Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk


skeleton dari leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium,
costa dan sternum). Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut
saraf, menyokong berat badan dan berperan dalam perubahan posisi tubuh.1
Tulang belakang merupakan suatu satu kesatuan yang kuat diikat oleh
ligamen di depan dan dibelakang serta dilengkapi diskus intervertebralis yang
mempunyai daya absorbsi tinggi terhadap tekanan atau trauma yang memberikan
sifat fleksibel dan elastis. Semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu
trauma hebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi ke rumah
sakit harus diperlakukan dengan hati-hati.2
Fraktur kompresi adalah diskontinuitas dari jaringan tulang akibat dari
suatu penekanan atau tindihan yang melebihi kemampuan dari tulang tersebut.
Fraktur kompresi vertebra terjadi jika berat beban melebihi kemampuan vertebra
dalam menopang beban tersebut, seperti pada kasus terjadinya trauma. Pada
osteoporosis, fraktur kompresi dapat terjadi gerakan sederahana seperti terjatuh
pada kamar mandi, bersin, atau mengangkat beban yang berat.3
Fraktur kompresi vertebra merupakan jenis fraktur yang sering terjadi dan
merupakan masalah yang serius. Setiap tahun, sekitar 700.000 insidensi di
Amerika Serikat, dimana prevalensinya meningkat 25% pada wanita yang
berumur diatas 50 tahun. Satu dari dua wanita dan satu dari empat laki-laki
berumur lebih dari 50 tahun menderita osteoporosis berhubungan dengan fraktur.
Insidensi fraktur kompresi vertebra meningkat secara progresif berdasarkan
semakin bertambahnya usia, dan prevalensinya sama antara laki-laki (21,5%) dan
wanita (23,5%), yang diukur berdasarkan suatu studi pemeriksaan radiologi.
Meskipun hanya sekitar sepertiga menunjukkan gejala akut, awalnya semua
berhubungan dengan angka yang signifikan meningkatkan mortalitas dan
gangguan fungsional dan psikologis.3

1
Laminektomi merupakan suatu prosedur bedah untuk membebaskan tekanan
pada tulang belakang atau akar saraf tulang belakang. Laminektomi adalah
metode standar untuk dekompresi kanalis spinalis bagian tengah.2 Keuntungannya
adalah biasanya mudah dikerjakan dan mempunyai angka kesuksesan yang tinggi.
Angka kegagalan dengan gejala yang rekuren adalah ¼ pasien setelah 5 tahun

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 VERTEBRA
Vertebra adalah pilar yang berfungsi sebagai penyangga tubuh dan
melindungi medulla spinalis. Pilar itu terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang
tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra
servikalis), 12 ruas tulang torakal (vertebra torakalis), 5 ruas tulang lumbal
(vertebra lumbalis), 5 ruas tulang sakral yang menyatu (vertebra sakral), dan 4
ruas tulang ekor (vertebra koksigea).

Gambar 1. Anatomi Vertebra

Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh
karena adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior.
Pada pandangan dari samping, pilar tulang belakang membentuk lengkungan atau

3
lordosis di daerah servikal dan lumbal. Keseluruhan vertebra maupun masing-
masing tulang vertebra berikut diskus intervertebralisnya merupakan satu
kesatuan yang kokoh dengan diskus yang memungkinkan gerakan antar korpus
ruas tulang belakang. Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang
terbesar. Vertebra torakal berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk
yang membentuk toraks, sedangkan vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup
gerak yang lebih besar dari torakal tetapi makin ke bawah lingkup geraknya
semakin kecil.1
Secara umum, struktur tulang belakang tersusun atas dua yaitu :
1. Korpus vertebra beserta semua diskus intervetebra yang berada di antaranya.

2. Elemen posterior (kompleks ligamentum posterior) yang terdiri atas lamina,


pedikel, prosesus spinosus, prosesus transversus dan pars artikularis,
ligamentum-ligamentum supraspinosum dan intraspinosum, ligamentum
flavum, serta kapsul sendi.
Setiap ruas tulang belakang terdiri atas korpus di depan dan arkus neuralis di
belakang yang di situ terdapat sepasang pedikel kanan dan kiri, sepasang lamina,
2 pedikel, 1 prosesus spinosus, serta 2 prosesus transversus. Beberapa ruas tulang
belakang mempunyai bentuk khusus, misalnya tulang servikal pertama yang
disebut atlas dan ruas servikal kedua yang disebut odontoid. Kanalis spinalis
terbentuk antara korpus di bagian depan dan arkus neuralis di bagian belakang.
Kanalis spinalis ini di daerah servikal berbentuk segitiga dan lebar, sedangkan di
daerah torakal berbentuk bulat dan kecil. Bagian lain yang menyokong
kekompakan ruas tulang belakang adalah komponen jaringan lunak yaitu
ligamentum longitudinal anterior, ligamentum longitudinal posterior, ligamentum
flavum, ligamentum interspinosus, dan ligamentum supraspinosus.1
Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu komponen
tulang dan komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan tiga
pilar. Pertama yaitu satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas korpus serta
diskus intervertebralis. Kedua dan ketiga yaitu kolom di belakang kanan dan kiri
yang terdiri atas rangkaian sendi intervertebralis lateralis. Tulang belakang

4
dikatakan tidak stabil, bila kolom vertikal terputus pada lebih dari dua
komponen.1

Gambar 2. Sendi dan Ligamen Kolumna Vertebra

Medulla spinalis berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan membawa saraf


yang menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area tubuh.
Semakin tinggi kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas trauma yang
diakibatkan. Misal, jika kerusakan saraf tulang belakang di daerah leher, hal ini
dapat berpengaruh pada fungsi di bawahnya dan menyebabkan seseorang lumpuh
pada kedua sisi mulai dari leher ke bawah dan tidak terdapat sensasi di bawah
leher. Kerusakan yang lebih rendah pada tulang sakral mengakibatkan sedikit
kehilangan fungsi.1

5
Gambar 3. Persyarafan Tulang Belakang

2.2 FRAKTUR KOMPRESI


Fraktur kompresi (wedge fractures) merupakan kompresi pada bagian
depan corpus vertebralis yang tertekan dan membentuk patahan irisan. Fraktur
kompresi adalah fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra.
Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan
posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya
metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra
tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi.
Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada
ukuran vertebra sebenarnya. Trauma vertebra yang mengenai medula spinalis
dapat menyebabkan defisit neorologis berupa kelumpuhan.4

6
2.2.1 Etiologi Fraktur Kompresi
Penyebab terjadinya fraktur kompresi vertebra adalah sebagai
berikut:
- Trauma langsung (direct) : Fraktur yang disebabkan oleh adanya
benturan langsung pada jaringan tulang seperti pada kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, dan benturan benda keras oleh kekuatan
langsung.
- Trauma tidak langsung (indirect) : Fraktur yang bukan disebabkan oleh
benturan langsung, tapi lebih disebabkan oleh adanya beban yang
berlebihan pada jaringan tulang atau otot, contohnya seperti pada
olahragawan yang menggunakan hanya satu tangannya untuk menumpu
beban badannya.
- Penyakit lain : Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti
osteoporosis, penderita tumor dan infeksi.

Penyebab pokok dari fraktur kompresi lumbal adalah osteoporosis. Pada


wanita, faktor risiko utama untuk osteoporosis adalah menopause, atau
defisiensi estrogen. Faktor risiko lain yang dapat memperburuk tingkat
keparahan osteoporosis termasuk merokok, aktivitas fisik, penggunaan
prednison dan obat lain, dan gizi buruk. Pada laki-laki, semua faktor risiko
non-hormon di atas juga berpengaruh. Namun, kadar testosteron rendah juga
dapat berhubungan dengan fraktur kompresi.
Gagal ginjal dan gagal hati keduanya terkait dengan osteopenia.
Kekurangan gizi dapat menurunkan remodeling tulang dan meningkatkan
osteopenia. Akhirnya, genetika juga memainkan peran dalam pengembangan
fraktur kompresi, risiko osteoporosis juga dapat dilihat dari riwayat keluarga
dengan keluhan serupa.

2.2.2 Patofisiologi Fraktur Kompresi


Tulang belakang merupakan satu kesatuan yang kuat yang diikat oleh
ligamen di depan dan di belakang, serta dilengkapi diskus intervertebralis

7
yang mempunyai daya absorpsi terhadap tekanan atau trauma yang
memberikan sifat fleksibilitas dan elastis. Semua trauma tulang belakang harus
dianggap suatu trauma yang hebat, sehingga sejak awal pertolongan pertama
dan transportasi ke rumah sakit penderita harus secara hati-hati. Trauma pada
tulang belakang dapat mengenai.5
a. Jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen, diskus dan faset.
b. Tulang belakang sendiri
c. Sumsum tulang belakang (medulla spinalis)

Mekanisme trauma diantaranya :


a. Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada
vertebra. Vertebra mengalami tekanan terbentuk remuk yang dapat
menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila
terdapat kerusakan ligamen posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan
dapat terjadi subluksasi.

b. Fleksi dan rotasi


Trauma jenis ini merupakan trauma fleksi yang bersama-sama dengan rotasi.
Terdapat strain dari ligamen dan kapsul, juga ditemukan fraktur faset.
Pada keadaan ini terjadi pergerakan ke depan/dislokasi vertebra
diatasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat tidak stabil.

8
c. Kompresi vertikal (aksial)
Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang akan
menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahakan
permukaan serta badan vertebra secara vertikal. Material diskus akan
masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi rekah
(pecah). Pada trauma ini elemen posterior masih intak sehingga fraktur yang
terjadi bersifat stabil.

d. Hiperekstensi atau retrofleksi


Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan
ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan jarang
pada vertebra torakolumbal. Ligamen anterior dan diskus dapat mengalami
kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini biasanya
bersifat stabil.

e. Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan
menyebabkan fraktur pada komponen lateral yaitu pedikel, foramen vertebra
dan sendi faset.

