Anda di halaman 1dari 12

Nyeri Dada pada Infark Miokard dengan ST Elevasi dan

Tatalaksananya

Christina Sonia Wibowo


102016197 / F-5
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510, Indonesia
Email: chris.soniaa@gmail.com

Abstrak

Penyakit jantung Koroner/PJK masih menjadi penyebab kematian pada sepertiga kematian
pada orang berumur diatas 35 tahun. Angka kematian di negara-negara barat sudah berkurang
dalam decade terakhir, mungkin karena control faktor risiko yang semakin baik. namun, di
negara berkembang, mortalitas karena PJK masih terus meningkat, menandakan butuhnya
pendekatan untuk pencegahan primer berskala dunia untuk mengidektifikasi kelompok
populasi yang berisiko dan daerah yang kemungkinan mengalami peningkatan angka
mortalitas karena PJK. Salah satu yang masuk dalam kelompok PJK adalah Infark miokard
dengan elevasi segmen ST pada EKG (STEMI) dengan gejala klinis yang umumnya sama
dengan penyakit iskemik miokard lainnya, yaitu nyeri dada saat istirahat.

Kata Kunci : penyakit jantung coroner, STEMI, nyeri dada

Abstract

Coronary Heart Disease still causes about one-thirs of all deaths in people older than 35 years.
Mortality from CHD is expected to continue increasing in developing countries, illustrates the
need for implementing affective primary prevention approaches worldwide and identifying risk
groups and areas for possible improvements. One from the CHD groups is the ECG - ST
elevated myocardial infarction (STEMI), with the manifestation of those that commonly found
in other myocardial ischemia, while-resting chest pain.

Keyword : coroner heart disease, STEMI, chest pain

1
Pendahuluan

Penyakit jantung coroner kini menjadi penyebab utama kematian di dunia. Penyakit
Jantung Koroner (PJK) yang juga sering disebut penyakit jantung iskemik paling sering
disebabkan oleh sumbatan plak atheroma pada arteri koronaria. Nyeri dada adalah gejala paling
menonjol pada Unstable Angina Pectoris, Stable Angina Pectoris, Prinzmetal’s Angina, dan
Acute Myocardial Infarction. Tetapi gejala yang muncul dapat tidak nyeri atau nyerinya tidak
menonjol (contohnya pada iskemik myokard samar, heart failure, aritmia, sudden death).1,2

Adanya oklusi pada arteri coroner menjadi etiologi gejala utama nyeri pada Stable
Angina Pectoris dan Acute Coronary Syndrome. Acute Coronary Syndrome/ Sindrom Koroner
Akut (SKA) dilihat dari hasil Elektrokardiografi (EKG) dibagi menjadi Unstable Angina
Pectoris, Non-ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI), dan ST Elevation Myocardial
Infarction (STEMI). Gangguan aliran darah coroner parsial atau total ke miokard secara akut
terjadi karena thrombus yang dinamis, sedangkan Stable Angina Pectoris terjadi karena
penyempitan yang statis. Pada SKA, gejala nyeri dada muncul tiba-tiba dan intensitasnya
dinamis sesuai dengan derajat penyempitan yang dipengaruhi komponen vasospasme dan
ukuran thrombus.1

Jika iskemia yang berujung infark tidak ditangani segera, infark atau nekrosis pada
miokard akan meluas, lalu kemampuan jantung untuk memompa menurun. Pada tingkat
seluler, akan terjadi gangguan elektrolit sehingga dapat menyebabkan aritmia atau gangguan
irama jantung.1

Diagnosis SKA didasarkan atas hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG, dan enzim
petanda jantung.1,3

