com
http://pustaka-indo.blogspot.com
ASAS-ASAS
HUKUM
PE MBUKTIAN
PE RDATA
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang HAK CIPTA, seba-
gaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 jo. Undang-Undang
No. 12 Tahun 1997, bahwa:
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau menyebarkan suatu
ciptaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah).
http://pustaka-indo.blogspot.com
ASAS-ASAS
HUKUM
PE MBU K T IAN
PE R DATA
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kencana. 2011.0075
Hak Penerbitan pada Prenada Media
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk
dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
KEN C A N A
PRENADA MEDIA GROUP
Jl. Tambra Raya No. 23
Rawamangun - Jakarta 13220
Telp: (021) 478-64657, 475-4134
Faks: (021) 475-4134
Email: pmg@prenadamedia.com
Http: www.prenadamedia.com
INDONESIA
http://pustaka-indo.blogspot.com
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN
No = nomor
hn = tahun
Prof = Prefessor
S.H. = Sarjana Hukum
M.A. = Master of Art
R.M. = Raden Mas
M.A = Mahkamah Agung
P.N. = Pengadilan Negeri
P.T. = Pengadilan Tinggi
hlm = halaman
vs = versus
Mr. = Master in de Rechten
KUH Perdata = Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
KUH Dagang/KUHD = Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang
KUHP = Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
KUHAP = Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
BPHN = Badan Pembinaan Hukum Na-
sional
http://pustaka-indo.blogspot.com
UU = undang-undang
R.I = Republik Indonesia
H.R. = Hoge Raad
BW = Burgelijk Wetboek
S. = Staatsblad
Stbl. = Staatsblad
R.M. hemis = Rechtgeleerd Magazijn hemis
(nama majalah)
N.J.B. = Nederland Juristenbland (nama
majalah)
A.A. = Ars Aequi (nama majalah)
WvK = wetboek van koophandel
Rv. = Wetboek van Burgelijke Rechts-
vordering
Km = kilometer
DD = tanda plat Sulawesi Selatan untuk
kendaraan bermotor darat
Bag. = Bagian
Ed. = Editor
Pdt. = perdata
K = Kasasi
AS = Algemene Bepaling van Wetgeving
CV = Comenditaire Vennootschap
HIR = Herzien Indonesis Reglement
I.S. = Indische Staatsregeling
P4D = Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah
PP = Peraturan Pemerintah
SK = surat keputusan
Daftar Singkatan xi
http://pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Bagian Pertama
PENDAHULUAN
Pendahuluan 3
http://pustaka-indo.blogspot.com
a. substantive law;
b. procedural law.
Pembagian seperti ini ditemukan di dalam sistem Hu-
kum Anglo Saks (common law) di USA, Inggris, dan negara-
negara comonwealth-nya.
Hukum acara perdata menurut pembagian di atas, ter-
masuk dalam bidang procedural law (hukum proses). Adapun
hukum perdata materiil dan hukum dagang termasuk dalam
bidang substantive law (hukum materiil).
George Whitecross Patton3 tidak menyetujui pembedaan
di atas, alasan Patton adalah: “Firstly, the whole law remedies
does not belong to procedure, and secondly, there are rigths in
the realm procedure just as in that of substantive law....” Jadi,
pertama, karena keseluruhan hukum, bukan hanya hukum
proses adalah bersifat “pemulihan hak”; dan kedua, di dalam
hukum proses pun terdapat pengaturan hak dan kewajiban.
Jika kita mengikuti jalan berpikir dari Patton di atas, maka
kita melihat bahwa di dalam hukum materiil (substantive
law) pun di samping mengatur hak dan kewajiban, juga ber-
sifat pemulihan hak. Di lain pihak hukum proses (procedural
law) pun di samping bersifat pemulihan hak, juga berisikan
hak dan kewajiban.
Karena itulah, sehingga Patton4 menganggap pembedaan
antara “substantive law dengan procedural law” adalah kesa-
lahan pembuat undang-undang.
Yang dimaksud sebagai pemulihan hak adalah: “...A
power damages, s a remedial right ...” Jadi, merupakan suatu
kemampuan untuk memulihkan kembali hak melalui ganti
kerugian.
Lain lagi pandangan kaum realis, yang beranggapan bah-
Pendahuluan 5
http://pustaka-indo.blogspot.com
LAW, which provides the legal and method for enforcing or obtaining
those rights.
For example, the substantive law states that RAPE is an unlawful and
forcible sexual assault on a female. Adjective law, for example, may
provide that a female victim in a rape prosecution may not be cross
examined as to whether she was previously chaste, unless some other
witness testiies in open court that the victim was of questionable
morals.
Pendahuluan 7
http://pustaka-indo.blogspot.com
dengan perantaraan hakim di muka persidangan pengadilan,
dalam rangka melaksanakan aturanaturan hukum materiil.
Mengapa penulis lebih cenderung untuk menggunakan
istilah “aturan” daripada “peraturan”, karena istilah “per-
aturan” lebih memberi makna hukum yang tertulis belaka,
sedangkan istilah “aturan” selain hukum tertulis juga hukum
tidak tertulis (di Indonesia adalah hukum adat).
Mengapa pula penulis harus menegaskan perkataan “di
muka persidangan pengadilan”, karena hukum formal tidak
ahanya meliputi hukum acara perdata belaka yang mempro-
sesnya di muka sidang pengadilan. Kita pun mengenal bagian
daripada hukum acara yang tidak berlangsung di muka sidang
pengadilan, seperti arbitrasi dan notaris.
