“OCTOGESIMA ADVENIENS”
(ULANG TAHUN KE DELAPAN PULUH)
PELBAGAI TANTANGAN.
1. ULANG TAHUN KE DELAPAN PULUH terbitnya Ensiklik ”Rerum Novarum”, amanat
yang tetap merupakan sumber inspirasibagi tindakan demi keadilan sosial, mendorong
kami untuk mengangkat lagi dan membentangkan ajaran para pendahulu kami,
menganggapi kebutuhan-kebutuhan baru dunia yang sedang mengalami perubahan.
Gereja memang menempuh perjalanan bersama umat manusia dan ikut mengalami
nasibnya dalam kancah sejarah. Sementara mewartakan kabar gembira cintakasih Allah
dan penyelamatan dalam Kristus, Gereja menjelaskan kegiatan manusia dalam cahaya
Injil, dan dengan demikian membantunya menanggapi rencana cintakasih Allah serta
mewujudkan kepenuhan aspirasi-aspirasinya.
2. Penuh kepercayaan kami saksikan Roh Tuhan melaksanakan karyaNya dalam hati
orang-orang , dan dimana-mana menghimpun jemaat-jemaat Kristiani yang menyadari
tanggung jawab mereka dalam masyarakat. Di semua benua, di tengah segala suku,
bangsa dan kebudayaan, dan dalam kondisi mana pun juga tuhan tetap membangkitkan
rasul-rasul sejati untuk menyiarkan Injil.
Dalam perjalanan-perjalanan kami akhir-akhir ini kami sempat menjumpai dan
mengagumi mereka, serta mendorong mereka. Kami bertemu dengan rakyat banyak dan
mendengarkan permintaan-permintaan, jeritan duka-derita, tetapi juga seruan-seruan
mereka penuh harapan.
Masalah-masalah itu tentu ada yang khas bagi masing-masing wilayah dunia, tetapi
sekaligus juga di hadapi bersama oleh segenap umat manusia, yang sedang bertanya-
tanya tentang masa depannya dan tentang arus-arus serta makna perubahan-perubahan
yang tengah berlangsung. Dalam perkembangan ekonomi, budaya dan politik bangsa-
bangsa terdapat perbedaan-perbedaan yang menyolok: sedangkan ada daerah-daerah
yang padat industri, daerah-daerah lain masih berada di tahap pertanian; sedangkan
negeri-negeri tertentu menikmati kesejahteraan, negeri-negeri lain baru berjuang untuk
mengatasi kelaparan; sedangkan bangsa-bangsa tertentu sudah tinggi tataran
kebudayaannya, bangsa-bangsa lain masih berusaha mengatasi keadaan buta huruf. Di
mana-mana didambakan keadaan yang lebih adil dan timbul hasrat akan damai yang lebih
terjamin karena sikap saling menghormati antara orang-orang mau pun bangsa-bangsa.
3. Sudah tentu umat Kristiani hidup dalam situasi yang bermacam-ragam-entah mereka
inginkan entah tidak-menurut anekanya wilayah, sistem sosio-politik dan kebudayaan. Di
daerah-daerah tertentu mereka terpaksa tinggal diam, dicurigai dan seolah-olah dibiarkan
tinggal di pinggiran masayarakat, terkungkung dalam sistem totaliter tanpa kebebasan. Di
lain-lain tempat mereka merupakan minoritas yang lemah dan sukar sekali terdengar
suaranya. Pada bangsa-bangsa lain, yang mengakui posisi Gereja, bahkan ada kalanya
secara resmi, Gereja pun ikut menaggung dampak-pengaruh krisis yang menggoncangkan
masyarakat; ada di antara para anggotantya yang tergoda untuk menempuh cara-cara
yang radikal dan memakai kekerasan untuk memecahkan soal-soal, dan dari usaha-usaha
itu mereka merasa dapat mengharapkan hasil yang lebih baik. Sedangkan ada yang
karena tidak menyadari pelanggaran-pelangggaran keadilanyang sedang berlangsung
berusaha melestarikan situasi sekarang ini, ada juga pihak-pihak yang dikelabui oleh
ideologi-ideologi revolusioner, yang menjanjikan mereka dunia yang jelas ”lebih baik”,
meskipun sering mengecewakan juga.
6. Lagi pula akan termasuk karya Sinode para Uskup yang akan datang mempelajari
secara lebih seksama dan meneliti dengan lebih rinci misi gereja menghadapi masalah-
masalah berat yang pada zaman sekarang diajukan oleh soal keadilan di dunia. Akan
tetapi ulang tahun Ensiklik ”Rerum Novarum” sekarang ini, saudara yang terhormat,
memberi peluang kepada kami untuk mempercayakan kepada Anda selaku ketua Komisi
Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian merangkap ketua Dewan untuk Kaum Awam
pokok-pokok keprihatinan serta gagasan-gagasan kami menghadapi masalah ini.
Begitulah kami ingin juga menyampaikan kepada lembaga-lembaga Takhta suci itu
dorongan kami terhadap kegiatan gerejawi mereka dalam mengabdi umat manusia.
7. Dengan demikian, -tanpa melupakan masalah-masalah yang tetap masih ada seperti
telah diperbincangkan olehpara pendahulu kami, -maksud kami ialah meminta perhatian
terhadap sejumlah persoalan. Itulah soal-soal, yang karena mendesak, meluas dan cukup
kompleks, selama tahun-tahun mendatang perlu diutamakan di antara pokok-pokok
keprihatinan umat Kristiani, sehingga bersama dengan pihak-pihak lain umat
membaktikandiri untuk memecahkan kesulitan-kesulitan baru, yang membahayakan masa
depan bangsa manusia. Perlulah menempatkan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
ekonomi modern dalam konteks lebih lluas peradaban baru. Soal-soal itu mencakup
persyaratan manusiawi produksi, kewajaran dalam pertukaran barang-barang serta
pembagian kekayaan, makna meningkatnya kebutuhan-kebutuhan akan konsumsi dan soal
tanggung jawab bersama. Dalam perubahan-perubahan dewasa ini, yang begitu pesat dan
mendalam, setiap hari manusia menemukan dirinya lagi, dan bertanya diri tentang arti
kenyataannya sendiri serta kelestarian hidup bersama. Ia tidak condong menimba hikmah
dari masa silam yang dipandangnya sudah lampau dan selesai, lagi pula terlalu berbeda
dengan zaman sekarang. Akan tetapi ia membutuhkan masa depannya diterangi oleh
kebenaran-kebenaran yang abadi, masa depan yang ditangkapnya sebagai tidak pasti
justru karena berubah-ubah. Kebenaran-kebenaran itu pasti lebih agung dari manusia
sendiri, tetapi kalau dikehendakinya, ia sendiri dapat menemukan jejak-jejaknya[6].
11. Kenyataannya golongan paling lemahlah yang menjadi korban kondisi-kondisi hidup
yang tak layak manusiawi, merongrong hatinurani, dan merugikan lembaga keluarga.
Pencampur-bauran dalam perumahan kaum buruh sama sekali tidak memungkinkan hidup
privat. Pasangan-pasangan muda, yang sia-sia menunggu tempat tinggal yang layak atas
biaya yang terjangkau, mengalami kemerosotan akhlak, dan ikatan persatuan mereka
sekaligus terancam bahaya. Anak-anak muda lari dari rumah yang terlalu menyesakkan,
dan mencari di jalan-jalan berbagai bentuk kompensasi dan membentuk kelompok-
kelompok yang tak dapat diawasi. Termasuk tugas berat mereka yang bertanggung jawab
berusaha mengendalikan dan mengarahkan proses itu.
