Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Di Indonesia, budidaya tanaman mint telah banyak dilakukan. Berdasarkan
data Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2017), terdapat kurang lebih
200 ton/tahun daun mint segar yang didapat. Daun mint sangat populer dalam
penggunaannya dalam bentuk minyak maupun minuman herbal. Banyak industri
yang menggunakan daun mint sebagai bahan utama dalam pembuatan produknya,
seperti pada industri kosmetik, farmasi, pangan, dan rokok (Herro, 2010). Efek rasa
dingin dan aroma segar yang ditimbulkan dari daun mint dikarenakan adanya
senyawa mentol dalam jumlah besar. Berdasarkan penelitian Gavahian (2015),
kandungan mentol yang terdapat pada ekstrak daun mint sebesar 55 - 75 %wb.
Tanaman mint merupakan merupakan salah satu tanaman musiman,
sehingga untuk memenuhi kebutuhan pasar akan daun mint dilakukan proses
pengeringan. Pengeringan adalah salah satu metode yang telah lama digunakan,
pada umumnya masyarakat mengeringkan daun mint menggunakan panas dari
matahari dalam kondisi terbuka. Terdapat beberapa kelemahan dalam pengeringan
menggunakan panas matahari, yaitu lambatnya proses pengeringan, terjadi
kontaminasi produk dengan debu dan serangga. Oleh karena itu, dilakukan metode
dengan pengeringan udara panas konveksi paksa menggunakan alat tray dryer
untuk menghasilkan produk yang seragam dan lebih higienis. Tetapi komposisi dan
kandungan senyawa pada bahan sangat dipengaruhi oleh temperatur dan laju alir
udara pengeringan (Law C, 2014).
Keuntungan dilakukannya pengeringan pada produk pertanian adalah
produk lebih tahan lama, lebih ringan, lebih mudah didistribusikan, dan
meningkatkan harga jual daun mint. Berdasarkan survey, daun mint kering
memiliki harga lebih tinggi dibandingkan daun mint segar. Daun mint segar
dihargai sekitar 15.000/kg sedangkan daun mint kering memiliki nilai jual Rp
60.000/kg.
Seiring berkembangnya industri di Indonesia yang menggunaan daun mint
sebagai bahan baku utama, maka perlu adanya penelitian mengenai proses
pengeringan daun mint untuk mengetahui kondisi operasi temperatur dan laju alir
udara pengeringan yang baik dilihat dari kandungan mentol tertingginya.
Berdasarkan penelitian oleh Nguyen Thi Kim Chi (2016), dilakukan variasi
pengeringan pada temperatur 40oC, 50oC, 60oC, 70oC, dan 80oC pada laju alir udara
1,3 m/s didapat kadar mentol tertinggi pada temperatur 40oC dan 50oC. Penelitian
oleh Blanco dkk (2000), pengeringan daun mint pada temperature 40°C, 60°C, and
80°C dan didapatkan hasil kandungan mentol tertinggi pada suhu 40oC yaitu ± 38%%
dan pada setiap kenaikan temperatur terjadi penurunan yield ekstrak daun mint, dan
penelitian oleh Mohsen dkk (2018), dilakukan pengeringan dengan temperatur 30oC,
40oC, dan 50oC pada laju alir udara 1,45 m/s, didapat kandungan mentol tertinggi pada
temperatur 50oC yaitu 47.5%.
Pada penelitian pengeringan daun mint untuk menentukan laju alir udara
dan temperatur pengeringan, diperlukan serangkaian proses yaitu, pengeringan,
ekstraksi, dan pengujian kadar kandungan mentol. Pengeringan dilakukan
menggunakan alat tray dryer yang memiliki kelebihan pada proses pengeringan yaitu
penggunaan udara panas sehingga proses pengeringannya lebih efisien, pengaturan laju
alir udara dan suhu pengering agar mendapat kondisi operasi terbaik. Menurut Beigi dkk
(2018) pengeringan daun mint menggunakan microwave akan menghasilkan yield
ekstrak yang lebih sedikit dibandingkan jika menggunakan udara panas. Proses ekstraksi
dipengaruhi oleh beberapa variable yaitu suhu, tekanan dan pelarut. Variabel ekstraksi
tersebut perlu diperhatikan dalam mencapai kondisi proses ekstraksi terbaik.
Hal tersebut melatarbelakangi penelitian “Uji Karakteristik Pengeringan
Daun Mint dengan Variasi Laju Alir Udara dan Temperatur Menggunakan Alat
Tray Dryer”. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kondisi operasi terbaik
dalam pengeringan daun mint dan menganalisis kadar mentol daun mint dengan
metode maserasi. Hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai data acuan untuk
proses pengeringan daun mint menggunakan tray dryer pada home industry.

1. 2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, didapat rumusan masalah yaitu:
1) Bagaimana pengaruh laju alir udara proses pengeringan terhadap laju
pengeringan?
2) Bagaimana pengaruh temperatur proses pengeringan terhadap laju
pengeringan?
3) Bagaimana pengaruh laju alir udara dan temperatur proses pengeringan
terhadap konsentrasi senyawa mentol pada daun mint kering?

1. 3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, diharapkan tercapainya tujuan sebagai


berikut.
1) Menentukan pengaruh laju alir udara proses pengeringan daun mint terhadap
laju pengeringan berdasarkan kadar air bahan
2) Menentukan pengaruh temperatur proses pengeringan daun mint terhadap laju
pengeringan berdasarkan kadar air bahan
3) Menentukan pengaruh laju alir udara dan temperatur proses pengeringan daun
mint terhadap konsentrasi senyawa mentol pada daun mint kering

1. 4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium pangan Jurusan Teknik Kimia Politeknik


Negeri Bandung dengan batas lingkup sebagai berikut.
1) Bahan baku yang digunakan adalah daun mint spesies Mentha piperita yang
telah dipotong (2,5 x 2 cm).
2) Alat pengering yang digunakan adalah Tray Dryer dengan variasi sebagai
berikut.
 Laju alir udara yaitu 1,45 m/s; 1,65 m/s; dan 1,85 m/s
 Suhu pengeringan yaitu 40 oC, 45 oC, 50 oC dan 55oC
3) Ekstraksi daun mint menggunakan pelarut etanol 95% pada suhu kamar selama
2 jam dengan pengadukan (Bulgariu, 2013).
4) Metode ekstraksi adalah secara maserasi dengan rasio liquid to solid 10:1
5) Analisis pada penelitian ini yaitu,
 Analisis kadar air dengan metode gravimetri
 Analisis kandungan mentol daun mint kering pada setiap variasi dengan
alat Spektrofotometer Visible
6) Perhitungan Koefisien perpindahan panas pada periode pengeringan konstan
setiap variasi proses pengeringan
7) Perhitungan nilai laju pengeringan konstan pada setiap variasi proses
pengeringan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Mint (Mentha piperita Linn)


2.1.1 Morfologi dan Klasifikasi Tanaman Mint
Tanaman mint merupakan jenis tanaman aromatic yang termasuk salah satu
tanaman herbal tertua di dunia. Tanaman mint dapat tumbuh di dataran tinggi
maupun dataran rendah dan didukung oleh kondisi tanah yang gembur dan
mengandung banyak senyawa organik, berdainase baik, dan pH tanah antara 6 - 7
(Hadipoentyanti, 2010).
Menurut Plantamor (2016), secara ilmiah daun mint (Mentha piperita L.)
termasuk suku Lamiaceace dengan klasifikasi sebagai berikut
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Famili : Lamiaceae
Genus : Mentha
Spesies : Mentha piperita

