PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Di Indonesia, budidaya tanaman mint telah banyak dilakukan. Berdasarkan
data Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2017), terdapat kurang lebih
200 ton/tahun daun mint segar yang didapat. Daun mint sangat populer dalam
penggunaannya dalam bentuk minyak maupun minuman herbal. Banyak industri
yang menggunakan daun mint sebagai bahan utama dalam pembuatan produknya,
seperti pada industri kosmetik, farmasi, pangan, dan rokok (Herro, 2010). Efek rasa
dingin dan aroma segar yang ditimbulkan dari daun mint dikarenakan adanya
senyawa mentol dalam jumlah besar. Berdasarkan penelitian Gavahian (2015),
kandungan mentol yang terdapat pada ekstrak daun mint sebesar 55 - 75 %wb.
Tanaman mint merupakan merupakan salah satu tanaman musiman,
sehingga untuk memenuhi kebutuhan pasar akan daun mint dilakukan proses
pengeringan. Pengeringan adalah salah satu metode yang telah lama digunakan,
pada umumnya masyarakat mengeringkan daun mint menggunakan panas dari
matahari dalam kondisi terbuka. Terdapat beberapa kelemahan dalam pengeringan
menggunakan panas matahari, yaitu lambatnya proses pengeringan, terjadi
kontaminasi produk dengan debu dan serangga. Oleh karena itu, dilakukan metode
dengan pengeringan udara panas konveksi paksa menggunakan alat tray dryer
untuk menghasilkan produk yang seragam dan lebih higienis. Tetapi komposisi dan
kandungan senyawa pada bahan sangat dipengaruhi oleh temperatur dan laju alir
udara pengeringan (Law C, 2014).
Keuntungan dilakukannya pengeringan pada produk pertanian adalah
produk lebih tahan lama, lebih ringan, lebih mudah didistribusikan, dan
meningkatkan harga jual daun mint. Berdasarkan survey, daun mint kering
memiliki harga lebih tinggi dibandingkan daun mint segar. Daun mint segar
dihargai sekitar 15.000/kg sedangkan daun mint kering memiliki nilai jual Rp
60.000/kg.
Seiring berkembangnya industri di Indonesia yang menggunaan daun mint
sebagai bahan baku utama, maka perlu adanya penelitian mengenai proses
pengeringan daun mint untuk mengetahui kondisi operasi temperatur dan laju alir
udara pengeringan yang baik dilihat dari kandungan mentol tertingginya.
Berdasarkan penelitian oleh Nguyen Thi Kim Chi (2016), dilakukan variasi
pengeringan pada temperatur 40oC, 50oC, 60oC, 70oC, dan 80oC pada laju alir udara
1,3 m/s didapat kadar mentol tertinggi pada temperatur 40oC dan 50oC. Penelitian
oleh Blanco dkk (2000), pengeringan daun mint pada temperature 40°C, 60°C, and
80°C dan didapatkan hasil kandungan mentol tertinggi pada suhu 40oC yaitu ± 38%%
dan pada setiap kenaikan temperatur terjadi penurunan yield ekstrak daun mint, dan
penelitian oleh Mohsen dkk (2018), dilakukan pengeringan dengan temperatur 30oC,
40oC, dan 50oC pada laju alir udara 1,45 m/s, didapat kandungan mentol tertinggi pada
temperatur 50oC yaitu 47.5%.
Pada penelitian pengeringan daun mint untuk menentukan laju alir udara
dan temperatur pengeringan, diperlukan serangkaian proses yaitu, pengeringan,
ekstraksi, dan pengujian kadar kandungan mentol. Pengeringan dilakukan
menggunakan alat tray dryer yang memiliki kelebihan pada proses pengeringan yaitu
penggunaan udara panas sehingga proses pengeringannya lebih efisien, pengaturan laju
alir udara dan suhu pengering agar mendapat kondisi operasi terbaik. Menurut Beigi dkk
(2018) pengeringan daun mint menggunakan microwave akan menghasilkan yield
ekstrak yang lebih sedikit dibandingkan jika menggunakan udara panas. Proses ekstraksi
dipengaruhi oleh beberapa variable yaitu suhu, tekanan dan pelarut. Variabel ekstraksi
tersebut perlu diperhatikan dalam mencapai kondisi proses ekstraksi terbaik.
