Anda di halaman 1dari 200

http://pustaka-indo.blogspot.

com
http://pustaka-indo.blogspot.com

ASAS-ASAS
HUKUM
PE MBUKTIAN
PE RDATA
http://pustaka-indo.blogspot.com

Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang HAK CIPTA, seba-
gaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 jo. Undang-Undang
No. 12 Tahun 1997, bahwa:
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau menyebarkan suatu
ciptaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah).
http://pustaka-indo.blogspot.com

Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H.

ASAS-ASAS
HUKUM
PE MBU K T IAN
PE R DATA
http://pustaka-indo.blogspot.com

Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H.


HUKUM PEMBUKTIAN PERDATA
©2012 Achmad Ali
Edisi Pertama. Cetakan Ke-1

Kencana. 2011.0075
Hak Penerbitan pada Prenada Media
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk
dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit

Cover Irfan Fahmi


Percetakan Fajar Interpratama Offset
Lay-out SatuCahayapro

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

PROF. DR. ACHMAD ALI, S.H., M.H.


Hukum Pembuktian Perdata
Jakarta: Kencana, 2012
Ed. 1. Cet. 1; xii, 177 hlm; 21 cm
1. Hukum I. Judul

ISBN 978-602-8730-74-7 001.42

Cetakan ke-1, Januari 2012

KEN C A N A
PRENADA MEDIA GROUP
Jl. Tambra Raya No. 23
Rawamangun - Jakarta 13220
Telp: (021) 478-64657, 475-4134
Faks: (021) 475-4134
Email: pmg@prenadamedia.com
Http: www.prenadamedia.com
INDONESIA
http://pustaka-indo.blogspot.com

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................... v


DAFTAR SINGKATAN ................................................. ix
BAGIAN PERTAMA
PEDAHULUAN ............................................................. 1
A. Hukum sebagai Suatu Sistem ...................................... 1
B. Pengertian Hukum Acara Perdata ............................. 3
C. Perbedaan antara Hukum Acara Perdata
dan Hukum Acara Pidana ........................................... 8
D. Perbedaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum
Acara Pidana Internasional ....................................... 13
BAGIAN KEDUA
HUKUM PEMBUKTIAN PADA UMUMNYA
DALAM PROSES PERDATA ........................................ 15
A. Arti Membuktikan ..................................................... 15
B. Pengertian Hukum Pembuktian ............................... 22
C. Perbedaan Pembuktian Yuridis dan Pembuktian
Ilmiah Lainnya ............................................................ 23
D. Letak Hukum Pembuktian ........................................ 25
E. Hukum Pembuktian dalam Sollen dan Sein ............ 30
F. Apakah yang Harus Dibuktikan (Quad Erat
Demostrandum) dan Apa yang Tidak Perlu
Dibuktikan ................................................................ 32
http://pustaka-indo.blogspot.com
G. Siapa yang Mengajukan Alat Bukti .......................... 44
H. Siapa yang Menilai Pembuktian ............................... 51
BAGIAN KETIGA
TUJUAN PEMBUKTIAN ............................................. 57
BAGIAN KEEMPAT
ASAS-ASAS HUKUM PEMBUKTIAN ........................ 61
A. Asas Audi Et Alteram Partem .................................... 61
B. Asas Ius Curia Novit ................................................... 63
C. Asas Nemo Testis Indoneus In Propris Causa .......... 64
D. Asas Ne Ultra Petits .................................................... 65
E. Asas De Gustibus Non Est Disputandum ................. 65
F. Asas Nemo Plus Juris Transferra Potest Quam
Ipse Habet ................................................................ 66
BAGIAN KELIMA
ALAT-ALAT BUKTI DALAM PROSES ....................... 69
A. Pengertian Alat Bukti .................................................... 73
B. Klasiikasi Alat Bukti ..................................................... 73
C. Apakah Ada Alat Bukti Lain di Luar Ketujuh
Alat Bukti yang Secara Tegas Itu? ................................ 77
D. Empat Cara Mengajukan Alat Bukti ........................... 78
E. Kekuatan Pembuktian (Visprobandi) dari
Alat-Alat Bukti ............................................................... 80
F. Bagaimana Kekuatan Pembuktian dari Alat Bukti
di Luar HIR dan R.bg. (Termasuk buku IV BW) ...... 85
G. Teori-Teori Pembuktian ................................................ 87
H. Teori-teori Pembuktian ................................................. 90
I. Alat Bukti Kesaksian (Testimony) ............................... 92
J. Alat Bukti Persangkaan-persangkaan ......................... 93

vi Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
K. Pengakuan (Confession, Bakentenis) .......................... 95
L. Sumpah Sebagai Alat Bukti ........................................... 95
BAGIAN KEENAM
PENGERTIAN BEBAN PEMBUKTIAN ...................... 99
BAGIAN KETUJUH
ASAS BEBAN PEMBUKTIAN ................................... 119
BAGIAN KEDELAPAN
TEORI-TEORI BEBAN PEMBUKTIAN .................... 117
A. Teori Negative Non Sun Probanda ............................. 117
B. Teori Hak ...............................................................118
C. Teori De Lege Late (Menurut Hukum Positip .......... 120
D. Teori Ius Publicum (Hukum Publik) ......................... 121
E. Toori Audi Et Alteram Partom ................................... 122
BAGIAN KESEMBILAN
SIFAT BEBAN PEMBUKTIAN ................................... 123
A. Sifat Yang Kasuistis ...................................................... 123
B. Sifat Yang Yuridis ......................................................... 127
BAGIAN KESEPULUH
BEBERAPA PERMASALAHAN BEBAN
PEMBUKTIAN DALAM TEORI DAN PRAKTIK .... 131
A. Permasalahan Teoretis ................................................ 131
B. Permasalahan Dalam Yurisprudensi ......................... 136
BAGIAN KESEBELAS
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM
TERHADAP BEBAN PEMBUKTIAN ....................... 141
A. Sedikit tentang Kegunaan Sosiologi Hukum ........... 141
B. Tugas Hakim dalam Kacamata Sosiologi Hukum ... 145

Daftar Isi vii


http://pustaka-indo.blogspot.com
C. Beban Pembuktian dari Optik Sosiologi Hukum .... 148
BAGIAN KEDUA BELAS
PERRJANJIAN PEMBUKTIAN .................................. 153
A. Pengertian Perjanjian Pembuktian ............................ 153
B. Isi Perjanjian Pembuktian ........................................... 153
C. Hal-hal yang Terlarang untuk Diperjanjikan ........... 154
D. Kaitan Perjanjian Pembuktian dengan Alat
Bukti Tulisan ...............................................................155
E. Hal-hal Lain Mengenai Perjanjian Pembuktian ...... 155
DAFTAR LITERATUR LANGSUNG ......................... 157
DAFTAR LITERATUR TIDAK LANGSUNG ........... 163
DAFTAR ISTILAH ASING ......................................... 167
DAFTAR NAMA ORANG .......................................... 173
DAFTAR PERATURAN/UNDANG-UNDANG ........ 173
DAFTAR YURISPRUDENSI ...................................... 177

viii Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com

DAFTAR SINGKATAN

No = nomor
hn = tahun
Prof = Prefessor
S.H. = Sarjana Hukum
M.A. = Master of Art
R.M. = Raden Mas
M.A = Mahkamah Agung
P.N. = Pengadilan Negeri
P.T. = Pengadilan Tinggi
hlm = halaman
vs = versus
Mr. = Master in de Rechten
KUH Perdata = Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
KUH Dagang/KUHD = Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang
KUHP = Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
KUHAP = Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
BPHN = Badan Pembinaan Hukum Na-
sional
http://pustaka-indo.blogspot.com
UU = undang-undang
R.I = Republik Indonesia
H.R. = Hoge Raad
BW = Burgelijk Wetboek
S. = Staatsblad
Stbl. = Staatsblad
R.M. hemis = Rechtgeleerd Magazijn hemis
(nama majalah)
N.J.B. = Nederland Juristenbland (nama
majalah)
A.A. = Ars Aequi (nama majalah)
WvK = wetboek van koophandel
Rv. = Wetboek van Burgelijke Rechts-
vordering
Km = kilometer
DD = tanda plat Sulawesi Selatan untuk
kendaraan bermotor darat
Bag. = Bagian
Ed. = Editor
Pdt. = perdata
K = Kasasi
AS = Algemene Bepaling van Wetgeving
CV = Comenditaire Vennootschap
HIR = Herzien Indonesis Reglement
I.S. = Indische Staatsregeling
P4D = Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah
PP = Peraturan Pemerintah
SK = surat keputusan

x Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
R.bg. = Rechtsregkement Buitengewesten
RD = Reglement op de Rechterlijke Or­
ganitatie
S.E.M.A. = Surat Edaran Mahkamah Agung

Daftar Singkatan xi
http://pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Pertama
PENDAHULUAN

Ius Vigilanticus Scriptum est


“Hukum ditulis untuk orang-orang yang berjaga-jaga”

A. Hukum sebagai Suatu Sistem


Di dalam setiap karya penulis tentang hukum, selalu
yang pertama penulis kemukakan adalah “Hukum sebagai
Suatu Sistem” karena cari fokus inilah munculnya berbagai
masalah, berbagai bidang hukum.
Hukum sebagai suatu sistem berarti hukum itu harus
dilihat, harus diterima, dan harus diterapkan sebagai suatu
keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling kait-
mengait satu sama lain.
Atau sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr.
R.M. Soedikno Martokusumo, S.H.1 bahwa sistem adalah
suatu kesatuan, suatu kebulatan di mana setiap problem baru
mendapatkan jawabannya atau penyelesaiannya. Juga yang
dirumuskan oleh Van Vollenhoven bahwa, “Innerlijke samen­
hang waarin ieder nieww probleem zijn antwoord vindt.”
Sehubungan dengan hukum sebagai suatu sistem maka
sistem hukum itu sendiri memiliki unsur-unsurnya, yang
secara garis besarnya terbagi atas:
http://pustaka-indo.blogspot.com
1. lembaga legislatif;
2. lembaga peradilan;
3. kebiasaan.
Jadi,terlihat bahwa lembaga peradilan adalah salah satu
unsur dari sistem hukum. Peradilan merupakan salah satu
pelaksanaan hukum dalam hal ada tuntutan hak yang kon-
krit melalui pengadilan.
Tuntutan hak yang konkret itu sehubungan dengan asas
“hakim yang pasif ” yang didasarkan pada asas “Wo kein Kla­
ger ist, ist kein Richter” (di mana tidak ada tuntutan/penuntut,
maka tidak ada hakim).
Setiap masalah hukum tidak bisa kita lepaskan dari sistem
hukum itu secara keseluruhan, sehingga setiap yuris harus se-
nantiasa mengingat hukum sebagai sistem. Hal ini dapat kita lihat
bahwa seorang petugas hukum tidak boleh membuat statement
ataupun aturan dalam bentuk ataupun isi yang bertentangan
dengan konstitusi misalnya, sekalipun statement­nya atau atur-
annya itu tidak berada dalam bidang hukum publik.
Atau di bidang peradilan misalnya tidak mungkin pu-
tusan pengadilan negeri dapat membatalkan putusan Mah-
kamah Agung.
Setiap sistem hukum selalu mengenal pembagian, hanya
saja pembagian itu selalu dilihat dari berbagai sudut.
Pembagian yang konvensional, yang paling banyak di-
terima orang sementara ini adalah:
a. hukum publik;
b. Hukum privat.
Sehubungan dengan tempat “hukum acara perdata” itu
sendiri, pada umumnya para ahli hukum memasukkannya

2 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
di bidang hukum privat, termasuk penulis sendiri.
Walaupun di dalam kenyataannya memang ada beberapa
ahli hukum isinya yang memasukkan hukum acara perdata
sebagai bagian hukum publik, dengan alasan bahwa ditinjau
dari segi lembaga pengelolanya serta aparat termasuk hakim,
maka hukum acara perdata termasuk hukum administrasi
negara, dalam hal ini hukum publik tentunya.2
Penulis sendiri menganggap hukum acara perdata se-
bagai bagian dari hukum privat, tidaklah secara konsekuen.
Hanya saja jika pembagian hukum atas publik dan privat ma-
sih mau dipertahankan, maka letaknya hukum acara perdata
dimaksudkan untuk mempertahankan hukum perdata/privat
materiil.
Tetapi, seandainya kita mau keluar dari pembagian hu-
kum publik dan privat, maka penulis lebih cenderung me-
nempatkan hukum acara perdata dalam bidang “hukum per­
adilan”.
Penulis cenderung untuk membuat suatu bidang hukum
baru, yang disebut “hukum peradilan” yang mencakupi hu-
kum acara perdata, hukum acara pidana, dan hukum acara
lainnya. Sebab, menurut pandangan penulis pembagian
atas publik dan privat dewasa ini sulit untuk dipertahankan,
mengingat batasan antara kepentingan umum dan kepenting-
an perorangan sudah sulit dipisahkan secara tegas. Apalagi de-
ngan munculnya bidang-bidang hukum baru, seperti hukum
lingkungan hidup, hukum angkasa, dan sebagainya.

B. Pengertian Hukum Acara Perdata


Salah satu pembagian hukum secara ortodoks (the or­
thodox classiication) adalah pembedaan antara dua bidang
hukum:

Pendahuluan 3
http://pustaka-indo.blogspot.com
a. substantive law;
b. procedural law.
Pembagian seperti ini ditemukan di dalam sistem Hu-
kum Anglo Saks (common law) di USA, Inggris, dan negara-
negara comonwealth-nya.
Hukum acara perdata menurut pembagian di atas, ter-
masuk dalam bidang procedural law (hukum proses). Adapun
hukum perdata materiil dan hukum dagang termasuk dalam
bidang substantive law (hukum materiil).
George Whitecross Patton3 tidak menyetujui pembedaan
di atas, alasan Patton adalah: “Firstly, the whole law remedies
does not belong to procedure, and secondly, there are rigths in
the realm procedure just as in that of substantive law....” Jadi,
pertama, karena keseluruhan hukum, bukan hanya hukum
proses adalah bersifat “pemulihan hak”; dan kedua, di dalam
hukum proses pun terdapat pengaturan hak dan kewajiban.
Jika kita mengikuti jalan berpikir dari Patton di atas, maka
kita melihat bahwa di dalam hukum materiil (substantive
law) pun di samping mengatur hak dan kewajiban, juga ber-
sifat pemulihan hak. Di lain pihak hukum proses (procedural
law) pun di samping bersifat pemulihan hak, juga berisikan
hak dan kewajiban.
Karena itulah, sehingga Patton4 menganggap pembedaan
antara “substantive law dengan procedural law” adalah kesa-
lahan pembuat undang-undang.
Yang dimaksud sebagai pemulihan hak adalah: “...A
power damages, s a remedial right ...” Jadi, merupakan suatu
kemampuan untuk memulihkan kembali hak melalui ganti
kerugian.
Lain lagi pandangan kaum realis, yang beranggapan bah-

4 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
wa baik di dalam “substantive law” maupun “procedural law”
tidak berisikan hak dan kewajiban, tetapi keduanya bersifat
pemulihan hak.
Di dalam kenyataannya, hukum proses (the law proce­
dural) pun menciptakan hak dan kewajiban, atau lebih tepat-
nya lagi menciptakan:
a. hak untuk menuntut ganti kerugian;
b. kebebasan untuk menutut;
c. kebebasan untuk memulihkan haknya;
d. kekebalan (immunities).
Antara lain diketahui bahwa walaupun di dalam hukum
acara ada suatu hak untuk menuntut jawaban dari seorang
saksi, di mana saksi itu berkewajiban untuk memberi jawab-
an, tetapi seorang saksi pun memiliki hak istimewa (the pri­
vilege) untuk menolak memberi jawaban, jika dengan ja-
wabannya nanti ia bisa terlibat sebagai terdakwa. (Ini contoh
dalam hukum acara pidana)
Oleh karena itulah, penulis berpendapat bahwa pem-
bedaan antara hukum materiil (substantive law) dan hukum
acara (procedural law) jangan atas kriteria “hak dan kewa-
jiban” serta “pemulihan”.
Suatu cara pembedaan lain adalah apa yang dikemukakan
oleh Charles F. Hamphill J.R. & Phyllis D. Hamphill5 yang
membedakan atas:
a. substantive law;
b. adjective law (procedural law).
Dikatakan bahwa substantive law adalah:
“...hat area of the law which sets forth, deines. And creates rights, as
distinguished from so called ADJECTIVE LAW, or PROCEDURAL

Pendahuluan 5
http://pustaka-indo.blogspot.com
LAW, which provides the legal and method for enforcing or obtaining
those rights.
For example, the substantive law states that RAPE is an unlawful and
forcible sexual assault on a female. Adjective law, for example, may
provide that a female victim in a rape prosecution may not be cross
examined as to whether she was previously chaste, unless some other
witness testiies in open court that the victim was of questionable
morals.

Jadi, mereka memberikan batasan tentang substantive


law sekaligus dengan membandingkannya dengan adjective
law. Tetapi mereka pun memberikan penjelasan tersendiri
lagi tentang adjective law:
“...hat body of the law which provides procedure and methods for
enforcing legal rights. Adjective law is synonymous with procedural
law. It is that part of the law concerned with methods for enforcing or
maintaining rigths. Adjective (procedural) law is distinguished from
substantive law that body of law which the courtc are established to
administer.”

Dengan mengetahui perbedaan antara hukum materiil


dan hukum proses (hukum acara), juga dengan mengetahui
letak persamaannya, akan lebih mudah kita memahami pe-
ngertian daripada hukum acara perdata sendiri sebagai
bagian dari hukum pada umumnya.
Menurut Prof. Dr. R. Wiryono Prodjodikoro,S.H.,6 bah-
wa hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-per-
aturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak
terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana peng-
adilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan hukum perdata.
Deinisi di atas kurang menjelaskan apa kaitan hukum
acara perdata dengan hukum sebagai satu sistem tersendiri.
Kaitan antara pengertian hukum acara perdata dengan hu-

6 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
kum sebagai satu sistem, dapat lebih telihat dalam pengertian
hukum acara perdata yang diberikan oleh Prof. Dr. R.M.
Soedikno Martokusumo, S.H7.
“Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil
dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara
perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana
caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.”

Selanjutnya beliau menjelaskan lagi, bahwa:8


“...Lebih konkret lagi, dapatkah dikatakan bahwa hukum acara per-
data mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan
hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan daripada pu-
tusannya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan
yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan
oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan
menghakimi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri merupakan
tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri
yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan dari pihak lain
yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh
karena itu tindakan menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan, dalam
hal ini kita hendak memperjuangkan atau melaksanakan hak kita.”

Mengapa penulis mengatakan bahwa pendapat dari Prof.


Dr. R.M. Soedikno Martokusumo, S.H. di atas lebih menam-
pakkan kaitan yang erat antara pengertian hukum acara per-
data di satu pihak dan hukum sebagai satu sistem di pihak
lain, tidak lain karena di dalam uraian tersebut tampak pem-
bagian atas:
a. Hukum materiil.
b. Hukum formal.
Dengan memerhatikan apa yang telah dikemukakan di
atas, penulis tiba pada kesimpulan, bahwa Hukum acara per­
data adalah serangkaian aturan­aturan hukum bagi warga
masyarakat yang ingin mempertahankan keperdataannya

Pendahuluan 7
http://pustaka-indo.blogspot.com
dengan perantaraan hakim di muka persidangan pengadilan,
dalam rangka melaksanakan aturan­aturan hukum materiil.
Mengapa penulis lebih cenderung untuk menggunakan
istilah “aturan” daripada “peraturan”, karena istilah “per-
aturan” lebih memberi makna hukum yang tertulis belaka,
sedangkan istilah “aturan” selain hukum tertulis juga hukum
tidak tertulis (di Indonesia adalah hukum adat).
Mengapa pula penulis harus menegaskan perkataan “di
muka persidangan pengadilan”, karena hukum formal tidak
ahanya meliputi hukum acara perdata belaka yang mempro-
sesnya di muka sidang pengadilan. Kita pun mengenal bagian
daripada hukum acara yang tidak berlangsung di muka sidang
pengadilan, seperti arbitrasi dan notaris.
Demikian pula jika kita hanya menggunakan istilah “di
muka pengadilan” masih bisa menimbulkan pengertian yang
ambivalensi, karena bisa diartikan hanya di muka “gedung
pengadilan”, padahal maksudnya tidak demikian.

C. Perbedaan antara Hukum Acara Perdata


dan Hukum Acara Pidana
Jika kita ingin memberdakan antara hukum acara per-
data dan hukum acara pidana, maka akan ditemukan banyak
sekali perbedaannya, antara lain penulis dapat mengemu-
kakan beberapa di antaranya di bawah ini:

1. Perbedaan dari segi inisiatif pengajuan perkaranya


Di dalam hukum acara pidana inisiatif untuk mengajukan
perkara pidana ke muka persidangan pengadilan adalah jaksa
selaku penuntut umum yang mewakili kepentingan umum,
sedangkan dalam hukum acara perdata, inisiatif untuk meng-
ajukan perkara perdata ke muka persidangan pengadilan ada-

8 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
lah pihak penggugat (the plaintif) yang mewakili kepenting-
annya sendiri secara perorangan.
Jadi, dalam hal ini terlihat kepentingan umum pada hu-
kum acara pidana dan kepentingan perseorangan pada hu-
kum acara perdata.

2. Perbedaan dari segi keterikatan hakim


pada alat-alat pembuktian
Di dalam hukum acara pidana, hakim tidak semata-mata
terikat pada alat bukti yang sah, tetapi di samping terikat pada
alat bukti yang sah, hakim harus terikat pada keyakinannya
sendiri atas kesalahan si terdakwa. Inilah yang dalam sistem
Hukum Anglo Saks dinamakan “beyond reasonable doubt”,
sedangkan di dalam hukum acara perdata, hakim hanya se-
mata-mata terikat pada alat bukti yang sah, sehingga dikata-
kan bahwa dalam hukum acara perdata cukup dengan “pre­
ponderance of evidence” sebagaimana yang dikatakan oleh
Mc Cormich,9 bahwa:
“Evidence preponderates when it is more convicing to the trier than
the opposing evidence”.

3. Perbedaan dari segi kebenaran yang ingin dicapai


Di dalam hukum acara pidana, sebagai konsekuensi
dari keterikatan hakim pada keyakinannya sendiri, sehingga
dikatakan bahwa hakim dalam perkara pidana bertujuan
untuk mencari “kebenaran materi”, sedangkan di dalam hu-
kum acata perdata, karena hakim hanya semata-mata terikat
pada alat bukti yang sah, sehingga dikatakan hanya mencari
“kebenaran formal”.
Dalam hubungan ini ada motto: Lebih baik membebas-

Pendahuluan 9
http://pustaka-indo.blogspot.com
kan 1000 orang bersalah, daripada menghukum satu orang
yang tak salah.

4. Perbedaan dari segi pemisahan peristiwanya


dan hukumnya
Di dalam hukum acara pidana, terdapat perpaduan an-
tara penetapan peristiwa dan penemuan hukum, sedangkan di
dalam hukum acara perdata ada pemisahan. Para pihak hanya
membuktikan “peristiwa” yang dipersengketakannya saja, se-
dang soal “hukumnya” adalah menjadi tugas hakim, sesuai asas
IUS CURIA NOVIT (hakim dianggap akan hukumnya).
Jadi, di dalam hukum acara pidana jaksa tidak mem-
buktikan. Jaksa mempunyai inisiatip penuntutan dan dalam
tuduhannya menentukan tema ke arah aman proses harus
diarahkan, tetapi kemudian untuk selanjutnya jaksa sama
kedudukannya dengan pembela, dan hakim dalam diskusi
persidangan. Karena itu, menurut Enschede,10 dalam hukum
acara pidana lebih tepat dikatakan bahwa hakimlah yang
membuktikan.

5. Perbedaan dari segi penghentian pemeriksaan perkara


Di dalam hukum acara pidana, kalau suatu perkara pi-
dana sudah sekali diajukan oleh kejaksaan ke muka persi-
dangan pengadilan, maka diteruskan atau tidaknya perkara
itu pada asasnya tidak tergantung atas kehendak dari jaksa
atau terdakwa. Pada asasnya kejaksaan tidak berwenang un-
tuk mencabut tuntutannya, sedangkan di dalam hukum acara
perdata, pada asasnya para pihak yang berperkara bebas un-
tuk menghentikan pemeriksaan perkara itu sebelum hakim
menjatuhkan putusannya. Misalnya, dalam hal ada perdamai-
an antara penggugat dan tergugat.

10 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
Dikatakan pada asasnya, karena ada pengecualian ter-
tentu yang dalam seri hukum acara perdata terbitan ber-
ikutnya akan penulis bahas secara khusus.

6. Perbedaan mengenai beban pembuktian


Di dalam hukum acara pidana, masalah beban pembuk-
tian (the burden of proof) tidak sepenting dan seserius dalam
hukum acara perdata: untuk menjelaskan lebih lanjut dapat
ditemukan dalam bab-bab berikutnya dalam buku ini.

7. Perbedaan dari segi aktif dan pasifnya hakim


Di dalam hukum acara pedata, pada dasarnya merupa-
kan sengketa para pihak, di mana luas ruang lingkup per-
sengketaan itu ditentukan oleh para pihak. Di sinilah terli-
hat sikap pasif dari hakim (verhanlungs maxim), jadi proses
perdata merupakan “penyelesaian persengketaan”, sedangkan
di dalam hukum acara pidana, bukan penyelesaian perseng-
ketaan. Hal in terlihat bahwa di dalam hukum acara pidana,
walaupun terdakwa sudah mengadakan pengakuan, hakim
tidak boleh meneriman begitu saja pengakuan terdakwa, te-
tapi harus aktif menyelediki kebenaran pengakuan itu, sedang
tadi di dalam hukum acara perdata hakim wajib menerima
pengakuan tergugat. Di sini, terlihat bahwa dalam hukum
acara pidana hakim bersifat aktif (eventual maxim).

8. Perbedaan dari segi kepentingan yang dilindungi


Dari sudut kepentingan yang dilindungi, maka di dalam
hukum acara pidana mengahadapi dua kepentingan:
1. kepentingan umum;
2. kepentingan hukum.
Adapun di dalam hukum acara perdata, dua pihak

Pendahuluan 11
http://pustaka-indo.blogspot.com
yang berperkara sama bobot kepentingannya, sehingga ber-
laku asas AUDI ET ALTERAM PARTEM,11 yaitu baik pi-
hak penggugat maupun tergugat harus diperlakukan sama.
Dalam arti kata kans untuk kalah dan menang sama, tergan-
tung nantinya pada pembuktian mereka sehingga keduanya
memiliki kepentingan hukum yang sama.
Di dalam hukum acara pidana tidak demikian. Kepen-
tingan yang diwakili jaksa adalah kepentingan umum, se-
dangkan kepentingan yang diwakili terdakwa adalah ke-
pentingan perseorangan. Kepentingan perseorangan di sini
membutuhkan kepastian hukum yang menuntut perlindung-
an hukum. Kepentingan umum menghendaki agar yang salah
dihukum, sedangkan kepentingan hukum menghendaki agar
yang tidak salah tidak dihukum.

9. Perbedaan dari segi sanksinya


Di dalam hukum acara pidana, selain sanksi deinitif se-
perti hukum penjara, denda dan lain-lain dikenal juga adanya
sanksi yang bersifat sementara, misalnya penahanan sebelum
vonis dengan pertimbangan untuk memperlancar persidangan
atau untuk kepantingan lain, misalnya terdakwa dikhawatir-
kan melarikan diri atau mengulangi perbuatannya. Adapun di
dalam hukum acara perdata tidak dikenal sanksi sementara.
Sebagai catatan, perlu penulis kemukakan bahwa sita­
konservatoir bukanlah sanksi sementara.

10. Perbedaan dari segi sifat hukum


Di dalam hukum acara pidana, tujuan hukuman adalah
dengan sengaja membebankan nestapa kepada si pelaku.12
Adapun di dalam hukum acara perdata tujuan hukuman ada-
lah untuk melindungi subjek hukum lain di luar si pelaku.

12 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
D. Perbedaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum
Acara Perdata Internasional
Hal yang paling menonjol yang membedakan antara hu-
kum acara perdata dean hukum acara perdata internasional
adalah:
– Di dalam hukum acara perdata, para pihak hanya ber-
kewajiban membuktikan peristiwanya, sedangkan me-
nyangkut hukumnya adalah menjadi tugas hakim.
– Adapun di dalam hukum acara perdata internasional,
para pihak di samping harus membuktikan peristiwanya
yang dipersengketakan, juaga harus dapat membuktikan
“HUKUM APA YANG BERLAKU”. Dengan kata lain,
hukum negara manakah yang berlaku? Negara penggu-
gatkah? Ataukah negara tergugat? Ataukah negara lain-
nya lagi?

Endnote:
1. Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo, S.H. “Kuliah Ilmu Hukum”.
Pendidikan Pascasarjana Hukum, Lembaga Pendidikan Doktor,
Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1981...............
2. Dr. Sunarjati Hartono, S.H, “Kapita Selekta Perbandingan Hukum”,
Penerbit Alumni, Bandung, 1976, hlm. 72.
3. George Whitecross Patton, “A Text Book of Jurisprudence”. Oxford
at the Clarendon Press, 1964, hlm. 535.
4. Ibid. hlm. 535.
5. Charless F. Hempill, J.R. & Phyllis D. Hemphill. “he Dictionary
of Practical Law”. Prentice-Hall, Inc. Englewoud Clifs, N.J. 07632,
hlm. 13.
6. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. “Hukum Acara Perdata Indo­
nesia”. Penerbit Sumur Bandung, 1980, hlm. 13.
7. Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo S.H. “Hukum Acara Per­
data Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 2.
8. Ibid.

Pendahuluan 13
http://pustaka-indo.blogspot.com
9. Edward W. Cleary. “Mc.Cormick’s Handbook of Law of Evidence”.
St. Paul, Minn, West Publishing, Co. 1972, hlm. 793.
10. Enschede. “Bewijzen in het strafrecht”. R.M. hemis 1966 al. 5/6,
hlm. 506.
11. Lihat tesis penulis untuk meraih gelar master dalam hukum acara
perdata.
12. Prof. Mr. M.M. Djojodiguno, dalam kuliah Perkembangan Ilmu
Hukum Umum, oleh Prof. Iman Sudiyat, S.H.

14 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Kedua
HUKUM PEMBUKTIAN
PADA UMUMNYA
DALAM PROSES PERDATA

Juris Ignerantia Nocet,Facti Non Nocet


“Tidak mengenal hukum adalah merugikan, tidak mengenal
fakta-fakta tidak merugikan”

A. Arti Membuktikan
Bukti, pembuktian atau membuktikan dalam Hukum Ing-
gris sering menggunakan istilah dua perkataan, yaitu: proof dan
evidence. Adapun dalam hukum Belanda disebut “bewijs”.
Tetapi, walaupun demikian, arti dari “membuktikan” itu
sendiri banyak sekali, dan karena itu, untuk memahami pe-
ngertian hukum pembuktian itu sendiri tentu saja kita ter-
lebih dahulu harus memahami arti dari pembuktian atau
membuktikan itu sendiri. Apalagi untuk kita kaitkan dengan
pengertian “alat bukti” dan pengertian “beban pembuktian”.
Oleh karena membuktikan memiliki pengertian yang
sangat luas, yang tidak hanya terdapat dalam bidang hukum
saja, maka terlebih dahulu kita akan mengemukakan arti
membuktikan secara umum.
Untuk itu, sebuah pengertian yang sangat menarik telah
dikemukakan oleh Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo,1
sebagai berikut:
http://pustaka-indo.blogspot.com
1. Kata membuktikan dikenal dalam arti logis. Pembuktian
di sini berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak,
karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memung-
kinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksi-
oma, yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu
pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang
bersifat mutlak yang tidak memungkinkan adanya bukti
lawan. Berdasarkan suatu aksioma, bahwa dua garis
yang sejajar tidak mungkin bersilang dapat dibuktikan
bahwa dua kaki dari segitiga tidak mungkin sejajar.
Terhadap pembuktian ini tidak dimungkinkan adanya
bukti lawan. kecuali pembuktian itu berlaku bagi setiap
orang. Di sini aksioma dihubungkan menurut ketentuan
logika dengan pengamatan-pengamatan yang diperoleh
dari pengalaman, sehingga diperoleh kesimpulan yang
memberi kepastian yang bersifat mutlak.
2. Kata membuktikan dikenal juga dalam arti konvensional.
Di sisi pun membuktikan berarti juga memberi kepastian,
hanya saja bukan kepastian mutlak, selain kepastian yang
nisbi atau relatif sifatnya, yang mempunyai tingkatan-
tingkatan:
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Ka-
rena didasarkan atas perasaan belaka maka kepastian
ini besifat intuitif, dan disebut conviction intime.
b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal,
maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee.
3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yu-
ridis. Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya
pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi
setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan
bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang

16 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
konvensional yang bersifat khusus. Pembuktian dalam
arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang
berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. De-
ngan demikian, pembuktian dalam arti yuridis tidak
menuju kepada kebenaran mutlak, hal ini terlihat bahwa
ada kemungkinannya bahwa pengakuan, kesaksian, atau
surat-surat itu tidak benar atau dipalsukan. Maka dalam
hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.
Suatu pendapat yang menarik di kemukakan oleh H.
Drion.2 Bahwa pembuktian yuridis itu adalah pembuktian
yang “historis”.
Dari uraian H. Drion, penulis dapat menjelaskannya
sebagai berikut; bahwa dikatakan pembuktian yuridis adalah
pembuktian historis, karena ada yang hendak dibuktikan da-
lam suatu persengketaan perdata ataupun perkara pidana ada-
lah sesuatu yang “sudah terjadi”, sesuatu yang sudah berada di
masa silam. Jadi, pembuktian yuridis yang bersifat historis ini
mencoba menetapkan apa yang terjadi secara in­concreto.
Suyling3 menyatakan bahwa pembuktian secara yuridis
tidak hanya berarti memberi kepastian kepada hakim, tetapi
juga berarti terjadinya suatu peristiwa yang tidak tergantung
pada tindakan para pihak (seperti pada persengketaan) dan
tidak pula tergantung pada keyakinan hakim (seperti pada
pengakuan dan sumpah).
Di lain pihak, Eggens4 mengatakan bahwa membuktikan
seperti menetapkan peristiwa hukum, tetapi juga dalam arti
luas menetapkan hubungan hukumnya sendiri.
Tentang pengertian dari istilah “evidence” itu sendiri,
penulis tertarik dengan apa yang diuraikan secara panjang
lebar oleh Sir Roland Burrows.5 Yang memberikan deinisi

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 17


http://pustaka-indo.blogspot.com
tentang pembuktian itu, deinisi mana pula diikutinya de-
ngan penjelasan, dituliskannya bahwa:
“Evidence, as used in judicial proceeding, has several meanings.
he two mainsenses of the word are: irstly, the means, apart from
argument and inference, whereby the court is informed as to the
issues of fact as ascertained by the pleadings; secondly, the subject­
matter of such means. he word is also use to denote that some fact
may be admitted as proof and also in some cases that some fact has
relevance to the issues of fact. In a real sense evidence is that which
may be placed before the court in order that it may decide the issues of
fact. here also are other shades of meaning that it is not necessary to
discuss here. hus it has bean held that “evidence” in the inheritance
(Family Provision) Act, 1938, covers all the material that persons
outside a court of law take into consideration when deciding how to
act (Re Vrindt, Vrindt V. Swain, (1940) Ch, 920). Evidence, in the
irst sense, means the testimony, whether oral, documentary or real,
which may be lagally received in order to prove or disprove some fact
in dispute....”