(a) (b)
Gambar 2.1 (a) Tanaman Mint (b) Sketsa Daun Mint
(Sumber : Unites States Departement of Agriculture, 2012)
Daun mint memiiki akar rizoma dan berbatang halus dan dapat tumbuh
hingga mencapai 30 - 90 cm. Daunnya memiliki dan lebar 1,5 – 4 cm dan panjang
4 – 9 cm, berwarna hijau gelap dan memiliki pembuluh daun kemerahan, ujungnya
tajam dan tepi kasar seperti gerigi. Tanaman mint memiliki bulu halus pada batang
dan daunnya. Bunga tanaman mint berwarna ungu dengan panjang 6 – 8 mm
(USDA, 2012).
2.1.2 Komposisi Kimia Ekstrak Daun Mint

Kandungan utama dari ekstrak daun mint adalah mentol, menton dan metil
asetat (Hadipoentyanti, 2010). Selain itu, kandungan linalool, menthofuran,
pulegone, triterpene, flavonoid, karotenoid, tanin juga ditemukan pada minyak daun
mint (Mentha piperita L.) (Sastrohamidjojo, 2002). Berikut adalah kandungan yang
terdapat pada ekstrak daun mint kering.
Tabel 2.1 Komponen yang Terdapat pada Ekstrak Daun Mint (Mentha piperita L.)
Komponen % (wb)
Mentol 55 – 75
Menton 14 – 33
Mentil Asetat 9 – 13
Mentofuran 1–9
Pulegone 0.8 – 24.9
Linalool 0.2 – 0.8
Piperitone 0.7 – 1.2
Limonene 1.3 – 26.8
Sabinene 0.3 – 1.6
(Sumber: Hawthorn et al, 1988)
Komposisi kimia dalam daun mint dijelaskan sebagai berikut.
1) Mentol
Mentol adalah senyawa organik kovalen dengan rumus molekul C10H20O yang
diperoleh dari hasil ekstraksi daun mint. Mentol memiliki titik didih 216oC pada 1
atm. Mentol secara komersil banyak digunakan karena memiliki banyak manfaat
seperti dapat mengobati gangguan pernapasan dan asma, menjadi obat kulit dan
perawatan kulit, dan dapat menjaga kesehatan mulut. Mentol sangat larut pada
pelarut organik seperti etanol, eter dan kloroform yaitu 100 mg/ml dan kelarutan
pada air sangat rendah yaitu 0.4 mg/ml (sciencemadness.org, 2018)
2) Menton
Menton adalah senyawa organik alami dengan rumus molekul C10H18O dan
termasuk kedalam monoterpene dan keton. Menton memiliki titik didih 207 oC pada
1 atm. Manfaat menton sendiri adalah sebagai perasa pada makanan/minuman, dan
bahan untuk parfum dan kosmetik sebagai pewangi aromatik dan minty.
3) Mentil Asetat
Mentil asetat adalah senyawa monoterpene alami dengan rumus molekul C12H22O2
yang membuat adanya wangi dan rasa peppermint. Kandungan mentil asetat pada
daun mint sekitar 9% dari berat kering daun. Mentil asetat memiliki titik didih 227
o
C pada 1 atm
2.1.3 Manfaat Daun Mint
Menurut Buchbauer dkk (1991), tanaman mint dapat menghasikan minyak
mint (peppermint oil) yang digunakan sebagai, obat, parfum, kosmetik, penambah
aroma dan rasa pada makanan dan minuman dan produk penyegar lainnya. Selain
itu minyak dari daun mint ini digunakan sebagai bahan pencampur dibeberapa
produk pakai seperti balsem, sampo, pasta gigi, obat-obatan serta bahan pembersih
keperluan rumah tangga termasuk kosmetik dan perekat/lem (BPSb, 2007).
Kandungan mentol yang terdapat dalam daun mint dapat dimanfaatkan
sebagai obat penenang, obat anti batuk, dan dapat menghangatkan badan apabila
dikonsumsi.
2.2 Pengeringan
Pengeringan merupakan metode untuk menghilangkan kadar air dari suatu
bahan dengan menggunakan energi panas sehingga tingkat kadar air pada bahan
setara dengan kadar air kesetimbangan pada kondisi udara atmosferik (keadaan
ruang) sehingga kadar air yang terdapat pada bahan (daun mint) aman dari
kerusakan akibat mikrobiologi, enzimatis, atau kimiawi (Sharief, 2006).
Proses pengeringan meliputi dua proses yaitu proses perpindahan massa dan
proses perpindahan panas. perpindahan massa terjadi pada kandungan air yang
terdapat pada bahan ke permukaan bahan (proses difusi) selanjutnya proses
peguapan air terjadi dari permukaan bahan ke udara menjadi uap air (proses
penguapan), sedangkan perpindahan panas terjadi dari udara pengering ke bahan
yang dikeringkan.
2.2.1 Periode Laju Pengeringan
Menurut Henderson dan Perry (1995), terdapat dua periode utama pada
proses pengeringan yaitu, periode pengeringan dengan laju pengeringan konstan
dan periode pengeringan dengan laju pengeringan menurun. Kedua periode ini
dibatasi oleh kadar air kritis. Menurut Simmonds dkk (1953), kadar air kritis (Xc)
merupakan kadar air terendah dimana laju penguapan air bebas dari dalam bahan
ke permukaan sama dengan laju pengambilan uap air maksimum dari bahan yang
ditunjukkan pada gambar 2.3 sebagai nilai Xc.
1. Laju pengeringan konstan
Pada laju pengeringan konstan, kadar air yang terdapat pada bahan cukup tinggi
sehingga laju penguapan pada permukaan bahan dapat disamakan dengan laju
penguapan air bebas pada permukaan. Proses laju pengeringan konstan akan
berlangsung hingga kadar air bebas pada permukaan bahan habis teruapkan.
2. Laju pengeringan menurun
Laju pengeringan menurun seiring berkurangnya kadar air pada bahan selama
pengeringan, hal ini karena kadar air dalam bahan lebih rendah dibandingkan
kadar air kritis. Pada periode ini, permukaan partikel bahan yang dikeringkan
tidak lagi ditutupi oleh lapisan air. Pada laju alir menurun meliputi dua proses
yaitu, perpindahan kadar air ke permukaan dan perpindahan uap air dari
permukaan ke udara sekitar. Ditunjukkan pada gambar 2.3

Gambar 2.2 Grafik Kadar Air Bebas terhadap Waktu


Gambar 2.3 Grafik Laju Pengeringan terhadap Kadar Air Bebas
(Sumber : Geankoplis, 1993)
Untuk mencari nilai laju pengeringan digunakan persamaan berikut
𝐿𝑠 𝑑𝑋
R=- ............................................................................................ (1)
𝐴 𝑑𝑡
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
Ls = 𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑟𝑎𝑦 (𝑡 = 0) .................. (2)
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ

dengan: R = laju pengeringan (kg H2O/ m2.jam)


