Anda di halaman 1dari 4

WES DI SORONG PAPUA BARAT

© UNICEF Indonesia/2008

Klamalu, Papua Barat 20 September 2008– Dengan sepatu bot setinggi


lutut, Paulinus Klasjok dengan lincah berjalan menembus rawa-rawa pekarangan
belakang rumahnya untuk mencapai kakus keluarga tersebut.
Sebuah pondok kecil terbuat dari kayu, yang terletak di belakang rumah panggung
keluarga tersebut, berada di ujung pekarangan dimana tanahnya selalu becek
karena terlalu berair. Kakus itu sangat sederhana; dindingnya dari kayu-kayu
bekas bangunan dan disatukan dengan paku-paku yang sudah berkarat, sebuah
tong bekas minyak berubah fungsi menjadi septi tank dan bambu dipakai menjadi
pipa.
Namun, bagi Paulinus dan keluarganya, kakus tersebut adalah kebanggaan mereka
karena ini merupakan yang pertama dibangun di Klamalui sebagai bagian dari
program Total Sanitasi Masyarakat (TCLS) dari UNICEF.
Di desa kecil yang hanya berpenduduk 500 jiwa tersebut, UNICEF bekerja untuk
merubah kebiasaan hidup dan sanitasi masyarakat, yang tetap sama selama
beratus-ratus tahun. Sampai sebelum program dijalankan sama sekali tidak ada
kakus atau fasilitas sanitasi di Klamalu, sehingga warga Klamalu membuang air
besar di sungai atau di rerumputan di sekitar rumah mereka. Tanpa ada sumber air
diluar, warga desa menampung air hujan untuk air minum dan mengantungkan
pada air sungai atau menggali sumur-sumur dangkal untuk kebutuhan air mereka.
sumber-sumber air yang jelas hampir semuanya sudah terkontaminasi. Karena itu,
diare marak di Klamalu, bahkan mengakibatkan beberapa kematian setiap tahun.
Tetapi melalui pendidikan mengenai sanitasi yang aman, UNICEF membantu
masyarakat untuk merubah perilaku mereka yang tidak sehat. Wildan Setiabudi,
staff Water and Sanitation unit di UNICEF Sorong, mengatakan pendidikan
dilakukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa merekalah yang bisa merubah
perilaku sehari-hari mereka.
“Program TCLS ini bukan tentang memberi orang-orang itu uang atau barang
kebutuhan mereka, kami memberikan informasi dan pelatihan,” kata Wildan,
“Kami mengajarkan praktek-praktek sanitasi sehat seperti penggunaan kakus dan
cuci tangan yang benar, dan meyakinkan mereka mengapa semua itu penting
untuk kesehatan mereka dan desa ini.”
“Akan tetapi semua kembali pada mereka, apakah mereka sungguh-sungguh mau
berubah dan membangun prasarana untuk mendukung perubahan tersebut, karena
UNICEF tidak melakukannya untuk mereka. Ini penting karena masyarakat harus
bertanggungjawab untuk kebersihan dan sanitasi mereka jika mereka memang
ingin membuat perubahan.”

Tangan Bersih Untuk Lebih Sehat


Memakai informasi sebagai alat untuk merubah perilaku masyarakat adalah
bagian kunci dari kerja UNICEF, dan merupakan ide awal dari Hari Cuci Tangan
Sedunia yang pertama, yang rencananya diluncurkan pada tanggal 15 Oktober
tahun ini. Pada hari itu, anak-anak di seluruh dunia akan ikut serta dalam kegiatan
cuci tangan terbesar di dunia, memberi pesan akan nilai penting cuci tangan
dengan sabun sebagai satu cara untuk mengurangi diare, radang paru-paru serta
penyakit-penyakit lain yang bisa dicegah.
Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan hari cuci tangan dengan sabun yang
direncakan pada hari itu sudah dilaksanakan oleh masyarakat Klamalu, dimana
cuci tangan adalah bagian kunci dari program CLTS. Warga desa diajarkan untuk
mencuci tangan mereka dengan sabun pada waktunya: setelah mengunakan toilet,
setelah membersihkan pantat anak-anak atau setelah bersentuhan dengan kotoran
manusia dan sebelum menyentuh makanan. Hari Cuci Tangan Sedunia akan
memastikan pesan-pesan tersebut didengar di seluruh dunia sehingga semakin
banyak keluarga di lebih banyak desa akan merubah perilaku mereka.