Demikian pula jika kita hanya menggunakan istilah “di
muka pengadilan” masih bisa menimbulkan pengertian yang
ambivalensi, karena bisa diartikan hanya di muka “gedung
pengadilan”, padahal maksudnya tidak demikian.
Pendahuluan 9
http://pustaka-indo.blogspot.com
kan 1000 orang bersalah, daripada menghukum satu orang
yang tak salah.
Pendahuluan 11
http://pustaka-indo.blogspot.com
yang berperkara sama bobot kepentingannya, sehingga ber-
laku asas AUDI ET ALTERAM PARTEM,11 yaitu baik pi-
hak penggugat maupun tergugat harus diperlakukan sama.
Dalam arti kata kans untuk kalah dan menang sama, tergan-
tung nantinya pada pembuktian mereka sehingga keduanya
memiliki kepentingan hukum yang sama.
Di dalam hukum acara pidana tidak demikian. Kepen-
tingan yang diwakili jaksa adalah kepentingan umum, se-
dangkan kepentingan yang diwakili terdakwa adalah ke-
pentingan perseorangan. Kepentingan perseorangan di sini
membutuhkan kepastian hukum yang menuntut perlindung-
an hukum. Kepentingan umum menghendaki agar yang salah
dihukum, sedangkan kepentingan hukum menghendaki agar
yang tidak salah tidak dihukum.
Endnote:
1. Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo, S.H. “Kuliah Ilmu Hukum”.
Pendidikan Pascasarjana Hukum, Lembaga Pendidikan Doktor,
Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1981...............
2. Dr. Sunarjati Hartono, S.H, “Kapita Selekta Perbandingan Hukum”,
Penerbit Alumni, Bandung, 1976, hlm. 72.
3. George Whitecross Patton, “A Text Book of Jurisprudence”. Oxford
at the Clarendon Press, 1964, hlm. 535.
4. Ibid. hlm. 535.
5. Charless F. Hempill, J.R. & Phyllis D. Hemphill. “he Dictionary
of Practical Law”. Prentice-Hall, Inc. Englewoud Clifs, N.J. 07632,
hlm. 13.
6. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. “Hukum Acara Perdata Indo
nesia”. Penerbit Sumur Bandung, 1980, hlm. 13.
7. Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo S.H. “Hukum Acara Per
data Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 2.
8. Ibid.
Pendahuluan 13
http://pustaka-indo.blogspot.com
9. Edward W. Cleary. “Mc.Cormick’s Handbook of Law of Evidence”.
St. Paul, Minn, West Publishing, Co. 1972, hlm. 793.
10. Enschede. “Bewijzen in het strafrecht”. R.M. hemis 1966 al. 5/6,
hlm. 506.
11. Lihat tesis penulis untuk meraih gelar master dalam hukum acara
perdata.
12. Prof. Mr. M.M. Djojodiguno, dalam kuliah Perkembangan Ilmu
Hukum Umum, oleh Prof. Iman Sudiyat, S.H.
Bagian Kedua
HUKUM PEMBUKTIAN
PADA UMUMNYA
DALAM PROSES PERDATA
A. Arti Membuktikan
Bukti, pembuktian atau membuktikan dalam Hukum Ing-
gris sering menggunakan istilah dua perkataan, yaitu: proof dan
evidence. Adapun dalam hukum Belanda disebut “bewijs”.
Tetapi, walaupun demikian, arti dari “membuktikan” itu
sendiri banyak sekali, dan karena itu, untuk memahami pe-
ngertian hukum pembuktian itu sendiri tentu saja kita ter-
lebih dahulu harus memahami arti dari pembuktian atau
membuktikan itu sendiri. Apalagi untuk kita kaitkan dengan
pengertian “alat bukti” dan pengertian “beban pembuktian”.
Oleh karena membuktikan memiliki pengertian yang
sangat luas, yang tidak hanya terdapat dalam bidang hukum
saja, maka terlebih dahulu kita akan mengemukakan arti
membuktikan secara umum.
Untuk itu, sebuah pengertian yang sangat menarik telah
dikemukakan oleh Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo,1
sebagai berikut:
http://pustaka-indo.blogspot.com
1. Kata membuktikan dikenal dalam arti logis. Pembuktian
di sini berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak,
karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memung-
kinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksi-
oma, yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu
pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang
bersifat mutlak yang tidak memungkinkan adanya bukti
lawan. Berdasarkan suatu aksioma, bahwa dua garis
yang sejajar tidak mungkin bersilang dapat dibuktikan
bahwa dua kaki dari segitiga tidak mungkin sejajar.
Terhadap pembuktian ini tidak dimungkinkan adanya
bukti lawan. kecuali pembuktian itu berlaku bagi setiap
orang. Di sini aksioma dihubungkan menurut ketentuan
logika dengan pengamatan-pengamatan yang diperoleh
dari pengalaman, sehingga diperoleh kesimpulan yang
memberi kepastian yang bersifat mutlak.
2. Kata membuktikan dikenal juga dalam arti konvensional.
Di sisi pun membuktikan berarti juga memberi kepastian,
hanya saja bukan kepastian mutlak, selain kepastian yang
nisbi atau relatif sifatnya, yang mempunyai tingkatan-
tingkatan:
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Ka-
rena didasarkan atas perasaan belaka maka kepastian
ini besifat intuitif, dan disebut conviction intime.
b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal,
maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee.