Deinisi yang dikemukakan oleh Sir Roland Burrows di


ata memang cukup panjang, tetapi dari deinisi itu menjadi
sangat jelaslah pengertian dari “evidence” itu sendiri.
Sebagaimana dikatakan Sir Roland bahwa ada dua pe-
ngertian yang utama dari kata “evidence”, yaitu:
1. Bagian dari alasan dan kesimpulan, dengan jalan mana
pengadilan mengetahui peristiwa yang dipersengketaan
sebagai suatu kepastian.
2. Pokok dari persoalan apa saja.
Jadi, arti kedua ini adalah arti luasnya.
Selain itu, perkataan “evidence” juga menurut Sir Roland
digunakan:
a. Untuk menunjukkan beberapa fakta yang mungkin di-
kenali sebagai bukti.
b. Dan juga dalam beberapa kasus tentang beberapa fakta

18 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
yang mempunyai relevansi dengan peristiwa yang diper-
sengketakan.
Dari sekian banyak pengertian tentang “evidence itu
Sir Roland memberi arti yang paling khusus, yaitu bah-
wa pembuktian atau alat bukti ditempatkan di muka peng-
adilan agar pengadilan dapat memutus peristiwa yang diper-
sengketakan, jadi pengertian utamanya adalah selaku alat
yang menghasilkan putusan.
Dalam arti alat bukti, maka mencakupi:
– kesaksian;
– whether oral;
– documentary atau real.
Yang mana menurut hukum agar peristiwa yang diperseng-
ketakan itu terbukti ataukah tidak terbukti.
Adapun pengertian “evidence” di dalam “INHERITAN­
CE” (Family Provision) Act 1938, dikatakan sebagai meliputi
seluruh alat-alat tentang person yang di luar suatu pengadil-
an, dan digunakan untuk menjatuhkan putusan.
Sir Roland mengakui masih banyak lagi pengertian pem-
buktian lain, tetapi tidak relevan dibicarakan dalam pembi-
caraan mengenai hukum pembuktian ini.
Berlainan dengan Sir Roland, maka Milton C. Jacobs6
mengemukakan pengertian pembuktian dari segi tujuannya,
rumusan mana didasarkan pada putusan pengadilan dalam
perkara Clark melawan Brooklyn Heights R. Co.:
“he object of evidence is to inform the trial tribunal of the material
facts, which are relevant as bearing upon the issues, in oder that the truth
may be elicited and a just determination of the controversy reached.”

Jadi, dari segi tujuannya Milton C. Jacobs melihat adanya


dua tujuan pembuktian:

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 19


http://pustaka-indo.blogspot.com
1. untuk mencapai kebenaran;
2. untuk dapat menghasilkan puusan.
Kedua tujuan itu dicapai dengan jalan memberikan ba-
han-bahan tentang peristiwa yang dipersengketakan kepada
pengadilan. Bahan-bahan mana tentu saja yang relevan de-
ngan persoalan yang dipersengketakan.
Dengan membedakan antara istilah “proof” dan isti-
lah “evidence”, maka Milton C. Jacobs membedakan sebagai
berikut:7
“Evidence is the medium of proof, proof is the efect of evidence.”

Jadi, dalam hubungan ini “evidence” itu adalah alat buktinya,


sedangkan “proof” adalah hasil atau akibat yang timbul dari
alat bukti. Lebih lanjut dikatakan oleh Milton C. Jacobs,8 bahwa
istilah evidence merupakan penggunaan umum bagi pembuk-
tian yang terjadi di muka pengadilan atau proses pengadilan.
Di kalangan ahli hukum Indonesia, maka Prof. Dr. R.
Supomo9 mengemukakan pengertian pembuktian dengan
membedakannya sebagai berikut:
a. Pengertian yang luas.
Pembuktian adalah membenarkan hubungan dengan
hukum. Misalnya hakim mengabulkan tuntutan penggu-
gat, maka pengabulan ini berarti bahwa hakim menarik
kesimpulan bahwa yang dikemukakan oleh penggugat
sebagai hubungan hukum antara penggugat dan ter-
gugat adalah benar. Berhubung dengan itu, maka mem-
buktikan dalam arti yang luas adalah memperkuat ke-
simpulan hakim dengan syarat bukti yang sah.
b. Pengertian yang terbatas.
Bararti bahwa yang perlu dibuktikan itu hanyalah hal-

20 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
hal yang dibantah oleh tergugat. Hal ini yang diakui ter-
gugat tidak perlu dibuktikan lagi.
Menurut Anema,10 membuktikan adalah memberi ke-
pastian kepada hakim tentang peristiwa-peristiwa hukum
dengan alat-alat tertentu untuk dapat mengabulkan akibat
hukum yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa itu
oleh hukum.
Prof. R. Subekti, S.H.11 memberikan arti membuktikan
dengan mengikat hakim untuk membenarkan kebenaran
peristiwa/hak yang dipersengketakan oleh para pihak dalam
suatu perkara.
Penulis sendiri berpendapat bahwa pengertian mem-
buktikan yang perlu kita persoalkan di sini hanyalah pe-
ngertian membuktikan dalam hukum acara perdata, karena
pembicaraan kita saat ini berada dalam bidang hukum acara
perdata.
Penulis dalam hal ini, dapat memberikan batasan seka-
dar sebagai pegangan, bahwa pembuktian dalam proses per-
data adalah:
“Upaya yang dilakukan oleh para pihak untuk menyelesaikan per-
sengketaan mareka atau untuk memberi kepastian tentang benar
terjadinya peristiwa hukum tertentu, dengan menggunakan alat
bukti yang ditentukan hukum, sehingga dapat dihasilkan suatu
penetapan atau putusan oleh pengadilan.”

Mengapa penulis harus membatasi dengan dua hal:


a. untuk menyelesaikan persengketaan; atau
b. untuk memberi kepastian tentang benar terjadinya pe-
ristiwa hukum tertentu.
Karena, kalau hanya untuk menyelesaikan persengketaan
saja, bagaimana halnya dengan pembuktian dalam perkara-

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 21


http://pustaka-indo.blogspot.com
perkara voluntair di mana di situ tidak ada persengketaan.
Demikian juga kita tidak bisa mengatakan bahwa pem-
buktian hanya untuk menghasilkan putusan, karena pada
umumnya pengertian “putusan” hanya berlaku bagi peng-
adilan yang sesungguhnya (contentieuse jurisdicte), yaitu da-
lam hal persengketaan ada, sedangkan dalam peradilan vo-
luntair hanya dihasilkan “penetapan”.

B. Pengertian Hukum Pembuktian


Sama halnya dengan pengertian “pembuktian”, maka pe-
ngertian hukum pembuktian pun terdapat banyak pendapat
di kalangan yurist.
Prof. R. Subekti, S.H12 mengemukakan bahwa hukum
pembuktian memberikan aturan tentang bagaimana berlang-
sungnya suatu perkara di muka hakim.
Penulis kurang menyetujui batasan yang terlalu umum
itu, karena bukan hanya hukum pembuktian yang memberi-
kan aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara
di muka hakim, melainkan keseluruhan aturan hukum acara,
baik hukum acara perdata maupun hukum acara lainnya, ju-
ga memberikan aturan tentang bagaimana berlangsungnya
suatu perkara di muka hakim.
Penulis lebih setuju deinisi yang dikemukakan oleh
Edward W. Cleary,12 bahwa:
“he law of evidence is the system of rules and standards by which
the admission of proof at the trial of law suit is regulated.”

Deinisi Cleary di atas lebih menampakkan kekhususan hu-


kum pembuktian dalam peranannya melalui pembuktian di
muka persidangan, juga menunjukkan suatu sistem hukum
dan standar bagi keseluruhan aturan pembuktian.

22 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
Oleh karena itu, lebih tepatnya jika penulis merumus-
kan batasan tentang pengertian hukum pembuktian sebagai
berikut:
“Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan tentang
pembuktian yang menggunakan alat bukti yang sah sebagai alatnya
dengan tujuan untuk memperoleh kebenaran melalui putusan atau
penetapan hakim.”

C. Perbedaan Pembuktian Yuridis dan


Pembuktian Ilmiah Lainnya
Sehubungan dengan terdapatnya perbedaan pembuktian
yuridis dan pembuktian ilmiah, maka menurut Lord Justice
Danning.14 Baik dalam pembuktian yuridis maupun pem-
buktian ilmiah lainnya adalah:
“he degree of probality which a reasonable and just man wuld
reqiure to come to a conclusion....depens on the conclusion to which
he is required to come ...”

Mengapa ada perbedaan antara pembuktian dan pem-


buktian ilmiah? Semuanya akan penulis kemukakan secara
terperinci di bawah ini. Sehubungan dengan itu, Edwin C.
Concrad15 menyatakan bahwa:
“He learns early in his practice that legal rules of evidence are not and
never will be based on principles of science. He does comprehend, that
science is science and law is law and never the twain shall meet.”

Walaupun antara pembuktian yuridis dan pembuktian


ilmiah adalah “never the twain shall meet”, tetapi bukan ber-
arti tidak bisa dibuktikan, karena itu penulis memberikan
tiga perbedaan antara keduanya:
1. Pembuktian yuridis adalah bersifat historis (lihat pen-
dapat H. Drion,15 artinya yang ingin dibuktikan secara
yuridis itu adalah suatu peristiwa yang telah terjadi, se-

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 23


http://pustaka-indo.blogspot.com
suatu yang berada di masa lampau. Adapun pembuktian
eksakta khususnya dan pembuktian ilmiah lainnya adalah
untuk membuktikan sesuatu yang di masa sekarang.
2. Di dalam pembuktian ilmiah, tidak dibedakan antara
pihak yang mengajukan pembuktian dan pihak yang
menilai pembuktian. Walaupun ada perbedaannya teta-
pi tidak secara tegas terpisah. Lain halnya dengan pem-
buktian yuridis, di mana antara pihak yang mengajukan
pembuktian dan pihak yang menilai pembuktian itu di-
bedakan secara terpisah, yaitu:
a. Yang mengajukan alat bukti adalah:
(i) dalam perkara perdata: para pihak;
(ii) dalam perkara pidana: Jaksa.
b. Yang menilai pembuktiannya itu adalah hakim.
3. Hasil dari pembuktian ilmiah lebih pasti dan eksak da-
ripada hasil pembuktian yuridis. Misalnya, dalam pem-
buktian yuridis, jika seorang tergugat mengakui telah
berutang kepada penggugat, maka sekalipun tergugat
berdusta, oleh hakim hal itu harus diterima sebagai ter-
bukti benar telah berutang.
Sehubungan dengan hal ini, perlu diketahui adanya perbedaan
antara sistem peradilan Anglo Saks di negara-negara com­
mon law, dengan sistem peradilan kontinental, seperti yang
dianut di Indonesia (sebagai akibat warisan penjajahan Be-
landa). Perbedaannya yang sehubungan dengan masalah
pembuktian ini adalah:
– Dalam sistem kontinental, hakimlah yang memeriksa
baik peristiwanya maupun hukumnya.
– Dalam sistem Anglo Saks, hakim memeriksa segi hukum-
nya dan juri menangani segi fakta atau peristiwanya. Dalam

24 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
hal ini juri hanya menyatakan “guilty or not guilty”, selanjut-
nya tugas hakim untuk follow­up masalah hukumnya.
Dari apa yang telah penulis kemukakan di atas, dapatlah
disimpulkan bahwa di dalam hukum pembuktian dibedakan
atas:
1. Siapa yang mengajukan alat bukti.
2. Siapa yang menilai alat bukti.

D. Letak Hukum Pembuktian


Sering timbul keraguan kita, apakah hukum pembuktian
hanya merupakan bagian dari hukum acara perdata ataukah
bagian hukum perdata materiil? Pertanyaan ini timbul de-
ngan pengaturan masalah pembuktian dalam buku IV KUH
perdata kita.
Sebenarnya pengaturan masalah pembuktian dalam bu-
ku IV KUH perdata adalah sama dengan penempatan sese-
orang yang “salah kamar”, karena hukum pembuktian adalah
bagian dari hukum acara perdata, bukan hukum perdata
materiil.
Penyebab dari “salah kamar” itu adalah harus ditinjau
dari segi historis hukum acara perdata di Eropa.
Dahulu dikenal adanya:
a. Hukum Formal dengan unsur-unsur materiil.
b. Hukum Formal dengan unsur-unsur formal.

Penulis sadar, hal ini mungkin akan membingungkan


beberapa pembaca. Penulis sendiri pun sebelumnya pernah
mengkaji benar-benar masalahnya dan menjadi bingung
sendiri. Sebab, bukankah hukum formal adalah formal, dan
yang materiil itu adalah hukum materiil?

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 25


http://pustaka-indo.blogspot.com
Di zaman dahulu di Eropa, sebagian besar yuris berpan-
dangan adanya dua jenis hukum formal dan adanya dua jenis
hukum materiil.
Hukum formal yang memiliki unsur-unsur materiil adalah
hukum formal yang memuat tentang hak dan kewajiban,
misalnya pembuktian, termasuk hukum formal yang memiliki
unsur-unsur materiil, karena di dalam pembuktian diatur ten-
tang hak dan kewajiban para pihak untuk membuktikan.
Berbeda dengan hukum formal yang hanya memiliki
unsur-unsur formal, adalah semata-mata hal yang murni
prosesuil sifatnya, misalnya: hakim memakai toga, para pi-
hak duduk didepan meja hakim, dan sebagainya.
Karena pertimbangan bahwa hukum pembuktian ada-
lah hukum formal yang memiliki unsur-unsur materiil, maka
dimasukkan ke dalam Buku IV KUH Perdata (BW).
Menurut anggapan penulis, seyogianya pembagian se-
macam itu tidak dianut lagi pada zaman kini, karena hanya
menimbulkan kebingungan belaka.
Pembuat undang-undang di negeri Belanda pun, sebagai
tempat asal BW Indonesia, sudah tidak mengakut pembagian
demikian itu. Terbukti dari BW baru Belanda yang tidak lagi
memasukkan pengaturan hukum pembuktian dalam BW
baru itu.
Sebagai gambaran agar pembaca lebih memahaminya,
penulis di bawah ini mencantumkan BW baru BELANDA
dalam sistematikanya;17
– Yang telah diundangkan:
Buku I : Hukum Perorangan dan Hukum Keluarga
Buku II : Badan-badan Hukum
– Yang telah disetujui parlemen, tetapi belum diundangkan:

26 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
Buku III : Hukum Harta Benda Umumnya
Buku IV : Hukum Warisan
Buku V : Hak-hak Benda
Buku VI : Bagian Umum Hukum Perikatan
– Yang masih dalam persiapan:
Buku VII : Perjanjian-perjanjian Khusus
Buku VIII : Alat-alat Pengangkutan dan Pengangkutan
Buku IX : Hak-hak atau hasil pikiran
Selain itu, hukum pembuktian adalah termasuk hukum
acara perdata, ketentuannya dapat kita lihat pada konstitusi
ris yang mencantumkannya huruf “i” dari lampiran pokok-
pokok penyelenggaraan pemerintahan yang dibebankan ke-
pada RIS menurut pasal 51 yang berbunyi bahwa: “...Asas-
asas pokok hukum acara perdata, termasuk didalamnya
hukum pembuktian....”
Dari beberapa uraian di atas, cukup kuatlah alasan pe-
nulis jika mengatakan bahwa hukum pembuktian adalah ba-
gian dari hukum acara perdata.
Dewasa ini, selama belum ada Undang-Undang Hukum
acara perdata yang baru, maka HIR, RBG, dan buku IV BW
masih tetap berlaku bagi hukum pembuktian.
Khususnya hukum pembuktian dalam Buku IV BW di-
susun khusus untuk acara contradictoir dalam bidang hu-
kum harta kekayaan di muka hakim perdata. Adapun bagi
acara declaratoir atau peradilan voluntair pada asasnya tidak
tidak berlaku hukum pembuktian dari Buku IV BW, kecuali
diperlakukan secara analog.19
Di dalam perkembangannya dewasa ini, hukum pem-
buktian lebih banyak dikembangkan oleh DOKTRINA (para
ahli hukum) dan YURISPRUDENSI (putusan peradilan). Dan

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 27


http://pustaka-indo.blogspot.com
diharapkan bahwa di dalam hukum acara perdata itu kita kelak
diatur di dalamnya secara lebih lengkap dan sesuai zaman.
Di atas telah penulis kemukakan bahwa hukum pem-
buktian yang diatur di dalam BW Buku IV hanya berlaku
untuk perkara contradictoir, dan tidak diperuntukkan bagi
perkara-perkara voluntair atau declaratoir.
Tetapi walaupun demikian, hukum pembuktian yang
diatur oleh Buku IV BW, diperlakukan secara analogi maupun
a contrario bagi perkara decralaratoir (atau peradilan semu).
Karena, isi aturan pembuktian yang terdapat dalam Buku IV
BW, aturan pembuktian yang terdapat dalam HIR atau R.bg.
maka sama saja, bahwa jika dikatakan Buku IV BW hanya
berlaku bagi perkara-perkara contradictoir, demikian pula
HIR dan R.bg.
Dari mana dapat diketahui bahwa hukum pembuktian
yang diatur oleh Buku IV BW, HIR, dan R.bg. hanya berlaku
bagi perkara-perkara contradictoir? Ini diatur oleh yuris-
prudensi, dengan putusan H.R. tertanggal 19 Desember 1932
bahwa BW Buku IV semata-mata hanya diperuntukkan bagi
perkara-perkara contradictoir.
Sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud sebagai
perkara-perkara contradictoir adalah perkara persengketaan
perdata yang sesungguhnya, di mana jelas ada pihak yang
bersengketa, ada penggugat dan ada tergugat. Dalam hal
ini pengadilan menghasilkan “putusan” yang sifatnya dime-
nangkan salah satu pihak yang berperkara, entah penggugat,
entah tergugat. Demikan juga dalam hal adanya pihak ketiga
yang melakukan intervensi.
Adapun perkara decralatoir adalah perkara yang di ba-
wah yurisdiksi peradilan voluntair (peradilan semu), dalam
hal mana pengadilan tidak memberikan dua pihak yang

28 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
berperkara, karena hanya ada satu pihak yang memohonkan
penetapan, misalnya si A memohonkan kepada pengadilan
agar ia ditetapkan sebagai wali dari anaknya, dan sebagainya.
Jadi, dalam hal ini pengadilan hanya menghasilkan suatu
“penetapan”, bukan “putusan”.
Tadi dikatakan, bahwa walaupun hukum pembuktian
dalam Buku IV BW, HIR, dan R.bg. hanya diperuntukkan
bagi perkara contradictoir, namun diperlukan secara analogi
atau a contrario bagi perkara decralatoir.
Sebagaimana diketahui analogi dan a contrario adalah
jenis penafsiran yang digunakan dalam hukum perdata.
Perbedaan antara analogi dan a contrario adalah bahwa:
– analogi memperluas suatu aturan hukum;
– a contrario mempersempit suatu aturan hukum.
Contoh klasik dari analogi, ialah:
BW mengatur bahwa jual beli tidak memutuskan hu-
bungan sewa-menyewa. Kemudian dianalogikan bahwa wa-
laupun undang-undang hanya mengatur tentang “jual-beli”—
adalah suatu bentuk “peralihan hak”—maka pengadilan
sejak puluhan tahun yang lampau telah memperluas undang-
undang, dengan menganalogikan bahwa bukan hanya “jual
beli” yang tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa, me-
lainkan semua bentuk peralihan hak lainnya pun, tidak me-
mutuskan hubungan sewa-menyewa. Jadi, hibah pun misalnya,
juga tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa.
Contoh klasik dari argumentum a contrario adalah Un-
dang-Undang Perkawinan mengatur bahwa wanita yang
bercerai dari suaminya, mempunyai masa idah 300 hari, di
mana dalam masa iddah itu wanita tersebut belum boleh
melangsungkan perkawinan baru. Yang diatur hanyalah wa-

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 29


http://pustaka-indo.blogspot.com
nita. Bagaimana dengan pria yang bercerai? Undang-undang
tidak mengatur, tetapi berdasarkan a contrario, diperoleh hasil-
nya aturan yang menganggap bahwa karena undang-undang
hanya mengatur bagi wanita, maka berarti sebagai lawannya,
yaitu pria yang tidak mempunyai masa idah.
Aturan hukum pembuktian yang khusus mengatur ten-
tang perkara-perkara yang decralatoir atau peradilan volun-
tair, ternyata hanya diatur dalam satu Pasal HIR, yaitu Pasal
145 ayat 2 yang dapat penulis simpulkan esensi aturannya
tentang pengecualian aturan orang bisa menjadi saksi (baca
sendiri isi pasal 145 ayat 2 HIR). Selebihnya diterapkan hu-
kum pembuktian bagi perkara contradictoir berdasarkan
analogi dan a contrario tadi.
Pada hakikatnya, penafsiran analogi dan a contrario itu
adalah perwujudan dari asas putusan yang dicetuskan oleh
Aristoteles, bahwa perkara yang sama seyogianya diputus
sama dan perkara yang tidak sama seyogianya diputus tidak
sama.
Adanya analogi dan a contrario selaras dengan kewajiban
hakim yang tidak boleh tidak harus memutus perkara yang
telah diajukan padanya berdasarkan asas IUS CURIA NOVI,
di mana walaupun undang-undang tidak mengaturnya, ha-
kim harus menciptakan hukumnya.

E. Hukum Pembuktian dalam Sollen Sein


Ada semacam pembagian dunia penelitian hukum atas:
a. Dunia sollen (dunia cita).
b. Dunia sein (dunia nyata).
Untuk jelasnya, penulis menggambarkannya dengan se-
cara skematik.

30 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
Jika kita membandingkan skema di atas dengan letak
daripada hukum pembuktian itu sendiri, dapatlah penu-
lis mengatakan bahwa hukum pembuktian terletak di dalam
dunia sollen maupun di dalam dunai sein. Terutama karena
hukum pembuktian adalah termasuk pada hukum formal
yang lebih menonjol peranannya sebagai pelaksanaan.
Jadi, sebagai aturan tentang pembuktian, yang meru-
pakan bagian dari aturan hukum acara perdata, maka dapat
dikatakan hukum pembuktian ini termasuk dalam dunia
sollen.
Adapun sebagai “law enforcement” maka pembuktian itu
termasuk dalam dunia sein.
Pengertian “law enforcement” sendiri berarti pelaksanaan
hukum. Tetapi dalam hal ini penulis perlu menggarisbawahi
bahwa pelaksanaan hukum itu ada dua macam:
1. Pelaksanaan hukum secara otomatis (tanpa sengketa).
2. Pelaksanaan hukum dalam hal ada persengketaan (pada
umumnya melalui peradilan).
Pelaksanaan hukum secara otomatis dapat kita rasakan
sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita mengendarai
mobil atau motor di arah jalan kiri, kita mengasuh anak-

Undang-undang
TERTULIS
Putusan
NORM pengadilan
Sollen
TIDAK TERTULIS
KEBIASAAN
PERILAKU PERJANJIAN
Sein LAW ENFORSEMENT
KESADARAN HUKUM

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 31


http://pustaka-indo.blogspot.com
anak kita, kita membayar ketika kita membeli barang dan se-
bagainya.
Maka dalam hubungan ini, hukum pembuktian yang
termasuk dalam dunia sein adalah termasuk dalam jenis pe-
laksanaan hukum di dalam hal ada sengketa perdata.
Karena itulah mempelajari hukum pembuktian harus
pula menghayati sein.

F. Apakah yang Harus Dibuktikan (Quoderat


Demonstrandum) dan Apa yang Tidak Perlu Dibuktikan
Pada zaman dahulu, ada yang beranggapan bahwa yang
dapat dibuktikan hanyalah “peristiwa”, sedangan “hak” tidak
dapat dibuktikan. Pendapat tersebut sudah tidak diterima
dewasa ini.18
Sehingga dewasa, ini hal-hal yang dapat dibuktikan
(Quod Erat Demonstrandum) adalah:
a. Peristiwa (factum).
b. Hak (ius).
Dapat dibuktikannya hak kita bisa lihat pada Pasal 163 HIR
(Pasal 283 R.bg., Pasal 1865 BW) yang isinya menyatakan:
“Barangsiapa menyatakan mempunyai suatu hak atau menyebutkan
suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah
adanya hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya
hak atau peristiwa itu.”

Selain itu, yurisprudensi pun menerima pendapat ten-


tang dapat dibuktikannya hak.
Sekarang penulis terlebih dahulu ingin melihat, apakah
yang dimaksudkan peristiwa dan apa pula yang dimaksud
hak.

32 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
1. Pengertian peristiwa
Pengertian “peristiwa” yang dapat dibuktikan di dalam
hukum pembuktian ini berbeda dengan pengertian “peristi-
wa hukum”.
Peristiwa hukum sebagaimana yang kita ketahui adalah
“Peristiwa yang oleh hukum diberi akibat hukum.”
Adapun peristiwa yang harus dibuktikan jauh lebih luas
lagi, yaitu sesuatu yang kompleks sifatnya, karena peristiwa
ini merupakan suatu keseluruhan dari keadaan, kejadian,
hubungan dan sebagainya. Jadi, bukan hanya suatu kejadian,
bahkan sering kali tidak dilihat secara keseluruhan oleh pan-
caindra.

2. Pengertian hak
Dalam bahasa Belanda, dikenal adanya dua jenis “hu-
kum”:
a. Hukum objektif.
b. Hukum subjektif.

Sebenarnya jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indo-


nesia, maka hukum objektif itu adalah “hukum” itu sendiri,
sedangkan hukum subjektif adalah “hak”.
Menurut Prof. Holand20 yang dimaksudkan sebagai
“hak” adalah:
“One man’s capasity of inluencing the acts of an other, by means,
nota of his own strength, but of the opinion or the force of society.”

Jadi, menurut Prof. Holand, hak merupakan kemampuan


seseorang untuk memengaruhi perbuatan/tindakan orang
lain, bukan dengan jalan kekuatannya sendiri, melainkan di-
dasarkan pada pendapat atau kekuatan masyarakat.

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 33


http://pustaka-indo.blogspot.com
Atau seperti yang dikatakan oleh Ernest Barker21, bahwa:
“My right in general are my part and portions of a whole system of
right, as expressed an embodied in my particular person, an they are
part and portion”.

Jadi pada asasnya, kata Ernest Barker, hak adalah bagian


dari keseluruhan sistem hukum.
Atau menurut Dias22 bahwa:
“A right is a claim, whether enforceable or not, which resides by
virtue of a rule of law in any given person, that another person, also
by virtue of law, shall behave in a particular way.”

Jadi, Dias lebih memandang hak itu sebagai suatu tun-


tutan yang karena adanya suatu kaidah hukum yang dipu-
nyai oleh seseorang terhadap orang lain, agar orang lain itu
berbuat/bertindak menurut suatu kaidah tertentu itu.
Bagi sistem hukum Barat, hak adalah alat untuk me-
mungkinkan manusia memperkembangkan jiwa raganya se-
cara sepenuhnya. Demikian kata Ernest Barker.23
Adapun bagi kita di Indonesia, hak itu bukanlah untuk
digunakan secara sepenuhnya, melainkan juga harus memer-
hatikan kepentingan kolektif. Menurut penulis, kebebasan
yang sebebas-bebasnya justru adalah ketidakbebasan. Marilah
penulis memberikan sebah contoh sebagai berikut: Jika si A
dengan sebebas-bebasnya menggunakan haknya untuk meng-
gunakan mobil pribadinya dengan kecepatan maksimal 120
kilometer perjam ditengah keramaian kota, apakah yang ter-
jadi? Malapetakalah yang akan menimpa orang lain yang juga
adalah pemakai jalan raya, sehingga kebebasan bagi si A adalah
ketidak bebasan bagi orang lain.
Oleh karena itu, penulis lebih cenderung mengartikan
hak itu sebagai:

34 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
“Kebebasan untuk berbuat sesuatu menurut hukum, dengan me­
merhatikan kepentingan kolektif.”

Perkataan memerhatikan kepentingan kolektif disini,


bukan berarti lantas kepentingan pribadi si pemilik hak su-
dah diatasi sama sekali oleh kepentingan kolektif, karena itu
penulis tidak menggunakan kata “tunduk” kepada kepentin-
gan kolektif, tetapi “memerhatikan” kepentingan kolektif. Ini
berarti antara kepentingan pribadi dan kepentingan kolektif
harus selaras.
Sehubungan dengan hal di atas, ada pepatah hukum
yang menyatakan:
“Quod licet jovi non licet bovi”, apa yang boleh dilakukan oleh
seseorang belum berarti yang lain juga boleh melakukannya.”
Setelah kita mengetahui pengertian “peristiwa” dan
“hak”, timbullah pertanyaan, dari suatu peristiwa, apanya
yang harus dibuktikan?.
Jawabannya adalah bahwa yang harus kita buktikan pa-
da suatu peristiwa adalah “kebenarannya”. Bahwa peristiwa
tersebut benar telah terjadi.
Di dalam hukum pembuktian, tidak semua peristiwa itu
harus dibuktikan. Untuk mengetahui mana yang harus di-
buktikan dan mana yang tidak perlu dibuktikan, maka penu-
lis di bawah ini menjelaskannya dengan gambar berikut.
Jadi, ada dua macam peristiwa dalam hubungannya
dengan pembuktian ini:
1. Peristiwa yang irelevan (tidak relevan).
2. Peristiwa yang relevan.

Sehubungan dengan peristiwa yang relevan dan irelevan


ini, ada ahli hukum lain yang menggunakan istilah:

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 35


http://pustaka-indo.blogspot.com

Keterangan gambar:
A = Peristiwa yang tidak relevan.
B = Peristiwa yang relevan.
B1, B2, B3, dan B4 adalah peristiwa relevan yang tidak perlu dibuktikan.

1. Ratio Decidendi.
2. Obitar Dictum.
a. Ratio Deciendi
Ratio decidendi ini adalah inti dari suatu perkara yuri-
dis, yakni bagian yang dianggap mempunyai sifat yang
menentukan. Dengan kata lain, Ratio decidendi adalah
faktor yang sejati (material fact), faktor esensi yang jus-
tru mengakibatkan suatu putusan demikian.
b. Obiter Dictum
Kebaikan dari ratio decidendi adalah obiter dictum ini.
Jadi, merupakan bagian dari peristiwa yuridis yang ti-
dak penting diperhatikan.
(mengenai hal ini, lebih mendetailnya dapat dibaca pada
hlm. 30-31, Prof. Kusumadi Pudjosewojo, S.H., “Pedo­
man Pelajaran Tata Hukum Indonesia).
Peristiwa yang irelevan ini sudah jelas tidak perlu dibuk-
tikan, berdasarkan asas “MINIMA NON CURAT PRAETOR”,
yaitu bahwa hakim tidak memerhatikan hal-hal yang remeh,
atau asas lain “NULTA SED NON MULTUM”, yaitu banyak

36 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


http://pustaka-indo.blogspot.com
dalam jumlah, tetapi tidak ada yang penting.
Tetapi perlu diketahui, bahwa tidak semua peristiwa
yang relevan yang perlu dibuktikan.
Ada empat peristiwa relevan yang tidak perlu dibuktikan
(dalam gambar penulis sebagai B1, B2, B3, dan B4), yaitu:
1. Peristiwa prosesuil.
2. Peristiwa notoir.
3. Peristiwa yang sudah merupakan pengetahuan umum.
4. Peristiwa yang oleh undang-undang sendiri telah diten-
tukan bahwa tidak perlu dibuktikan lagi.
Baiklah, di bawah ini penulis menjelaskan masing-ma-
sing dengan lebih mendetail.
ad. 1. Peristiwa prosesuil
Yang penulis maksudkan sebagai peristiwa prosesuil
adalah peristiwa yang terjadi di muka persidangan pengadil-
an yang memeriksa perkara yang bersangkutan yang harus
dibuktikan tadi.
Penulis dalam hal ini dapat membagi peristiwa prosesuil
itu atas:
a. Peristiwa prosesuil murni.
b. Peristiwa Prosesuil yang tidak murni.
Yang penulis maksudkan sebagai peristiwa prosesuil
murni, adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka persi-
dangan pengadilan, yang bersifat yuridis prosesuil, misalnya
penggugat mengadakan pengakuan murni, sehingga perkara
itu bisa diputus dengan dasar pengakuan murni dari tergugat
itu.
Adapun yang penulis maksudkan sebagai peristiwa pro-
sesuil yang tidak murni adalah peristiwa-peristiwa yang ter-

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 37


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
jadi di muka persidangan, yang sebenarnya hanya peristiwa
biasa, tetapi karena mempunyai pengaruh terhadap peristiwa
pemeriksaan, maka harus dicatat dalam berita acara. Misal-
nya, si tergugat atau si penggugat ketika sedang diperiksa
dimuka persidangan, tiba-tiba menguap dengan membuka
mulut lebar-lebar, yang berakibat secara kebetulan seekor
lalat masuk menyangkut di kerongkongannya, sehingga ia
kelabakan dan berjingkrak-jingkrak, atau mungkin pingsan
karena sesak nafas, sehingga menimbulkan kegemparan di
persidangan, atau menyebabkan terjadinya gangguan pada
pemeriksaan perkara tersebut.
Peristiwa prosesuil ini dianggap diketahui hakim se-
hingga tidak perlu dibuktikan lagi.

ad. 2. Peristiwa notoir


Ini harus berhati-hati untuk menyatakan atau meng-
galangkan suatu peristiwa ke dalam Notoir­Feiten atau pe-
ristiwa notoir ini, karena kadang-kadang suatu peristiwa ke-
lihatannya adalah peristiwa notoir, padahal bukan.
Peristiwa notoir itu sendiri adalah suatu peristiwa yang
dianggap peristiwa yang sudah diketahui oleh orang yang
memiliki penidikan cukup dan telah mengenal keadaan
masa di mana ia hidup, tanpa mengadakan penelitian lebih
lanjut lagi, termasuk pula peristiwa yang diketahuinya dari
sumber-sumber umum (mass media misalnya) tanpa meng-
adakan peristiwa yang cukup untuk digunakan sebagai
argumentasi pembenaran bagi suatu tindakan yang sifatnya
merupakan sifat yang memiliki arti. (Bandingkan pula pen-
dapat P.A. Stein24 dan pendapat Prof.Dr. R.M. Sudikno Mer-
tokusumo.25
Atau pendapat Prof. Mr. A. Pitlo,26 bahwa tidaklah ter-

38 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
masuk dalam peristiwa notoir jika peristiwa-peristiwa yang
secara kebetulan diketahui hakim yang bersangkutan, atau
hakim yang menyaksikannya ketika terjadi atau hakim yang
bersangkutan mempunyai keahlian perihal suatu kejadian
atau keadaan.
Ini berarti bahwa “private knowledge” dari hakim atau
yang dalam istilah hukum kontinental disebut “Eigen Weten­
schap des Rechters”, masih memerlukan pembuktian dan
tidak termasuk peristiwa notoir.
Misalnya, hakim kebetulan melihat tergugat mengadakan
perjanjian jual beli rumah yang kini dipersengketakan, di
mana hakim itu sendiri yang kebetulan memeriksa perkara-
nya, maka dalam hal ini terjadinya perjanjian jual beli rumah
itu masih tetap harus dibuktikan oleh para pihak, karena
ini hanya merupakan “Eigen Wetenschap des Rechters” dan
bukan Notoir Feiten.
Lazimnya peristiwa notoir ini diartikan sebagai peris-
tiwa yang diketahui umum. Oleh sebab itu, maka hakim ber-
pendidikan tinggi dan sudah tentu dianggap berpengetahuan
luas juga, harus tahu juga peristiwa notoir ini, sehingga tidak
perlu dibuktikan lebih lanjut.
Sebagai contoh, bahwa hari kemerdekaan Republik
Indonesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945, hal ini tidak
memerlukan pembuktian lagi di muka pengadilan. Adalah
tidak eisien apabila harus didatangkan seorang saksi sejarah
yang membuktikan bahwa proklamasi Indonesia itu benar
tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam hal timbul perselisihan akan hal semacam itu
sulit untuk dimasukkan dalam golongan “diketahui umum”,
sehingga dalam hal demikian perselisihan akan timbul, peris-
tiwa yang bersangkutan masih harus dibuktikan. Demikian

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 39


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
pendapat Prof. R. Soekardono, S.H.27
Tadi penulis mengemukakan bahwa sering suatu peris-
tiwa dianggap notoir feit, padahal sebenarnya bukan. Penulis
dapat memberikan sebuah contoh: jika si X dikatakan se-
bagai orang terkaya di kota Ujungpandang, ini belum me-
rupakan peristiwa notoir, karena kriteria kaya tidaknya se-
seorang masih merupakan sesuatu yang relatif dan masih
memungkinkan diperdebatkan. Lain halnya dengan tanggal
17 Agustus 1945 sebagai hari diproklamasikannya Republik
Indonesia, tidak mungkin diperdebatkan lagi.
Penulis membagi ada tiga macam peristiwa notoir:
a. Peristiwa notoir yang bersifat internasional.
b. Peristiwa notoir yang bersifat nasional.
c. Peristiwa notoir yang bersifat lokal/kedaerahan.
Peristiwa notoir yang bersifat internasional misalnya,
bahwa Israel melakukan invasi militer ke wilayah Lebanon,
atau Partai Buruh Solidaritas dibubarkan oleh pemerintah
Polandia. Peristiwa notoir yang sifatnya internasional ini pada
umumnya berlaku bagi hukum acara perdata internasional,
tetapi bukan berarti bahwa dalam hukum acara perdata biasa
tidak mungkin berarti.
Sebagai contoh: jika tergugat ingin membuktikan keti-
dakberadaannya di Indonesia, karena berada di Lebanon
pada saat tentara Israel melakukan invasinya, ini sudah me-
rupakan peristiwa notoir intenasional, yaitu tentang saat
tentara Israel melakukan invasi itu.
Adapun peristiwa notoir yang bersifat nasional, misalnya
meletusnya Gunung Galunggung di Jawa Barat. Atau bahwa
Menteri Pertahanan Republik Indonesia sekarang (tahun
1982) adalah Jenderal TNI M. Yusuf.

