Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

GAGAL NAFAS

1. PENGERTIAN
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan
oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang
adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi. (Arif Mansjoer, dkk.
2011)
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan
pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam jumlah yang dapat mengakibatkan
gangguan pada kehidupan. (Arif Mansjoer, dkk. 2011)
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan
karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang
dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari
45 mmHg (hiperkapnia). (Arif Mansjoer, dkk. 2011)

2. PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah
gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal secara struktural maupun
fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah
terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan
penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara). Pasien mengalalmi toleransi
terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal
nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik
struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi
penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan
memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul
kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana
terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan
terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi,
cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia
mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi
lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan
tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan dengan efek yang dikeluarkan
atau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit
paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut. (Corwin, Elizabeth. 2012)

3. ETIOLOGI
a. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang
menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla)
sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
b. Kelainan neurologis primer.
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat
pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke
saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti
gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular
yang terjadi pada pernapasan akan sangat mempengaruh iventilasi.
c. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi
paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit
pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
d. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas.
Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan
dari hidung dan mulut dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi
pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan
mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah
pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang
mendasar
e. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia
diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang
bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah
beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas. (Smeltzer, Suzanne C &
Brenda G. Beare. 2010)

4. KLASIFIKASI
Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3 tipe.
Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan ventilasi , tipe III
adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi (Smeltzer, Suzanne C
& Brenda G. Beare. 2010).

a. Gagal nafas tipe 1


(Kegagalan Oksigenasi; Hypoxaemia arteri): Tekanan parsial O2 dalam arteri
mencerminkan: (1) Tekanan parsial O2 gas inspirasi; (2) ventilasi semenit; (3)
kuantitas darah yang mengalir melalui pembuluh kapiler paru; (4) Saturasi O2 dalam
Hb darah yang mengalir dalam kapiler paru (dipengaruhi metabolism jaringan dan
cardiac output); (5) difusi melalui membrane alveolar; dan (6) ventilation-perfusion
matching.
Gagal nafas tipe I ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang abnormal rendah.
Mungkin hal tersebut diakibatkan oleh setiap kelainan yang menyebabkan rendahnya
ventilasi perfusi atau shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri yang ditandai dengan
rendahnya tekanan parsial O2 arteri (PaO2 < 60 mm Hg saat menghirup udara
ruangan), peningkatan perbedaan PAO2 – PaO2, venous admixture dan Vd/VT.
Patofisiologi mekanisme hipoksemia arterial:
1. Penurunan tekanan parsial O2 dalam alveoli
a. Hipoventilasi
b. Penurunan tekanan parsial O2 udara inspirasi
c. Underventilated alveoli (areas of low ventilation-perfusion)
2. Shunting intrapulmoner (areas of zero ventilation-perfusion)
3. Penurunan mixed venous O2 content (saturasi haemoglobin yang rendah)
a. Peningkatan kecepatan metabolism
b. Penurunan cardiac output
c. Penurunan arterial O2 content
d. Penyebab gagal nafas tipe I (Kegagalan Oksigenasi):
1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)
2. Asthma
3. Oedem Pulmo
4. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
5. Fibrosis interstitial
6. Pneumonia
7. Pneumothorax
8. Emboli Paru
9. Hipertensi Pulmonal

b. Gagal Nafas Tipe II (Kegagalan Ventilasi: Arterial Hypercapnia)


Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efesiensi mekanisme ventilasi yang
membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil metabolism jaringan. Gagal nafas
tipe II dapat disebabkan oleh setiap kelainan yang menurunkan central respiratory
drive, mempengaruhi tranmisi sinyal dari CNS (central nervous system), atau
hambatan kemampuan otot-otot respirasi untuk mengembangkan paru dan dinding
dada. Gagal nafas tipe II ditandai dengan peningkatan tekanan parsial CO2 arteri yang
abnormal (PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya PAO2
dan PaO2, oleh karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak.
Penyebab gagal nafas tipe II:
1.Kelainan yang mengenai central ventilatory drive
1. Infark atau perdarahan batang otak
2. Penekanan masa supratentoral pada batang otak
3. Overdosis obat, narkotik, Benzodiazepines, agen anestesi, dll.
2. Kelainan yang mengenai tranmisi sinyal ke otot-otot respirasi
1. Myasthenia Gravis
2. Amyotrophic lateral sclerosis
3. Gullain-Barrè syndrome
4. Spinal –Cord injury
5. Multiple sclerosis
6. Paralisis residual (pelumpuh otot)
3. Kelainan pada otot-otot pernafasan dan dinding dada
1. Muscular dystrophy
2. Polymyositis
3. Flail Chest
c. Gagal Nafas Tipe III (Gabungan kegagalan oksigenasi dan ventilasi)):
Gagal nafas tipe III menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan hiperkarbia
(penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2). Penilaian berdasarkan pada persamaan
gas alveolar menunjukkan adanya peningkatan perbedaan antara PAO2 – PaO2,
venous admixture dan Vd/VT. Dalam teori , seriap kelainan yang menyebabkan
gagal nafas tipe I atau tipe II dapat menyebabkan gagal nafas tipe III.
Penyebab tersering gagal nafas tipe III :
1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)
2. Asthma
3. Chronic obstructive pulmonary disease
Mekanisme Kompensasi pada Gagal Nafas :
Respon terhadap hipoksemia tergantung pada kemampuan pasien untuk
mengenali adanya keadaan hipoksemia dan kemudian untuk meningkatkan cardiac
output dan ventilasi semenit untuk memperbaiki situasi tersebut. Kemoreseptor perifer
yang berlokasi di arkus aorta dan bifurcation arteri carotis mengirim sinyal aferen ke
otak
Penilaian Fungsi Paru pada pasien Kritis :
Tujuan utama sistem respirasi adalah untuk pertukaran gas (hubungan
kardiopulmoner) di dalam parenkim paru. Jalan nafas menyediakan saluran lewatnya
udara dari lingkungan ke paru-paru, sistem neuromuskuler meyakinkan bahwa
ventilasi dan parenkim paru menyediakan hubungan antara ventilasi dan perfusi.
Sehatnya parenkim paru dan jalan nafas menentukan work of breathing (WOB) pada
sistem neuromuskuler; peningkatan WOB akibat penyakit paru dan jalan nafas dapat
menekan dan memicu kegagalan sistem neuromuskuler. Pemburukan fungsi paru pada
pasien kritis dapat disebabkan oleh tidak adekuatnya jalan nafas, parenkim paru,
interaksi kardiopulmoner dan sistem neuromuskuler. Penilaian fungsi paru sangatlah
penting untuk (1) memutuskan apakah bantuan ventilasi diindikasikan, (2) penilaian
respon terapi, (3) mengoptimalkan manajemen ventilator, dan (4) untuk memutuskan
penyapihan dari ventilator
Penilaian klinis terhadap sistem respirasi sering berfokus pada penemuan
auskultasi, namun pertimbangan informasi dapat diperoleh dari inspeksi yang teliti
dan pemeriksaan pola pernafasan. Adanya wheezing, krepitasi, meningkatnya laju
respirasi, retraksi interkostal dan suprasternal, penggunaan otot bantu pernafasan, dan
pergerakan paradoksal dinding dada mengindikasikan peningkatan WOB. Terdapat
berbagai tes untuk menilai komponen yang berbeda. Pengukuran resistensi jalan nafas
dan komplien paru memberikan evaluasi WOB berdasarkan komponen
neuromuskuler sedangkan penilaian fungsi pusat respirasi dan kekuatan otot-otot
respirasi memberikan evaluasi terhadap efisiensi komponen neuromuskuler.
Pengukuran tekanan penutupan jalan nafas (airway occlusion pressure /AOP) pada
0.1 detik menggambarkan hubungan tertutup intensitas dari respiratory neural drive..
Tekanan penutupan diukur secara temporer dan diam-diam menutup jalan
nafas selama awal inspirasi dan mengukur perubahan tekanan jalan nafas setelah 0.1
detik sebelum pasien bereaksi terhadap penutupan tersebut. Meskipun nilai AOP
(Airway Occlution Pressure) 0.1 menggambarkan tekanan negatif, tetapi biasanya
dilaporkan dalam unit tekanan positif, yang pada orang normal selama pernafasan
istirahat adalah 0.93 ± 0.48(SD) cm H2O. Nilai AOP 0.1 yang tinggi selama gagal
nafas akut mengindikasikan peningkatan respiratory drive dan neuromuscular activity
dan jika menetap, mungkin akan menyebabkan kelemahan otot-otot inspirasi.
Ventilator modern menyediakan fasilitas pengukuran resistensi jalan nafas, komplien
paru dan AOP pada pasien on ventilator. Kekuatan otot dinilai dengan mengukur
tekanan maksimum inspirasi dan ekspirasi (Pimax and Pemax,) yang dihasilkan akibat
penutupan jalan nafas. Pengukuran ini dapat diperoleh dengan aneroid manometer.
Kekuatan maksimal yang dapat dihasilkan oleh otot inspirasi dan ekspirasi
berhubungan dengan panjang inisiasinya. Konsekuensinya pengukuran ini dilakukan
pada volume residual (Pimax) atau kapasitas paru total (total lung capacity (Pemax)).
Pimax dan Pemax pada dewasa sehat kira-kira masing-masing 111±34 dan 151±68
cm H2O. Nilainya cenderung turun dengan umur dan lebih rendah pada wanita
Pada pasien rawat jalan dengan penyakit neuromuskuler tetapi tidak
mempunyai penyakit paru, hiperkapnea lebih mudah berkembang saat Pimax
menurun 1/3 dari nilai yang diperkirakan. Sistem respirasi berjalan terus menerus dan
untuk mempertahankan ventilasi, otot-otot respirasi harus mempunyai ketahan tanpa
cepat lelah. Beberapa teknik seperti pengukuran tekanan transdiafragma, stimulasi
nervus frenicus dan penentuan indeks tekanan-waktu digunakan untuk mendeteksi
adanya suatu kelemahan otot.
Ultrasonografi diafragma telah ditemukan untuk membantu menilai fungsi
diafragma. Caranya dengan menilai perubahan ketebalan diafragma selama inspirasi
dan dengan mudah dapat mengenali adanya kelemahan diafragma.
Kapasitas vital/Vital capacity (VC) merupakan satu-satunya volume paru yang
sering diukur di ICU. Pada penelitian pasien dengan GBS (Guillain Barre syndrome),
pengukuran VC ditemukan sebagai prediktor gagal nafas beberapa jam sebelum
dilakukan intubasi dan turunya VC <15 ml/kgBB mengindikasikan perlunya
dilakukan intubasi.