3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yu-
ridis. Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya
pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi
setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan
bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang
Undang-undang
TERTULIS
Putusan
NORM pengadilan
Sollen
TIDAK TERTULIS
KEBIASAAN
PERILAKU PERJANJIAN
Sein LAW ENFORSEMENT
KESADARAN HUKUM
2. Pengertian hak
Dalam bahasa Belanda, dikenal adanya dua jenis “hu-
kum”:
a. Hukum objektif.
b. Hukum subjektif.
Keterangan gambar:
A = Peristiwa yang tidak relevan.
B = Peristiwa yang relevan.
B1, B2, B3, dan B4 adalah peristiwa relevan yang tidak perlu dibuktikan.
1. Ratio Decidendi.
2. Obitar Dictum.
a. Ratio Deciendi
Ratio decidendi ini adalah inti dari suatu perkara yuri-
dis, yakni bagian yang dianggap mempunyai sifat yang
menentukan. Dengan kata lain, Ratio decidendi adalah
faktor yang sejati (material fact), faktor esensi yang jus-
tru mengakibatkan suatu putusan demikian.
b. Obiter Dictum
Kebaikan dari ratio decidendi adalah obiter dictum ini.
Jadi, merupakan bagian dari peristiwa yuridis yang ti-
dak penting diperhatikan.
(mengenai hal ini, lebih mendetailnya dapat dibaca pada
hlm. 30-31, Prof. Kusumadi Pudjosewojo, S.H., “Pedo
man Pelajaran Tata Hukum Indonesia).
Peristiwa yang irelevan ini sudah jelas tidak perlu dibuk-
tikan, berdasarkan asas “MINIMA NON CURAT PRAETOR”,
yaitu bahwa hakim tidak memerhatikan hal-hal yang remeh,
atau asas lain “NULTA SED NON MULTUM”, yaitu banyak
Selain itu ada istilah lain yaitu “POKROL” yang penulis arti-
kan sebagai: setiap orang yang bukan sarjana hukum, yang
menjalankan fungsi kepengacaraan. Dalam hubungan ini, me-
nurut hemat penulis, seyogianya pokrol dilarang berpraktik
untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan hukum.
Kapan seseorang boleh bertindak sebagai kuasa? Kalau
memenuhi salah satu persyaratan atau beberapa persyaratan
di bawah ini.
Untuk menjadi kuasa penggugat:
a. Harus mempunyai surat khusus seperti yang diatur oleh
pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 1 R.bg.
b. Ditunjuk selaku kuasa dalam surat gugatan, seperti yang
diatur oleh Pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 1 R.bg.
c. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam catatan gugatan
jika gugatan diajukan secara lisan, diatur oleh pasal yang
sama di atas.
d. Ditunjuk oleh penggugat sebagai kuasa atau wakil di
persidangan, juga diatur oleh pasal yang sama di atas.
e. Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman
1/1965 tanggal 28 Mei Jo. Keputusan Menteri Keha-
kiman No. J.P. 14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965 tentang
Pokrol.
f. Telah terdatar sebagai advokat atau memenuhi syarat
setempat tentang izin untuk membela perkara.
Endnote:
1. Prof. Dr. R.M. Sudikno Metokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata
Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 96-97.
2. Prof. Mr. H. Drion. “Bewijzen in hetrecht”. R.M. hemis 1966 af1
5/6.
3. Prof. Mr. H. Wiersma. “Bewijzen in het Burgelijk Gding”. R.M.
hemis 1966 af1 5/6.
4. Ibid.
5. Charless F. Hempill, J.R. & Phyllis D. Hemphill. “he Dictionary
of Practical Law”. Prentice-Hall, Inc. Englewoud Clifs, N.J. 07632,
hlm. 13.
6. Milton C. Jacobs. “Civil Trial Evidence”. Second edition, New York,
hlm. 1.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Prof. Dr. R. Supomo. “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri”.
Penerbit Fasco, Jakarta, 1958, hlm. 88-85.
10. Asser-Anema-Verdan. “Van Bewijs” N.V. Uit Gevers Maatschappij
W. E. J. Tjeenk Willing, Zwolle, 1955, hlm. 35.
11. Prof. R. Subekti, S.H. “Hukum Pembuktian”. Penerbit Pradny-
paramita, Jakarta, 1978, hlm. 5-6.
12. Prof. R. Subekti, S.H. Ibid.
Bagian Ketiga
TUJUAN PEMBUKTIAN
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
(teori pertanggung jawab).
Menurut teori Hans Kelsen yang kemudian diikuti oleh
Paul Scholten itu, tindakan yang dilakukan seseorang sehing-
ga ia di hukum, bukan merupakan hubungan sebab akibat.
Artinya bahwa hukuman yang diterimanya bukanlah
akibat dari perbuatannya, melainkan bahwa hukuman itu
merupakan pertanggungjawaban atau perbuatannya sen-
diri. Berbeda dengan batu yang dilemparkan ke atas, maka
akibatnya pasti akan jatuh kembai ke bawah. Berlainan de-
ngan tindakan seseorang yang membeli suatu barang, belum
tentu akibatnya ia harus membayar dan kemudian ia me-
mang tidak membayar. Apakah akibatnya ia akan di hukum?
Belum tentu. Oleh karena itu, dalam hal ini lebih tepatlah
jika dikatakan bahwa ia membeli suatu barang, maka sebagai
pertanggungjawabannya ia harus membayar harga barang
yang dibeli tadi.