Hal tersebut melatarbelakangi penelitian “Uji Karakteristik Pengeringan
Daun Mint dengan Variasi Laju Alir Udara dan Temperatur Menggunakan Alat
Tray Dryer”. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kondisi operasi terbaik
dalam pengeringan daun mint dan menganalisis kadar mentol daun mint dengan
metode maserasi. Hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai data acuan untuk
proses pengeringan daun mint menggunakan tray dryer pada home industry.
1. 2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, didapat rumusan masalah yaitu:
1) Bagaimana pengaruh laju alir udara proses pengeringan terhadap laju
pengeringan?
2) Bagaimana pengaruh temperatur proses pengeringan terhadap laju
pengeringan?
3) Bagaimana pengaruh laju alir udara dan temperatur proses pengeringan
terhadap konsentrasi senyawa mentol pada daun mint kering?
1. 3 Tujuan Penelitian
(a) (b)
Gambar 2.1 (a) Tanaman Mint (b) Sketsa Daun Mint
(Sumber : Unites States Departement of Agriculture, 2012)
Daun mint memiiki akar rizoma dan berbatang halus dan dapat tumbuh
hingga mencapai 30 - 90 cm. Daunnya memiliki dan lebar 1,5 – 4 cm dan panjang
4 – 9 cm, berwarna hijau gelap dan memiliki pembuluh daun kemerahan, ujungnya
tajam dan tepi kasar seperti gerigi. Tanaman mint memiliki bulu halus pada batang
dan daunnya. Bunga tanaman mint berwarna ungu dengan panjang 6 – 8 mm
(USDA, 2012).
2.1.2 Komposisi Kimia Ekstrak Daun Mint
Kandungan utama dari ekstrak daun mint adalah mentol, menton dan metil
asetat (Hadipoentyanti, 2010). Selain itu, kandungan linalool, menthofuran,
pulegone, triterpene, flavonoid, karotenoid, tanin juga ditemukan pada minyak daun
mint (Mentha piperita L.) (Sastrohamidjojo, 2002). Berikut adalah kandungan yang
terdapat pada ekstrak daun mint kering.
Tabel 2.1 Komponen yang Terdapat pada Ekstrak Daun Mint (Mentha piperita L.)
Komponen % (wb)
Mentol 55 – 75
Menton 14 – 33
Mentil Asetat 9 – 13
Mentofuran 1–9
Pulegone 0.8 – 24.9
Linalool 0.2 – 0.8
Piperitone 0.7 – 1.2
Limonene 1.3 – 26.8
Sabinene 0.3 – 1.6
(Sumber: Hawthorn et al, 1988)
Komposisi kimia dalam daun mint dijelaskan sebagai berikut.
1) Mentol
Mentol adalah senyawa organik kovalen dengan rumus molekul C10H20O yang
diperoleh dari hasil ekstraksi daun mint. Mentol memiliki titik didih 216oC pada 1
atm. Mentol secara komersil banyak digunakan karena memiliki banyak manfaat
seperti dapat mengobati gangguan pernapasan dan asma, menjadi obat kulit dan
perawatan kulit, dan dapat menjaga kesehatan mulut. Mentol sangat larut pada
pelarut organik seperti etanol, eter dan kloroform yaitu 100 mg/ml dan kelarutan
pada air sangat rendah yaitu 0.4 mg/ml (sciencemadness.org, 2018)
2) Menton
Menton adalah senyawa organik alami dengan rumus molekul C10H18O dan
termasuk kedalam monoterpene dan keton. Menton memiliki titik didih 207 oC pada
1 atm. Manfaat menton sendiri adalah sebagai perasa pada makanan/minuman, dan
bahan untuk parfum dan kosmetik sebagai pewangi aromatik dan minty.
3) Mentil Asetat
Mentil asetat adalah senyawa monoterpene alami dengan rumus molekul C12H22O2
yang membuat adanya wangi dan rasa peppermint. Kandungan mentil asetat pada
daun mint sekitar 9% dari berat kering daun. Mentil asetat memiliki titik didih 227
o
C pada 1 atm
2.1.3 Manfaat Daun Mint
Menurut Buchbauer dkk (1991), tanaman mint dapat menghasikan minyak
mint (peppermint oil) yang digunakan sebagai, obat, parfum, kosmetik, penambah
aroma dan rasa pada makanan dan minuman dan produk penyegar lainnya. Selain
itu minyak dari daun mint ini digunakan sebagai bahan pencampur dibeberapa
produk pakai seperti balsem, sampo, pasta gigi, obat-obatan serta bahan pembersih
keperluan rumah tangga termasuk kosmetik dan perekat/lem (BPSb, 2007).