Sangat mendesaklah kebutuhan untuk di sekitar jalan-jalan, dalam rukun tetangga
atau di pemukiman-pemukiman yang besar membentuk pola-pola pengelompokan, yang
memungkinkan manusia mengembangkan kebutuhan-kebutuhan kepribadiannya. Perlu
diciptakan atau dikembangkan pusat-pusat untuk melayani kepentingan khusus dan
mengelola kebudayaan pada tingkat lingkungan dan paroki dengan berbagai bentuk
perserikatan, pusat-pusat rekreasi, dan pertemuan-pertemuan rohaniserta persekutuan,
sehingga orang-orang dapat menghindari isolasi dan membentuk hubungan-hubungan
persaudaraan yang baru.
12. Umat Kristiani hendaklah melibatkan diri dalam tugas membangun kota sebagai
kediaman rakyat serta rukun-rukun hidupnya yang meluas, menciptakan pola-pola rukun
tetangga dan hubungan antar manusia yang baru, menemukan penerapan keadilan sosial
yang original, dan menyanggupi tanggung jawab atas masa depan bersama yang memang
diperkirakan takkan mudah. Kepada mereka yang terjaring dalam hidup berbaur di kota
yang terlampau berat ditanggung, perlulah disampaikan amanat harapan. Itu dapat
dilaksanakan melalui persaudaraan yang sungguh nyata dan pelaksanaan konkret
keadilan. Janganlah umat Kristinai, yang menyadari tanggung jawab baru itu,putus asa
menghadapi masyarakat luas yang anonim. Hendaklah mereka ingat akan nabi Yunus,
yang menjelajahi kota raya Ninive, untuk mewartakan kabar baik kerahiman Allah, dan
dalam kelemahannya ditopang melulu oleh daya kekuatan sabda Allah yang mahakuasa.
Dalam Kitab suci kota memang sering dilukiskan sebagai tempat dosa dan kesombongan,
kecongkakan hati manusia yang merasa pasti mampu membangun hidupnya tanpa Allah,
bahkan mengatakan bahwa ia cukup berkuasa melawan Allah. Akan tetapi terdapat pula
contoh Yerusalem, kota suci, tempat manusia menjumpai Allah, pralambang yang
menjanjikan kota yang turun dari atas[8].
14. Dalam Konsili Vatikan II dinyatakan secara resmi oleh Gereja: ‘awalmula, pokok dan
tujuan semua lembaga sosial ialah dan memang seharusnya pribadi manusia”[9]. Tiap
orang berhak atas kerja, atas peluang untuk mengembangkan bakat-kemampuan serta
kepribadiannya dalam menjalankan profesinya, atas upah wajar yang memungkinkan dia
beserta keluarganya ‘hidup dengan layak di bidang materiil, sosial, budaya dan rohani”[10],
dan atas bantuan bila muncul kebutuhan karena penyakit atau usia lanjut.
Sungguhpun untuk melindungi hak-hak itu masyarakat-masyarakat demokrasi
sekarang pada prinsipnya menerima hak-hak serikat buruh, kenyataannya tidak selalu
mengizinkan perwujudannya. Peranan penting organisasi-organisasi pekerja harus diakui:
tujuannya yakni mewakili berbagai kategori buruh, berperan serta menurut hukum dalam
perkembangan ekonomi masyarakat, dan mengembangkan kesadaran akan tanggung
jawab mereka untuk mewujudkan kepentingan umum. Akan tetapi kegiatan serikat-serikat
itu tidak berlangsung tanpa kesulitan-kesulitan. Di sana-sini dapat muncul godaan untuk
memanfaatkan posisi kekuatan, khususnya pada pemogokan-pemogokan-(hak mogok
sebagai upaya terakhir untuk membela diri tentu saja tetap diakui)-guna memaksakan
syarat-syarat yang terlampau membebani perekonomian secara keseluruhan dan lembaga
sosial khususnya, atau untuk mewujudkan dengan cara itu tuntutan-tuntutan yang langsung
bersifat politik. Berkenaan dengan jasa-pelayanan umum seharusnya ada kemungkinan
menetapkan batas-batas yang tidak boleh dilanggar, supaya masyarakat jangan dirugikan.
16. Di antara korban situasi ketidak-adilan-dan sungguhitu bukan kendala yang baru-
termasuk mereka yang mengalami diskriminasi, menurut hukum atau dalam kenyataan,
karena suku, asalmula, warna kulit, kebudayaan, jenis kelamin atau agama. Sekarang ini
diskriminasi suku sangat relevan karena mengobarkan ketegangan dalam negeri-negeri
tertentu maupun pada tingkat internasional. Dengan tepat dianggap tidak dapat dibenarkan
dan ditolak sebagai pelanggaran moril kecondongan untuk mempertahankan atau
mengadakan perundang-undangan atau pola bertindak yang secara sistematis diilhami
oleh prasangka rasial. Semua orang mempunyai hak-hak serta kewajiban-kewajiban asasi
yang sama, begitu pula panggilan hidup adikodrati yang sama. Dalam negeri yang menjadi
milik tiap warganya, seharusnya semua orang sederajat di hadapan hukum, sama-sama
boleh berperan serta dalam kehidupan ekonomi, budaya, sipil dan sosial, dan ikut
menikmati pembagian kekayaan bangsa yang sewajarnya.
17. Yang kami pikirkan juga ialah situasi gawat sejumlah besar tenaga kerja imigran, yang
justru makin dipersulit oleh kondisi mereka sebagai kelompok asing untuk entah
bagaimana mempertahankan hak-hak sosial mereka, kendati mereka dengan nyata
berperan serta dalam usaha-usaha ekonomi negeri yang menampung mereka. Mendesak
sekali bagi bangsa mana pun, untuk mengatasi sikap nasionalis yang picik terhadap
mereka, dan menyusun undang-undang, yang menjamin hak mereka untuk beremigrasi,
mendukung integrasi mereka, memperlancar kemajuan kejuruan mereka, dan
memungkinkan mereka mendapat perumahan yang layak, sehingga keluarga mereka pun
dapat bergabung dengan mereka[11].
Berkaitan dengan golongan itu ialah mereka, yang untuk menemukan pekerjaan,
atau untuk menghindari bencana atau iklim yang tidak sehat, meninggalkan daerah
mereka, dan tidak merasa kerasan di masyarakat lain.
Termasuk kewajiban siapa pun, dan khususnya umat Kristiani[12], ikut berusaha
sekuat tenaga membentuk persaudaraan semua orang, dasar yang mutlak perlu bagi
keadilan yang sejati dan syarat bagi duamai yang lestari: ‘Kita tidak dapat menyerukan
nama Allah Bapa semua orang, bila terhadap orang-orang tertentu, yagn diciptakan
menurut citra-kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara. Hubungan
manusia dengan Allah Bapa dan hubungannya dengan sesama manusia saudaranya
begitu erat, sehingga Alkitab berkata: ‘ Barang siapa tidak mencintai, ia tidak mengenal
Allah’ (1 Yoh 4:8)[13].
19. Belum pernah daya cipta masyarakat dirangsang begitu terang-terangan. Daya cipta
itu semestinya dikerahkan untuk usaha-usaha penemuan dan pembekalan, yang tidak
kalah penting dengan usaha-usaha persenjataan atau prestasi-prestasi teknologi. Kalau
manusia membiarkan diri bergegas-gegas maju tanpa tepat pada waktunya mengantisipasi
munculnya masalah-masalah sosial baru, masalah-masalah itu akan menjadi terlampau
berat, sehingga kian sulit untuk masih mengharapkan pemecahan penuh damai.