Pembagian trauma vertebra menurut BEATSON (1963) membedakan atas


4 grade:
- Grade I = Simple Compression Fraktur
- Grade II = Unilateral Fraktur Dislocation

9
- Grade III = Bilateral Fraktur Dislocation
- Grade IV = Rotational Fraktur Dislocation

Dengan adanya penekanan/ kompresi yang berlangsung lama


menyebabkan jaringan terputus akibatnya daerah disekitar fraktur dapat
mengalami edema atau hematoma. Kompresi akibatnya sering
menyebabkan iskemia otot. Gejala dan tanda yang menyertai peningkatan
tekanan kompartemental mencakup nyeri, kehilangan sensasi dan paralisis.
Hilangnya tonjolan tulang yang normal, pemendekan atau pemanjangan
tulang dan kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu menyebabkan
terjadinya perubahan bentuk (deformitas).
Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung
dan tidak langsung. Fraktur pada tulang belakang yang menyebabkan
instabilitas pada tulang belakang adalah penyebab cedera pada medulla spinalis
secara tidak langsung. Apabila trauma terjadi dibawah segmen cervical dan
medula spinalis tersebut mengalami kerusakan sehingga akan berakibat
terganggunya distribusi persarafan pada otot-otot yang disarafi dengan
manifestasi kelumpuhan otot-otot intercostal, kelumpuhan pada otot-otot
abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah serta paralisis sfingter
pada uretra dan rektum. Distribusi persarafan yang terganggu mengakibatkan
terjadinya gangguan sensoris pada regio yang disarafi oleh segmen yang cedera
tersebut.
Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis :
a. Frankel A = Complete,
fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali di bawah level lesi.
b. Frankel B = Incomplete,
fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris masih tersisa di bawah level lesi.
c. Frankel C = Incomplete,
fungsi motoris dan sensoris masih terpelihara tetapi tidak fungsional.
d. Frankel D = Incomplete,
fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara dan fungsional.

10
e. Frankel E = Normal,
fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa defisit neurologisnya.

2.2.3 Manifestasi Klinis


Fraktur kompresi biasanya bersifat insidental, menunjukkan gejala
nyeri tulang belakang ringan sampai berat. Dapat mengakibatkan
perubahan postur tubuh karena terjadinya kiposis dan skoliosis. Pasien
juga menunjukkan gejala-gejala pada abdomen seperti rasa perut tertekan,
rasa cepat kenyang, anoreksia dan penurunan berat badan. Gejala pada
sistem pernafasan dapat terjadi akibat berkurangnya kapasitas paru.
Hanya sepertiga kasus kompresi vertebra yang menunjukkan gejala.
Pada saat fraktur terasa nyeri, biasanya dirasakan seperti nyeri yang dalam
pada sisi fraktur. Jarang sekali menyebabkan kompresi pada medulla spinalis,
tampilan klinis menunjukkan gejala nyeri radikuler yang nyata. Rasa nyeri
pada fraktur disebabkan oleh banyak gerak, dan pasien biasanya merasa
lebih nyaman dengan beristirahat.Banyak pasien yang mengalami fraktur
kompresi vertebra akan menjadi tidak aktif, dengan berbagai alasan antara
lain rasa nyeri akan berkurang dengan terlentang, takut jatuh sehingga terjadi
patah tulang lagi. Sehingga kurang aktif atau malas bergerak pada
akhirnya akan mengakibatkan semakin buruknya kemampuan dalam
melakukan aktifitas sehari-hari.
Apabila kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2
mengakibatkan sindrom konus medullaris.Konus medullaris adalah ujung
berbentuk kerucut dari sumsum tulang belakang. Normalnyaterletak antara
ujung vertebra torakalis (T-12) dan awal dari vertebra lumbalis (L-1),meskipun
kadang-kadang konus medullaris ditemukan antara L-1 dan L-2. Saraf
yangmelewati konus medullaris mengontrol kaki, alat kelamin, kandung kemih,
dan usus.Gejala umum termasuk rasa sakit di punggung bawah, anestesi di
paha bagian dalam, pangkal paha; kesulitan berjalan, kelemahan di kaki,
kurangnya kontrol kandung kemih; inkontinensia alvi, dan impotensi.

11
a. Gangguan motorik
Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi
kerusakan sel-sel saraf pada medulla spinalisnya menyebabkan gangguan
arcus reflek dan flacid paralisis dari otot-otot yang disarafi sesuai dengan
segmen-segmen medulla spinalis yang cedera. Pada awal kejadian akan
mengalami spinal shock yang berlangsung sesaat setelah kejadian sampai
beberapa hari bahkan sampai enam minggu. Spinal shock ini ditandai
dengan hilangnya reflek dan flacid. Lesi yang terjadi di lumbal
menyebabkan beberapa otot-otot anggota gerak bawah mengalami flacid
paralisis.
b. Gangguan sensorik
Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya
paraplegic pain dimana nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau
sistem saraf pusat yaitu sel-sel yang ada di saraf pusat mengalami

12
gangguan. Selain itu kulit dibawah level kerusakan akan mengalami
anaestesi, karena terputusnya serabut-serabut saraf sensoris.
c. Gangguan bladder dan bowel
Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitkan kontraksi
otot polos sigmoid dan rectum serta relaksasi otot spincter internus.
Kontraksi otot polos sigmoid dan rectum itu berjalan secara reflektorik.
Impuls afferentnya dicetuskan oleh ganglion yang berada di dalam dinding
sigmoid dan rectum akibat peregangan, karena penuhnya sigmoid dan
rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan volunter untuk
mengosongkan sigmoid dan rectum. Mekanisme defekasi dapat dibagi
dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja didorong kebawah sampai tiba
di rectum kesadaran ingin buang air besar secara volunter, karena
penuhnya rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap
kedua semua kegiatan berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan
dan sekaligus dinding perut dikontraksikan, sehingga tekanan intra
abdominal yang meningkat mempermudah dikeluarkannya tinja. Jika
terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol oleh keinginan.
d. Gangguan fungsi seksual
Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau beberapa
hari setelah cidera. Seluruh bagian dari fungsi seksual mengalami
gangguan pada fase spinal shock. Kembalinya fungsi sexual tergantung
pada level cidera dan komplit/tidaknya lesi. Untuk dengan lesi komplet
diatas pusat reflek pada konus, otomatisasi ereksi terjadi akibat respon
lokal, tetapi akan terjadi gangguan sensasi selama aktivitas seksual. Pasien
dengan level cidera rendah pusat reflek sakral masih mempunyai reflex
ereksi dan ereksi psikogenik jika jalur simpatis tidak mengalami
kerusakan, biasanya pasien mampu untuk ejakulasi, cairan akan melalui
uretra yang kemudian keluarnya cairan diatur oleh kontraksi dari internal
bladder sphincter. Kemampuan fungsi seksual sangat bervariasi pada
pasien dengan lesi tidak komplit, tergantung seberapa berat kerusakan
pada medula spinalisnya. Gangguan sensasi pada penis sering terjadi

13
dalam hal ini. Masalah yang terjadi berhubungan dengan lokomotor dan
aktivitas otot secara volunter.

2.2.4 Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan cara pasien berdiri,
sehinggatanda-tanda osteoporosis seperti kiposkoliosis akan lebih
tampak. Kemudian pemeriksaan dilakukan dengan menekan vertebra
dengan ibu jari mulai dari atassampai kebawah yaitu pada prosesus
spinosus. Fraktur kompresi vertebra dapatterjadi mulai dari oksiput
sampai dengan sacrum, biasanya terjadi pada region pertengahan
torak (T7-T8) dan pada thorakolumbal junction. Ulangi lagi
pemeriksaan sampai benar-benar ditemukan lokasi nyeri yang tepat.
Nyeri yang berhubungan dengan pemeriksaan palpasi vertebra mungkin
disebabkan oleh adanya fraktur kompresi vertebra.2
Adanya deformitas pada tulang belakang tidak mengindikasikan
adanya fraktur. Jika tidak ditemukan nyeri yang tajam, kemungkinan hal
tersebut merupakan suatu kelainan tulang belakang yang berkaitan
dengan umur. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan membantu
pasien melakukan gerakan fleksi dan ekstensi pada tulang belakang,
gerakan ini akan menyebabkan rasa nyeri yang disebabkan oleh
adanya fraktur kompresi vertebra.Spasme otot atau kekakuan otot dapat
terjadi sebagai akibat dari kekuatanotot melawan gravitasi pada bagian
anterior dari vertebra. Pemeriksaan neurologis perlu dilakukan. Tidak
jarang pada kasus osteomielitis mempunyai gejala yang mirip dengan
fraktur kompresi vertebra.2

2. Pemeriksaan Penunjang
- Rontgen Vertebra : pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang
vertebra untuk melihat fraktur dan pergeseran tulang vertebra

14
- MRI : pemeriksaan ini memberi informasi detail mengenai jaringan
lunak di daerah vertebra. Gambaran yang akan dihasilkan adalah 3
dimensi. MRI sering digunakan untuk mengetahui kerusakn jaringan
lunak pada ligament dan diskus intervertebralis dan menilai cedera
medulla spinalis

- CT scan sangat berguna dalam menggambarkan adanya fraktur dan


dapat memberikan informasi jika tentang adanya kelainan densitas
tulang. CT scan danMRI juga sangat penting dalam menentukan
diferensial diagnosis karena adanyapenyempitan kanalis spinal, dan
komposisi spesifik vertebra dapat digambarkan.
- Single-Photon Emission Computed Tomography (SPECT), dapat juga
digunakan dalam menentukan adanya fraktur dan tingkat
adanyaosteoporosis karena kemampuannya dalam menggambarkan
densitas tulang.