40 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Dan peristiwa notoir lokal/kedaerahan, misalnya bahwa
Kantor Pengadilan Negeri Ujungpandang terletak di Jalan
Kartini persimpangan/pojok jalan Jenderal Sudirman, bah-
wa bioskop artis terletak di jalan G. Lompabatang dan lain-
lainnya.
Ini hanya merupakan peristiwa notoir yang berlaku bagi
penduduk tetap Ujungpandang atau Makasar. Tidak perlu
dibuktikan lagi bahwa bioskop artis itu apakah benar terletak
di jalan G. Lompobatang atau tidak.
Yang dewasa ini masih merupakan polemik dalam lite-
ratur-literatur hukum pembuktian antara para ahli hukum
adalah apakah termasuk pula dalam pengertian peristiwa
notoir, peristiwa yang merupakan desas-desus?
Atau secara lengkap penulis mempertanyakan, apakah
peristiwa-peristiwa:
a. desas-desus,
b. rumor (desas-desus buruk bagi seseorang),
c. fama, juga sejenis desas-desus,
d. communis, opinie doctorum (pendapat umum para ahli),
dapat dimasukkan sebagai peristiwa notoir atau bukan?
Masih diperdebatkan kini.
ad. 3. Peristiwa yang sudah merupakan pengetahuan umum
Yang penulis maksudkan di sini, sebagai peristiwa yang
sudah merupakan pengetahuan umum adalah peristiwa yang
berdasarkan pengalaman, atau dengan kata lain kesimpulan
yang didasarkan pada pengetahuan umum.
Pengalaman yang dimaksudkan di sini adalah tidak ber-
sifat normatif, jadi merupakan ketentuan umum berdasar-
kan pengalaman manusia yang digunakan untuk menilai pe-
ristiwa yang diajukan untuk dibuktikan itu.

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 41


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pengetahuan tentang pengalaman, misalnya:
– bahwa seorang manusia yang berlari nonstop selama
dua jam, pasti akan kepayahan;
– bahwa mobil yang dilarikan dengan kecepatan 100 kilo-
meter per jam, kemudian tiba-tiba direm, pasti mening-
galkan “remspoor” (bekas rem di aspal);
– jika seorang manusia ditembak kepalanya sehingga kena
dengan sebutir peluru, maka orang itu pasti mati.
Semua contoh di atas tidak membutuhkan pembuktian
lagi, sesuai asas “MANIFESTA NON EGENT PROSATIONE”
(fakta-fakta yang dikenal umum tidak perlu memerlukan pem-
buktian). Coba dibayangkan jika untuk membuktikan bahwa
seorang yang ditembak kepalanya akan mati, harus dibuktikan
dengan menampilkan seorang “sukarelawan” yang bersedia
benar-benar ditembak kepalanya di muka persidangan, bu-
kankah suatu hal yang tidak mungkin?.
Lalu di mana letak perbedaan antara peristiwa notoir de-
ngan peristiwa yang berdasarkan pengetahuan umum?
Perbedaannya adalah:
– peristiwa notoir, hakim mengenal peristiwanya secara
konkret, misalnya warna emas adalah kuning;
– peristiwa yang didasarkan pengetahuan umum, hakim
menerapkan suatu pengetahuan umum, misalnya mobil
lebih cepat larinya dari manusia.
ad. 4. Peristiwa yang oleh undang­undang sendiri
telah ditentukan bahwa tidak perlu dibuktikan
Dalam hal ini ada yang juga termasuk peristiwa prosesuil.
Sebagai contoh:
– dengan telah dilaksanakannya sumpah pemutus (sum-

42 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
pah decisoir), yang oleh undang-undang tidak memung-
kinkan pembuktian perlawanan lagi, maka peristiwa
yang dipersengketakan tidak memerlukan pembuktian
lebih lanjut;
– jika seorang tergugat mengakui gugatan penggugat
dalam bentuk pengakuan murni, berarti peristiwa yang
dipersengketakan yang telah diakui secara murni oleh
tergugat tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut,
dan perkara itu dianggap selesai;
– dalam hal tergugat tidak datang, padahal telah dipanggil
secara patut, lalu hakim menjatuhkan hukuman verstek
yang menyatakan tergugat kalah, maka peristiwa yang
di persengketakan yang dimuat dalam gugatan penggu-
gat tanpa diadakan pembuktian sudah dianggap benar,
dan kemudian tanpa mendengar serta di luar hadirnya
tergugat dijatuhkan hukuman verstek. (sebagai catatan,
perlu diketahui, bahwa tidak mesti seorang hakim men­
jatuhkan hukuman putusan yang menyatakan kalahnya
tergugat secara verstek jika tergugat tidak hadir, meski­
pun telah dipanggil secara patut, bisa saja dengan per­
timbangan bahwa gugatan si penggugat tidak ada dasar
hukumnya, maka hakim dalam ketidak hadiran tergugat
menyatakan penggugat yang kalah, bukan tergugat).
Mengenai hal ini, lihat Pasal 8 dari Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1947 atau Pasal 200 R.bg.
Untuk menjelaskan mana peristiwa yang relevan dan
mana yang irelevan, penulis memisalkan sebagai berikut:
Terjadi tabrakan antara mobil Mercy putih milik Tuan A dan
mobil Toyota milik Tuan B, sehingga Tuan B meminta ganti
rugi. Terjadinya tabrakan pada Jumat kliwon. Dan lokasi-

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 43


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
nya di perempatan jalan Kartini, jalan G. Sawakarang, Jalan
Sudirman, Tuan A memakai baju safari merah muda, ber-
kacamata, sedangkan Tuan B memakai Jean sepasang warna
biru. Pada saat kecelakaan, di atas mobil Tuan A ikut anak-
ananya. Adapun di atas mobil Tuan B ikut pacarnya Miss X,
seorang aktris jelita. Cepat kendaraan 50 kilometer per jam,
baik Tuan A maupun Tuan B.
Dari keseluruhan yang dikemukakan di atas, yang termasuk
peristiwa relevan hanyalah bahwa yang mengemudikan mobil
adalah Tuan A dan Tuan, kecepatannya masing-masing 50
kilometer per jam, lokasinya di jalan-jalan tersebut.
Adapun isinya, seperti baju Tuan A dan Tuan B, pacar
Tuan B yang aktris jelita dan sebagainya adalah peristiwa
yang irelevant, sehingga tidak perlu dibuktikan.

G. Siapa yang Mengajukan Alat Bukti?


Buat kita di Indonesia, jelas kita tidak dapat menerima
ajaran Jhon Austin, yang menganggap hukum sebagai dipi-
sahkan secara tegas dari keadilan, hukum tidak di dasarkan
pada nilai-nilai yang baik dan buruk, tetapi atas dasar da-
ripada penguasa, atau seperti yang dituliskan oleh Judith
Shklar27 bahwa:
“Treating law as an isolate block of concepts that have no relevant
characteristic or function—apart from their possible validity or
invalidity within a hyppthatical system.”

Buat kita di Indonesia, hukum tidak dapat dipisahkan


dari keadilan, dan hukum itu harus menciptakan kemanfaat-
an yang sebenar-benarnya bagi sebanyak-banyaknya rakyat
Indonesia.
Karena itulah di dalam proses peradilan Indonesia, para
pihak yang berperkara (dalam proses perdata) maupun ter-

44 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
tuduh (dalam proses pidana) senantiasa dijamin hak-haknya
untuk membuktikan ketidakbersalahannya (he Presumption
of Innocemce).
Hal ini sejalan dengan pandangan Roscoe Pound yang
berpendapat bahwa hukum harus dilihat atau dipandang se-
bagai lembaga yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial,
serta adalah tugas ilmu hukum untuk memperkembangkan
suatu kerangka dalam mana kebutuhan sosial dapat dipenuhi
secara maksimal. Terbukti dari apa yang dituliskannya:
“....he record of a continually wider recognizing and satisfying of
human wants or claims or desires through social control, a more
embracing and more efective security of social interest, a continually
more complete and efective elimination of waste and precluding of
friction in human enjoyment of the goods of existence—in short a
continually more aicacious social engineering.”29

Roscoe Pound meganjurkan agar mempelajari hukum


sebagai suatu proses.
Di dalam hukum acara perdata, yang berhadapan adalah
dua pihak yang terlibat dalam suatu persengketaan perdata.
Keduanya memiliki kedudukan yang sama di muka hukum,
termasuk di muka pengadilan (hakim), berdasarkan asas
AUDI ET ALTERAN PARTEM.
Walaupun demikian, terlebih dahulu kita harus jelas
mengetahui siapakah yang dimaksudkan para pihak dalam
suatu perkara perdata?
Hal ini sangat penting, karena yang harus mengajukan
alat bukti ini adalah para pihak itu.
Pada asasnya setiap orang mempunyai hak, dan karena
itu adalah suatu kewajaran jika setiap orang berusaha untuk
mempertahankan atau membela haknya, berwanang untuk
bertindak selaku pihak dalam perkara perdata, baik sebagai

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 45


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
penggugat maupun tergugat atau dalam hal tertentu sebagai
pihak yang melakukan intervensi, hal ini sesuai dengan asas:
“Legitima persona standi in jidicio.”
Tetapi selain manusia, kita harus ingat bahwa pengertian
“orang” menurut hukum, juga termasuk badan hukum atau
yang lazim disebut “RECHTAPERSOON”.
Sehingga yang dimaksud pihak dalam perkara perdata
ada dua macam:
1. Manusia.
2. Badan hukum.
Di dalam suatu persengketaan perdata sekurang-kurang-
nya terdapat dua pihak, yaitu: penggugat (eiser, plaintif), dan
tergugat (gedaagde, defendant).
Mengenai orang yang aktif bertindak sebagai pihak di
muka persidangan pengadilan, dapat kita bagi atas:
a. Orang yang mempunyai kepentingan langsung.
b. Orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung.
Jika orang yang berkepentingan langsung yang bertin-
dak sendiri di muka pengadilan disebut sebagai “pihak ma-
teriil”, tetapi sekaligus juga merupakan “pihak formal”, karena
mereka sendiri yang beracara.
Yang dimaksudkan sebagai orang yang tidak mempunyai
kepentingan langsung adalah:
a. Wali
b. Pengampu
c. Pengacara
Wali ini mewakili orang yang masih di bawah umur. Di
Indonesia terdapat banyak peraturan mengenai batas umur
kedewasaan. Batas umur itu berkisar antara 15 tahun hingga

46 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
21 tahun. Batas umur untuk perkawinan saja ada berbagai
macam, menurut BW bagi laki-laki adalah 18 tahun dan bagi
wanita 15 tahun, sedang menurut U. U No. 1 Tahun 1974
bagi laki-laki 19 tahun dan wanita 16 tahun.
Batas-batas umur dewasa itu adalah
a. Dewasa untuk memilih: 17 tahun (berdasarkan Pasal 9
UU No. 5 Tahun 1975).
b. Dewasa menurut Undang-Undang Kerja adalah 18 ta-
hun (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1951 jo. UU. No. 12 Tahun
1948).
c. Dewasa untuk menjadi saksi di muka persidangan
pengadilan adalah 15 tahun (Pasal 145 ayat 1 No. 3, 145
ayat 4 HIR, 172 ayat (1) No. 4 jo. 173 R.bg.m 1912 BW).
d. Dewasa untuk dapat dituntut pidana adalah 16 tahun.
Bagi golongan pribumi, maka di dalam S. 1931 No. 54
diatur bahwa jika ketentuan undang-undang menggunakan
istilah “belum cukup umur” maka bagi golongan Indonesia
yang dimaksud adalah semua orang yang belum mencapai
umur 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya.
Walaupun di dalam praktik peradilan di Indonesia de-
wasa ini belum pernah terjadi masalah umur dalam penga-
juan gugatan di muka persidangan pengadilan, tetapi untuk
kepastian hukum perlu adanya ketentuan atau pedoman bagi
batas umur untuk orang yang hendak mengajukan gugatan.
Menurut penulis, untuk saat ini pedomannya adalah Pasal
330 BW dan S. 1931 No. 54 yang menentukan batas umur 21
tahun sebagai batas umur dewasa.
Pengampu atau kurator adalah orang yang mewakili ke-
pentingan orang yang berada di bawah kuratele atau peng-
ampuan.

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 47


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Orang yang biasanya ditempatkan di bawah kuratele
adalah:
a. sakit ingatan;
b. pemboros;
c. pemabuk.
Tetapi, perlu diketahui bahwa pada umumnya mereka
yang diletakkan di bawah pengampuan karena pemboros
atau pemabuk, ketidakmampuannya hanyalah terbatas pada
perbuatan-perbuatan di lapangan hukum harta kekayaan.
(Bandingkan pendapat Asser Scholten29)
Demikian pula seorang istri yang tunduk pada BW
tidak dapat bertindak sebagai pihak tanpa bantuan daripada
suaminya, sesuai ketentuan Pasal 110 BW, kecuali dalam hal
perceraian atau apabila ia dituntut dalam perkara pidana.
Adapun kuasa yang merupakan juga pihak yang tidak
berkepentingan langsung biasanya diarahkan kepada penga-
cara. perlu penulis tegaskan di sini, bahwa pengertian penga-
cara di satu pihak, dengan pengertian advokat di lain pihak,
tidaklah identik.
Penulis dapat membedakannya sebagai berikut:
ADVOKAT : adalah pengacara profesional, seorang pe-
ngacara yang memang pengerjaan pokok-
nya adalah kepengacaraan, dan telah resmi
diangkat oleh negara sebagai advokat. (li-
hat peraturan menteri kehakiman No. 1
Tahun 1965 tertanggal 28 Mei 1965, Jo.
Keputusan Menteri Kehakiman No. J.P.
14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965).
PENGACARA: adalah lebih luas pengertiannya, karena
disamping termasuk di dalamnya advokat,

48 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
juga tercakup setiap badan hukum yang
menjalankan fungsi pengacara, misalnya
dosen-dosen fakultas hukum yang aktif di
biro bantuan hukum fakultas hukum ma-
sing-masing.

Selain itu ada istilah lain yaitu “POKROL” yang penulis arti-
kan sebagai: setiap orang yang bukan sarjana hukum, yang
menjalankan fungsi kepengacaraan. Dalam hubungan ini, me-
nurut hemat penulis, seyogianya pokrol dilarang berpraktik
untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan hukum.
Kapan seseorang boleh bertindak sebagai kuasa? Kalau
memenuhi salah satu persyaratan atau beberapa persyaratan
di bawah ini.
Untuk menjadi kuasa penggugat:
a. Harus mempunyai surat khusus seperti yang diatur oleh
pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 1 R.bg.
b. Ditunjuk selaku kuasa dalam surat gugatan, seperti yang
diatur oleh Pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 1 R.bg.
c. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam catatan gugatan
jika gugatan diajukan secara lisan, diatur oleh pasal yang
sama di atas.
d. Ditunjuk oleh penggugat sebagai kuasa atau wakil di
persidangan, juga diatur oleh pasal yang sama di atas.
e. Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman
1/1965 tanggal 28 Mei Jo. Keputusan Menteri Keha-
kiman No. J.P. 14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965 tentang
Pokrol.
f. Telah terdatar sebagai advokat atau memenuhi syarat
setempat tentang izin untuk membela perkara.

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 49


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Untuk dapat menjadi kuasa tergugat:
Pada asasnya memiliki persyaratan yang sama dengan
persyaratan untuk menjadi kuasa bagi penggugat di atas.
Sebagaimana jika negara/pemerintah yang bertindak
selaku pihak di muka persidangan perdata selaku QUASI
STAATRECHT? Sebagai warga negara semu? Siapa yang di-
syaratkan dapat menjadi kuasanya? Ini ditentukan oleh S.
1922 No. 522 dan Pasal 123 ayat 2 HIR, Pasal 147 2 R.bg.
a. Pengacara yang diangkat oleh pemerintah.
b. Jaksa.
c. Orang-orang tertentu atau para pejabat yang diangkat
atau ditunjuk.
Juga yang sering dipertanyakan, bagaimana dengan
suatu Badan Hukum Privat? Siapa yang harus mewakilinya
di depan sidang pengadilan? Dalam hal ini diatur oleh psal
1655 BW dan pasal 8 no. 2 Rv., bahwa adan hukum bertindak
melalui pengurusnya atau wakilnya. Adapun nama pengurus
dari badan hukum itu tidak harus di muat dalam gugatan,
oleh karena itu badan hukum dapat bertindak sebagai pihak
materi ataupun pihak formal dalam perkara. Demikian pen-
dapat dari star bubwann.31
Semua orang yang dianggap tidak cakap untuk bertindak
disebut dengan istilah “PERSONAE MISERABILE”. Sehingga
dapatlah kita nyatakan bahwa didakannya lembaga Personae
Miserabile itu adalah bertujuan untuk melindungi orang-
orang tersebut sendiri.
Dewasa ini yang sering menjadi pertanyaan, bagaimana
halnya dengan orang tua? sampai batas umur berapa baru
tergolong sebagai “Personae Miserabile”? Belum ada keten-
tuannya hingga saat ini. Tetapi menurut hemat penulis seyo-

50 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
gianya jika kelak diatur oleh undang-undang tidak dibatasi
dari segi usianya, karena ada orang tua yang berusia 70-90
tahun tetapi belum pikun, sedangkan ada yang baru 50 tahun
sudah pikun.
Karena itulah pengaturannya harus di atur dari segi “pi-
kunnya”. Tentu saja ini pun bukan persoalan yang terlalu mu-
dah, karena kriteria kepikunan masih bisa diperdebatkan lagi.
Jadi, kita kembali kepada masalah siapakah yang harus
mengajukan alat bukti, jawabannya adalah semua orang yang
menjadi pihak formal di depan pengadilan, termasuk pula
pihak yang sekaligus adalah pihak materiil.

H. Siapakah yang Menilai Pembuktian


Dalam sistem peradilan kita di Indonesia, satu-satunya
yang menjadi pihak penilai pembuktian adalah hanyalah
“HAKIM”. Berbeda dengan sistem peradilan Anglo Saks di
negara-negara common law, di mana selain hakim yang me-
nilai segi hukumnya, ada lagi “JURI” yang menilai segi fakta
atau peristiwanya.
Hakim di dalam menilai pembuktian ini, di dalam proses
perdata semata-mata terikat pada alat bukti yang sah, jadi
seperti yang berulang-ulang penulis tuliskan di bagian depan,
hanya bersifat “propederence evidence”, tidak harus “Beyond
Ressonable Doubt” seperti halnya dalam perkara pidana.
Asas yang mewajibkan hakim untuk menilai pembuk-
tian, dan bukan para pihak adalah asas “UNTERBUCHUNG­
SMAXIME”, yaitu asa yang mewajibkan hakim untuk me-
ngumpulkan alat bukti dan menilainya. Alat bukti yang
dikumpulkan itu adalah alat bukti yang diajukan oleh para
pihak yang berperkara. Adapun para pihak diwajibkan meng-

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 51


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
ajukan dan meyakinkan hakim dan alat buktinya, sesuai asas
“VERHANDLUNGO MAXIME”.
Selain menilai pembuktian sebagai salah satu tugas ha-
kim, maka tugas hakim yang lain sehubungan dengan ma-
salah pembuktian ini adalah untuk membebani pembuktian
kepada para pihak yang berperkara.
Oleh karena itu, dapatlah disimpulkan bahwa tugas ha-
kim yang utama dalam kaitannya dengan masalah pembuk-
tian ini adalah:
a. Membebani pembuktian kepada para pihak.
b. Menilai pembuktian yang diajukan para pihak.
Dan justru kedua tugas hakim itulah yang paling ber-
pengaruh pada putusan akhirnya.
Tugas-tugas hakim yang lain tentunya masih banyak,
antara lain:32
a. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.
b. Hakim yang sudah diserahi perkara tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan mengadilinya dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas, tetapi wajib untuk me-
meriksa dan mengadilinya.
c. Tugas hakim itu tidak berakhir hanya dengan menjatuh-
kan putusan saja, akan tetapi juga menyelesaikan pada
pelaksanaannya (eksekusi).
d. Khususnya dalam perkara perdata, hakim harus mem-
bentuk pihak-pihak yang berperkara dan berusaha se-
maksimal mungkin untuk mengatasi segala hambatan
dan rintangan untuk terwujudnya peradilan sederhana,
cepat, dan biaya ringan.

52 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Jika kita ingin menyimpulkan tugas hakim pada garis
besarnya, dapatlah kita bagi menjadi tiga, yaitu:
1. mengonstatir;
2. mengkualiisir;
3. mengkostituir.
Agar bagi pembaca awam jelas, baiklah penulis membe-
rikan suatu contoh imajiner;
Si A menggugat si B, bahwa pada tanggal 17 Agustus
1981, ketika mobil Mercy berplat DD 952 diparkir oleh si A
di depan rumahnya yang terletak di tepi Jl. G. Lampobatang
No. 5 Ujungpandang, tiba-tiba ditabrak oleh mobil Toyota
biru dengan plat DD 511 milik si B yang dikendarai oleh si
B sendiri. Kecepatan mobil si B itu adalah sangat kencang
dan diperkirakan melebihi kecepatan maksimum yang di-
tentukan bagi kendaraan jika berada dalam kota.
Akibatnya mobil milik si A rusak berat dan menderita
kerugian seharga mobil Mercy itu. Untuk itu si A menggugat
pada si B agar si B antara lain dihukum untuk membayar ganti
kerugian sejumlah mobil Mercy itu...bdan seterusnya....
Menghadapi perkara di atas, hakim pertama-tama harus
mengonstatir, benarkah telah terjadi peristiwa tarakan de-
ngan kronologis dan akibat yang sesuai dengan yang dinya-
takan si A dalam gugatannya?
Untuk ini, hakim harus dapat membuktikan terjadinya
peristiwa tadi. Dalam hal ini, bukanlah kewajiban hakim
untuk aktif mengadakan penyelidikan agar memperoleh
bukti-bukti, melainkan pihak pengugatlah yaitu si A yang ha-
rus mampu mengajukan alat bukti yang dapat membuktikan
bahwa benar peristiwa tabrakan itu telah terjadi.
Sebaliknya bagi si B, jika menyangkali perbuatan si A,

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 53


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
juga harus mampu mengajukan alat bukti yang membuktikan
ketidakbenaran gugatan ini.
Dalam hal ini, misalnya si A berhasil membuktikan ter-
jadinya peristiwa tabrakan tadi, maka tugas hakim selan-
jutnya adalah mengadakan kualiikasi peristiwa. Jadi meng-
kualiisir.
Peristiwa tabrakan itu, kemudian dapat dikualiisir oleh
hakim, sebagai perbuatan melawan hukum (Onrechtma­
tigdaad) berdasarkan Pasal 1365 BW (KUH Perdata).
Atas dasar kualiikasi sebagai perbuatan melawan hukum
itulah, hakim kemudian melakukan konstituiring, memutus
perkara itu dengan menghukum si A selaku penggugat.
Di dalam tahap konstituiring inilah hakim melakukan
penalaran silogisme atas logika.
Melihat keseluruhan tugas hakim yang telah penulis
kemukakan di atas, dapatlah jelas diketahui bahwa hakim
tidak hanya bertugas untuk menemukan dan mengharapkan
hukum, tetapi jauh lebih berat lagi, yaitu menciptakan hukum
dalam hal hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Karena itulah
Cardozo33 menyatakan:
“he law which is the resulting product is not found but made. he
process in its highest reaches is not discovery, but creation”

Yang lebih berat lagi, bahwa hakim dalam menjalankan


tugas-tugasnya itu senantiasa mempertahankan posisi ob-
jektifnya yang merupakan hal yang paling prinsip dalam ke-
seluruhan jabatan dan fungsinya selaku hakim. Apalagi jika
dikaitkan dengan pepatah yang bersifat asas pula, bahwa “Nemo
judex idoneus in proris cause,” yaitu bahwa tidak seorang pun
dapat menjadi hakim yang baik bagi dirinya sendiri.
Mungkin asas tersebut kekecualiannya hanyalah bagi

54 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
orang-orang pilihan, seperti para rasul dan nabi, paling tidak
para sahabat Nabi seperti Umar bin Khatab misalnya.
Untuk menjamin terlaksananya posisi objektif para ha-
kim, penulis menyarankan kira-kira sudah tepatlah jika segi
inansial dan kesejahteraan ekonomis para hakim menjadi
perhatian dari pemerintah kita, agar godaan untuk me-
nyimpang dari prinsip objektivitas itu bisa dicegah, paling
tidak dikurangi seminimal mungkin, sehingga asas lain
yang juga merupakan asas penting dalam hukum pembuk-
tian perdata, “AUDI ET ALTERAM PARTEN”, juga bisa ter-
wujudkan dalam dunia sein.

Endnote:
1. Prof. Dr. R.M. Sudikno Metokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata
Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 96-97.
2. Prof. Mr. H. Drion. “Bewijzen in hetrecht”. R.M. hemis 1966 af1
5/6.
3. Prof. Mr. H. Wiersma. “Bewijzen in het Burgelijk Gding”. R.M.
hemis 1966 af1 5/6.
4. Ibid.
5. Charless F. Hempill, J.R. & Phyllis D. Hemphill. “he Dictionary
of Practical Law”. Prentice-Hall, Inc. Englewoud Clifs, N.J. 07632,
hlm. 13.
6. Milton C. Jacobs. “Civil Trial Evidence”. Second edition, New York,
hlm. 1.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Prof. Dr. R. Supomo. “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri”.
Penerbit Fasco, Jakarta, 1958, hlm. 88-85.
10. Asser-Anema-Verdan. “Van Bewijs” N.V. Uit Gevers Maatschappij
W. E. J. Tjeenk Willing, Zwolle, 1955, hlm. 35.
11. Prof. R. Subekti, S.H. “Hukum Pembuktian”. Penerbit Pradny-
paramita, Jakarta, 1978, hlm. 5-6.
12. Prof. R. Subekti, S.H. Ibid.

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 55


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
13. Edward W. Cleary. “McCormick’s Handbook of the Law of Evidence”.
St. Paul Minn, West Publishing Co. 1972, hlm. 1.
14. Prof. H. Drion, Op.Cit. hlm. 416.
15. Journal of Forensic Science, vol. 9. No. 4, hlm. 445.
16. Prof. H. Drion, op­cit.
17. Conpendium Hukum Belanda, hlm. 9.
18. Achmad Ali, S.H. “Pembuktian Dalam Proses Perdata”.Ujungpan-
dang, 1980, hlm. 6.
19. Ibid.
20. Wisa B. R. “Gutlines of Jurisprudence”. 1959, hlm. 31.
21. Ernest Baker. “Principles of Social and Political heory”. 1963, hlm.
137.
22. Wisa, B. R, Op.Cit., hlm. 34.
23. Ernest Baker, op­cit, hlm. 137.
24. Prof. Dr. R.M. Sudikno Metokusumo, S. H. Op.Cit, hlm. 86.
25. Ibid.
26. Prof. Mr. A. Pitlo. “Pembuktian dan Daluarsa”(terjemahan). Pe-
nerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1976, hlm. 16.
27. Prof. R. Sukardono, S.H, “Penggunaan Upaya­upaya Pembuktian
dalam Prosedur Perdata”. Majalah Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional, 1971 No. 12, hlm. 49.
28. Judith Bhklar. Legalism. Cambridge, Harvard University Press,
1964, hlm. 34.
29. Roesco Pound. “An Introduction to the Philosophy of Law”. New
Haven”. Yale University Press, 1959, hlm. 47.
30. Asser-Scolten-WIARDA. “Mr. C. Asser’s Hanleiding tot de beoefening
van het Nederland Bugerlijk Recht”. Earste Deel Earste Stuk: Familia
recht, N, V. Witgevers Mastschappij N. E. J. TjeenkWillink, Zwolle,
1947, hlm. 539.
31. Star Bussmann. “Hoofdstukkan van burgerlijk Rechtsvardering”.
Harlem Deerven F. Bahn, N. V. 1948. 131.
32. Undang-Undang Pokok kekuasaan Kehakiman. (UU No. 14 Tahun
1978).
33. Benyamin N. Cardozo LLD. “he Narure of Judicvial Process”. New
Haven, Yale University Press, 1977.

56 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Ketiga
TUJUAN PEMBUKTIAN

Lex Meminen Cogit Ad Impossibilia


“Undang-undang tidak memaksa seorang pun untuk melakukan
sesuatu yang tidak mungkin”

Pada hakikatnya tujuan pembuktian adalah untuk meng-


hasilkan suatu putusan, yang menyatakan salah satu pihak
menang, dan pihak yang lain kalah (jika merupakan peradilan
yang sebenarnya), atau untuk menghasilkan suatu penetapan
(jika pengadilan voluntair atau peradilan semu). Jadi, tujuan
pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada
pembuktian itu.
Segi yang kalah dalam perkara perdata tentunya secara
formal yuridis menjadi pihak yang merugi atau menjadi pihak
yang dikenakan hukuman. Sama halnya jika terdakwa dalam
perkara pidana terbukti bersalah, akan dijatuhi sanksi pidana.
Sehubungan dengan hal tersebut, apakah dihukumnya
pihak itu merupakan akibat dari perbuatan hukum yang per-
nah dilakukannya? Dengan perkataan lain, apakah perbuat­
an yang dilakukan dengan hukuman yang diterimanya meru­
pakan suatu hubungan sebab akibat?
Mengenai permasalahan ini, Hans Kelsen mengemuka-
kan salah satu teori yang terkenal sebagai “Toerekeningstheoris”

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
(teori pertanggung jawab).
Menurut teori Hans Kelsen yang kemudian diikuti oleh
Paul Scholten itu, tindakan yang dilakukan seseorang sehing-
ga ia di hukum, bukan merupakan hubungan sebab akibat.
Artinya bahwa hukuman yang diterimanya bukanlah
akibat dari perbuatannya, melainkan bahwa hukuman itu
merupakan pertanggungjawaban atau perbuatannya sen-
diri. Berbeda dengan batu yang dilemparkan ke atas, maka
akibatnya pasti akan jatuh kembai ke bawah. Berlainan de-
ngan tindakan seseorang yang membeli suatu barang, belum
tentu akibatnya ia harus membayar dan kemudian ia me-
mang tidak membayar. Apakah akibatnya ia akan di hukum?
Belum tentu. Oleh karena itu, dalam hal ini lebih tepatlah
jika dikatakan bahwa ia membeli suatu barang, maka sebagai
pertanggungjawabannya ia harus membayar harga barang
yang dibeli tadi.
Atau, kalau ia tidak membayarnya sehingga berakibat ia
dijatuhi hukuman oleh hakim, maka hukuman itu merupa-
kan pertanggungjawaban atas perbuatan yang tidak memba-
yarnya harga barang yang dibelinya. Jadi tidak berdasarkan
hukum kausalitas seperti jatuhnya batu ke bawah yang dilem-
parkan ke atas.
Oleh karena itu, pembuktian adalah putusan hakim yang
didasarkan pada pembuktian itu, maka di sini terbukti lagi
betapa besarnya peranan hukum pembuktian di dalam me-
netukan kalah menangnya pihak-pihak yang berperkara.
Sebagai tujuan akhir dari pembuktian itu tentu saja se-
jalan dengan tujuan dari hukum pada umumnya, di sini kita
harus ingat lagi, bahwa hukum pembuktian hanya subsistem
dari sistem hukum secara keseluruhan.

58 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Apakah tujuan hukum itu? Tujuan hukum adalah:
a. Gerachtgkeit (keadilan).
b. Zwegkmassigkeit (kemanfaatan).
c. Rechtsicherheit (kepastian hukum).
Hukum itu timbul pada hakikatnya disebabkan karena
terjadinya konlik di antara berbagai kepentingan manusia
(conlict of human interest).
Akibat konlik antar-kepentingan itu, sehingga meng-
hendaki adanya penyelesaian fungsi hukum.
Khususnya hukum acara perdata, tujuan pembuktian di
dalamnya untuk menyelesaikan persengketaan antara pihak
yang berperkara. Kita selalu harus ingat, bahwa proses per-
data adalah proses penyelesaian persengketaan antara dua
pihak. Berbeda dengan proses pidana, di mana tidak terdapat
persengketaan antara jaksa dan terdakwa.
Karena itulah selaras dengan tujuan hukum pada haki-
katnya, maka dengan pembuktian dalam proses perdata, ber-
tujuan menyelesaikan persengketaan antara pihak yang ber-
perkara, dengan jalan yang seadil-adilnya, dengan memberi
kepastian hukum baik bagi pihak yang berperkara maupun
terhadap masyarakat pada umumnya, dengan tidak melu-
pakan kemanfaatan putusan hakim itu terhadap masyarakat
pada umumnya. Itulah tujuan pembuktian perdata menurut
hemat penulis.
Secara ilosoinya dapat dikatakan tujuan pembuktian
adalah:
“QUOD BONUM FELIX FAURTUMQUE”, apa yang baik,
bahagia dan karunia (oleh Allah).

Tujuan Pembuktian 59
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Keempat
ASAS-ASAS
HUKUM PEMBUKTIAN

Judex Ne Prucedat Ex Oicio


“Di mana tidak ada yang menggugat, di sana tidak ada hakim”

Khususnya di dalam hukum pembuktian perdata dike-


nal asas-asas tersendiri, yang berbeda dengan apa yang dike-
nal dalam hukum pembuktian lainnya.
Hukum acara perdata sendiri memiliki karakteristik ter-
sendiri selaku bagian dari hukum privat (privaatrecht [Be-
landa], private law [Inggris], droit prive [Perancis], privatrecht
[Jerman]).
Asas-asas ini selaras dengan sifat hukum acara perdata
itu sendiri, seperti tersebut di atas.

