PENDAHULUAN
1
Laminektomi merupakan suatu prosedur bedah untuk membebaskan tekanan
pada tulang belakang atau akar saraf tulang belakang. Laminektomi adalah
metode standar untuk dekompresi kanalis spinalis bagian tengah.2 Keuntungannya
adalah biasanya mudah dikerjakan dan mempunyai angka kesuksesan yang tinggi.
Angka kegagalan dengan gejala yang rekuren adalah ¼ pasien setelah 5 tahun
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 VERTEBRA
Vertebra adalah pilar yang berfungsi sebagai penyangga tubuh dan
melindungi medulla spinalis. Pilar itu terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang
tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra
servikalis), 12 ruas tulang torakal (vertebra torakalis), 5 ruas tulang lumbal
(vertebra lumbalis), 5 ruas tulang sakral yang menyatu (vertebra sakral), dan 4
ruas tulang ekor (vertebra koksigea).
Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh
karena adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior.
Pada pandangan dari samping, pilar tulang belakang membentuk lengkungan atau
3
lordosis di daerah servikal dan lumbal. Keseluruhan vertebra maupun masing-
masing tulang vertebra berikut diskus intervertebralisnya merupakan satu
kesatuan yang kokoh dengan diskus yang memungkinkan gerakan antar korpus
ruas tulang belakang. Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang
terbesar. Vertebra torakal berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk
yang membentuk toraks, sedangkan vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup
gerak yang lebih besar dari torakal tetapi makin ke bawah lingkup geraknya
semakin kecil.1
Secara umum, struktur tulang belakang tersusun atas dua yaitu :
1. Korpus vertebra beserta semua diskus intervetebra yang berada di antaranya.
4
dikatakan tidak stabil, bila kolom vertikal terputus pada lebih dari dua
komponen.1
5
Gambar 3. Persyarafan Tulang Belakang
6
2.2.1 Etiologi Fraktur Kompresi
Penyebab terjadinya fraktur kompresi vertebra adalah sebagai
berikut:
- Trauma langsung (direct) : Fraktur yang disebabkan oleh adanya
benturan langsung pada jaringan tulang seperti pada kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, dan benturan benda keras oleh kekuatan
langsung.
- Trauma tidak langsung (indirect) : Fraktur yang bukan disebabkan oleh
benturan langsung, tapi lebih disebabkan oleh adanya beban yang
berlebihan pada jaringan tulang atau otot, contohnya seperti pada
olahragawan yang menggunakan hanya satu tangannya untuk menumpu
beban badannya.
- Penyakit lain : Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti
osteoporosis, penderita tumor dan infeksi.
7
yang mempunyai daya absorpsi terhadap tekanan atau trauma yang
memberikan sifat fleksibilitas dan elastis. Semua trauma tulang belakang harus
dianggap suatu trauma yang hebat, sehingga sejak awal pertolongan pertama
dan transportasi ke rumah sakit penderita harus secara hati-hati. Trauma pada
tulang belakang dapat mengenai.5
a. Jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen, diskus dan faset.
b. Tulang belakang sendiri
c. Sumsum tulang belakang (medulla spinalis)
8
c. Kompresi vertikal (aksial)
Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang akan
menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahakan
permukaan serta badan vertebra secara vertikal. Material diskus akan
masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi rekah
(pecah). Pada trauma ini elemen posterior masih intak sehingga fraktur yang
terjadi bersifat stabil.
e. Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan
menyebabkan fraktur pada komponen lateral yaitu pedikel, foramen vertebra
dan sendi faset.
9
- Grade III = Bilateral Fraktur Dislocation
- Grade IV = Rotational Fraktur Dislocation
10
e. Frankel E = Normal,
fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa defisit neurologisnya.
11
a. Gangguan motorik
Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi
kerusakan sel-sel saraf pada medulla spinalisnya menyebabkan gangguan
arcus reflek dan flacid paralisis dari otot-otot yang disarafi sesuai dengan
segmen-segmen medulla spinalis yang cedera. Pada awal kejadian akan
mengalami spinal shock yang berlangsung sesaat setelah kejadian sampai
beberapa hari bahkan sampai enam minggu. Spinal shock ini ditandai
dengan hilangnya reflek dan flacid. Lesi yang terjadi di lumbal
menyebabkan beberapa otot-otot anggota gerak bawah mengalami flacid
paralisis.
b. Gangguan sensorik
Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya
paraplegic pain dimana nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau
sistem saraf pusat yaitu sel-sel yang ada di saraf pusat mengalami
12
gangguan. Selain itu kulit dibawah level kerusakan akan mengalami
anaestesi, karena terputusnya serabut-serabut saraf sensoris.
c. Gangguan bladder dan bowel
Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitkan kontraksi
otot polos sigmoid dan rectum serta relaksasi otot spincter internus.
Kontraksi otot polos sigmoid dan rectum itu berjalan secara reflektorik.