15
2.3 LAMINEKTOMI
Laminektomi adalah prosedur pembedahan untuk menghilangkan tekanan
pada saraf tulang belakang dengan cara mengangkat sebagian dari diskus lamina.
Laminektomi adalah metode standar untuk dekompresi kanalis spinalis
bagian tengah. Keuntungannya adalah biasanya mudah dikerjakan dan
mempunyai angka kesuksesan yang tinggi. Angka kegagalan dengan gejala yang
rekuren adalah ¼ pasien setelah 5 tahun. Terdapat angka komplikasi post operatif
non spesifik dan jaringan parut epidural yang relatif rendah.6

Indikasi Laminektomi antara lain:6


- Laminektomi dikerjakan pada keadaan adanya spondilolistesis degeneratif atau
jika terdapat kerusakan operatif dari diskus atau facet joint.
- Fraktur kompresi karena trauma indirek dari atas dan dari bawah, dapat
menimbulkan fraktur stabil atau tidak stabil.

Komplikasi yang dapat terjadi pada prosedur laminektomi:7


1. Thrombophlebitis
Thrombophlebitis, kadang-kadang disebut trombosis vena dalam (DVT), dapat
terjadi setelah operasi apapun. Hal ini terjadi ketika darah dalam vena besar
dari kaki bentuk gumpalan darah. Hal ini dapat menyebabkan kaki
membengkak dan menjadi hangat saat disentuh dan menyakitkan. Jika
gumpalan darah dalam pembuluh darah pecah, mereka dapat melakukan
perjalanan ke paru-paru, di mana mereka menginap di kapiler dan memotong
suplai darah ke sebagian dari paru-paru. Hal ini disebut emboli paru.
2. Infeksi
Infeksi tulang belakang berikut pembedahan jarang tetapi dapat komplikasi
yang sangat serius. Beberapa infeksi mungkin muncul lebih awal, bahkan
sebelum Anda meninggalkan rumah sakit. Infeksi pada kulit, permukaan AOS
biasanya hilang dengan antibiotik. Lebih infeksi yang menyebar ke tulang dan
jaringan lunak tulang belakang lebih sulit untuk mengobati. Mereka mungkin

16
memerlukan pembedahan tambahan untuk mengobati bagian yang terinfeksi
tulang belakang
3. Instabilitas segmental
Laminektomi pembedahan dapat menyebabkan segmen tulang belakang untuk
melonggarkan, membuatnya tidak stabil. Setiap segmen tulang belakang
termasuk dua tulang belakang yang dipisahkan oleh disc intervertebral, saraf
yang keluar dari sumsum tulang belakang pada tingkat itu, dan sendi facet kecil
yang menghubungkan setiap tingkat kolom tulang belakang. Facet sendi di
belakang tulang belakang biasanya cukup memberikan stabilitas, bahkan ketika
diambil dari lamina. Inilah sebabnya mengapa ahli bedah memilih untuk tidak
menghapus sendi facet

2.4 ANESTESI UMUM


General anestesi merupakan teknik yang paling banyak dilakukan pada
berbagai macam prosedur pembedahan. Teknik ini menghilangkan kesadaran
yang bersifat pulih kembali (reversible) dan meniadakan nyeri secara sentral.
Trias anestesia terdiri dari anestesia, hipnotik dan relaksasi. Tahap awal dari
anestesi umum adalah induksi. Induksi anestesi merupakan peralihan dari keadaan
sadar dengan refleks perlindungan masih utuh sampai hilangnya kesadaran
(ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata) akibat pemberian obat-obat
anestesi. Perhatian utama pada anestesi umum adalah keamanan dan keselamatan
pasien, dan salah satu faktor penentunya adalah kestabilan hemodinamik selama
tindakan induksi dilakukan, hal ini dapat dicapai apabila obat anestesi tersebut
dapat memberikan level anestesi yang adekuat untuk pembedahan tanpa
menimbulkan depresi yang serius terhadap fungsi hemodinamik.8

2.3.1 Jenis Anestesi Umum8,9,10


Anestetik umum dikelompokkan berdasarkan bentuk fisiknya, tetapi
pembagian ini tidak sejalan dengan penggunaan klinik yang pada dasarnya kini
dibedakan atas 2 cara, yaitu secara inhalasi dan intravena.

17
Cara penggunaannya suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus
memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai “Trias Anestesia”, yaitu efek
hipnotik, analgesia, dan efek relaksasi otot.
1) Anestesia Inhalasi
Anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek klinik adalah
N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Desfluran, dan Cefofluran. Eliminasi
sebagian besar gas anestetik dikeluarkan oleh badan lewat paru, sebagian lagi
dimetabolisme di hepar dan sisa metabolism yang larut dalam air dikeluarkan
melalui ginjal.
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh:
• Konsentrasi inspirasi
• Ventilasi alveolar
• Koefisien darah atau gas
• Curah jantung atau aliran darah paru
• Hubungan ventilasi perfusi
2) Anestesia Intravena
Anestesia intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk
rumatan anesthesia, tambahan pada anesthesia regional atau untuk membantu
prosedur diagnostic misalnya thiopental, ketamine dan propofol. Untuk
anesthesia intravena total biasanya menggunakan propofol.

2.3.2 Stadium Anestesi Umum8,9,10


Guedel (1920) membagi anesthesia umum dalam 4 stadium, sedangkan
stadium ke-3 dibedakan lagi atas 4 tingkat.
 Stadium I (Analgesia) : mulai induksi sampai pasien mulai tidak sadar.
 Stadium II (Delirium/Eksitasi) : mulai tidak sadar sampai mulai napas teratur
otomatis. Pada stadium ini pasien batuk, mual-muntah, henti napas.
 Stadium III (Pembedahan) : Mulai napas otomatis sampai mulai napas
berhenti
Plana 1 : Mulai napas otomatis sampai gerak bola mata berhenti
Plana 2 : Mulai gerak bola mata berhenti sampai napas torakal lemah

18
Plana 3 : Mulai napas torakal lemah sampai napas torakal berhenti
Plana 4 : Mulai napas torakal berhenti sampai napas diafragma berhenti
 Stadium IV (Depresi Medulla Oblongata/Intoksikasi) : Mulai paralisis
diafragma sampai henti jantung atau meninggal.

2.3.3 Tahapan Tindakan Anestesi Umum

1. Penilaian dan persiapan pra-anestesi8,9


Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang
sebab-sebab terjadinya kecelakaan anesthesia. Sebelum pasien dibedah
sebaiknya dilakukan kunjungan kepada pasien agar dapat menyiapkan pasien,
sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar. Tujuan utama
kunjungan pra anestesi ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.7
a. Penilaian Pra bedah
Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokkan dengan gelang
identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis
bagian tubuh yang akan dioperasi.
 Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangat penting untuk mengetahui apakah ada hal- hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, muntah-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau
sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anestesi berikutnya
dengan baik. Peneliti menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah
dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan
digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, begitu juga dengan suksinilkolin
yang menimbulkan apnea berkepanjangan jangan diulang.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk
eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan
beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu

19
untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alkoholjuga harus
dicurigai akan adanya penyakit hepar.
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keadaan
umum pasien tidak mungkin dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
 Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendakanya atas indiksi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang dicurigai, banyak fasilitas kesehatan yang
mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk
bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (hemoglobin (Hb), lekosit,
masa perdarahan, masa pembekuan) dan urinalisis. Usia pasien diatas usia 50
tahun ada anjuran EKG dan foto thoraks.
 Kebugaran untuk Anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito, penundaan
yang tidak perlu harus dihindari.
 Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan resiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesi, untuk meminimalkan
resiko tersebut semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesi harus diapantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode
tertentu sebelum induksi anestesi.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anestesia. Minuman air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk

20
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anesthesia.

2. Klasifikasi Status Klinik8


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA).
Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena dampak samping
anesthesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
 Kelas I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
 Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
 Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
 Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
 Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Pada pasien bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

3. Premedikasi8,9
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia,
diantaranya:
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anesthesia
 Mengurangi sekresi kelejar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestesi
 Mengurangi mual muntah pasca bedah
 Menciptakan amnesia

21
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi reflex yang membahayakan

Obat-obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah:10


a. Obat golongan antikolinergik
Adalah obat-obatan yang bekerja menghambat/menekan aktivitas
kolinergik atau parasimpatis. Tujuan utama pemberian antikolinergik
untuk premedikasi adalah:
 Mengurangi sekresi kelenjar: saliva, saluran cerna dan saluran napas.
 Mencegah spasme laring dan bronkus.
 Mencegah bradikardi
 Mengurangi motilitas usus
 Melawan efek depresi narkotik terhadap pusat napas
Obat golongan antikolinergik dalam praktik anestesia adalah preparat
Alkaloid Belladona, yang turunannya adalah:
 Sulfas atropin
 Skopolamin
Mekanisme Kerja. Menghambat kerja asetil kolin pada organ yang
diinervasi oleh serabut saraf otonom parasimpatis atau serabut saraf yang
mempunyai neurotransmitter asetil kolin. Alkaloid belladona menghambat
muskarinik secara kompetitif yang ditimbulkan oleh asetilkolin pada sel
efektor organ terutama pada kelenjar eksokrin, otot polos dan otot jantung.
Khasiat sulfas atropin lebih dominan pada otot jantung, usus, dan bronkus,
sedangkan skopolamin lebih dominan pada iris, korpus siliare dan
kelenjar. Cara pemberian dan dosis:
 intramuskular, dosis 0,01 mg/kgBB, diberikan 30-45 menit sebelum
induksi
 intravena, dengan dosis 0,005 mg/kgBB, diberikan 5-10 menit sebelum
induksi.