HAK-HAK MANUSIAWI
23. Melalui pernyataan hak-hak manusia itu dan usaha mengadakan perjanjian-perjanjian
internasional untuk menerapkan hak-hak itu, tercapailah kemajuan dalam menanam kedua
aspirasi itu ke dalam tindakan-tindakan maupun struktur-struktur[16]. Kendati begitu
pelbagai bentuk diskriminasi masih terus saja bermunculan-di bidang kesukuan, budaya,
keamanan, politik dan sebagainya.Kenyataannya hak-hak manusiawi terlampau sering
diabaikan, kalau tidak dilecehkan, atau juga diakui secara formal melulu. Acap kali
perundang-undangan itu perlu, tetapi belum memadai untuk membentuk hubungan-
hubungan sejati berdasarkan keadilan dan kewajaran. Dengan mengajarkan cintakasih,
Injil hendak menanam sikap hormat terutama terhadap kaum miskin, dan perhatian
terhadap situasi mereka yang khas dalam masyarakat: mereka yang lebih beruntung harus
mengikhlaskan berbagai hak mereka, untuk makin berjiwa besar mengabdikan harta-
kekayaan mereka kepada sesama. Kalau karena hukum dikesampingkan sebenarnya
hilanglah sikap hormat dan pengabdian terhadap sesama,bahkan ”keadilan” menurut
hukum pun dapat berfungsi sebagai kedok diskriminasi yang terang-terangan, penghisapan
terus-menerus dan penghinaan yang nyata. Tanpa usaha membaharui pendidikan dalam
solidaritas tekanan yang berlebihan pada keadilan dapat menumbuhkan individualisme: di
situ tiap orang menuntut hak-haknya sendiri tanpa mau bertanggung jawab atas
kepentingan umum.
Di bidang itu siapa pun menyadari amat pentingnya sumbangan semangat Kristiani,
yang sekaligus menanggapi hasrat manusia untuk dikasihi. ”Cintakasih terhadap sesama,
nilai utama dalam tata dunia”, menjamin terpenuhinya persyaratan bagi perdamaian, damai
sosial maupun internasional, dengan menegaskan persaudaraan kita semesta[17].
KEHIDUPAN POLITIK
24. Kedua aspirasi, yakni akan kedilan dan partisipasi, merupakan dukungan bagi pola
masyarakat demokratis. Ditawarkan berbagai pola, ada yang pernah diujicoba, tidak satu
pun memuaskan sepenuhnya, dan tetap masih berlangsung penelitian antara arus-arus
ideologis dan pragmatis. Umat Kristiani wajib melibatkan diri dalam penelitian itu, dan
dalam organisasi serta kehidupan negara. Sabagai makhluk sosial manusia membentuk
masa depannya dalam serangkaian kelompok-kelompok khusus, yang untuk melengkapi
diri dan sebagai syarat mutlak bagi perkembangan mereka memerlukan masyarakat yang
lebih luas, bersifat universal, yakni negara. Segala kegiatan khas harus ditempatkan dalam
masyarakat lebih luas itu, dan dengan demikian beroleh dimesnsi kepentingan umum[18].
Itu menunjukkan relevansi pendidikan bagi kehidupan dalam masyarakat. Dalam
pendidikan itu bukan hanya disampaikan penyuluhan tentang hak-hak tiap orang,
melainkan ditunjukkan juga padanannya, yakni: pengakuan kewajiban-kewajibannya
terhadap sesama. Kesadaran akan kewajiban dan pelaksanaannya sendiri dipengaruhi
oleh pengendalian diri dan kesanggupan bertangggung jawab serta batas-batas kebebasan
perorangan maupun kelompok.
27. Masih perlukah ditekankan,bahwa dapat saja ideologisosial bersifat mendua? Kadang
ideologi menganggap kegiatan politik atau sosial melulu sebgai penerapan suatu ide yang
abstrak dan teoretis belaka. Ada kalanya itu sistem pemikiran yang menjadi upaya
pendukung melulu bagi kegiatan sebagai sarana strategi semata-mata. Tidakkah dalam
kedua alternatif itu manusia menempuh risiko mengalami alienasi diri? Iman Kristiani
melampaui ideologi-ideologi dan ada kalanya bertentangan dengannya, karena mengakui
Allah, Sang Pencipta yang Adi semesta, dan yang melalui segala lapisan penciptaan
menyampaikan panggilannya kepada manusia, yang dikaruniai tanggung jawab dan
kebebasan.
28. Ada bahaya pula menganut ideologi yang tidak berdasarkan ajaran yang benar dan
organis, mengandalkannya seakan-akan itulah penjelasan segala sesuatu yang mutakhir
dan serba memadai, dan dengan begitu menciptakan berhala baru, kadang-kadang tanpa
menyadari menerima sifat totaliternya yagn memaksakan diri. Dan ada saja yang
membayangkan seolah-olah di situlah mereka temukan pembenaran bagi kegiatan mereka,
bahkan juga bagi tindakan kekerasan, dan tanggapan yang memadai terhadap hasrat
mereka yang besar untuk mengabdi. Hasrat itu memang tetap ada, tetapi membiarkan diri
tersita oleh ideologi yang juga kalau menyarankan cara-cara tertentu untuk membebaskan
manusia-akhirnya memperbudaknya.
30. Akan tetapi selain positivisme yang membatasi manusia hanya pada satu dimensi itu,
kendati memang dimensi yang penting, sehingga manusia mengalami pengudungan, umat
Kristiani dalam kegiatan mereka menjumpai gerakan-gerakan konkret historis, yang
bersumber pada ideologi-ideologi dan sebagian terbedakan dari padanya. Pendahulu kami
yang mulia Paus Yohanes XXIII dalam Ensiklik ”Pacem in Terris” sudah menunjukkan
bahwa dapat diadakan pembedaan: ”Ajaran-ajaran filsafah yang palsu tentang hakikat,
asalmula dan tujuan akhir alam semesta maupun manusia tidak dapat disamakan belaka
dengan gerakan-gerakan historis yang mengejar sasaran-sasaran ekonomi, sosial, budaya
dan politik, juga sungguhpun gerakan-gerakan itu bersumber pada ajaran-ajaran tadi dan
telah serta masih menimba inspirasi dari padanya. Sebab ajaran-ajaran, sekali disusun dan
dibakukan, selalu tetap sama; sedangkan gerakan-gerakan, yang penuh kepedulian akan
situasi-situasi historis dalam perkembangannya terus menerus, mau tak mau terpengaruh
oleh kenyataan-kenyataan itu, oleh karena itu tidak dapat lain kecuali mengalami
perubahan-perubahan, malahan yang mendalam juga. Lagi pula siapa dapat menyangkal
bahwa gerakan-gerakanitu, sejauh mengikuti bimbingan akal sehat dan menafsirkan
aspirasi-aspirasi pribadi manusia yang memang benar, mencakup unsur-unsur yang positif
dan layak disetujui?”[20]
31. Sekarang ada orang-orang Kristiani yang tertarik oelh arus-arus sosialis dan berbagai
perkembangannya. Mereka mencoba mengenali padanya sejumlah aspirasi-aspirasi yang
mereka pupuk sendiri berdasarkan iman mereka. Mereka merasa termasuk arus sejarah itu
dan bermaksud berperanan di dalamnya. Sekarang arus historis itu, di balik satu nama,
mengenakan berbagai bentuk sesuai dengan situasi di berbagai benua beserta
kebudayaannya, juga sekalipun di masa lampau dan sekarang pun masih sering menimba
inspirasinya dari ideologi-ideologi yang bertentangan dengan iman. Dibutuhkan penilaian
yang sungguh cermat. Sering sekali orang-orang Kristiani yang tertarik oleh sosialisme
cenderung untuk menyanjung-nyanjungnya dengan ungkapan-ungkapan yang, terlepas
dari segi-segi lain, serba umum belaka: hasrat akan keadilan, solidaritas dan pemerataan.