Air melimpah di Klamalu tetapi hampir tidak ada yang bersih.

Merubah Pengetahuan ke Aksi

Tentu saja di kalangan masyarakat miskin seperti di Klamalu, perubahan perilaku


harus didukung juga dengan perbaikan prasarana, itu sebabnya Wildan dan teman-
temannya juga memberi nasihat praktis untuk warga desa bagaimana membangun
kakus yang sehat dan prasarana lainnya.
“Kami mengajarkan apa yang dimaksud dengan kakus yang sehat, berapa
jaraknya dari rumah mereka, dan bagaimana mencegah supaya tidak bocor atau
terkontaminasi serta kami juga mendorong mereka untuk menggunakan
pengetahuan mereka dan bahan-bahan bangunan yang mereka mampu dapat untuk
membuatnya,” katanya.
“Warga desa dengan cepat mengganti bahan-bahan bangunan dengan apa yang
mereka punya seperti pemakaian bambu untuk mengganti pipa plastic dan kayu
untuk menganti lantai semen. Ini bagus karena ini berarti ongkos pembuatan
kakus menjadi terjangkau dan jika ada yang rusak mereka dengan cepat bisa
menggantinya.”
Kakus milik Paulinus adalah contoh yang tepat untuk itu – dia mengumpulkan
bahan-bahan bangunan dari sekitar tempat tinggalnya, kayu diambil dari hutan
dan dia meminjam paku-paku dari tetangganya. “Satu yang saya beli hanya
sandaran kayu dan bak nya seharga Rp 100,000, jadi tidak terlalu mahal,” kata
Paulinus.

Sejak mengikuti pelatihan dari UNICEF, dia telah menjadi pendukung program
CLTS dan sekarang dia mendorong warga lain untuk mulai membangun kakus
mereka sendiri.
“Saya ikut pelatihan UNICEF mengenai cara-cara hidup sehat dan saya belajar
bahwa buang air besar di tempat terbuka bisa menyebabkan diare. Saya pikir
penting untuk merubah cara-cara yang biasa kita lakukan dan mulai melarang
orang buang hajat di tempat terbuka.”
“Saya membuat kakus untuk keluarga saya dan kamu memiliki peraturan disini
bahwa tidak seorangpun boleh buang air besar di sungai lagi. Menurut saya itu
berhasil karena sekarang biasanya musim diare tetapi tahun ini sudah banyak
berkurang, sedikit orang yang sakit.”

Keluarga Paulinusa adalah keluarga pertama yang merasakan keuntungan dari


kakus yang baru dibangun
Memanen Langit
Sejak program dimulai pada tahun 2007, beberapa warga desa telah membuat
kakus mereka sendiri. Masyarakat juga sudah dilarang membuang air
sembarangan dan banyak tanda-tanda di desa untuk mengingatkan orang untuk
cuci tangan dan sanitasi sehat. Dengan upaya untuk perubahan perilaku berjalan
dengan baik, UNICEF beranjak untuk memulai tahap kedua dari program yaitu
membantu warga desa untuk membuat prasarana untuk persediaan air bersih.

“Air hujan sangat banyak disini sehingga kami membantu warga untuk
membangun tangki-tangki air baru untuk mengumpulkan dan menyimpan air
bersih,” kata Wildan. “Kami menyediakan lima atau enam cetakan dan semua
bahan-bahan bangunan sedangkan warga akan menyediakan tenaga untuk
pembuatan tanki-tanki air. Sebanyak 100 tanki adalah target kami yang artinya
setiap rumah akan mendapat satu.”
Masih banyak hal yang harus dikerjakan di Klamalu, akan tetapi peperangan yang
terbesar yaitu merubah sikap orang terhadap sanitasi – sepertinya sudah menuju
jalan untuk dimenangkan. Dengan warga desa seperti Paulinus memimpin jalan di
desa tersebut, Klamalu sedang bekerja menuju hidup yang jauh lebih sehat.
Https://www.unicef.org/indonesia/id/reallives_9513.html

Anda mungkin juga menyukai