Atau, kalau ia tidak membayarnya sehingga berakibat ia
dijatuhi hukuman oleh hakim, maka hukuman itu merupa-
kan pertanggungjawaban atas perbuatan yang tidak memba-
yarnya harga barang yang dibelinya. Jadi tidak berdasarkan
hukum kausalitas seperti jatuhnya batu ke bawah yang dilem-
parkan ke atas.
Oleh karena itu, pembuktian adalah putusan hakim yang
didasarkan pada pembuktian itu, maka di sini terbukti lagi
betapa besarnya peranan hukum pembuktian di dalam me-
netukan kalah menangnya pihak-pihak yang berperkara.
Sebagai tujuan akhir dari pembuktian itu tentu saja se-
jalan dengan tujuan dari hukum pada umumnya, di sini kita
harus ingat lagi, bahwa hukum pembuktian hanya subsistem
dari sistem hukum secara keseluruhan.
Tujuan Pembuktian 59
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Bagian Keempat
ASAS-ASAS
HUKUM PEMBUKTIAN
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Hal ini berarti, bahwa hakim tidak boleh memberi pu-
tusan dengan tidak memberi kesempatan untuk mendengar
kedua belah pihak.
Acara “verstek” pun bukan kekecualian dari asas ini, ka-
rena putusan verstek dijatuhkan hanya jika tergugat sudah
dipanggil secara patut, tetapi tetap tidak mau hadir ke persi-
dangan. Ini berarti bahwa putusan verstek dijatuhkan setelah
tergugat diberi kesempatan untuk tampil, hanya tidak mau
menggunakan kesempatan yang diberikan oleh hukum itu.
Justru menurut penulis, lembaga verstek itu diadakan
adalah sebagai perwujudan dari asas Audi Et Alteram Partem.
Di mana dengan adanya lembaga verstek, dengan adanya an-
caman untuk menjatuhkan putusan verstek, putusan kerana
tergugat tidak hadir, merupakan dorongan bagi tergugat un-
tuk hadir menggunakan haknya berdasarkan asas Audi Et
Alteram Partem.
Dengan asas Audi Et Alteram Partem ini, hakim harus
adil dalam memberikan beban pembuktian pada pihak yang
berperkara, agar kesempatan untuk kalah atau menang bagi
kedua belah pihak tetap sama, tidak pincang atau berat sebe-
lah. Di sini perlunya hakim memerhatikan asas-asas beban
pembuktian (lihat bagian ketujuh buku ini).
Sebagai akibat telah diberinya kesempatan yang sama
bagi kedua pihak yang berperkara secara adil, maka suatu
perkara tidak dapat disidangkan dua kali (Bisde eadem re
ne sit actio), dalam hal ini pembuktian tidak dikenal adanya
“Beneicium” atau hak istimewanya.
Aturan hukum pembuktian berlaku sama, baik bagi
penggugat maupun tergugat.
Baik penggugat maupun tergugat dapat membuktikan
Endnote:
1. Milton C. Jacobs. Civil Trial Evidence. Second edition, New York,
hlm. 2.
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Bagian Kelima
ALAT-ALAT BUKTI
DALAM PROSES PERDATA
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
2. Sebagai akibat meratanya kebiasaan bersumpah palsu
(perjury) pada masa itu.
3. Sebagai akibat ketakutan dari setiap pengadilan akan ke-
mungkinan terjadinya pelanggaran yang mendobrak ke-
pentingan warga masyarakat melalui putusannya.
Hal-hal inilah di Eropa, di masa lalu yang mengakibatkan
titik awal bagi pengadilan mulai melepaskan tanggung jawab
putusan pengadilan dari faktor tanggung jawab manusia,
dan dialihkan kepada tanggung jawab kepada Tuhan melalui
ancaman doa dan siksaan yang dapat menimpa orang yang
melakukan sumpah palsu.
Penggunaan sumpah sebagai alat bukti dalam pemerik-
saan di muka pengadilan ada manfaatnya, tetapi juga banyak
kelemahannya. Seperti yang juga dikemukakan oleh G. W.
Pato2 bahwa:
“he ordeal by oath may be useful, if it is used where there is no
evidence, or where the fact are exclusifaly within the knowledge of one
party, but there is always the danger that a weak court my resort to
it, even where there is evidence, in order to avoid either the diiculty
of deciding or the danger which my result from a decision againts a
popular igure.....” Demikianlah juga pendapat dari Diamond3.
G. Teori-teori Pembuktian
Sejauh mana hakim itu seyogianya diikat oleh hukum
positif di dalam perkara perdata, ada tiga teori yang paling
berbeda:
1. Teori negatif.
2. Teori positif
3. Teori bebas.
Pengertian akta
Akta adalah alat bukti tertulis yang diberi tanda tangan
serta memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari
suatu perikatan, atau menjadi dasar dari suatu hak dengan
ketentuan bahwa sejak semula akta ini sengaja dibuat untuk
pembuktian.
Jadi dapatlah kita menemukan 3 unsur yang harus ter-
dapat pada suatu akta, entah itu akta otentik, maupun akta di
bawah tangan, yaitu:
1. harus ada tanda tangan.
2. harus memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar
dari suatu perikatan atau menjadi dasar dari suatu hak.
3. harus sejak dibuatnya sengaja dimaksudkan untuk pem-
buktian.
Akta itu sendiri terbagi lagi atas dua macam, yaitu:
Bagian Keenam
PENGERTIAN
BEBAN PEMBUKTIAN
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
“bukti” berarti hasil akhir dari keyakinan atau persuasi yang
diprodukkan oleh alat bukti.