Mereka tidak mau mengakui terbatasnya gerakan-gerakan sosialis dalam sejarah, yang
tetap terpengaruh oleh ideologi-ideologi yang melahirkannya. Perlu diadakan pembedaan
untuk mengarahkan pemilihan-pemilihan konkret antara pelbagai tingkatan ungkapan
sosialisme: suatu aspirasi penuh ketulusan dan usaha membentuk masyarakat yang lebih
adil, gerakan-gerakan konkret yang mempunyai organisasi dan tujuanpolitik, dan ideologi
yang meng”klaim”memberi gambaran yang lengkap dan swa-sembada tentang manusia.
Kendati begitu, pembedaan-pembedaan itu jangan menimbulkan anggapan seolah-olah
tingkatan-tingkatan itu harus ditunjukkan dengan jelas. Pengertian itu akan memungkinkan
umat Kristiani mengenali taraf komitmen yang diperbolehkan pada haluan itu, sementara
tetap terjaminlah beberapa nilai, khususnya kebebasan, tanggung jawab dan sikap terbuka
bagi kerohanian, yang menjamin perkembangan manusia seutuhnya.
TANTANGAN MARKSISME
32. Ada orang-orang Kristiani lainnya yang bahkan menanyakan, tidakkah perkembangan
historis Marksisme barangkali menghalalkan pendekatan-pendekatan konkret tertentu. De
facto mereka menunjuk kepada sempalan tertentu dalam Marksisme, yagn hingga
sekarang tampil sebagai ideologi tunggal, yang menjelaskan keseluruhan manusia dan
dunia menurut pola ateisme, karena melulu mengungkung diri dalam proses
perkembangannya. Terlepas dari konfrontasi ideologi yang secara resmi memisahkan
berbagai tokojk pejuang Marksisme-Leninisme dalam penafsiran mereka masing-masing
terhadap pemikiran para pendirinya, terlepas pula dari perlawanan terbuka antara sistem-
sistem politik yang sekarang menggunakan namanya, ada beberapa yang menggariskan
pembedaan-pembedaan antara berbagai tingkatan ungkapan dalam Marksisme.
33. Menurut pihak tertentu Marksisme pada dasarnya tetap merupakan gelanggang
perjuangan aktif antar kelas. Sementara mengalami tetap adanya kekuatan yang terus
menerus dibaharui pada hubungan-hubungan dominasi dan eksploatasi antar manusia,
mereka membatasi Marksisme melulu pada suatu perjuangan-acap kali tanpa tujuan lain-
yang harus dilaksanakan dan bahkan tiada hentinya dikobarkan. Bagi kelompok lain.
Marksisme terutama merupakan pelaksanaan kolektif kekuasaan politik dan ekonomi di
bawah pimpinan partai tunggal, yagn dicanangkan sebagai satu-satunya perwujudan dan
jaminan bagi kesejahteraan segenap masyarakat, dan melucuti orang-orang dan
kelompok-kelompok lain dari tiap kemungkinan untuk berprakarsa dan menentukan pilihan
mereka sendiri. Pada tingkat ketiga Marksisme, entah berkuasa entah tidak, dianggap
sebagai ideologi sosialis berdasarkan materialisme historis dan pengingkaran apa pun
yang bersifat transenden. Akhirnya ada kalanya Marksisme tampil dalam bentuk lebih
lunak, lebih menarik juga bagi mentalitas modern, yakni: sebagai kegiatan ilmiah, suatu
metode ketat untuk meneliti kenyataan sosial dan politik, dan sebagai kaitan rasional yang
teruji oleh sejarah antara pengertian teoretis dan praktek perombakanrevolusioner.
Meskipun pola analisis itu mengutamakan aspek-aspek tertentu dalam kenyataan kongkret
sehingga mengesampingkan segi-segi lainnya, dan menafsirkan aspek-aspek tadi dalam
terang ideologinya, namun membekali kelompok tertentu bukan hanya dengan instrumen
kerja, melainkan juga dengan suatu kepastian mendahului tindakan, yakni:”klaim” untuk
secara ilmiah menguraikan akar-akar perkembangan masyarakat.
34. Sementara, melalui bentuk Marksisme yang konkret ada, dapat dibedakan antara
berbagai aspek itu dan masalah-persoalan yagn diajukannya bagi refleksi an kegiatan umat
Kristiani, akan menyesatkan dan berbahaya, bila kaitan erat yagn secara radikal
mempertalikan keduanya sampai dilupakan, bila unsur-unsur analisis Marksis diterima saja
tanpa mengakui hubungannya dengan ideologi, dan bila perjuangan antar kelas serta
tafsiran-tafsiran Marksisnya dipraktekkan, sementara tidak disadari bahwa proses itu
membawa ke arah pembentukan masyarakat yang totaliter dan penuh kekerasan.
AKAR-AKAR LIBERALISME
35. Di lain pihak kita saksikan pembaharuan ideologi liberal. Arus itu membawakan diri
demi efisiensi ekonomis, dan untuk melindungi individu terhadap kekuasaan organisasi-
organisasi yang makin merajalela, serta sebagai reaksi melawan arus-arus totaliter
kekuatan-kekuatan politik. Prakarsa pribadi memang harus dipertahankan dan
dikembangkan. Akan tetapi bukankah orang-orang Kristiani yang menempuh jalan itu
condong untuk menyanjung-nyanjung liberalisme juga, dan memandangnya sebagai
proklamasi dukungan bagi kebebasan?Mereka menginginkan pola baru, lebihsesuai
dengan situasi zaman sekarang, sementara mudah melupakan bahwa pada dasar filsafah
liberalisme sendiri terdapat pernyataan yang sesat tentang otonomi perorangan dalam
kegiatan serta motivasinya, dalam pelaksanaan kebebasannya. Oleh karena itu ideologi
liberal pun dari pihak mereka menuntut penilaian yang seksama.
36. Dalam perjumpaan ulang antara berbagai ideologi itu, orang Kristiani akan menimba
dari sumber-sumber imannya dan dari ajaran Gereja kaidah-kaidah yang dibutuhkandan
norma-norma yang sesuai, supaya jangan membiarkan diri mulanya tertarik oleh dan
kemudian dikungkung dalam siatu sistem, yangsifat-sifatnya terbatas dan totaliter
barangkali akan terlambat menjadi jelas baginya, kalau ia tidak memahaminya hingga akar-
akarnya. Melampaui tiap sistem, tetapi tanpa mengabaikan komitmennya yang konkret
untuk melayani sesama, ia akan menampilkandi tengah segala pilihannya ciri khas
sumbangan Kristiani untuk perombakan positif masyarakat[21].