22
b. Obat golongan Sedatif / Transkuilizer10
Adalah obat-obat yang berkhasiat anti cemas dan menimbulkan rasa
kantuk. Tujuan pemberian obat ini adalah untuk memberikan rasa nyaman
bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut, sehingga pasien
menjadi tidak peduli dengan lingkungannya.
Untuk keperluan ini, golongan obat sedatif/transkuilizer yang sering
digunakan adalah:
 Derivat Fenotiazin, contohnya Prometazin dosis 0,5 mg/kgBB diberikan
IV 5-10 menit sebelum induksi.
 Derivat Benzodiazepin, contohnya Diazepam dan Midazolam dosis
indusi 0,2-0,6 mg/kgBB IV.
 Derivat Butirofenon, contohnya Dehidrobenzperidol (DHBP) dosis 0,1
mg/kgBB IM.
 Derivat Barbiturat, contohnya Pentobarbital dan Sekobarbital dosis2
mg/kgBB IM atau peroral.
 Preparat Antihistamin, derivat difenhidramin.

c. Obat golongan Analgetik Narkotik atau Opioid10


Berdasarkan struktur kimia,analgetik narkotik atau opioid, dibedakan
menjadi 3 kelompok:
1) Alkaloid opium (natural): morfin dan kodein
2) Derivat semisintetik: diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oksimorfon,
hidrokodon dan oksikodon.
3) Derivat sintetik
 Fenilpiperidin : petidin, fentanil, sulfentanil dan alfentanil
 Benzmorfans : Pentazosin, fenazosin dan siklazosin
 Morfinans : Lavorvanol
 Propionanilides : Metadon
 Tramadol

23
Penggunaan Klinik. Morfin mempunyai kekuatan 10 kali dibandingkan
dengan petidin, ini berarti bahwa dosis morfin sepersepuluh dari petidin,
sedangkan fentanil 100 kali dari petidin.
Analgetik narkotik digunakan sebagai:
 Premedikasi : petidin diberikan IM 1 mg/kgBB atau IV 0,5 mg/kgBB
 Analgetik untuk pasien yang menderita nyeri akut/kronis, diberikan
sistemik atau regional intratekal/epidural.
 Suplemen sedasi dan analgetik di Unit Terapi Intensif

4. Induksi Anestesia
Induksi anesthesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan.
Induksi anesthesia dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau
rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anesthesia langsung dilanjutkan dengan
pemeliharaan anesthesia sampai pembedahan selesai. Sebelum memulai induksi
anesthesia selayaknya disiapkan peralatan obat-obatan yang diperlukan, sehingga
seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik.8
Persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:8,9
S: Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo – Scope. Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan
usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T: Tubes. Pipa trakea pilih sesuai usia . Usia < 5 tahun tanpa balon (
cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A: Airway. Pipa mulut – faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung – faring (naso- tracheal airway). Pipa ini untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga lidah tidak
menyumbat jalan napas.
T: Tape. Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I: Introduser. Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik

24
(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukan.
C: Connector. Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia.
S: Suction. Penyedot lendir, ludah dan lainnya.

a. Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan karena cepat dan sudah terpasang
jalur vena. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-
lahan, lebih dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dengan kecepatan
antara 30-60 detik. Selama induksi anesthesia pernapasan pasien, nadi dan
tekanan darah darus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini
dikerjakan dengan pasien yang kooperatif.8,9
i. Propofol (Recofol, Diprivan)12
Merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso profil fenol yang
banyak dipakai sebagai obat anestesia intravena. Pertama kali digunakan
tahun 1977 sebagai obat induksi. Sifat fisik dan kimia serta kemasan berupa
cairan berwarna putih seperti susu, tidak larut dalam air dan bersifat asam.
Dikemas dalam bentuk ampul, berisi 20 ml ampul, yang mengandung 10
mg/dl.
Efek farmakologi di susunan saraf pusat. Mula kerjanya cepat,
penurunan segera terjadi setelah pemberian obat ini secara intravena. Pada
pemberian dosis induksi (2 mg/kgBB), pemulihan kesadaran berlangsung
cepat, pasien akan bangun setelah 4-5 menit tanpa disertai efek samping
seperti misalnya mual muntah, sakit kepala dan lain-lainnya.
Khasiat farmakologisnya adalah hipotonik murni tidak mempunyai efek
analgetik maupun relaksasi otot. Walaupun penurunan tonus otot rangka,
hal ini disebabkan karena efek sentralnya.
Terhadap sistem respirasi. Menimbulkan depresi respirasi yang
beratnya sesuai dengan dosis yang diberikan. Pada beberapa pasien, bisa
disertai dengan henti napas sesaat. Dibandingkan dengan tiopenton,
kejadian henti napas lebih sering terjadi pada pemberian diprivan ini.

25
Terhadap sistem kardiovaskuler. Depresi pada sistem kardiovaskuler
yang ditimbulkan sesuai dengan dosis yang diberikan. Tekanan darah turun
yang segera diikuti dengan kompensasi peningkatan denyut nadi.
Penggunaan Klinik dan Dosis.
 Induksi anestesia, dosisnya 2,0 – 2,5 mg/kgBB. Pada lansia dan bayi
dosis ini harus disesuaikan.
 Suplemen anestesia umum dan anestesia regional
 Anestesia tunggal pada prosedur singkat, misal: reposisi
 Sedasi di Unit Terapi Intensif

ii. Fentanil12
Merupakan obat narkotik yang paling banyak digunakan dalam praktek
anestesiologi. Mempunyaki potensi 1000 kali lebih kuat dibanding petidin
dan 50-100 kali lebih kuat dari morfin. Mulai kerjanya cepat dan masa
kerjanya pendek. Pada awalnya digunakan sebagai obat anelgesia nerolept
yang dikombinasikan dengan droperidol yang dikenal dengan nama
“inovar”.
Efek Farmakologi terhadap susunan saraf pusat. Seperti halnya preparat
opioid yang lain, fentanil bersifat depresan terhadap susunan saraf pusat
sehingga menurunkan kesadaran pasien. Pada dosis lazim, kesadaran pasien
menurun dan khasiat analgetiknya sangat kuat. Pada dosis tinggi akan
terjadi depresi pusat napas dan kesadaran pasien menurun sampai koma.
Terhadap sistem respirasi. Menimbulkan depresi pusat napas. Pada
dosis 1-2 ug/kgBB, menimbulkan depresi frekuensi napas sedangkan dosis
di atas 3 ug/kgBB, menimbulkan depresi frekuensi dan volume napas.
Terhadap sistem kardiovaskuler. Sistem kardiovaskuler sendiri tidak
mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung maupun tonus otot
pembuluh darah.
Penggunaan klinik dan dosis. Digunakan sebagai:
 Komponen analgesia pada anestesia umum balans
 Komponen analgesi pada analgesia nerolept

26
 Induksi anestesia
Dosis diberikan sesuai dengan tujuan:
 Untuk analgesia, 1-2 ug/kgBB, diberikan intramuskular
 Untuk induksi anestesia, 100-200 ug/kgBB intravena
 Untuk suplemen analgesia: 1-2ug/kg BB

iii. Thiopental (Tiopenton, Pentotal)11


Diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis diantara
3-7 mg/kgBB.
iv. Ketamin (Ketalar) Hidroklorida11,12
Adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non
barbiturat general anesthetic” yang populer disebut sebagai Ketalar sebagai
nama dagang oleh Domino - Carsen tahun 1960, yang digunakan sebagai
obat anestesi umum.
Sifat Fisik. Merupakan larutan tidak berwarna, bersifat agak asam dan
sensitif terhadap cahaya dan udara. Karena sangat sensitif terhadap cahaya,
obat ini disimpan dalam botol (vial) coklat. Dikemas dalam vial (botol)
berwarna coklat agar terhindar dari pengaruh sinar matahari langsung.
Terdapat tiga kemasan vial dengan konsentrasi 100 ml/ml, 50 mg/ml dan 25
mg/ml yang masing-masing kemasan vial berisi 10 ml.
Efek farmakologi bekerja di susunan saraf pusat. Mempunyai efek
analgesia sangat kuat, akan tetapi efek hipotoniknya kurang dan disertai
dengan efek disosiasi, artinya pasien mengalami perubahan persepsi
terhadap rangsang dan lingkungannya. Pada dosis lebih besar, efek
hipnotiknya lebih sempurna.
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan
mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata
berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-
kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari, seperti gerakan mengunyah,
menelan, tremor dan kejang. Apabila diberikan secara intramuskular,
efeknya akan tampak dalam 5-8 menit.

27
Ketamin sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada
periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Aliran darah ke otak
meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial.
Terhadap sistem kardiovaskular. Ketamin adalah obat anestesia yang
bersifat simpatomimetik, sehingga bisa meningkatkan tekanan darah dan
denyut jantung. Peningkatan tekanan darah disebabkan oleh karena efek
inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Terhadap sistem respirasi. Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh
terhadap sistem respirasi. Bisa menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat
simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma.
Dosis dan cara pemberian diberikan untuk Induksi. Diberikan intravena
dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anesthesia dengan ketamine sering
menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan
sedatifa seperti midazolam (dormikum). Ketamine tidak dianjurkan pada
pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah> 160 mmHg).
Untuk Pemeliharaan diberikan intravena intermiten atau tetes kontinyu.
Pemberian secara intermiten diulang setiap 10-15 menit dengan dosis
setengah dari dosis awal sampai operasi selesai. Sedangkan pemberian
secara infus tetes kontinyu hanya dilakukan pada pembedahan tertentu saja.
Efek samping dari ketamin terjadi pada susunan saraf pusat, akibat efek
disosiasinya menimbulkan halusinasi, mimpi buruk dan kadang-kadang
terjadi gaduh gelisah dan “banjir” kata-kata.
Kontraindikasi penggunaan ketamin adalah:
1. Tekanan intrakranial meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor
otak dan operasi-operasi intrakranial.
2. Tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan
pada operasi intraokuler.
3. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat-
obatan simpatomimetik, seperti: hipertensi, tirotoksikosis, DM, PJK dan
lain-lain.