Impuls afferentnya dicetuskan oleh ganglion yang berada di dalam dinding
sigmoid dan rectum akibat peregangan, karena penuhnya sigmoid dan
rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan volunter untuk
mengosongkan sigmoid dan rectum. Mekanisme defekasi dapat dibagi
dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja didorong kebawah sampai tiba
di rectum kesadaran ingin buang air besar secara volunter, karena
penuhnya rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap
kedua semua kegiatan berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan
dan sekaligus dinding perut dikontraksikan, sehingga tekanan intra
abdominal yang meningkat mempermudah dikeluarkannya tinja. Jika
terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol oleh keinginan.
d. Gangguan fungsi seksual
Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau beberapa
hari setelah cidera. Seluruh bagian dari fungsi seksual mengalami
gangguan pada fase spinal shock. Kembalinya fungsi sexual tergantung
pada level cidera dan komplit/tidaknya lesi. Untuk dengan lesi komplet
diatas pusat reflek pada konus, otomatisasi ereksi terjadi akibat respon
lokal, tetapi akan terjadi gangguan sensasi selama aktivitas seksual. Pasien
dengan level cidera rendah pusat reflek sakral masih mempunyai reflex
ereksi dan ereksi psikogenik jika jalur simpatis tidak mengalami
kerusakan, biasanya pasien mampu untuk ejakulasi, cairan akan melalui
uretra yang kemudian keluarnya cairan diatur oleh kontraksi dari internal
bladder sphincter. Kemampuan fungsi seksual sangat bervariasi pada
pasien dengan lesi tidak komplit, tergantung seberapa berat kerusakan
pada medula spinalisnya. Gangguan sensasi pada penis sering terjadi
13
dalam hal ini. Masalah yang terjadi berhubungan dengan lokomotor dan
aktivitas otot secara volunter.
2.2.4 Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan cara pasien berdiri,
sehinggatanda-tanda osteoporosis seperti kiposkoliosis akan lebih
tampak. Kemudian pemeriksaan dilakukan dengan menekan vertebra
dengan ibu jari mulai dari atassampai kebawah yaitu pada prosesus
spinosus. Fraktur kompresi vertebra dapatterjadi mulai dari oksiput
sampai dengan sacrum, biasanya terjadi pada region pertengahan
torak (T7-T8) dan pada thorakolumbal junction. Ulangi lagi
pemeriksaan sampai benar-benar ditemukan lokasi nyeri yang tepat.
Nyeri yang berhubungan dengan pemeriksaan palpasi vertebra mungkin
disebabkan oleh adanya fraktur kompresi vertebra.2
Adanya deformitas pada tulang belakang tidak mengindikasikan
adanya fraktur. Jika tidak ditemukan nyeri yang tajam, kemungkinan hal
tersebut merupakan suatu kelainan tulang belakang yang berkaitan
dengan umur. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan membantu
pasien melakukan gerakan fleksi dan ekstensi pada tulang belakang,
gerakan ini akan menyebabkan rasa nyeri yang disebabkan oleh
adanya fraktur kompresi vertebra.Spasme otot atau kekakuan otot dapat
terjadi sebagai akibat dari kekuatanotot melawan gravitasi pada bagian
anterior dari vertebra. Pemeriksaan neurologis perlu dilakukan. Tidak
jarang pada kasus osteomielitis mempunyai gejala yang mirip dengan
fraktur kompresi vertebra.2
2. Pemeriksaan Penunjang
- Rontgen Vertebra : pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang
vertebra untuk melihat fraktur dan pergeseran tulang vertebra
14
- MRI : pemeriksaan ini memberi informasi detail mengenai jaringan
lunak di daerah vertebra. Gambaran yang akan dihasilkan adalah 3
dimensi. MRI sering digunakan untuk mengetahui kerusakn jaringan
lunak pada ligament dan diskus intervertebralis dan menilai cedera
medulla spinalis
15
2.3 LAMINEKTOMI
Laminektomi adalah prosedur pembedahan untuk menghilangkan tekanan
pada saraf tulang belakang dengan cara mengangkat sebagian dari diskus lamina.
Laminektomi adalah metode standar untuk dekompresi kanalis spinalis
bagian tengah. Keuntungannya adalah biasanya mudah dikerjakan dan
mempunyai angka kesuksesan yang tinggi. Angka kegagalan dengan gejala yang
rekuren adalah ¼ pasien setelah 5 tahun. Terdapat angka komplikasi post operatif
non spesifik dan jaringan parut epidural yang relatif rendah.6
16
memerlukan pembedahan tambahan untuk mengobati bagian yang terinfeksi
tulang belakang
3. Instabilitas segmental
Laminektomi pembedahan dapat menyebabkan segmen tulang belakang untuk
melonggarkan, membuatnya tidak stabil. Setiap segmen tulang belakang
termasuk dua tulang belakang yang dipisahkan oleh disc intervertebral, saraf
yang keluar dari sumsum tulang belakang pada tingkat itu, dan sendi facet kecil
yang menghubungkan setiap tingkat kolom tulang belakang. Facet sendi di
belakang tulang belakang biasanya cukup memberikan stabilitas, bahkan ketika
diambil dari lamina. Inilah sebabnya mengapa ahli bedah memilih untuk tidak
menghapus sendi facet
17
Cara penggunaannya suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus
memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai “Trias Anestesia”, yaitu efek
hipnotik, analgesia, dan efek relaksasi otot.
1) Anestesia Inhalasi
Anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek klinik adalah
N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Desfluran, dan Cefofluran. Eliminasi
sebagian besar gas anestetik dikeluarkan oleh badan lewat paru, sebagian lagi
dimetabolisme di hepar dan sisa metabolism yang larut dalam air dikeluarkan
melalui ginjal.
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh:
• Konsentrasi inspirasi
• Ventilasi alveolar
• Koefisien darah atau gas
• Curah jantung atau aliran darah paru
• Hubungan ventilasi perfusi
2) Anestesia Intravena
Anestesia intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk
rumatan anesthesia, tambahan pada anesthesia regional atau untuk membantu
prosedur diagnostic misalnya thiopental, ketamine dan propofol. Untuk
anesthesia intravena total biasanya menggunakan propofol.
