kecepatan rencana (VR) pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih
sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-
11

kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah,
lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.
VR untuk masing masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel 2.3.
Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan
syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.
Tabel 2.3 Kecepatan Rencana, VR, sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi medan
jalan

Suatu jalan yang ada didaerah datar mempunyai design speed yang lebih tinggi
dari pada yang ada di daerah pegunungan ataupun daerah bukit.

2.1.1 Koordinat Trase


Dalam perencanaan geometrik jalan terdapat beberapa parameter
perencanaan. Parameter – parameter ini merupakan penentu tingkat kenyamanan
dan keamanan yang dihasilkan oleh suatu bentuk geometrik jalan. Meskipun kita
ketahui bahwa jarak yang tersingkat untuk menghubungkan satu tempat dengan
tempat lainnya adalah membuat garis lurus, namun hal tersebut tidak akan
memungkinkan karena banyak daerah yang kita temui dengan kontur dan elevasi
yang berbeda. Seperti bukit, pemukiman warga, sungai dan lain sebagainya maka
trase jalan dibuat sedemikian rupa dengan memperhatikan faktor keamanan dan
kenyamanan pemakai jalan agar tidak terjadi kecelakaan lalu lintas.
Untuk menghitung koordinat ada dua alternatif hitungan, yaitu :
1. Pengukuran lapangan langsung
2. Perhitungan pada peta topografi.
12

2.1.2 Aliyemen Horizontal


Alinyemen horizontal ialah garis proyeksi sumbu jalan tegak lurus pada
bidang peta, yang biasa disebut tikungan atau belokan. Alinyemen horizontal
dikenal juga dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan”. Alinyemen horizontal
terdiri dari garis-garis lengkung. Garis lengkung tersebut dapat terdiri dari busur
lingkaran ditambah busur peralihan, busur peralihan saja ataupun busur lingkaran
saja.
Pada alinyemen horizontal akan terlihat apakah jalan tersebut merupakan
jalan lurus, menikung kekiri, atau kekanan. Sumbu jalan terdiri dari serangkaian
garis lurus, lengkung berbentuk lingkaran dan lengkung peralihan dari bentuk
garis lurus ke bentuk busur lingkaran.
Perencanaan geometrik jalan memfokuskan pada pemilihan letak dan
panjang dari bagian-bagian ini, sesuai dengan kondisi medan sehingga terpenuhi
kebutuhan akan mengoperasikan lalu lintas, dan keamanan ditinjau dari jarak
pandangan dan sifat pengemudi kendaraan ditikungan. Untuk keselamatan
pemakai jalan,jarak pandang dan daerah bebas samping harus diperhitungkan.

2.1.3 Stasiun
Menetukan panjang suatu lokasi jalan atau jarak dari suatu tempat sampai ke
tempat lain pada suatu lokasi jalan perlu digunakan stationing. Yang dimaksud
dengan stationing adalah penentuan jarak langsung yang diukur dari titik awal,
sedangkan stasiun (Sta) adalah jarak langsing yang diukur dari titik awal (Sta.
0+000) sampai titik yang dicari stasiunnya. Untuk menentukan stasiun (Sta) pada
suatu titik diberikan contoh seperti pada gambar 2.40. Dari hasil pengukuran dan
perhitungan maka akan didapatkan titik-titik tertentu yaitu : A; TC; CT; TS1;
SC1; CS1; SC1; dan B.
Misal titik awal suatu rencana jalan adalah titik A, maka:
Titik A = Sta. 0 + 000
Titik TC = Sta. A + dl
Titik CT = Sta. TC + Lc
Titik TS1 = Sta. CT + d2
13

Titik St1 = Sta. TS1 + Lt1


Titik B = Sta. ST1 + d3
Dimana:
A = Titik awal jalan
d1 = Panjang bagian lurus (tangen) dari A sampai TC
TC = Titik awal lengkung circle
Lc = Panjang lcngkung circle
CT = Titik akhir lengkung circle
d2 = Panjang bagian lurus antara CT sampai TSI
TS1 = Titik awal tikungan S-C-S
LT1 = Panjang total tikungan S-C-S
ST1 = Titik akhir tikungan S-C-S
d3 = Panjang bagian lurus (tangen) antara STI sampai BB
B = Titik akhir jalan

2.1.4 Penentuan Kondisi Medan Jalan


1. Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar
kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur.
2. Keseragaman kondisi medan harus mempertimbangkan kondisi medan
menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan–perubahan
pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.
3. Klasifikasi medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat dalam
tabel dibawah ini :
Tabel 2.19 Kemiringan Medan

Sumber : Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota dari
Bipran, Bina Marga (Rancangan Akhir)
14

Dalam mendesain sebuah trase perlu diperhatikan kelandain medan dari


tiap titik jalan tersebut dimana kelandaian tersebut dipengaruhi oleh
perbedandingan antara rumija kiri dan kanan.

2.1.5 Jarak Pandang


Jarak pandang adalah panjang bagian jalan didepan pengemudi yang masih
dapat dilihat dengan jelas diukur dari titik kedudukan pengemudi.
Syarat jarak pandang yang diperlukan dalam perencanaan jalan raya untuk
mendapatkan keamanan yang setinggi-tingginya bagi lalu lintas adalah seperti
dijelaskan dalam pasal-pasal berikut :

1. Jarak Pandang Henti (JPH)


Jarak minimum yang diperlukan pengemudi untuk menghentikan
kendaraan yang sedang berjalan.
D = D1 + D 2

Keterangan :
D1 = Jarak yang ditempuh kendaraan dari waktu melihat benda dimana harus
berhenti sampai menginjak rem (meter)
= 0,278 V. t
D2 = Jarak yang diperlukan untuk berhenti setelah menginjak rem (meter)
= V2 : (254 f)
D= Jarak Pandang henti ( meter )
V= Kecepatan rencana ( Km/jam)
T = Waktu yang diperlukan untuk menenpuh D1

Tabel 2.22 Jarak Pandang Henti (Jh) minmum


15

2.1.6 Pelebaran di Tikungan


Ada dua macam tikungan gabungan, sebagai berikut:
1. Tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua atau lebih tikungan
dengan arah putaran yang sama tetapi dengan jari jari yang berbeda.

Gambar 2.1 Tikungan Gabungan Searah

2. Tikungan gabungan balik arah, yaitu gabungan dua tikungan dengan


arah putaran yang berbeda.

Gambar 2.2 Tikungan Gabungan Balik Arah

Penggunaan tikungan gabungan tergantung perbandingan R1 dan R2:


R1 > 23 , tikungan gabungan searah harus dihindarkan, 2
R1 < 23 , tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus atau clothoide 2
sepanjang paling tidak 20 meter.
16

Gambar 2.3 Tikungan Gabungan Searah dengan Sisipan Bagian Lurus


Minimum Sepanjang 20 meter

3. Setiap tikungan gabungan balik arah harus dilengkapi dengan bagian


lurus di antara kedua tikungan tersebut sepanjang paling tidak 30 m.

Gambar 2.4 Tikungan Gabungan Tikungan Balik dengan Sisipan


Bagian Lurus Minimum Sepanjang 20 meter

2.1.7 Diagram Superelevasi

Diagram superelevasi adalah diagram yang menggambarkan pencapaian


superelevasi dari lereng normal kesuperelevasi penuh,sehingga dengan
menggunakan diagram ini dapat ditentukan bentuk penampang melintang setiap
titik pada lengkung horisontal yang direncanakan. Diagram superelevasi digambar
berdasarkan elevasi sumbu jalan sebagai garis nol. Elevasi tepi perkerasan diberi
tanda positif atau negatif ditinjau dari ketinggian sumbu jalan. Tanda positif untuk
tepi perkerasan yang lebih rendah dari sumbu jalan.
17

Gambar 2.5 Metoda pencapaian superelevasi pada tikungan tipe SCS

Gambar 2.6 Metoda pencapaian superelevasi pada tikungan tipe fC

2.1.8 Alinyemen Vertikal


Alinyemen Vertikal adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang
permukaan perkerasan jalan melalui sumbu jalan untuk jalan 2 lajur 2 arah atau
melalui tepi dalam masing-masing perkerasan untuk jalan dengan median.
Alinyement vertikal disebut juga penampang memanjang jalan yang terdiri dari
garis-garis lurus dan garis-garis lengkung. Garis lurus tersebut bisa datar, mendaki
atau menurun, biasa disebut berlandai. Landai dinyatakan dengan persen.
Pada umumnya gambar rencana suatu jalan dibaca dari kiri ke kanan, maka
landai jalan diberi tanda positip untuk pendakian dari kiri ke kanan, dan landai
negatip untuk penurunan dari kiri.
18

Dalam alinyemen vertikal hal-hal yang dibahas :


1) Landai Minimum
Berdasarkan kepentingan arus lalu lintas, landai ideal adalah landai datar (0%).
Sebaiknya ditinjau dari kepentingan drainase jalan, jalan berlandai > 0%.
2) Landai Maksimum
Untuk landai maksimum nilai 3% mulai memberikan pengaruh kepada gerak
kendaraan mobil penumpang, walaupun tidak seberapa dibandingkan dengan
gerakan kendaraan truk yang terbeban penuh. Untuk membatasi pengaruh
perlambatan kendaraan truk terhadap arus lalu lintas, maka ditetapkan landai
maksimum untuk kecepatan rencana tertentu, seperti pada Tabel 2.23 berikut ini:
Tabel 2.23 Kelandaian maksimum yang diizinkan

3) Panjang Landai Kritis


Selain landai maksimum terdapat panjang kritis untuk kelandaian sebagai faktor
yang dapat mempengaruhi dalam perencanaan alinyemen vertikal. Ditjen Bina
Marga memberikan panjang kritis yang merupakan kira-kira panjang 1(satu)
menit perjalanan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.24 berikut:
Tabel 2.24 Panjang Kritis

4) Lengkung Vertikal
Pergantian dari satu kelandaian ke kelandaian yang lain dilakukan dengan
mempergunakan lengkung vertikal. Lengkung vertikal di rencanakan sedemikian
rupa sehingga memenuhi keamanan, kenyamanan dan drainase. Persamaan umum
lengkung vertikal adalah sebagai berikut:
19

Keterangan :
L : Panjang lengkung vertikal sama dengan panjang proyeksi lengkung pada
bidang horizontal
A : Besarnya titik peralihan dari bagian tangen ke bagian lengkung vertikal
(g1-g2)
Jika A dinyatakan dalam %(persen) untuk x = ½ L dan y = Ev maka diperoleh :

Ev = A L/800

Keterangan :
Ev : Pergeseran pada bagian titik perpotongan kedua bagian tangen atau
pusat perpotongan vertikal (PPV)
Persamaan diatas berlaku baik untuk lengkung vertikal cembung maupun vertikal
cekung. Hanya bedanya jika Ev yang diperoleh positif, berarti lengkung vertikal
cembung, jika negatif berarti lengkung vertikal cekung.
Setelah itu hasil perhitungan disesuaikan dalam Standar Perencanaan Geometrik
Jalan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga seperti pada Tabel
2.25 berikut:
Tabel 2.25 Standar panjang minimum lengkung vertikal

Sumber : Ditjen. Bina Marga1992


20

2.1.9 Koordinasi Alinyemen Horizontal dan Alinyemen Vertikal


Alinemen vertikal, alinemen horizontal, dan potongan melintang jalan
adalah elemen elemen jalan sebagai keluaran perencanaan hares dikoordinasikan
sedemikian sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti
memudahkan pengemudi mengemudikan kendaraannya dengan aman dan
nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat
memberikan kesan atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan
dilalui di depannya sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal.
Koordinasi alinemen vertikal dan alinemen horizontal harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. alinemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertikal, dan secara
ideal alinemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinemen vertikal;
b. tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada
bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan;
c. lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan;
d. dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus
dihindarkan; dan
e. tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan.
Berikut contoh-contoh gambar koordinasi alinyemen vertical yang ideal dan yang
harus dihindarkan :

Gambar 2.7 Koordinasi yang ideal antara alinyemen horizontal dan alinyemen
vertikal yang berimpit
21

Gambar 2.8 Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana alinyemen vertikal


menghalangi pandangan pengemudi pada saat mulai memasuki tikungan pertama

Gambar 2.9 Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana pada bagian yang lurus
pandangan pengemudi terhalang oleh puncak alinyemen vertical sehingga
pengemudi sulit memperkirakan arah alinyemen di balik puncak tersebut

Anda mungkin juga menyukai