28
b. Induksi Intramuskuler10
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang diberikan secara intramuskular
dengan dosis 5-7 mg/kg BB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
c. Induksi Inhalasi8,9
Induksi inhalasi ini digunakan pada bayi atau anak yang belum terpasang
jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik. Induksi halotan memerlukan gas
pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4
liter/menit atau campuran N2O : O2 = 3:1 atau 4:1, dimulai dengan halotan 0,5 vol
% dan dinaikkan bertahap sampai konsentrasi yang dibutuhkan.
d. Induksi Per rektal8
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan tiopental atau midazolam.

5. Rumatan (maintenance) Anestesia


Pemeliharaan atau rumatan anestesi yang biasa disebut maintenance dapat
dikerjakan dengan cara intravena atau dengan inhalasi atau campuran intravena
inhalasi.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4vol% atau
sevofluran 1-2,5% bergantung apakah pasien bernafas spontan, dibantu, atau
dikendalikan. Rumatan anestesi intravena dapat menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50µg/kbb. Dosis tinggi opioid yang menyebabkan pasien tidur dengan
analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot.8,9

6. Tatalaksana Jalan Napas8,9


Tatalaksana jalan napas (airway)merupakan ketrampilan yang harus dimiliki
oleh setiap anestetis, karena itu ia harus menguasai anatomi jalan napas atas
secara baik dan benar.Obstruksi jalan napaspada pasien tidak sadar atau dalam
keadaan anestesia posisi terlentang, tonus otot jalan napas atas, otot genioglossus
hilang, sehingga lidah akan menyumbat hipofaring dan menyebabkan obstruksi
jalan napas baik total atau parsial. Keadaan ini sering terjadi dan harus cepat
diketahui dan dikoreksi dengan beberapa cara, misalnya maneuver tripel jalan

29
napas, pemasangan alat jalan napas faring, pemasangan alat jalan napas sungkup
laring, pemasangan pipa trakea.
Obstruksi dapat disebabkan karena spame laring pada saat anestesi ringan
dan mendapat rangsangan nyeri atau rangsangan oleh sekret.Tanda-tanda
obstruksi jalan napas antara lain mendengkur karena sumbatan pangkal lidah
(snoring), suara berkumur karena adanya cairan di hypopharynx (gargling) dan
stridor karena kejang/edema pita suara (crowing), yang keadaan ini biasa
disebabkan oleh anestesia ringan dan mendapat rangsangan sekitar faring.
a)
Jalan Nafas Faring
Maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas
mulut-faring lewat mulut (Oropharyngeal airway (OPA)) atau jalan napas
hidung-faring lewat hidung (Naso-pharyngeal Airway(NPA)), NPA:
berbentuk pipa bulat berlubang ditengahnya dibuat dari bahan karet lateks
lembut. Pemasangan harus hati-hati dan untuk menghindari trauma mukosa
hidung pipa diolesi dengan jelly. OPA berbentuk pipa gepeng lengkung
seperti huruf C berlubang ditengahnya dengan salah satu ujungnya bertangkai
dengan dinding lebih keras untuk mencegah kalau pasien menggigit lubang
tetap paten, sehingga aliran udara tetap terjamin. OPA juga dipasang bersama
pipa trakea atau sungkup laring untuk mencegah patensi kedua alat tersebut
dari gigitan pasien.
b) Sungkup Muka
Sungkup muka (facemask) mengantar udara atau anestesi dari alat
resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas pasien.Bentuknya dibuat
sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau
dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat
mulut atau hidung. Bentuk sungkup muka sangat beragam tergantung usia
dan pembuatnya ukuran 03 untuk bayi baru lahir 02,01,1 untuk anak kecil 2,3
untuk anak besar dan 4,5 untuk dewasa. Sebagian sungkup muka dari bahan
transparan supaya udara ekspirasi kelihatan (berembun) atau kalau ada
muntahan atau bibir terjepit kelihatan.

30
c) Sungkup Laring
Sungkup laring Laryengeal Mask Airway (LMA) ialah alat jalan napas
berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlobang dengan ujung menyerupai
sendokyang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa
trtakea.Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek
dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Pemasangan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan
laringoskop. Pemasangan hendaknya menunggu anestesia cukup dalam atau
menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari trauma rongga mulut,
faring-laring, setelah alat terpasang, untuk menghindari pipa napasnya
tergigit, dapat dipasang gulungan kain kasa (bite block) atau pipa napas mulut
laring (OPA).
d) Pipa Trakea
Pipa trakea (endotracheal tube) mengantar gas anestesik langsung ke
dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida.Ukuran
diameter lubang pipa trakea dalam millimeter, karena penampang trakea bayi,
anak kecil, dewasa berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil
dibawah usia 5 tahun hamper bulat, sedangkan dewasa seperti huruf D, maka
untuk bayi dan anak digunakan tanpa kaf (cuff) dan untuk anak dewasa–besar
dengan kaf, supaya tidak bocor.
Penggunaan kaf pada bayi–anak kecil dapat membuat trauma selaput
lendir trakea dan selain itu jika kita ingin menggunakan pipa trakea dengan
kaf pada bayi harus menggunakan ukuran pipa trakea yang diameternya lebih
kecil dan ini membuat resiko tahanan napas lebih besar.Pipa trakea dapat
dimasukan melalui mulut atau melalui hidung. Cara memilih ukuran pipa
trakea untuk bayi dan anak kecil.
 Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4.0 + ¼ umur (tahun)
 Panjang pipa orotrakheal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
 Panjang pipa nasotrakheal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)

31
e) Laringoskopi dan Intubasi
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk masuk paru.
Laringoskop ialah alat untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukan pipa trakea dengan baik dan benar.
 Indikasi Intubasi Trakea
Intubasi trakea ialah tindakan memasukan pipa trakea ke dalam trakea
melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira pertengahan
trakea antara pita suara dengan bifukarsio trakea. Indikasi sangat bervariasi
umumnya digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun. Kelainan anatomi, bedah
khusus, pembersihan sekret jalan napas dan lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi, misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka
panjang.
3. Pencegahan terhadap regurgitasi dan aspirasi.
 Kesulitan intubasi
Leher pendek berotot, mandibula menonjol, maksila/gigi depan
menonjol, uvulla tak terlihat (Mallapati 3 atau 4), gerak sendi terporo
mandibular terbatas, gerakan vertebra cervical terbatas.
 Komplikasi intubasi
Trauma gigi-geligi, laserasi bibir, gusi, laring, merangsang saraf simpatis
(hipertensi-takikardi), intubasi bronkus, intubasi esophagus, aspirasi, spasme
bronkus.
 Komplikasi ekstubasi
Spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema glottis-subglotis,
infeksi laring, faring, trakea. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar
sadar, jika:
1. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
2. Pasca ekstubasi ada resiko aspirasi
3. Ektubasi dikerjakan umumnya pada anestesi yang ringan dengan catatan
tidak akan terjadi spasme laring.

32
4. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga dalam mulut laring faring dari sekret
dan cairan lainnya.

7. Pasca Anestesi8,9
Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola
dikamar pulih atau unit perawatan pasca anestesi. Ideal ketika bangun dari
anestesia terjadi secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus, tetapi sering dijumpai
hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stress pasca bedah atau pasca anestesia
yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskuler, gelisah kesakitan, mual-
muntah, menggigil dan kadang-kadang perdarahan.

33
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : Ny. YL
Umur : 30 tahun
Alamat : Timika
BB : 45 Kg
TB : 152 cm
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku bangsa : Papua
Tanggal Masuk : 25 Agustus 2018
Tanggal Operasi : 3 Oktober 2018
Ruangan : RBW
No. Rekam Medik : 42 12 70

3.2 ANAMNESIS (HETEROANAMNESIS)


a. Keluhan utama :
Nyeri tulang belakang sejak ± 1 bulan SMRS.

b. Riwayat penyakit sekarang :


Pasien rujukan dari RSUD mimika dengan keluhan nyeri tulang belakang
sejak ± 1 bulan SMRS, terdapat luka bekas operasi tulang belakang
sebelumnya dengan pus (+), teraba pen (+), Nyeri ini disertai dengan
kelemahan dalam menggerakan kedua kaki namun kaki masih dapat
merasakan sensasi seperti panas, dan dicubit sehingga sulit untuk
beraktifitas.
Pasien pernah operasi tulang belakang pada akhir tahun 2017 dengan
diagnosa fraktur kompresi vertebra thorakal XII dan sudah dipasang pen
(laminektomi) di RSUD Dok 2 jayapura. Pasien mengaku setelah operasi ini
sering beraktifitas / bekerja di ladang dengan pekerjaan yang berat seperti

34
memikul hasil kebun, kayu bakar, dan hasil hutan dengan noken di kepala.
keluhan lain penyerta lain demam (-), Mual (-), Muntah (-), pusing (-), batuk
lama (-)

c. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien pernah operasi tulang belakang pada akhir tahun 2017 dengan
diagnosa fraktur kompresi vertebra thorakal XII dan sudah dipasang pen
(laminektomi). Riwayat asma (-), alergi (-), kejang (-), pingsan (-),
penyakit jantung bawaan (-).

d. Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat asma (-), alergi (-), DM (-), Hipertensi (-), penyakit jantung
(-), kanker (-)

e. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan


Os sudah menikah. Pasien bekerja sebagai IRT. Kebiasaan merokok (+)
Konsumsi alkohol (-). Pasien mengaku senang memakan makanan/cemilan
yang berminyak (+), dan mengunyah pinang (+)

f. Riwayat Anestesi dan Operasi :


Pasien sudah pernah mendapat tindakan Anestesi dan operasi
sebelumnya pada akhir tahun 2017.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
Tinggi Badan : 152 cm
Berat Badan : 45 kg

Tanda-tanda vital :
 Tekanan Darah : 110/60 mmHg
 Nadi : 84 x/m

35
 Suhu Badan : 36,70C
 Respirasi : 20 x/m
Kepala : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, Pupil
bulat dan Isokor, Ø ± 3/3 mm, refleks cahaya
(+/+)
THT : Telinga : serumen (-), secret (-)
Hidung : secret (-), pernapasan cuping hidung (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), pembesaran
tonsil (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), peningkatan
vena jugularis (-)
Thoraks : Simetris, ikut gerak napas, retraksi (-), thrill (-),
SN vesikuler +/+, rhonki -/-, whezzing -/-, BJ I-II
regular murni, gallop (-), murmur (-).
Abdomen : supel, datar, BU (+) N, Hepar tidak teraba, Lien
tidak teraba.
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2 detik, edem (-), sianosis (-)

Status Lokalis :
Regio thorakalis posterior C-Vertebralis (XII): edema (+), scoliosis (+),
teraba pen (+), pus (+)

Status Neurologis :
- Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-), Kerniq/Lesegue (-), Brudzinki
I/II/III (-/-/-)
- Refleks Fisiologis : BPR (++/++), TPR (++/++), KPR (++/++), APR
(++/++)
- Refleks Patologis : Babinski (-/-), Chaddock (-/-), Gonda (-/-),
Gordon (-/-), Oppenheim (-/-), Schaefer (-/-)
- Motorik : Atrofi otot (-/-) ; Tonus : normotonus

36
- Kekuatan Motorik :
555 555
111 111
- Sensorik :
+ +
+ +

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil
Hemoglobin 9,2 g/dL
Hematokrit 27,3 %
Darah Rutin
RBC 3,38
Leukosit 3.750 sel/mm3
Trombosit 121.000 sel/mm3
SGOT 19,2 U/L
SGPT 17,1 U/L
Kimia
BUN 12,1 mg/dL
Darah
Kreatinin 0,91 mg/dL
Albumin 3,4 g/dL
Masa perdarahan 3’00”
Koagulasi
Masa pembekuan 6’30”

37
2. Pemeriksaan Radiologi

3.5 DIAGNOSIS
Implant failure, fr. Kompresi Vertebra Th XII dan Vertebra Lumbal I

3.6 KESIMPULAN PEMERIKSAAN KLINIS


Phisican Status American Society of Anestesiology: Class II

3.7 STATUS ANESTESI


Pesiapan Anestesi : Informed consent, menandatangani surat
persetujuan operasi dan persetujuan Anestesi, pasang IV line, dilaporkan ke
supervisor.
B1 : Bebas, simetris +/+, suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-,
RR: 20 x/m, malampati score I

38
B2 : Perfusi: hangat, kering, telapak tangan terlihat merah, Capilary Refill
Time < 2 detik, bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
B3 : Compos Mentis, GCS: E4V5M6, pupil bulat isokor Ø 3 mm, reflek
cahaya +/+, riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-)
B4 : Terpasang DC (produksi ± 200cc, warna kuning jernih)
B5 : Abdomen datar dan supel, nyeri tekan (-), timpani, BU (+) normal
B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-), ulkus (+), kekuatan motorik
555 555 + +
; sensorik + tidak ada gangguan sensibilitas
111 111 +

Problem List

Aktual Airway bebas


B1
Potensial Hipoksia
Aktual Perfusi teraba hangat dan kering, telapak tangan
B2 terlihat merah
Potensial -
Aktual Compos mentis
B3
Potensial -
Aktual Tidak terpasang DC
B4
Potensial Kesulitan untuk berkemih
Aktual Makan / minum baik (pasien dipuasakan 8 jam
B5 sebelum op)
Potensial Dehidrasi, hipoglikemi
Aktual Udema (-), fraktur (-)
B6
Potensial -

39
3.8 LAPORAN ANESTESI
PS. ASA : II
Hari/Tanggal : 3 Oktober 2018
Ahli Anestesiologi : dr. Albinus Cobis, Sp.An, M.Kes
Ahli Bedah : dr. Tommy Numberi, Sp.Bs
Diagnosa Pra Bedah : implant failure, fraktur kompresi vertebra thorakal XII
dan vertebra lumbal I
Diagnosa Pasca Bedah : Relaminectomi stabilisasi fraktur kompresi vertebra
thorakal XII dan vertebra lumbal I
Keadaan Pra Bedah : Tampak sakit sedang
Makan terakhir : 8 jam sebelum operasi
BB : 45 kg
TTV : TD: 110/80 mmhg, N: 77x/m, RR: 20x/m, SB:36,6oC
SpO2 : 98%

Jenis Pembedahan : Relaminektomi stabilisasi


Lama Operasi : 3 jam 40 menit (09.50 – 13.10 WIT)
Jenis Anestesi : General Anestesi
Lama Anestesi : 4 jam 20 menit (09.10 – 13.30 WIT)
Anestesi Dengan : Sevofluran + O2
Teknik Anestesi : Pasien posisi pronasi, diberikan premedikasi,
dilanjutkan oksigenasi intubasi, diinduksi sevofluran,
diberikan medikasi anestesi, observasi pernafasan.
Teknik Khusus : -
Pernafasan : Terkontrol dengan ventilator
Posisi : Pronasi
Infus : Tangan kanan, abbocath 20 G, cairan RL
Akhir pembedahan : TD: 96/70 mmHg, N: 71x/m, SB: afebris, RR: 20 x/m
Terapi khusus pasca bedah : -
Penyulit pasca bedah : -
Comorbid : Hipotensi

40
Premedikasi : Midazolam 5 mg (Sedacum® 5mg)
Fentanil 50 mg

Durante Operasi :
Maintenance : Sevofluran
Medikasi : Propofol 50mg
Itracurium Besilat 30mg (Tramus® 30mg)
Dexamethasone 3 mg
Propofol70 mg
Itracurium Besilat 10 mg (Tramus® 10mg)
Fentanil 25 mg
Propofol 30 mg
Efedrin 10 mg
Efedrin 10 mg
Efedrin 10 mg
Ondancentron 8 mg
Itracurium Besilat 10 mg (Tramus® 10mg)
Paracetamol 500 mg (drip)
Ranitidin 50 mg
Antrain 1 gr

Observasi : B1: Terkontrol dengan ventilator


B2: Nadi (dalam tabel)
B3: Dalam pengaruh anestesi
B4: Terpasang DC (produksi ± 100cc, warna kuning
jernih)
B6: Perdarahan

41
3.9 Diagram observasi
140

120

100

80

60

40

20

12.20

13.10
09.10
09.20
09.30
09.40
09.50
10.00
10.10
10.20
10.30
10.40
10.50
11.00
11.10
11.20
11.30
11.40
11.50
12.00
12.10

12.30
12.40
12.50
13.00

13.20
13.30
Nadi sistol Diastol

3.10 Terapi Cairan

Cairan yang dibutuhkan Aktual


PRE OPERASI PRE OPERASI
1. Maintenance = 1-2cc/kgBB/jam Input : RL 700 cc
BB: 45 kg  1-2cc/kgBB/jam x 45 kg Output : Urine : 200 cc
45 – 90cc/jam

2. Replacement
Pengganti puasa 8 jam :
8 jam x kebutuhan cairan/jam=
8 x 45 - 90 cc/jam = 360 – 720 cc

3. Perdarahan = (tidak ada)


DURANTE OPERASI DURANTE OPERASI

42
Kebutuhan cairan selama operasi 3 jam 40 menit
1. Maintenance Input :
45 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 45 – 90 cc/jam RL 500 cc
Untuk 3 jam 40 menit = 3 2⁄3 x 45 - 90 cc/jam Gelatofusal 500 cc

= 165 - 330 cc NaCl 500 cc


Whole Blood 350 cc
PRC 250 cc
Total : 2100 cc

2. Replacement Output :

Perdarahan: DC : ± 600cc

suction : 1900 cc Suction : 1900 cc

kassa : 200 cc
total perdarahan ± 700 cc Total Perdarahan = ± 700 cc
Suction = 1900 cc 500 cc

EBV = 65 cc x BB = 65cc x 45 kg = 2925 cc Kasa = 20 x 10 cc


= 200 cc
*catatan : EBL : 10% EBV = 292,5 cc ;
20% EBV = 585 cc
30% EBV = 887,5 cc
EBL = 292,5 – 887,5 cc, dapat diganti dengan cairan
kristaloid
= 2 - 4 x EBL = 585 – 3550 cc

Total kebutuhan cairan durante operasi :


= (165 – 330 cc) + (585 - 3550 cc)
= 750 - 3880 cc

43
POST OPERASI POST OPERASI
1. Maintenance = 1-2cc/kgBB/jam Input :
BB: 45 kg  1-2cc/kgBB/jam x 45 kg RR  RL 24 tpm makro
45 – 90cc/jam15-30 tpm makro