18
Plana 3 : Mulai napas torakal lemah sampai napas torakal berhenti
Plana 4 : Mulai napas torakal berhenti sampai napas diafragma berhenti
Stadium IV (Depresi Medulla Oblongata/Intoksikasi) : Mulai paralisis
diafragma sampai henti jantung atau meninggal.
19
untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alkoholjuga harus
dicurigai akan adanya penyakit hepar.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keadaan
umum pasien tidak mungkin dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendakanya atas indiksi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang dicurigai, banyak fasilitas kesehatan yang
mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk
bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (hemoglobin (Hb), lekosit,
masa perdarahan, masa pembekuan) dan urinalisis. Usia pasien diatas usia 50
tahun ada anjuran EKG dan foto thoraks.
Kebugaran untuk Anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito, penundaan
yang tidak perlu harus dihindari.
Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan resiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesi, untuk meminimalkan
resiko tersebut semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesi harus diapantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode
tertentu sebelum induksi anestesi.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anestesia. Minuman air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk
20
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anesthesia.
3. Premedikasi8,9
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia,
diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelejar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestesi
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
21
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflex yang membahayakan
22
b. Obat golongan Sedatif / Transkuilizer10
Adalah obat-obat yang berkhasiat anti cemas dan menimbulkan rasa
kantuk. Tujuan pemberian obat ini adalah untuk memberikan rasa nyaman
bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut, sehingga pasien
menjadi tidak peduli dengan lingkungannya.
Untuk keperluan ini, golongan obat sedatif/transkuilizer yang sering
digunakan adalah:
Derivat Fenotiazin, contohnya Prometazin dosis 0,5 mg/kgBB diberikan
IV 5-10 menit sebelum induksi.
Derivat Benzodiazepin, contohnya Diazepam dan Midazolam dosis
indusi 0,2-0,6 mg/kgBB IV.
Derivat Butirofenon, contohnya Dehidrobenzperidol (DHBP) dosis 0,1
mg/kgBB IM.
Derivat Barbiturat, contohnya Pentobarbital dan Sekobarbital dosis2
mg/kgBB IM atau peroral.
Preparat Antihistamin, derivat difenhidramin.
23
Penggunaan Klinik. Morfin mempunyai kekuatan 10 kali dibandingkan
dengan petidin, ini berarti bahwa dosis morfin sepersepuluh dari petidin,
sedangkan fentanil 100 kali dari petidin.
Analgetik narkotik digunakan sebagai:
Premedikasi : petidin diberikan IM 1 mg/kgBB atau IV 0,5 mg/kgBB
Analgetik untuk pasien yang menderita nyeri akut/kronis, diberikan
sistemik atau regional intratekal/epidural.
Suplemen sedasi dan analgetik di Unit Terapi Intensif
4. Induksi Anestesia
Induksi anesthesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan.
Induksi anesthesia dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau
rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anesthesia langsung dilanjutkan dengan
pemeliharaan anesthesia sampai pembedahan selesai. Sebelum memulai induksi
anesthesia selayaknya disiapkan peralatan obat-obatan yang diperlukan, sehingga
seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik.8
Persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:8,9
S: Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo – Scope. Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan
usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T: Tubes. Pipa trakea pilih sesuai usia . Usia < 5 tahun tanpa balon (
cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A: Airway. Pipa mulut – faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung – faring (naso- tracheal airway). Pipa ini untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga lidah tidak
menyumbat jalan napas.
T: Tape. Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I: Introduser. Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik
24
(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukan.
C: Connector. Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia.
S: Suction. Penyedot lendir, ludah dan lainnya.
a. Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan karena cepat dan sudah terpasang
jalur vena. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-
lahan, lebih dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dengan kecepatan
antara 30-60 detik. Selama induksi anesthesia pernapasan pasien, nadi dan
tekanan darah darus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini
dikerjakan dengan pasien yang kooperatif.8,9
i. Propofol (Recofol, Diprivan)12
Merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso profil fenol yang
banyak dipakai sebagai obat anestesia intravena. Pertama kali digunakan
tahun 1977 sebagai obat induksi. Sifat fisik dan kimia serta kemasan berupa
cairan berwarna putih seperti susu, tidak larut dalam air dan bersifat asam.
Dikemas dalam bentuk ampul, berisi 20 ml ampul, yang mengandung 10
mg/dl.
Efek farmakologi di susunan saraf pusat. Mula kerjanya cepat,
penurunan segera terjadi setelah pemberian obat ini secara intravena. Pada
pemberian dosis induksi (2 mg/kgBB), pemulihan kesadaran berlangsung
cepat, pasien akan bangun setelah 4-5 menit tanpa disertai efek samping
seperti misalnya mual muntah, sakit kepala dan lain-lainnya.
Khasiat farmakologisnya adalah hipotonik murni tidak mempunyai efek
analgetik maupun relaksasi otot. Walaupun penurunan tonus otot rangka,
hal ini disebabkan karena efek sentralnya.
Terhadap sistem respirasi. Menimbulkan depresi respirasi yang
beratnya sesuai dengan dosis yang diberikan. Pada beberapa pasien, bisa
disertai dengan henti napas sesaat. Dibandingkan dengan tiopenton,
kejadian henti napas lebih sering terjadi pada pemberian diprivan ini.
25
Terhadap sistem kardiovaskuler. Depresi pada sistem kardiovaskuler
yang ditimbulkan sesuai dengan dosis yang diberikan. Tekanan darah turun
yang segera diikuti dengan kompensasi peningkatan denyut nadi.