Kandungan mentol yang terdapat dalam daun mint dapat dimanfaatkan
sebagai obat penenang, obat anti batuk, dan dapat menghangatkan badan apabila
dikonsumsi.
2.2 Pengeringan
Pengeringan merupakan metode untuk menghilangkan kadar air dari suatu
bahan dengan menggunakan energi panas sehingga tingkat kadar air pada bahan
setara dengan kadar air kesetimbangan pada kondisi udara atmosferik (keadaan
ruang) sehingga kadar air yang terdapat pada bahan (daun mint) aman dari
kerusakan akibat mikrobiologi, enzimatis, atau kimiawi (Sharief, 2006).
Proses pengeringan meliputi dua proses yaitu proses perpindahan massa dan
proses perpindahan panas. perpindahan massa terjadi pada kandungan air yang
terdapat pada bahan ke permukaan bahan (proses difusi) selanjutnya proses
peguapan air terjadi dari permukaan bahan ke udara menjadi uap air (proses
penguapan), sedangkan perpindahan panas terjadi dari udara pengering ke bahan
yang dikeringkan.
2.2.1 Periode Laju Pengeringan
Menurut Henderson dan Perry (1995), terdapat dua periode utama pada
proses pengeringan yaitu, periode pengeringan dengan laju pengeringan konstan
dan periode pengeringan dengan laju pengeringan menurun. Kedua periode ini
dibatasi oleh kadar air kritis. Menurut Simmonds dkk (1953), kadar air kritis (Xc)
merupakan kadar air terendah dimana laju penguapan air bebas dari dalam bahan
ke permukaan sama dengan laju pengambilan uap air maksimum dari bahan yang
ditunjukkan pada gambar 2.3 sebagai nilai Xc.
1. Laju pengeringan konstan
Pada laju pengeringan konstan, kadar air yang terdapat pada bahan cukup tinggi
sehingga laju penguapan pada permukaan bahan dapat disamakan dengan laju
penguapan air bebas pada permukaan. Proses laju pengeringan konstan akan
berlangsung hingga kadar air bebas pada permukaan bahan habis teruapkan.
2. Laju pengeringan menurun
Laju pengeringan menurun seiring berkurangnya kadar air pada bahan selama
pengeringan, hal ini karena kadar air dalam bahan lebih rendah dibandingkan
kadar air kritis. Pada periode ini, permukaan partikel bahan yang dikeringkan
tidak lagi ditutupi oleh lapisan air. Pada laju alir menurun meliputi dua proses
yaitu, perpindahan kadar air ke permukaan dan perpindahan uap air dari
permukaan ke udara sekitar. Ditunjukkan pada gambar 2.3
2.5 Analisis
2.5.1 Analisis Kadar Air
Ada beberapa metode dalam melakukan analisis kadar air dalam suatu
bahan, salah satunya yaitu metode gravimetri. Metode gravimetri adalah metode
yang paling banyak digunakan karena mudah dilakukan dan durasi pengeringan
bermacam-macam tergantung dari variasi temperatur yang digunakan (Karathanos,
1998).
Dengan metode ini untuk menentukan kadar air dalam bahan, sampel
dikeringkan dengan temperature tertentu (biasanya 70 – 105 oC) hingga kering yang
ditandai dengan berat bahan yang stabil. Untuk produk pertanian, metode ini
diterapkan sesuai dengan standar internasional (ISO 712:2009, ISO 7908:1991,
ISO 7701:1986) dan (AOAC:1980) (Karathanos, 1998).
Selama menganalisis kadar air dengan metode gravimetri, data yang didapat
yaitu berat basah bahan pada waktu yang berbeda selama proses pengeringan. Data
ini dapat dikonversi menjadi data kadar air dalam bahan yang digunakan untuk
menentukan data laju pengeringan. Kadar air dalam bahan dapat ditentukan
berdasarkan berat air yaitu basis kering atau basah. Dalam Saeed dkk (2008) dan
Geankoplis (1993), untuk menghitung basis kering (% Xdb) dan basis basah (% Xwb)
dapat digunakan persamaan berikut.
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
Xdb = ............................................................. (6)
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑖𝑟
% Xdb = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑥 100 .......................................................................... (7)
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
Xwb = ............................................................ (8)
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑖𝑟
% Xwb = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝑥 100 .......................................................................... (9)
Mulai
Penyeragaman ukuran
daun mint segar
Variasi :
Berat konstan
Selesai
Proses pengeringan dilakukan hingga berat konstan yaitu pada saat tercapai kadar
air kesetimbangan. Data pengamatan dari masing-masing variasi disajikan pada
lampiran C1.