Laporan Operasi
Nama Pasien :Ny. YY
Umur : 45 tahun
Nomor DM : 42 122 70
Nama Ahli Bedah : dr. Tommy Numberi, Sp.Bs
Nama Instrumen : br. Eddy
Nama Ahli Anestesi : dr. Albinus Cobis, Sp.An, M.Kes
Jenis Anestesi : General Anestesi
Diagnosis Pre Operatif : Implant failure, fr. Kompresi Vertebra Th XII dan Vertebra
Lumbal I
Diagnosis Post Operatif : Relaminektomi stabilisasi Implant failure, fr. Kompresi Vertebra
Th XII dan Vertebra Lumbal I
Nama Operasi : Relaminektomi stabilisasi
Indikasi Operasi : Unstable fraktur kompresi
Tanggal Operasi / Jam mulai : 3 Oktober 2018 pukul 09.50 – 13.10
(Lama Operasi 3 jam 40 menit)
Laporan Operasi:
1. Pasien posisi pronasi dengan general anestesi GA
2. Dilakukan teknik Aseptik antisepsis daerah operasi, area operasi dipersempit dengan duk steril
3. Dilakukan insisi pada regio vertebra thoracal poosterior
4. Expose lamina dan procesus spinosus, evaluasi tampak fusi proc. Spinosus Vertebra Th.
XII dan L1
5. Dilakukan pedicle screw di VL2, VL3 dan VTh XI dan X
6. Laminektomi VTh XII dan VL1, kesan kompresi (-)
7. Insisi drainase, luka operasi dijahit lapis demi lapis, operasi selesai

44
3.13 INSTRUKSI POST OP
- Inj. Cefoperazon 2 x 1 gr (IV)
- Inj. Metronidazole 2 x 500mg (IV)
- Inj. Mecobalamin 3 x 500 mg (IV)
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg (IV)
- Inj. Ranitidin 2 x 50 mg (IV)

3.14 FOLLOW UP

4 Oktober 2018

S: nyeri pada bekas operasi (+), mual (-), A : Implant Failure, fraktur kompresi
muntah (-), demam (-), BAB (-), BAK (+) Vertebra Th XII + L1 Post
baik, kedua kaki terasa lemah, gerak kaki Relaminektomi (H1)
(+)

O: KU : tampak sakit sedang P: - IVFD NaCl 0,9% 500cc + ketorolac


Kes : Compos Mentis 2 amp/8 jam
TTV : TD : 90/60 mmhg - Inj Cefoperazone 2x1gr (H2)
N : 120x/m
- Inj metronidazole 2x500mg (H2)
RR : 24x/m
- Inj Mecobalamin 3x1(H2)
SB : 36,9oC
- Inj ketorolac 3x1
SpO2 : 99%
- Inj ranitidin 2x50mg

Status Lokalis :
- Inj PCT 3x500mg (k/p)

Regio Thoracalis Posterior - Pasang TLSO, mobilisasi duduk


Luka post op (+)

Status Neurologis :
555 555
Motorik
111 111

45
+ +
Sensorik tidak ada gangguan
+ +

sensibilitas

5 Oktober 2018

S: nyeri pada bekas operasi (+), mual / A : - Post Implant Failure


muntah (-), `234, demam (-), BAB (-), - Fraktur kompresi Vertebra Th XII +
BAK (+) baik, kedua kaki lemah, gerak L1
kaki (+) sebatas geser kanan kiri
- Post Relaminektomi (H2)
O: KU : tampak sakit sedang P: - IVFD NaCl 0,9% 500cc + ketorolac
Kes : Compos Mentis 2 amp/8 jam
TTV : TD : 90/50 mmhg - Inj Cefoperazone 2x1gr (H3)
N : 90x/m
- Inj metronidazole 2x500mg (H3)
RR : 22x/m
- Inj Mecobalamin 3x1(H3)
SB : 36,7oC
- Inj ketorolac 3x1
SpO2 : 98%
- Inj ranitidin 2x50mg

Status Lokalis :
- Inj PCT 3x500mg (k/p)

Regio Thoracalis Posterior - Pasang TLSO, mobilisasi duduk


Luka post op (+)

Status Neurologis :
555 555
Motorik
111 111
+ +
Sensorik tidak ada gangguan
+ +

sensibilitas

46
6 Oktober 2018

S: nyeri pada bekas operasi (+) berkurang, A : - Post Implant Failure


miring kanan kiri (+), mual / muntah (-), - Fraktur kompresi Vertebra Th XII +
demam (-),kedua kaki lemah, gerak kaki L1
(+/+) geser kanan kiri dan ditekuk
- Post Relaminektomi (H2)
O: KU : tampak sakit sedang P: - IVFD NaCl 0,9% 500cc + 2 amp
Kes : Compos Mentis ketorolac  bila nyeri (k/p)
TTV : TD : 100/60 mmhg - Stop cairan Venplon
N : 120x/m
- Inj Cefoperazone 2x1gr (H4)
RR : 24x/m
- Inj metronidazole 2x500mg (H4)
SB : 36,8oC
- Inj Mecobalamin 3x1(H4)
SpO2 : 99%
- Inj natrium metamizole 3x1gr (H1)
- Inj ranitidin 2x50mg
Status Lokalis :
Regio Thoracalis Posterior - Inj PCT 3x500mg (k/p)
Luka post op (+) - Terpasang TLSO, mobilisasi duduk

Status Neurologis :
555 555
Motorik
111 111
+ +
Sensorik tidak ada gangguan
+ +

sensibilitas

47
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini akan dilakukan tindakan relaminektomi stabilisai atas


indikasi unstable fraktur kompresi dengan general anestesi atau anestesi umum.
Pada persiapan anestesi diketahui bahwa pasien tidak mempunyai riwayat
penyakit asma, alergi, riwayat infeksi pernapasan maupun gangguan metabolik.
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyebab terjadinya
kecelakaan anestesi. Identitas setiap pasien harus lengkap, pasien ditanya lagi
mengenai hari operasi dan jenis bagian tubuh yang akan dioperasi, selanjutnya
dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang atau
laboratorium.
Pada pasien ini sebelum operasi dipuasakan selama 8 jam, hal ini sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8
jam hal ini dikarenakan refleks laring mengalami penurunan selama anestesi
sehingga regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas
merupakan resiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesi, untuk
meminimalkan resiko tersebut semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi
elektif dengan anestesi harus diapantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anestesi.
Pemeriksaan fisik pada pasien ini tampak sakit sedang. Tekanan darah
pasien pra bedah, yaitu 110/80 mmHg, frekuensi nadi 77 x/m, respirasinya 20
x/m, dan suhu badannya 36,60C, sedangkan pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan Hb 9,2 gr/dL, RBC 3,38 dan hematokrit 27,3%. Hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium, dapat ditentukan status
fisik pasien serta menilai resiko pasien terhadap anestesi.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, pasien
diklasifikasikan sebagai PS ASA II yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan
atau sedang. Hal ini dikarenakan pada pasien ditemukan adanya gangguan
sistemik ringan, yaitu pasien mengalami anemia dengan nilai Hb 9,2 gr/dl dan
RBC 3,38, maka pasien di golongkan dalam PS ASA II.

48
Pada pasien ini diberikan premedikasi berupa Midazolam 5 mg, dan
Fentanil 50 mg. Midazolam yang merupakan obat golongan benzodiazepine,
merupakan obat penenang (transquilizer) yang memiliki sifat anti ansietas, sedatif,
amnestik, antikonvulsan, dan relaksan otot skeletal. Dosis Midazolam yaitu 0,25 –
0,1 mg/kgBB. Dengan awitan aksi intravena 30 detik, efek puncak 3-5 menit dan
lama aksi 15-80 menit. Pada penderita DM benzodiazepine akan menurunkan
sekresi ACTH dan juga akan memproduksi kortisol jika digunakan dosis tinggi
selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan simulasi simpatis,
tetapi merangsang sekresi growth hormon dan akan menurunkan respon glikemia
pada pembedahan.
Fentanil merupakan obat narkotik yang paling banyak digunakan dalam
praktek anestesiologi. Mempunyaki potensi 1000 kali lebih kuat dibanding petidin
dan 50-100 kali lebih kuat dari morfin. Mulai kerjanya cepat dan masa kerjanya
pendek. Fentanil digunakan untuk mengurangi cemas dan ketegangan pasien
menghadapai pembedahan, mengurangi nyeri, menghindari takipneu pada anestesi
dengan trikloretilen, dan membantu agar anestesi berlangsung baik. Diindikasikan
untuk pengobatan yang biasa dilakukan pada tingkat kesakitan yang tinggi.
Pemberian premedikasi (pemberian obat sebelum induksi anestesi) selama
1-2 jam dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesia, yaitu diantaranya meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar
induksi anestesi, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan
jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan
amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang
membahayakan.
Pada kasus ini, induksi dan maintenance anestesi dilakukan secara inhalasi
dengan menggunakan Sevofluran + O2. Sevofluran adalah suatu obat anestesi
umum inhalasi derivat eter dengan kelarutan dalam darah yang lebih rendah dari
halotan, enfluran dan isofluran. Rendahnya kelarutan serta tidak adanya bau yang
menyengat menyebabkan induksi inhalasi berjalan dengan cepat dan mulus, juga
kelarutan dalam darah yang rendah menyebabkan pemulihan berjalan dengan
cepat.