Penggunaan Klinik dan Dosis.
Induksi anestesia, dosisnya 2,0 – 2,5 mg/kgBB. Pada lansia dan bayi
dosis ini harus disesuaikan.
Suplemen anestesia umum dan anestesia regional
Anestesia tunggal pada prosedur singkat, misal: reposisi
Sedasi di Unit Terapi Intensif
ii. Fentanil12
Merupakan obat narkotik yang paling banyak digunakan dalam praktek
anestesiologi. Mempunyaki potensi 1000 kali lebih kuat dibanding petidin
dan 50-100 kali lebih kuat dari morfin. Mulai kerjanya cepat dan masa
kerjanya pendek. Pada awalnya digunakan sebagai obat anelgesia nerolept
yang dikombinasikan dengan droperidol yang dikenal dengan nama
“inovar”.
Efek Farmakologi terhadap susunan saraf pusat. Seperti halnya preparat
opioid yang lain, fentanil bersifat depresan terhadap susunan saraf pusat
sehingga menurunkan kesadaran pasien. Pada dosis lazim, kesadaran pasien
menurun dan khasiat analgetiknya sangat kuat. Pada dosis tinggi akan
terjadi depresi pusat napas dan kesadaran pasien menurun sampai koma.
Terhadap sistem respirasi. Menimbulkan depresi pusat napas. Pada
dosis 1-2 ug/kgBB, menimbulkan depresi frekuensi napas sedangkan dosis
di atas 3 ug/kgBB, menimbulkan depresi frekuensi dan volume napas.
Terhadap sistem kardiovaskuler. Sistem kardiovaskuler sendiri tidak
mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung maupun tonus otot
pembuluh darah.
Penggunaan klinik dan dosis. Digunakan sebagai:
Komponen analgesia pada anestesia umum balans
Komponen analgesi pada analgesia nerolept
26
Induksi anestesia
Dosis diberikan sesuai dengan tujuan:
Untuk analgesia, 1-2 ug/kgBB, diberikan intramuskular
Untuk induksi anestesia, 100-200 ug/kgBB intravena
Untuk suplemen analgesia: 1-2ug/kg BB
27
Ketamin sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada
periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Aliran darah ke otak
meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial.
Terhadap sistem kardiovaskular. Ketamin adalah obat anestesia yang
bersifat simpatomimetik, sehingga bisa meningkatkan tekanan darah dan
denyut jantung. Peningkatan tekanan darah disebabkan oleh karena efek
inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Terhadap sistem respirasi. Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh
terhadap sistem respirasi. Bisa menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat
simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma.
Dosis dan cara pemberian diberikan untuk Induksi. Diberikan intravena
dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anesthesia dengan ketamine sering
menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan
sedatifa seperti midazolam (dormikum). Ketamine tidak dianjurkan pada
pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah> 160 mmHg).
Untuk Pemeliharaan diberikan intravena intermiten atau tetes kontinyu.
Pemberian secara intermiten diulang setiap 10-15 menit dengan dosis
setengah dari dosis awal sampai operasi selesai. Sedangkan pemberian
secara infus tetes kontinyu hanya dilakukan pada pembedahan tertentu saja.
Efek samping dari ketamin terjadi pada susunan saraf pusat, akibat efek
disosiasinya menimbulkan halusinasi, mimpi buruk dan kadang-kadang
terjadi gaduh gelisah dan “banjir” kata-kata.
Kontraindikasi penggunaan ketamin adalah:
1. Tekanan intrakranial meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor
otak dan operasi-operasi intrakranial.
2. Tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan
pada operasi intraokuler.
3. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat-
obatan simpatomimetik, seperti: hipertensi, tirotoksikosis, DM, PJK dan
lain-lain.
28
b. Induksi Intramuskuler10
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang diberikan secara intramuskular
dengan dosis 5-7 mg/kg BB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
c. Induksi Inhalasi8,9
Induksi inhalasi ini digunakan pada bayi atau anak yang belum terpasang
jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik. Induksi halotan memerlukan gas
pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4
liter/menit atau campuran N2O : O2 = 3:1 atau 4:1, dimulai dengan halotan 0,5 vol
% dan dinaikkan bertahap sampai konsentrasi yang dibutuhkan.
d. Induksi Per rektal8
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan tiopental atau midazolam.
29
napas, pemasangan alat jalan napas faring, pemasangan alat jalan napas sungkup
laring, pemasangan pipa trakea.
Obstruksi dapat disebabkan karena spame laring pada saat anestesi ringan
dan mendapat rangsangan nyeri atau rangsangan oleh sekret.Tanda-tanda
obstruksi jalan napas antara lain mendengkur karena sumbatan pangkal lidah
(snoring), suara berkumur karena adanya cairan di hypopharynx (gargling) dan
stridor karena kejang/edema pita suara (crowing), yang keadaan ini biasa
disebabkan oleh anestesia ringan dan mendapat rangsangan sekitar faring.
a)
Jalan Nafas Faring
Maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas
mulut-faring lewat mulut (Oropharyngeal airway (OPA)) atau jalan napas
hidung-faring lewat hidung (Naso-pharyngeal Airway(NPA)), NPA:
berbentuk pipa bulat berlubang ditengahnya dibuat dari bahan karet lateks
lembut. Pemasangan harus hati-hati dan untuk menghindari trauma mukosa
hidung pipa diolesi dengan jelly. OPA berbentuk pipa gepeng lengkung
seperti huruf C berlubang ditengahnya dengan salah satu ujungnya bertangkai
dengan dinding lebih keras untuk mencegah kalau pasien menggigit lubang
tetap paten, sehingga aliran udara tetap terjamin. OPA juga dipasang bersama
pipa trakea atau sungkup laring untuk mencegah patensi kedua alat tersebut
dari gigitan pasien.