37. Selain itu sekarang berbagai kelemahan ideologi-ideologi lebih mudah dimengerti
melalui sistem-sistem konkret, yang merupakan cetusan jatidirinya. Sosialisme birokratis,
kapitalisme teknokratis dan demokrasi otoriter menampilkan, betapa sukar memecahkan
masalah manusiawi besar, yang ada pada hidup bersama dalam keadilan dan kewajaran.
Sebab bagaimana sistem-sistem itu dapat menghindari materialisme, egoisme atau
paksaan yagn melekat tak terceraikan dari padanya? Itulah sumber protes yang meletus
hampir di mana-mana, dan menandakan penyakit yang sudah mendalam; sedangkan
sementara ini kita saksikan munculnya apa yang lazim disebut ”utopia-utopia”. Utopi-utopi
itu disertai keyakinan akan kemampuannya memecahkan masalah politik masyarakat-
masyarakat modern lebih baik dari ideologi-ideologi. Akan berbahaya sekiranya itu
diabaikan. Sikap mengandalkan suatu utopi sering merupakan dalih yang mudah bagi
mereka yang hendak melarikan diri dari tugas-tugas konkret, untuk mengungsi ke dalam
suatu dunia khayalan. Hidup di masa depan yang penuh perandaian ialah ”alibi” yagn
nyaman untuk menolak tanggung jawab yang serba langsung. Akan tetapi memang harus
diakui terus terang, bahwa kritik semacam itu terhadap masyarakat sekarang acap kali
mengundang lintasan daya-cipta ke depan, baik untuk menggali dalam masa kini peluang
tersembunyi yang diabaikan, maupun untuk mengarahkan pandangan ke masa depan
yang segar. Begitulah kritik itu tetap menghidupkan dinamisme sosial berdasarkan
kepercayaan yang diberikankepada daya-kekuatan inventif budi maupun hati manusia. Dan
selama kritik itu masih tetap terbuka, akan dapat menampung seruan Kristiani juga. Roh
Tuhan, yang menjiwai manusia yang dibaharui dalam Kristus, tiada hentinya mendobrak
lingkup cakrawala, tempat pemikiran manusia suka menemukan keamanan, dan
menembus batas-batas kungkungan yang dengan rela diterima oleh kegiatannya. Dalam
diri manusia bergolaklah kekuatan, yang mendorong untuk melampaui tiap sistem dan tiap
ideologi. Di tengah-tengah duia hiduplah misteri manusia, yagn menemukan diri sebagai
anak-anak Allah di sepanjang proses historis dan psikologis, yagn ditandai dengan silih-
bergantinya paksaan dan kebebasan, begitu pula bobot dosa dan nafas Roh, yang saling
berebut kekuasaan atas manusia.
Di situ dinamisme iman Kristiani unggul terhadap perhitungan egoisme yagn picik.
Dijiwai oleh kuasa Roh Yesus Kristus, Penyelamat umat manusia, dan ditopang oleh
harapan, umat Kristiani melibatkan diri dalam pembangunan masyarakat manusia, yang
harus penuh damai dan keadilan, ditandai oleh persaudaraan dan berkenan sebagai
persembahan kepada Allah[22]. Memang ”harapan akan bumi baru jangan melemahkan,
melainkanjustru harus merangsang kepedulian kita untuk mengelola bumi ini. Sebab di sini
berkembanglah tubuh keluarga manusia yang baru yang sekarang punsudah mampu
mempralambangkan zaman baru”[23].
39. Jangan kurang diperhatikan pula tindaan-tindakan yang dapat dirangsang oleh ilmu-
ilmu manusia, yang mendorong ke arah penyusunan pola-pola masyarakat, untuk
kemudian dipaksakan kepada masyarakat sebagai pola-pola perilaku yagn sudah diuji
secara ilmiah. Kalau begitu manusia dapat menjadi saaran berbagai manipulasi, yang
menjuruskan keinginan-keinginan serta kebutuhan-kebutuhannya, dan mengubah
perilakunya, bahkan juga sistem nilai-nilainya. Pantang diragukan, bahwa di situ terletak
bahaya yang gawat bagi masyarakat-masyarakat di masa mendatang, dan bagi manusia
sendiri. Sebab sekalipun semua sepakat membangun masyarakat baru untuk melayani
manusia, masih penting sekali juga mengetahui manusia macam apakah yang
dimaksudkan.
40. Kecurigaan ilmu-ilmu manusia menyangkut orang Kristiani lebih dari pihak-pihak lain,
tetapi tidak menumpainya tanpa senjata. Sebab seperti kami tulis dalam Ensiklik
”Populorum Progressio”, di situlah letak sumbangan khas Gereja kepada peradaban:
”Gereja ikut memupuk aspirasi-aspirasi masyarakat yang amat luhur, dan menderita bila
menyaksikannya tak terpenuhi. Maka Gereja ingin membantu masyarakat mencapai
pemekarnnya sepenuhnya. Oleh karena itulah Gereja menyajikan kepada masyarakat apa
yang dimilikinya sebagai ciri khas, yakni: visi menyeluruh tentang manusia danumat
manusia”[24]. Lalu apakah Gereja ganti akan melawan langkah-langkah ilmu-ilmu
manusia, dan mengecam pretensi-pretensinya? Seperti terhadap ilmu-ilmu alam, Gereja
mempunyai kepercayaan akan penelitian ilmu-ilmu manusia juga, dan mendorong umat
Kristiani untuk berperan serta dengan aktif[25]. Didorong oleh tuntutan-tuntutan ilmiah
yang sama dan oleh keinginan mengenal manusia lebih baik, tetapi sekaligus diterangi oleh
iman, para ilmuwan-ilmuwan Kristiani akan menjalindialog yagn boleh diharapkan akan
berbuah banyak. Tentu saja tiap ilmu hanya akan mampu menangkap dalam bidangnya
yang khas aspek-aspek tertentu-dan itu benar juga –tentang manusia. Gambaran yagn
lengkap dan maknanya yang sepenuhnya tidak akan tercapai. Akan tetapi dalam batas-
batas itu ilmu-ilmu manusia memberi harapan akan berfungsi positif, dan oleh Gereja itu
diakui dengan rela. Ilmu-ilmu itu ahkan dapat memperluas cakrawala kebebsan manusiawi,
jauh lebih dari yang dapat diperkirakan berdasarkan dampak pengaruh kenyataan-
kenyataan yang dialami. Maka ilmu-ilmu manusia juga dapat menunjang moralitas sosial
Kristiani, yagn pasti akan merasakan betapa terbatasnya juga bidangnya, bila soalnya
menyarankan pola-pola masyarakat yang tertentu. Sebab fungsi moralitas, yakni memberi
penilaian kritis dan menampung pandang yang menyeluruh, akan diteguhkan dengan
menunjukkan sifat relatif perilaku dan nilai-nilai yang ditawarkan oleh masyarakat tertentu
sebagai defenitif dan melekat pada kodrat manusia sendiri. Ilmu-ilmu itu merupakan syarat
, yang mau tak mau harus dipenuhi namun sekaligus tidak memadai untuk dengan lebih
seksama menemukan apakah sebenarnya yang manusiawi itu. Ilmu-ilmu itu merupakan
bahasa, yang makin kompleks, tetapilebih bersifat menggali makin mendalam dari pada
memecahkan misteri lubuk hati manusia. Bahasa itu juga tidak memberi jawaban yang
lengkap dan defenitif terhadap dambaan yang lahir dari sanubari manusia.
41. Pengertian yang lebih mendalam tentang manusia memungkinkan penilaian lebih
cermat dan kritis serta pengakajian lebih seksama tentang suatu faham mendasar, yagn
melandasi masyarakat –masyarakat modern sebagai motivasi, tolok ukur dan tujuannya,
yakni: kemajuan. Sejak abad kesembilan-belas masyarakat-masyarakat barat, dan oleh
karena itu banyak pihak lainnya juga, menaruh harapan mereka pada kemajuan yang terus
menerus diperbaharui dan berkelanjutan. Kemajuan itu mereka pandang sebagai usaha
manusia untuk membebaskan diri menghadapi tuntutan-tuntutan alam dan ikatan-ikatan
sosial. Ketiak itu kemajuan merupakan syarat maupun tolok-ukur bagi kebebasan
manusiawi. Kemajuan, yang dipropagandakan oleh media informasi modern dan oleh
tuntutan akan pengetahuan yang lebih luas dan konsumsi yang lebih besar, menjadi
ideologi yang merajalela di mana-mana. Akan tetapi sekarang ini muncullah kebimbangan
mengerani nilai maupun hasilnya. Manakah arti usaha-usaha tiada hentinya dan penuh
gairah untuk mencapai kemajuan itu, kalau kemajuan itu senantiasa toh luput dari
jangkauan, justru bila orang mengira ia sudah cukup menguasainya utuk menikmatinya
dalam damai? Kalau kemajuan tidak tercapai, orang tetap tidak puas. Sudah pasti telah
dilontarkan dengan tepat kecaman terhadap batas-batas dan bahkan langkah-langkah
yang salah pada perkembangan ekonomi yang semata-mata bersifat kuantitatif. Ada
keinginan utuk mencapai sasaran-sasaran yang bersifat kualitatif juga. Mutu dan
kebenaran hubungan-hubungan manusiawi, kadar partisipasi dan tanggung jawab, tidak
kalah relevan atau penting bagi masa depan, dibandingkan dengan kuantitas dan
kemacam-ragaman barang-barang yang diproduksi dan merupakan bahan konsumsi.
Manusia sekarang ingin mengatasi godaan mau mengukur segala sesuatu dalam rangka
efisiensi dan perdagangan, dalam koteks percaturan antara kekuatan-kekuatan dan
kepentingan-kepentingan. Untuk itu ia ingin menggantikannorma-norma kuantitatif itu
dengan intensitas komunikasi, pemerataan pengetahuan dankebudayaan, pelayanan
timbal-balik dan perpaduan usaha-usaha untuk melaksanakan tugas bersama. Tidakkah
kemajuan yang sejati terdapat pada pengembangan kesadaran moril, yagn akan
mendorong manusia untuk mewujudkan solidaritas yagn lebih luas dan untuk secara bebas
membuka diri bagi sesama dan bagi Allah? Bagi umat Kristiani kemajuan mau tak mau
dihadapkan kepada perspektif misteri eskatologis maut. Wafat dan kebangkitan Kristus
serta pencurahan Roh Tuhan membantu manusia menempatkan kebebasannya, secara
kreatif dan penuh rasa syukur, dalam konteks kebenaran segala kemajuan dan satu-
satunya pengharapan yang tiada mengecewakan[26].
II
MENCARI JAWABAN-JAWABAN
42. Menanggapi sekian banyak persoalan baru Gereja berusaha berefleksi untuk dalam
lingkupya sendiri memberi jawaban kepada harapan-harapan manusia. Dewasa ini
masalah-masalah nampak serba baru karena begitu luas dan mendesak. Benarkah
manusia tidak mempunyai upaya-upaya untuk memecahkannya? Dengan seluruh
dinamismenya ajaran sosial Gereja mendampingi manusia dalam usahanya menemukan
jawaban. Gereja barangkali tidak bercampur-tangan untuk mengesahkan struktur tertentu
atau mengusulkan pola yang siap pakai. Tetapi juga tidak membatasi diri pada
mengingatkan prinsip-prinsip umum saja. Ajaran sosial Gereja berkembang melalui refleksi
atas pelbagai situasi yagn berubah-ubah di dunia ini, atas dorongan kekuatan Injil sebagai
sumber pembaharuan, bila amanatnya diterima seutuhnya beserta segala tuntuannya.
Ajaran sosial itu berkembagn juga berkat kepekaan Gereja yang khas, yang ditandai oleh
kemajuan tanpa pamrih utuk melayani dan oleh perhatian terhadap mereka yang paling
miskin. Akhirnya Gereja memanfaatkan pengalaman yangkaya berabad-abad lamanya,
yang memungkinkan tetap-menempuh langkah-langkah baru dengan berani dan kreatif,
seperti dibutuhkan dalam kenyataan dunia sekarang ini.
IKATAN-IKATAN EKONOMI
45. Sekarang ini manusia mendambakan akan membebaskan diri dari kebtutuhan dan
ketergantungan. Akan tetapi pembebasan itu mulai dengan kebebasan batin, yang oleh
banyak orang harus ditemukanlagi terhadap harta-benda dan kekuasaan mereka. Tidak
pernah mereka akan mencapai kebebasan itu kecuali melalui cintakasih akan sesama
melampaui segalanya, dan karena itu melalui kesediaan yang tulus untuk mengabdi. Kalau
tidak begitu, seperti jelas sekali ternyata, ideologi-ideologi yang paling revolusioner pun
hanya menimbulkan pergantian penguasa. Sekali dilantik untuk memangk jabatan, para
penguasa baru itu melengkapi diri dengan aneka privilegi, membatasi kebebasan-
kebebasan, dan membiarkan bentuk-bentuk lain ketidak-adilan bermunculan.
Demikianlah banyak orang sudah sampai pada mempersoalkan pola masyarakat
sendiri. Ambisi banyak bangsa, dalam persaingan yang menaruh mereka pada pihak
oposisi dan menghanyutkan mereka, ialah meraih kekuasaan di bidang teknologi, ekonomi
dan militer. Ambisi itu merintangi pembentukan struktur-struktur, yang lebih besar, sehingga
ketidak-adilan tidak diperuncing lagi, dan masyarakat tidak lagi hidup dalam iklim
kecurigaan dan perjuangan, yang terus menerus akan membahayakan perdamaian.
46. Bukan di situkah muncul pembatasan yang radikal terhadap ekonomi? Kegiatan
ekonomi memang perlu, dan kalau sungguh melayani manusia, dapat menjadi ”sumber
persaudaraan dan tanda penyelenggaraan”[28]. Kegiatan itu membuka peluang bagi
berbagai pertukaran konkret antara orang-orang, bagi pengakuan hak-hak, bagi
pelaksanaan jasa-pelayanan, dan bagi pengakuan martabat dalam kerja. Walaupun sering
merupakan bidang konfrontasi dan dominasi juga, kegiatan ekonomi dapat menimbulkan
dialog dan memupuk kerja sama. Akan tetapi juga menghadapi risiko menyerap terlampau
banyak tenaga dan kebebasan[29]. Oleh karena itulah dirasakan kebutuhan untuk beralih
dari ekonomi ke politik. Memang benar, dalam istilah ”politik” mungkinlah terjadi banyak
kerancuan, dan itu perlu dijernihkan juga. Akan tetapi siapa pun merasa, bahwa di bidang
sosial dan ekonomi, pada tingkat nasional maupun internasional, keputusan mutakhir ada
pada kekuasaan politik.
Pemerintah ialah ikatan kodrati yang dibutuhkan supaya seluruh masyarakat tetap
menyatu, dan harus bertujuan mewujudkan kepentingan bersama. Sementara
menghormati kebebasan-kebebasan yang sewajarnya ada pada orang-orang, keluarga-
keluarga, dan kelompok-kelompok pendukung kepentingan mereka, pemerintah berusaha
menciptakan secara efektif, demi kesejahteraan semua warga masyarakat, kondisi-kondisi
yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan manusia yang sejati dan sepenuhnya,
termasuk tujuan rohaninya.Pemerintah bertindak dalam batas-batas kewenangannya, yang
dapat berbeda-beda dari bangsa ke bangsa dan dari negara ke negara. Dalam campur
tangannya pemerintah selalu mengindahkan keadilan dan komitmen terhadap kepentingan
umum, yang termasuk tanggung jawabnya yang mendasar. Dengan menjalankan semua
itu pemerintah tidak mengambil alih dari warga peroragnan atau lembaga-lembaga
menengah bidang kegiatan dan tanggung jawab yang khas bagi mereka dan yang
membuka jalan bagi mereka untuk bekerja sama dalam mewujudkan kepentingan umum.
Sesungguhnya ”tujuan sejati segala kegiatan sosial seharusnya ialah membantu anggota
perorangan masyarakat, tetapi tidak pernah melumpuhkan atau menyerap mereka”[30].
Menurut misinya yangkhas pemerintah jangan mencampuri kepentingan-kepentingan
khusus, untuk tetap memperhatikan tanggung jawabnya atas kepentingan semua orang,
bahkan melampaui batas-batas nasional. Memandang serius politik pada berbagai
tarafnya-setempat, regional, nasional dan sedunia-berarti menegaskan kewajiban manusia,
tugas tiap orang, mengakui kenyataan konkret dan nilai kebebasan memilih yang ada
padanya, untuk berusaha mewujudkan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan umat
manusia. Politik termasuk kewajiban-meskipun bukan satu-satunya kewajiban-menghayati
komitmen Kristiani untuk berbakti kepada sesama. Tentu saja tanpa mau menyelesaikan
segala masalah, politik berusaha membantu memecahkan soal-soal hubungan antar
manusia juga. Gelanggang politik memang luas dan menyeluruh, tetapi tidak eksklusif.
Sikap mau menguasai segalanya, yang cenderung untuk menegakkan politik sebagai nilai
mutlak, akan menimbulkan bahaya yang gawat. Sementara mengakui otonomi kenyataan
politik, umat Kristiani yang diundang untuk menjalankan kegiatan politik harus berusaha
menentukan pilihan-pilihan mereka secara konsisten dengan Injil, dan dalam rangka
kemajemukan yang sewajarnya, memberi kesaksian pribadi maupun kolektif akan
kesungguhan iman mereka dengan melayani sesama secara efektif dan tanpa pamrih.
BERBAGI KEKUASAAN
47. Pergeseran dari ekonomi kepada dimensi politik juga mengungkapkan tuntutan
manusia dewasa ini, yakni: peran serta lebih besar dalam tanggung jawab dan
pengambilan keputusan. Aspirasi yagn memang wajar itu kian jelas, makin tinggi taraf
kebudayaan, makin meningkat kesadaran akan kebebasan, dan makin manusia
menyadari, bagaimana di dunia yang menghadapi masa depan yang tidak menentu pilihan-
pilihan masa kini sudah ikut menentukan perihidup di masa mendatang. Dalam Ensiklik
”Mater et Magistra”[31] Paus Yohanes XXIII menekankan betapa peluang untuk
bertanggung jawab merupakan tuntutan mendasar hakikat manusia, pengamalan konkret
kebebasannya dan jalan menuju perkembangannya. Paus menunjukkan, bagaimana dalam
kehidupan ekonomi dan khususnya dalam perusahaan peran serta dalam tanggung jawab
itu harus dijamin[32]. Sekarang lapangannya lebih luas, dan meliputi bidang sosial dan
politik; di situ perlu ditetapkan dan dimantapkan peran serta yang sewajarnya dalam
tanggung jawab dan keputusan-keputusan. Memang benar, pilihan-pilihan yang ditawarkan
untuk diputuskan makin kompleks; pertimbangan-pertimbangan yang perlu diperhatikan
banyak sekali, dan antisipasi konsekuensi-konsekuensinya mengandung risiko, juga
kendati ilmu-pengetahuan baru mencoba menyoroti kebebasan pada saat-saat yang
penting itu. Akan tetapi, sungguhpun ada kalanya batas-batas harus ada, rintangan-
rintangan itu jangan menghambat pemberian partisipasi yang lebih luas dalam
mempertimbangkan keputusan-keputusan, menentukan pilihan-pilihan serta
melaksanakannya. Untuk menandingi mengingkatnya teknokrasi perlu disusun bentuk-
bentuk modern demokrasi, yang tidak hanya memungkinkan tiap orang mendapat informasi
dan mengungkapkan diri, melainkan juga melibatkannya dalam tanggung jawab yang
partisipatif. Begitulah kelompok-kelompok lambat-laun akan makin ikut serta dan makin
merupakan rukun hidup. Begitu pula kebebasan, yang terlampau sering menyatakan diri
sebagai tuntutan otonomi dengan melawan kebebasan pihak-pihak lain, akan berkembang
dalam kenyataan manusiawinya yang terdalam, yakni: melibatkan dan membaktikan diri
dalam membangun solidaritas yang dihayati secara aktif. Akan tetapi bagi umat Kristiani :
dengan kehilangan dirinya dalam Allah yang membebaskannyalah manusia menemukan
kebebasan sejati, yang diperbaharui dalam wafat dan kebangkitan Tuhan.
III
48. Di bidang sosial Gereja selalu ingin memainkan peranan rangkap pertama menerangi
budi untuk mendampinginya mengenali kebenaran serta menemukan jalan yang benar di
tengah berbagai ajaran yang menarik perhatiannya; dan kedua ikut serta dalam tindakan,
serta memancarkan daya-kekuatan Injil dengan sungguh mengusahakan pelayanan dan
daya gunanya. Tidakkah untuk setia mengikuti keinginan itulah Gerejal telah mengutus
untuk merasul di tengah kaum buruh imam-imam, yang dengan sepenuhnya mengalami
kondisi pekerja-pada tingkat itu menjadi saksi-saksi keprihatinan dan daya-upaya Gereja?
Kepada segenap umat Kristianilah kamitujukan seruan yang baru dan mendesak ini
untuk bertindak. Dalam Ensiklik kami tentang Perkembangan Bangsa-Bangsa kami
mendesak, supaya semua anggota Gereja menunaikan tugas mereka;”Umat awam
hendaknya menjalankan tugas mereka yang khas, yakni membaharui tata-dunia.
Sedangkan peranan Hirarki ialah mengajarkan dan menafsirkan secar aotentik norma-
norma moralitas yang dalam hal itu harus dipatuhi, termasuk panggilan kaum awamlah,
tanpa menunggu secara pasif perintah-perintah atau petunjuk-petunjuk, mengadakan
prakarsa dengan bebas dan menanam semangat Kristiani ke dalam mentalitas, adat-
istiadat, undang-undang dan tata-susunan masyarakat lingkungan mereka”[33]. Hendaklah
tiap orang memeriksa diri , untuk melihat apa yang hingga sekaran gsudah dijalankan , dan
apa yang harus dijalankannya. Belum cukup mengingat prinsip-prinsip, menyatakan
maksud-maksudnya, menunjukkan pelanggaran-pelanggaran keadilan yang menyolok, dan
melontarkan kecaman-kecaman profetis. Kata-kata itu akan kehilangan bobotnya yang
nyata, kalau pada tiap orang tidak disertai kesadaran yang lebih hidup akan tanggung
jawab pribadi dan tindakan yang efektif. Terlampau mudah melemparkan kepada pihak-
pihak lain tanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran keadilan, kalau sementara itu
tiada kesadaran: bagaimana tiap orang secara pribadi tersangkut dalamnya, dan
bagaimana terutama dibutuhkan pertobatan pribadi. Kerendahan hati yang mendasar itu
akan menghilangkan segala sifat kaku dan sektarianisme dari tindakan. Selain itu akan
menghindarkan orang dari sikap putus asa menghadapi tugas, yang lingkupnya nampak
tanpa batas. Harapan Kristiani terutama bersumber pada kenyataan, bahwa orang
menginsyafi: Tuhan bekerja sama dengan kita di dunia. Sementara itu Ia melangsungkan
dalam Tubuh-Nya, yakni Gereja, -dan melalui Gereja dalam segenap umat manusia-karya
penebusann yang telah dilaksanakan-Nya di salbib dan yang tampil gemilang dalam
kejayaan pada pagi kebangkitan-Nya[34]. Harapan itu bersumber pula pada kenyataan,
bahwa orang Kristiani menyadari: orang-orang lain sedang berusaha menjalankan
tindakan-tindakan keadilan dan damai untuk mencapai tujuan yagn sama. Sebab di balik
penampilan lahir sikap tidak peduli, di sanubari tiap orang terdapat kemauan akan hidup
dalam persaudaraan, serta rasa haus akan keadilan dan damai, yang harus ditumbuhkan.
KESAKSIAN KRISTIANI
51. Dalam perspektif itu pulalah organisasi-organisasi Kristiani dengan aneka bentuknay
mempunyai tanggung jawab untuk bertindak secara serentak. Tanpa mau menggantikan
lembaga-lembaga masyarakat sipil, organisasi-organisasi itu dengan cara masing-masing
dan dengan melampaui sifatnya yagn khas harus mengungkapkan hasrat-keinginan
konkret iman Kristiani akan perombakan masyarakat menurut keadilan, yang karena itu
sungguh di butuhkan[38].
Zaman sekarang lebih dari pada di masa lampau sabda Allah tidak akan dapat
diwartakan dan didengar, kalau tidak diiringi dengan kesaksian kekuatan Roh Kudus, yagn
berkarya dalam kegiatan umat Kristiani dalam pengabdian kepada sesama, pada saat-saat
eksistensi dan masa depan mereka menjadi taruhan.
52. Dalam mengugkapkan pokok-pokok refleksi itu kepada Anda, Saudara yang terhormat,
tentu kamimenyadari, bahwa tidak semua masalah sosial kami uraikan, yang sekarang
dihadapi oleh umat beriman dan orang-orang yang beriktikad baik. Pernyataan-pernyataan
kami-disusul dengan pesan Anda belum lama in pada kesempatan mengawali Dasawarsa
Perkembangan yang Kedua-khususnya tetang tugas-tugas masyarakat bangsa-bangsa
sekitar persoalan serius tentang perkembangan manusia seutuhnya dan terpadu, masih
segar dalam kenangan banyak orang. Kami alamatkan pokok-pokok refleksi sekarang ini
kepada Anda dengan maksud menyumbangkan kepada Dewan Kaum Awam dan Komisi
Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian beberapa sumbangan yang baru, begitu pula
suatu dorongan, untuk menunaikan tugas mereka ”membangunkan umat Allah supaya
menyadari sepenuhnya peranan mereka sekarang ini”, dan ”memajukan kerasulan pada
tingkat internasional”[39].
Dengan citarasa itulah, Saudara yang terhormat, kami sampaikan kepada Anda
berkat apostolik kami.
PAUS PAULUS VI
[1] Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes “ 10: AAS 58 (1966) hlm. 1033.
[2] AAS 23 (1931) hlm.209 dsl.
[3] Bdk. MM.115:AAS 53 (1961) hlm.429.
[4] PP.3:AAS 59 (1967) hlm.258.
[5] PP.1:ibidem hlm.257.
[6] Bdk.2Kor 4:17.
[7] Bdk. Ensiklik “Populorum Progressio”, 25:AAS 59 (1967) hlm.269-270.
[8] Bdk. Why 3:12;21:2.
[9] Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”25:AAS 58 (1966) hlm.1045.
[10] Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”25:AAS 58 (1966) hlm.1089.
[11] Bdk. Ensiklik “Populorum Progressio”, 69:AAS 59 (1967) hlm. 290-291.
[12] Bdk. Mat 25:35.
[13] Konsili Vatikan II, Pernyataan “Nostra Aetate”,5:AAS 58 (1966) hlm.743.
[14] Bdk. Ensiklik “Populorum Progressio”, 37:AAS 59 (1967) hlm. 276.
[15] Bdk. Konsili Vatikan II, Dekrit “Inter Mirifica”, 12:AAS 56 (1964) hlm.149.
[16] Bdk. Ensiklik “Pacem in Terris” 15-17: AAS 55 (1963) hlm.261 dsl.
[17] Bdk. Amnat Paus Paulus VI pada Hari Perdamaian Sedunia, tgl. 1 Januari 1971: AAS
63 (1971) hlm. 5-9.
[18] Bdk. Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” 74: AAS 58 (1966) hlm. 1095-1096.
[19] Pernyataan “Dignitatis Humanae”, 1: AAS 58 (1966) hlm. 930.
[20] Bdk. Ensiklik “Pacem in Terris”, 159: AAS 55 (1963) hlm. 300.
[21] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”, 11: AAS 58 (1966) hlm.
1033.
[22] Bdk. Rom 15:16.
[23] Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”,39 : AAS 58 (1966) hlm. 1057.
[24] “Populorum Progressio”, 13: AAS 59 (1967) hlm. 264.
[25] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”, 36: AAS 58 (1966) hlm.
1054.
[26] Bdk. Rom 5:5
[27] Bdk. Ensiklik “Populorum Progressio”, 56-61: AAS 59 (1967) hlm. 285 dsl.
[28] Bdk. Ensiklik “Populorum Progressio”, 86: AAS 59 (1967) hlm. 299.
[29] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”, 63: AAS 58 (1966) hlm.
1085.
[30] Paus Pius XI, Ensiklik “ Quadragesimo Anno”, 79: AAS 23 ( 1931) hlm. 203; bdk. Paus
Yohanes XXIII, Ensiklik “ Mater et Magistra”, 53, 111: AAS 53 (1961) hlm. 414, 428; Konsili
Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”, 74-76: AAS 58 (1966) hlm. 1095-1100.
[31] Bdk. Ensiklik “Mater et Magistra” 74-78: AAS 53 (1961) hlm. 420-422.
[32] Bdk. Juga Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”, 68, 75: AAS 58
(1966) hlm.1089-1090, 1097.
[33] Ensiklik “ Populorum Progressio”, 81: AAS 59 (1967) hlm. 296-297.
[34] Bdk. Mat 28: 30; Flp 2:8-11.
[35] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”, 43: AAS 58 (1966) hlm.
1061.
[36] Ibid., 92. 1113.
[37] Bdk. 1 Tes 5: 21.
[38] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi dogmatis “ Lumen Gentium”, 31: AAS 57 (1965) hlm.
37-38; Dekrit “ Apostolicam Actuositatem”, 5: AAS 58 (1966) hlm. 842/
[39] “Catholicam Christi Ecclesiam”: AAS 59 (1967) hlm. 27 dan 26.