Ls = berat kering bahan pada tray
A = luas permukaan saat pengeringan (m2)
Laju pengeringan pada periode konstan dapat dilihat pada garis B – C.
Untuk menentukan nilai laju pengeringan pada periode konstan digunakan metode
dengan memotong kurva pengeringan kadar air bebas terhadap waktu, ditunjukkan
pada gambar 2.2 (Geankoplis, 1993). Pada periode ini penurunan kadar air bebas
terhadap waktu membentuk garis lurus, maka kemiringan dan laju pengeringan
dianggap konstan. Dari kurva ini didapat nilai dX/dt untuk dimasukkan pada
persamaan (5).
Dari nilai laju pengeringan konstan, dapat diketahui nilai koefisien
perpindahan panas yang terjadi selama proses pengeringan. Dalam Geankoplis
(1993), penenentuan koefisien perpindahan panas menggunakan persamaan (3)
𝐾𝑔 𝐻2𝑂 ℎ
𝑅𝑐 𝑗𝑎𝑚.𝑚2 = (𝑇 − 𝑇𝑤) ................................................................................... (3)
𝜆𝑤

Keterangan : Rc = Laju pengeringan konstan (Kg H2O/m2.jam)


h = Koefisien perpindahan panas (W/m2.K)
𝜆𝑤 = Panas laten pada suhu bola basah (kJ/kg)
T = Suhu udara pengering (K)
Tw = Suhu bola basah (K)
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengeringan
Menurut Buckle et al (1987) faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan
ada dua golongan, yaitu:
1) Faktor yang berhubungan dengan udara pengering
 Temperatur
Semakin tinggi temperatur udara maka laju pengeringan akan semakin
cepat. Tetapi apabila temperatur terlalu tinggi dapat merusak kandungan
dari bahan, sehingga terdapat batasan temperatur sesuai dengan
karakteristik bahan yang akan dikeringkan.
 Laju alir udara pengering
Udara pengering yang bersirkulasi lebih banyak mengambil uap air
dibandingkan dengan udara yang tidak diresirkulasi karena udara yang
bersirkulasi akan terus bergerak sehingga udara tidak akan mencapai titik
jenuh. Semakin cepat laju udara pengering akan semakin besar nilai
koefisien perpindahan panas dan massa sehingga laju pengeringan semakin
cepat.
 Kelembaban udara pengering
Udara dalam proses pengeringan berfungsi sebagai media yang memberikan
panas dan membawa uap air yang dibebaskan dari bahan yang dikeringkan.
Udara memiliki karakteristik yang mempengaruhi proses pengeringan yaitu,
kelembaban relatif dan kelembaban mutlak. Kelembaban relatif merupakan
perbandingan antara tekanan parsial uap terhadap tekanan uap jenuh pada
temperatur tertentu, sedangkan kelembaban mutkak adalah besaran yang
digunakan untuk menentukan jumlah uap air dalam udara.
Untuk mengetahui niai kelembaban relative dan kelembaban mutlak dapat
digunakan kurva Psychometric dengan diketahui temperature bola kering
dan bola basah. Kurva ini menunjukan keterkaitan antara nilai kadar air,
kelembaban, temperature, udara sebagai medium pengering, panas yang
dibutuhkan, dan tekanan. Ditunjukan pada gambar 2.4. Penentuan nilai
kelembaban relative dan temperature bola basah dalam tray dapat dilihat
pada lampiran C1.15.
Gambar 2.4 Psychometric Chart
(Sumber : Geankopis, 1993)

2) Faktor yang berhubungan dengan sifat bahan


 Luas permukaan bahan
Dengan ukuran bahan yang kecil akan memperluas permukaan bahan, maka
kontak dengan udara panas akan semakin besar dan air lebih mudah
berdifusi (menguap) sehingga laju pengeringan semakin cepat.
 Kadar air pada bahan
Semakin sedikit air yang terkandung pada bahan, maka akan semakin cepat
proses pengeringan dilakukan.

2.2.3 Tray Dryer


Salah satu alat pengeringan yang sering digunakan adalah dengan
menggunakan tray dryer. Tray dryer digunakan untuk mengeringkan bahan-bahan
yang tidak boleh diaduk secara termal, sehingga didapatkan hasil padatan kering.
Proses pengeringan menggunakan tray dryer termasuk kedalam jenis pengeringan
adiabatis, dimana udara panas berkontak langsung dengan bahan yang dikeringkan.
Aliran udara panas yang digunakan dikategorikan menjadi aliran sejajar dan vertical
tegak lurus menembus bahan (Suharto, 2015).
Pada alat tray dryer udara pengering dari ruang pemanas dengan bantuan
bantuan kipas akan bergerak menuju dasar dan mengalir melewati bahan yang
dikeringkan dan melepaskan sebagian panasnya sehingga terjadi proses penguapan
air dari bahan. Dengan demikian, semakin ke bagian atas tray suhu udara pengering
semakin turun. Penurunan suhu ini harus diatur sedemikian rupa agar pada saat
mencapai bagian atas bahan yang dikeringkan, udara pengering masih mempunyai
suhu yang memungkinkan terjadinya penguapan air. Di samping itu kelembaban
udara pengering pada saat mencapai bagian atas harus dipertahankan tetap tidak
jenuh sehingga masih mampu menampung uap air yang dilepaskan. Di dalam
penggunaan alat pengering ini perlu diperhatikan pengaturan suhu, kecepatan aliran
udara pengering, dan tebal tumpukan bahan yang dikeringkan (Rachmawan, 2001).
Menurut Venskutonis (1997), pada umunya untuk mengeringkan tanaman
herbal tanpa merusak kandungan minyak esensialnya dilakukan pengeringan
dengan suhu sekitar 40oC. Berdasarkan penelitian ketika suhu pengeringan diatas
50oC terjadi penurunan pada kandungan minyak esensialnya. Namun pengaruh
suhu pengeringan pada kandungan minyak esensialnya bervariasi tergantung pada
spesies aromatiknya. Ditunjukan pada gambar 2.5

Gambar 2.5 Bagian-bagian dalam Tray Dryer


(Sloane, 2004)
2.3 Ekstraksi
2.3.1 Prinsip Ekstraksi
“Proses pengambilan suatu komponen atau senyawa dari suatu campuran
dengan bantuan pelarut disebut dengan ekstraksi. Campuran yang dapat dipisahkan
oleh proses ekstraksi terdiri dari dua fase, yaitu fase cair – cair dan fase padat – cair.
Proses ekstraksi yang digunakan yaitu ekstraksi padat – cair yang bertujuan untuk
untuk memisahkan campuran solute dari fase padat atau menghilangkan komponen
solute yang tidak diinginkan pada fase solid. Proses ini disebut liquid – solid
leaching atau leaching sederhana” (Geankoplis. 1997). Beberapa faktor yang
mempengaruhi proses ekstraksi sebagai berikut.
1) Ukuran partikel
Proses ekstraksi dipengaruhi oleh ukuran partikel karena proses difusi memerlukan
waktu yang singkat. Semakin kecil ukuran partikel maka area kontak antara solute
dengan pelarut akan semakin luas sehingga kontak menjadi lebih cepat.
2) Temperature ekstraksi
Temperatur yang teralu rendah menghasilkan waktu ekstraksi lebih lama.
Temperatur tinggi menyebabkan kelarutan solute lebih cepat di dalam pelarut.
Tetapi pada temperatur tinggi dapat mendegradasi bahan sehingga temperatur yang
baik adalah sedikit di bawah titik didih pelarut dan mempertimbangkan sifat bahan
yang akan diekstrak
3) Pelarut
Pelarut yang digunakan adalah yang sesuai dengan kebutuhan senyawa spesifik
yang akan diambil dari padatan. Pelarut yang digunakan sebaiknya pelarut murni
atau mengandung sedikit solute. Selama proses ekstraksi berlangsung terjadi
peningkatan konsentrasi solute dan kecepatan ekstraksi akan menurun karena
kemampuan pelarut untuk terus melarutkan solute semakin berkurang.
4) Waktu ekstraksi
Semakin lama waktu ekstraksi maka semakin lama waktu kontak antara pelarut
dengan solute sehingga perolehan ekstrak akan semakin besar.
5) Pengadukan
Pengadukan diperlukan untuk meningkatkan difusi sehingga perpindahan massa
dari permukaan padatan ke pelarut meningkat
2.3.2 Ekstraksi dengan Metode Maserasi
Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi, dimana bahan-bahan
tumbuhan yang telah dihaluskan/digiling kemudian dicampurkan dalam pelarut
terpilih lalu disimpan selama jangka waktu tertentu (Handa dkk., 2008).
Menurut Voight (1994), dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan
kandungan simplisia dari sel bahan yang telah dihaluskan. Waktu maserasi selesai
ketika sudah terjadi keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam
sel dengan masuk ke dalam cairan. Dalam kondisi diam pada proses maserasi dapat
menyebabkan turunnya kecepatan perpindahan senyawa yang diekstrak. Semakin
besar perbandingan padatan terhadap pelarut akan semakin banyak ekstrak yang
diperoleh. Menurut Lewis (1783), waktu untuk proses ekstraksi maserasi daun mint
selama 5 jam.
Keuntungan dari metode maserasi yaitu proses ekstraksinya berlangsung
secara batch dan dapat menghindari rusaknya senyawa yang bersifat termolabil
(Mukhriani, 2014).