Anamnesis

Walaupun banyak informasi yang dapat diperoleh dengan berbagai peralatan


penunjang, namun keputusan tentang tata laksana yang tepat utnuk pasien harus tetap berdasar
pada pemeriksaan klinis menyeluruh yang baik. pada anamnesis, klinisi harus membiarkan
pasien menceritakan kisahnya mengenai perjalanan penyakit dan gejala yang ia alami dan
mengajukan pertanyaan yang mengarah pada gejala klinis agar dapat memberikan informasi
dalam usaha menegakkan diagnosis dan menetapkan terapi. Keluhan utama yang paling sering
pada penyakit kardiovaskular adalah dispneu, batuk, hemoptysis, nyeri dada, sinkop, palpitasi,
pembengkakan pergelangan kaki, letih, sianosis, klaudikasio. Setiap gejala harus juga memiliki
informasi sebagai berikut: sifat dan derajat keparahan, kronologi, onset dan durasi, factor-
faktor pemicu yang memperberat atay meringankan, gejala yang berhubungan, lokasi dan
penyebaran nyeri. Informasi lain juga bisa didapat dari sikap pasien, tingkah laku, emosi, dan
lainnya. Riwayat penyakit pasien yang lengkap juga mencakup penelusuran informasi tentang
sistem urinary, gastrointestinal, penggunaan obat-obatan, riwayat penyakit sebelumnya,
riwayat social (aktivitas fisik, pekerjaan, merokok, konsumsi alkohol, keadaan sosial), dan
riwayat penyakit keluarga yang mungkin dapat diturunkan.1,2

Anamnesis ditemukan bahwa pasien perempuan berumur 55 tahun yang datang dengan
nyeri dada mengalami nyeri dada yang tiba-tiba dan menjalar ke lengan kiri sejak 3 jam yang
lalu. Nyeri agak berkurang saat istirahat, tetapi muncul terus-menerus dan semakin memberat.
Tidak ada riwayat batuk ataupun demam, sehingga dapat menyingkirkan diagnosis infeksi

2
saluran napas. Didapatkan riwayat penyakit dahulu pasien yaitu pasien pernah mengalami nyeri
dada kiri, tetapi tidak terlalu sakit dan berlangsung hanya sekitar 5 menit. Riwayat penyakit
keluarga didapatkan bahwa ayah pasien meninggal pada umur 40 tahun karena serangan
jantung.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik juga bertujuan untuk mendapatkan informasi klinis yang membantu
diagnosis. Pada pemeriksaan, pasien diminta berbaring setengah duduk (kemiringan 30-40o).
Pemeriksa harus dapat memeriksa dada, abdomen, dan tungkai pasien tanpa gangguan pakaian.
Setelah pasien berbaring, observasi spesifik, seperti pola pernapasan, keadaan umum dan
kesadaran pasien kemudian periksa tanda-tanda vital, terutama tekanan darahnya. Perhatikan
dan nilai apakah ada kelainan dari kepala sampai ke kaki. Pada bagian kepala dan leher yang
diperiksa adalah seperti wajah (kemerahan), mata (anemia, ikterik), mulut (sianosis mukosa,
gigi geligi), tiroid, denyut vena jugularis. Kemudian bagian toraks harus diinspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi. Perlu dilihat juga apakah ada bekas luka operasi pada dada maupun
pada fosa antekubiti (bekas katerisasi jantung lalu). Pada asukultasi bunyi jantung perlu dinilai
intensitas, frekuensi (tinggi nada), dan kulitas (warna suara). Bunyi jantung normal biasanya
hanya terdiri dari S1 (bunyi penutupan katup atrioventrikel saat sistol ventrikel) dan S2 (saat
katup aorta dan pulmonal menutup dan diatol dimulai).
Kemudian ekstremitas juga perlu diperiksa, seperti jari (clubbing, sianosis, warna bekas
nikotin), lengan (denyut brakialis & radialis, bekas luka), denyut nadi pada arteri femoralis,
popliteal, dan bagian pergelangan kaki dan pedis juga apakah ada edema pada lengan maupun
tungkai.2

Dari pemeriksaan fisik pasien ditemukan keadaan umum pasien tampak sakit berat dan
kesadaran compos mentis. Tekanan darah pasien 90/60 mmHg, nadi 100x/menit, pernapasan
20x/menit, dan suhu 36,3oC. Pemeriksaan fisik bagian kepala tidak ditemukan konjungtiva
yang anemis ataupun sklera yang ikterik. Asukultasi bagian toraks didapatkan vesikuler, tidak
terdapat ronki atau wheezing pada kedua lapang paru, juga bunyi jantung 1 dan 2 murni regular,
tidak ada murmur ataupun gallop. Daerah abdomen tidak terdapat nyeri tekan dan bising usus
normal.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan klinis semua pasien kardiovaskular tidak lengkap tanpa pemeriksaan EKG
12-lead dan X-ray toraks. Pemeriksaan lain selain EKG dan X-ray toraks dilakukan pada
indikasi-indikasi tertentu. Imaging/pencitraan dan tes laboratorium untuk pemeriksaan enzim
jantung pada darah dapat diperlukan. Dua informasi utama yang dicari melalui pemeriksaan
penunjang adalah untuk mengetahui keadaan anatomis (structural) dan fisiologis
(fungsional).2,3

Pencitraan menjadi bagian penting diagnosis kardiologi modern dan terdiri dari
berbagai prosedur pemeriksaan, pilihan paling optimal tergantung pada keadaan klinis. Teknik
pencitraan jantung dapat dilakukan dengan radiografi toraks, echocardiogram-transthoracic,
tranesophageal echocardiography, katerisasi jantung, arteriografi coroner, CT-scan, MRI,
ataupun pemindaian nuklir perfusi miokard.2

3
Pada hasil rekam EKG pasien ditemukan elevasi segmen ST pada sadapan I, aVL, V1-
V6. Menandakan adanya infark miokard pada daerah anterior (V3 & V4), Septal (V1 & V2),
dan Lateral (V5, V6, I, aVL)

Differential Diagnosis

Stable Angina Pectoris

Angina pectoris adalah nyeri dada yang timbul karena iskemia miokard, terjadi bila
suplai oksigen tidak dapat memenuhi kebutuhan miokard. Penyebab paling sering adalah
aterosklerosis. Angina pektoris stabil merupakan sindrom klinik yang ditandai dengan rasa
tidak nyaman di dada atau substernal agak kiri, yang menjalar ke leher, rahang, bahu/punggung
kiri sampai dengan lengan kiri dan jari-jari bagian ulnar. Keluhan dapat dipicu oleh stress fisik
maupun emosional atau udara dingin, dan hilang dengan istirahat atau penghentian
pencetus.1,2,4
Kualitas nyeri biasanya tumpul seperti rasa tertindih/berat di dada, rasa desakan kuat
dari dalam atau bawah diafragma, diremas-remas, atau seperti mau pecah. Nyeri tidak
berhubungan dengan gerakan pernapasan atau gerakan dada ke kiri dan kanan. Keluhan khas
nyeri dada berlangsung kurang dari 20 menit. Tetapi dapat juga ada gejala atipikal seperti tidak
nyaman di epigastrium, rasa Lelah, atau seperti mau pingsan, terutama pada lanjut usia. Pada
auskultasi jantung, khususnya waktu sakit dada berlangsung, bisa terdengar suara jantung 3
(S3) atau empat (S4) karena ada disfungsi sementara ventrikel kiri. Dapat juga terdengar
murmur regurgitasi mitral akibat disfungsi otot papillaris sewaktu iskemia miokard terjadi.1
Pada pemeriksaan EKG yang paling sering ditemukan adalah depresi segmen ST,
kadang elevasi atau normalisasi segmen ST/gelombang T.

Unstable Angina Pectoris dan Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)1,2,4

Angina perktoris tidak stabil dan NSTEMI termasuk dalam Sindrom Koroner Akut
(SKA) bersama dengan STEMI (ST elevation myocardial infarction).

Pada pasien Angina pektoris tidak stabil, terjadi symptom iskemia sesuai SKA, tanpa
terjadi peningkatan enzim petanda jantung (CK-MB, troponin) dengan atau tanpa perubahan
EKG yang menunjukan iskemia (depresi segmen ST, inversi gelombang T, dan elevasi segmen
ST yang transien).

Sedangkan pada pasien NSTEMI, manifestasi klinis sama seperti pasien angina
pektoris tidak stabil, tetapi dengan peningkatan enzim petanda jantung.

Sebagian besar pasien SKA dating dengan keluhan nyeri dada, rasa berat, atau seperti
ditekan, atau dicengkeram di belakang sternum. Nyeri bisa menjalar ke rahang, bahu,
punggung dan lengan. Pada angina pektoris stabil nyeri dada berlangsung kurang dari 20 menit,
pada SKA berlangsung lebih lama. Namun pada populasi lanjut usia (>75 tahun), wanita, dan
diabetes, keluhan tidak khas. Pada lansia lebih sering terjadi NSTEMI dan presentasinya sering
atipikal, seperti sinkope, lemas, atau delirium, dan sering disertai gagal jantung.1,2

Keluhan angina SKA biasanya disertai keringan dingin karena proses respon simpatis,
mual muntal karena stimulasi vagal, dan rasa lemas tak bertenaga.

4
Tiga presentasi angina pada SKA yaitu: angina saat istirahat dengan durasi lebih dari
20 menit; angina pertama kali sehingga aktivitas fisik menjadi terbatas; angina progresif yaitu
angina pektoris yang stabil mengalami perburukan dimana angina terjadi lebih sering, durasi
lebih lama atau dengan aktivitas yang lebih ringan.1

Prinzmetal’s Angina3,5,6

Dideskripsikan oleh Prinzmetal pada tahun 1959, angina varian (Prinzmetal’s angina)
adalah gejala angina saat istirahat dan elevasi segmen ST pada EKG yang menandakan iskemia
transmural. Keadaan ini berhubungan dengan adanya tonus arteri coroner yang bertambah,
yang dengan cepat hilang dengan pemberian nitrogliserin atau blocker kanal kalsium dan dapat
diprovokasi oleh asetilkolin. Spasme arteri coroner tersebut dapat disebabkan oleh terpapar
udara dingin, stres emosional, olahraga, ataupun obat yang merangsang vasokonstriksi (seperti
obat-obat golongan agonis alpha). Angina varian dapat terjadi pada arteri coroner yang
strukturnya normal.
Prinzmetal’s angina/angina varian tidak umum, dengan nyeri yang muncul saat istirahat
karena vasospasme coroner (kontraksi otot pembuluh).

Working Diagnosis

STEMI (ST Elevated Myocardial Infarction)1-5

STEMI merupakan gejala klinis yang dinilai berdasarkan gejala karakteristik iskemia
miokard dengan elevasi segmen ST persisten pada EKG yang menandakan adanya cedera
transmural karena oklusi total arteri coroner oleh thrombus, juga adanya pelepasan biomarker
petanda nekrosis miokard. Pasien dengan STEMI harus mendapatkan revaskularisasi segera
supaya nekrosis tidak semakin meluas dan dapat menyelamatkan sisa miokard yang belum
nekrosis, hal ini disebut paradigma “time is muscle”.

Jadi, working diagnosisnya adalah STEMI anteroseptal lateral (extensive anterior myocardial
infarction), sesuai dengan temuan klinis dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan EKG.

Epidemiologi1,2,7

Pasien yang mengalami STEMI biasanya sudah ada riwayat angina atau PJK
sebelumnya, terutama pada usia lanjut dan kebanyakan pada laki-laki.

Penyakit jantung coroner kini menjadi penyebab utama kematian di dunia, baik laki-
laki maupun perempuan. Berbagai faktor risiko ditengggarai mendorong terjadinya PJK,
sebagian dapat dimodifikasi, sebagian tidak.

Kematian sebagian besar terjadi pada jam-jam pertama setelah STEMI karena
gangguan irama ventricular fibrilasi. Kejadian ini sering terjadi sebelum pasien mencapai
fasilitas kesehatan. Tanpa defibrilator, peluang untuk mengembalikan ke sirkulasi spontan
sangat kecil.

Statistika Penyakit jantung dan stroke tahun 2016 dari American Heart Association
melaporkan bahwa 15,5 juta orang berumur 20 tahun dan diatas di Amerika Serikat menderita
PJK. Prevalensi semakin meningkat dengan bertambahnya umur untuk pria maupun wanita.
Sekitar 90% pasien dengan PJK melaporkan setidaknya satu dari factor-faktor risiko mayor

5
terjadinya PJK yaitu merokok, dyslipidemia, hipertensi, diabetes, dan obesitas. Di inggris,
penyakit kardiovaskular membunuh satu dari dua penduduk dalam populasi dan menyebabkan
hampir sebesar 250.000 kematian pada tahun 1998. Satu dari empat laki-laki dan satu dari lima
perempuan meninggal per tahunnya karena PJK, yang mempresentasikan sekitar setengah
kematian akibat penyakit kardiovaskular. Sebenarnya tidak banyak perbedaan antara
perempuan dan laki-laki dalam insidensi penyakit ini dihitung berdasarkan harapan hidup yang
lebih panjang. Di inggris, terdapat perbedaan regional, sosio-ekonomi, dan etnik yang
bermakna dalam prevalensi PJK, prevalensi tertinggi di utara Inggris dan Skotlandia, pada
pekerja manual, dan orang Asia.

Pathogenesis1,4

Aterosklerosis sebagai penyebab tersering terjadinya sumbatan yang berlanjut menjadi


iskemia dan infark otot jantung, bermula dari lemak dan zat lain yang menumpuk dan
membentuk plak pada dinding arteri. Lumen pembuluh darah menjadi sempit dan aliran darah
terganggu. Terjadilah iskemia miokard karena kurangnya pasokan oksigen pada daerah otot
jantung yang dipasok oleh pembuluh yang bersangkutan. Plak dapat menjadi semakin
membesar kemudian rupture. Ruptur plak menyebabkan terjadinya proses thrombosis, yaitu
pembentukan thrombus yang dapat menyebabkan oklusi total arteri coroner dan nekrosis sel-
sel miokard karena tidak seimbangnya suplai oksigen (rendah) dengan kebutuhan. Rentetan
kejadian ini memberikan gejala klinis mulai angina pektoris tidak stabil, infark miokard akut
(IMA) tanpa elevasi segmen ST, IMA dengan elevasi segmen ST, hingga kematian mendadak.

Diagnosis1,2,3

Kebanyakan diagnosis STEMI dibuat berdasarkan kecurigaan sindrom klinis dengan EKG
yang diagnostic.

Gejala yang paling sering adalah nyeri dada precordial yang tiba-tiba atau sesak napas.
Kualitas nyerinya adalah umumnya seperti dihimpit, diremas, atau ditekan di retrosternal.
Nyeri dapat menjalar atau tidak menjalar ke leher, rahang, bahu kiri, dan lengan kiri. Umumnya
pasien merasakan nyeri yang hebat akibat dari aktivasi sistem simpatis, juga mual muntah dan
keringan dingin sampai membasahi baju karena aktivitas sistem vagal. Namun ada pula gejala
atipikal seperti nyeri pada lengan atau bahu, sesak napas akut, sinkope, dan aritmia.

Jika ada elevasi ST tanpa gejala, harus dicurigai kelainan lain selain infark miokard (seperti
hiperkalemia, hipertrofi ventrikel kiri, LBBB)

Aspek penting dari pemeriksaan fisik adalah pengkajian gejala dan tanda awal dari
perburukan gagal jantung. Klasifikasi Killip dapat digunakan untuk mengevaluasi status
hemodinamik akibat cedera miokard dan memberikan perkiraan prognosis.

Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai:


 Umum : kecemasan, sesak, kringat dingin, kadang normotensive atau hipertensif,
Levine sign (tangan mengepal di depan dada tanda sakit)
 Leher : normal, atau ada sedikit peningkatan tekanan vena jugularis (JVP)
 Jantung : Takikardia, S1 lemah, timbulnya S4, mungkin terdapat S3, murmur sistolik
 Paru : Ronki atau mengi bila terdapat gagal jantung
 Ekstremitas : normal atau ada tanda penyakit vascular perifer

6
Gambar 1. Klasifikais Killip dan Prognosis berdasarkan Angka Mortalitas.1

Faktor risiko STEMI antara lain: adanya hipertensi, hyperlipidemia, penggunaan


tembakau, dyslipidemia, kecenderungan genetik, inflamasi vascular.

Ada pula penilaian stratifikasi risiko, selain memprediksi kejadian jantung akibat
thrombosis pada jangka pendek dan panjang, juga memandu dalam menentukan strategi
tatalaksana terbaik pada setiap pasien. Dua cara yang lazim digunakan untuk menilai poin
factor risiko pada STEMI yang akan digunakan untuk prognosis yaitu TIMI (Trombolysis in
Myocardial Infarction) dan GRACE score. TIMI risk score dan GRACE score dapat diisi
online (https://www.mdcalc.com/timi-risk-score-stemi dan http:/www.outcomes.org/grace)

Gambar 2. Stratifikasi Risiko TIMI untuk STEMI1

Gambar 3. Prognosis Berdasarkan Hasil Skor Risiko TIMI 1


Uji diagnostic tambahan diagunakan untuk mendiagnosis atau mencegah komplikasi,
melihat prognosis, dan menyingkirkan kondisi komorbid yang mengarah ke infark miokardial.

7
EKG 12 sadapan penting untuk pengenalan STEMI. American Heart Association
mengartikan infark miokard sebagai elevasi ST di titik J pada setidaknya 2 lead yang
berdekatan sebesar ≥2 mm (0.2 mV) pada pria atau ≥1.5 mm (0.15 mV) pada wanita pada lead
V2-V3 dan/atau ≥ 1mm pada dua atau lebih sadapan ekstremitas atau precordial bersebelahan
lainnya sesuai dengan regio dinding ventrikelnya. Regio anterior dinding ventrikel ditemukan
pada elevasi segmen ST sadapan V3 & V4, regio inferior pada sadapan II, III, & aVF, regio
lateral pada sadapan I, aVL, V5 dan V6, regio septal pada V1 dan V2.

Transtorakal ekokardiografi (TTE) dapat digunakan lebih dini bila EKG tidak dapat
ditentukan atau diagnosis tidak yakin. Tidak adanya abnormalitas gerakan dinidng regional
dapat menyingkirkan diagnosis. Pemeriksaan ini juga bermanfaat menentukan fungsi ventrikel
kiri yang memengaruhi prognosis dan pilihan terapi berikutnya. TTE juga dapat digunakan
untuk menentukan ukuran infark atau mendeteksi komplikasi infark miokard, seperti rupture
dinding ventrikel atau defek septum ventrikel.1,2

Biomarka kardiak bermanfaat untuk membantu diagnosis, melihat luas infark dan
menentukan prognosis. Dua biomarka yang digunakan yaitu troponin dan creatinine kinase
myocardial band (CK-MB). Troponin I dan T meningkat pada awal infark miokard dan lebih
berguna untuk diagnosis maka menjadi biomarka pilihan untuk diagnosis, tetapi
penggunaannya untuk memeperkirakan luas infark masih dalam penelitian.

Tatalaksana1,8,9

Terapi reperfusi bertujuan membatasi luasnya daerah infark miokard, hal yang sangat
menentukan prognosis pasien. Bila STEMI terjadi dalam 12 jam setelah awitan symptom,
reperfusi perlu dilakukan secepatnya. Tetapi jika STEMI sudah melampaui 12 jam dari awitan
symptom, tidak ada lagi jaringan yang bisa diselamatkan, infark miokard telah komplit dan
keluhan pasien hilang. Terapi reperfusi hanya diberikan kalau masih ada tanda-tanda iskemia
berupa nyeri dada, elevasi segmen ST, atau terjadi left bundle branch block (LBBB) baru.

Ada dua jenis strategi reperfusi: 1) intervensi coroner perkutan primer (primary PCI),
2) medikamentosa dengan obat fibrinolitik.

Primary PCI adalah pilihan pertama karena angka kematian lebih rendah dibanding
medikamentosa fribrinolitik. PCI sebaiknya sedini mungkin, idealnya kurang dari 90 menit
sejak keluhan nyeri dada timbul. Pilihan reperfusi perlu mempertimbangkan waktu awitan dari
symptom, fasilitas, sumber daya, dan demografi.

Sekitar 50% kasus STEMI memiliki penyempitan lebih dari satu arteri coroner
(multivessel). Intervensi coroner perkutan pada STEMI hanya dilakukan pada lesi culprit, lesi
di arteri yang berhubungan dengan daerah infark. Pada syok kardiogenik, lesi non culprit dapat
dipertimbangkan untuk diintervensi. Kelebihan primary PCI adalah dapat mengidentifikasi lesi
culprit terkait infark dan anatomi coroner yang lainnya. PCI primer dianjurkan menggunakan
stent, untuk menurunkan kejadian thrombosis.

Recue PCI, angiografi coroner bertujuan revaskularisasi segera pada kasus fibrinolitik
yang tidak berhasil. Rescue PCI dilakukan bila terdapat tanda-tanda iskemia secara klinis
(nyeri dada berulang atau perubahan segmen ST) atau kapasitas latihan rendah.

8
Gambar 4. Rekomendasi Antitrombotik Pada Pasien yang Menjalani PCI Primer.1

Terapi reperfusi medikamentosa / fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang sangat


penting, terutama bila PCI primer tidak dapat dilakukan karena masalah fasilitas sumberdaya
dan demografi. Keuntungan terbesar bila dilakukan dalam 6 jam pertama. Terapi fibrinolitik
berhasil bila angina berkurang, resolusi amplitude segmen ST>50%.

Semua pasien post fibrinolitik idealnya dirujuk ke fasilitas kesehatan dnegan


kemampuan PCI. Pasien yang gagal terapi fibrinolitik dengan kriteria angina disertai resolusi
segmen ST<50%, perlu dilakukan recue PCI secepatnya.

Gambar 5. Rekomendasi Antitrombotik Pada Pasien yang Mendapatkan Fibrinolisis.1

Terapi medikal postreperfusi:


 Aspirin 81 mg/hari dimakan seumur hidup
 Clopidogrel 600 mg loading dose diikuti 75 mg/hari. Diminum selama minimal 1 tahun
 Beta Blocker harus dimulai pada semua pasien tanpa kontraindikasi yang dating dengan
STEMI dalam 24 jam pertama dan pada kebanyakan kasus dilanjutkan seumur hidup.
Beta blocker harus dihindari pada pasien dengan STEMI Killip II, III, atau IV atau
dengan hipotensi, bradikardi, atau syok

9
 ACE inihibitor harus dimulai dalam 24 jam pertama. Sebaiknya dimulai dengan oabt
kerja pendek (captopril) pada 24 jam pertama sampai dosis maksimum tercapai,
kemudian dapat diberi obat kerja panjang sekali sehari (control: lisinopril).
Pertimbangkan ARB bila ada kontraindikasi ACE inhibitor.
 Terapi insulin direkomendasikan untuk control gula darah pada semua pasien yang
dirawat di CVCU (Cardiovascular Care Unit), beirkan insulin-drip bila kadar gula
darah>200 mg/dL. Hindari penggunaan gluphage pada pre dan post-PCI karena obat
ini berhubungan dnegan asidosis kuat
 Statin harus dimulai pasca reperfusi setelah hemodinamik pasien stabil. Dapat
diberikan antorvastatin 80 mg/hari. LDL-Cholesterol harus dikurangi sampai 60-
70mg/dL pada semua pasien STEMI

Terapi bedah CABG tidak lazim untuk revaskularisasi awal dan segera pada STEMI
tanpa komplikasi. Namun jika setelah upaya awal PCI atau reperfusi fibrinolitik telah
dilakukan, nyeri dada menetap/berulang, atau terjadi komplikasi mekanis (rupture
septum ventrikel, rupture muskulus papillaris), intervensi bedah patut dipertimbangkan.
Kondisi seperti ini sebaiknya menunggu setidaknya 24 jam setelah STEMI dan setelah
hemodinaik stabil. Topangan mekanik dengan intra-aortic balloon pump (IABP)
dibutuhkan sebagai jembatan untuk pembedahan pada kasus nyeri dada menetap,
aritmia, dan hemodinamik tidak stabil.

Komplikasi STEMI1

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah


Takiaritmia (takikardi ventricular, fibrilasi ventricular, fibrilasi/flutter atrial), bradiartimia
(blok atriventrikular), rupture dinding ventrikel (defek septum ventricular), regurgutasi mitral,
ischemic tethering muskulus papillaris, syok kardiogenik, dan infark ventrikel kanan.

Pencegahan Sekunder1

Pencegahan sekunder agar pasien tidak mengalami perburukan atau relaps antara lain :
berhenti merokok, control tekanan darah (target <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg pada
penderita DM atau gagal ginjal kronik), managemen lipid (target LDL < 100 mg/dL,
trigliserida <150 mg/dL, HDL > 40 mg/dL), aktivitas fisik (target minimal 30 menit/hari 3-
4x/minggu), managemen berat badan (IMT 18,5-24,9 kg/m2), managemen diabetes (target
HbA1C <7%), antiplatelet/antikoagulan (aspirin 75-162 mg/hari seumur hidup; clopidogrel
75mg/hari atau tricagelor 180 mg/hariselama 12 bulan), penghambat sistem RAA (ACE
inhibitor atau ARB), penyekat beta (diberi pada semua pasien, seumur hidup bila tidak ada
kontraindikasi. Bila pasien gagal jantung : carvedilol, metoprolol, bisoprolol), nitrat (nitrat
kerja pendek diberi pada setiap pasien bila terdapat nyeri dada iskemik.

Kesimpulan
STEMI merupakan infark miokard dengan elevasi segmen ST dan kenaikan enzim
jantung. STEMI masuk dalam kategori Sindrom Koroner Akut & PJK yang penyebab
terseringnya adalah aterosklerosis. Gejala klinis yang paling sering ditemui adalah nyeri
dada/sesak yang tiba-tiba, lama, dan tidak hilang saat istirahat. Kunci diagnosis adalah gejala
klinis, EKG (dan biomarker jantung). Prognosis dan tatalaksana dapat disesuaikan berdasarkan
kategori Killip menurut gejala klinis atau TIMI menurut faktor risiko. Tatalaksana utama
adalah reperfusi segera, lalu fibrinolitik, & jika keduanya gagal, terapi bedah baru
dipertimbangkan.

10
11
Daftar Pustaka

1. Rilantono L I. Penyakit kardiovaskular. Jakarta: FKUI; 2012. H 121-160


2. Gray H H, Dawkins K D, Morgan J M, Simpson I A. Lecture notes: kardiologi. Jakarta
Erlangga; 2002. H 8-30, 107-150
3. Crawford M H. Cardiology. USA: McGraw-Hill; 2013. P 88-89, 185-1
4. Lilly L S. pathophysiology of heart disease. 6th Ed. China: Wolters Kluwer; 2016. P
163-183
5. King T C. Elsevier’s integrated pathology. USA: Elsevier; 2006. P 175
6. Ziccardi M R, Gossman W G. Angina Prinzmetal. 2017. Available at URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430776/
7. Sanchis-Gomar F, Perez-Quilis C, Leischik R. epidemiology of coronary heart disease
and acute coronary syndrome. 2016. Available at URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4958723/
8. 2013 ACCF/AHA guideline for the management of ST-elevation myocardial infarction
a report of the American college of cardiology foundation/ American heart association
task force on practice guidelines. 2012. Available at URL :
https://www.heart.org/idc/groups/heart-
public/@wcm/@mwa/documents/downloadable/ucm_453635.pdf
9. Ibanez B, James S, Agewall, S, et al. 2017 ESC guidelines for the management of
STEMI. 26 Agustus 2017; Available at URL: https://www.acc.org/latest-in-
cardiology/ten-points-to-remember/2017/09/08/09/32/2017-esc-guidelines-for-the-
management-of-stemi

12

Anda mungkin juga menyukai