A. Asas Audi Et Ateram Partem


Milton C. Jacobs1 mengatakan bahwa: “General rules of
evidence are the same in equity as at law.”
Inilah yang dalam istilah klasiknya dinamis asas “AUDI
ET ALTERAN PARTEN”, atau “EINES MANRES REDE IST
KEINES MANNES REDE”. Asas kesamaan kedua pihak yang
berperkara di muka pengadilan.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Hal ini berarti, bahwa hakim tidak boleh memberi pu-
tusan dengan tidak memberi kesempatan untuk mendengar
kedua belah pihak.
Acara “verstek” pun bukan kekecualian dari asas ini, ka-
rena putusan verstek dijatuhkan hanya jika tergugat sudah
dipanggil secara patut, tetapi tetap tidak mau hadir ke persi-
dangan. Ini berarti bahwa putusan verstek dijatuhkan setelah
tergugat diberi kesempatan untuk tampil, hanya tidak mau
menggunakan kesempatan yang diberikan oleh hukum itu.
Justru menurut penulis, lembaga verstek itu diadakan
adalah sebagai perwujudan dari asas Audi Et Alteram Partem.
Di mana dengan adanya lembaga verstek, dengan adanya an-
caman untuk menjatuhkan putusan verstek, putusan kerana
tergugat tidak hadir, merupakan dorongan bagi tergugat un-
tuk hadir menggunakan haknya berdasarkan asas Audi Et
Alteram Partem.
Dengan asas Audi Et Alteram Partem ini, hakim harus
adil dalam memberikan beban pembuktian pada pihak yang
berperkara, agar kesempatan untuk kalah atau menang bagi
kedua belah pihak tetap sama, tidak pincang atau berat sebe-
lah. Di sini perlunya hakim memerhatikan asas-asas beban
pembuktian (lihat bagian ketujuh buku ini).
Sebagai akibat telah diberinya kesempatan yang sama
bagi kedua pihak yang berperkara secara adil, maka suatu
perkara tidak dapat disidangkan dua kali (Bisde eadem re
ne sit actio), dalam hal ini pembuktian tidak dikenal adanya
“Beneicium” atau hak istimewanya.
Aturan hukum pembuktian berlaku sama, baik bagi
penggugat maupun tergugat.
Baik penggugat maupun tergugat dapat membuktikan

62 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
semua alat bukti, kecuali dalam hal-hal khusus, misalnya
antara penggugat dan tergugat mengadakan perjanjian pem-
buktian (lihat Bag. XII).

B. Asas Ius Curia Novit


Asas “Ius Curia Novit” ini adalah asas yang memiksi-
kan bahwa setiap hakim itu harus di anggap tahu akan hu-
kumnya perkara yang di periksanya. Hakim sama sekali tidak
boleh untuk memutus perkara, dengan alasan bahwa hakim
itu tidak mengetahui hukumnya. Demikian juga hakim harus
menciptakan hukumnya jika memang harus dihadapinya be-
lum diatur oleh undang-undang atau yurisprudensi. Pencip-
taan hukum oleh hakim ini biasanya dengan menggunakan
metode analogi atau argumentum a contrario.
Berdasarkan asas Ius Curia Novit ini, sehingga para pihak
di dalam pembuktian, hanya wajib untuk membuktikan fakta
yang dipersengketakan, sedangkan pembuktian masalah hu-
kumnya adalah menjadi kewajiban hakim.
Berdasarkan asas Ius Curia Novit ini, maka pada sistem
hukum Anglo Saks (common law) dibedakan pemeriksaan
perdata ataupun pidana atas:
a. Pertanyaan tentang fakta (Quaestio facti) adalah tugas juri.
b. Pertanyaan tentang hukumnya (Quaestio juris) adalah
tugas hakim.
Asas Ius Curia Novit ini dianut juga oleh hukum positif
kita di Indonesia, antara lain lihat ketentuan Pasal 14 Ayat 1
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman UU No. 14
Tahun 1970.

Asas-Asas Hukum Pembuktian 63


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
C. Asas Nemo Testis Indoneus In Propria Causa
Asas “Nemo Testis Indoneus In Propria Causa” ini berarti
bahwa tidak seorang pun yang boleh menjadi saksi dalam
perkaranya sendiri.
Jadi sudah jelas, bahwa baik penggugat maupun tergugat
sama sekali tidak dibolehkan sekaligus manjadi saksi di da-
lam pembuktian, untuk perkara mereka sendiri.
Saksi sebagai alat bukti, harus didatangkan orang lain
yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan.
Sehubungan dengan asas ini pun, ada ketentuan yang
melarang beberapa golongan orang yang dianggap “tidak
mampu” manjadi saksi (recusatio) adalah:
a. orang yang tidak mampu secara mutlak;
b. orang yang tidak mampu secara nisbi.
ad. 1. Orang yang tidak mampu secara mutlak
Hakim dilarang untuk mendengar mereka ini sebagai
saksi:
1. keluarga atau dan keluarga sementara menurut garis ketu-
runan yang lurus dari salah satu pihak yang berperkara.
2. suami atau isteri dari salah satu pihak yang berperkara,
meskipun sudah bercerai.
(lihat pasal-pasal: 145 HIR, 172 RBG, 1910 BW).

ad. 2. Orang yang tidak mampu secara nisb


Mereka ini dapat didengar sebagai keterangannya, tetapi
tidak sebagai keterangan kesaksian:
1. Anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun.
2. Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya sehat.

64 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
D. Asas Ultra Ne Petita
Asas “Ultra ne petita” ini adalah asas yang membatasi
hakim sehingga hakim hanya boleh mengabulkan sesuai
yang dituntut. Hakim dilarang mengabulkan lebih daripada
yang dituntut oleh penggugat.
Berbeda dalam hukum pembuktian pidana di mana
hakim dapat menyelidiki perkara itu lebih dari fakta yang
terungkap oleh jaksa, bahkan kalau perlu saksi yang kemu-
dian ternyata terlibat dalam tindak pidana itu, dapat ganti
dijadikan terdakwa.
Asas Ne Ultra Petita dalam hukum pembuktian ini mem-
batasi hakim perdata untuk “preponderance of evidence”, hanya
terikat pada alat bukti yang sah. Berbeda dengan hukum acara
pidana, di mana hakim harus “beyond reasonable doubt”, harus
yakin benar akan kebenaran alat bukti.

E. Asas De Gustibus Non Est Disputandum


Asas “De Gustibus Non Est Diputandum” ini sebenarnya
suatu asas yag aneh, karena diterpakan dalam hukum. Asas
ini berarti bahwa mengenai selera tidak dapat diperseng-
ketakan.
Asas ini dalam hukum pembuktian merupakan “hak
mutlak” pihak tergugat. Di mana sebagai contoh:
Jika si A menggugat si B bahwa si B telah berutang kepada
si A sejumlah Rp 10.000,- tetapi sebenarnya si B sama sekali
tidak pernah berutang kepada si A. Namun ketika dalam
pemeriksaan di muka persidangan pengadilan perdata, si B
mengadakan pengakuan murni (aveu pu et simple) bahwa
ia benar telah berutang sejumlah Rp 10.000,- kepada si A.
Hakim berdasarkan asas “De Gustibus Non Est Diputandum”,

Asas-Asas Hukum Pembuktian 65


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
tidak boleh menolak pengakuan si B, meskipun misalnya,
hakim itu yakin sekali bahwa si B sebenarnya tidak pernah
berutang kepada si A, selaku penggugat. Hukum pembuktian
perdata, memberikan kepada tergugat kebenaran dalam
hal pengakuan, sepanjang tidak bertentangan dengan asas
lainnya. (Lihat asas ke VI di bawah ini).
Dalam hal si B di atas, oleh hukum dianggap si B sama
saja menyumbangkan secara sukarela uangnya sejumlah
Rp 10.000,- kepada si A. Dan siapa pun tidak bisa melarang
seseorang untuk menyumbangkan hartanya sendiri.

D. Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest


Quam Ipse Habet
Asas ini menentukan bahwa tidak ada orang yang dapat
mengalihkan banyak hak daripada yang ia miliki.
Dihubungkan dengan asas sebelumnya, yaitu “De Gus­
tibus Non Est Diputandum”, maka dapatlah penulis memberi
contoh sebagai berikut:
Jika menggugat rumah yang terletak di Jl. G. Lampobatang No
5 adalah rumah si A, bukan rumah milik si B. Dalam perkara
ini, yang digugat adalah si B, yang kebetulan menguasai rumah
itu. Di dalam persidangan itu si B selaku tergugat mengadakan
pengakuan murni, bahwa “benar rumah itu adalahmilik si
A”. Padahal sebenarnya si B hanyalah penyewa atau hanya
menjaga rumah Jl. G. Lampobatang No. 5 itu. Pemilik rumah
itu sendiri adalah Tuan A.
Dalam hal ini pengakuan murni si B tetap bukan meru-
pakan alat bukti yang sah, karena bertentangan dengan asas
“Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet” ini,
karena si B tidak berhak mengakukan sesuatu sebagai milik

66 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
orang lain, padahal ia sendiri bukan pemilik rumah itu.
Lain halnya jika rumah di Jl. G. Lampobatang No. 5 itu
adalah benar milik si B, maka pengakuannya itu oleh hukum
pembuktian diartikan sebagai sumbangan si B kepada si A.

Endnote:
1. Milton C. Jacobs. Civil Trial Evidence. Second edition, New York,
hlm. 2.

Asas-Asas Hukum Pembuktian 67


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Kelima
ALAT-ALAT BUKTI
DALAM PROSES PERDATA

Errare Humanum Est, Turpe In Errope Perseverare


“Membuat kekeliruan ialah sifat manusia, akan tetapi tidaklah baik
untuk terus mempertahankan kekeliruan ....”

G. W. Paton1 menyatakan bahwa:


“In a civil case a reasonable preponderance of propability is suicient
for a ferdict, but in criminal case the crown must prove the guilt of
the prisoner beyond reasonable doubt.....”

Dan karena keterikatan hakim perdata akan alat-alat


bukti itulah, sehingga peranan alat bukti dalam proses per-
data sangat menentukan, berbeda dengan hakim pidana yang
“beyond reasonable doubt”.
Masalah alat bukti, seperti halnya dengan masalah pem-
buktian pada umumnya senantiasa merupakan permasalah-
an yang rumit untuk diselesaikan.
Kesukaran itu terutama dapat dilihat pada zaman dahulu
kala pada peradilan yang masih primitif.
Ada tiga kesulitan yang dihadapi oleh pengadilan primi-
tif, sehingga ia hampir-hampir tidak dapat dan tidak mampu
menyelesaikan masalah pembuktian itu, yaitu:
1. Sebagai akibat kurang mampunya mereka mengadakan
analisis terhadap alat-alat bukti.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
2. Sebagai akibat meratanya kebiasaan bersumpah palsu
(perjury) pada masa itu.
3. Sebagai akibat ketakutan dari setiap pengadilan akan ke-
mungkinan terjadinya pelanggaran yang mendobrak ke-
pentingan warga masyarakat melalui putusannya.
Hal-hal inilah di Eropa, di masa lalu yang mengakibatkan
titik awal bagi pengadilan mulai melepaskan tanggung jawab
putusan pengadilan dari faktor tanggung jawab manusia,
dan dialihkan kepada tanggung jawab kepada Tuhan melalui
ancaman doa dan siksaan yang dapat menimpa orang yang
melakukan sumpah palsu.
Penggunaan sumpah sebagai alat bukti dalam pemerik-
saan di muka pengadilan ada manfaatnya, tetapi juga banyak
kelemahannya. Seperti yang juga dikemukakan oleh G. W.
Pato2 bahwa:
“he ordeal by oath may be useful, if it is used where there is no
evidence, or where the fact are exclusifaly within the knowledge of one
party, but there is always the danger that a weak court my resort to
it, even where there is evidence, in order to avoid either the diiculty
of deciding or the danger which my result from a decision againts a
popular igure.....” Demikianlah juga pendapat dari Diamond3.

Jadi kegunaan yang utama dari sumpah sebagai alat buk-


ti itu, jika di dalam satu kasus memang tidak terdapat alat
bukti lain sama sekali.
Di zaman dahulu, hingga pada tahun 1833 di Inggris
berlaku apa yang dinamai Compurgation (wager of law)
dalam pelaksanaan utang piutang, di mana para pihak di atas
mana diletakkan beban pembuktian (the burden of proof) di-
perintahkan untuk bersumpah bersama dengan dua belas
orang saksi yang dipercaya.
Apa yang dimaksudkan sebagai Compurgation dijelas-

70 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
kan oleh Peter J. Dorman4 sebagai berikut:
“..... In England, a type of trial in which a defence consisted of the
defendand’s swearing that the claim against him was unfouded and
producing the requisite number (usually eleven) of compurgators, or
oath helpers, to swear that they believed the defendant. he efect of the
defense was a vardict for the devendant. Wager of law or compurgation
was allowed only in cases of debt on simple contract and only on be half of
people of good character. Also called compurgation. Abolished in 1833”.

Mungkin lebih jelas lagi jika kita melihat rumusan


compurgator yang dituliskan Charles F. Hemphill J.R. &
Phillis D. Hamphill5 bahwa:
“..... An individual who takes the witness stand and testiies as a cha­
racter witness in favour of someone accused of crime, or for a de­
fendant in a civil action.”

Mengapa penulis secara panjang lebar membicarakan


tentang compurgation atau wager of law ini, karena menurut
para ahli justru compurgation inilah merupakan permulaan
dari “lisensi sumpah palsu”, hal mana kemudian memang se-
kali terjadi dan digunakan orang semata-mata agar ia dapat
mengalahkan gugatan lawannya.
Di zaman dahulu di Eropa, khususnya di Inggris, masih
ada lagi cara-cara untuk pembuktian yang berkaitan dengan
kepercayaan, antara lain:
– Besi yang sangat panas.
– Air.
– Meneguk roti suci.
Yang bagaimana pelaksanaannya secara mendetail, hing-
ga kini masih merupakan teka-teki.
Efektivitas dari alat-alat bukti yang berkaitan dengan ke-
percayaan itu adalah karena dapat mempengaruhi psikologis
seseorang yang memang merasa bersalah. Sebagai contoh:

Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 71


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
karena seseorang menyadari bahwa dirinya bersalah, maka
ketika ia disuruh menelan roti suci untuk membuktikan ke-
jujurannya dalam menyatakan sesuatu, mulutnya sudah ter-
lebih dahulu kering karena ketakutan, sehingga berakibat
sulitnya ia menelan roti suci itu. Ini sebagai pengaruh psiko-
logis dari rasa bersalahnya.
Kemudian karena perkembangan dan kemajuan zaman,
maka dunia peradilan pun khususnya mengenai alat-alat
buktinya mengalami kemajuan.
Pembuktian kemudian tidak lagi di serahkan pada Tuhan
Yang Maha Kuasa semata-mata seperti sumpah, tetapi juga
kembali diserahkan efektivitas manusia dan benda-benda
lain sebagai alat untuk membuktikan, atau yang lazimnya di-
namai “alat bukti” (evidence).
Mulailah peranan alat bukti tertulis atau surat (writings)
menjadi lebih menonjol, khususnya dalam lalu lintas keper-
dataan. Karena di dalam lalu lintas keperdataan, dua pihak yang
melakukan perhubungan hukum senantiasa dengan sengaja
telah menyiapkan alat bukti terlebih dahulu, seandainya ke-
lak mereka terlibat dalam perselisihan. Dan bukankah haki-
kat dari hukum itu sendiri untuk menyelesaikan konlik ke-
pentingan yang terjadi di dalam masyarakat.
Logika manusia pun mulai digunakan, jika ternyata
alat bukti lain sukar atau tidak ada sam sekali. Maka dikenal
“persangkaan-persangkaan” (prasumption) sebagai alat bukti
yang tidak bersifat langsung.
Di samping itu, seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa
manusia pun muncul sebagai salah satu atau beberapa alat
bukti. Ini terlihat dalam alat bukti kesaksian, di mana pihak
ketiga yang terjun kepersengketaan untuk membuktikan
terjadi atau tidak terjadinya suatu hubungan hukum atau

72 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
peristiwa yang dipersengketakan. Juga pihak yang terlihat
langsung bisa menjadi alat bukti, dalam hal pihak tergugat
mengadakan pengakuan.

A. Pengertian Alat Bukti


Alat bukti jelas adalah alat untuk membuktikan kebe-
naran hubungan hukum, yang dinyatakan baik oleh penggu-
gat maupun oleh tergugat dalam perkara perdata.
Lebih jelas lagi apa yang dikatakan oleh Milton C. Jacobs6
bahwa:
“Evidence is the medium of proof, proof is the efect of evidence”.

Adapun Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertukusumo, S.H.7 me-


nyatakan bahwa: apakah sesuatu itu merupakan alat bukti,
tidak tergantung apakah sesuatu itu terjadi/diajukan dalam
persidangan, tetapi ditentukan oleh sifatnya dan tidak ditetap-
kan oleh kenyataan apakah sesuatu itu diajukan atau tidak di
persidangan.
Jadi, alat bukti itu adalah sesuatu yang sebelum diajukan
ke persidangan, memang sudah berfungsi sebagai alat bukti.
Sebagai contoh: akta notaris, walaupun belum diajukan ke
muka persidangan, sudah merupakan bukti.
Sering di kalangan yuris sendiri terjadi kesalahpaham-
an, dikiranya yang dimaksudkan sebagai alat bukti itu hanya-
lah alat bukti tertulis, pada hal tidak demikian halnya, selain
alat bukti tertulis, pengertian alat bukti masih banyak. Untuk
itu berikut ini penulis memberikan klasiikasi alat bukti.

B. Klasiikasi Alat Bukti


Di dalam doktrin atau ilmu hukum, dikenal banyak kla-
siikasi mengenai alat bukti atau evidence ini. Antara lain
beberapa di antaranya penulis kemukakan di bawah:

Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 73


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
1. Klasiikasi G. W. Paton8
Alat bukti dapat terbagi atas:
i. Oral
ii. Documentary
iii. Material
Yang dimaksudkan oleh Paton sebagai alat bukti yang
bersifat oral adalah alat bukti yang diucapkan secara lisan.
Jadi, termasuk kesaksian dan sumpah.
Adapun alat bukti yang tergolong “documentary” adalah
yang dunia hukum kita Indonesia dinamai “alat bukti tertulis”.
Dan alat bukti “material” adalah alat bukti dalam wu-
jud benda konkret, selain pada alat bukti tertulis. Mengenai
alat bukti “material” ini perlu penulis kemukakan, bahwa
kadang-kadang suatu surat pun bisa tergolong di dalamnya,
dalam hal surat itu bukan dalam hal fungsi alat bukti tertulis,
melainkan dalam fungsi benda biasa.
Contoh yang paling jelas, jika kita ambil dalam kasus
pidana misalnya selembar surat yang berlumuran darah kor-
ban, dalam hal ini fungsinya sebagai alat bukti “material”, bu-
kan selaku “documentary”

2. Klasiikasi Sir Rolan Burrows9


Klasiikasi yang dikemukakan oleh Sir Roland dalam
bukunya “Phipson on the Law of Evidence” cukup banyak,
antara lain:
a. Pembagian atas alat bukti yang orisinal (original
evidence) dan alat bukti yang tidak orisinal (unoriginal
evidence)
Yang dimaksudkan sebagai original evidence adalah alat
bukti kesaksian, yaitu saksi yang langsung mengucapkan ke-

74 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
saksiannya secara lisan di muka persidangan pengadilan.
Yang dimaksudkan “unoriginal evidence” adalah kete-
rangan saksi yang dilakukan secara tertulis.
Buat kita di Indonesia, keterangan saksi yang dilakukan
secara tertulis, tidak termasuk dalam alat bukti “kesaksian”,
tetapi termasuk alat bukti tertulis (istilah lainnya: writing
atau evidence in writing).
b. Pembagian alat bukti primer (primary evidence) dan
alat bukti sekunder (secondary evidence)
Alat bukti primer adalah alat bukti yang diutamakan,
sedangkan alat bukti sekunder adalah alat bukti yang baru
dibutuhkan jika alat bukti primer tidak ada.
Dalam hukum acara perdata Indonesia, alat bukti pri-
mernya adalah alat bukti tertulis. Khususnya alat bukti akta
otentik.
c. Pembagian atas “direct evidence” dan “indirect evidence”
Di Indonesia, yang termasuk alat bukti yang “direct”
adalah semua alat bukti yang secara langsung dapat dibuk-
tikan adanya hubungan hukum atau peristiwa yang ingin
dibuktikan, jadi tidak berdasarkan kesimpulan belaka. Ka-
rena itu termasuk dalam “direct evidence” adalah: alat bukti
tertulis, kesaksian, sumpah, dan pengakuan.
Adapun “indirect evidence” adalah persangkaan-per-
sangkaan (presumptions).
Indirect evidence ini sering disebut juga “Circumstantial
Evidence” atau juga “Presumptive Evidence”.
Selain dari pembagian di atas, maka dalam ilmu hu-
kum Anglo Saks dikenal lagi cara pengklasiikasian lain yang
menghasilkan istilah-istilah alat bukti lain, yang penting di-

Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 75


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
ketahui pembaca, terutama calon ilmuwan, agar di dalam mem-
baca literatur hukum Anglo Saks tidak bingung karenanya.
Yang penulis maksudkan antara lain oleh Edward W.
Cleary10 menyebutkan suatu jenis alat bukti yang disebut
“DEMONSTRATIVE EVIDENCE”. Jika kita bandingkan de-
ngan klasiikasi Paton. Maka “demonstrative evidence” ini
bisa disamakan dengan alat bukti “metrial”
Hamphill11 memberikan suatu deinisi tentang apa yang
dimaksud sebagai “demonstrative evidence”, yaitu:
“...Any kind of evidence, or legal proof, other than that given by
oral testimony: evidence that is directed toward the senses such as
sight, touch or smell. A knife found at the scene of a crime, a human
hair cought in the ingernail of the slain ictim, a ingerprint, are all
examples of demonstrative evidence.”

Jadi, “demonstrative evidence” ini merupakan beberapa


macam alat bukti lain selain daripada yang diberikan dengan
kesaksian lisan, pembuktian mana didasarkan pada indra
yang sehat, seperti: penglihatan, sentuhan, atau penciuman.
Sebilah pisau yang ditemukan di tempat terjadinya pembu-
nuhan, sehelai rambut manusia yang melekat pada kuku
tangan dari korban pembunuhan, atau suatu sidik jari, se-
muanya merupakan contoh dari demonstrative evidence. Wa-
laupun contoh-contoh itu dari perkara pidana, tetapi yang
jelas pembaca dapat memperoleh gambaran dari contoh itu.
Selain itu, ada lagi yang disebut sebagai “Real Evidence”,
yaitu:12
1. evidence from things as distinct from persons;
2. material object produced for the inspection of the court;
3. perception by the court (or its result) as distinct from the
facts perceived.

76 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masih ada lagi istilah-istilah lain, seperti second hand
evidence, extrinsic evidence, conliting evidence, admissible
evidence, cumulative evidence, dan lain-lainnya.
d. Pembagian menurut Prof. R. Subekti, S.H.13
1. Alat bukti langsung: misalnya alat bukti tertulis dan ke-
saksian.
2. Alat bukti yang tidak langsung: yaitu.
e. Pembagian alat­alat bukti menurut undang­undang
Undang-undang (BW, HIR, dan R.bg.) pada dasarnya
membagi alat bukti dalam hukum acara perdata atas:
1. Alat bukti tertulis atau surat.
2. Kesaksian.
3. Persangkaan-persangkaan.
4. pengakuan.
5. Sumpah.
6. Keterangan ahli (expertise).
7. Pemeriksaan setempat (descente).

C. Apakah Ada Alat Bukti Lain di Luar Ketujuh Alat


Bukti yang Secara Tegas Itu?
Secara tegas memang undang-undang hanya mengatur
ketujuh alat bukti di atas, tetapi apakah ini berarti tidak ada
alat bukti lain yang dapat digunakan dalam pembuktian per-
data?
Menurut pendapat penulis, dengan diaturnya lima alat
bukti secara tersendiri dalam satu pasal khusus, yaitu Pasal
164 HIR (sama dengan pasal 284 R.bg., Pasal 1866 BW)
mengenai alat bukti tertulis, kesaksian, persangkaan-persang-
kaan, pengakuan dan sumpah, baru disusul dengan pasal-

Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 77


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
pasal tersendiri mengenai keterangan ahli dan tersendiri lagi
mengenai pemeriksaan setempat, ini membuktikan bahwa
pembuat undang-undang tidak bermaksud secara limitatif
hanya mengakui adanya sejumlah alat bukti tertentu.
Bukti lain adalah dengan dicantumkannya tentang alat
bukti “tongkat berkelar” pada Pasal 1524 BW, yang bukan
merupakan salah satu alat bukti yang tujuh di atas.
Oleh kerana itu, menurut hemat penulis sudah seyogia-
nya dipikirkan mengenai alat-alat bukti baru kini muncul
dalam lalu lintas keperdataan dunia modern, sejauh mana
daya pembuktiannya dalam hukum pembuktian perdata
yang modern dewasa ini.
Alat-alat bukti yang baru muncul itu, misalnya:
a. pembicaraan telepon;
b. testing darah;
c. hasil komputer;
d. fotocopy;
e. rekaman kaset;
f. hasil fotograi;
g. dan sebagainya.

Tentu saja menjadi tugas para ilmuwan hukum untuk mem-


bahas

D. Empat Cara Mengajukan Alat Bukti


Di dalam hal kita mengajukan alat bukti itu ada empat
cara untuk mengajukannya:
a. Mengajukan secara langsung mengenai apa yang harus
dibuktikan. Jadi, pertama ini memperlihatkan peris-
tiwanya (tentu saja potongan peristiwa, sebab peristi-

78 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
wanya secara keseluruhan adalah mustahil untuk di-
perlihatkan). Dalam hal cara pertama ini, contohnya:
Si A melempari kaca jendela si B dengan batu merah.
Dalam hal ini si B menuntut ganti rugi atas perbuatan si
A yang menjadi kualiisir sebagai “onrechtmatigedaad”
(Pasal 1365 BW).
Dengan cara pertama, yang dibawa ke persidangan oleh
si B untuk membuktikan perbuatan si A adalah berupa
batu merah yang dijadikan alat mengakibatkan kaca jen-
dela si B pecah.
Jika dihubungkan dengan pengklasiikasian alat bukti,
maka alat bukti yang dapat digunakan dengan cara per-
tama ini adalah “MATERIAL EVIDENCE” atau “DE-
MONSTRATIVE EVIDENCE”.
b. Menjadikan surat yang menggambarkan peristiwa yang
lampau. Dalam hal ini contohnya: Si A untuk membuk-
tikan benar telah terjadi perjanjian jual beli si C, dengan
mengajukan akta jual beli.
Jadi, alat bukti yang digunakan dengan cara kedua ini,
adalah alat bukti tertulis atau surat (writing).
c. Cara ketiga untuk membuktikan adalah dengan men-
datangkan orang-orang tertentu ke muka persidangan
pengadilan untuk memberikan keterangan tentang pe-
ristiwa.
Sebagai contoh:
Si A untuk membuktikan benar si B-lah yang menabrak
mobilnya, mengajukan tiga orang yang melihat si B me-
nabrak mobil si A dengan mobilnya si B.
Jadi, alat bukti yang digunakan dengan cara ketiga ini ada-
lah alat bukti kesaksian atau expertise (keterangan ahli).

Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 79


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
d. Cara keempat untuk membuktikan sesuatu adalah de-
ngan jalan membuktikan hal lain. Biasanya cara ini di-
gunakan dalam hal membuktikan sesuatu yang sulit
untuk dibuktikan.
Sebagai contoh:
Jika si A ingin membuktikan bahwa pada tanggal 9
November 1952 ia tidak berada di Yogyakarta, adalah
dengan cara membuktikan bahwa pada tanggal dan
waktu yang bersangkutan, ia berada di Makasar. Jadi
pembuktian cara keempat ini menggunakan alat bukti
persangkaan-persangkaan (persumptions).
Dari keempat cara untuk membuktikan itu, dapat kita
simpulkan ke dalam dua kelompok:
1. Cara pembuktian langsung: yaitu cara pertama, kedua,
dan ketiga.
2. Cara yang membuktikan tidak langsung: yaitu cara ke-
empat.

E. Kekuatan Pembuktian (Vis Probandi)


dari Alat-alat Bukti
Setelah para pihak mengajukan alat buktinya, maka
adalah tugas hakim untuk mengadakan penilaian terhadap
alat bukti, sejauh mana kekuatan alat bukti itu berdasarkan
ketentuan yang berlaku.
Ada lima jenis kekuatan pembuktian atau daya bukti
dari alat bukti, yaitu:
1. Kekuatan pembuktian yang sempurna, yang lengkap
(volledig bewijsracht).
2. Kekuatan pembuktian lemah, yang tidak lengkap (on­
volledig bewijsracht).

80 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
3. Kekuatan pembuktian sebagian (gedeeltelijk bewijsracht).
4. Kekuatan pembuktian yang menentukan (beslissende
bewijsracht).
5. Kekuatan pembuktian perlawanan (tegenbewijs atau
kracht van tegen bewijs).
Baiklah kita akan meninjau satu persatu kekuatan pembuk-
tian di atas.
Ad. 1. Kekuatan pembuktian sempurna
Kekuatan pembuktian sempurna ini adalah kekuatan
yang memberi kepastian yang cukup kepada hakim, kecuali
kalau ada pembuktian perlawanan (tegenbewijs) sehingga
hakim akan menberi akibat hukumnya.
Contoh: Akta.
Jadi, dalam hal ini bilamana akta tersebut digunakan
sebagai alat bukti dan akta ini berisi perjanjian jual beli, pihak
penggugat telah berhasil membuktikan dengan akta tersebut
bahwa benar ada perjanjian jual beli antara penggugat dan
tergugat. Dan bila tergugat menyangkali kebenaran itu, ter-
gugatlah yang dibebani pembuktian untuk membuktikan ti-
dak adanya perjanjian.
Yang penting digarisbawahi dalam hal kekuatan pem-
buktian sempurna ini adalah alat bukti sudah tidak perlu di-
lengkapi dengan alat bukti lain, tetapi masih memungkinkan
pembuktian lawan.
Suatu contoh bahwa kekuatan pembuktian sempurna
masih dapat dilawan dengan pembuktian lawan adalah ka-
sus yang pernah terjadi di dunia peradilan.
Seorang juru sita telah mendapat tugas melakukan pe-
manggilan terhadap penggugat yang bernama Tuan B. Kemu-
dian di dalam pemeriksaan ternyata Tuan B tidak datang,

Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 81


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
padahal di dalam pemeriksaan itu relas panggilan dihaturkan
sebagai bukti, bahwa Tuan B telah dipanggil secara patut
untuk menghadap pada sidang tersebut, di mana dalam relas
panggilan itu juga telah disebutkan bahwa juru sita telah
bertemu dengan Tuan B sendiri. Pada hari persidangan itu
tergugat Tuan C telah hadir, sehingga hakim tidak ragu lagi
dan menggugurkan gugatan karena ketidakhadiran penggu-
gat (Tuan B). Tetapi setelah putusan dijatuhkan, beberapa hari
kemudian datanglah Tuan B kepengadilan itu menanyakan
kapan perkaranya disidangkan. Ternyata juru sitanya sama
sekali tidak pernah bertemu dengan si penggugat ini, karena
hari itu si penggugat baru saja tiba dari luar negeri.
Si B selaku penggugat dapat membuktikan keberadaan-
nya di luar negeri selama waktu-waktu pemanggilan hingga
pengguguran perkaranya. Pemeriksaan kemudian diadakan
terhadap juru sita itu dan ternyata juru sita itu sesungguhnya
tidak pernah memanggil Tuan B selaku penggugat. Akibat-
nya ketua pengadilan negeri tersebut melakukan tindakan ad-
ministratif terhadap juru sita tersebut, dan untuk penggugat
dianjurkan untuk mengajukan gugatan baru.
Dari contoh di atas, ternyata bahwa kekuatan bukti sem-
purna masih dapat digugurkan dengan kekuatan pembukti-
an lawan yang kuat.
Demikian juga dalam hal akta notaris, jika pada minuut
yang disimpan oleh notaris terdapat tanda-tangan palsu dan
perihal kepalsuan tanda tangan tersebut dapat dibuktikan, maka
gugurlah kekuatan pembuktian dari akta notaris tersebut.
Kekuatan pembuktian sempurna itu, juga memiliki daya
berlaku yang terbatas, sebagai contoh: kekuatan pembuktian
sempurna dari akta autentik yang bersifat akta partij itu
hanya berlaku bagi kedua pihak atau ahli warisnya serta

82 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
orang-orang yang memperoleh hak dari mereka.
Terhadap pihak ketiga, kekuatan pembuktian sempurna
dari suatu akta autentik adalah tidak berlaku. Dari suatu akta
autentik, kekuatan yang berlaku bagi pihak ketiga hanyalah
kekuatan pembuktian bebas, artinya kekuatannya diserahkan
kepada pertimbangan hakim sepenuhnya.
Berbeda dengan kekuatan pembuktian yang menentu-
kan, tidak memungkinkan pembuktian perlawanan.

ad. 2. Kekuatan pembuktian lemah


Kekuatan pembuktian lemah atau tidak lengkap ini ada-
lah tidak memberikan kepastian yang cukup, sehingga hakim
tidak memberikan akibat hukum hanya atas dasar alat bukti
yang lemah. Gugatan yang hanya didasarkan pada alat bukti
demikian itu harus ditolak.

ad. 3. Kekuatan pembuktian sebagian


Kekuatan pembuktian sebagian ini memang sepintas lalu
mirip dengan kekuatan pembuktian lemah, tetapi berbeda.
Untuk menjelaskan sekaligus penulis memberikan con-
toh untuk keduanya:
Jika si A menggugat si B, bahwa si B telah berutang ke-
pada si A sejumlah Rp 1000.000,- pada tanggal 1 januari
1978, dan dengan perjanjian utang itu akan dibayar oleh si B
paling lambat tanggal 27 Maret 1981.
Dalam kasus ini, ternyata si A hanya dapat mangajukan
alat bukti berupa satu orang saksi saja, padahal berdasarkan
asas kesaksian UNUS TESTIS NULLUS TESTIS, kesaksian
demikian tidak dapat diterima sebagai kesaksian, karena
SATU SAKSI BUKAN SAKSI.
Apakah kekuatan pembuktian itu lemah atau merupakan

Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 83


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
kekuatan pembuktian sebagian, tergantung dari tanggapan
tergugat.
a. Jika tergugat menyangkali sama sekali gugatan si A, jadi
si B menyatakan bahwa si B sama sekali tidak pernah
berutang kepada si A dalam jumlah berapa pun, maka
kekuatan pembuktian si A itu bersifat lemah dan karena-
nya harus ditolak.
b. Adapun si B selaku tergugat menyangkali sebagian, te-
tapi mengakui bagian, jadi misalnya si B mengakui bah-
wa benar ia telah berutang pada si A sejumlah yang di-
gugat oleh si A, yaitu Rp 1000.000,- tetapi tidak benar si
B menjanjikan untuk dibayar paling lambat tanggal tang-
gal 27 Maret 1981, melainkan tanggal 9 November 1982,
inilah yang merupakan kekuatan pembuktian sebagian.

ad. 4. Kekuatan pembuktian menentukan


Kekuatan pembuktian yang bersifat menentukan adalah
kekuatan pembuktian yang tidak memungkinkan pembuk-
tian perlawanan sama sekali. Jadi, inilah bedanya dengan ke-
kuatan pembuktian sempurna, yang masih memungkinkan
pembuktian lawan.
Contoh dari alat bukti yang mempunyai kekuatan pem-
buktian yang menentukan adalah alat bukti SUMPAH.

ad. 5. Kekuatan pembuktian perlawanan


Kekuatan pembuktian perlawanan adalah kekuatan dari
alat bukti yang melumpuhkan pembuktian dari pihak lawan.
Sebagai contoh:
Si A menggugat si B bahwa pada tanggal 15 Agustus
1960, si B telah menabrak mobil si A yang diparkirkan di
depan toko buku Hidayat di Jl. G. Lampobatang 5 Ujungpan-

84 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
dang, sehingga mobil si A rusak berat, si A mengajukan tiga
orang saksi untuk membuktikan gugatannya itu.
Tetapi si B mengajukan pembuktian perlawanan, dengan
mengemukakan sejumlah alat bukti bahwa pada tanggal 14
Agustus 1960 hingga tanggal 17 Agustus 1960, ia tidak berada
di Ujungpandang tetapi berada di luar negeri.