4.1 Pengaruh Laju Alir Udara terhadap Karakteristik Pengeringan pada
Variasi Suhu
Percobaan dilakukan dengan melakukan variasi laju alir udara pengering
pada empat variasi suhu. Hasil data dianalisa berdasarkan karakteristik pengeringan
meliputi nilai laju pengeringan (Rc), kadar air kesetimbangan (X*), dan kadar air
kritis (Xc).
Gambar 4.1 Penurunan Kadar Air terhadap Waktu Pengeringan pada Suhu 40 oC dan
Laju Alir Udara 1.45 m/s
Pada proses pengeringan, terdapat dua zona pengeringan yang ditunjukkan
pada Gambar 4.1, yaitu zona laju pengeringan periode konstan dan laju pengeringan
periode menurun yang dibatasi oleh kadar air kritis (Xc) hingga mencapai kadar air
kesetimbangan (X*).
0.01
Rc (Kg/m2.jam)
0.008
0.006
0.004
0.002
0
0 1 2 3 4 5 6
X (Kg H2O/Kg bahan kering
v = 1.45, T = 40C v = 1.45, T = 45C
v = 1.45, T = 50C v = 1. 45, T = 55C
(a)
0.014
0.012
Rc (Kg/ m2.jam)
0.01
0.008
0.006
0.004
0.002
0
0 1 2 3 4 5 6
X (Kg H2O/Kg bahan kering)
(b)
0.025
0.02
Rc (Kg. m2.jam)
0.015
0.01
0.005
0
0 1 2 3 4 5 6
X (Kg H2O/Kg bahan kering)
(c)
Gambar 4.2 Grafik Pengeringan (a), (b), (c) pada Berbagai Variasi Laju Udara Pengering
dengan berbagai Variasi Suhu
Rc (Kg/m2.jam)
0.015
0.01
0.005
0
1.45 1.50 1.55 1.60 1.65 1.70 1.75 1.80 1.85 1.90
Laju Alir Udara (m/s)
40 C 45 C 50 C 55 C
Secara keseluruhan setiap kenaikan laju alir udara selalu diikuti dengan
peningkatan nilai laju pengeringan. Hal ini dikarenakan terjadi perpindahan massa
air yang terdapat pada bahan ke aliran udara. Laju alir udara yang semakin cepat,
akan lebih banyak membawa kandungan air yang teruapkan dari bahan
dibandingkan dengan laju alir udara yang lebih lambat. Pada kondisi laju alir udara
yang lebih lambat, udara akan lebih cepat jenuh dibandingkan laju alir udara yang
cepat sehingga terdapat perbedaan kapasitas uap air pada udara pengering. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Amin Taheri (2011) bahwa laju alir udara
memiliki pengaruh cukup besar terhadap laju pengeringan dan waktu pengeringan.
Peningkatan laju alir udara akan mempercepat proses perpindahan massa dari bahan
ke aliran udara.
Berdasarkan Gambar 4.3, nilai laju pengeringan konstan terbesar terdapat
pada kondisi operasi suhu 55oC dan laju udara 1,85 m/s yaitu 0,02 Kg/m2.jam. Pada
suhu 40oC dan 45oC tidak terjadi kenaikan nilai laju pengeringan yang signifikan
seperti pada suhu 50oC dan 55oC, hal ini dikarenakan pada suhu 40 oC dan 45 oC
tidak cukup untuk melakukan penetrasi panas hingga kedalam pori-pori daun
karena terdapat perbedaan antara suhu udara pengering dan suhu permukaan daun
yang cukup jauh yaitu 9,35oC ± 0,3.
4.1.2 Kadar Air Kritis
Laju alir udara mempengaruhi nilai kadar air kritis pada bahan, Pengaruh
laju alir udara panas terhadap kadar air kritis dapat dilihat pada Gambar 4.4.