Kriteria Gagal Nafas


Gejala Klinis dan Pemeriksaan
Diagnosis pasti gagal nafas akut adalah pemeriksaan analisa gas darah, tetapi
kadang-kadang diagnosa sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis saja
misalnya apnoe, dalam hal ini tidak perlu menunggu hasil AGD. Adapun Kriteria
gejala klinis dan tanda-tanda gawat nafas adalah:
- Apnoe
- Batuk berdahak
- Sianosis
- Sesak nafas/dispnoe
- Perubahan pola nafas:
o Frekuensi menurun (bradipnea) atau meningkat (takhipnea)
o Adanya retraksi dinding dada
o Penggunaan otot-otot bantu pernafasan
o Pernafasan yang paradoksal
o Gerakan dinding dada yang tidak simetris
o Kelelahan
- Suara nafas menurun atau hilang, adanya suara tambahan seperti stridor, ronkhi
atau wheezing
- Takikardia/bradikardia
- Hipertensi/hipotensi
- Gangguan irama jantung
- Gangguan kesadaran akibat hipoksia atau hiperkarbia.

Kriteria Gagal Nafas menurut Pontoppidan:


Yaitu menentukan kriteria gagal nafas berdasarkan “mechanic of breathing”,
oksigenasi dan ventilasi seperti pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Kriteria Gagal Nafas Menurut Ponttopidan
Accepta Gawat Gagal
ble Nafas Nafas
range
Mechan -RR (X/menit) 12-15 25-35 >35
ic of -Kapasitas Vital 70-30 30-15 <15
Breathi (ml/Kg) 100-50 50-25 <25
ng -Inspiratory
force (cm H2O)

Oksige -AaDO2 50-200 200-350 >350


nasi (mmHg)* 100-75 200-70 <70
-PaO2 (mmHg) (room (On mask (On mask
air) O2) O2)
Ventila -VD/VT 0,3-0,4 0,4-0,6 >0,6
si -PaCO2 35-45 45-60 >60^
(mmHg)
Terapi -Fisioterapi -
dada Intubation-
-Oksigenasi tracheoto
-Close my
monitoring ventilation

Keterangan: * setelah pemberian O2 100% selama 15 menit


^ kecuali pada hiperkapnea kronik
(Wirjoatmodjo, 2000)

Dari tabel di atas, kolom paling kanan menunjukkan gagal nafas yang harus
dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomy dan bantuan ventilasi. Fisioterapi,
oksigenasi dan monitoring ketat perlu dilakukan pada gawat nafas sehingga pasien
tidak jatuh ke tahap gagal nafas. Kesemuanya ini hanyalah merupakan pedoman saja,
yang paling penting adalah mengetahui keseluruhan keadaan pasien dan mencegah
agar pasien tidak mengalami gagal nafas (Asikin Z 2013).

Kriteria Gagal Nafas menurut Shapiro (Rule of Fifty)


- Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 50 mmHg dan,
- Tekanan parsial CO2 arteri (PaCO2) > 50 mmHg.
Kriteri Gagal Nafas menurut Petty.
- Acute Respiratory failure:
PaO2 < 50, tanpa atau disertai kenaikan PaCO2
- Acute Ventilatory Failure:
PaCO2 > 50 mmHg

5. TANDA DAN GEJALA


a. Tanda
1) Gagal nafas total
2) Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
3) Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta
tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
4) Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi buatan
5) Gagal nafas parsial
6) Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan whizing.
7) Ada retraksi dada
b. Gejala
1) Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
2) Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2
menurun). (Suyono, 2011)

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemerikasan gas-gas darah arteri
Hipoksemia
Ringan : PaO2 < 80 mmHg
Sedang : PaO2 < 60 mmHg
Berat : PaO2 < 40 mmHg
b. Pemeriksaan rontgen dada
Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui
c. Hemodinamik
Tipe I : peningkatan PCWP
d. EKG
Mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan
Disritmia. (Suyono, 2011)
7. PENTALAKSANAAN MEDIS
a. Terapi oksigen
Pemberian oksigen kecepatan rendah : masker Venturi atau nasal prong
b. Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP
c. Inhalasi nebuliser
d. Fisioterapi dada
e. Pemantauan hemodinamik/jantung
f. Pengobatan
g. Brokodilator
h. Steroid
i. Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan
(Suyono, 2011)
KONSEP KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
Pengkajian Primer
a. Airway
1) Peningkatan sekresi pernapasan
2) Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
b. Breathing
1) Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
2) Menggunakan otot aksesori pernapasan
3) Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis
c. Circulation
1) Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
2) Sakit kepala
3) Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
4) Papiledema
5) Penurunan haluaran urine

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan
pola pernapasan yang efektif
Kriteria Hasil :
 Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal
 Adanya penurunan dispneu
 Gas-gas darah dalam batas normal
Intervensi :
 Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola pernapasan.
 Kaji tanda vital dan tingkat kesasdaran setaiap jam dan prn
 Monitor pemberian trakeostomi bila PaCo2 50 mmHg atau PaO2< 60 mmHg
 Berikan oksigen dalam bantuan ventilasi dan humidifier sesuai dengan
pesanan
 Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji kecenderungan kenaikan
PaCO2 atau kecendurungan penurunan PaO2
 Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap 1 jam
 Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30 sampai 45
derajat untuk mengoptimalkan pernapasan
 Berikan dorongan utnuk batuk dan napas dalam, bantu pasien untuk mebebat
dada selama batuk
 Instruksikan pasien untuk melakukan pernapasan diagpragma atau bibir
 Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg. PaO2 dan PCO2
meningkat dengan frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2 tidak dapat dipertahankan
pada 60 mmHg atau lebih, atau pasien memperlihatkan keletihan atau depresi
mental atau sekresi menjadi sulit untuk diatasi.

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi


sekunder terhadap hipoventilasi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan
pertukaran gas yang adekuat
Kriteria Hasil :
 Bunyi paru bersih
 Warna kulit normal
 Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan
Intervensi :
 Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
 Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan
perubahan tinmgkat kesadaran pada dokter.
 Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan
dalam PaCO2 atau penurunan dalam PaO2
 Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP
atau PEEP.
 Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
 Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau
penyimpangan
 Pantau irama jantung
 Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
 Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.
 Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.
c. Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi kelebihan
volume cairan
Kriteria Hasil :
 TTV normal
 Balance cairan dalam batas normal
 Tidak terjadi edema
Intervensi :
 Timbang BB tiap hari
 Monitor input dan output pasien tiap 1 jam
 Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung
 Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB , CVP
 Monitor parameter hemodinamik
 Kolaburasi untuk pemberian cairandan elektrolit
d. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu mempertahankan
perfusi jaringan.
Kriteria Hasil :
 Status hemodinamik dalam bata normal
 TTV normal
Intervensi :
 Kaji tingkat kesadaran
 Kaji penurunan perfusi jaringan
 Kaji status hemodinamik
 Kaji irama EKG
 Kaji sistem gastrointestinal
PENYIMPANGAN KDM
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, dkk. 2011. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. III. Jilid 2. Jakarta : Media
Aesculapius

Asikin Z. (2013). Simposium Keperawatan Penderita Cidera kepala Penatalaksanaan


Penderita dengan Alat Bantu Napas. (Jakarta).

Corwin, Elizabeth. 2012. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C & Brenda G. Beare. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Ed. 8. Vol. 3. Jakarta : EGC

. Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2011

Anda mungkin juga menyukai