49
Pada medikasi pasien diberikan propofol. Propofol dapat menimbulkan
induksi anestesi secepat tiopental tetapi dengan pemulihan yang lebih cepat dan
pasien segera merasa lebih baik. Propofol menurunkan tekanan darah sistemik
kira-kira 30% tetapi efek ini lebih disebabkan oleh vasodilatasi perifer sehingga
terjadi penurunan curah jantung. Penurunan kesadaran segera terjadi setelah
pemberian obat ini, dan pemulihan kesadaran juga berlangsung cepat, pasien akan
bangun setelah 4-5 menit tanpa disertai efek samping, misalnya mual, muntah,
sakit kepala dan lain-lain.
Selama operasi berlangsung, tekanan darah pasien cenderung rendah,
berkisar diangka 96/68 hingga 120/82, serta memang terdapat faktor komorbid
berupa hipotensi. Maka pemberian efedrin sebagai medikasi anestesi bermanfaat
untuk meningkatkan tekanan darah pasien. Efedrin bekerja dengan menstimulasi
reseptor alfa dan beta, menghasilkan peningkatan detak jantung, meningkatakn
kardiak output sehingga meningkatkan tekanan darah. Efedrin juga menghasilkan
relaksasi otot halus di bronkus dan gastrointestinal, sehingga efedrin juga sering
dimanfaatkan sebagai bronkodilator dan untuk mengurangi rasa mual muntah
akibat obat anestesi lainnya.
Medikasi anestesi pada pasien ini juga diberikan Atracurium besylate.
Atracurium adalah agen penghambat neuromuskular yang sangat selektif dan
kompetitif (tidak depolarisasi) dengan durasi kerja menengah. Obat-obat non-
depolarisasi bekerja dengan melawan aksi neurotransmitter dari asetilkolin dengan
cara mengikat reseptor pada motor-end-plate. Atracurium dapat digunakan dalam
berbagai prosedur bedah dan untuk memfasilitasi ventilasi yang terkontrol.
Atracurium adalah medikasi anestesi pada anestesi umum untuk mengawali
intubasi trakea yang harus dilakukan, untuk mengendurkan otot skeletal dan
ventilasi terkontrol selama operasi, dan untuk memfasilitasi ventilasi mekanis
pada pasien Intensive Care Unit (ICU).
Pada medikasi anestesi juga diberikan dexamethasone yang merupakan
kortikosteroid. Kortikostreoid merupakan anti-inflamasi yang bekerja dengan
mekanisme menghambat enzim fosfolipase A2 sehingga akan mencegah
pelepasan asam arakidonat yang memproduksi enzim cyclooxygenase (COX).

50
Enzim COX inilah yang bertanggung jawab atas pembentukan prostaglandin yang
merupakan mediator inflamasi dan nyeri.
Deksametason merupakan kortikosteroid dari golongan glukokortikoid yang
mempunyai efek anti-inflamasi yang adekuat. Pemberian deksametason akan
menekan pembentukan bradikinin dan juga pelepasan neuropeptida dari ujung-
ujung saraf, hal tersebut dapat menimbulkan rangsangan nyeri pada jaringan yang
mengalami proses inflamasi. Penekanan produksi prostaglandin oleh
deksametason akan menghasilkan efek analgesia melalui penghambatan sintesis
enzim cyclooksigenase di jaringan perifer tubuh. Deksametason juga menekan
mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin 1-β (IL-
1β), dan interleukin-6 (IL-6). Sehingga peranan deksametason di dalam
menghambat sintesis enzim siklooksigenasi 1 dan 2 akan menekan produksi
prostaglandin yang berfungsi sebagai mediator inflamasi dan nyeri sehingga
terbentuklah efek analgesia.
Terapi cairan perioperatif pada pasien ini adalah sebagai berikut :
 Kebutuhan cairan didapatkan 45 – 90 cc / jam
 Pasien puasa selama 8 jam sehingga kebutuhan rumatan pasien harus
dipenuhi sebelum operasi ialah :
 Kebutuhan cairan per jam x waktu puasa selama 8 jam adalah 360 – 720
cc/jam
 Selama pre operatif tidak terdapat perdarahan.
Kebutuhan cairan pengganti puasa yang sudah diberikan sebelum operasi adalah
ringer lactat 700 cc sejak pasien mulai berpuasa dan habis sesaat sebelum pasien
menjalani operasi. Kebutuhan cairan preoperatif suds terpenuhi.
 Selama operasi, kebutuhan cairan maintenance pada durante operasi selama 3
jam 40 menit adalah 165 - 330 cc
 Didapatkan perdarahan pada 20 buah kassa, sehingga perdarahan total ± 700
cc.
 Jadi, total kebutuhan cairan durante operasi ialah kebutuhan cairan
replacement dijumlahkan dengan kebutuhan cairan maintenance adalah 750 -
3880 cc

51
Pada saat operasi cairan yang masuk ialah Ringer Laktat 500 cc, Gelatofusal 500
cc, NaCl 500 cc, Whole Blood 350 cc, PRC 250 cc dengan total keseluruhan 2100
cc sehingga kebutuhan cairan sudah terpenuhi selama operasi berlangsung.
 Setelah operasi selesai dan pasien diobservasi di RR, kebutuhan cairan post
operatif pada pasien adalah 360 – 720 cc/jam, sehingga pasien diberi cairan
dengan kecepatan 15 – 30 tpm makro. Pada pasien diberikan cairan Ringer
Laktat dengan kecepatan 24 tpm makro.

Pasca operasi pasien di evaluasi di RR, untuk di nilai kesadaran pasien.


Bila keadaan pasien mulai membaik pasien dapat dikembalikan ke ruang
perawatan. Bila keadaan umum pasien mulai stabil, tidak ada keluhan mual
ataupun muntah, pasien dapat di anjurkan untuk minum sedikit sedikit dan pada
malam hari pasien dapat disarankan untuk makan.
Untuk penilaian kesadaran pasien post op dengan anestesi umum dapat
dinilai menggunakan Skor Aldrette:
Yang dinilai Nilai
Pergerakan
 Gerak bertujuan 2
 Gerak tak bertujuan 1
 Diam 0

Pernapasan
 Teratur, batuk, menangis 2
 Depresi 1
 Perlu dibantu 0

Warna
 Merah muda 2
 Pucat 1
 Sianosis 0

Tekanan Darah
 Berubah sekitar 20 % 2
 Berubah 20 %– 30 % 1
 Berubah lebuh dari 30% 0

52
Kesadaran
 Benar benar sadar 2
 Bereaksi 1
 Tidak bereaksi 0

40 menit setelah pasien dipindahkan ke RR, pasien mulai benar-benar sadar,


pernafasannya stabil dan teratur, penampakan tidak tampak pucat atau sianosis
dan pasien dapat menggerakkan badannya, maka pasien langsung dikembalikan
ke ruang perawatan.
Terapi post operasi pada pasien ini adalah Inj. Cefoperazon 2 x 1 gr (IV),
Inj. Metronidazole 2 x 500mg (IV), Inj. Mecobalamin 3 x 500 mg (IV), Inj.
Ketorolac 3 x 1 amp (IV), Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (IV). Bila sadar mulai latihan
minum sedikit-sedikit, kemudian mulai latihan makan.

53
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan:
 Pada kasus di atas dilakukan relaminektomi stabilisasi atas indikasi unstable
fraktur kompresi dengan general anestesi
 Klasifikasi status penderita digolongkan dalam P S ASA II. Pasien digolongkan
dalam PS ASA II karena disertai dengan anemia (Hb 9,2 gr/dl, RBC 3,38).
 Premedikasi diberikan adalah midazolam untuk sedasi dan pemberian fentanil
untuk analgesia.
 Agen anestesi inhalasi yang digunakan untuk rumatan anestesi adalah
Sevofluran.
 Deksametason yang merupakan golongan kortikosteroid selain memiliki
peranan ssebagai antiinflamasi, juga dapat memberikan efek analgesia
 Pasca operasi pasien distabilkan diruang pulih sadar. Penentuan kapan pasien
dapat dipindahkan ke ruang perawatan digunakan Skor Aldrette

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Moore K. Essential Clinical Anatomy. Second Edition. Baltimore: Williams


and Wilkins. 2002.
2. Rasjad C. Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar: Lamumpatue. 2003
3. Sjamsuhidajat, R. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat – De Jong. Ed. 3 –
Jakarta: EGC, 2010.
4. Young W. Spinal cord injury level and classification (serial online) 2000
(diakses 12 Oktober 2018); Diunduh dari: URL:
http://www.neurosurgery.ufl.edu/Patients/fracture.shtml
5. Moore, keith. Anatomi Beroientasi Klinis. Edisi ke-5. 2013. Jakarta: Erlangga.
6. Eidelson, Stewart. Laminotomy versus Laminectomy. Spine Universe, 2018.
Diakses pada tanggal 14 Oktober 2018,
https://www.spineuniverse.com/treatments/surgery/laminotomy-versus-
laminectomy
7. Bydon, Macki, Wolinsky, Gokasian. Clinical and surgical outcomes after
lumbar laminectomy: An analysis of 500 patients. Surgical Neurology
International, 2014. Surg Neurol Int. 2015; 6(Suppl 4): S190–S193. Diakses
pada 14 Oktober 2018,
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4431053/Latief, Said. A, eds.
8. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta : Bagian Anestesiologi
Dan Terapi Intensif FKUI; 2002. H.29-35
9. Mangku, Gde., Senapathi, Tjokorda. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Indeks Jakarta; 2010. H.41-49
10. Latief SA, Suryadi, KA, dan Dachlan, MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi ke dua. Jakarta: Bagian anestesiologi FK UI; 2002. h.
11. Murhadi. Pilihan cara anesthesia. Dalam: Murhadi, penyunting. Anestesiologi.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan terapi intensif FKUI; 2002.
12. Katzung, Betram G. Farmakologi Dasar & Klinik. Edisi ke-10. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta, 2010.

55

Anda mungkin juga menyukai