F. Bagaimana Kekuatan dari Alat Bukti di Luar HIR


dan R.bg. (Termasuk Buku IV BW)
Pada umunya mengakui, bahwa alat bukti selain: alat
bukti tertulis, kesaksian, persangkaan-persangkaan, peng-
akuan, dan sumpah, maka di luar dari itu masih ada alat
bukti lain, misalnya expertise (keterangan ahli) dan descente
(pemeriksaan setempat) yang juga diatur dalam HIR.
Tetapi, selain expertise dan descente biasa masih diper-
debatkan. Misalnya antara lain:
a. fotokopi;
b. kaset;
c. gramaphone (phonograph)’
d. potret;
e. ilm;
f. radar;
g. komputer;
h. televisi;
i. tes darah;
j. dan sebagainya.

Mengenai alat bukti di atas, pada umumnya kekuatan


pembuktiannya adalah kekuatan pembuktian bebas, artinya
diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim.

Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 85


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pada dasarnya alat-alat di atas dapat merupakan alat
bukti jika merupakan suatu objek jual beli, misalnya per-
janjian jual beli televisi atau kaset. Dalam hal ini televisi atau
kaset ini dapat dijadikan alat bukti jika terjadi persengketaan
mengenai perjanjian itu.
Adapun jika alat-alat itu bukan sebagai objek, melainkan
untuk membuktikan suatu peristiwa, misalnya:
Si X seorang suami mengugat bercerai untuk si Z istri-
nya, yang digugatnya telah melakukan perzinaan dengan le-
laki si B, sebagai alat bukti untuk membuktikan bahwa istri-
nya telah berzina dengan si B, maka si X mengajukan kaset
yang berisikan suara rekaman, suara-suara erotik saat si Z
bercumbu dengan si B di dalam kamar. Atau si X mengaju-
kan ilm yang menunjukkan adegan persetubuhan antara
si Z dan si B yang di ilmnya secara diam-diam tanpa sepe-
ngetahuan istrinya si B.
Dalam hal ini, alat bukti kaset atau ilm itu kekuatan
pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim.
Kalau hakim memastikan bahwa adegan ilm atau suara kaset
itu asli atau gambar dari si Z dan B, maka hakim akan menerima
alat bukti itu. Tetapi jika hakim meragukan, karena kaset, ilm,
dapat dimanipuasi dengan trik-trik tertentu, maka alat bukti itu
ditolak. Demikian juga fotokopi, biasanya baru diterima selaku
alat bukti jika sudah dilegalisir oleh pengadilan bahwa benar-
benar fotokopi itu sesuai dengan aslinya. Jadi aslinya harus
dibawa dahulu untuk disesuaikan dengan kopinya, barulah
kopi itu bisa dijadikan sebagai alat bukti. Hal ini pun masuk
akal, karena memang fotokopi paling gampang dimanipulasi,
sehingga sama sekali berbeda dengan aslinya.
Jadi kesimpulannya, bahwa pada dasarnya alat-alat buk-
ti hasil teknologi modern itu memberi kekuatan pembuk-

86 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
tian bebas kepada hakim yang memeriksa perkara yang ber-
sangkutan.

G. Teori-teori Pembuktian
Sejauh mana hakim itu seyogianya diikat oleh hukum
positif di dalam perkara perdata, ada tiga teori yang paling
berbeda:
1. Teori negatif.
2. Teori positif
3. Teori bebas.

ad. 1. Teori negatif


Teori negatif ini menginginkan adanya ketentuan-ke-
tentuan yang mengikat bagi hakim di dalam pembuktian.
Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat “larangan-larangan
bagi hakim yang merupakan pembatasan bagi kebebasan ha-
kim di dalam pembuktian.
ad. 2. Teori positif
Teori Posotif ini menginginkan adanya ketentuan-ke-
tentuan yang mengikat hakim, selain berupa “larangan-la-
rangan” juga berupa perintah-perintah.
ad. 3. Teori bebas
Teori ini menginginkan hakim sama sekali tidak diikat
dengan hukum positif tertulis dalam hal pembuktian, tetapi
penilaian pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada per-
timbangan hakim.
Kelihatannya Keneth Culp Davis14 salah satu pengikut
yang menginginkan kebebasan hakim dalam hal pembuktian,
terlihat dalam pandangan di bawah ini mengenai beban
pembuktian:

Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 87


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
“he concept of burden of proof or burden of going forward is almost
always irrelevant to the judge’s assumption of extra record fact in
his thinking about pleadings, evidence, law, policy, or discreation.
At every step the judge uses relevant portions of his education and
experience, and he does not conine his thinking in anymold such as
burden of proof ….”

Kenneth Culp Davis mengikuti pendapat hayer dan


Nigmore.
Kenneth Culp Davis menampakkan kecenderungannyaa
bahwa sebaiknya hakim di dalam setiap langkahnya adalah
menggunakan hasil pendidikan yang pernah diperolehnya
serta hasil pengalamannya sendiri, dan tidak dibatasi dengan
pemikiran-pemikiran yang mengikat, misalnya ketentuan-
ketentuan mengenai beban pembuktian.
Selain Kenneth Culp Davis, maka masih banyak ahli
hukum yang menganut teori bebas itu, mungkin tidak pada
masalah beban pembuktiannya tetapi pada masalah pem-
buktian lainnya.
Tentu saja masing-masing teori ada kelemahan dan ada
kelebihannya.
Kebaikan jika hakim bebas dalam pembuktian.
1. Dengan kebebasan dapat menutupi kekurangan hakim
akan pengetahuan mengenai penguasaan undang-un-
dang. Terutama bagi hakim yang kebetulan “kurang begitu
senang membaca dan belajar”, memudahkan dirinya jika
tidak diikat oleh hukum positif dalam hal pembuktian.
2. Dalam hal menilai keterangan kesaksian, maka jika ha-
kim bebas, hakim dapat melakukan penilaian secara
“karakter evidence” pada pribadi saksi, sehingga bagi
saksi yang tidak dapat dipercayai hakim bebas untuk
melakukan penilaian sendiri.

88 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
3. Dengan memberi hakim kebebasan di dalam pembuktian,
maka perkembangan hukum pembuktian kita akan lebih
cepat daripada harus menunggu proses perkembangan
hukum tertulis yang tentu jauh lebih lamban, dari per-
kembangan hukum tidak tertulis. Dengan demikian
hakim dalam putusannya dapat lebih menyesuaikan de-
ngan kebutuhan hukum warga masyarakat.
Kelemahan jika hakim bebas dalam pembuktian.
Tentu saja kelemahan yang paling mungkin dan paling
mencolok adalah “BELUM SIAPNYA” mental dan pengua-
saan ilmu hukum sebagian besar hakim kita di Indonesia
untuk menilai pembuktian itu secara terlalu bebas, terutama
kesewenang-wenangan dapat terjadi karenanya.
Sehubungan teori pembuktian bebas yang mengingin-
kan hakim bebas dalam pembuktian, timbul pertanyaan,
dalam hal apa saja penganut teori pembuktian bebas itu
menginginkan hakim bebas dalam masalah pembuktiannya?
Jawabannya adalah:
1. Kebebasan hakim dalam hukum pembuktian merupa-
kan kebebasan di dalam menerima alat-alat bukti.
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam hukum pem-
buktian ada yang disebut “ADMISSIBILITY”, yaitu da-
pat tidaknya diizinkan suatu alat bukti tertentu dalam
peristiwa tertentu. Jadi, hakim diberikan kebebasan se-
penuhnya untuk menentukan kapan alat bukti tertentu
digunakan.
2. Penilaian yang mandiri oleh hakim. Dalam hal ini ha-
kim mempunyai posisi yang objektif dan penilaiannya
objektif pula. Dengan kebebasan yang lebih, hakim da-
pat melakukan penilaian yang mandiri.

Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 89


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
3. Penilaian secara mandiri pula ke arah kebenaran yang
sebenarnya dari peristiwanya.
Pendapat pribadi penulis sendiri tentang kebebasan ha-
kim ini adalah jika kita menginginkan menganut teori pem-
buktian bebas, maka untuk menjaga kepastian hukum dalam
memberikan kebebasan hakim, juga sedikit demi sedikit kita
harus mengarah kepada sistem “presedent”, yaitu mengikuti
putusan hakim yang terlebih dahulu. Karena di dalam sistem
Anglo Saks, yang mana hakimnya tidak terikat pada undang-
undang seperti sistem kontinental, lalu mengikatkan diri
pada “presedent”.
Setiap sistem hukum mempunyai cara sendiri untuk
mempertahankan kepastian hukumnya. Sistem Anglo Saks
tidak diikat oleh undang-undang, tetapi diikat lagi oleh pre­
sedent. Sistem kita di Indonesia pada hakikatnya tidak diikat
oleh presedent, tetapi diikat oleh ketentuan undang-undang.
Sebab bagaimana pun hakim tidak boleh dibiarkan terlalu
bebas, mengingat bahaya kebebasan itu pun banyak sekali,
apalagi dalam negara yang masih berkembang seperti kita, di
mana masih banyak faktor-faktor kultur, maupun ekonomis
yang memengaruhi objektivitas hakim.

H. Alat Bukti Tertulis (Surat)


Walaupun dalam Buku II dan seterusnya penulis akan
membahas secara mendetail setiap jenis alat bukti, tetapi
dalam buku I ini pun tetap penulis akan mengutarakan secara
garis besarnya beberapa alat bukti yang lazim digunakan
dalam hukum pembuktian perdata, termasuk pertama-tama
ini alat bukti tertulis atau surat (geschrit, writings).
Suatu alat bukti termasuk sebagai alat bukti tertulis atau
surat jika memenuhi tiga unsur berikut ini:15

90 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
1. Harus memuat tanda-tanda bacaan.
2. Bermaksud untuk mencurahkan isi hati atau untuk me-
nyampaikan buah pikiran seseorang.
3. Sengaja dibuat untuk digunakan sebagai pembuktian.
Alat bukti tertulis atau surat ini dapat digolongkan ke
dalam tiga jenis:
1. Akta autentik.
2. Akta dibawah tangan.
3. Surat-surat lain yang bukan akta.
Secara lebih umum, dapat dipersempit pembagian itu
menjadi:
1. akta.
2. bukan akta.

Pengertian akta
Akta adalah alat bukti tertulis yang diberi tanda tangan
serta memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari
suatu perikatan, atau menjadi dasar dari suatu hak dengan
ketentuan bahwa sejak semula akta ini sengaja dibuat untuk
pembuktian.
Jadi dapatlah kita menemukan 3 unsur yang harus ter-
dapat pada suatu akta, entah itu akta otentik, maupun akta di
bawah tangan, yaitu:
1. harus ada tanda tangan.
2. harus memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar
dari suatu perikatan atau menjadi dasar dari suatu hak.
3. harus sejak dibuatnya sengaja dimaksudkan untuk pem-
buktian.
Akta itu sendiri terbagi lagi atas dua macam, yaitu:

Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 91


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
a. Akta autentik: yaitu akta yang dibuat oleh atau di ha-
dapan pejabat yang berwenang untuk itu.
b. Akta di bawah tangan: yaitu akta yang sengaja dibuat
untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari
pejabat yang berwenang.
Pengertian surat yang bukan akta
Yang termasuk dalam surat-surat yang bukan akta adalah
semua alat bukti tertulis yang memenuhi unsur untuk adanya
alat bukti tertulis, tetapi tidak memenuhi unsur-unsur untuk
diakuinya sebagai suatu akta. Lihat pendapat penulis.16

I. Alat Bukti Kesaksian (Testimony)


Menurut penulis, kesaksian adalah alat bukti yang dibe-
ritahukan secara lisan dan pribadi oleh saksi, yang bukan
pihak dalam perkara tersebut, untuk memberikan kepastian
kepada hakim di muka persidangan tentang peristiwa yang
dipersengketakan.
Dengan demikian, unsur yang harus ada pada alat bukti
kesaksian adalah:
1. Keterangan kesaksian itu diucapkan sendiri oleh saksi
secara lisan di muka persidangan.
2. Tujuannya untuk memberi kepastian kepada hakim ten-
tang peristiwa yang dipersengketakan.
3. Saksi itu bukan salah satu pihak yang beperkara.

Sesuai dengan pengertian di atas, jelaslah bahwa keterang-


an yang diberikan secara tertulis oleh saksi bukan alat bukti ke-
saksian, melainkan bernilai alat bukti tertulis atau surat.
Mengenai keterangan yang diberikan oleh saksi itu, atau
yang dinamai “keterangan kesaksian” haruslah mengenai apa

92 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh saksi.
Sehingga keterangan yang diperoleh dari pihak ketiga
atau “testimonium de auditu” pada umumnya tidak diper-
kenankan. Asas dari kesaksian ini adalah: “UNUS TESTIS
NULLUS TESTIS”, satu saksi bukan saksi. Ini berarti bahwa
jika hanya ada satu kesaksian, maka tidak boleh diterima
sebagai alat bukti. Minimal harus ada dua kesaksian.
Keterangan satu orang saksi, kalau keterangan itu dapat
dipercayai oleh hakim, barulah dapat menjadi alat bukti
sempurna jika dilengkapi alat bukti lain.
Pembahasan secara mendetail mengenai kesaksian ini,
akan penulis bahas dalam Buku III Seri Hukum Pembuktian
ini, dalam satu buku tersendiri.

J. Alat Bukti Persangkaan-persangkaan


Menurut E. W. Cleary17 persangkaan-persangkaan atau
PRESUMTIONS adalah:
“he slipperiest member of the family of legal terms....”

Persangkaan-persangkaan itu adalah merupakan alat buk-


ti yang tidak langsung, karena dengan persangkaan-persangka-
an kita menarik kesimpulan dari peristiwa yang telah terbukti
ke arah peristiwa yang belum terbukti. Sebagai contoh: si
Chika terbukti ada di Makasar pada tanggal 9 November 1952,
berarti dari peristiwa yang telah terbukti di atas, kita menarik
kesimpulan bahwa karena si Chika ada di Makasar, tentunya si
Chika tidak berada di New York pada saat yang sama itu.
Menurut Ch. J. Enschede18 persangkaan-persangkaan ini
merupakan pembuktian yang bersifat sementara.
Dalam hukum positif kita di Indonesia, dapat dibedakan
dua jenis persangkaan:

Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 93


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
1. persangkaan-persangkaan menurut hakim.
2. persangkaan-persangkaan menurut undang-undang.

ad. 1. Persangkaan­persangkaan menurut hakim (presum-


tions facti, rechterlijke vermoedens)
Adalah persangkaan-persangkaan yang dilakukan oleh
hakim, berdasarkan kenyataan. Jadi hakimlah yang membuat
jenis persangkaan-persangkaan ini.

ad. 2. Persangkaan­persangkaan menurut undang­undang


(presumptions juris, rechtsvermodens).:
Adalah persangkaan-persangkaan yang ditentukan oleh
undang-undang sendiri, dibagi lagi atas dua jenis:
a. Yang masih memungkinkan pembuktian lawan (presum­
ptions juris tantum).
b. Yang tidak memungkinkan pembuktian lawan (presum­
tiones juris et de jure).
Perbedaan antara persangkaan-persangkaan menurut
hakim dan persangkaan-persangkaan menurut undang-un-
dang adalah:
a. Persangkaan-persangkaan menurut undang-undang
sudah ditetapkan terlebih dahulu sebelum peristiwa
konkret terjadi.
b. Persangkaan-persangkaan menurut hakim ditetapkan oleh
hakim, setelah adanya peristiwa konkret yang terjadi.
Penjelasan secara lebih luas tentang persangkaan-persang-
kaan ini akan akan penulis bahas dalam Buku IV Seri Hu-
kum Pembuktian ini dalam satu buku tersendiri.

94 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K. Pengakuan (Confession, Bekentenis)
Pengakuan sebagai alat bukti ada tiga macam:
1. Pengakuan murni (aveu pur et simple).
2. Pengakuan dengan kualiikasi (aveu qualiie).
3. Pengakuan dengan klausuls (aveu complexe).
Penulis menjelaskan masing-masing dari ketiga jenis
pengakuan di atas:
ad. 1. Pengakuan murni:
Pengakuan tergugat mengenai seluruh isi gugatan peng-
gugat. Contoh: Si A menggugat si B, bahwa si B telah berutang
kepada sejumlah Rp 100.000,-, kemudian si B mengakui
bahwa benar ia telah berutang sejumlah Rp 100.000,- kepada
si A.
ad. 2. Pengakuan dengan kualiikasi:
Pengakuan tergugat tetapi disertai dengan sangkalan ter-
hadap sebagian gugatan. Contoh: Si A menggugat si B, bahwa
si B telah membeli rumahnya seharga Rp 45.000.000,- dan
belum dibayar oleh si B. B mengakui telah membeli rumah
si A, tetapi bukan seharga Rp 45.000.000,- melainkan hanya
Rp 30.000.0000,-.
ad. 3. Pengakuan dengan klausul:
Pengakuan tergugat yang disertai dengan klausul yang
bersifat membebaskan. Contoh: Si A menggugat bahwa si B
telah membeli rumah si B seharga Rp 50.000.000,- dan belum
di bayar oleh si B. Kemudian si B mengakui, bahwa benar ia
telah membeli rumah si A seharga Rp 50.000.000,- tetapi ia
telah membayarnya lunas.
Baik pengakuan dengan kualiikasi maupun pengakuan
dengan klausul harus diterima secara bulat oleh hakim,

Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 95


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
tidak bias dipisahkan dari keterangan tambahannya. Hal
ini berdasarkan asas pengakuan “ONSPLITSBARE AVEU”
(pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan).
Ulasan yang lebih mendetail tentang pengakuan, akan
dibahas secara tersendiri dalam Buku V Seri Hukum Pem-
buktian ini.

L. Sumpah sebagai Alat Bukti


Sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi sumpah itu ada
dua:
1. Sebagai alat bukti yang termasuk dalam sumpah asser­
toir, yaitu sumpah untuk memberi keterangan guna me-
neguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak.
2. Sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan
sesuatu, yang disebut sumpah promissoir, misalnya: sum-
pah seorang saksi. Jadi di sini, kesaksiannya yang alat bukti,
bukan sumpah itu sendiri yang hanya merupakan janji.

Sumpah sebagai alat bukti, yang umum dikenal adalah


tiga jenis:
1. Sumpah decisoir (sumpah pemutus)
2. Sumpah supletoir (sumpah pelengkap).
3. Sumpah aestimatoir (sumpah penaksiran).

ad. 1. Sumpah decisoir


Sumpah decisoir ini adalah sumpah yang dibebankan ke-
pada salah satu pihak atas permintaan salah satu pihak lainnya.
Jadi, misalnya si penggugat meminta agar tergugat ber-
sumpah. Sumpah decisoir ini dapat dibebankan walaupun
tidak ada pembuktian sama sekali. Dan pembebanan sum-

96 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
pah decisoir ini dapat dilakukan pada setiap saat selama pe-
meriksaan di persidangan.
Sumpah decisoir ini mempunyai kekuatan pembuktian
yang menentukan (Beslissende bewijskracht). Jadi tidak me-
mungkinkan lagi pembuktian lawan (tegen bewijs).
Isi sumpah decisoir harus mengenai hal ini yang pokok dan
bersifat menyelesaikan persengketaan (LITIS DECISOIR).
ad. 2. Sumpah supletoir
Sumpah supletoir ini adalah sumpah pelengkap, yang ber-
sifat melengkapi alat bukti yang sudah ada tetapi belum cukup.
Sumpah supletoir ini diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya (ex oicio). Jadi misalnya hanya ada satu saksi
saja, padahal ada asas “UNUS TESTIS NULLUS TESTIS”,
maka untuk melengkapinya pihak yang mengajukan satu
saksi saja, diperintahkan oleh hakim untuk bersumpah.
Kepada pihak mana hakim memerintahkan untuk bersum-
pah supletoir adalah tergantung pertimbangan hakim. Sumpah
supletoir ini masih memungkinkan pembuktian lawan.
ad. 3. Sumpah aestimatoir:
Sumpah aestimatoir ini adalah sumpah yang diperin-
tahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat un-
tuk menentukan jumlah uang ganti rugi yang dituntutnya.
Sumpah aestimatoir ini baru dibebankan hakim kepada
penggugat, jika penggugat telah berhasil membuktikan hak-
nya atas ganti kerugian, tetapi jumlahnya masih simpang siur.
Kekuatan pembuktiannya sama dengan sumpah suple-
toir, bersifat sempurna tetapi masih memungkinkan pem-
buktian lawan.

Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 97


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Endnote:
1. G. W. Paton. “A Text Book of Jurisprudence”. Oxford, at the
Clarendon Press 1964, hlm. 545.
2. Ibid, hlm. 541.
3. A. B. Diamond. “Primitive Law”. Second editions, ch. xxx.
4. Peter J. Dorman. “Dictionary of Law”. Running Press, Phiadelphia,
Pennsylvania, USA, 1976. hlm. 37.
5. Charles F. Hemphill, J.R. & Phylle D. Hemphil. “he Dictionary of
Practical Law”. Prentice-hall, Inc. Englewood Clifs”, 1975 hlm. 49.
6. Milton C. Jacobs. “Civil Trial Evidence”. Second edition, New York,
1949, hlm. 1.
7. Prof. Dr. R.M. Sudik Mertokusumo S.H. “Kuliah Hukum Acara
Perdata untuk Program S-II Hukum Keperdataan Universitas
Gajah Mada Yogyakarta, Tahun 1982.
8. G. W. Paton. Op.Cit., hlm. 542.
9. Sir Roland Burrows. “Phipson on the Law of Evidence”. Ninth
Edition, London, Sweet & Maxwell Limited, 1952, hlm. 2, 3 dan 4.
10. Edward W. Cleary. “McCormick’s Handbook of the Law or Evidence”.
Second Edition, St. Paul, Minn, West Publishing Co. 1972, hlm.
524-529.
11. Charles F. Hemphill, J.R… Op­cit., hlm. 61.
12. Sir Roland Burrows. Op.Cit., hlm. 3.
13. Prof. R. Subekti, S.H. “Hukum Pembuktian”. Penerbit Pradnya-
paramita. Jakarta, 1978, hlm. 22.
14. Kenneth Culp Davis “A System Judicial Notice Based on Fairness
and Convenience”. Termuat dalam “perpective of law” Essay for
Austim Wakeman Scott, (Ad. Rescoe Pound dkk.), Little Brown
Company, Boston, Toronto, USA, 1964, hlm. 79.
15. Ahmad Ali. “Beberapa Permasalahan Mengenai Alat Bukti Tertulis,
serta Peranan dan Perkembanganya dalam Hukum Acara Perdata”.
(Makalah untuk Program S-II Universitas Gajah Mada Yogyakarta
1982), hlm. 32.
16. Ibid., hlm. 33.
17. E. W. Cleary. Op.Cit., hlm. 803.
18. Ch. J. Enschede. “Bewijzen in het strafrecht”. R.M. hemis 1966 af1.
5/6 hlm. 488.

98 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Keenam
PENGERTIAN
BEBAN PEMBUKTIAN

Ut Sementem Feceris, Ita Meted


“Siapa yang menanam sesuatu, dialah juga yang akan
memetik hasilnya.”

Untuk mengetahui arti dan pengertian dari “Beban Pem-


buktian” (Burden of Proof, Bewijslast), terlebih dahulu kita
harus mengerti arti perkataan “bukti” (proof) itu dahulu.
Menurut Edward W. Cleary:1
“Proof, is an ambiguous word. We sometimes use it to mean evidence,
such as testimony or documents. Sometimes, when we say a thing is
“proved” we mean that we are convinced by the data submitted that
the alleged fact is true. hus, “proof ” is the end result of conviction or
persuasion produced by the evidence….”

Jadi, E. W. Cleary melihat arti perkataan “bukti” itu ber-


sifat rangkap. Di mana arti bukti itu bisa dua pengertian:
1. Sebagai alat bukti, misalnya kesaksian, dokumen, dan
lain-lain.
2. Sebagai terbukti, yang berarti bahwa kita meyakini akan
data yang diberikan tentang suatu fakta itu adalah me-
mang benar.
Sehingga E. W. Cleary menyimpulkan, bahwa perkataan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
“bukti” berarti hasil akhir dari keyakinan atau persuasi yang
diprodukkan oleh alat bukti.
Dari pengertian “bukti” di atas, E. W. Cleary bertitik tolak
untuk memberikan pengertian tentang “beban pembuktian”
itu sendiri sebagai berikut:2
“....he term encompasses two separate burdens of proof. One burden
is that of producing evidence satisfactory to the judge, of a particular
fact in issue. he second is the burden of persuading the trier of fact
that the alleged fact is true....”

Jadi menurut Cleary di atas, dapat dibedakan adanya


dua beban pembuktian yang terpisah, yaitu:
1. Beban untuk mengajukan alat bukti yang dapat memuas-
kan hakim, tentang suatu fakta tertentu (the burden of
producing evidence).
2. Beban untuk meyakinkan “the trier of fact” bahwa apa
yang diajukan adalah benar (the burden of persuasion).
Lebih jauh Cleary menuliskan bahwa:3
“he burden of producing evidence on an issue means the liability to
an adverse ruling (generally a inding or directed verdict) if evidence
on the issue has not been produced. It Is usually cast irst upon the
party who has pleaded existence of the fact, but as we shall see, the
burden may shit to the adversary when the pleader has discharged
his initial duty. he burden of pruducing evidence is a critical mecha­
nism in a jury trial, as it empowers the judge to decide the case wi­
thout jury consideration when a party fails to sustain the burden”.

Kemudian selanjutnya Cleary menjelaskan lagi bahwa:4


“he burden of persuasion becomes a crucial factor only if the parties
have sustaine a their burdens of producing evidence and only when
all of the evidence has been introduced...”

Jadi, yang terpenting dari uraian Cleary di atas adalah


bahwa:

100 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
a. Beban untuk mengajukan alat bukti merupakan “a cri­
tical mechanism” di dalam peradilan juri.
b. Beban untuk mengajukan alat bukti walaupun pada ha-
kikatnya adalah kewajiban penggugat tetapi dapat ber-
pindah ke pihak lawan.
c. Beban untuk dinilai (burden of persuasion) barulah men-
jadi faktor yang berarti jika para pihak sudah mengaju-
kan alat buktinya.
Selain E. W. Cleary, maka beberapa ahli hukum lain
memberikan batasan pengertian tentang beban pembuktian,
antara lain Charles F. Hemphill J.R. dan Phyllis D. Hemphill5
yang menuliskan bahwa:
“he burden of proof is:
1. In evidence law, the obligation or necessity to prove those facts
in dispute in the trial of a lawsuit. Most courts say that the
burden of proof involves two obligations:
a. the duty of producing evidence as the trial progresses,
and;
b. establishing the truth of the claim by a preponderance of
the evidence.
2. In a criminal prosecution, the burden of proof is on the pro­
secutor (on the government) to prove all material issues that
may be in doubt. his is an airmative duty. At the outset of the
trial, the defendant has no duty to prove innocence.”

Jadi, pada dasarnya kedua ahli hukum ini pun sependapat


dengan E. W. Cleary yang memberi dua artian tentang beban
pembuktian itu. Pertama bahwa di dalam hukum pembukti-
an, fakta tentang persengketaan di buka persidangan di mana
pada umumnya pengadilan berpendapat bahwa beban pem-
buktian meliputi dua kewajiban:
a) Kewajiban untuk mengajukan alat bukti ke muka persi-
dangan pengadilan; dan

Pengertian Beban Pembuktian 101


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
b) Kewajiban untuk membuktikan kebenaran dari tuntut-
an itu dengan alat bukti yang benar-benar meyakinkan.

Adapun pengertian kedua yaitu dalam hukum pidana, be-


ban pembuktian itu ada pada jaksa (dalam hal ini mewakili
pemerintah) untuk membuktikan semua hal yang berkaitan
dengan tuntutan pidana yang mungkin masih meragukan.
Kewajiban mana merupakan kewajiban yang sifatnya air-
matif. Dan para permulaan pemeriksaan di muka persidang-
an pengadilan, tidak ada kewajiban terdakwa untuk mem-
buktikan ketidakbersalahannya.
Berbeda dengan itu, Mr. H. hesing6 menyatakan bahwa:
“Beban pembuktian adalah aktivitas untuk mengadakan atau men-
ciptakan proses psikis pada hakim untuk membenarkan/meyakini
adanya dan terjadinya fakta-fakta yang dikemukakan dan yang
daripadanya diinginkan suatu akibat hukum oleh salah suatu pihak
yang beperkara, di mana secara luas termasuk hal mengemukakan
dalil /fakta dan secara terbatas hanya yang sifatnya, bentuknya,
dan intinya khusus untuk meneguhkan dalil/fakta yang sudah di-
terangkan itu.”

Jadi, Mr. H. hesing melihat arti beban pembuktian dari segi


proses psikis pada diri hakim.
Peter J. Dorman7 memberikan arti beban pembuktian
secara sangat singkat, yaitu: “A regirement to prove a disputed
fact.”
Lewis Mayers8 menuliskan bahwa:
“At the trial, the burden of proof, as it is celled, may rest on one party
or the other as to a particular issue. hat burden is to adducu, on the
issue a preponderence of the credible evidance....”

Jadi oleh Lewis Mayers, beban pembuktian dilihat dari


fungsinya untuk menyakinkan hakim dengan alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang. Beban pembuktian ini bu-

102 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
kan suatu keharusan untuk dibebankan kepada para pihak.
Hanya “boleh”, jika dibutuhkan. Perhatikan perkataan “may
rest.”
Sehubungan dengan hal di atas, penulis menegaskan di
sini bahwa pembuktian itu barulah dilakukan jika:
a. sama sekali tidak ada alat bukti yang diajukan oleh baik
pihak penggugat maupun pihak tergugat ; atau
b. alat-alat bukti yang diajukan kedua pihak sama kuat-
nya.
Perbedaan yang paling mencolok antara beban pembuk-
tian dalam perkara pidana dan perkara perdata adalah:
a. Dalam perkara pidana, beban pembuktian itu harus ber-
sifat “beyond reasonable doubt”;
b. Sedangkan dalam perkara perdata, beban pembuktian
itu sifatnya “preponderence evidence”.
Seperti apa yang dikemukakan oleh Stephen Gillers,9 bah-
wa hukum acara pidana “...yet other courts have said that the
charges must be sustained by proof that is reasonably certain, with
reasonably doubts being resolved in favor of the attorney....”
Adapun dalam hukum acara perdata dikatakannya:
“....In an ordinary civil action, it is generally not reguired that the
miscon duct be prove beyond a reasonable doubt....”

a. Beban mengajukan alat bukti.


Sebagaimana dijelaskan tadi, bahwa pengertian
beban pembuktian itu ada dua yaitu:
1. Beban untuk mengajukan alat bukti (the burden of
producing evidence);
2. Beban untuk menyakinkan, untuk dinilai (the bur­
den of persuasion).

Pengertian Beban Pembuktian 103


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenai beban untuk mengajukan alat bukti, da-
lam sistem hukum Inggris adalah kewajiban pertama bagi
para pihak yang dibebani pembuktian. Tetapi di dalam
sistem hukum kita di Indonesia, antara beban untuk
mengajukan alat bukti dan beban untuk meyakinkan,
untuk dinilai tadi tidak diadakan pemisahan tahapan-
nya, sekaligus berlangsung dalam saat para pihak dibe-
bani pembuktian.
hayer10 menyebutkan beban untuk mengajukan
alat bukti itu dengan istilah lain yaitu “he duty of
going forward.” Adapun McNaughton11 menyebutkanya
dengan istilah “he burden of production of evidence,”
penggunaan istilah yang berbeda-beda di atas perlu kita
ketahui, khususnya para ilmuwan. Di dalam bahan jika
membaca literatur-literatur dari sistem common law.
Sehubungan dengan beban untuk mengajukan alat
bukti ini, Dean McCormick12 menulis bahwa:
“In the writer (s view the burden of producing eviden has far more
inluence upon the inal outcome of cases than does the burden of
persuasion, which has become very largely a matter of the technigque
of the wording of instructions to juries. his wording may be chosen
in the particular case as a handle for reveral but will seldom have
been a factor ini the jury’s decision.”

Jadi, menurut penulisnya beban untuk mengajukan alat


bukti itu jauh lebih berpengaruh terhadap putusan, da-
ripada beban penilaian, beban untuk menyakinkan (the
burden of persuasion). Tentu saja bagi kita di Indonesia,
di mana antara kedua beban itu sekaligus dilaksanakan
tidak mengenal penahapan seperti dalam sistem Inggris,
maka pengaruh yng lebih besar dari salah satunya tidak
ada. Keduanya berpengaruh sama besarnya terhadap

104 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
putusan, karena beban pembuktian mengandung risiko
pembuktian.
Beban untuk mengajukan alat bukti ini, pada umumnya
dibebankan kepada pihak yang menyatakan mempunyai
suatu hak gugatanya, tetapi kemudian bisa saja beralih
pada pihak lawannya dalam proses selanjutnya.
Beban untuk mengajukan alat bukti ini merupakan sua-
tu “critical mechanism” di dalam suatu peradilan jury,
karena dengan adanya beban untuk mengajukan alat
bukti, membuktikan bagi hakim untuk memutus per-
kara tanpa pertimbangan juri, yaitu jika yang dibebani
untuk mengajukan alat bukti ternyata tidak dapat me-
laksanakannya.
b. Beban untuk meyakinkan, beban penilaian (the burden
of persuasion)
Penulis menerjemahkan istilah “the burden of persua­
sion” dengan beban untuk penilaian, karena dengan beban
yang kedua ini pihak yang telah mengajukan alat bukti
dinilai alat buktinya oleh hakim (dan juri). Dinilai apakah
dengan alat bukti tersebut benar-benar meyakinkan
bahwa peristiwa yang dinyatakan adalah benar.
Karena itu pula sehingga di dalam sistim hukum
common law, beban penilaian ini barulah menjadi faktor
yang mempunyai arti, jika beban untuk mengajukan alat
bukti telah dilaksanakan.
Sebenarnya dengan sistem hukum kita di Indonesia
pun, apa yang mau di nilai jika alat bukti belum diajukan?
Adapun mengenai istilah beban penilaian ini, oleh
Wigmore disebutnya “the risk of nonpersuasion.”13 Me-
nurut penulis hal mana mengandung arti bahwa jika

Pengertian Beban Pembuktian 105


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
alat bukti yang diajukan itu tidak dapat meyakinkan ke-
benaran fakta yang dikemukakan, mengandung risiko
kalah terhadap pihak yang bersangkutan.
Selanjutnya hayer14 menuliskan bahwa:
“... It marks ... the peculiar duty of him who has the risk of any
given proposition on which parties are at issue, who will lose the
case if he does not make this proposition out, when all has been
said and done ...”