3.8
Xc (Kg H20/Kg bahan kering)
3.6
3.4
3.2
3.0
2.8
2.6
2.4
2.2
2.0
1.45 1.50 1.55 1.60 1.65 1.70 1.75 1.80 1.85 1.90
Laju udara (m/s)
40 C 45 C 50 C 55 C
0.155
0.145
0.135
0.125
0.115
1.45 1.50 1.55 1.60 1.65 1.70 1.75 1.80 1.85 1.90
Laju Udara (m/s)
40 C 45 C 50 C 55 C
Tabel 4.2 Laju alir udara terhadap kadar air kesetimbangan (X*)
V (m/s) X* Suhu 50 oC X* Suhu 55 oC
1,45 0,13 0,13
1,65 0,13 0,12
1,85 0,13 0,13
Rata-rata 0,13
Nilai rata-rata kadar air kesetimbangan (X*) yang diperoleh dari suhu suhu
50 oC dan55 oC dari berbagai variasi laju alir udara adalah 0,13 ± 0,01 gr H2O/gr
bahan kering. Gambar 4.5 menunjukan bahwa laju alir udara tidak begitu
berpengaruh terhadap kadar air kesetimbangan apabila pengeringan dilakukan pada
suhu yang cukup tinggi untuk membuka pori-pori bahan.
4.2 Pengaruh Suhu terhadap Karakteristik Pengeringan pada Variasi Laju
Alir Udara Pengering
Karakteristik pengeringan ditunjukkan oleh nilai laju pengeringan konstan
(Rc), kadar air kritis (Xc), dan kadar air kesetimbangan (X*). Berikut ini merupakan
pengaruh temperatur udara pengering terhadap karakteristik pengeringan daun
mint.
4.2.1 Laju Pengeringan Konstan
Gambar 4.6 Grafik Laju Pengeringan terhadap Suhu Udara Pengering
0.025
0.02
Rc (Kg/m2.jam)
0.015
0.01
0.005
0
40 42 44 46 48 50 52 54 56
Suhu (o C
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Gambar 4.7 Nilai Koefisien Perpindahan Panas terhadap Variasi Suhu dan Laju Udara
Koefisien pindah panas (h) merupakan besaran yang menyatakan tingkat kecepatan
perpindahan kalor. Menurut (Apriadi, dkk, 2011) Semakin tinggi nilai koefisien
pindah panas maka perpindahan laju panas akan semakin tinggi, sehingga
penurunan kadar air bahan semakin cepat. Pada gambar 4.7 menunjukan pada
variasi suhu 55 oC di laju alir udara 1.85 m/s memiliki koefisien perpindahan panas
paling tinggi yaitu 0.600 W/m2.K dan pada variasi ini juga memiliki nilai laju
pengeringan konstan yang tertinggi.
3.600
3.400
3.200
3.000
2.800
2.600
2.400
2.200
2.000
40 42 44 46 48 50 52 54 56
Suhu (oC)
0.18
X* (Kg H2O/Kg bahan kering)
0.17
0.16
0.15
0.14
0.13
0.12
40 42 44 46 48 50 52 54 56
Suhu (oC)
Nilai rata-rata kadar air kesetimbangan (X*) pada suhu 50oC sebesar 0,13
Kg H2O/Kg bahan kering dan pada suhu 55oC sebesar 0,131 Kg H2O/Kg bahan
kering. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air kesetimbangan pada pengeringan
daun mint sebesar 0,13 Kg H2O/Kg bahan kering. Kadar air kesetimbangan pada
suhu 40oC dan 45oC pada laju alir udara 1,85 m/s lebih tinggi dikarenakan laju alir
udara yang terlalu cepat. Menurut Bhandari, dkk (2005) dalam buku handbook of
drying of vegetables and vegetable product, pengeringan yang dilakukan pada suhu
rendah dan laju alir udara tinggi dapat menyebabkan pengeringan yang tidak merata
sehingga kadar air yang terdapat pada bahan masih tinggi dan warna permukaan
bahan belum sepenuhnya berubah menjadi kecoklatan.
2.0
Konsentrasi mentol (mg E/g daun basah)
1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diberikan
kesimpulan dan saran sebagai berikut:
1. Secara keseluruhan setiap kenaikan laju alir udara dan temperatur proses
pengeringan selalu diikuti dengan peningkatan nilai laju pengeringan. Nilai
laju pengeringan konstan terbesar terdapat pada kondisi operasi suhu 55 oC
dan laju udara 1,85 m/s yaitu 0,02 Kg/m2.jam
2. Kondisi pengeringan daun mint terbaik yaitu pada variasi proses
pengeringan suhu 50 oC dan laju alir udara 1,85 m/s dengan kandungan
senyawa mentol tertinggi yaitu 1003,55 ppm.
5.2 Saran
Untuk mendapatkan kandungan mentol yang lebih murni perlu dilakukan
proses evaporasi sebelum sampel di uji.