b) Sungkup Muka
Sungkup muka (facemask) mengantar udara atau anestesi dari alat
resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas pasien.Bentuknya dibuat
sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau
dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat
mulut atau hidung. Bentuk sungkup muka sangat beragam tergantung usia
dan pembuatnya ukuran 03 untuk bayi baru lahir 02,01,1 untuk anak kecil 2,3
untuk anak besar dan 4,5 untuk dewasa. Sebagian sungkup muka dari bahan
transparan supaya udara ekspirasi kelihatan (berembun) atau kalau ada
muntahan atau bibir terjepit kelihatan.
30
c) Sungkup Laring
Sungkup laring Laryengeal Mask Airway (LMA) ialah alat jalan napas
berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlobang dengan ujung menyerupai
sendokyang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa
trtakea.Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek
dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Pemasangan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan
laringoskop. Pemasangan hendaknya menunggu anestesia cukup dalam atau
menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari trauma rongga mulut,
faring-laring, setelah alat terpasang, untuk menghindari pipa napasnya
tergigit, dapat dipasang gulungan kain kasa (bite block) atau pipa napas mulut
laring (OPA).
d) Pipa Trakea
Pipa trakea (endotracheal tube) mengantar gas anestesik langsung ke
dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida.Ukuran
diameter lubang pipa trakea dalam millimeter, karena penampang trakea bayi,
anak kecil, dewasa berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil
dibawah usia 5 tahun hamper bulat, sedangkan dewasa seperti huruf D, maka
untuk bayi dan anak digunakan tanpa kaf (cuff) dan untuk anak dewasa–besar
dengan kaf, supaya tidak bocor.
Penggunaan kaf pada bayi–anak kecil dapat membuat trauma selaput
lendir trakea dan selain itu jika kita ingin menggunakan pipa trakea dengan
kaf pada bayi harus menggunakan ukuran pipa trakea yang diameternya lebih
kecil dan ini membuat resiko tahanan napas lebih besar.Pipa trakea dapat
dimasukan melalui mulut atau melalui hidung. Cara memilih ukuran pipa
trakea untuk bayi dan anak kecil.
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4.0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakheal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakheal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
31
e) Laringoskopi dan Intubasi
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk masuk paru.
Laringoskop ialah alat untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukan pipa trakea dengan baik dan benar.
Indikasi Intubasi Trakea
Intubasi trakea ialah tindakan memasukan pipa trakea ke dalam trakea
melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira pertengahan
trakea antara pita suara dengan bifukarsio trakea. Indikasi sangat bervariasi
umumnya digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun. Kelainan anatomi, bedah
khusus, pembersihan sekret jalan napas dan lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi, misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka
panjang.
3. Pencegahan terhadap regurgitasi dan aspirasi.
Kesulitan intubasi
Leher pendek berotot, mandibula menonjol, maksila/gigi depan
menonjol, uvulla tak terlihat (Mallapati 3 atau 4), gerak sendi terporo
mandibular terbatas, gerakan vertebra cervical terbatas.
Komplikasi intubasi
Trauma gigi-geligi, laserasi bibir, gusi, laring, merangsang saraf simpatis
(hipertensi-takikardi), intubasi bronkus, intubasi esophagus, aspirasi, spasme
bronkus.
Komplikasi ekstubasi
Spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema glottis-subglotis,
infeksi laring, faring, trakea. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar
sadar, jika:
1. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
2. Pasca ekstubasi ada resiko aspirasi
3. Ektubasi dikerjakan umumnya pada anestesi yang ringan dengan catatan
tidak akan terjadi spasme laring.
32
4. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga dalam mulut laring faring dari sekret
dan cairan lainnya.
7. Pasca Anestesi8,9
Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola
dikamar pulih atau unit perawatan pasca anestesi. Ideal ketika bangun dari
anestesia terjadi secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus, tetapi sering dijumpai
hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stress pasca bedah atau pasca anestesia
yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskuler, gelisah kesakitan, mual-
muntah, menggigil dan kadang-kadang perdarahan.
33
BAB III
LAPORAN KASUS
34
memikul hasil kebun, kayu bakar, dan hasil hutan dengan noken di kepala.
keluhan lain penyerta lain demam (-), Mual (-), Muntah (-), pusing (-), batuk
lama (-)
Tanda-tanda vital :
Tekanan Darah : 110/60 mmHg
Nadi : 84 x/m
35
Suhu Badan : 36,70C
Respirasi : 20 x/m
Kepala : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, Pupil
bulat dan Isokor, Ø ± 3/3 mm, refleks cahaya
(+/+)
THT : Telinga : serumen (-), secret (-)
Hidung : secret (-), pernapasan cuping hidung (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), pembesaran
tonsil (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), peningkatan
vena jugularis (-)
Thoraks : Simetris, ikut gerak napas, retraksi (-), thrill (-),
SN vesikuler +/+, rhonki -/-, whezzing -/-, BJ I-II
regular murni, gallop (-), murmur (-).
Abdomen : supel, datar, BU (+) N, Hepar tidak teraba, Lien
tidak teraba.