Jadi, hayer juga menegaskan adanya risiko pembuktian


bagi siapa yang yang dibebani, tetapi ternyata tidak berhasil
meyakinkan kebenaran proposisi yang dikemukakan.
Suatu hal yang menarik dalam sistem peradilan
Anglo Saks (common law) adalah dimungkinkan suatu
persengketaan berakhir tanpa putusan hakim. Hal de-
mikian itu tidak dimungkinkan di Indonesia, di mana
hakim wajib untuk memberi putusan dalam setiap per-
kara yang dihadapinya.
Kesimpulan:
Dari pengertian beban pembuktian yang telah dikemu-
kakan secara panjang lebar di atas, dapatlah disimpulkan
bahwa beban pembuktian itu merupakan kewajiban airmatif
bagi para pihak untuk tampil ke muka persidangan pengadilan
dengan membuktikan tentang fakta-fakta mengenai pokok
perkara yang dipersengketakan. Mengenai ini, perhatikan juga
pendapat Charles F. Hemphill J.R, & Phyllis D. Hemphill.15
Sebagai kesimpulan akhir yang dapat kita tarik, tentang
pengertian beban pembuktian itu adalah bahwa:
1. Beban pembuktian baru muncul jika:
a. sama sekali tidak ada alat bukti yang di ajukan para
pihak;

106 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
b. atau alat bukti yang diajukan para pihak sama kuat-
nya atau sama lemahnya.
2. Beban pembuktian adalah pembebanan dari hakim ke-
pada para pihak yang beperkara untuk:
a. Mengajukan alat-alat bukti sesuai ketentuan hukum
acara yang berlaku.
b. Membuktikan kebenaran fakta yang dikemuka-
kannya berdasarkan alat bukti yang diajukan itu,
sehingga hakim yakin akan kebenaran fakta yang
dikemukakan itu (dalam hal proses perdata, ke-
yakinanya bersifat preponderance of evidence)

Endnote:
1. Edward W. Cleary. “McCormick’s Handbook of the Law of Evidence”.
St. Paul Minn, West Publishing Co. 1972, hlm. 783.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid., hlm. 784.
5. Charlas F. Hemphill J.R. & Phillis D. Hemphill. “he Dictionary
of Practical Law”. Prantice Hall, Inc. Englewood Clifs, N.J. 1979,
hlm. 33.
6. Mr. H. hesing. “De grondslogan van de Bewijslast in de Civila
Procedure”. S’Graven hage, 1961 blz 54.
7. Peter J. Dorman. “Dictionary of law”. Runing Press Philadelphia,
Pennsylvania, 1976, hlm. 28.
8. Lewis Maers. “he Machinery of Justice; An Introduction to Legal
Structure and Process”. Foundations of law in a business socie,
series, Prentice Hall Inc. Englewood Clifs, New Jersey, 1963, hlm.
39.
9. Stephen Gillers. “An American Civil Liberties Union Handbook:
he Rights of Lawyers and Clients”. A Discus Book/Published by A
von Books, USA, 1979, hlm. 72.
10. James Bradley hayer. “Preliminary Treatise on Evidence”. 1898, ch.
9, hlm. 355.

Pengertian Beban Pembuktian 107


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
11. McNaughton, “Burden of Production of Evidence”. Dikutip oleh
Edward W. Cleary dalam “McCormick’s Handbook of the Law of
Evidence”, hlm. 783.
12. Dean McCormick. Terkutip Ibid., hlm. 784.
13. Wigmore. Terkutip Ibid., hlm. 784.
14. James Bradley hayer. Ibid., hlm. 784.
15. Charles F. Hemphill J.R. & Phyllis D Hemphill. Op.Cit., hlm. 33.

108 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Ketujuh
ASAS BEBAN PEMBUKTIAN

Negativa non sunt probanda


“Sesuatu yang negatie, Sulit untuk dibuktikan”

Ada suatu pepatah hukum Romawi, yang berbunyi: “SI


VIS PACEM PARA BELUM” yang berarti “hendak damai,
siapkan perang”.
Demikianlah suatu proses perdata. Dua pihak yang me-
miliki kepentingan yang berlawanan, tampil ke muka per-
sidangan pengadilan untuk menyelesaikan “perang” atau
“persengketaan” mereka, demi menuju penyelesaian per-
sengketaan itu melalui suatu putusan hakim.
Karena untuk kepastian hukum, maka tiap putusan ha-
kim yang telah dijatuhkan harus selalu dianggap benar dan
sah, kecuali jika ada putusan pengadilan yang lebih tinggi
yang membatalkannya. Hal ini sesuai asas “RES YDICATA
PROVERI TATE HABETUR”; atau serupa tetapi tak sama, asas
lain yang bunyinya “res Judicata jus facit inter partes” (putusan
hakim menimbulkan hak antara para pihak yang beperkara);
atau juga asas yang bunyinya “res judicate pro veritate accip­
itur” isi daripada suatu putusan hakim sebagai benar).
Kewajiban para pihak untuk membela kepentingannya

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
masing-masing di muka persidangan pengadilan dengan
menunjukkan alat bukti (the burden of producing evidence)
dan meyakinkan hakim kebenaran alat bukti itu (the burden
of persuasion).
Tetapi, dalam hal, sama sekali tidak ada alat bukti yang
diajukan kedua pihak sama kuat adalah kewajiban hakim
untuk membebani salah satu pihak atau kedua pihak dengan
beban pembuktian (the burden of proof).
Tentu saja pelaksanaan beban pembuktian itu diatur
dengan asas tertentu yang bersifat restrictief; bersifat mem-
batasi kebebasan hakim sehingga dapat terhindarkan pe-
nyalahgunaan jabatan atau wewenang; de tournament de
pouvoir.
Asas beban pembuktian diatur oleh Pasal 163 HIR (pasal
283 R.bg., 1865 KUH Perdata) yang isinya:
“Barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang
mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya
itu atau untuk menyangkal hak orang lain harus membukti­
kan adanya hak atau peristiwa itu.”
Ini berarti bahwa baik penggugat maupun tergugat, da-
pat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat wajib
untuk membuktikan gugatannya, dan tergugat wajib untuk
membuktikan sangkalannya.
“Reo negate actori incumbit probation;” kalau tergugat
tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membukti-
kannya. Tetapi tidak berarti setiap tergugat menyangkali gu-
gatan, selalu pihak penggugatlah yang harus membuktikan.
Dalam hal ini hakim harus teliti mempertimbangkan sesuai
kasus yang dihadapinya. Sebab bisa saja, Reus excipiendo it
actor; tergugat dianggap sebagai penggugat jika ia menyang-

110 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
kal. Dengan kata lain, ada kalanya tergugat pun dapat dibe-
bani pembuktian jika ia menyangkali gugatan penggugat.
Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran
sangkalan tergugat, demikian pula sebaliknya tergugat tidak
diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang
diajukan oleh penggugat.
Secara terperinci, penulis dapat mengemukakan bebera-
pa asas yang terpenting dalam masalah beban pembuktian;
1. Yurisprudensi berpendapat bahwa hakim di dalam mem-
bebani pembuktian, hendaknya yang dibebani dengan
pembuktian itu adalah yang paling sedikit dirugikan,
jika ia harus membuktikannya.
Sebagai contoh yang mudah, jika kita melihat dalam
kasus pidana. Jika si A dituduh oleh si B bahwa si A
mencuri cincin berlian milik si B. Maka tentu saja pihak
yang paling sedikit dirugikan jika dibebani untuk mem-
buktikan (seandainya ini adalah kasus perdata) adalah
si B. Adapun pihak yang paling banyak dirugikan jika
dibebani untuk membuktikan adalah si A yang dituduh.
Mengapa demikian?
Si A sebagai orang yang dituduh, berarti masih mengan-
dung dua kemungkinan;
a. ataukah ia benar mencuri;
b. ataukah ia sama sekali tidak mencuri.
Seandainya si A sama sekali tidak mencuri, bagaimana
mungkin ia membuktikannya bahwa ia benar tidak men-
curi? Terlalu berat bagi Si A untuk dibebani. Adapun bagi
si B, dengan tindakanya menuduh si B selaku pencuri
tentu mendasarkan pada suatu kecurigaan atau dugaan-
dugaan tertentu. Sehingga berdasarkan kecurigaan atau

Asas Beban Pembuktian 111


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
dugaannya, bukanlah sesuatu yang berat baginya untuk
membuktikannya. Paling tidak masih lebih ringan bagi si
B untuk di bebani pembuktiaan daripada si A.
Walaupun kasus ini perkara pidana, tetapi pembaca pasti
dapat menerapkan jika dihadapkan pada kasus perdata.
2. Asas yang kedua, yang masih berkaitan erat dengan asas
pertama di atas, adalah asas “negative non sunt proban­
da”, asas bahwa sesuatu yang bersifat negatie, sulit untuk
dibuktikan.
Sesuatu yang bersifat negatie biasanya ditandai dengan
perkataan “TIDAK”.
Misalnya: Si A menyatakan bahwa ia tidak berutang ke-
pada si B. Atau si X menyatakan bahwa ia tidak menu-
bruk mobil si Z, dan lain-lain.
Sehubungan dengan hal ini, G.W. Paton1 menuliskan
bahwa: “Should not be forced on a person without very
strong reasons.”
Dalam hal ini, penulis meyetujui jika dikatakan bahwa
membuktikan sesuatu yang bersifat negatie itu, sulit
untuk dibuktikan. Tetapi, penulis tidak sependapat jika
dikatakan bahwa membuktikan sesuatu yang negatie itu
MUSTAHIL dibuktikan.
Mengapa penulis menganggap bahwa sesuatu yang ber-
sifat negatie, TIDAK MUSTAHIL untuk dibuktikan?
Di bawah ini penulis memberikan contoh:
Jika si Polan diwajibkan untuk membuktikan ketidak-
beradanya di Yogyakarta pada jam 12 siang, tanggal
27 Maret 1981. Berarti si Polan disuruh untuk mem-
buktikan sesuatu yang negatie. Maka si Polan dalam hal
ini dapat membuktikan ketidakberadaannya diYogya-

112 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
karta pada saat tersebut diatas, dengan cara membukti-
kan keberadaannya pada jam 12 siang, tanggal 27 Maret
1981 di Makassar.
Dari contoh yang penulis berikan di atas membuktikan
bahwa sesuatu sifatnya negatie, tidak mustahil untuk di-
buktikan. Tetapi tetap merupakan sesuatu yang sulit un-
tuk membuktikannya.
Karena itu penulis tetap sependapat, bahwa hakim ja-
ngan membebani suatu pihak untuk membuktikan se-
suatu yang negatie; kecuali jika terpaksa sekali dilihat
dari segi kasusnya.
Sehubungan dengan pendapat penulis ini, yurisprudensi
Mahkamah Agung tertanggal 15 Maret 1972 (No. 547 K/
Sip/1971) memutuskan bahwa pembuktian yang dibe-
bankan kepada pihak yang harus membuktikan sesuatu
yang negatie adalah berat daripada beban pembuktian
pihak yang harus membuktikan sesuatu yang positif,
yang tersebut terakhir ini termasuk pihak yang lebih
mampu untuk membuktikan.
3. Asas yang ketiga adalah asas iktikad baik.
Asas ini berbunyi bahwa iktikad baik selamanya harus
dianggap ada pada setiap orang yang menguasai sesuatu
benda. Barang siapa menggugat akan adanya iktikad bu-
ruk bagi bezutter itu, harus membuktikannya.
Jadi, dengan asas ini adalah telah ditetapkan bahwa jika
penggugat dalam gugatannya mendakwa/menyatakan
adanya iktikad buruk pada si tergugat yang merupakan
bezitter dari barang yang digugat si penggugatlah yang
harus dibebani dengan pembuktian (lihat Pasal 533 BW).
4. Asas yang keempat adalah asas bahwa jika seseorang te-
lah memulai menguasai sesuatu untuk orang lain maka

Asas Beban Pembuktian 113


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
selalu dianggap meneruskan penguasaan tersebut, ke-
cuali jika terbukti sebaliknya.
Sebagai kasus imajiner untuk menjelaskan asas ini, da-
pat penulis berikan contoh:
Si A dan si B sedang menunggu berangkatnya bus juru-
san Pdi stasiun bus. Karena si A ini ke kamar kecil, si A
menitipkan kopernya kepada si B yang kebetulan duduk
satu bangku dengannya. Si B menerima “tugas gratis“
itu dari si B, dan bersedia untuk menjaga koper si A itu
selagi si A di kamar kecil. Ketika si A sudah/masih di
kamar kecil, datang seorang wanita yang mengaku pada
si B sebagai nyonya si A yang disuruh oleh si A untuk
mengambil koper yang tadi dititipkan si A kepada si B. Si
B percaya dan menyerahkan koper itu pada wanita yang
mengaku nyonya A tadi. Tetapi, setelah wanita itu pergi
dengan membawa koper si A, tiba-tiba muncul si A dari
kamar kecil meminta kopernya. Si B mau melepaskan
tanggung jawab.
Tetapi berdasarkan asas ini, maka si B tetap dianggap
bertanggung jawab atas kopor si A sehingga hukum se-
lalu menganggap si B meneruskan penguasaan itu (ber-
tanggung jawab) kecuali jika terbukti sebaliknya. Jadi,
dalam hal ini beban pembuktian untuk membuktian
bahwa koper itu benar telah diserahkan kepada wanita
itu, jatuh pada si B. (lihat Pasal 535 BW).
5. Asas yang menyatakan bahwa barang siapa yang me-
nguasai suatu benda bergerak, dianggap sebagai pemilik-
nya. Sehingga, jika seseorang menggugat orang yang
mengusai suatu benda bergerak, si penggugatlah yang
selamanya harus dibebani dengan pembuktian (lihat
Pasal 1977 ayat 1 BW).

114 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
6. Asas bahwa adanya keadaan memaksa harus dibuktikan
oleh pihak debitur (lihat Pasal 1244 BW).
7. Asas bahwa siapa yang menuntut penggantian kerugian
yang disebabkan suatu perbuatan melanggar hukum,
harus membuktikan adanya kesalahan (lihat Pasal 1365
BW).
8. Asas yang menyatakan bahwa siapa yang menunjukkan
tiga kuitansi yang berturut-turut terakhir dianggap telah
membayar semua cicilan. Sehingga, jika ada seseorang
yang menggugat si pemegang tiga kuitansi terakhir ber-
turut-turut itu, dialah (penggugat) yang harus dibebani
dengan pembuktian (lihat Pasal 1394 BW).
9. Asas risiko pembuktian, yaitu bahwa barang siapa dibe-
bani dengan pembuktian lalu ternyata tidak mampu un-
tuk membuktikan, harus dikalahkan dalam perkara itu.
10. Asas yang menyatakan bahwa barang siapa yang menya-
takan sesuatu yang tidak biasa, harus membuktikan hal
yang tidak biasa itu. (Lihat putusan Mahkama Agung),
yang (tertanggal 21 November 1956, Nomor 162 K/
Sip/195).
11. Asas yang menyatakan bahwa jika isi suatu surat dapat di-
artikan dua macam, yaitu menguntungkan dan merugi-
kan bagi si penanda tangan surat, maka si penanda tangan
yang harus dibebani untuk membuktikan positumnya.
(Lihat Putusan M. A. tanggal 11 September 1957, No-
mor 74 K/Sip/1955)

Ednnote:
1. G.W. Paton “A text book of Jurisprudence”. Oxford, At the Claren-
don Press, 1964, hlm. 542.

Asas Beban Pembuktian 115


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Kedelapan
TEORI-TEORI
BEBAN PEMBUKTIAN

Audi Et Alteram Partem


“Dengarlah juga pihak lainnya”

Di samping adanya asas-asas beban pembuktian yang


merupakan hasil pemikiran para ahli hukum, juga undang-
undang dan yurisprudensi, maka di dalam ilmu pengetahuan
hukum dikenal juga “teori-teori beban pembuktian” yang
merupakan pedoman bagi hakim di dalam memutuskan sia-
pa yang harus dibebani dengan pembuktian dalam setiap ka-
sus yang diperiksanya.

A. Teori Negativa Non Sunt Probanda


Teori ini bertitik tolak pada asas beban pembuktian
“Negativa non sunt probanda” asas yang menyatakan bahwa
sesuatu yang negatie sifatnya sulit untuk dibuktikan.
Asas ini, sehingga penganut teori ini menyatakan bahwa
barang siapa yang mengemukakan sesuatu, ialah yang harus
membuktikannya, jadi bukan pihak yang menyangkalinya.
Karena teori ini bersifat menguatkan belaka, sehingga
beberapa ahli hukum menamainya juga dengan nama “teori

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
bloot airmatif” antara lain Asser-Anema-Verdam.1 Dan juga
Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H.2
Dewasa ini menganut teori “Negativa non sunt probanda”
ini sudah tidak ada lagi. Karena dangan teori ini, hampir
selalu penggugatlah yang dibebani pembuktian.
Teori pertama ini menganggap bahwa sesuatu yang sifat-
nya negatie, adalah di luar batas kemampuan untuk dibukti-
kan, karena itu sesuai adagium berbunyi: Ultra posse nemo
obligatur (tiada orang berkewajiban melakukan lebih daripada
kemampuannya), maka orang yang menyatakan/mengemuka-
kan sesuatulah yang harus dibebani dengan pembuktian.
Tentu saja teori itu tidak selamanya benar dalam setiap
kasus. Pembaca dapat melihatnya sendiri jika telah membaca
keseluruhan buku ini.

B. Teori Hak
Dasar dari teori ini adalah bahwa “HAK”lah yang men-
dasari proses perdata. Dengan lain kata, proses perdata itu se-
nantiasa melaksanakan “hak” yang dimiliki perorangan. Dengan
demikian, teori ini berpendapat bahwa tujuan dari hukum se-
cara perdata adalah semata-mata untuk mempertahankan hak.
Dengan demikian, barang siapa yang mengemukakan
atau mengaku mempunyai sesuatu hak, dialah yang dibebani
dengan pembuktian.
Perbedaannya dengan teori Negativa non sunt probanda
adalah karena kalau pada teori pertama ini penggugat harus
membuktikan keseluruhan. Adapun menurut teori “hak” ini,
tidak seluruh peristiwa harus dibuktikan si penggugat.
Penganut teori ‘hak” ini antara lain Asser-Anema-Ver-
dam, membagi peristiwa itu ke dalam:

118 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
a. Peristiwa umum.
b. Peristiwa khusus.
1. Peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak
(rechtserzeugende Tatsachen).
2. Peristiwa khusus yang bersifat merintangi timbul-
nya hak (rechtshindernde Tatsachen).
3. Peristiwa khusus yang bersifat membatalkan hak
(rechtsvernichtende Tatsachen).
Penganut teori ini membagi beban pembuktian sebagai
berikut:
a. Pihak penggugat wajib untuk membuktikan adanya pe-
ristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak.
b. Pihak tergugat wajib untuk membuktikan.
1. Tidak adanya peristiwa-peristiwa umum.
2. Adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat
merintangi timbulnya hak.
3. Adanya peristiwa khusus yang bersifat membatal-
kan hak.
Untuk jelasnya penulis memberikan contoh kasus ima-
jiner sebagai berikut:
Si Baco menggugat kapada Basse, bahwa si Basse telah
menerima mobil Toyota plat DD. 2731981 yang dibeli si
Basse dengan harga Rp 15.000.000,- dari si Baco, tetapi si
Basse belum membayarnya. Dalam hal ini berdasarkan teori
“hak” ini, karena ternyata si Basse menyangkali gugatan si
Baco, beban pembuktiannya dibagi:
a. Si Baco selaku penggugat, harus membuktikan bahwa:
1. Perjanjian jual beli memang telah terjadi antara dia
dengan si Basse.

Teori-Teori Beban Pembuktian 119


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
2. Benar harga yang disepekati adalah Rp. 15.000.000
3. Benar mobil itu sudah diserahkan kepada si Basse
selaku pembeli.
b. Si Basse selaku tergugat, harus membuktikan bahwa:
1. Dia telah membayar harga yang sejumlah Rp 15.000.000,-
itu kepada si Baco selaku penjual.
2. Atau membuktikan adanya cacat pada persesuaian
kehendak.
P. A. Stein3 tidak menyetujui teori ini dengan alasan
bahwa teori ini hanya mampu memecahkan masalah jika
gugatan si penggugat didasarkan pada “hak”.
Bagaimana dalam gugatan perceraian?
Menurut Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H.,4
kelemahan lain dari teori ini adalah karena teori ini terlalu
banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban
atas persoalan-persoalan tentang beban pembuktian dalam
suatu persengketaan yang bersifat prosesuil.

C. Teori De Lege Lata (Menurut Hukum Positif)


Menurut teori ini, dengan si penggugat mengajukan gu-
gatannya berarti bahwa si penggugat meminta kepada hakim
agar hakim menerapkan ketentuan hukum yang berlaku
terhadap peristiwa yang diajukan.
Karena itulah, maka si penggugat harus dibebani pem-
buktian untuk membuktian kebenaran dari peristiwa yang
diajukannya, dan kemudian mencarikan dasar hukumnya
untuk diterapkan pada peristiwa itu.
Sebagai contoh: jika si A menggugat tentang suatu per-
janjian, maka si A harus mencari dalam undang-undang apa
syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, lalu membuktikannya.

120 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Dalam contoh ini, si A tentu harus berdasarkan Pasal
1320 BW dan karena Pasal 1320 BW tidak menyebutkan ada-
nya cacat dalam persesuaian kehendak, sehingga si A pun
tidak perlu membuktikan adanya cacat dalam persesuaian
kehendak itu. Tentang adanya cacat dalam persesuaian ke-
hendak itu, pihak lawanlah yang harus membuktikannya. Ini
berarti hakim hanya dapat mengabulkan gugatan jika unsur-
unsur yang ditetapkan oleh hukum/undang-undang itu
ada. Bagaimana dengan persoalan yang tidak diatur dalam
undang-undang? Inilah kelemahan teori ini.

D. Teori Ius Publicum (Hukum Publik)


Teori ini menekankan bahwa walaupun hukum acara
perdata adalah bagian dari hukum privat, tetapi bagaimana-
pun kepentingan publik termasuk di dalamnya. Sebab, kepen-
tingan peradilan adalah juga kepentingan publik. Karena itu,
teori ini cenderung untuk menginginkan agar hakim diberi
wewenang yang lebih besar di dalam mencari kebenaran.
Teori ini menghendaki agar bagi para pihak dibebani dengan
kewajiban yang bersifat hukum publik, di mana ke wajiban
itu harus disertai dengan saksi pidana.
Tentu saja teori ini terlalu berlebihan untuk diterapkan
di Indonesia dewasa ini.

E. Teori Audi Et Alteram Partem


Teori ini adalah berdasarkan pada asas hukum acara
perdata pada umumnya, yaitu asas “AUDI ET ALTERAM
PARTEM”, asas kedudukan yang sama secara prosesuil dari
kedua pihak yang beperkara.
Asas ini mewajibkan hakim agar memberi kesempatan
yang sama bagi para pihak untuk menang secara prosesuil.

Teori-Teori Beban Pembuktian 121


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Karena itu, hakim harus membagi beban pembuktian kepada
para pihak yang beperkara secara patut, di mana ada kalanya
hanya tergugat, dan ada kalanya kedua-duanya.
Dengan asas ini, hakim benar-benar harus adil membagi
beban pembuktian itu, sehingga kalau penggugat menggugat
tergugat mengenai perjanjian jual beli itu dan bukannya ter-
gugat yang harus membuktikan tentang tidak adanya per-
janjian tersebut antara penggugat dan tergugat.
Kalau tergugat mengemukakan bahwa ia membeli se-
suatu dari penggugat, tetapi bahwa jual beli itu batal karena
kompensasi, maka tergugatlah yang harus membuktikanbah-
wa ia mempunyai tagihan terhadap penggugat. Penggugat
dalam hal ini tidak perlu membuktikan bahwa ia tidak mem-
punyai utang pada tergugat.

Endnote:
1. Asser-Anema-Verdam. “Mr. C. Asser’s Handleiding tot de beoefening
van hat Nederland Burgelijk Recht”. Vijfde – Deel: Van Bewijs, NV,
Uitgevers Maat schappij, W.E.J.T Jeenk Uillink, Zwolle 1934 hlm.
64.
2. Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata
Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 104.
3. Mr. P. A. Stein. “Compendium can het – Burgelijk Procesrecht”,
Kluwer, Deventer, 1973, hlm. 118.
4. Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumio, SH. Op.Cit, hlm. 105.

122 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Kesembilan
SIFAT BEBAN PEMBUKTIAN

Si Duo Faciunt Idem Non Est Idem!


“Kalau dua orang melakukan hal yang sama, maka hal itu
adalah tidak sama.”

Sifat dari beban pembuktian itu sendiri dapat digolong-


kan ke dalam tiga sifat; penggolongan ke dalam tiga sifat ini
adalah sebagai penyempurnaan pembagian yang penulis
dahulu bedakan hanya atas dua sifat.1
Ketiga sifat beban pembuktian itu adalah masing-masing:
1. Sifatnya yang kasuistik.
2. Sifatnya yang yuridis.
3. Sifatnya yang historis.

A. Sifatnya yang Kasuistik


Hukum positip kita di Indonesia hanya mengatur satu
Pasal mengenai asas beban pembuktian secara umum yaitu
Pasal 163 HIR (sama bunyinya dengan Pasal 285 R.bg. Pasal
1865 – BW) yang bunyinya:
“Barang siapa menyatakan mempunyai sesuatu hak atau
menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya
atau untuk membantah adanya hak orang lain, maka orang
itu harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.”

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Dari ketentuan Pasal di atas, yang jelas hanyalah dua hal:
1. Yang dapat dibebani pembuktian adalah baik penggugat
maupun tergugat.
2. Yang dapat dibuktikan adalah peristiwa dan hak.
Tetapi selanjutnya, kapan penggugat yang dibebani, ka-
pan tergugat, dan kapan kedua-duanya, baik penggugat mau-
pun tergugat sekaligus? Semuanya itu tidak jelas.
Karena itulah, sehingga dikatakan bahwa beban pem-
buktian itu mempunyai sifat yang yuridis, artinya tergantung
pada kasusnya. Kita tidak dapat menentukan secara umum,
bahwa dalam hal beban pembuktian selalu penggugatlah
yang dibebani, atau selalu kedua pihaklah yang dibebani,
atau selalu tergugatlah yang dibebani. Penentuan semacam
itu jelas tidak mungkin. Malah akan menimbulkan kekakuan
dan ketidakadilan. Karena itulah sifat kasuistik dari beban
pembuktian perlu dipertahankan oleh pembuat undang-
undang. (Bandingkan pendapat penulis pada tahun 1980).2
Pada umumnya hakim cenderung untuk selalu membe-
bani penggugat dengan pembuktian manakala tergugat me-
nyangkal, antara lain dapat penulis berikan tiga putusan peng-
adilan sebagai contohnya:
1. Putusan Pengadilan Negeri Pangkajene (Sulawesi Sela-
tan) tertanggal 5 Agustus 1964, Nomor 16/1962 yang
mempertimbangkan antara lain:
“Menimbang bahwa tergugat menyangkal kebenaran
dalil/dalil-dalil penggugat, maka pada penggugatlah ter-
letak kewajiban untuk membuktikan dalil-dalilnya.”3
2. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta tertanggal 3 Agus-
tus 1962, Nomor 243/1962/Pdt yang mempertimbang-
kan antara lain:

124 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
“Menimbang bahwa di mana tergugat menyangkal gu-
gatan penggugat, maka penggugatlah yang wajib mem-
buktikannya.”4
3. Putusan Pengadilan Negeri Sengkang (Sulawesi Selatan)
tertanggal 1 Agustus 1964 Nomor 80/1964 yang memper-
timbangkan antara lain:
“Menimbang bahwa oleh karena tergugat menyangkal
kebenaran isi gugatan tersebut, maka pihak penggugat
harus membuktikannya.”5

Kecenderungan hakim untuk selalu membebani peng-


gugat dengan pembuktian, jika tergugat menyangkal gugatan
adalah sebagai akibat kesalahpahaman tentang makna Pasal
163 HIR (285 R.bg., 1865 BW) dan ketidakmengertian
akan adanya sifat kasuistik dari beban pembuktian ini. Ini
pun tidak terlepas dari kesalahan pihak pengajar mata
kuliah Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum yang
kurang memberikan pengalaman tentang masalah beban
pembuktian ini, dalam materi perkuliahannya; juga tidak
terlepas dari kurangnnya literatur berbahasa Indonesia yang
membahas secara luas masalah beban pembuktian ini.
Dari sifat kasuistik beban pembuktian ini, dapat disim-
pulkan adanya tiga kemungkinan kepada siapa beban pem-
buktian itu diletakkan dalam suatu perkara, yaitu:
1. Penggugatlah yang dibebani dengan pembuktian.
2. Tergugatlah yang dibebani dengan pembuktian.
3. Baik penggugat maupun tergugat, keduanya dibebani
dengan pembuktian.
Untuk jelasnya, baiklah di bawah ini penulis memberikan
masing-masing sebuah contoh:

Sifat Beban Pembuktian 125


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
1. Si A menggugat si B, karena si B sebagai orang yang diberi
hak untuk memungut uang sewa pintu-pintu toko tidak
menyetorkan kepada si A yang menyuruhnya memungut
uang sewa, dengan sangkalan si B selalu tergugat, bahwa
pintu-pintu toko tersebut tidak selalu menghasilkan
sewa. Dalam hal ini, karena si tergugat sebagai pihak
yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa, haruslah yang
dibebani pembuktian untuk membuktikan hal yang tidak
biasa itu. (Lihat Putusan Mahkamah Agung tanggal 21
November 1956 Nomor 162 K/Sip, 1955).
2. Si A menggugat si B, bahwa si B selaku pihak penjual
dalam sengketa jual beli belum menyerahkan seluruh ba-
rang yang telah dibeli oleh si A selaku pembeli menurut
kontrak, sedang si B selaku penjual membantah dengan
mengemukakan bahwa ia telah menyerahkan seluruh
barang yang diperjualbelikan. Dalam hal ini maka ke-
dua pihak dibebani pembuktian. Pihak pembeli harus
dibebani pembuktian mengenai adanya kontrak dan
pembayaran yang telah dilakukan, sedang pihak penjual
harus membuktikan mengenai barang-barang yang telah
diserahkannya. (Lihat Putusan Mahkamah Agung tang-
gal 30 Desember 1957 No. 197 K/Sip/1956).
3. Jika si A menggugat si B, dengan gugatan bahwa arloji
Rolex yang dipakai dan dikuasai oleh si B sekarang ini
adalah arloji milik si A, sedang si B menyangkali gugatan
si A, maka dalam hal ini beban pembuktian hanya jatuh
pada diri penggugat, karena barang siapa menguasai
suatu benda bergerak, dianggap sebagai pemiliknya.
(Lihat Pasal 1977 ayat 1 BW).
Karena sifat beban pembuktian yang kasuistik ini, maka
hendaklah hakim di dalam melakukan pembagian beban

126 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
pembuktian, senantiasa memerhatikan asas-asas beban pem-
buktian pada khususnya dan asas-asas hukum pembuktian
pada umumnya.

B. Sifatnya yang Yuridis


Sifat kedua dari beban pembuktian ini adalah sifat
yuridis yang melekat padanya.
Sifat yuridis dari beban pembuktian ini dapat kita lihat
dalam tiga hal:
1. Pada risiko pembuktian.
2. Pada pengaturan beban pembuktian baik dalam hukum
formil maupun hukum materiil.
3. Dapat dikasasinya masalah beban pembuktian ke Mah-
kamah Agung.
Ad. 1 Sifat yuridis dari risiko pembuktian
Dengan adanya pembebanan pembuktian, selalu diikuti
dengan risiko pembuktian, karena siapa yang memikul
beban pembuktian itu jika gagal membuktikannya akan
menerima risiko berupa kalah dalam perkaranya. Jadi jelas
menunjukkan sifat yuridisnya, karena kalah atau menangnya
salah satu pihak adalah soal yuridis, yaitu sebagai akibat dari
suatu proses perkara yang diatur oleh hukum acara perdata.
Mengenai risiko pembuktian dapat dibaca lebih jelas
pada Bagian Kesebelas buku ini.
Ad. 2. Sifat yuridis pada pengaturannya dalam hukum
formil maupun hukum materiil
Mengenai sifat yuridis beban pembuktian, karena peng-
aturannya baik dalam hukum formal maupun hukum ma-
teriil, penulis akan menyebutkan beberapa pasal undang-un-
dang sebagai berikut:

Sifat Beban Pembuktian 127


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
a. Pasal 1244 BW: Jika ada alasan untuk itu, si berutang
harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apa-
bila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau
tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikat
itu, disebabkan karena suatu yang tak terduga pun tidak
dapat dipertanggungjwabkan padanya, kesemuanya itu
pun jika iktikad baik tidaklah pada pihaknya.
b. Pasal 1394 BW: Tentang pembayaran sewa rumah, se-
wa tanah, tunjangan tahunan untuk nakah, bunga aba-
di atau bunga cagak hidup, bunga uang pinjaman, dan
pada umumnya segala apa yang harus dibayar tiap ta-
hun atau tiap waktu tertentu yang lebih pendek, maka
dengan adanya tiga surat tanda pembayaran, dari mana
ternyata pembayaran tiga angsuran berturut-turut, ter-
bitlah suatu persangkaan bahwa angsuran-angsuran
yang lebih dahulu telah dibayar lunas, melainkan jika
dibuktikan sebaliknya.
c. Pasal 1977 ayat 1 BW: Terhadap benda bergerak yang
tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus
dibayar kepada si pembawa, maka barang siapa yang
menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. (Jadi, siapa
yang menggugatnya, ialah yang dibebani pembuktian).
d. Pasal 1365 BW: Tiap perbuatan melawan hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut (dalam hal itu, penggugat
yang dibebani pembuktian).
e. Pasal 468 ayat 2 KUHP Dagang: Si pengangkut diwa-
jibkan mengganti segala kerugian yang disebabkan ka-
rena barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak da-
pat diserahkannya, atau karena terjadi kerusakan pada

128 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
barang itu, kecuali jika dibuktikannya bahwa tidak dapat
diserahkannya barang atau kerusakan tadi disebab-
kan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat
dicegah maupun dihindarinya, atau cacat daripada ba-
rang tersebut atau oleh kesalahannya dari yang mengi-
rimkannya.
Ad. 3. Sifat yuridis dari dapat dikasasinya
Penulis sependapat dengan Prof. Dr. R. Subekti, S.H.,6
yang meyatakan bahwa soal pembagian beban pembuktian ini
dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal yuridis yang da-
pat diperjuangkan sampai tingkat kasasi di muka pengadilan
kasasi, yaitu Mahkamah Agung. Melakukan pembagian be-
ban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pe-
langgaran hukum atau undang-undang yang merupakan
alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan
hakim atau pengadilan rendahan yang bersangkutan.
Hal tersebut sudah terbukti dengan banyaknya putusan
Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang meme-
riksa dan memutuskan perkara mengenai masalah beban
pembuktian.

Endnote:
1. Achmad Ali. Beban Pembuktian Dalam Praktik (Skripsi).
Ujungpandang, 1980, hlm. 18.
2. Achmad Ali. Ibid.
3. Hasil penelitian putusan-putusan pada Pengadilan Tinggi Ujung-
pandang menyangkut perkara-perkara perdata.
4. Achmad Ali. Op.Cit., hlm. 28.
5. Achmad Ali. Op.Cit., hlm. 28.
6. Prof. Dr. R. Subekti, S.H. Hukum Pembuktian. Penerbit Pradya-
paramita, Jakarta, 1978, hlm. 17.