Dari pengertian “bukti” di atas, E. W. Cleary bertitik tolak
untuk memberikan pengertian tentang “beban pembuktian”
itu sendiri sebagai berikut:2
“....he term encompasses two separate burdens of proof. One burden
is that of producing evidence satisfactory to the judge, of a particular
fact in issue. he second is the burden of persuading the trier of fact
that the alleged fact is true....”
Endnote:
1. Edward W. Cleary. “McCormick’s Handbook of the Law of Evidence”.
St. Paul Minn, West Publishing Co. 1972, hlm. 783.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid., hlm. 784.
5. Charlas F. Hemphill J.R. & Phillis D. Hemphill. “he Dictionary
of Practical Law”. Prantice Hall, Inc. Englewood Clifs, N.J. 1979,
hlm. 33.
6. Mr. H. hesing. “De grondslogan van de Bewijslast in de Civila
Procedure”. S’Graven hage, 1961 blz 54.
7. Peter J. Dorman. “Dictionary of law”. Runing Press Philadelphia,
Pennsylvania, 1976, hlm. 28.
8. Lewis Maers. “he Machinery of Justice; An Introduction to Legal
Structure and Process”. Foundations of law in a business socie,
series, Prentice Hall Inc. Englewood Clifs, New Jersey, 1963, hlm.
39.
9. Stephen Gillers. “An American Civil Liberties Union Handbook:
he Rights of Lawyers and Clients”. A Discus Book/Published by A
von Books, USA, 1979, hlm. 72.
10. James Bradley hayer. “Preliminary Treatise on Evidence”. 1898, ch.
9, hlm. 355.
Bagian Ketujuh
ASAS BEBAN PEMBUKTIAN
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
masing-masing di muka persidangan pengadilan dengan
menunjukkan alat bukti (the burden of producing evidence)
dan meyakinkan hakim kebenaran alat bukti itu (the burden
of persuasion).
Tetapi, dalam hal, sama sekali tidak ada alat bukti yang
diajukan kedua pihak sama kuat adalah kewajiban hakim
untuk membebani salah satu pihak atau kedua pihak dengan
beban pembuktian (the burden of proof).
Tentu saja pelaksanaan beban pembuktian itu diatur
dengan asas tertentu yang bersifat restrictief; bersifat mem-
batasi kebebasan hakim sehingga dapat terhindarkan pe-
nyalahgunaan jabatan atau wewenang; de tournament de
pouvoir.
Asas beban pembuktian diatur oleh Pasal 163 HIR (pasal
283 R.bg., 1865 KUH Perdata) yang isinya:
“Barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang
mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya
itu atau untuk menyangkal hak orang lain harus membukti
kan adanya hak atau peristiwa itu.”
Ini berarti bahwa baik penggugat maupun tergugat, da-
pat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat wajib
untuk membuktikan gugatannya, dan tergugat wajib untuk
membuktikan sangkalannya.
“Reo negate actori incumbit probation;” kalau tergugat
tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membukti-
kannya. Tetapi tidak berarti setiap tergugat menyangkali gu-
gatan, selalu pihak penggugatlah yang harus membuktikan.
Dalam hal ini hakim harus teliti mempertimbangkan sesuai
kasus yang dihadapinya. Sebab bisa saja, Reus excipiendo it
actor; tergugat dianggap sebagai penggugat jika ia menyang-
Ednnote:
1. G.W. Paton “A text book of Jurisprudence”. Oxford, At the Claren-
don Press, 1964, hlm. 542.
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Bagian Kedelapan
TEORI-TEORI
BEBAN PEMBUKTIAN
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
bloot airmatif” antara lain Asser-Anema-Verdam.1 Dan juga
Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H.2
Dewasa ini menganut teori “Negativa non sunt probanda”
ini sudah tidak ada lagi. Karena dangan teori ini, hampir
selalu penggugatlah yang dibebani pembuktian.
Teori pertama ini menganggap bahwa sesuatu yang sifat-
nya negatie, adalah di luar batas kemampuan untuk dibukti-
kan, karena itu sesuai adagium berbunyi: Ultra posse nemo
obligatur (tiada orang berkewajiban melakukan lebih daripada
kemampuannya), maka orang yang menyatakan/mengemuka-
kan sesuatulah yang harus dibebani dengan pembuktian.
Tentu saja teori itu tidak selamanya benar dalam setiap
kasus. Pembaca dapat melihatnya sendiri jika telah membaca
keseluruhan buku ini.
B. Teori Hak
Dasar dari teori ini adalah bahwa “HAK”lah yang men-
dasari proses perdata. Dengan lain kata, proses perdata itu se-
nantiasa melaksanakan “hak” yang dimiliki perorangan. Dengan
demikian, teori ini berpendapat bahwa tujuan dari hukum se-
cara perdata adalah semata-mata untuk mempertahankan hak.
Dengan demikian, barang siapa yang mengemukakan
atau mengaku mempunyai sesuatu hak, dialah yang dibebani
dengan pembuktian.
Perbedaannya dengan teori Negativa non sunt probanda
adalah karena kalau pada teori pertama ini penggugat harus
membuktikan keseluruhan. Adapun menurut teori “hak” ini,
tidak seluruh peristiwa harus dibuktikan si penggugat.
Penganut teori ‘hak” ini antara lain Asser-Anema-Ver-
dam, membagi peristiwa itu ke dalam:
Endnote:
1. Asser-Anema-Verdam. “Mr. C. Asser’s Handleiding tot de beoefening
van hat Nederland Burgelijk Recht”. Vijfde – Deel: Van Bewijs, NV,
Uitgevers Maat schappij, W.E.J.T Jeenk Uillink, Zwolle 1934 hlm.
64.
2. Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata
Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 104.
3. Mr. P. A. Stein. “Compendium can het – Burgelijk Procesrecht”,
Kluwer, Deventer, 1973, hlm. 118.
4. Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumio, SH. Op.Cit, hlm. 105.
Bagian Kesembilan
SIFAT BEBAN PEMBUKTIAN
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Dari ketentuan Pasal di atas, yang jelas hanyalah dua hal:
1. Yang dapat dibebani pembuktian adalah baik penggugat
maupun tergugat.
2. Yang dapat dibuktikan adalah peristiwa dan hak.
Tetapi selanjutnya, kapan penggugat yang dibebani, ka-
pan tergugat, dan kapan kedua-duanya, baik penggugat mau-
pun tergugat sekaligus? Semuanya itu tidak jelas.
Karena itulah, sehingga dikatakan bahwa beban pem-
buktian itu mempunyai sifat yang yuridis, artinya tergantung
pada kasusnya. Kita tidak dapat menentukan secara umum,
bahwa dalam hal beban pembuktian selalu penggugatlah
yang dibebani, atau selalu kedua pihaklah yang dibebani,
atau selalu tergugatlah yang dibebani. Penentuan semacam
itu jelas tidak mungkin. Malah akan menimbulkan kekakuan
dan ketidakadilan. Karena itulah sifat kasuistik dari beban
pembuktian perlu dipertahankan oleh pembuat undang-
undang. (Bandingkan pendapat penulis pada tahun 1980).2
Pada umumnya hakim cenderung untuk selalu membe-
bani penggugat dengan pembuktian manakala tergugat me-
nyangkal, antara lain dapat penulis berikan tiga putusan peng-
adilan sebagai contohnya:
1. Putusan Pengadilan Negeri Pangkajene (Sulawesi Sela-
tan) tertanggal 5 Agustus 1964, Nomor 16/1962 yang
mempertimbangkan antara lain:
“Menimbang bahwa tergugat menyangkal kebenaran
dalil/dalil-dalil penggugat, maka pada penggugatlah ter-
letak kewajiban untuk membuktikan dalil-dalilnya.”3
2. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta tertanggal 3 Agus-
tus 1962, Nomor 243/1962/Pdt yang mempertimbang-
kan antara lain:
Endnote:
1. Achmad Ali. Beban Pembuktian Dalam Praktik (Skripsi).
Ujungpandang, 1980, hlm. 18.
2. Achmad Ali. Ibid.
3. Hasil penelitian putusan-putusan pada Pengadilan Tinggi Ujung-
pandang menyangkut perkara-perkara perdata.
4. Achmad Ali. Op.Cit., hlm. 28.
5. Achmad Ali. Op.Cit., hlm. 28.
6. Prof. Dr. R. Subekti, S.H. Hukum Pembuktian. Penerbit Pradya-
paramita, Jakarta, 1978, hlm. 17.
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Bagian Kesepuluh
BEBERAPA PERMASALAHAN
BEBAN PEMBUKTIAN DALAM
TEORI DAN PRAKTIK
A. Permasalahan Teoretis
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
oleh HIR, hanyalah pada Pasal 163 HIR, tetapi menurut
penulis selain Pasal 163 HIR tersebut, maka masih ada satu
pasal lain yang terdapat di dalam HIR yang merupakan asas
beban pembuktian, yang merupakan kekecualian bagi Pasal
163 KIR yang merupakan asas umum tadi. Pasal yang penulis
maksudkan adalah Pasal 176 KIR, yang isinya adalah:
“Tiaptiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan
hakim tiada wenang akan menerima sebagiannya saja dan
menolak yang sebagian lain, sehingga merugikan orang yang
mengaku itu; yang demikian itu hanya boleh dilakukan ka
lau orang yang berutang, dengan maksud akan melepaskan
dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti benar.”
Dengan merenungi isi Pasal 176 KIR di atas, yang me-
rupakan pasal yang mengatur tentang pengakuan yang tidak
dapat dipisahkan-pisahkan (onsplitsbare bekentenis, onsplits
bare aveu), sebenarnya juga merupakan asas beban pembuk-
tian khusus.
Sebagai diketahui, bahwa pengakuan adalah salah satu
alat dalam hukum acara perdata. Sehingga, sebagai misal:
Jika si A menggugat si B, bahwa si B telah berutang sejumlah
satu juta rupiah kepada si A, sedang si B selaku tergugat
mengakui bahwa benar ia (si B) telah berutang sejumlah satu
juta rupiah dari si A; oleh hukum pembuktian perdata, peng-
akuan si B (tergugat yang merupakan “pengakuan murni”)
harus diterima oleh hakim. Dan penggugat karenanya tidak
diwajibkan untuk membuktikan berutangnya si B lagi.
Tetapi dalam hal dua jenis bentuk pengakuan lain yang
bukan pengakuan murni, yaitu:
a. Pengakuan dengan klausul.
b. Pengakuan dengan kualiikasi.
Berlaku Pasal 176 HIR ini.
1. Onsplitsbaar aveu
Dalam hal penggugat asli menuntut kepada tergugat asli
penyerahan sawah sengketa kepada penggugat asli, bersama
kedua anaknya atas alasan bahwa sawah tersebut adalah bu-
del warisan dari almarhum suaminya yang kini dipegang oleh
tergugat asli tanpa hak. Yang atas gugatan tersebut tergugat
asli menjawab bahwa sawah itu kira-kira lima belas tahun
yang lalu telah dibeli plas dari penggugat asli oleh almarhum
suami tergugat asli.
Jawaban tergugat asli tersebut merupakan suatu jawaban
yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbaar aveu), maka
sebenarnya penggugat aslilah yang harus dibebani untuk
membuktikan kebenaran dalilnya, i.c. bahwa tanah sawah
sengketa adalah milik almarhum suaminya.
5. Cap dagang
Pihak yang mendalilkan bahwa cap dagang yang telah di-
datarkan oleh pihak lawan telah tiga tahun lamanya tidak di-
pakai harus membuktikan adanya non-usus selama tiga tahun
itu.
Dan tidaklah tepat bila dalam hal ini beban pembuktian
diserahkan kepada pihak lawan, yaitu untuk membuktikan
bahwa ia selama tiga tahun itu secara terus-menerus
menggunakan cap dagang termaksud.
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 Nomor
108 K/Sip/1954 dalam perkara Handelsvereniging Hermsen
Verwey & Dunlop N.V. melawan Sie Kian Bing).
Bagian Kesebelas
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM
TERHADAP BEBAN PEMBUKTIAN
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
sah, apa yang dalam keadaan konkret tertentu harus
terjadi menurut hukum. Metode ini disebut metode yu-
ridis yang melihat peraturan hukum yang berlaku se-
bagai satu kesatuan yang dapat diterangkan dari dirinya
sendiri, menerangkan secara logis sistematis.
3. Menerangkan bagaimanakah (apakah) hukum itu seha-
rusnya? Mencari ukuran untuk menilai hukum. Mena-
nyakan tentang keadilan. Ini merupakan metode ilsafat
hukum yang menilai hukum.
Sosiologi hukum adalah sangat berguna bagi kalangan
hukm, yaitu kaum profesi hukum. Yang penulis maksudkan
sebagai kaum profesi hukum adalah para sarjana hukum;
yang profesinya di bidang:
a. Pendidikan hukum: Dosen Fakultas Hukum.
b. Pembinaan hukum: antara lain yang aktif di BPHN.
c. Perancangan hukum: ahli hukum yang duduk dalam
lembaga legislatif.
d. Pelaksanaan hukum: jaksa, hakim, pengacara, dan lain-
lainnya.
Di sini perlu penulis tegaskan bahwa pengertian profesi
itu tidak sesederhana yang sering digunakan orang awam,
yang sering mengindentikkan “profesi” dengan “pekerjaan”.
Bandingkan pendapat penulis dalam harian Pedoman Rakyat
1982.2
Pengertian profesi menurut Dietrich Rueschemeyer3
adalah:
“he professions are conceived of as service occupations that:
(1) apply a systematics body of knowledge to problems which;
(2) are highly relevant to central value of the society.”
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
gunakan aturan-aturan tertentu di dalam BW, misalnya me-
reka mengadakan perjanjian bahwa satu saksi saja sudah
cukup; jadi bertentangan dengan asas-asas umum kesaksian,
Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukan saksi).
Perjanjian pembuktian ini bisa juga bahwa mereka meng-
adakan perjanjian bahwa jika kelak timbul perselisihan antara
mereka berdua, maka satu-satunya alat bukti tertulis misal-
nya, sedang pembuktian dengan saksi tidak dibolehkan.
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
N.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1947.
8. Burrows, Sir Roland. Phipson on the Law of Evidence.
Ninth Edition, London, Sweet & Maxwell Limited, 1952.
9. Busmann, Mr. C.U. Star: Hoofdstukken van Burgerlijke
Rechtsvordering, Haarlem, De erven F. Bohn N.V.,
1948.
10. Baker, Ernest. Principles of Social and Political heory.
1963.
11. Cleary, Edward W. McCormick’s Handbook of the Law of
Evidence. St. Paul Minn, West Publishing Co. 1972.
12. Cardozo LLD, Benyamin N. he Nature of Judicial
Process. New Haven, Yale University Press.
13. Dorman, Peter J. Dictionary of Law. Running Press,
Philadelphia, Pennsylvania, USA, 1976.
14. Drion, Prof. Mr. H. Bewijzen in hetrecht. R.M. hemis
1966 af1. 5/6.
15. Diamond, A.S.. Primitive Law. Second Editions, Ch. xxx.
16. Enschede, Prof. Mr. Ch. J. Bewijzen in het strafrecht. R.M.
hemis 1966 af1. 5/6.
17. Fairchild, H.P. Dictionary of Sociology and Related
Scineces. Ames, Iowa: Littleield, Adam & Co. 1959.
18. Gurvitch, George. Sosiologi Hukum. (Terjemahan
Sumantri Mertodipura), Bharatara, Jakarta, 1961.
19. Gillers, Stephen. An American Civil Liberties Union
Handbook: he Rights of Lawyers and Clients. A Discus
Book, Published by A von Books, USA, 1979.
20. Jacobs, Milton C. Civil Trial Evidence, Second Edition,
New York, 1949.
21. Laski, N.J. A Grammar of Politics. Fith Editions, London,
Steven & Sons, 1966.
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
DAFTAR LITERATUR
TIDAK LANGSUNG
(Daftar Literatur yang Merupakan
Bahan Bacaan dalam Menyusun Buku Ini,
Tetapi Tidak Terdapat dalam Kutipan)
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
9. Hermin Hadati Koeswadji. Beberapa Permasalahan
Hukum dan Pembangunan Hukum, dan Pendidikan
Hukum, Hukum dan Bantuan Hukum. Penerbit PT Bina
Ilmu, Surabaya, 1980.
10. Kusumandi Pudjosewojo. Pedoman Pelajaran Tata Hu
kun Indonesia. Penerbitan Aksara Baru Jakarta, 1976.
11. Karjadi, M. Peradilan di Indonesia. Penerbit Politeia
Bogor, 1975.
12. Katz, June. Masalah Bantuan Hukum bagi orang miskin
di Amerika Serikat. Termasuk dalam majalah hukum
dan keadilan, No. 5/5 Tahun 1973.
13. Ko Tjay Sing, Prof. Rahasia Pekerjaan Doktor dan
Advokat. Penerbit Gramedia, Jakarta,1978.
14. Lev, Daniel,S., Bushlayer (Pokrol Bambu)in Indonesia.
termuat dalam majalah hukum dan keadilan, No. 5
tahun 1973.
15. Lintoong Oloan Siahaan. Jalanan Peradilan Perancis Le
bih Cepat dari Peradilan Kita. Penerbit Ghalia, Indonesia,
1981.
16. Moraland, Caroll C. Equal Justice Under Law, Oceana
Publications, Inc. New York, 1957.
17. ———————. Jurimetrie. Ars Aequi, Beutler Publicite,
Amsterdam.
18. ———————. Susunan pengadilan dalam Negara
Republik Indonesia. Pustaka Rakyat N.V. Jakarta, 1952.
19. Rubini S.H dan Chidir Ali S.H. Pengantar Hukum Acara
Perdata. Penerbit Alumni, Bandung, 1952.
20. Ruslan Salah, Prof., Jurimetrie, Suatu Cara Berpikir dan
Berbuat dalam Hukum. Penerbit Aksara Baru, Jakarta,
1979.
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
DAFTAR ISTILAH ASING
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
DAFTAR NAMA ORANG
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
DAFTAR PERATURAN/
UNDANG-UNDANG
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
DAFTAR YURISPRUDENSI
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Indeks 179
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
tian: 120-121 Holand, Prof.: 33
Declaratoir: 28 Hukum acara perdata: 8-14
Demonstrative evidence: 76 Hukum acara pidana inter-
Descente: 85 nasional: 13-15
Documentary Hukum acara pidana: 8-12
- dalam Klasiikasi; alat Hukum materiil: 4
bukti: 74 Hukum perdata: 3
Dorman, Peter J.: 71, 102 Hukum privat
Drion. H.: 17 - Dalam Sistem Hukum: 2
Eggens: 17 Hukum proses: 4, 5
Enschede, Ch., J.: 93 Hukum publik
Eventual maxim: 11 - Dalam Sistem Hukum: 2
Evidence: 17-19 Indirect evidence: 75
Expertise: 85 Ius Curia Novit: 10
Fiardchild, H.P. 143 Jacobs, Milton C.: 19, 73
Friedman, Lawrence: 147- Jaksa
148 - Dalam hukum acara
Gillers, Stephen: 103 pidana: 8
Gurvitch, George: 144 Kasuistik
Hak - dalam Beban pembuk-
- Dalam Pembuktian: 32- tian: 123-127
35 Kebenaran formal: 9
Hak, Teori Kebenaran materi: 9
- dalam Beban pembuk- Kebiasaan
tian: 118-120 - Dalam Sistem Hulum: 2
Hamphill, Charles F.: 5, 71, Kekuatan pembuktian: 80-
76, 101 87
Hamphill, Phyllis D.: 5, 71, - sempurna: 80-83
76, 101
Indeks 181
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Penggugat Ratio decidendi: 36
- Dalam Hukum acara Real evidence: 76`
perdata: 9 Rechtapersoon: 46
- Dalam Persengketaan Resiko pembuktian: 135-136
perdata: 46 Rueschemenyer, Dietrich:
Penyalahgunaan wewenang: 143
150 Saksi
Peradilan, Lembaga - tidak mampu: 64
- Dalam Sistem Hukum: 2 Scholten, Paul: 58
Peradilan: 2 Shklar; Judith: 44
Peristiwa Sistem hukum: 1-2
- Dalam Pembuktian: 32- Soekardono, R. Prof.: 39
33, 35 Sollen sein: 30-32
- Prosesuil: 37 Sosiologi hukum
- Notoir: 37-40 - dalam Beban pembuk-
- Pengetahuan umum: 41- tian: 141-148
42 - macam: 144
- Tidak perlu di buktikan: Subekti, R. Prof. Dr.: 21, 22
42-44
Subtantive law: 4
Perjanjian pembuktian:
Subtantive law: 5-6
153-156
Sukanto. Soerjono, DR.: 145
Pound, Roscoe: 45
Sumpah
Presumptive evidence: lihat
- dalam Alat bukti: 96
indirect evidence
- decisoir: 96-97
Procedural law: 4
- supletoir: 96-97
Prodjodikoro, R. Wiryono,
- aestimatoir: 96-97
Prof. Dr.: 6
Supomo, Prof. Dr.:20
Profesi: 143
Suyling: 17
Proof: 20, 99
Indeks 183
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com