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2 detik, edem (-), sianosis (-)
Status Lokalis :
Regio thorakalis posterior C-Vertebralis (XII): edema (+), scoliosis (+),
teraba pen (+), pus (+)
Status Neurologis :
- Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-), Kerniq/Lesegue (-), Brudzinki
I/II/III (-/-/-)
- Refleks Fisiologis : BPR (++/++), TPR (++/++), KPR (++/++), APR
(++/++)
- Refleks Patologis : Babinski (-/-), Chaddock (-/-), Gonda (-/-),
Gordon (-/-), Oppenheim (-/-), Schaefer (-/-)
- Motorik : Atrofi otot (-/-) ; Tonus : normotonus
36
- Kekuatan Motorik :
555 555
111 111
- Sensorik :
+ +
+ +
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil
Hemoglobin 9,2 g/dL
Hematokrit 27,3 %
Darah Rutin
RBC 3,38
Leukosit 3.750 sel/mm3
Trombosit 121.000 sel/mm3
SGOT 19,2 U/L
SGPT 17,1 U/L
Kimia
BUN 12,1 mg/dL
Darah
Kreatinin 0,91 mg/dL
Albumin 3,4 g/dL
Masa perdarahan 3’00”
Koagulasi
Masa pembekuan 6’30”
37
2. Pemeriksaan Radiologi
3.5 DIAGNOSIS
Implant failure, fr. Kompresi Vertebra Th XII dan Vertebra Lumbal I
38
B2 : Perfusi: hangat, kering, telapak tangan terlihat merah, Capilary Refill
Time < 2 detik, bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
B3 : Compos Mentis, GCS: E4V5M6, pupil bulat isokor Ø 3 mm, reflek
cahaya +/+, riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-)
B4 : Terpasang DC (produksi ± 200cc, warna kuning jernih)
B5 : Abdomen datar dan supel, nyeri tekan (-), timpani, BU (+) normal
B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-), ulkus (+), kekuatan motorik
555 555 + +
; sensorik + tidak ada gangguan sensibilitas
111 111 +
Problem List
39
3.8 LAPORAN ANESTESI
PS. ASA : II
Hari/Tanggal : 3 Oktober 2018
Ahli Anestesiologi : dr. Albinus Cobis, Sp.An, M.Kes
Ahli Bedah : dr. Tommy Numberi, Sp.Bs
Diagnosa Pra Bedah : implant failure, fraktur kompresi vertebra thorakal XII
dan vertebra lumbal I
Diagnosa Pasca Bedah : Relaminectomi stabilisasi fraktur kompresi vertebra
thorakal XII dan vertebra lumbal I
Keadaan Pra Bedah : Tampak sakit sedang
Makan terakhir : 8 jam sebelum operasi
BB : 45 kg
TTV : TD: 110/80 mmhg, N: 77x/m, RR: 20x/m, SB:36,6oC
SpO2 : 98%
40
Premedikasi : Midazolam 5 mg (Sedacum® 5mg)
Fentanil 50 mg
Durante Operasi :
Maintenance : Sevofluran
Medikasi : Propofol 50mg
Itracurium Besilat 30mg (Tramus® 30mg)
Dexamethasone 3 mg
Propofol70 mg
Itracurium Besilat 10 mg (Tramus® 10mg)
Fentanil 25 mg
Propofol 30 mg
Efedrin 10 mg
Efedrin 10 mg
Efedrin 10 mg
Ondancentron 8 mg
Itracurium Besilat 10 mg (Tramus® 10mg)
Paracetamol 500 mg (drip)
Ranitidin 50 mg
Antrain 1 gr
41
3.9 Diagram observasi
140
120
100
80
60
40
20
12.20
13.10
09.10
09.20
09.30
09.40
09.50
10.00
10.10
10.20
10.30
10.40
10.50
11.00
11.10
11.20
11.30
11.40
11.50
12.00
12.10
12.30
12.40
12.50
13.00
13.20
13.30
Nadi sistol Diastol
2. Replacement
Pengganti puasa 8 jam :
8 jam x kebutuhan cairan/jam=
8 x 45 - 90 cc/jam = 360 – 720 cc
42
Kebutuhan cairan selama operasi 3 jam 40 menit
1. Maintenance Input :
45 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 45 – 90 cc/jam RL 500 cc
Untuk 3 jam 40 menit = 3 2⁄3 x 45 - 90 cc/jam Gelatofusal 500 cc
2. Replacement Output :
Perdarahan: DC : ± 600cc
kassa : 200 cc
total perdarahan ± 700 cc Total Perdarahan = ± 700 cc
Suction = 1900 cc 500 cc
43
POST OPERASI POST OPERASI
1. Maintenance = 1-2cc/kgBB/jam Input :
BB: 45 kg 1-2cc/kgBB/jam x 45 kg RR RL 24 tpm makro
45 – 90cc/jam15-30 tpm makro
Laporan Operasi
Nama Pasien :Ny. YY
Umur : 45 tahun
Nomor DM : 42 122 70
Nama Ahli Bedah : dr. Tommy Numberi, Sp.Bs
Nama Instrumen : br. Eddy
Nama Ahli Anestesi : dr. Albinus Cobis, Sp.An, M.Kes
Jenis Anestesi : General Anestesi
Diagnosis Pre Operatif : Implant failure, fr. Kompresi Vertebra Th XII dan Vertebra
Lumbal I
Diagnosis Post Operatif : Relaminektomi stabilisasi Implant failure, fr. Kompresi Vertebra
Th XII dan Vertebra Lumbal I
Nama Operasi : Relaminektomi stabilisasi
Indikasi Operasi : Unstable fraktur kompresi
Tanggal Operasi / Jam mulai : 3 Oktober 2018 pukul 09.50 – 13.10
(Lama Operasi 3 jam 40 menit)
Laporan Operasi:
1. Pasien posisi pronasi dengan general anestesi GA
2. Dilakukan teknik Aseptik antisepsis daerah operasi, area operasi dipersempit dengan duk steril
3. Dilakukan insisi pada regio vertebra thoracal poosterior
4. Expose lamina dan procesus spinosus, evaluasi tampak fusi proc. Spinosus Vertebra Th.
XII dan L1
5. Dilakukan pedicle screw di VL2, VL3 dan VTh XI dan X
6. Laminektomi VTh XII dan VL1, kesan kompresi (-)
7. Insisi drainase, luka operasi dijahit lapis demi lapis, operasi selesai
44
3.13 INSTRUKSI POST OP
- Inj. Cefoperazon 2 x 1 gr (IV)
- Inj. Metronidazole 2 x 500mg (IV)
- Inj. Mecobalamin 3 x 500 mg (IV)
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg (IV)
- Inj. Ranitidin 2 x 50 mg (IV)
3.14 FOLLOW UP
4 Oktober 2018
S: nyeri pada bekas operasi (+), mual (-), A : Implant Failure, fraktur kompresi
muntah (-), demam (-), BAB (-), BAK (+) Vertebra Th XII + L1 Post
baik, kedua kaki terasa lemah, gerak kaki Relaminektomi (H1)
(+)
Status Lokalis :
- Inj PCT 3x500mg (k/p)
Status Neurologis :
555 555
Motorik
111 111
45
+ +
Sensorik tidak ada gangguan
+ +
sensibilitas
5 Oktober 2018
Status Lokalis :
- Inj PCT 3x500mg (k/p)
Status Neurologis :
555 555
Motorik
111 111
+ +
Sensorik tidak ada gangguan
+ +
sensibilitas
46
6 Oktober 2018
Status Neurologis :
555 555
Motorik
111 111
+ +
Sensorik tidak ada gangguan
+ +
sensibilitas
47
BAB IV
PEMBAHASAN
48
Pada pasien ini diberikan premedikasi berupa Midazolam 5 mg, dan
Fentanil 50 mg. Midazolam yang merupakan obat golongan benzodiazepine,
merupakan obat penenang (transquilizer) yang memiliki sifat anti ansietas, sedatif,
amnestik, antikonvulsan, dan relaksan otot skeletal. Dosis Midazolam yaitu 0,25 –
0,1 mg/kgBB. Dengan awitan aksi intravena 30 detik, efek puncak 3-5 menit dan
lama aksi 15-80 menit. Pada penderita DM benzodiazepine akan menurunkan
sekresi ACTH dan juga akan memproduksi kortisol jika digunakan dosis tinggi
selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan simulasi simpatis,
tetapi merangsang sekresi growth hormon dan akan menurunkan respon glikemia
pada pembedahan.
Fentanil merupakan obat narkotik yang paling banyak digunakan dalam
praktek anestesiologi. Mempunyaki potensi 1000 kali lebih kuat dibanding petidin
dan 50-100 kali lebih kuat dari morfin. Mulai kerjanya cepat dan masa kerjanya
pendek. Fentanil digunakan untuk mengurangi cemas dan ketegangan pasien
menghadapai pembedahan, mengurangi nyeri, menghindari takipneu pada anestesi
dengan trikloretilen, dan membantu agar anestesi berlangsung baik. Diindikasikan
untuk pengobatan yang biasa dilakukan pada tingkat kesakitan yang tinggi.
Pemberian premedikasi (pemberian obat sebelum induksi anestesi) selama
1-2 jam dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesia, yaitu diantaranya meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar
induksi anestesi, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan
jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan
amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang
membahayakan.
Pada kasus ini, induksi dan maintenance anestesi dilakukan secara inhalasi
dengan menggunakan Sevofluran + O2. Sevofluran adalah suatu obat anestesi
umum inhalasi derivat eter dengan kelarutan dalam darah yang lebih rendah dari
halotan, enfluran dan isofluran. Rendahnya kelarutan serta tidak adanya bau yang
menyengat menyebabkan induksi inhalasi berjalan dengan cepat dan mulus, juga
kelarutan dalam darah yang rendah menyebabkan pemulihan berjalan dengan
cepat.
49
Pada medikasi pasien diberikan propofol. Propofol dapat menimbulkan
induksi anestesi secepat tiopental tetapi dengan pemulihan yang lebih cepat dan
pasien segera merasa lebih baik. Propofol menurunkan tekanan darah sistemik
kira-kira 30% tetapi efek ini lebih disebabkan oleh vasodilatasi perifer sehingga
terjadi penurunan curah jantung. Penurunan kesadaran segera terjadi setelah
pemberian obat ini, dan pemulihan kesadaran juga berlangsung cepat, pasien akan
bangun setelah 4-5 menit tanpa disertai efek samping, misalnya mual, muntah,
sakit kepala dan lain-lain.
Selama operasi berlangsung, tekanan darah pasien cenderung rendah,
berkisar diangka 96/68 hingga 120/82, serta memang terdapat faktor komorbid
berupa hipotensi. Maka pemberian efedrin sebagai medikasi anestesi bermanfaat
untuk meningkatkan tekanan darah pasien. Efedrin bekerja dengan menstimulasi
reseptor alfa dan beta, menghasilkan peningkatan detak jantung, meningkatakn
kardiak output sehingga meningkatkan tekanan darah. Efedrin juga menghasilkan
relaksasi otot halus di bronkus dan gastrointestinal, sehingga efedrin juga sering
dimanfaatkan sebagai bronkodilator dan untuk mengurangi rasa mual muntah
akibat obat anestesi lainnya.