Sifat Beban Pembuktian 129


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Kesepuluh
BEBERAPA PERMASALAHAN
BEBAN PEMBUKTIAN DALAM
TEORI DAN PRAKTIK

Ultra Posse Neno Obligator


“Tiada orang berkewajiban, melakukan lebih dari kemampuannya.”

Sekalipun beban pembuktian mempunyai asas-asas


yang telah tercantum pada Pasal 163 KIR, tetapi isi Pasal
163 KIR itu masih sering menimbulkan kekaburan tentang
beban pembuktian itu sendiri, baik secara teoritis maupun di
dalam praktik/Yurisprudensi.
Begitu banyaknya masalah yang sering timbul menguasai
beban pembuktian ini, sehingga tidak mungkin penulis dapat
mencantumkannya secara lengkap sempurna dalam buku
sederhana ini, karena itu hanya beberapa di antaranya yang
penulis sempat kemukakan. Bagi mahasiswa, tentunya dapat
mengadakan penelitian tersendiri untuk melengkapinya.

A. Permasalahan Teoretis

1. Masih adakah asas beban pembuktian lain yang dia-


tur dalam HIR selain pasal 163 HIR?
Pada umumnya kalangan yuris di Indonesia sependapat,
jika dikatakan bahwa asas beban pembuktian yang diatur

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
oleh HIR, hanyalah pada Pasal 163 HIR, tetapi menurut
penulis selain Pasal 163 HIR tersebut, maka masih ada satu
pasal lain yang terdapat di dalam HIR yang merupakan asas
beban pembuktian, yang merupakan kekecualian bagi Pasal
163 KIR yang merupakan asas umum tadi. Pasal yang penulis
maksudkan adalah Pasal 176 KIR, yang isinya adalah:
“Tiap­tiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan
hakim tiada wenang akan menerima sebagiannya saja dan
menolak yang sebagian lain, sehingga merugikan orang yang
mengaku itu; yang demikian itu hanya boleh dilakukan ka­
lau orang yang berutang, dengan maksud akan melepaskan
dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti benar.”
Dengan merenungi isi Pasal 176 KIR di atas, yang me-
rupakan pasal yang mengatur tentang pengakuan yang tidak
dapat dipisahkan-pisahkan (onsplitsbare bekentenis, onsplits­
bare aveu), sebenarnya juga merupakan asas beban pembuk-
tian khusus.
Sebagai diketahui, bahwa pengakuan adalah salah satu
alat dalam hukum acara perdata. Sehingga, sebagai misal:
Jika si A menggugat si B, bahwa si B telah berutang sejumlah
satu juta rupiah kepada si A, sedang si B selaku tergugat
mengakui bahwa benar ia (si B) telah berutang sejumlah satu
juta rupiah dari si A; oleh hukum pembuktian perdata, peng-
akuan si B (tergugat yang merupakan “pengakuan murni”)
harus diterima oleh hakim. Dan penggugat karenanya tidak
diwajibkan untuk membuktikan berutangnya si B lagi.
Tetapi dalam hal dua jenis bentuk pengakuan lain yang
bukan pengakuan murni, yaitu:
a. Pengakuan dengan klausul.
b. Pengakuan dengan kualiikasi.
Berlaku Pasal 176 HIR ini.

132 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Penulis dapat menjelaskannya dengan sebuah contoh
kasus imajiner sebagai berikut:
Si A menggugat bahwa si B telah berutang sejumlah Rp 50.000,-
kepada si A. Si B selaku tergugat mengakui bahwa benar ia
telah berutang sejumlah Rp 50.000,- dari si A, tetapi telah
dibayarkan lunas. Jadi dalam hal ini pengakuan si B adalah
“pengakuan dengan klausul.”
Menurut Pasal 176 ini, tiap-tiap pengakuan harus dite-
rima keseluruhannya, apabila pada pengakuan itu dibutuh-
kan suatu keterangan yang membebaskan (klausul). Dari ka-
sus di atas:
1. Si B mengaku telah berutang sejumlah Rp. 50.000,-.
2. Si B menyatakan bahwa utang yang Rp. 50.000,- telah
dibayar lunas.
Berdasarkan Pasal 176 KIR ini, maka penggugat yang
dihadapkan kepada pengakuan yang tidak dapat dipisahkan
itu dapat mengambil dua macam jalan:
a. Pengakuan yang dibubuhi keterangan tadi boleh penggu-
gat anggap sebagai suatu penyangkalan atas tuntutannya,
dan atas dasar penyangkalan itu ia mengajukan bukti-
bukti yang diperlukan untuk menguatkan tuntutannya
itu.
b. Penggugat mengajukan alat bukti, bahwa pembubuhan ke-
terangan atas pengakuan tergugat itu tidaklah benar, dan
jika ia berhasil dalam pembuktiannya itu maka ia kemudian
meminta kepada hakim agar diadakan pemisahan terhadap
pernyataan tergugat. Setelah itu penggugat meminta agar
tergugat dihukum atas dasar pengakuan yang sekarang
telah dibersihkan dari “klausul” itu.

Beberapa Permasalahan Beban Pembuktian 133


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
2. Apakah Pasal 163 HIR hanya merupakan asas beban
pembuktian saja?
Pada umumnya beberapa yuris kita menganggap bahwa
Pasal 163 HIR (pasal 283 R.bg., Pasal 1865 BW) hanyalah
pasal yang merupakan asas “beban pembuktian” (burden of
proof).
Memang jika melihat isi Pasal 163 HIR itu, yang paling
cepat tertangkap jelas adalah adanya asas “beban pembukti-
an” adalah para pihak yang beperkara. Yang membebani
pembuktian jelas adalah hakim.
Tetapi jika kita merenungi lebih teliti dan dalam isi Pasal
163 HIR, akan kita jumpai bahwa selain sebagai asas beban
pembuktian, juga berisikan beberapa asas lain, yaitu:
a. Asas pembagian beban pembuktian.
b. Asas dapat dibuktikannya HAK, selain daripada PE­
RISTIWA.
c. Asas sifat kasuistiknya beban pembuktian.
Asas pembagian beban pembuktian harus dibedakan
dengan asas beban pembuktian sendiri.
Jadi, Pasal 163 HIR, sekaligus sebagai:
a. Asas beban pembuktian (burden of proof).
b. Asas pembagian beban pembuktian.
Asas pembagian beban pembuktian ini, tampak dari isi
Pasal 163 HIR itu bahwa penggugat wajib membuktikan pe-
ristiwa yang diajukannya, sedang tergugat wajib membukti-
kan bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan
kebenaran bantahan tergugat, demikian pula membuktikan
kebenaran peristiwa yang diajukan oleh penggugat.

134 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
3. Risiko pembuktian
Sekalipun pada bagian-bagian terdahulu penulis telah
menyinggung sedikit tentang masalah risiko pembuktian ini,
tetapi ada baiknya penulis mengemukakannya di sini lebih
mendetail lagi.
Kalau salah satu pihak yang beperkara dibebani pem-
buktian, dan ternyata tidak mampu untuk membuktikan,
maka pihak itu akan dikalahkan karenanya. Inilah yang di-
maksudkan dengan risiko pembuktian.
Karena adanya risiko pembuktian inilah sebenarnya
sehingga masalah beban pembuktian sangat menentukan
jalannya peradilan. Hakim karenanya harus sangat berhati-
hati dalam melakukan pembagian beban pembuktian.
Sebagai contoh-contoh kasus imajinasi yang menampak-
kan risiko pembuktian ini, dapat penulis kemukakan sebagai
berikut:
a. Baik penggugat maupun tergugat sama-sama tidak
mampu mengajukan alat-alat bukti berupa alat bukti ter-
tulis, saksi. Karena itu pengugat meminta agar si tergugat
melakukan “Sumpah Delicior” atau sumpah pemutus.
Jika tergugat bersedia dan melakukan sumpah yang di-
mintakan oleh penggugat, maka sebagai risiko pembuk-
tiannya penggugat harus diputus oleh hakim sebagai pi-
hak yang kalah.
b. Jika si tergugat menolak untuk melakukan sumpah yang
dibebankan padanya itu, maka sebagai risiko pembuk-
tiannya adalah hakim harus menyatakan/memutuskan
tergugatlah sebagai pihak yang kalah.
c. Kalau tergugat mengembalikan sumpah itu kepada peng-
gugat, yaitu bahwa penggugatlah; sedangkan penggugat

Beberapa Permasalahan Beban Pembuktian 135


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
menolak pengembalian sumpah dari tergugat, maka se-
bagai risiko pembuktiannya hakim harus memutuskan
pihak penggugat yang kalah.
d. Adapun kalau penggugat menerima pengembalian sum-
pah tergugat, maka tergugatlah yang menjadi pihak yang
kalah.
Itulah sedikit gambaran tentang risiko pembuktian yang
mengikuti beban pembuktian.

B. Permasalahan dalam Yurisprudensi


Masalah beban pembuktian dianggap sebagai masalah
hukum, karenanya dipersoalkan di tingkat kasasi (Mahka-
mah Agung)
Banyak putusan kasasi dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang memeriksa masalah beban pembuktian itu, an-
tara lain beberapa di antaranya penulis kemukakan berikut ini.

1. Onsplitsbaar aveu
Dalam hal penggugat asli menuntut kepada tergugat asli
penyerahan sawah sengketa kepada penggugat asli, bersama
kedua anaknya atas alasan bahwa sawah tersebut adalah bu-
del warisan dari almarhum suaminya yang kini dipegang oleh
tergugat asli tanpa hak. Yang atas gugatan tersebut tergugat
asli menjawab bahwa sawah itu kira-kira lima belas tahun
yang lalu telah dibeli plas dari penggugat asli oleh almarhum
suami tergugat asli.
Jawaban tergugat asli tersebut merupakan suatu jawaban
yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbaar aveu), maka
sebenarnya penggugat aslilah yang harus dibebani untuk
membuktikan kebenaran dalilnya, i.c. bahwa tanah sawah
sengketa adalah milik almarhum suaminya.

136 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Mei 1958 Nomor 8
K/Sip/1957, dalam perkara Bok Ngali melawan Bok Maji Siti
Fatimah).

2. Membuktikan sesuatu yang tidak biasa


Pihak yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa harus
membuktikan hal yang tidak biasa itu, i.c. orang yang diberi
hak untuk memungut uang sewa pintu-pintu toko meng-
ajukan bahwa pintu toko tersebut tidak selalu menghasilkan
sewa.
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 21 November 1956 Nomor
162 K/Sip/1955, dalam perkara: Pr. Halijah binti Wan Abdoer-
rachman Albasi melawan para ahli waris dari Laisengh).

3. Isi surat diartikan dua macam


Apabila isi surat dapat diartikan dua macam, yaitu me-
nguntungkan dan merugikan bagi penanda tangan surat, pe-
nanda tangan surat ini patut dibebani untuk membuktikan
positumnya.
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 September 1957
Nomor 74 K/Sip/1955 dalam perkara M. Soleh Unding bin
Haji Abdullah lawan Herman Uzir bin Arsjat).

4. Kontrak jual beli


Dalam persengketaan jual beli, di mana pihak pembeli
mendalilkan bahwa ia belum menerima seluruh barang yang
dibelinya menurut kontrak, sedang pihak penjual memban-
tah dengan mengemukakan bahwa ia telah menyerahkan
seluruh barang yang diperjualbelikan, pihak pembeli harus
dibebani pembuktian mengenai adanya kontrak dan pem-
bayaran yang telah dilakukan, sedang pihak penjual me-

Beberapa Permasalahan Beban Pembuktian 137


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
ngenai barang-barang yang telah diserahkan.
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Desember 1957 No-
mor 197 K/Sip/1956, dalam perkara Saleh Bisjir melawan
N.V. Cultur Maats chappy “Bayabang”).

5. Cap dagang
Pihak yang mendalilkan bahwa cap dagang yang telah di-
datarkan oleh pihak lawan telah tiga tahun lamanya tidak di-
pakai harus membuktikan adanya non-usus selama tiga tahun
itu.
Dan tidaklah tepat bila dalam hal ini beban pembuktian
diserahkan kepada pihak lawan, yaitu untuk membuktikan
bahwa ia selama tiga tahun itu secara terus-menerus
menggunakan cap dagang termaksud.
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 Nomor
108 K/Sip/1954 dalam perkara Handelsvereniging Hermsen
Verwey & Dunlop N.V. melawan Sie Kian Bing).

6. Sengketa tanah perkarangan


Dalam hal penggugat mendalilkan ia menuntut penye-
rahan kembali tanah pekarangan tersengketa yang kini di-
duduki oleh tergugat, oleh karena pekarangan tersebut dahulu
hanya di pinjamkan saja oleh penggugat kepada tergugat.
Adapun tergugat membantah dengan dalil bahwa peka-
rangan tersebut dahulu benar milik penggugat, tetapi peka-
rangan itu telah dibelinya lepas dari penggugat; pembebanan
pembuktian haruslah sebagai berikut:
1. penggugat diberi kesempatan untuk membuktikan hal
peminjaman tanah tersebut kepada tergugat; dan
2. kepada tergugat diberi kesempatan untuk membuktikan
tentang pembelian lepas tanah tersebut.

138 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 Nomor 94
/K/Sip 1956 dalam perkara Sani ban melawan Bok Karsija).

7. Terguggat asal menyangkal


Karena tergugat asal menyangkal, penggugat asal harus
membuktikan dalilnya; alasan pengadilan tinggi untuk mem-
bebankan pembuktian pada penggugat asal karena tergugat
asal menguasai sawah sengketa bukan karena pembuatan
melawan hukum; tidak berdasarkan hukum.
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 September 1975 No-
mor 540 K/Sip/1972 dalam perkara Lai Masina melawan
Lomo Dea dan Tori’buta).

8. Tentang Pasal 176 HIR


Perkembangan Yurisprudensi mengenai Pasal 176 HIR
(pengakuan yang terpisah) ialah bahwa dalam hal ada peng-
akuan yang terpisah-pisah hakim bebas menentukan pada
siapa harus dibebankan kewajiban pembuktian.
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 November 1975 No-
mor 272 K/Sip/1973, dalam perkara Sjarifudin Gafar al. Pak
Ekut Sepik melawan Haji Abdul Hamid & Haji Achmad M.)

9. Juga tentang Pasal 175 HIR


Penggunaan Pasal 176 HIR ada baiknya dalam praktik
peradilan terutama dalam hal-hal tergugat adalah pihak yang
ekonomis lemah.
Sebaliknya, di dalam hal lain-lainnya sebaiknya harus
diberi kesempatan kepada hakim untuk di dalam tiap-tiap
perkara tersendiri mempertimbangkan, pihak manakah
yang layak dapat dilindungi, sehingga lawannyalah yang ha-
rus dibebani pembuktian.

Beberapa Permasalahan Beban Pembuktian 139


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Agustus 1958 Nomor
134 K/Sip/1958, dalam perkara A.8. Papilaya melawan Lie
Boen Ong).

140 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Kesebelas
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM
TERHADAP BEBAN PEMBUKTIAN

Melius est accipere quamfacere injuriam


“Lebih baik mengalami ketidak-adilan daripada
melakukan ketidak-adilan.”

A. Sedikit tentang Kegunaan Sosiologi Hukum


Sosiologi hukum bukan cabang ilmu hukum yang berdiri
sendiri, melainkan hanya salah satu cara untuk mempelajari
hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. R.M. Su-
dikno Mertokusumo, S.H.,1 bahwa hukum dapat ditinjau dari
tiga cara yang ketiga-tiganya dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah masing-masing:
1. Menanyakan tentang lahirnya/jadinya lembaga-lembaga
hukum dan pandangan-pandangan hukum, yang disebut
juga mengarangkan lahirnya hukum secara kausal ge-
netis. Metode ini melihat hukum sebagai perilaku serta
pertimbangan-pertimbangan manusia yang hendak me-
nerangkan kenyataan yang phisis-psychis secara historis
sosiologis, dihubungkan dengan gejala-gejala lain. Ini
adalah metode sejarah hukum-hukum sosiologi hukum.
2. Menanyakan apa hukum itu (bukan bagaimana menjadi
hukum) dan sekaligus menjawab pertanyaan apa yang

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
sah, apa yang dalam keadaan konkret tertentu harus
terjadi menurut hukum. Metode ini disebut metode yu-
ridis yang melihat peraturan hukum yang berlaku se-
bagai satu kesatuan yang dapat diterangkan dari dirinya
sendiri, menerangkan secara logis sistematis.
3. Menerangkan bagaimanakah (apakah) hukum itu seha-
rusnya? Mencari ukuran untuk menilai hukum. Mena-
nyakan tentang keadilan. Ini merupakan metode ilsafat
hukum yang menilai hukum.
Sosiologi hukum adalah sangat berguna bagi kalangan
hukm, yaitu kaum profesi hukum. Yang penulis maksudkan
sebagai kaum profesi hukum adalah para sarjana hukum;
yang profesinya di bidang:
a. Pendidikan hukum: Dosen Fakultas Hukum.
b. Pembinaan hukum: antara lain yang aktif di BPHN.
c. Perancangan hukum: ahli hukum yang duduk dalam
lembaga legislatif.
d. Pelaksanaan hukum: jaksa, hakim, pengacara, dan lain-
lainnya.
Di sini perlu penulis tegaskan bahwa pengertian profesi
itu tidak sesederhana yang sering digunakan orang awam,
yang sering mengindentikkan “profesi” dengan “pekerjaan”.
Bandingkan pendapat penulis dalam harian Pedoman Rakyat
1982.2
Pengertian profesi menurut Dietrich Rueschemeyer3
adalah:
“he professions are conceived of as service occupations that:
(1) apply a systematics body of knowledge to problems which;
(2) are highly relevant to central value of the society.”

142 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Jadi, profesi itu adalah lebih sempit dari pengertian pekerjaan.
Sebab profesi adalah pekerjaan harus merupakan penerap-
an suatu ilmu untuk pemecahan problem dan harus sangat
relevan dengan nilai-nilai sentral dari suatu masyarakat.
Karena itu, Districh Rueschemeyer mengatakan lagi:4
“heir high degree of learned competence creates special problems of
social control, laymen cannot judge the professional performance; in
many cases they cannot evenset the concrets goals for the professional’s
work ....”

Penulis sependapat dengan apa yang dikemukakan


Rueschemeyer di atas, karena dalam kenyataannya memang
pekerjaan profesional itu sulit untuk dinilai oleh masyarakat
awam. Katakanlah, suatu putusan pengadilan dengan bahasa
profesi khas hukum akan membingungkan bagi orang awam
yang membacanya.
Sama saja dengan pengertian profesi yang dikemukakan
oleh H. P. Fairchild5 bahwa yang dimaksudkan dengan profesi
itu adalah kegiatan-kegiatan yang mempunyai khas:
“... A high degree of technical skill, entailing specialized preparation
generally at recognized instituions of learning, oicial regulation and
licensure, a stong feeling of class honour and solidarity, manifested
ini vocational associations to secure a monopoly of the service, and
in codes of ethics enjoining the responsibility of the profession to the
collective it serves.”

Kegunaan sosiologi hukum bagi kaum profesi hukum


antara lain adalah:
1. bagaimana memahami hukum dengan mengaitkannya de-
ngan konteks kemasyarakatan, dengan kenyataan sosial;
2. menganalisis sejauh mana efektivitas hukum di dalam
masyarakat, baik sebagai alat “sosial kontrol” maupun
sebagai “social engineering”;

Tinjauan Sosiologi Hukum ... 143


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
3. mengkonkretkan kaidah hukum dan pengertian hukum
yang belum jelas atau kurang pasti;
4. secara tidak langsung dapat menjadi bahan bagi pem-
bentukan hukum yang merupakan hukum yang hidup
(living law) oleh hakim di dalam putusannya;
5. dan sebagainya.
Masih banyak lagi kegunaan sosiologi hukum ini, tetapi
yang penulis cantumkan di atas yang erat kaitannya dengan
dunia hukum acara saja, khususnya bagi hakim.
Mengapa harus dengan sosiologi hukum, mengapa tidak
dengan ilmu hukum dogmatis saja?
Hal ini karena sesuai apa yang dikemukakan oleh Harold
Laski,6 bahwa:
“he supreme problem for the jurists of this epoch is the need to
awaken to the responsibilities of the issues they confront. For only a
realistic awareness of what that issue fully implies can save us from
the grim regours of a new dark age.”

George Gurvitch7 membagi sosiologi hukum itu atas tiga


macam:
1. Sosiologi hukum sistematis.
2. Sosiologi hukum diferensial.
3. Sosiologi hukum genetis.
Dua lainnya tidak akan kita persoalkan di sini, tetapi
hanya “Sosiologi Hukum Sistematis” atau yang disebut juga
“Mikrososiologi Hukum” yaitu yang objek pembahasannya
antara lain: lembaga-lembaga hukum, termasuk tugas hakim
di Pengadilan.

144 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
B. Tugas Hakim dalam Kacamata Sosiologi Hukum
Pada bagian-bagian terdahulu, penulis telah mengemu-
kakan tugas-tugas hakim secara optik ilmu dogmatik hukum
atau menurut teori ilmu hukum, yang didasarkan pada bunyi
perundang-undangan dalam arti luas. Misalnya, menurut
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14
Tahun 1970).
Tetapi, optik sosiologi hukum tidak ingin melihat bagai-
mana tugas hakim di dalam undang-undang atau apa yang
tertulis, tetapi bagaimana tugas hakim di dalam kenyataannya.
Sebab, pandangan sosiologi hukum adalah seperti yang
dikemukakan oleh tokoh Eugen Echrlich8 bahwa:
“he centre of gravity of legal developmentlies not in legislation, no
in juristic science not in judicial decision but in society it self”.

Menurut Dr. Soerjono Sukanto, S.H., M.A.,9 di dalam


ilmu hukum sebenarnya dikenal paling sedikit ilmu hukum
tiga pendekatan terhadap keputusan pengadilan, yaitu:
1. Approach tradisional.
2. Approach konvensional.
3. Approach behavioral.

Kadang-kadang dipecah menjadi dua saja:


1. Yang tradisional.
2. Yang modern.

Dengan yang tradisional dimaksudkan sebagai pende-


katan aliran “analytical jurisprudence” dari John Austin.
Adapun pendekatan yang modern adalah aliran-aliran Sosio­
logical Jurisprudence dan Realistic Jurisprudence, yang ber-
kembang di USA.

Tinjauan Sosiologi Hukum ... 145


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Seberapa pandangan sosiologis tentang tugas hakim,
antara lain adalah:
1. Tugas hakim adalah sebagai policy makers. Dalam hu-
bungannya sebagai policy makers hakim tidak hanya
bertugas untuk menemukan dan menerapkan hukum,
tetapi juga untuk membentuk hukum. Dasar pandangan
ini adalah bahwa hukum adalah bagian dari sistem sosial,
sehingga kalau hakim semata-mata hanya menemukan
hukum, tidak akan ada political jurisprudence, oleh
karena pusat perhatian politik adalah kekuasaan dan ke-
kuasaan berarti memilih.
2. Tugas hakim adalah mengkonkretkan aturan hukum
dengan kombinasi cara berpikir hakim itu sendiri, serta
faktor-faktor sosial lainnya yang membentuk pribadi
hakim itu selaku seorang warga masyarakat. Dalam hal
ini, walaupun dikatakan bahwa tugas hakim di dalam
jabatannya selaku hakim harus dipisahkan secara tugas
dari faktor pribadi hakim, tetap saja di dalam kenya-
taannya adalah sangat sulit memisahkan antara faktor
pribadi hakim dengan tugas jabatannya. Pandangan
ini bertitik tolak bahwa hakim sebagai manusia adalah
makhluk sosial yang mustahil bisa dilepaskan bagai ro-
ket yang terlepas dari induknya.
Sehubungan dengan pandangan kedua di atas, maka
para ahli sosiologi hukum sependapat bahwa faktor sosial
yang turut memengaruhi hakim di dalam memeriksa dan
menjatuhkan putusan-putusannya adalah antara lain:
a. faktor etnis si hakim itu sendiri;
b. faktor etnis dari nyanyanya;
c. faktor latar belakang pendidikan dari hakim itu;

146 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
d. Faktor kondisi ekonomisnya (gaji serta penghasilan lain-
nya);
e. faktor keyakinan agamanya;
f. faktor latar belakang status sosial keluarga/orang tua si
hakim;
g. dan sebagainya.
Penulis tentu saja tidak akan membahas secara luas satu
persatu faktor-faktor di atas, tetapi sebagai contoh hanya akan
mengemukakan tiga contoh konkret yang terjadi dalam fakta:
1. Berdasarkan hasil penelitian seorang sosiolog di Ameri-
ka Serikat, diperoleh data bahwa hakim yang berasal dari
keluarga kaya pada umumnya cenderung “memihak”
pada pihak yang juga berasal dari keluarga kaya di dalam
perkara perdata. Dikatakan pada umumnya kalau data
membuktikan lebih dari 50% hakim-hakim yang men-
jadi sampelnya terbukti demikian.
2. Menurut seorang ahli sosiologi hukum kita di Indonesi,
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.,10 seorang hakim ke-
nalannya (penulis sengaja tidak mencantumkan na-
manya) terkenal sangat jujur dalam menjalankan tu-
gas-tugasnya sebagai hakim, kejujurannya itu akibat
pengaruh “keimanannya” yang kuat dari hakim itu akan
kepercayaan agama yang dianutnya, sehingga cara ber-
pikir yang dibentuk oleh ajaran agamanya membuat pu-
tusan-putusannya senantiasa objektif.
Masih sehubungan dengan tugas hakim ini, ada suatu
pendapat yang menarik dari Lawrence Friedman11 yang telah
mencoba untuk menarik garis persamaan antara pengadilan
dengan suatu depertement store (Toserba). Menurut Prof.
Friedman, pengelolaan kedua badan itu akan tampak dalam

Tinjauan Sosiologi Hukum ... 147


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
bentuk reaksi yang hampir sama pada waktu keduanya
menghadapi kenaikan dalam jumlah persoalan yang datang
kepada mereka. Lembaga pengadilan pada waktu menghadapi
kenaikan dalam jumlah perkara masuk, sedangkan Toserba
pada waktu menghadapi kenaikan dalam jumlah (volume)
kegiatan bisnisnya. Kenaikan dalam jumlah kegiatan tersebut
tidak serta merta menimbulkan kesulitan. Bahkan ampai
pada satu tingkat tertentu, kenaikan itu bagi Toserba yang
bersangkutan merupakan suatu pahala. Dengan demikian,
sejumlah pekerja akan memperoleh tempat, cabang-cabang
dibuka dan penambahan-penambahan akan ditambah, maka
langganan akan mengalami perlakuan atau pelayanan yang
kurang menyenangkan. Tempat menjadi berjubel, pelayan
merosot, tempat parkir sulit, dan sebagainya.
Selanjutnya, oleh Profesor Friedman dikatakan12 bahwa
kedudukan pengadilan di Amerika Serikat adalah sama dengan
toserba yang menghadapi kenaikan dalam jumlah bisnisnya,
tetapi tidak mampu memperluas fasilitas dan stafnya. Dika-
takan bahwa respons yang diberikan oleh lambaga-lembaga
pengadilan di situ terhadap tuntutan-tuntutan baru adalah
bagaikan rayapan seekor kura-kura, artinya lamban sekali.
Hal ini disebabkan oleh karena penguasaan atas urusan ke-
pegawaian tidak ada di tangan lembaga itu sendiri. Pasaran
kerja relatif tetap; pengadilan-pengadilan tidak mungkin
membuka cabang-cabang atas kemauan sendiri oleh karena
terikat oleh birokrasi dengan prosedurnya yang sering ber-
belit-belit. Dan lain-lain persoalannya yang semacamnya.

C. Beban Pembuktian dari Optik Sosiologi Hukum


Hakim yang membebani para pihak dengan pembuktian,

148 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
dan hakim adalah seorang manusia, makhluk sosial, warga
masyarakat.
Penggugat dan tergugat adalah yang dapat dibebani
dengan pembuktian, dan baik tergugat maupun penggugat
kedua adalah manusia biasa yang juga adalah “zoon politican”
atau makhluk sosial.
Memang sudah ada Pasal 163 HIR sebagai asas beban
pembuktian, tetapi jika salah satu pihak menggunakan faktor-
faktor X untuk memengaruhi perasaan subjektivitas hakim
yang juga adalah manusia biasa, maka hakim dapat memain-
kan beban pembuktian ini untuk keuntungan salah satu pihak.
Hal-hal yang menyangkut beban pembuktian, yang da-
pat dimainkan oleh seorang hakim yang sudah a’priori cukup
banyak, mengingat betapa abstraknya asas umum beban
pembuktian yang terdapat dalam Pasal 163 HIR.
Suatu keuntungan untuk menutupi kelemahan undang-
undang ini adalah karena masalah pembagian pembuktian
dianggap sebagai masalah yuridis yang dapat dikasasi ke
Mahkamah Agung, sehingga meskipun pengadilan negeri
atau pengadilan tinggi salah menerapkan pembagian beban
pembuktian, entah kesalahan itu dikarenakan ketidaktahuan
ataupun kesalahan yang diakibatkan faktor-faktor subjek-
tivitas, maka pada tingkat kasasi kesalahan tersebut dapat
dipulihkan kembali.
Karena itu, sepatutnyalah Mahkamah Agung lebih ba-
nyak memberikan aturan-aturan konkret melalui putusan
kasasinya dalam hal beban pembuktian ini.
Adanya asas yang berdasarkan yurisprudensi, bahwa pi-
hak yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit
dirugikan jika harus membuktikan, belum menjamin terlak-
sananya pembagian beban pembuktian secara adil dan patut;

Tinjauan Sosiologi Hukum ... 149


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
karena biasa saja disalahtafsirkan oleh beberapa oknum hakim.
Bagaimana upaya untuk mencegah adanya penyalah-
gunaan wewenang (onrechtmatige overheidsdaad) dari ok-
num hakim dalam hal membagi beban pembuktian ini?
Apakah cukup dengan sanksi-sanksi melalui perundang-un-
dangan saja?
Faul Bohannan,13 seorang ahli antropologi, pernah me-
ngatakan bahwa: “Hukum adalah cara yang ditempuh oleh
masyarakat untuk mengobati dan mempertahankan dirinya.”
Dengan demikian, untuk mencegah masalah yang tim-
bul di dalam ruang lingkup pengadilan (termasuk oknum
hakimnya) tidaklah cukup hanya dengan penanganan dari
segi hukum saja.
Yang penting diperhatikan adalah banyak faktor, misalnya:
a. bagaimana meningkatkan penghasilan resmi para ha-
kim, sehingga keadaan ekonomis rumah tangganya
cukup; sehingga merupakan rem untuk “mencari tam-
bahan penghasilan” dengan cara melanggar hukum atau
de tournament de pouvoir;
b. bagaimana meningkatkan pengetahuan hukum para ha-
kim (terutama hakim junior) dengan melengkapi kantor/
ruang para hakim di pengadilan dengan perpustakaan
yang memadai;
c. bagaimana meningkatkan minat membaca para hakim
kita;
d. dan sebagainya.
(Secara lebih jelas, baca artikel penulis tentang Aspek So-
silogis Hakim.14

150 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Endnote:
1. Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H., dikutip oleh Achmad
Ali, dalam “Beberapa Permasalahan Mengenai Alat Bukti Tertulis,
serta Peranan dan Perkembangannya dalam Hukum Acara Perdata”.
(Sebuah Makalah) dalam program Pendidikan Pascasarjana UGM
Yogyakarta, 1982, hlm. 6.
2. Achmad Ali, “.... termuat dalam harian Pedoman Rakyat tgl ...
1982, Ujungpandang.
3. Districh Rueschemeyer. “Lawyers and Docters: A Comparison
of Two Professions”, termuat dalam “Sociology of Law”. (Selected
Readings), Edited by Vilhelm Aubert, Penguin Books, Baltimore,
Maryland, 1969, hlm. 200.
4. Ibid.
5. M.P. Fairchild. “Dictionary of Sociology and Related Scineces”.
Ames, Iowa: Littleield, Adam & Co. 1959, hlm. 235.
6. Laski, N. J. “A Grammar of Politics”. Fith Editons, Londong: Steven
& Sons, 1966, hlm. XXVII.
7. George Gurvitch. “Sosiologi Hukum” (terjemahan Sumantri
Mertodipura). Bharatara, Jakarta, 1961, hlm. 233-240.
8. Eugen Echrlich, dikutip oleh Achmad Ali dalam artikel, “Aspek­
aspek Sosiologis dari Putusan Hakim”, termuat dalam harian
Pedoman Rakyat, tanggal 22 Maret 1982.
9. Dr. Soerjono Sukanto, S.H., dalam kuliah sosiologi hukum bagi
peserta pendidikan Pascasarjana Hukum UGM Yogyakarta 1981
yang diikuti oleh penulis antara lain.
10. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., kuliah sosiologi hukum bagi
peserta pendidikan Pascasarjana Hukum UGM Yogyakarta 1981
yang diikuti oleh penulis antara lain.
11. Lawrence Friedman, dikutip dari Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,
S.H. Hukum Masyarakat dan Pembangunan”. Penerbit Alumni,
Bandung, 1976, hlm. 88-89.
12. Ibid.
13. Paul Bohannan, dikutip dari Achmad Ali. “Peranan Sarjana Hu­
kum dalam Era Pembangunan”. Harian Pedoman Rakyat, tanggal
23 Februari 1981.
14. Achmad Ali, “Aspek­aspek Sosiologis dari Putusan Hakim”. Harian
Pedomana Rakyat, tanggal 22 Maret 1982.

Tinjauan Sosiologi Hukum ... 151


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Kedua Belas


PERJANJIAN PEMBUKTIAN

A. Pengertian Perjanjian Pembuktian


Perjanjian pembuktian (Bewijsovereenkomst) adalah
perjanjian antara dua pihak yang menentukan aturan pem-
buktian yang bagaimanakah yang akan dilakukan dalam
prosedur tertentu.
Jadi, perjanjian pembuktian ini merupakan kekecualian
dari ketentuan umum mengenai pembuktian yang berlaku
dalam hukum acara perdata.
Perjanjian pembuktian ini adalah perjanjian yang diada-
kan oleh kedua pihak yang mengadakan hubungan keper-
dataan, yang dilakukan sebelum terjadinya persengketaan.

B. Isi Perjanjian Pembuktian


Isi dari suatu perjanjian pembuktian itu ada tiga:
1. Untuk menyampingkan alat-alat tertentu.
2. Justru untuk mengizinkan alat-alat bukti tertentu yang
dalam keadaan normal tidak digunakan.
3. Mengatur kekuatan pembuktiannya.
Jadi, perjanjian pembuktian ini dapat mengambil atur-
an-aturan di luar BW; tetapi dapat juga sepakat untuk meng-

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
gunakan aturan-aturan tertentu di dalam BW, misalnya me-
reka mengadakan perjanjian bahwa satu saksi saja sudah
cukup; jadi bertentangan dengan asas-asas umum kesaksian,
Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukan saksi).
Perjanjian pembuktian ini bisa juga bahwa mereka meng-
adakan perjanjian bahwa jika kelak timbul perselisihan antara
mereka berdua, maka satu-satunya alat bukti tertulis misal-
nya, sedang pembuktian dengan saksi tidak dibolehkan.