2.4 Spektrofotometri UV-Vis

merupakan alat yang digunakan untuk mengukur energi cahaya secara


relatif jika energi cahaya tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan
sebagai fungsi panjang gelombang. Spektrofotometer merupakan dua alat yang
digabungkan, yaitu spectrometer yang berfungsi untuk menghasilkan sinar dari
spectrum dengan panjang gelombang tertentu, dan fotometer berfungsi untuk
mengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan (Gandjar, 20027).
Spektrofotometri sinar ultra violet memiliki panjang gelombang antara 200 – 400
nm, sedangkan untuk sinar tampak (visibel) memiliki panjang gelombang 400 – 750
nm. Senyawa mentol sendiri memiliki panjang gelombang sebesar 510 nm
(Bulgariu, laura. 2013).

Prinsip kerja dari spektrofotometer UV –Vis didasarkan pada pengukuran


serapan sinar monokromatis oleh larutan berwarna pada panjang gelombang
spesifik dengan menggunakan kisi difraksi atau monokromator prisma. Menurut
Christian (1994), cahaya yang berasal dari lampu deuterium atau wolfram akan
diuraikan oleh monokromator menjadi cahaya monokromatis lalu akan dilewatkan
pada sampel. Cahaya ini sebagian diserap (adsorbsi) oleh sampel sebagian lagi
dilewatkan dan ditangkap oleh detektor untuk dihitung cahaya yang diterima dan
cahaya yang diserap oeh sampel. Cahaya yang diserap oleh sampel sebanding
dengan dengan konsetrasi zat yang terkandung dalam sampel sehingga akan
diketahui konsentrasi zat secara kuantitatif.
Hukum Lambert-Beer menyatakan hubungan antara absorban dengan
konsetrasi sampel berbanding lurus dan berbanding terbalik dengan transmitan.
A = e.b.c ................................................................................................................ (4)
Hubungan transmitasi dan absorbansi yaitu
𝐼
A = -log ( )...........................................................................................(5)
𝐼𝑜
dimana A = absorban
e = absorptivitas molar
b = tebal kuvet
c = konsenrasi
I = intensitas cahaya setelah melewati sampel
Io = intensitas cahaya awal

2.5 Analisis
2.5.1 Analisis Kadar Air
Ada beberapa metode dalam melakukan analisis kadar air dalam suatu
bahan, salah satunya yaitu metode gravimetri. Metode gravimetri adalah metode
yang paling banyak digunakan karena mudah dilakukan dan durasi pengeringan
bermacam-macam tergantung dari variasi temperatur yang digunakan (Karathanos,
1998).
Dengan metode ini untuk menentukan kadar air dalam bahan, sampel
dikeringkan dengan temperature tertentu (biasanya 70 – 105 oC) hingga kering yang
ditandai dengan berat bahan yang stabil. Untuk produk pertanian, metode ini
diterapkan sesuai dengan standar internasional (ISO 712:2009, ISO 7908:1991,
ISO 7701:1986) dan (AOAC:1980) (Karathanos, 1998).
Selama menganalisis kadar air dengan metode gravimetri, data yang didapat
yaitu berat basah bahan pada waktu yang berbeda selama proses pengeringan. Data
ini dapat dikonversi menjadi data kadar air dalam bahan yang digunakan untuk
menentukan data laju pengeringan. Kadar air dalam bahan dapat ditentukan
berdasarkan berat air yaitu basis kering atau basah. Dalam Saeed dkk (2008) dan
Geankoplis (1993), untuk menghitung basis kering (% Xdb) dan basis basah (% Xwb)
dapat digunakan persamaan berikut.
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
Xdb = ............................................................. (6)
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑖𝑟
% Xdb = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑥 100 .......................................................................... (7)
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
Xwb = ............................................................ (8)
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑖𝑟
% Xwb = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝑥 100 .......................................................................... (9)

Keterangan : Xdb = Kadar air bahan basis kering


Xwb = Kadar air bahan basis basah
% Xdb = Persen kadar air bahan basis kering
% Xwb = Persen kadar air bahan basis basah
Pada proses pengeringan, terdapat kondisi kadar air kesetimbangan (X*),
dimana keadaan ini terjadi saat proses pengeringan bahan padatan mencapai nilai
kadar air yang pasti (Tidak berubah/konstan) pada kondisi kelembaban relatif dan
suhu tertentu. Kadar air kesetimbangan meningkat cepat saat meningkatnya
kelembaban relatif atau menurunnya suhu.

2.5.2 Uji Senyawa Mentol

Pengujian kandungan menthol dilakukan dengan metode spektrofotometri.


Metode spektrofotometri merupaka metode yang sederhana, selektif, dan akurat
dalam menentukan kandungan mentol. namun pada mentol kurangnya gugus
kromofor membuat perlu untuk menggunakan pereaksi warna. Selain itu, karena
reaktivitasnya yang rendah, sebagian besar reaksi warna harus terjadi dalam media
asam kuat. Pereaksi warna atau reagen yang digunakan adalah salicylaldehyde (1%)
dan media asam berupa H2SO4 (98%).
Melalui reaksi mentol dan salicylaldehyde dalam asam sulfat dihasilkan
larutan yang berwarna merah-jingga yang akan tetap stabil hingga 12 jam. Warna-
warna yang terbentuk pada pengujian ini disebabkan oleh terjadinya oksidasi pada
gugus hidroksil mentol yang menyebabkan terbentuknya senyawa kompleks
berwarna. Reaksi antara mentol, salicylaldehyde, dan asam sufat dapat dilihat pada
Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Reaksi antara Mentol, Salisilaldehid, dan Asam Sulfat

Dalam uji spektrofotometri, dibutuhkan kurva standar untuk menghubungkan


nilai absorbansi dengan konsentrasi. Menurut hukum Lambert-Beer nilai absorbansi
suatu sampel berbanding lurus dengan nilai konsentrasi dan ketebalan sampel tersebut
(Day dan Underwood, 1986).
Pada pembuatan kurva standar digunakan larutan standar berupa kristal mentol
yang dilarutkan dalam etanol (95%) dengan berbagai konsentrasi. Pembuatan kurva
standar berfungsi untuk menentukan nilai konsentrasi mentol pada setiap sampel. Nilai
konsentrasi sampel diperoleh dari nilai absorbansi sampel yang terukur kemudian
dimasukan ke dalam persamaan dari kurva standar mentol. Selanjutnya, nilai
konsentrasi ini akan dimasukkan ke dalam persamaan (10). Sehingga jumlah
kandungan mentol dinyatakan dalam ppm.
Konsentrasi x volume x faktor pengencer
Total kandungan senyawa mentol = berat basah sampel (gram)
…….(10)

2.6 Penelitian Terkait


Penelitian mengenai pengeringan daun mint telah banyak dilakukan untuk
mengetahui kondisi operasi terbaik agar senyawa yang terkandung dalam daun mint
tidak rusak dengan memvariasikan suhu dan laju alir udara panasnya. Begitu pula
penelitian mengenai ekstraksi daun mint untuk mengestrak senyawa mentol dengan
berbagai metode, perbandingan solven dan kondisi operasi. Berikut adalah
penelitian terkait mengenai pengeringan dan ekstraksi daun mint disajikan pada
Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Penelitian Terkait Mengenai Pengeringan
Judul
Tahun Peneliti Temuan Penerbit
Penelitian
2002 Blanco Drying Dari berbagai International
M.C.S.G., Temperature variasi suhu yang Society for
Ming, L.C., Effect in dilakukan, Horticutural
Marques, Bovi Peppermint pengeringan daun Science
Essential Oil mint pada suhu (ISHS)
Content and 40oC memiliki
Composition yield minyak
esensial terbesar
yaitu hampir 90%
2015 Sathiya Mala Effect of Penurunan kadar Council of
Krispanand, Various Drying air pada daun mint Scientific
Sulochanamma Methods on pada suhu 45oC and
Guruguntla, Quality and selama 3 – 5 jam Industrial
dan Flavor sebesar 85% Research
Srinivasulu Characteristic dengan kadar
Korra of Mint Leaves mentol yang
didapat sebesar
66.83%
2002 Jens Rohloff, Effect of Hasil pengeringan Journal of
Steinar Harvest and terbaik daun mint Agricultural
Dragland, Ruth Drying Method pada suhu 50oC and Food
Mordal, Tor on Biomass selama 1 hari dan Chemistry
Henning Production, didapat kandungan
Iversen Essential Oil mentol 49.2%,
Yield, and menton 20%, dan
Quality of mentil asetat 4.3%
Peppermint
(Mentah
piperita L.)
2017 Ashok Kumar, Experimental Variasi proses International
Vishal Kumar, Investigation on pengeringan yang Journal of
Kalay Khan, Drying of Mint dilakukan yaitu Pure &
dan Avdash Leaves in laju udara panas Applied
Kumar Tunnel Dryer 0,51 m/s – 1,21 Bioscince
m/s, kelembaban
relative antara
40% - 53%, dan
suhu antara 40oC –
45oC. Dan didapat
kandungan mentol
terbaik yaitu pada
laju udara 1,21
m/s, kelembaban
relatif 42%, dan
suhu 44,2oC
2018 Mohsen Beigi, Quantity and Dilakukan International
Mehdi Torki- Chemical pengeringan daun Journal of
Harchegani, Composition of mint dengan Food
dan Abdollah Essential Oil of menggunakan Properties
Ghasemi Peppermint aliran udara panas.
Pirbalouti (Mentha x Variasi suhu
piperita L) sebesar 50oC,
Leaves Under 60oC, 70oC dengan
Different laju udara sebesar
Drying Methods 0,4 m/s dan
kelembaban relatif
40%. Didapat
essential oil yield
terbesar yaitu pada
suhu 50oC dengan
yield sebesar 22,24
g/kgdried leaves dan
kandungan mentol
47,5 %
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tahapan dan Pelaksanaan Penelitian


Penelitian Tugas Akhir ini meliputi beberapa tahapan yaitu, persiapan bahan
dan pengeringan, ekstraksi, dan uji kandungan. Secara skematis tahapan-tahapan
pelaksanaan penelitian ditunjukkan dalam diagram alir proses berikut ini.

Mulai

Penyeragaman ukuran
daun mint segar

Variasi :

Pengeringan menggunakan tray - Suhu = 40, 45, 50, 55 oC


dryer - Laju alir udara panas =
1,45 ; 1,65; 1,85 m/s
Tidak

Berat konstan

Ya - Pelarut = Etanol 95%


- Waktu = 2 jam
Ekstraksi daun mint
- Liquid to solid = 10:1
metode maserasi

Ekstrak daun mint

Analisis kandungan mentol


dengan spektrofotometri visibel

Pengolahan data dan


pembahasan

Selesai

Gambar 3.1 Diagram Alir Rancangan Penelitian Secara Keseluruhan

Laporan Tugas Akhir 19


3.1.1 Tahap Kegiatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode eksperimental dengan
beberapa tahapan sebagai berikut.
a) Tahap I adalah studi literatur yang bersumber dari jurnal ilmiah dan buku yang
terkait dengan penelitian. Bertujuan agar penelitian yang dilakukan relevan
dengan teori yang ada.
b) Tahap II adalah persiapan yang meliputi pengumpulan alat dan bahan yang akan
digunakan untuk menunjang penelitian.
c) Tahap III adalah proses pengeringan dengan menggunakan alat tray dryer. Daun
mint yang telah diseragamkan ukurannya (2,5 x 2 cm) disusun diatas tray.
Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan memvariasikan temperatur pada suhu
40oC, 45 oC, 50oC, 55oC dan variasi laju alir udara panas pada 1,45 m/s; 1,65 m/s;
1,85 m/s untuk setiap variasi temperatur hingga berat konstan.
d) Tahap IV dilakukan uji kadar air dengan metode gravimetri pada daun mint segar.
Sebanyak 5 gram daun mint dimasukkan dalam cawan dan dipanaskan pada suhu
105oC selama 24 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Proses tersebut diulang hingga berat daun mint konstan.
e) Tahap V adalah pengecilan ukuran daun mint kering hingga serbuk dengan
menggunakan blender dan pengayakan daun mint hingga didapat ukuran 125 –
250 µm (120 – 60 mesh).
f) Tahap VI adalah proses ekstraksi daun mint kering dengan metode maserasi yaitu
merendam daun mint kering dalam pelarut etanol 95% dengan perbandingan solid
to solvent 1:10 dalam erlenmeyer 100 ml. Campuran kemudian diaduk selama 2
jam pada suhu ruang (Bulgariu, 2013).
g) Tahap VII selanjutnya dilakukan uji kadar mentol dari ekstrak yang telah dibuat
menggunakan spektrofotometri visible. Terdapat beberapa langkah yang
dilakukan, yaitu penetapan panjang gelombang maksimum, pembuatan kurva
standar atau kurva kalibrasi, dan pengujian sampel.

Laporan Tugas Akhir


3.2 Peralatan Utama
3.2.1 Tray Dryer
Alat yang digunakan untuk mengeringkan daun mint adalah Tray Dryer
dalam alat ini terdapat pengaturan laju alir udara dan pengaturan suhu. Selain itu pada
alat ini terdapat tiga buah tray yang digunakan sebagai tempat meletakan bahan untuk
dikeringkan.
Tabel 3.1 Peralatan Utama
No Nama Alat Spesifikasi Jumlah
1 Tray dryer Dilengkapi heater, blower, dan 1
timbangan
2 Tray Luas alas 38 cm x 29,3 cm 3

Gambar 3.2 Seperangkat Alat Tray Dryer

Gambar 3.3 Skema Alat Tray Dryer


(Sumber: Tray Dryer Manual Book)

Keterangan : M1 = Motor penggerak blower


JI = Elemen pemanas
TI1 = Termometer (suhu udara pengering masuk)
HI1 = Hygrometer (% Rh udara pengering masuk)
W1 = Timbangan (berat sampel)
TI2 = Termometer (suhu udara pengering keluar)
HI2 = Hygrometer (% Rh udara pengering keluar)
FI1 = Anemometer (laju alir udara pengering)
3.3 Alat dan Bahan
Penelitian yang dilakukan pada uji karakteristik pengeringan daun mint
dengan variasi laju alir udara dan temperatur menggunakan alat tray dryer ini
menggunakan peralatan seperti pada Tabel 3.1 dan bahan yang digunakan pada Tabel
3.1.
Tabel 3.2 Alat yang Digunakan
No Alat Spesifikasi Jumlah
1 Tray Dryer + Tray 1 set
2 Blender 1 buah
3 Stopwatch 1 buah
4 Shieve Tray 1 buah
5 Oven 1 buah
6 Cawan pijar 5 buah
7 Kertas saring 9 buah
8 Neraca analitik 1 buah
9 Gelas kimia 500 ml 2 buah
10 Gelas kimia 250 ml 2 buah
11 Gelas ukur 250 ml 2 buah
12 Erlenmeyer 100 ml 12 buah
13 Desikator 1 buah
14 Anemometer 1 set
15 Termometer bola basah bola kering 1 buah
16 Thermometer Infrared 1 set
17 Spektrofotometri visible Laboo 1 set

Tabel 3.3 Bahan yang Digunakan


No Bahan Spesifikasi Jumlah
1 Daun mint 4 kg
2 Etanol Teknis 95% 1 liter
3 Etanol (pro analys) 96% 500 ml
4 Salicylaldehyde 1% 200 ml
5 Asam sulfat (pro analys) 96 – 98% 500 ml

3.4 Metode Analisis Hasil Proses


Pada penelitian ini dilakukan tiga analisis, yaitu analisis kadar air pada daun
mint, analisis kandungan senyawa mentol yang terdapat pada ekstrak daun mint, dan
analisis data hasil proses pengeringan.

3.4.1 Analisis Kadar Air


Metode analisis kadar air menggunakan metode gravimetri. Analisis kadar air
dilakukan dengan menguapkan air yang terdapat dalam bahan menggunakan oven
dengan suhu 105oC selama 24 jam sehingga seluruh air yang terdapat dalam bahan
menguap yang ditandai dengan berat bahan konstan. Penetapan kadar air dilakukan
berdasarkan bobot kering sampel.
3.4.2 Analisis Kadar Mentol pada Eksrak Daun Mint
Metode analisis kadar mentol yang terdapat pada ekstrak daun mint
menggunakan alat Spektrofotometri Visible. Kadar mentol tertinggi digunakan untuk
menentukan kondisi operasi pengeringan daun mint terbaik.

3.4.3 Analisis Data Hasil Proses


Setelah proses pengeringan selesai, dilakukan analisis terhadap data yang
diperoleh. Tahap analisis ini bertujuan untuk mengetahui suhu pengeringan dan laju
udara pengeringan terbaik dengan kandungan mentol tertinggi. Analisis dilakukan
dengan metode regresi linear menggunakan microsoft excel.
3.5 Pengolahan Data
Setelah dilakukan percobaan didapatkan hasil pengamatan, kemudian
dilakukan pengolahan data dengan cara membuat:
a. Kurva berat bersih bahan terhadap waktu pada setiap variasi temperatur dan laju
alir udara pengeringan.
b. Kurva kadar air terhadap waktu pada setiap variasi temperatur dan laju alir udara
pengeringan.
c. Kurva penentuan periode laju konstan pada setiap variasi temperatur dan laju alir
udara pengeringan.
d. Grafik koefisien laju pengeringan konstan pada setiap variasi temperatur dan laju
alir udara pengeringan.
e. Grafik koefiesien perpindahan panas pada setiap variasi temperatur dan laju alir
udara pengeringan.
f. Grafik nilai total senyawa mentol pada setiap variasi temperatur dan laju alir
udara pengeringan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Daun mint yang digunakan diambil dari perkebunan di daerah Lembang,


Jawa Barat, dan digunakan sekitar 7 – 12 jam setelah dipetik, sehingga keadaan
daun mint masih segar. Pada proses pengeringan daun mint, terjadi penyusutan
ukuran dan perubahan warna daun dari hijau muda menjadi hijau kecoklatan.
Berdasarkan hasil analisis kadar air, didapatkan kadar air daun mint berada
pada rentang 84 – 85% wb. Hasil analisis kadar air yang telah dilakukan pada
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Maroto (2003) Dengan
judul “pengaruh pengeringan terhadap kualitas rasa dari daun mint”, menyebutkan
bahwa kadar air yang terdapat pada daun mint sebesar 83 – 85% wb. Pada Tabel
4.1 dapat dilihat bahwa dari dua kali percobaan pengukuran kadar air didapatkan
hasil yang hampir sama dan didapatkan kadar air rata-rata sebesar 85,17% wb.
Tabel 4.1 Kadar Air Daun Mint Basis Basah
Percobaan ke - Kadar Air (%wb)
1 85,37
2 84,97

Proses pengeringan dilakukan hingga berat konstan yaitu pada saat tercapai kadar
air kesetimbangan. Data pengamatan dari masing-masing variasi disajikan pada
lampiran C1.
4.1 Pengaruh Laju Alir Udara terhadap Karakteristik Pengeringan pada
Variasi Suhu
Percobaan dilakukan dengan melakukan variasi laju alir udara pengering
pada empat variasi suhu. Hasil data dianalisa berdasarkan karakteristik pengeringan
meliputi nilai laju pengeringan (Rc), kadar air kesetimbangan (X*), dan kadar air
kritis (Xc).
Gambar 4.1 Penurunan Kadar Air terhadap Waktu Pengeringan pada Suhu 40 oC dan
Laju Alir Udara 1.45 m/s
Pada proses pengeringan, terdapat dua zona pengeringan yang ditunjukkan
pada Gambar 4.1, yaitu zona laju pengeringan periode konstan dan laju pengeringan
periode menurun yang dibatasi oleh kadar air kritis (Xc) hingga mencapai kadar air
kesetimbangan (X*).

4.1.1 Laju Pengeringan Konstan


Nilai laju pengeringan memperlihatkan kecepatan air yang diuapkan dalam
suatu bahan. Laju pengeringan pada periode konstan hanya berlangsung sebentar
hingga kadar air bebas yang terdapat pada permukaan bahan habis atau mencapai
kadar air kritik. Laju pengeringan pada periode konstan ditunjukkan pada garis
horizontal yang terdapat pada Gambar 4.2.
0.012

0.01
Rc (Kg/m2.jam)

0.008

0.006

0.004

0.002

0
0 1 2 3 4 5 6
X (Kg H2O/Kg bahan kering
v = 1.45, T = 40C v = 1.45, T = 45C
v = 1.45, T = 50C v = 1. 45, T = 55C

(a)
0.014
0.012

Rc (Kg/ m2.jam)
0.01
0.008
0.006
0.004
0.002
0
0 1 2 3 4 5 6
X (Kg H2O/Kg bahan kering)

v = 1.65, T = 40C v = 1.65, T = 45C v = 1.65, T = 50C v = 1.65, T = 55C

(b)

0.025

0.02
Rc (Kg. m2.jam)

0.015

0.01

0.005

0
0 1 2 3 4 5 6
X (Kg H2O/Kg bahan kering)

v =1.85, T = 40C v = 1.85, T = 45C v = 1.85, T = 50C v= 1.85, T = 55C

(c)

Gambar 4.2 Grafik Pengeringan (a), (b), (c) pada Berbagai Variasi Laju Udara Pengering
dengan berbagai Variasi Suhu

Gambar 4.2 menunjukkan bahwa pada proses pengeringan terdapat dua


periode laju pengeringan, dimana pada laju pengeringan konstan terjadi penurunan
kadar air di permukaan bahan dan pada laju pengeringan menurun terjadi penurunan
kadar air di pori-pori daun (Chinweuba, 2016). Penelitian yang dilakukan oleh
Doymaz (2011) pada karakteristik pengeringan daun anggur juga menunjukkan
adanya periode laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun.
Laju pengeringan daun mint dengan variasi laju alir udara pengering pada
tiap variasi suhu ditunjukkan pada Gambar 4.3.
0.02

Rc (Kg/m2.jam)
0.015

0.01

0.005

0
1.45 1.50 1.55 1.60 1.65 1.70 1.75 1.80 1.85 1.90
Laju Alir Udara (m/s)

40 C 45 C 50 C 55 C

Gambar 4.3 Grafik Laju Pengeringan terhadap Laju Alir Udara

Secara keseluruhan setiap kenaikan laju alir udara selalu diikuti dengan
peningkatan nilai laju pengeringan. Hal ini dikarenakan terjadi perpindahan massa
air yang terdapat pada bahan ke aliran udara. Laju alir udara yang semakin cepat,
akan lebih banyak membawa kandungan air yang teruapkan dari bahan
dibandingkan dengan laju alir udara yang lebih lambat. Pada kondisi laju alir udara
yang lebih lambat, udara akan lebih cepat jenuh dibandingkan laju alir udara yang
cepat sehingga terdapat perbedaan kapasitas uap air pada udara pengering. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Amin Taheri (2011) bahwa laju alir udara
memiliki pengaruh cukup besar terhadap laju pengeringan dan waktu pengeringan.
Peningkatan laju alir udara akan mempercepat proses perpindahan massa dari bahan
ke aliran udara.
Berdasarkan Gambar 4.3, nilai laju pengeringan konstan terbesar terdapat
pada kondisi operasi suhu 55oC dan laju udara 1,85 m/s yaitu 0,02 Kg/m2.jam. Pada
suhu 40oC dan 45oC tidak terjadi kenaikan nilai laju pengeringan yang signifikan
seperti pada suhu 50oC dan 55oC, hal ini dikarenakan pada suhu 40 oC dan 45 oC
tidak cukup untuk melakukan penetrasi panas hingga kedalam pori-pori daun
karena terdapat perbedaan antara suhu udara pengering dan suhu permukaan daun
yang cukup jauh yaitu 9,35oC ± 0,3.
4.1.2 Kadar Air Kritis
Laju alir udara mempengaruhi nilai kadar air kritis pada bahan, Pengaruh
laju alir udara panas terhadap kadar air kritis dapat dilihat pada Gambar 4.4.

3.8
Xc (Kg H20/Kg bahan kering)

3.6
3.4
3.2
3.0
2.8
2.6
2.4
2.2
2.0
1.45 1.50 1.55 1.60 1.65 1.70 1.75 1.80 1.85 1.90
Laju udara (m/s)

40 C 45 C 50 C 55 C

Gambar 4.4 Kadar Air Kritis terhadap Laju Alir Udara


Pada gambar 4.4 dapat dilihat bahwa semakin tinggi laju alir udara maka
semakin tinggi nilai kadar air kritis. Hal ini dikarenakan semakin tinggi laju alir
udara maka semakin cepat waktu kontak antara bahan yang dikeringkan dengan
udara pengering sehingga waktu yang diperlukan air untuk menguap ke udara
semakin cepat sehingga air yang dapat menguap ke udara tidak maksimal. Nilai
kadar air kritis tertinggi terdapat pada laju alir udara 1,85 m/s pada setiap variasi
suhu.

4.1.3 Kadar Air Kesetimbangan


Kesetimbangan kadar air bergantung kepada sifat alami bahan padat yang
dikeringkan dan kondisi udara pengering.Aliran udara yang cepat akan membawa
uap air dari permukaan bahan dan mencegah uap air tersebut menjadi jenuh di
permukaan bahan. Semakin besar volume udara yang mengalir, maka semakin
besar pula kemampuannya dalam membawa dan menampung air di permukaan
bahan. Pada gambar 4.5 menunjukan pada suhu 40oC dan 45oC kadar air
kesetimbaangan bahan semakin tinggi dengan kenaikan laju alir udara. Hal ini
dikarenakan pada suhu suhu 40oC dan 45oC suhu pada bahan tidak cukup tinggi
sehingga pembukaan pori-pori bahan belum cukup maksimal, pada suhu 50oC
dan55oC pembukaan pori-pori sudah maksimal.
0.175

X* (Kg H20/Kg bahan kering)


0.165

0.155

0.145

0.135

0.125

0.115
1.45 1.50 1.55 1.60 1.65 1.70 1.75 1.80 1.85 1.90
Laju Udara (m/s)

40 C 45 C 50 C 55 C

Gambar 4.5 Kadar Air Kesetimbangan terhadap Laju Alir Udara

Tabel 4.2 Laju alir udara terhadap kadar air kesetimbangan (X*)
V (m/s) X* Suhu 50 oC X* Suhu 55 oC
1,45 0,13 0,13
1,65 0,13 0,12
1,85 0,13 0,13
Rata-rata 0,13
Nilai rata-rata kadar air kesetimbangan (X*) yang diperoleh dari suhu suhu
50 oC dan55 oC dari berbagai variasi laju alir udara adalah 0,13 ± 0,01 gr H2O/gr
bahan kering. Gambar 4.5 menunjukan bahwa laju alir udara tidak begitu
berpengaruh terhadap kadar air kesetimbangan apabila pengeringan dilakukan pada
suhu yang cukup tinggi untuk membuka pori-pori bahan.
4.2 Pengaruh Suhu terhadap Karakteristik Pengeringan pada Variasi Laju
Alir Udara Pengering
Karakteristik pengeringan ditunjukkan oleh nilai laju pengeringan konstan
(Rc), kadar air kritis (Xc), dan kadar air kesetimbangan (X*). Berikut ini merupakan
pengaruh temperatur udara pengering terhadap karakteristik pengeringan daun
mint.
4.2.1 Laju Pengeringan Konstan
Gambar 4.6 Grafik Laju Pengeringan terhadap Suhu Udara Pengering
0.025

0.02
Rc (Kg/m2.jam)

0.015

0.01

0.005

0
40 42 44 46 48 50 52 54 56
Suhu (o C

1.45 m/s 1.65 m/s 1.85 m/s

Laju pengeringan sangat ditentukan oleh kenaikan suhu. Semakin besar


perbedaan antara suhu media pemanas dengan bahan yang dikeringkan, semakin
besar pula kecepatan pindah panas ke dalam bahan pangan, sehingga penguapan air
dari bahan akan lebih banyak dan cepat (Taib, G, dkk., 1988).
Pada Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa laju pengeringan meningkat dengan
kenaikan suhu pengeringan. Hal ini terjadi karena semakin tinggi suhu udara
pengering maka semakin tinggi energi panas yang dibawa udara sehingga semakin
banyak jumlah massa air yang diuapkan dari permukaan bahan. Berdasarkan
Gambar 4.6, nilai laju pengeringan konstan terbesar terdapat pada kondisi operasi
suhu 55oC dan laju udara 1,85 m/s yaitu 0,02 Kg/m2.jam.
0.7
0.6
0.5
h (W/m2.K)

0.4
0.3
0.2
0.1
0

Suhu (°C)-Laju Alir Udara (m/s)

Gambar 4.7 Nilai Koefisien Perpindahan Panas terhadap Variasi Suhu dan Laju Udara
Koefisien pindah panas (h) merupakan besaran yang menyatakan tingkat kecepatan
perpindahan kalor. Menurut (Apriadi, dkk, 2011) Semakin tinggi nilai koefisien
pindah panas maka perpindahan laju panas akan semakin tinggi, sehingga
penurunan kadar air bahan semakin cepat. Pada gambar 4.7 menunjukan pada
variasi suhu 55 oC di laju alir udara 1.85 m/s memiliki koefisien perpindahan panas
paling tinggi yaitu 0.600 W/m2.K dan pada variasi ini juga memiliki nilai laju
pengeringan konstan yang tertinggi.

4.2.2 Kadar Air Kritis


Kadar air kritis merupakan kadar air dimana laju penguapan air bebas dari
dalam bahan kepermukaan sama dengan laju pengambilan uap air maksimal dari
bahan (Geankoplis, 1993). Kadar air kritis ditunjukkan pada Gambar 4.8.
3.800
Xc (Kg H2O/Kg bahan kering)

3.600
3.400
3.200
3.000
2.800
2.600
2.400
2.200
2.000
40 42 44 46 48 50 52 54 56
Suhu (oC)

1.45 m/s 1.65 m/s 1.85 m/s

.Gambar 4.8 Kadar Air Kritis terhadap Suhu Udara Pengering


Pada setiap kenaikan temperatur udara pengering terjadi penurunan nilai
kadar air kritis. Hal ini dikarenakan pada setiap kenaikan suhu, kadar air yang
teruapkan lebih banyak dengan waktu pencapaian kadar air kritis lebih singkat.
Penurunan nilai kadar air kritis juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh
Diamante, dkk (2010) pada karakteristik pengeringan buah kiwi dan penelitian oleh
Sigge, dkk (2007) pada karakteristik pengeringan paprika hijau.
Pada laju alir udara 1,85 m/s, nilai kadar air kritis lebih tinggi dibandingkan
laju alir udara lainnya. Hal ini dikarenakan pada laju alir udara 1,85 m/s, waktu
kontak antara udara dan bahan berlangsung cepat dan menyebabkan perpindahan
panas dari udara ke permukaan bahan semakin singkat.
4.2.3 Kadar Air Kesetimbangan

0.18
X* (Kg H2O/Kg bahan kering)
0.17
0.16
0.15
0.14
0.13
0.12
40 42 44 46 48 50 52 54 56
Suhu (oC)

1.45 m/s 1.65 m/s 1.85 m/s

Gambar 4.9 Kadar Air Kesetimbangan terhadap Suhu Udara Pengering


Kadar air kesetimbangan dengan variasi suhu pengering pada tiap variasi
laju alir udara pengering ditunjukkan pada Gambar 4.9
Tabel 4.3 Pengaru Suhu terhadap kadar air kesetimbangan (X*)
V (m/s) X* Suhu 50 oC X* Suhu 55 oC
1,45 0,13 0,13
1,65 0,13 0,12
1,85 0,13 0,13
Rata-rata 0,13

Nilai rata-rata kadar air kesetimbangan (X*) pada suhu 50oC sebesar 0,13
Kg H2O/Kg bahan kering dan pada suhu 55oC sebesar 0,131 Kg H2O/Kg bahan
kering. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air kesetimbangan pada pengeringan
daun mint sebesar 0,13 Kg H2O/Kg bahan kering. Kadar air kesetimbangan pada
suhu 40oC dan 45oC pada laju alir udara 1,85 m/s lebih tinggi dikarenakan laju alir
udara yang terlalu cepat. Menurut Bhandari, dkk (2005) dalam buku handbook of
drying of vegetables and vegetable product, pengeringan yang dilakukan pada suhu
rendah dan laju alir udara tinggi dapat menyebabkan pengeringan yang tidak merata
sehingga kadar air yang terdapat pada bahan masih tinggi dan warna permukaan
bahan belum sepenuhnya berubah menjadi kecoklatan.

4.3 Pengaruh Pengeringan terhadap Kandungan Mentol Daun Mint


Setelah dilakukan proses pengeringan, produk daun mint kering kemudian
dianalisis kandungan senyawa mentolnya dengan menggunakan alat
Spektofotometer Visible. Untuk menguji kandungan mentol, digunakan ekstrak
daun mint dengan proses maserasi untuk mengambil senyawa kimia yang terdapat
pada daun.
Menurut Luliana,Sri dkk (2016), pengeringan mempengaruhi kandungan
metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman. Suhu udara pengering dapat
mempengaruhi kualitas, terutama pada perubahan senyawa aktif pada bahan.
Pengukuran dan perhitungan total kandungan senyawa mentol ditunjukkan pada
Gambar 4.10.

2.0
Konsentrasi mentol (mg E/g daun basah)

1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0

Suhu - Laju Alir Udara (oC - m/s)

Gambar 4.10 Total Kandungan Senyawa Mentol


Kandungan senyawa mentol pada daun mint segar memiliki konsentrasi
sebesar 1,099 mg/g daun basah. Setelah dilakukan proses pengeringan, terjadi
kenaikan kandungan senyawa mentol yang cukup signifikan. Hal ini dikarenakan
daun mint segar memiliki kandungan air yang cukup tinggi (>80%), sehingga pada
saat proses ekstraksi tidak terjadi pengambilan senyawa mentol secara maksimal.
Pada proses pengeringan terjadi penghilangan kadar air dan pembukaan pori-pori
pada permukaan daun. Menurut Hardjono (2004), akumulasi minyak atsiri terbesar
terdapat di bagian daun yaitu pada sel-sel daun seperti trikoma, vakuola dari sel
kelenjar trikoma dan kloroplas.
Berdasarkan hasil pengujian, kandungan senyawa mentol pada daun mint
kering tertinggi pada variasi proses pengeringan pada suhu 50 oC dan laju alir udara
1,85 m/s yaitu 1,805 g/daun basah.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diberikan
kesimpulan dan saran sebagai berikut:
1. Secara keseluruhan setiap kenaikan laju alir udara dan temperatur proses
pengeringan selalu diikuti dengan peningkatan nilai laju pengeringan. Nilai
laju pengeringan konstan terbesar terdapat pada kondisi operasi suhu 55 oC
dan laju udara 1,85 m/s yaitu 0,02 Kg/m2.jam
2. Kondisi pengeringan daun mint terbaik yaitu pada variasi proses
pengeringan suhu 50 oC dan laju alir udara 1,85 m/s dengan kandungan
senyawa mentol tertinggi yaitu 1003,55 ppm.

5.2 Saran
Untuk mendapatkan kandungan mentol yang lebih murni perlu dilakukan
proses evaporasi sebelum sampel di uji.

Anda mungkin juga menyukai