Medikasi anestesi pada pasien ini juga diberikan Atracurium besylate.
Atracurium adalah agen penghambat neuromuskular yang sangat selektif dan
kompetitif (tidak depolarisasi) dengan durasi kerja menengah. Obat-obat non-
depolarisasi bekerja dengan melawan aksi neurotransmitter dari asetilkolin dengan
cara mengikat reseptor pada motor-end-plate. Atracurium dapat digunakan dalam
berbagai prosedur bedah dan untuk memfasilitasi ventilasi yang terkontrol.
Atracurium adalah medikasi anestesi pada anestesi umum untuk mengawali
intubasi trakea yang harus dilakukan, untuk mengendurkan otot skeletal dan
ventilasi terkontrol selama operasi, dan untuk memfasilitasi ventilasi mekanis
pada pasien Intensive Care Unit (ICU).
Pada medikasi anestesi juga diberikan dexamethasone yang merupakan
kortikosteroid. Kortikostreoid merupakan anti-inflamasi yang bekerja dengan
mekanisme menghambat enzim fosfolipase A2 sehingga akan mencegah
pelepasan asam arakidonat yang memproduksi enzim cyclooxygenase (COX).
50
Enzim COX inilah yang bertanggung jawab atas pembentukan prostaglandin yang
merupakan mediator inflamasi dan nyeri.
Deksametason merupakan kortikosteroid dari golongan glukokortikoid yang
mempunyai efek anti-inflamasi yang adekuat. Pemberian deksametason akan
menekan pembentukan bradikinin dan juga pelepasan neuropeptida dari ujung-
ujung saraf, hal tersebut dapat menimbulkan rangsangan nyeri pada jaringan yang
mengalami proses inflamasi. Penekanan produksi prostaglandin oleh
deksametason akan menghasilkan efek analgesia melalui penghambatan sintesis
enzim cyclooksigenase di jaringan perifer tubuh. Deksametason juga menekan
mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin 1-β (IL-
1β), dan interleukin-6 (IL-6). Sehingga peranan deksametason di dalam
menghambat sintesis enzim siklooksigenasi 1 dan 2 akan menekan produksi
prostaglandin yang berfungsi sebagai mediator inflamasi dan nyeri sehingga
terbentuklah efek analgesia.
Terapi cairan perioperatif pada pasien ini adalah sebagai berikut :
Kebutuhan cairan didapatkan 45 – 90 cc / jam
Pasien puasa selama 8 jam sehingga kebutuhan rumatan pasien harus
dipenuhi sebelum operasi ialah :
Kebutuhan cairan per jam x waktu puasa selama 8 jam adalah 360 – 720
cc/jam
Selama pre operatif tidak terdapat perdarahan.
Kebutuhan cairan pengganti puasa yang sudah diberikan sebelum operasi adalah
ringer lactat 700 cc sejak pasien mulai berpuasa dan habis sesaat sebelum pasien
menjalani operasi. Kebutuhan cairan preoperatif suds terpenuhi.
Selama operasi, kebutuhan cairan maintenance pada durante operasi selama 3
jam 40 menit adalah 165 - 330 cc
Didapatkan perdarahan pada 20 buah kassa, sehingga perdarahan total ± 700
cc.
Jadi, total kebutuhan cairan durante operasi ialah kebutuhan cairan
replacement dijumlahkan dengan kebutuhan cairan maintenance adalah 750 -
3880 cc
51
Pada saat operasi cairan yang masuk ialah Ringer Laktat 500 cc, Gelatofusal 500
cc, NaCl 500 cc, Whole Blood 350 cc, PRC 250 cc dengan total keseluruhan 2100
cc sehingga kebutuhan cairan sudah terpenuhi selama operasi berlangsung.
Setelah operasi selesai dan pasien diobservasi di RR, kebutuhan cairan post
operatif pada pasien adalah 360 – 720 cc/jam, sehingga pasien diberi cairan
dengan kecepatan 15 – 30 tpm makro. Pada pasien diberikan cairan Ringer
Laktat dengan kecepatan 24 tpm makro.
Pernapasan
Teratur, batuk, menangis 2
Depresi 1
Perlu dibantu 0
Warna
Merah muda 2
Pucat 1
Sianosis 0
Tekanan Darah
Berubah sekitar 20 % 2
Berubah 20 %– 30 % 1
Berubah lebuh dari 30% 0
52
Kesadaran
Benar benar sadar 2
Bereaksi 1
Tidak bereaksi 0
53
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan:
Pada kasus di atas dilakukan relaminektomi stabilisasi atas indikasi unstable
fraktur kompresi dengan general anestesi
Klasifikasi status penderita digolongkan dalam P S ASA II. Pasien digolongkan
dalam PS ASA II karena disertai dengan anemia (Hb 9,2 gr/dl, RBC 3,38).
Premedikasi diberikan adalah midazolam untuk sedasi dan pemberian fentanil
untuk analgesia.
Agen anestesi inhalasi yang digunakan untuk rumatan anestesi adalah
Sevofluran.
Deksametason yang merupakan golongan kortikosteroid selain memiliki
peranan ssebagai antiinflamasi, juga dapat memberikan efek analgesia
Pasca operasi pasien distabilkan diruang pulih sadar. Penentuan kapan pasien
dapat dipindahkan ke ruang perawatan digunakan Skor Aldrette
54
DAFTAR PUSTAKA
55