C. Hal-hal yang Terlarang untuk Diperjanjikan


Sekalipun hukum kita di Indonesia membolehkan orang
mengadakan perjanjian pembuktian ini, tetapi tetap ada
batasan atau larangan hal-hal apa yang dilarang untuk di-
perjanjikan.
Hal-hal yang terlarang untuk diperjanjikan dalam per-
janjian pembuktian ini adalah:
1. Membolehkan para pihak menggunakan bukti-bukti
lain di mana undang-undang dengan tegas telah mene-
tapkan suatu alat bukti sebagai satu-satunya yang ber-
laku, misalnya apa yang ditetapkan dalam Pasal 180
BW bahwa dalam hal tidak adanya persatuan harta
kekayaan dalam perkawinan, maka masuknya barang-
barang tidak dapat dibuktikan dengan cara lain hanya
dengan mencantumkannya dalam perjanjian kawin,
atau dengan surat pertelahan yang ditandatangani oleh
notaris dan para pihak yang bersangkutan, surat mana
harus dilekatkan pula pada surat asli perjanjian kawin.
Dalam hal di atas, kedua pihak tidak boleh membuat
perjanjian pembuktian bahwa satu-satunya alat bukti
yang digunakan adalah saksi misalnya, karena berten-
tangan dengan Pasal 150 BW tadi.

154 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
2. Meniadakan kemungkinan-kemungkinan pembuktian
lawan di mana undang-undang secara tegas menjamin
adanya hak mengadakan pembuktian lawan itu, misalnya
yang ditetapkan di dalam Pasal 274 ayat 2 KUH Dagang
yang menegaskan bahwa si penanggung (perusahaan asu-
ransi) selaku berhak untuk membuktikan di muka hakim
bahwa harga yang disebutkan dalam polis terlalu tinggi.
3. Mengadakan perjanjian yang bermaksud menutup sama
sekali kemungkinan pembuktian lawan (tegenbewijs). Per-
janjian semacam ini dianggap sebagai melanggar ketertiban
umum dan kesusilaan, karena berarti menyerahkan suatu
pihak kepada kesewenang-wenangan pihak lawannya.

D. Kaitan Perjanjian Pembuktian dengan


Alat Bukti Tulisan
Perjanjian pembuktian ini sangat erat kaitannya dengan
“alat bukti tertulis”, karena hampir semua perjanjian pem-
buktian cenderung memperjanjikan bahwa satu-satunya alat
bukti yang boleh digunakan adalah alat bukti tertulis.
Jadi, dengan diperbolehkannya para pihak mengadakan
perjanjian pembuktian, juga merupakan salah satu faktor
yang lebih memperbesar peranan alat bukti tertulis.

E. Hal-hal Lain Mengenai Perjanjian Pembuktian


Suatu hal yang penting diketahui adalah bahwa perjan-
jian pembuktian ini berbeda dengan suatu jenis perjanjian
lain, di mana diperjanjikan bahwa sesuatu unsur dari perjan-
jian itu akan ditetapkan dengan suatu cara tertentu. Misalnya,
banyak terdapat dalam perjanjian asuransi, bahwa besarnya
kerugian harus ditetapkan oleh beberapa ahli.

Perjanjian Pembuktian 155


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Perjanjian semacam ini tidak mengenai pembuktian,
tetapi mengatur mengenai cara menetapkan sesuatu. KUH
Perdata (BW) sendiri membolehkan bahwa perjanjian jual
beli harga dapat diserahkan kepada perkiraan seorang pihak
ketiga (Pasal 1465 BW).
Di dalam perjanjian pembuktian dibolehkan untuk
memperjanjikan, bahwa suatu alat bukti bebas dalam per-
janjian bagi kedua belah pihak merupakan suatu alat bukti
yang mengikat antara kedua pihak, misalnya antara penjual
dan pembeli diperjanjikan bahwa surat timbang, yaitu surat
yang dibuat oleh seorang pihak ketiga, dan karena itu me-
nurut hukum pembuktian hanya mempunyai kekuatan pem-
buktian mengikat tentang diserahkannya sejumlah barang
kepada pihak pembeli.

156 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

DAFTAR LITERATUR LANGSUNG


(Yang Terdapat dalam Kutipan)

1. Achmad Ali. Bahan Pembuktian dalam Proses Perdata.


Skripsi, Ujungpandang, 1980.
2. —————. Peranan Pengadilan dalam Sistem Kodii­
kasi. (Makalah), Pendidikan Pascasarjana UGM., Yog-
yakarta, 1981.
3. —————. Beberapa Permasalahan Mengenai Alat
Bukti Tertulis, serta Peranan dan Perkembanganya da­
lam Hukum Acara Perdata. (Makalah), Pendidikan Pas-
casarjana, UGM. Yogyakarta, 1982.
4. —————. Peranan Sarjana Hukum dalam Era
Pembangunan. (Artikel), termuat dalam Pedoman Rak­
yat, Ujungpandang, tanggal 23 Februari 1981.
5. —————. Aspek­aspek Sosiologis dari Putusan Hakim.
(Artikel), termuat dalam harian Pedoman Rakyat, Ujung-
pandang, tanggal 22 Maret 1982.
6. Asser-Anema-Verdam. Mr. C. Asser’s Handleiding tot de
beoefening van hat Nederland Burgelijk Recht. Vijfde –
Deel: Van Bewijs, N.V. Witgevers Maat schappij, W.E.J.
Tjeenk Uillink, Zwolle 1953.
7. Asser-Scolten-Viarda. Mr. C. Asser’s Hanleiding tot de
beoefening van het Nederland Bugerlijk Recht, Earste Deel
Earste Stuk: Familia recht, N, V. Witgevers Mastschappij

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
N.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1947.
8. Burrows, Sir Roland. Phipson on the Law of Evidence.
Ninth Edition, London, Sweet & Maxwell Limited, 1952.
9. Busmann, Mr. C.U. Star: Hoofdstukken van Burgerlijke
Rechtsvordering, Haarlem, De erven F. Bohn N.V.,
1948.
10. Baker, Ernest. Principles of Social and Political heory.
1963.
11. Cleary, Edward W. McCormick’s Handbook of the Law of
Evidence. St. Paul Minn, West Publishing Co. 1972.
12. Cardozo LLD, Benyamin N. he Nature of Judicial
Process. New Haven, Yale University Press.
13. Dorman, Peter J. Dictionary of Law. Running Press,
Philadelphia, Pennsylvania, USA, 1976.
14. Drion, Prof. Mr. H. Bewijzen in hetrecht. R.M. hemis
1966 af1. 5/6.
15. Diamond, A.S.. Primitive Law. Second Editions, Ch. xxx.
16. Enschede, Prof. Mr. Ch. J. Bewijzen in het strafrecht. R.M.
hemis 1966 af1. 5/6.
17. Fairchild, H.P. Dictionary of Sociology and Related
Scineces. Ames, Iowa: Littleield, Adam & Co. 1959.
18. Gurvitch, George. Sosiologi Hukum. (Terjemahan
Sumantri Mertodipura), Bharatara, Jakarta, 1961.
19. Gillers, Stephen. An American Civil Liberties Union
Handbook: he Rights of Lawyers and Clients. A Discus
Book, Published by A von Books, USA, 1979.
20. Jacobs, Milton C. Civil Trial Evidence, Second Edition,
New York, 1949.
21. Laski, N.J. A Grammar of Politics. Fith Editions, London,
Steven & Sons, 1966.

158 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
22. Mayers, Lewis. he Machinery of Justice; An Introduction
to Legal Structure and Process. Foundations of law in a
business Socies, Series, Prentice Hall Inc. Englewood
Clifs, New Jersey, 1963.
23. Paton, G. W. A Text Book of Jurisprudence. Oxford, at the
clarendon Press, 1964.
24. Pound, Roesco. Perspective of Law. Essay for Austin
Wakeman Scott, Little Brown and Company, Boston,
Toronto, USA, 1964.
25. Pound, Roesco. An Introduction to the Philosophy of Law.
New Haven, Yale, University Press, 1959.
26. Pitlo, Prof. Mr. A. Pembuktian dan Daluwarsa.
(Terjemahan), PT Intermassa, Jakarta, 1976.
27. Sunarjati Hartono, Dr.S.H. Kapita Selekta Perbandingan
Hukum. Penerbit Alumni, Bandung, 1976.
28. Sudikno Metokusumo Prof. Dr., S.H. Hukum Acara
Perdata Indonesia. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981.
29. Sudikno Metokusumo Prof. Dr., S.H. Beberapa Asas
Pembuktian Perdata dan Penerapannya dalam Praktik.
Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1980.
30. Supomo, Prof. Dr. R. S.H. Hukum Acara Perdata Peng­
adilan Negeri. Penerbit Fasco, Jakarta, 1958.
31. Subekti, Prof. Dr. R. S.H. Hukum Pembuktian. Penerbit
Pradyaparamita, Jakarta, 1978.
32. Sukardono, Prof. R. S.H. Penggunaan Upaya­upaya
Pembuktian dalam Prosedur Perdata. Majalah Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional, 1971 No. 12.
33. Bhklar, Judith. Legalism. Cambridge, Harvard University
Press, 1964.
34. Stein, Mr. P.A. “Compendium van het–Burgelijk Pro­

Daftar Literatur Langsung 159


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
cesrecht”, Kluwer, Deventer, 1973.
35. Soejono Sukanto, Dr. S.H. Kegunaan Sosiologi Hukum
bagi Kalangan Hukum. Penerbit Alumni, Bandung, 1979.
36. Satjipto Rahardjo, Prof. Dr. S.H. Hukum Mayarakat dan
Pembangunan. Penerbit Alumni, Bandung, 1976.
37. Hemphill & Hemphill. he Dictionary of Practical Law.
Prentice Hall, Inc. Englewood Clifs.
38. hesing, Mr. H. De Grondslogan van de Bewijslast in de
Civila Procedure”. S’Gravenhage, 1961.
39. hayer, James Bradley. Preliminary Treatise on Evidence,
1898.
40. Wirjono Prodjodikoro, hayer, Prof. Dr. R. S.H. Hukum
Acara Perdata Indonesia. Penerbit Sumur Bandung, 1980.
41. Wiersma, Prof. Mr. H. Bewijzen in het Burgelijk Geding,
R.M. hemis, 1966.
42. Wise. B. R. Cutlines of Jurisprudence. 1959.
43. ——————. Compendium Hukum Belanda.
44. ——————. Journal of Forensic Science. Vol. 9. No. 4.
45. ——————. Undang­Undang Pokok Kekuasaan Keha­
kiman.
46. Subekti, Prof. R., S.H. Kitab Undang­Undang Hukum
Perdata (BW). Penerbit Pradnyaparamita, Jakarta, 1978.
47. Subekti, Prof. R., S.H. Kitab Undang­Undang Dagang dan
Undang­Undang Kepailitan. Penerbit Pradnyaparamita,
Jakarta, 1973.
48. Chidir Ali. Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Pem­
buktian. Jilid 1, Binacipta, 1981.
49. ——————. Idem, Jilid 2.
50. Retnosupartinah & Kunthoro Basuki. Kumpulan Un­

160 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
dang­undang dan Peraturan­peraturan Pemerintah yang
Berhubungan dengan Masalah Peradilan. Penerbit Seksi
Peradilan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1980.
51. Tresna, Mr. R. Komentar HIR. Penerbit Pradnyaparamita,
Jakarta, 1975.
52. Wantjik Saleh, K. S.H. Intisari Yurisprudensi Pidana dan
Perdata. PT Ichtiar Baru, Jakarta, 1973.

Daftar Literatur Langsung 161


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
DAFTAR LITERATUR
TIDAK LANGSUNG
(Daftar Literatur yang Merupakan
Bahan Bacaan dalam Menyusun Buku Ini,
Tetapi Tidak Terdapat dalam Kutipan)

1. Apeldoorn, Prof. Mr. L.J, Van. Pengantar Ilmu Hukum.


(Terjemahan Utarid Sandino). Penerbit Nooedhof Kolf
N.V., Jakarta 1957.
2. Achmad Sanusi, Prof. Dr. S.H. Pengantar Ilmu Hukum dan
Pengantar Tata Hukum Indonesia. Tarsito, Bandung, 1977.
3. Adnan Buyung Nasution. Bantuan Hukum di Indonesia.
Penerbit LP3ES,Jakarta, 1981.
4. Amin, S.M. Hukum Acara Pengadilan Negeri. Penerbit
Pradnyaparamita, Jakarta, 1976.
5. —————. Bertamasya Ke Alam Hukum. Penerbit
Fasco, Jakarta, 1954.
6. A.T Hamid. Cara­cara Beperkara dan Praktik Pengadilan.
Penerbit Dana Kesejahteraan Pegawai Pengadilan Negeri
Ujungpandang,1980.
7. Clad.J.C. Beberapa catatan tentang pengalaman Selandia
Baru dalam pelayanan hukum kepada mereka yang eko-
nominya lemah. Termuat dalam majalah hukum dan
keadilan, No. 14, 1980.
8. Hapsoro, Prof. B. R. M. S.H., “Sistem Peradilan di
Kraton-Kraton Jawa Tengah,” termasuk dalam majalah
Sangkakala Peradilan, No. 5, 1972.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
9. Hermin Hadati Koeswadji. Beberapa Permasalahan
Hukum dan Pembangunan Hukum, dan Pendidikan
Hukum, Hukum dan Bantuan Hukum. Penerbit PT Bina
Ilmu, Surabaya, 1980.
10. Kusumandi Pudjosewojo. Pedoman Pelajaran Tata Hu­
kun Indonesia. Penerbitan Aksara Baru Jakarta, 1976.
11. Karjadi, M. Peradilan di Indonesia. Penerbit Politeia
Bogor, 1975.
12. Katz, June. Masalah Bantuan Hukum bagi orang miskin
di Amerika Serikat. Termasuk dalam majalah hukum
dan keadilan, No. 5/5 Tahun 1973.
13. Ko Tjay Sing, Prof. Rahasia Pekerjaan Doktor dan
Advokat. Penerbit Gramedia, Jakarta,1978.
14. Lev, Daniel,S., Bushlayer (Pokrol Bambu)in Indonesia.
termuat dalam majalah hukum dan keadilan, No. 5
tahun 1973.
15. Lintoong Oloan Siahaan. Jalanan Peradilan Perancis Le­
bih Cepat dari Peradilan Kita. Penerbit Ghalia, Indonesia,
1981.
16. Moraland, Caroll C. Equal Justice Under Law, Oceana
Publications, Inc. New York, 1957.
17. ———————. Jurimetrie. Ars Aequi, Beutler Publicite,
Amsterdam.
18. ———————. Susunan pengadilan dalam Negara
Republik Indonesia. Pustaka Rakyat N.V. Jakarta, 1952.
19. Rubini S.H dan Chidir Ali S.H. Pengantar Hukum Acara
Perdata. Penerbit Alumni, Bandung, 1952.
20. Ruslan Salah, Prof., Jurimetrie, Suatu Cara Berpikir dan
Berbuat dalam Hukum. Penerbit Aksara Baru, Jakarta,
1979.

164 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
21. Surrency, Erwin C. A Guide to Legal Research. Supplement
ed. Edition, Oceana Publication Inc Dobbs Ferry, New
York, 1966.
22. Subekti, Prof. R. S. H. Praktik Hukum. Penerbit Alumni,
Bandung 1974.
23. Subekti, Prof. R. S.H. Hukum Acara Perdata. Penerbit
Binacipta, 1977.
24. Soerjono Sukanto, Dr, S.H, MA dan Purnadi. Perundang­
undangan dan Yurisprudensi. Penerbit Alumni, Bandung,
1972.
25. Sri Soemantri, S.H. Hak Menguji Material di Indonesia.
Penerbit Alumni, Bandung, 1972.
26. Soemarno P. Wirjanto, Mr. Profesi Advokat. Penerbit,
Alumni, Bandung, 1976.
27. Sudikno Pertokusumo, Pro. Dr. R.M. S.H. Meningkatkan
Kesadaran Hukum Masyarakat. Penerbit Liberty,
Yogyakarta 1981.
28. Subekti, Prof. R. S.H. Kekuasaan Mahkama Agung RI.
Penerbit Alumni Bandung, 1980.
29. Soerjono Sukanto, DR. S.H, M.H. Pendidikan Hukum,
Penelitian dan Profesi yang Berhubungan dengan Hukum.
Termuat dalam majalah hukum dan keadilan No. 5/6
tahun 1973.
30. Sri Uindojati. Kesan­kesan dari Australia. Termuat dalam
majalah Sangkakala Peradilan, No. 4.197131.
31. Sudikno Mertokumo, Prof. Dr. R.M. S.H. Bunga Rampai
Ilmu Hukum. Penerbit Seksi Peradilan Falkutas Hukum
UGM, Yogyakarta, 1981.
32. Wantjik Saleh, S.H. Kehakiman dan Peradilan. Ghalia
Indonesia, 1977.

Daftar Literatur Tidak Langsung 165


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
DAFTAR ISTILAH ASING

1. a caontrario 29 31. bloot airmatif 122


2. a critical mechanism 105 32. Circumstantial evidence 78
3. Act 20 33. Common Law 4
4. Admissibility 92 34. Commonwealth 4
5. Admissible evidence 79 35. Communis Opinio Doctorum
6. Advokat 49 42
7. Aestimatoir 99 36. Compurgation 74
8. airmatif 107 37. Compurgator 74
9. akta partij 86 38. Confession 98
10. Analisis 72 39. Conlic of human interest 62
11. analog 28 40. Conlicting evidence 79
12. analogi 29 41. Contentieuse jurisdictie 23
13. Anglo Saks 4 42. Contradictoir 28
14. Arbitrase 9 43. Conviction intime 17
15. argumentasi 39 44. Conviction raisonnee
16. argumentum a contrario 30 45. Cumulative evidence 79
17. assertair 99 46. De gustibus non est Dis­
18. Audi et Alteram Partem 12 putandum 68
19. Autentik 78 47. De lege lata 125
20. aveu complexe 98 48. De tournament de pouvoir 115
21. Aveu pur et simple 68 49. debitur 119
22. aveu qualiie 98 50. Decisoir 43
23. Behaviour 252 51. Declaratoir 28
24. Bekentenis 98 52. defendant 47
25. Beneicium 65 53. deinisi 23
26. Beslissende Bewijskracht 83 54. Demonstrative evidence 79
27. Bewijs 16 55. Diferesial 151
28. beyond reasonable doubt 10 56. Direct evidence 78
29. bezitter 118 57. documentary 20
30. Bis de eadem re ne sit actio 65 58. Documentary 77

Daftar Istilah Asing 167


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
59. Dogmatik hukum 95. historis sosiologis 148
60. doktrin 28 96. Hukum Objektif 34
61. Dosen 49 97. Hukum Positif Quaestio facti
62. Droit Prive 64 66
63. Eigen Wetenschap des Rechters 98. Hukum Subjektif 34
39 99. Immunities 6
64. Eigenrichting 8 100. in concreto 18
65. Eines Mannes Rede Ist Keines 101. Inderect evidence 78
Mannes Rede 64 102. Inheritance 20
66. eiser 47 103. Innerlijke samenhang waarin
67. eksekusi 53 ieder nieuw probleem zijn
68. Equity 64 antwoord vindt 2
69. Errare Humanum Est, Turpe 104. intervensi 29
in Errore Perseverare 71 105. intuitif 17
70. esensi 31 106. irrelevant 36
71. Eventual maxim 12 107. Ius 33
72. Evidence 16 108. Ius curia novit 11
73. Evidence in writing 78 109. Ius Publicum 125
74. ex oicio 100 110. Ius Vigilantibus Scriptum Est
75. Expertise 80 6
76. Extrinsic evidence 79 111. Judex ne Procedat ex Oicio
77. factum 33 63
78. Fama 42 112. Juris Ignorantia Nocet, Facti
79. Family Provision 20 Non Nocet 15
80. Fenomenologik 2 113. Jury 25
81. Fiksi 66 114. karakter evidence 92
82. Finansial 55 115. kasasi 134
83. fokus 2 116. Kasuistis 130
84. Follow up 25 117. klassik 30
85. Formal yuridis 60 118. kolektif 35
86. Fructus stantes 4 119. kompleks 34
87. gedaagde 47 120. Konlik 62
88. Gedeeltelijk Bewijskracht 83 121. konstatir 53
89. General rules 64 122. konstituir 53
90. Genetis 151 123. Konstitusi 28
91. Gerechtigkeit 61 124. Kontinental 25
92. Geschrit 91 125. Kracht van tegenbewijs 84
93. guilty or not guilty 25 126. kuratele 48
94. Hand­Book 4 127. kurator 48

168 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
128. kwaliisir 53 156. Obiter Dictum 37
129. law enforcement 32 157. Onrechtmatigedaad 55
130. legitima persona standi in 158. onsplitsbare aveu 99
judicio 46 159. Onvolledig Bewijskracht 83
131. Lex Neminem Cogit Ad 160. optik 151
Impossiblia 59 161. Oral 76
132. lisensi 74 162. Original evidence 77
133. Litis Decisoir 100 163. orthodox classiications 4
134. living law 150 164. pembuktian historis 18
135. Manifesta non egent Proba­ 165. Pendentes 4
tione 43 166. Perjury 72
136. Material 77 167. Personae miserabile 51
137. Material evidence 82 168. pihak formal 47
138. material facts 37 169. pihak materiil 47
139. Melius est accipere quam 170. Pokrol 49
facere in jurism 145 171. Policy maker 252
140. Membuktikan secara kon- 172. Political Jurisprudence 252
vensional 17 173. Posisi Ubyektif 55
141. Mikro Sosiologi Hukum 174. positum 120
151 175. praecumptiones juris et
142. Minima non curat praetor dejure 97
37 176. praesumptiones juris tantum
143. minuut 85 97
144. Multa sed non Multum 37 177. precedent 93
145. Ne Ultra petita 67 178. preponderance of evidence
146. negatie 117 10
147. Negative non sunt probanda 179. Presumptions 75
113 180. Presumptions Facti 97
148. Neme judex odoneus in 181. Presumptions juris 97
propria cause 55 182. Presumtive evience 78
149. Nemo plus juris Transferre 183. Pride is the Beginning of
Potest Quam Ipse Habet 69 Destruction 5
150. Nemo Testis Indoneus in 184. Primary evidence 78
Propris Causa 66 185. Primitif 72
151. norm 32 186. Privastrecht 64
152. Normatif 42 187. private knowledge 39
153. Notaris 9 188. Private Law 64
154. Notoir 37 189. procedural law 4
155. Notoir Feiten 39 190. profesi 149

Daftar Literatur Langsung 169


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
191. profesional 150 habatur 114
192. promissoir 99 220. restrictief 115
193. Proof 16 221. Reus excipiendo it actor 115
194. Prosesuil 27 222. Rumor 42
195. psychis 107 223. schematik 31
196. Quad Erat Demonstrandum 224. Second hand evidence 79
33 225. Secondary evidence 78
197. Quaestio facti 66 226. Si due faciunt iden non est
198. Quaestio juris Quaestio facti idem 129
66 227. Si vis pacem para bellum
199. Quasi Staatrecht 50 114
200. Quod Bonum Felix Faus­ 228. Sita konservatoir 13
tumque 62 229. social control 150
201. Quod Licet Jovi non licet 230. social engineering 150
bovi 36 231. Socialogical Jurisprudence
202. ratio decidendi 37 152
203. real 20 232. Soilen­sein 3
204. Real evidence 79 233. standar 23
205. Realistic Jurisprudence 152 234. substantive law 4
206. Rechterlijke vermoedens 97 235. supletoir 99
207. Rechtserzeugende Tetsachen 236. Syllogisme 55
123 237. Testimonium de Auditu 96
208. Rechtshindernde Tetsachen 238. Testimony 95
123 239. the burden of persuasion 105
209. Rechtsicherheit 62 240. the burden of producing
210. Rechtspersoon 46 evidence 105
211. rechtsvermedens 97 241. the burden of producing of
212. Rechtsvernichtende m Tatsa­ evidence 109
chen 124 242. he burden of proof 11
213. Recusatio 67 243. the duty of going forward
214. relevant 23 109
215. remspoor 42 244. he law of procedure 5
216. Reo negante actitori in­ 245. the plaintif 9
cumbit prabatic 115 246. he presumption of Inno­
217. Res judicata jus facit inter cence 45
partes 114 247. he privilege 6
218. Res judicata pro veritate ac­ 248. he risk of nonpersuasion
cipitur 114 110
219. Res judicata provery tate 249. Toerekeningstheoris 60

170 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
250. Togenbewijs 84 261. Wager of Law 74
251. Ultra posse nemo obligatur 262. whether oral 20
123 263. wo kein klager ist, ist kein
252. Unoriginal evidence 77 Richter 3
253. Untersuchungsmaime 52 264. Writings 75
254. Unus testis, nullus testis 87 265. yuridis 17
255. Ut sementem feceris, its metis 266. yurisdiksi 29
103 267. yurisprudensi 28
256. Verhandlungsmaxim 12 268. yurist 23
257. verstek 44 269. zoom politican 155
258. Vis Probandi 83 270. Zweekmassigkeit 62
259. Volledig Bewijskracht 83
260. voluntair 23

Daftar Literatur Langsung 171


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
DAFTAR NAMA ORANG

1. Asser-Anema-Verdam 28. Lewis Meyer


2. Anema 29. N. Naguhtan
3. Aristoteles 30. MC. Cormick
4. Asser Scholten 31. Milton C. Jacobs
5. Charles F. Hamphill 32. Paton
6. Codoza 33. P.A. Stein
7. Districh Rueschamayer 34. Pittle, Prof
8. Diamond 35. Peter J. Darman
9. Dias 36. Paul Bohenran
10. Drion 37. Roscoe Pound
11. Enschede 38. Sudikno Mertokusumo
12. Eggens 39. Suyling
13. Edward Cleary 40. Sir Roland Burrows
14. Eugen Echlich 41. Supomo, Prof
15. Fairchild 42. Subekti, Prof
16. Friedman 43. Sukardono Prof
17. Ernest Baker 44. Star Bushman
18. Edwin Baker 45. Stephen Giller
19. Edwin C. Caared 46. Satjipto Rahardjo, Prof
20. Hollad, Prof 47. Echalten
21. Hans Kelsen 48. Surjono Sukanta
22. John Austin 49. hesing
23. Judith Shklar 50. hayur
24. Kenneth Culp Davis 51. Umar bin Chattab
25. Kusumadi Pudjosewojo 52. Wugmaer
26. Lod Justice Denning 53. Wirjono Pradjodikara
27. Laski 54. Van Vollenhoven

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
DAFTAR PERATURAN/
UNDANG-UNDANG

KUH Perdata (BW) Pasal 176


Pasal 1365
Pasal 1910 RBG
Pasal 1866 Pasal 172
Pasal 1924 Pasal 284
Pasal 1465 Pasal 283
Pasal 533 Pasal 200
Pasal 535 Pasal 147 ayat 1
Pasal 1977 ayat 1 Pasal 172
Pasal 1244 Pasal173
Pasal 1394
Pasal 1320 Peraturan Lain:
Pasal 150 U.U. No. 1 Tahun 1974
Pasal 1865 Pasal 8 U.U. No. 1 h. 1947
Pasal 1912 Pasal 9 U.U. No. 1 h. 1975
Pasal 330 U.U. No. 1 Tahun 1948
Pasal 110 Pasal 8 No. 2 Rv
Pasal 1655
Buku IV K.U.H Dagang:
Peraturan Mentri Kehakiman No. Pasal 274 ayat 2
1 Tahun 1965 Pasal 468 ayat 2
Keputusan Mentri Keha Pasal 145
ayat kiman No. J.P. 14/2/11 U.U. No. 1 Tahun 197
HIR B. 1922 No. 522
Pasal 145 ayat 2
Pasal 163
Pasal 145 ayat 1
Pasal 145 ayat 4
Pasal 123 ayat 183
Pasal 123 ayat 2

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
DAFTAR YURISPRUDENSI

1. Putusan Pengadilan Negeri 8. Putusan M.A. tanggal 30


Sengkang Tertanggal 1 Desember 1957 Nomor 197
Agustus 1964, Nomor K/Sip/1956.
80/1964/pdt. 9. Putusan M.A. tanggal 28
2. Putusan Pengadilan Negeri Mei 1958 Nomor 8 K/
Pangkajene Tertanggal Sip/1957.
5 Agustus 1964, Nomor 10. Putusan M.A. tanggal 10
16/1962/pdt. Januari 1957 Nomor 108 K/
3. Putusan Pengadilan Negeri Sip/1954.
Surakarta Tertanggal 3 11. Putusan M.A. tanggal 10
Agustus 1962, Nomor Januari 1957 Nomor 94 K/
243/1961/pdt. Sip/1956.
4. Putusan H.R., 19 Desember 12. Putusan M.A. tanggal 11
1932 September 1975 Nomor 540
5. Putusan M.A. 15 Maret 1972 K/Sip/1972.
Nomor: 547 K/Sip/1971 13. Putusan M.A. tanggal 27
6. Putusan M.A. 21 Nopem- Nopember 1975 Nomor 272
ber 1956, Nomor 162 K/ K/Sip/1973.
Sip/1955. 14. Putusan M.A. tanggal 30
7. Putusan M.A. 11 September Agustus 1958 Nomor 134 K/
1957, Nomor 74 K/Sip/1955. Sip/1958.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

178 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
INDEKS

rtokusumo, R.S. Soedikno, - Asas: 110-115


Prof. Dr.: 1, 16, 73, 141 Behavioral, approach
Adjective law: 5-6 - dalam Keputusan penga-
Advokat: 48 dilan: 145
Akta Bohannan, Faul: 150
- dalam Alat bukti; tertulis: Burrows, Roland, Sir: 17-19,
91-92 74
Alat bukti: 73-77 BW Baru: 26
- Dalam Hukum acara Circumstatial evidence: lihat
pidana: 9 indirect evidence
- Tertulis: 90-92 Cleary, Edward W.: 22, 56,
Anema: 21 93, 100
Audi Et Alteram Partem Compurgation: 70-71
- dalam Beban pembuk- Contentieuse jurisdicte: 22
tian: 121-122 Contradictoir: 27-29
Audi et alteram partem: 12, Curia novit: 63
4561-63 Danning, Lord Justice: 23
Austin, Jhon: 44, 145 Davis, Kenneth Culp: 88
Barker, Ernest: 34 De gustibus non est dispi-
Batas umur: 46-47 tandum: 65
Beban pembuktian: 11, 99- De Lege Lata, Teori
107, 110-111, 131-139 - dalam Beban pembuk-

Indeks 179
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
tian: 120-121 Holand, Prof.: 33
Declaratoir: 28 Hukum acara perdata: 8-14
Demonstrative evidence: 76 Hukum acara pidana inter-
Descente: 85 nasional: 13-15
Documentary Hukum acara pidana: 8-12
- dalam Klasiikasi; alat Hukum materiil: 4
bukti: 74 Hukum perdata: 3
Dorman, Peter J.: 71, 102 Hukum privat
Drion. H.: 17 - Dalam Sistem Hukum: 2
Eggens: 17 Hukum proses: 4, 5
Enschede, Ch., J.: 93 Hukum publik
Eventual maxim: 11 - Dalam Sistem Hukum: 2
Evidence: 17-19 Indirect evidence: 75
Expertise: 85 Ius Curia Novit: 10
Fiardchild, H.P. 143 Jacobs, Milton C.: 19, 73
Friedman, Lawrence: 147- Jaksa
148 - Dalam hukum acara
Gillers, Stephen: 103 pidana: 8
Gurvitch, George: 144 Kasuistik
Hak - dalam Beban pembuk-
- Dalam Pembuktian: 32- tian: 123-127
35 Kebenaran formal: 9
Hak, Teori Kebenaran materi: 9
- dalam Beban pembuk- Kebiasaan
tian: 118-120 - Dalam Sistem Hulum: 2
Hamphill, Charles F.: 5, 71, Kekuatan pembuktian: 80-
76, 101 87
Hamphill, Phyllis D.: 5, 71, - sempurna: 80-83
76, 101

180 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
- lemah: 80, 83 Nemo plus juris transferre
- sebagian: 80, 83 potest quam ipse habet:
- menentukan: 84 66
- perlawan: 84 Nemo testis indoneus in
Kelsen, Hans: 58 propria causa: 64
Konvensional,. Approach Obitar dictum: 36
- dalam Keputusan penga- Onsplitsbaar aveu: 136-137
dilan: 145 Oral
Kuasa: 49-50 - dalam Klasiikasi, Alat
Kuratele: 48 bukti: 74
Laski, Harold: 144 Patton, George Whitecross:
4, 69-70, 74
Law enforcement: 31
Pembuktian ilmiah: 23-24
Legislatif, lembaga
Pembuktian: 15-56
- Dalam Sistem Hukum: 2
- Tujuan: 20
Legitima persona standi in
judicio: 46 Pemulihan hak: 4
Lus Publicum, Teori Pengacara
- dalam Beban pembuk- - dalam Persengketaan
tian: 121 perdata: 46, 48
Martokusumo, Soedikno: 7 Pengakuan
Material - dalam Alat buklti: 95
- dalam Klasiikasi, alat - dalam Beban pembuk-
bukti: 74 tian: 132-1133
Mayers, Lewis: 102 o dengan klausul: 132
McCormick, Dean: 104 o dengan kualiikasi: 132
Negativa Non Stunt Proban- - pembagian: 134
da, Teori Pengampu
- dalam Beban pembuk- - dalam Persengketaan
tian: 117-118 perdata: 46, 47-48

Indeks 181
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Penggugat Ratio decidendi: 36
- Dalam Hukum acara Real evidence: 76`
perdata: 9 Rechtapersoon: 46
- Dalam Persengketaan Resiko pembuktian: 135-136
perdata: 46 Rueschemenyer, Dietrich:
Penyalahgunaan wewenang: 143
150 Saksi
Peradilan, Lembaga - tidak mampu: 64
- Dalam Sistem Hukum: 2 Scholten, Paul: 58
Peradilan: 2 Shklar; Judith: 44
Peristiwa Sistem hukum: 1-2
- Dalam Pembuktian: 32- Soekardono, R. Prof.: 39
33, 35 Sollen sein: 30-32
- Prosesuil: 37 Sosiologi hukum
- Notoir: 37-40 - dalam Beban pembuk-
- Pengetahuan umum: 41- tian: 141-148
42 - macam: 144
- Tidak perlu di buktikan: Subekti, R. Prof. Dr.: 21, 22
42-44
Subtantive law: 4
Perjanjian pembuktian:
Subtantive law: 5-6
153-156
Sukanto. Soerjono, DR.: 145
Pound, Roscoe: 45
Sumpah
Presumptive evidence: lihat
- dalam Alat bukti: 96
indirect evidence
- decisoir: 96-97
Procedural law: 4
- supletoir: 96-97
Prodjodikoro, R. Wiryono,
- aestimatoir: 96-97
Prof. Dr.: 6
Supomo, Prof. Dr.:20
Profesi: 143
Suyling: 17
Proof: 20, 99

182 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Teori Bebas Verhanlung maxim: 11
- dalam Pembuktian: 87- Vis Probandi: lihat Kekuatan
90 pembuktian
Teori negatif Voluntair: 28
- dalam Pembuktian: 87 Wager law: 70-71
Teori positif Wali
- dalam Pembuktian: 87 - dalam Persengketaan
Tergugat Perdata: 46
- Dalam Persengketaan Yuridis
perdata: 46 - dalam Beban pembuk-
hayer: 104 tian: 127-129
hesing, H.: 102 Kesaksian
Tradisional, approach - dalam Alat bukti: 92-93
- dalam Keputusan penga- Persangkaan
dilan: 145 - dalam Alat bukti: 93-94
Tugas hakim
- dalam Pembuktian: 52-
55
Tugas hakim
- dalam Sosiologi hukum:
145-148
Tujuan hukum: 59
Ultra ne petita: 65
Unterbuchungsmaxime: 51
Unus testis nullus testis
- dalam Alat bukti, Pem-
buktian: 93
Van Vollenhoven: 1
Verhandlungo maxime: 52

Indeks 183
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

184 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Daftar Literatur Langsung 185


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

186 Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata


pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Daftar Literatur Langsung 187


pustaka-indo.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai