Anda di halaman 1dari 42

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE

LEARNING CYCLE - 7E TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP


MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 4 MENDOYO

OLEH:

Nama : Ni Luh Putu Mertasari Afsari


NIM : 1513011038
Semester : VI B
Jurusan : Pendidikan Matematika
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN MATEMATIKA


JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2018
A. Judul Penelitian
Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Learning Cycle – 7E Terhadap
Pemahaman Konsep Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 4 Mendoyo.

A. Identitas Peneliti
Nama : Ni Luh Putu Mertasari Afsari
NIM : 1513011038
Semester : VI B
Jurusan : Pendidikan Matematika
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

B. Latar Belakang
Pendidikan memegang peranan yang sangat penting bagi perkembangan
sumber daya manusia. Diperolehnya sumber daya manusia yang berkualitas
sangat bergantung pada kualitas pendidikan. Peran pendidikan sangat penting
untuk menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berahlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab sesuai amanat pasal 3
UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Pendidikan yang menjadi pondasi kuat
berkembangnya suatu negara adalah pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu,
sesuai dengan amanat yang tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional, maka pembaharuan atau perbaikan pelaksanaan
pendidikan wajib dan harus terus dikembangkan ke arah peningkatan mutu
pendidikan. Pendidikan dapat dimaknai sebagai proses mengubah tingkah laku
anak didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri dan
sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan alam sekitar dimana individu itu
berada. Pendidikan tidak hanya mencakup pengembangan intelektual saja, akan
tetapi lebih ditekankan pada proses pembinaan kepribadian anak didik secara
menyeluruh sehingga anak menjadi lebih dewasa (Syaiful Sagala, 2003:3).
Matematika sebagai suatu ilmu dasar telah diperkenalkan kepada siswa
sejak tingkat dasar sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Kegunaan matematika
bukan hanya memberikan kemampuan dalam perhitungan-perhitungan
kuantitatif, tetapi juga dalam penataan cara berpikir, terutama dalam

2
pembentukan kemampuan menganalisis, membuat sintesis, melakukan evaluasi
hingga kemampuan memecahkan masalah. Karena peranan matematika sangat
penting dalam kehidupan dan pengembangan pengetahuan, penguasaan
terhadap matematika dan pemahaman konsep matematika sangat diperlukan.
Konsep-konsep dalam matematika merupakan rangkaian yang disusun
berdasarkan konsep-konsep yang telah ada sebelumnya, dan menjadi dasar bagi
konsep-konsep selanjutnya. Jadi jika ada miskonsepsi, akan berakibat kepada
konsep-konsep selanjutnya.
Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan
tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun inplisit
(tersembunyi). Menurut Morgan (1978), belajar adalah setiap perubahan yang
relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan
atau pengalaman. Dalam belajar, terdapat tiga ranah yaitu: (1) kognitif yaitu
kemampuan dalam bidang pengetahuan, penalaran atau pikiran, terdiri dari
kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi;
(2) afektif yaitu kemampuan yang berkenaan dengan perasaan, emosi, dan
reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari kategori
penerimaan, partisipasi, penilaian/penentuan sikap, organisasi, dan pembentuka
pola hidup; dan (3) psikomotorik yaitu kemampuan dalam keterampilan jasmani
terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan
kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreatifitas.
Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan
oleh guru sebagai pendidik dan belajar yang dilakukan oleh peserta didik atau
murid. Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara
disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku
tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap
situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan (Corey
dalam Syaiful Sagala, 2003:61). Dalam melaksanakan proses pembelajaran
dapat dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, dan menantang,
sehingga memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses
pembelajaran (Departemen Pendidikan Nasional, 2007).

3
Menurut NCTM terdapat dua prinsip utama dalam pembelajaran
matematika di sekolah yaitu sangatlah penting belajar matematika dengan
pemahaman dan siswa dapat belajar matematika dengan memahami. Sementara
itu, menurut Depdiknas terdapat lima tujuan mempelajari mata pelajaran
matematika bagi peserta diidk. Salah satunya adalah agar peserta didik memiliki
kemampuan untuk memahami konsep matematika. Namun kenyataan
pemahaman konsep matematika siswa di Indonesia masih dikatakan rendah.
Hal ini dapat dilihat dari survey Trends in International mathematimatics and
Science Study atau TIMSS pada tahun 2015. TIMSS menyelenggarakan tes
yang salah satunya ditujukan untuk pelajar setingkat SMP yang telah dipilih
secara acak dari tiap negara. Berdasarkan hasil tes tersebut, perbandingan rerata
persentase jawaban benar siswa pada tahun 2015 di Indonesia dalam bidang
matematika untuk domain kognitif pada aspek mengetahui, mengaplikasikan
dan bernalar berturut-turut memperoleh nilai 32, 24 dan 20. Sedangkan rerata
internasional untuk domain kognitif pada aspek mengetahui, mengaplikasikan
dan bernalar berturut-turut adalah 56, 48, dan 44. Hal ini menunjukkan bahwa
pemahaman siswa di Indonesia terhadap konsep matematika yang dibelajarkan
masih rendah.
Agar siswa memiliki kemampuan pemahaman konsep matematika, guru
dituntut untuk mampu menggunakan model pemelajaran yang tepat dalam
pembelajaran matematika guna mencapai tujuan pembelajarn yang diinginkan.
Salah satu model yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman
konsep matematika siswa adalah model pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif dibagi lagi menjadi beberapa tipe, salah
satunya adalah model pembelajaran Kooperatif tipe Learning Cycle - 7E. Model
pembelajaran Kooperatif tipe Learning Cycle –7E adalah model pembelajaran
yang terdiri fase – fase atau tahap – tahap kegiatan yang diorganisasikan
sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi–kompetensi yang
harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif. Model
pembelajaran Kooperatif tipe Learning Cycle – 7E ini memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengkostruksi pengetahuan dan pengalaman mereka
sendiri dengan terlibat secara aktif mempelajari materi secara bermakna dengan

4
bekerja dan berfikir baik secara individu maupun kelompok, sehingga siswa
dapat menguasai kompetensi–kompetensi yang harus dicapai dalam
pembelajaran. mpetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan
berperan aktif. Model pembelajaran Kooperatif tipe Learning Cycle - 7E
merupakan salah satu model pembelajaran dengan pendekatan kontruktivistik
yang pada mulanya terdiri atas tiga tahap, yaitu: exploration, invention, dan
discovery. Tiga tahap tersebut saat ini dikembangkan menjadi lima tahap oleh
Anthony W lorsbach, yaitu: engagement, exploration, explanation, elaboration,
dan evaluation. Perkembangan model Learning Cycle yang paling baru sudah
memiliki tujuh fase sehingga sekarang dikenal dengan model pembelajaran 7E.
Perubahan yang terjadi pada tahapan 5E menjadi 7E terjadi pada fase Engage
menjadi dua yaitu Elicit dan Engage, sedangkan pada fase Elaborate dan
Evaluate menjadi tiga tahapan yaitu Elaborate, Evaluate, dan Extend.
Kelebihan Model pembelajaran Kooperatif tipe Learning Cycle – 7E adalah
memiliki tujuh siklus atau fase yaitu Elicit (Mendatangkan pengetahuan awal
siswa), Engage (Melibatkan), Explore (Menyelidiki), Explain (Menjelaskan),
Elaborate (Menerapkan), Evaluate (Menilai), Extend (Memperluas), dimana
aktivitas dalam siklus belajar bersifat fleksibel tetapi urutan fase belajarnya
bersifat tetap. Format belajar dalam siklus belajar dapat berubah tetapi urutan
setiap fase tersebut tidak dapat diubah atau dihapus. Sehingga siswa akan lebih
mudah dalam memahami materi yang diajarkan dengan adanya siklus yang
beraturan dalam pembelajaran. Beberapa penelitian juga telah membuktikan
bahwa Model pembelajaran Kooperatif tipe Learning Cycle - 7E efektif untuk
meningkatkan motivasi belajar dan prestasi belajar siswa, salah satunya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Laelasari, Toto Subroto, Nurul Ikhsan K. dengan
subjek penelitian adalah seluruh mahasiswa FKIP Unswagati Program Studi
Pendidikan ekonomi tingkat I tahun akademik 2013/2014. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa model siklus belajar 7E yang diterapkan
memberikan dampak tidak hanya pada prestasi matematika mahasiswa
melainkan juga pada ketetapan ilmu pengetahuan yang diperoleh karena model
ini menggunakan prinsip konstruktivis.

5
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti
berkesimpulan bahwa model pembelajaran Kooperatif tipe Learning Cycle -7E
dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika siswa. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk melakukan penlitian yang berjudul “Pengaruh Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Learning Cycle -7E Terhadap Pemahaman
Konsep Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 4 Mendoyo”

C. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat
dirumuskan suatu permasalahan yaitu, apakah ada pengaruh penggunaan model
pembelajaran Kooperatif Tipe Learning Cycle -7E terhadap pemahaman konsep
matematika siswa kelas VII SMP Negeri 4 Mendoyo.

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Kooperatif Tipe
Learning Cycle -7E terhadap pemahaman konsep matematika siswa SMP
Negeri 4 Mendoyo.

E. Manfaat Penelitian
Secara umum, ada dua manfaat penelitian baik secara teoritis dan praktis
yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah
F.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini mengkaji model pembelajaran yang sesuai untuk
meningkatkan pemahaman konsep matematika siswa dalam pembelajaran
matematika. Dengan demikian, penelitian ini dapat berkontribusi posotif
untuk memperkaya ranah pengetahuan di bidang pembelajaran yang
inovatif.
F.2 Manfaat Praktis
a. Bagi siswa
Diharapkan siswa dapat meningkatkan pemahaman konsep dalam
pembelajaran matematika.

6
b. Bagi Guru
Perangkat pembelajaran yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai
alternatif dalam pembelajaran bagi guru, khususnya guru mata pelajaran
matematika,
c. Bagi Sekolah
Sebagai acuan dalam merancang kurikulum, strategi pembelajaran,
pendekatan pembelajaran, dan model pembelajaran dalam rangka
meningkatkan kualitas mutu pendidikan di sekolah, khususnya di
lingkungan sekolah menengah pertama.
d. Bagi Peneliti
Sebagai acuan kepada pengembang dalam melaksanakan penelitian
yang sejienis mengenai pengaruh model pembelajaran kooperatif Tipe
Learning Cycle -7E.

F. Asumsi Dan Keterbatasan


G.1 Asumsi Penelitian
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemahaman
konsep matematika awal siswa diketahui dari hasil pre-tes mengenai
pemahaman konsep matematika siswa. Berikut dipaparkan secara lengkap
asumsi yang digunakan sebagai landasan berpikir adalah sebagai berikut.
1. Nilai Rapor yang digunakan sebagai pedoman dalam penyetaraan
kedua kelomok siswa diasumsikan mencerminkan kemampuan siswa
yang sesungguhnya.
2. Lingkungan, guru, siswa dan sebagainya di pandang berpengaruh
sama terhadap pemahaman konsep matematika siswa baik pada kelas
kontrol maupun kelas eksperimen.
G.2 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini terbatas pada variabel model pembelajaran Kooperatif
Tipe Learning Cycle -7E. Variabel-variabel di luar penelitian yang
mungkin berpengaruh terhadap hasil penelitian tidak dituliskan karena di
luar jangkauan penelitian ini.

7
G. Penjelasan Istilah
Untuk mengatasi penafsiran yang berbeda terhadap beberapa istilah yang
digunakan maka dipandang perlu menjelaskan beberapa istilah berikut ini.
H.1 Model pembelajaran Kooperatif Tipe Learning Cycle – 7E
Model pembelajaran bersiklus pertama kali diperkenalkan oleh Robert
karplus dalam science curriculum improvement study/SCIS (Throwbridge
& Bybee 1996). Learning Cycle atau siklus belajar adalah suatu model
pembelajaran yang berpusat pada siswa yang merupakan rangkaian tahap-
tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa
dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam
pembelajaran dengan berperan aktif. Menurut Renner pembeajaran
bersiklus atau Learning Cycle adalah suatu model pembelajaran yang
berpusat pada siswa (student centered). Ciri khas model pembelajaran
Learning Cycle ini adalah setiap siswa secara individual belajar materi
pembelajaran yang sudah dipersiapkan guru yang kemudian hasil belajar
individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan oleh
anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas
keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama. Siklus belajar
merupakan suatu pengorganisasian yang memberikan kemudahan untuk
penguasaan konsep-konsep baru dan untuk menata ulang pengetahuan
siswa. model pembelajaran siklus belajar/ Learning Cycle dapat
meningkatkan sikap ilmiah siswa karena model pembelajaran ini
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkontruksi pengetahuan
yang dimiliki serta mengaitkan konsep-konsep yang sudah dipahami
dengan konsep-konsep yang akan dipelajari sehingga pembelajaran
menjadi lebih bermakna. Model pembelajaran Learning Cycle merupakan
salah satu model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis yang
pada mulanya terdiri atas tiga tahap, yaitu: eksplorasi (exploration),
menjelaskan (explanation), dan memperluas (elaboration/extention), yang
dikenal dengan Learning Cycle-3E. Pada proses selanjutnya, tiga tahap
siklus tersebut mengalami perkembangan menjadi lima tahap, yaitu:

8
pembangkitan minat/mengajak (engagement), eksplorasi/menyelidiki
(exploration), menjelaskan (explanation), memperluas
(elaboration/extention), dan evaluasi (evaluation), sehingga dikenal
dengan Learning Cycle - 5E. Perkembangan model Learning Cycle yang
paling baru sudah memiliki tujuh fase sehingga sekarang dikenal dengan
model pembelajaran 7E. Perubahan yang terjadi pada tahapan 5E menjadi
7E terjadi pada fase Engage menjadi dua yaitu Elicit dan Engage,
sedangkan pada fase Elaborate dan Evaluate menjadi tiga tahapan yaitu
Elaborate, Evaluate, dan Extend.
H.2 Model Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa
dilakukan guru dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Pada
pembelajaran konvensional, proses belajar mengajar lebih sering
diarahkan pada “aliran informasi” atau “transfer” pengetahuan dari guru
ke siswa. Model pembelajaran yang digunakan untuk membelajarkan
matematika di SMP Negeri 4 mendoyo khususnya kelas 7 adalah model
pembelajaran kooperatif. Fokus pembelajaran kooperatif tidak saja
tertumpu pada apa yang dilakukan peserta didik tetapi juga pada apa yang
dipikirkan peserta didik selama aktivitas belajar berlangsung. Informasi
yang ada pada kurikulum tidak ditransfer begitu saja oleh guru kepada
peserta didik, tetapi peserta didik difasilitasi dan dimotivasi untuk
berinteraksi dengan peserta didik lain dalam kelompok, dengan guru dan
dengan bahan ajar secara optimal agar ia mampu mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Dalam model pembelajaran kooperatif, guru
berperan sebagai fasilitator, penyedia sumber belajar bagi peserta didik,
pembimbing peserta didik dalam belajar kelompok, pemberi motivasi
peserta didik dalam memecahkan masalah, dan sebagai pelatih peserta
didik agar memiliki ketrampilan kooperatif.
Langkah-langkah pembelajaran cooperative learning dapat dituliskan
dalam table sebagai berikut:

9
Langkah Indikator Tingkah Laku
Langkah 1 Menyampaikan tujuan Guru menyampaikan
dan memotivasi siswa. tujuan pembelajaran dan
mengkomunikasikan
kompetensi dasar yang
akan dicapai serta
memotivasi siswa.
Langkah 2 Menyajikan informasi Guru menyajikan
informasi kepada siswa
Langkah 3 Mengorganisasikan Guru menginformasikan
siswa ke dalam pengelompokan siswa
kelompok-kelompok
belajar
Langkah 4 Membimbing Guru memotivasi serta
kelompok belajar memfasilitasi kerja siswa
dalam kelompokkelompok
belajar
Langkah 5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil
belajar tentang materi
pembelajaran yang telah
dilaksanakan
Langkah 6 Memberikan Guru memberi
penghargaan penghargaan hasil belajar
individual dan kelompok.

H.3 Pemahaman Konsep Matematika


Pemahaman konsep matematika dalam penelitian ini adalah
pemahaman relasional, yaitu siswa mampu menggunakan konsep yang
telah dipelajari untuk memecahkan masalah-masalah yang diberikan
dengan jalan mengerti konsep yang telah dipelajari. Dalam penelitian ini,
pemahaman konsep matematika siswa akan diukur melalui tes

10
pemahaman konsep matematika yang dilaksanakan pada akhir setiap
siklus penelitian.

H. Kajian Pustaka
I.1 Hakikat Matematika
Hakikat matematika artinya menguraikan apa sebenarnya matematika
itu, baik ditinjau dari arti kata matematika, karakteristik matematika
sebagai suatu ilmu, maupun peran dan kedudukan matematika diantara
cabang ilmu pengetahuan serta manfaatnya.
Kata matematika berasal dari perkataan latin matematika yang
mulanya diambil dari perkataan yunani mathematike yang berarti
mempelajari. Perkataan itu mempunyai asal kata dari mathema yang
berarti pengetahuan dan ilmu atau knowledge, science. Kata mathematike
berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein
atau mathenein yang artinya belajar atau berpikir.
Jadi, berdasarkan asal katanya, maka perkataan matematika berarti
ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir atau bernalar. Matematika
lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio atau penalaran, bukan
menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi matematika
terbentuk karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan idea,
proses, dan penalaran. Matematika terbentuk dari pengalaman manusia
dalam dunianya secara empiris. Kemudian pengalaman itu diproses di
dalam dunia rasio, diolah secara analisis dengan penalaran di dalam
struktur kognitif sehingga sampai terbentuk konsep-konsep matematika
supaya konsep-konsep matematika yang terbentuk itu mudah dipahami
oleh orang lain dan dapat dimanipulasi secara tepat, maka digunakan
bahasa matematika atau notasi matematika yang bernilai global
(universal). Konsep matematika didapat karena proses berpikir, karena itu
logika adalah dasar terbentuknya matematika. Istilah Matematika berasal
dari bahasa Yunani, mathein dan mathenem yang berarti mempelajari.
Kata matematika diduga erat hubungannya dengan kata sansekerta, medha
atau widya yang artinya kepandaian, ketahuan atau intelegensi.

11
Pendefinisian matematika sampai saat ini belum ada kesepakatan yang
bulat, namun demikian dapat dikenal melalui karakteristiknya. Sedangkan
karakteristik matematika dapat dipahami melalui hakekat matematika.
Hudoyo mengemukakan bahwa hakikat matematika berkenan dengan
ide-ide, struktur- struktur dan hubungan-hubungannya yang diatur
menurut urutan yang logis. Jadi matematika berkenaan dengan konsep-
konsep yang abstrak. Selanjutnya dikemukakan bahwa apabila
matematika dipandang sebagai struktur dari hubungan-hubungan maka
simbol- simbol formal diperlukan untuk membantu memanipulasi aturan-
aturan yang beroperasi di dalam struktur-struktur. Sedang Soedjadi
berpendapat bahwa simbol-simbol di dalam matematika umumnya masih
kosong dari arti sehingga dapat diberi arti sesuai dengan lingkup
semestanya.
Berdasarkan uraian di atas, agar simbol itu berarti maka kita harus
memahami ide yang terkandung di dalam simbol tersebut. Karena itu, hal
terpenting adalah bahwa ide harus dipahami sebelum ide itu sendiri
disimbolkan. Misalnya simbol (x, y) merupakan pasangan simbol “x” dan
“y” yang masih kosong dari arti. Apabila konsep tersebut dipakai dalam
geometri analitik bidang, dapat diartikan sebagai kordinat titik, contohnya
A(1,2), B(6,9), titik A (1,2) titik A terletak pada perpotongan garis x = 1
dan y = 2 titik B( 6, 9) artinya titik B terletak pada perpotongan garis x =
6 dan y = 9. Hubungan–hubungan dengan simbol-simbol dan kemudian
mengaplikasikan konsep-konsep yang dihasilkan ke situasi yang nyata.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matematika merupakan ilmu
pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan
yang ada didalamnya. Ini berarti bahwa belajar matematika pada
hakekatnya adalah belajar konsep, struktur konsep dan mencari hubungan
antar konsep dan strukturnya. Ciri khas matematika yang deduktif
aksiomatis ini harus diketahui oleh guru sehingga mereka dapat
membelajarkan matematika dengan tepat, mulai dari konsep-konsep
sederhana sampai yang kompleks.

12
I.2 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Siklus Belajar (Learning Cycle)–7E
dalam Kaitannya dengan Proses Pembelajaran di Kelas

Learning Cycle merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan yang


diorganisir sedemikian rupa sehingga peserta belajar dapat menguasai
sejumlah kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran melalui
peran aktivitas siswa. Learning Cycle pada mulanya terdiri atas fase-fase
eksplorasi, pengenalan konsep dan aplikasi konsep (Dorlince,2008).
Dari pendapat yang dikemukakan oleh Karplus ini dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran Learning Cycle berpusat pada siswa sehingga
siswa secara aktif menemukan konsep sendiri.
Model pembelajaran Learning Cycle pertama kali berkembang pada
akhir 1950an dan awal 1960an pada zaman reformasi kurikulum oleh
Atkin dan Karplus. Kemudian pada tahun 1967 Karplus dan Thier
mengemukakan bahwa tiga fase dari model pembelajaran Learning
Cycle terdiri atas preliminary exploration, invention, dan discovery. Pada
awalnya model Learning Cycle ini baru digunakan di program sains
sekolah dasar yaitu Science Curriculum Improvement Study (SCIS).
Namun kemudian berkembang bahkan sampai ke universitas (Bybee
et.al, 2006: 6-7).

Gambar 1. Fase Learning Cycle – 3E

Model pembelajaran Learning Cycle tidak berhenti dengan hanya


tiga siklus. Pada pertengahan 1980an Biological Science Curriculum
Study (BSCS) mengambangkan model Learning Cycle menjadi lima fase
yaitu terdiri dari fase engage, explore, explain, elaborate dan evaluate.
Perkembangan ini dilakukan dengan menambahkan fase engage di awal
pembelajaran yang bertujuan untuk menggali pengetahuan awal siswa

13
dan fase evaluate ditambahkan di akhir pembelajaran yang bertujuan
untuk menilai pemahaman siswa, sedangkan fase pemahaman konsep
dan aplikasi konsep diganti dengan istilah baru yaitu explain dan
elaborate (Bybee et.al., 2006: 8).

Gambar 2. Perubahan Fase Learning Cycle – 3E ke Learning Cycle – 5E

Perkembangan model Learning Cycle yang paling baru sudah


memiliki tujuh fase sehingga sekarang dikenal dengan model
pembelajaran 7E. Perubahan yang terjadi pada tahapan 5E menjadi 7E
terjadi pada fase Engage menjadi dua yaitu Elicit dan Engage, sedangkan
pada fase Elaborate dan Evaluate menjadi tiga tahapan yaitu Elaborate,
Evaluate, dan Extend. Perubahan tahapan learning
Cycle dari 5E menjadi 7E ditunjukkan pada Gambar berikut ini:

Gambar 3. Perubahan Fase Learning Cycle – 5E ke Learning Cycle – 7E

Eisenkraft (2003) menjelaskan kegiatan setiap tahapan Learning


Cycle 7E sebagai Elicit, Engage, Explore, Explain, Elaborate, Evaluate,
dan Extend.
1. Elicit (Mendatangkan pengetahuan awal siswa)

14
Pada fase ini, guru berusaha menimbulkan pemahaman awal siswa.
Penelitian di bidang kognitif sains menujukan bahwa pemahaman
awal merupakan komponen yang penting dalam proses pembelajaran.
Penelitian ini juga menunjukan bahwa siswa lebih mahir menerapkan
konsep dibanding siswa lain, (Bransford et.al. dalam Eisenkraft, 2003:
57). Fase ini dapat dilakukan dengan cara guru memberi pertanyaan pada
siswa mengenai suatu fenomena dalam kehidupan sehari-hari yang
terkait dengan materi yang akan dipelajari. Namun pada fase ini, guru
tidak memberitahukan jawaban yang benar dari pertanyaan yang telah
diajukan. Pada fase ini guru hanya memancing rasa ingin tahu siswa
sehingga siswa akan lebih termotivasi untuk belajar agar dapat
mengetahui jawaban sebenarnya dari pertanyaan tersebut.
2. Engage (Melibatkan)
Fase ini digunakan untuk memusatkan perhatian siswa, merangsang
kemampuan berfikir siswa serta membangkitkan minat dan motivasi
siswa terhadap konsep yang akan diajarkan. Pada fase ini siswa
dilibatkan dalam kegiatan demonstrasi, diskusi, eksperimen atau kegiatan
lain. Pada fase ini siswa diajarkan untuk berhipotesis yaitu menyusun
jawaban sementara dari masalah yang akan mereka diskusikan atau
praktikan. Selain itu, menonton beberapa video juga memiliki potensi
tinggi untuk memotivasi siswa (Huang, 2009: 3).
3. Explore (Menyelidiki)
Pada fase ini siswa memperoleh pengetahuan dengan
pengalaman langsung yang berhubungan dengan konsep yang dipelajari.
Siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama secara mandiri dalam
kelompok-kelompok kecil. Pada fase ini siswa diberi kesempatan untuk
mengamati data, merekam data, mengisolasi variabel, merancang dan
merencanakan eksperimen, membuat grafik, menafsirkan hasil,
mengembangkan hipotesis serta mengatur temuan mereka. Guru
merangkai pertanyaan, memberi masukan, dan menilai pemahaman
siswa.
4. Explain (Menjelaskan)

15
Pada fase ini siswa diperkenalkan pada konsep, hukum dan teori baru.
Siswa menyimpulkan dan mengemukakan hasil dari temuannya pada fase
explore. Guru mengenalkan siswa pada beberapa kosa kata ilmiah, dan
memberikan pertanyaan untuk merangsang siswa agar menggunakan
istilah ilmiah untuk menjelaskan hasil eksplorasi.
5. Elaborate (Menerapkan)
Pada fase ini siswa diberi kesempatan untuk menerapkan
pengetahuannya pada situasi baru. Pada fase ini, guru memberikan
permasalahan yang terkait dengan materi yang telah diajarkan untuk
dipecahkan oleh siswa.
6. Evaluate (Menilai)
Fase evaluasi model Learning Cycle - 7E terdiri dari evaluasi formatif
dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif tidak boleh dibatasi pada siklus-
siklus tertentu saja, sebaiknya guru selalu menilai semua kegiatan siswa.
Apabila dalam pembelajaran dilakukan praktikum maka pengujian harus
termasuk pertanyaan yang berkaitan dengan kegiatan praktikum. Selain
itu, guru juga mendapatkan umpan balik dari hasil siswa dan dapat
memodifikasi strategi pengajaran mereka untuk kursus berikutnya
(Huang, 2009: 3).
7. Extend (Memperluas)
Pada fase extend guru membimbing siswa untuk menerapkan
pengetahuan yang telah didapat pada konteks baru. Fase ini dapat
dilakukan dengan cara mengaitkan materi yang telah dipelajari dengan
materi selanjutnya.
Ketujuh tahapan di atas adalah hal-hal yang harus dilakukan guru dan
siswa untuk menerapkan Learning Cycle - 7E pada pembelajaran di
kelas. Guru dan siswa mempunyai peran masing-masing dalam setiap
kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan tahapan
dari Learning Cycle. Arah pembelajaran serta aktivitas guru dan siswa
yang dianjurkan oleh National Science Teachers Association (NSTA)
dalam setiap tahap dalam Learning Cycle - 7E dapat dilihat pada Tabel
dibawah:

16
17
Tabel 1. Arah pembelajaran serta aktivitas guru dan siswa yang dianjurkan oleh
NSTA dalam setiap tahap dalam Learning Cycle - 7E

18
Kelebihan dari model Learning Cycle - 7E menurut Lorsbach, sebagaimana
dikutip oleh Hardiansyah (2010: 24) antara lain:

1. Merangsang siswa untuk mengingat materi pelajaran yang telah


mereka dapatkan sebelumnya.
2. Memberikan motivasi kepada siswa untuk menjadi lebih aktif dan
menambah rasa keingintahuan siswa.
3. Melatih siswa belajar melakukan konsep melalui kegiatan
eksperimen.
4. Melatih siswa untuk menyampaikan secara lisan konsep yang telah
mereka pelajari.
5. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir, mencari,
menemukan, dan menjelaskan contoh penerapan konsep yang telah
dipelajari.
6. Guru dan siswa menjalankan tahapan-tahapan pembelajaran yang
saling mengisi satu sama lainnya.
7. Guru dapat menerapkan model ini dengan metode yang berbeda-
beda.
Kelemahan model Learning Cycle - 7E menurut Fajaroh (2008) adalah:
1. Efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang mengusai materi
dan langkah-langkah pembelajaran.
2. Menuntut kesunggahan dan kreativitas guru dalam merancang
dan melaksanakan proses pembelajaran.
3. Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun
rencana dan melaksanakan pembelajaran.

I.3 Model Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa


dilakukan guru dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Pada
pembelajaran konvensional, proses belajar mengajar lebih sering
diarahkan pada “aliran informasi” atau “transfer” pengetahuan dari guru
ke siswa. Konsep yang diterima siswa hampir semuanya berasal dari “apa

19
kata guru”. Siswa terlatih seperti “burung beo” yang hanya pintar meniru
tapi sulit sekali menciptakan sendiri. Dalam pembelajaran konvensional
siswa terlatih berpikir konvergen (mencari satu jawaban benar) dan
kurang sekali dibina berpikir divergen (mencari berbagai alternatif
jawaban terhadap satu soal). Dominasi soal pilihan ganda dalam ulangan
harian, ulangan umum atau UN yang selama ini diterapkan di sekolah
memperkuat cara (gaya) berpikir konvergen siswa. Siswa hanya diarahkan
untuk menjawab “benar” untuk setiap jawaban benar.
Guru menganggap belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau
menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi
pelajaran. Proses pembelajaran cenderung hanya mengantarkan siswa
untuk mencapai tujuan untuk mengejar target kurikulum, sehingga proses
pembelajaran di kelas memiliki ciri-ciri 1) guru aktif, tetapi siswa pasif,
2) pembelajaran berpusat pada guru (teacher oriented), 3) transfer
pengetahuan dari guru pada siswa dan 4) pembelajaran bersifat
mekanistik.
Akibat dari pembelajaran tersebut siswa menjadi terbiasa menerima
apa saja yang diberikan oleh guru tanpa mau berusaha menemukan sendiri
konsep-konsep yang sedang dipelajari. Guru akan merasa bangga ketika
anak didiknya mampu menyebutkan kemabali secara lisan (verbal)
sebagaian besar informasi yang terdapat dalam buku teks atau yang
diberikan oleh guru. Penekanan pembelajaran adalah diperolehnya
kemampuan mengingat (memorizing) dan bukan kemampuan memahami
(understanding).
Pembelajaran yang dilakukan oleh guru masih berpegang pada teori
tingkah laku (behavioristik). Teori ini didasari asumsi bahwa peserta didik
(siswa) adalah manusia pasif yang tugasnya hanya mendengarkan,
mencatat dan menghafal, serta hanya melakukan respon terhadap stimulus
yang datang dari luar (stimulus-response). Siswa akan belajar apabila
dilakukan pembelajaran oleh guru secara sengaja, teratur dan
berkelanjutan. Tanpa upaya pembelajaran yang disengaja dan
berkelanjutan maka siswa tidak mungkin melakukan kegiatan belajar

20
(Sudjana, 2005). Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang muncul
sebagai respon individu terhadap stimulus yang datang dari luar
(lingkungan). Siswa di dalam belajar supaya disongsong dan dipersiapkan
untuk dapat menerima bentukan dari luar. Semua siswa dianggap individu
yang sama, sehingga bila siswa diberikan stimulus maka respon yang
diberikan akan sama.
Dalam pembelajaran konvensional, pola pembelajaran atau urutan
sajian materi khususnya dalam pembelajaran matematika adalah (1)
pembelajaran diawali penjelasan singkat materi oleh guru, siswa diajarkan
teori, defenisi, teorema yang harus dihafal, (2) pemberian contoh soal dan
(3) diakhiri dengan latihan soal. Dalam fase latihan soal, siswa diberi
kesempatan untuk melakukan pelatihan dan pemberian umpan balik
terhadap keberhasilan siswa. Pada fase ini pula, guru jarang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan dan
keterampilannya yang dipelajarinya ke dalam situasi kehidupan nyata.
Dalam pembelajaran konvensional metode ceramah merupakan pilihan
utama sebagai metode pembelajaran.
Dengan pola pembelajaran seperti di atas, guru akan mengontrol
secara penuh materi pelajaran serta metode penyampaiannya. Akibatnya,
proses pembelajaran di kelas menjadi proses mengikuti langkah-langkah,
aturan-aturan serta contoh-contoh yang diberikan oleh guru. Di bidang
penilaian, seorang siswa dinilai telah menguasai materi pelajaran jika
mampu mengingat dan mengaplikasikan langkah-langkah, aturan-aturan
serta contoh-contoh yang telah diberikan oleh gurunya.
Berdasarkan hasil observasi proses belajar mengajar di SMP Negeri 4
Mendoyo, peneliti menyusun sintaks pembelajaran konvensional seperti
disajikan pada tabel berikut ini.

Aktivitas Guru Aktivitas Siswa


Menyampaikan pokok Mendengarkan informasi yang
bahasan atau materi yang akan disampaikan dan menerima
diberikan materi baru

21
Mendemontrasikan Memperhatikan penjelasan guru
ketrampilan atau menyajikan
materi tahap demi taha
Memberikan contoh soal yang Mencatat contoh soal
relevan dengan materi yang
diberikan

Menyuruh siswa Menyelesaikan soal-soal yang


menyelesaikan soal-soal yang ada dalam LKS
ada dalam LKS

Memberikan pekerjaan rumah Mencatat pekerjaan rumah (PR)


(PR)
Tabel 2. Sintaks Pembelajaran Konvensional

Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan


pembelajaran konvensional dalam penelitian ini adalah suatu konsep
belajar yang digunakan guru dalam membahas suatu pokok bahasan yang
telah biasa digunakan dalam pembelajaran matematika serta lebih
diarahkan pada “aliran informasi” atau “transfer” pengetahuan dari guru
ke siswa. Langkah-langkah pembelajaran diawali dengan penjelasan
singkat materi oleh guru, siswa diajarkan teori, defenisi, teorema yang
harus dihafal, pemberian contoh soal dan diakhiri dengan latihan soal.
I.2 Pemahaman Konsep Matematika
Salah satu aspek yang terkandung dalam akan sangat sulit bagi siswa
untuk menuju ke proses pembelajaran yang lebih tinggi jika belum
memahami konsep. Oleh karena itu, kemampuan pemahaman konsep
matematis adalah salah satu tujuan penting dalam pembelajaran
matematika. Sebagai fasilitator di dalam pembelajaran, guru semestinya
memiliki pandangan bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa
bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu, yaitu memahami

22
konsep yang diberikan. Dengan memahami, siswa dapat lebih mengerti
akan konsep materi pembelajaran matematika adalah konsep dasar.
Kemampuan pemahaman konsep matematika merupakan kemampuan
pertama yang diharapkan dapat tercapai dalam tujuan pembelajaran
matematika. Hal ini sesuai dengan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi bagian tujuan mata pelajaran matematika, kompetensi
matematika intinya terdiri dari kemampuan dalam: (1) pemahaman
konsep matematis, (2) menggunakan penalaran, (3) memecahkan
masalah, (4) mengomunikasikan gagasan, dan (5) memiliki sifat
menghargai kegunaan matematika.
Pada setiap pembelajaran diusahakan lebih ditekankan pada
penguasaan konsep agar siswa memiliki bekal dasar yang baik untuk
mencapai kemampuan dasar yang lain seperti penalaran, komunikasi,
koneksi dan pemecahan masalah.
Penguasan konsep merupakan tingkatan hasil belajar siswa sehingga
dapat mendefinisikan atau menjelaskan sebagian atau mendefinisikan
bahan pelajaran dengan menggunakan visualisasi kalimat sendiri. Dengan
kemampuan siswa menjelaskan atau mendefinisikan, maka siswa tersebut
telah memahami konsep atau prinsip dari suatu pelajaran meskipun
penjelasan yang diberikan mempunyai susunan kalimat yang tidak sama
dengan konsep yang diberikan tetapi maksudnya sama.
Menurut Sanjaya (2009) mengatakan apa yang di maksud
pemahaman konsep adalah kemampuan siswa yang berupa penguasaan
sejumlah materi pelajaran, dimana siswa tidak sekedar mengetahui atau
mengingat sejumlah konsep yang dipelajari, tetapi mampu mengungkapan
kembali dalam bentuk lain yang mudah dimengerti, memberikan
interprestasi data dan mampu mengaplikasikan konsep yang sesuai
dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Jadi dapat disimpulkan definisi pemahaman konsep adalah
Kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengemukakan kembali ilmu
yang diperolehnya baik dalam bentuk ucapan maupun tulisan kepada

23
orang sehingga orang lain tersebut benar-benar mengerti apa yang
disampaikan.
Mengingat pentingnya pemahaman konsep tersebut, Menurut Hiebert
dan Carpenter (dalam Dafril: 2011). Pengajaran yang menekankan
kepada pemahaman mempunyai sedikitnya lima keuntungan, yaitu:
1. Pemahaman memberikan generative artinya bila seorang telah
memahami suatu konsep, maka pengetahuan itu akan mengakibatkan
pemahaman yang lain karena adanya jalinan antar pengetahuan yang
dimiliki siswa sehingga setiap pengetahuan baru melaui keterkaitan
dengan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
2. Pemahaman memacu ingatan artinya suatu pengetahuan yang telah
dipahami dengan baik akan diatur dan dihubungkan secara efektif
dengan pengetahuan-pengetahuan yang lain melalui pengorganisasian
skema atau pengetahuan secara lebih efisien di dalam struktur kognitif
berfikir sehingga pengetahuan itu lebih mudah diingat.
3. Pemahaman mengurangi banyaknya hal yang harus diingat artinya
jalinan yang terbentuk antara pengetahuan yang satu dengan yang lain
dalam struktur kognitif siswa yang mempelajarinya dengan penuh
pemahaman merupakan jalinan yang sangat baik.
4. Pemahaman meningkatkan transfer belajar artinya pemahaman suatu
konsep matematika akan diperoleh siswa yang aktif menemukan
keserupaan dari berbagai konsep tersebut. Hal ini akan membantu
siswa untuk menganalisis apakah suatu konsep tertentu dapat
diterapkan untuk suatu kondisi tertentu.
5. Pemahaman mempengaruhi keyakinan siswa artinya siswa yang
memahami matematika dengan baik akan mempunyai keyakinan yang
positif yang selanjutnya akan membantu perkembangan pengetahuan
matematikanya.
Menurut Sanjaya (2009) indikator yang termuat dalam pemahaman
konsep diantaranya:
1. Mampu menerangka secara verbal mengenai apa yang telah
dicapainya.

24
2. Mampu menyajikan situasi matematika kedalam berbagai cara serta
mengetahui perbedaan,
3. Mampu mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi atau
tidaknya persyaratan yang membentuk konsep tersebut.
4. Mampu menerapkan hubungan antara konsep dan prosedur,
5. Mampu memberikan contoh dan contoh kontra dari konsep yang
dipelajari.
6. Mampu menerapkan konsep secara algoritma.
7. Mampu mengembangkan konsep yang telah dipelajari.
Pendapat diatas sejalan dengan Peraturan Dirjen Dikdasmen Nomor
506/C/Kep/PP/2004 tanggal 11 November 2001 tentang rapor pernah
diuraikan bahwa indikator siswa memahami konsep matematika adalah
mampu :
1. Menyatakan ulang sebuah konsep,
2. Mengklasifikasi objek menurut tertentu sesuai dengan konsepnya,
3. Memberikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep,
4. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis,
5. Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep,
6. Menggunakan dan memanfaatkan serta memilih prosedur atau
operasi tertentu,
7. Mengaplikasikan konsep atau algoritma dalam pemecahan masalah.
I.3 Penelitian yang Relevan
- Penelitian yang dilakukan oleh Laelasari, Toto Subroto, Nurul Ikhsan
K yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 7e
Dalam Kemampuan Representasi Matematis Mahasiswa”
menyimpulkan bahwa a). Berdasarkan hasil analisis terdapat perbedaan
rata-rata kemampuan representasi matematis antara mahasiswa yang
pembelajarannya dengan menggunakan Learning Cycle 7E dengan
pembelajaran secara konvensional. b). Berdasarkan hasil analisis
terdapat peningkatan kemampuan representasi matematis yang
signifikan pada mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan
Learning Cycle 7E.

25
- Penelitian yang dilakukaan oleh Yeti Sumiyati, Atep Sujana, dan
Dadan Djuanda yang berjudul “Penerapan Model Learning Cycle 7e
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Proses Daur
Air” Berdasarkan hasil penelitian tindakan dan pembahasan yang telah
dipaparkan mengenai penerapan model Learning Cycle 7E untuk
meningkatkan hasil belajar siswa kelas V A SDN Panyingkiran II
Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang pada materi proses
daur air, dapat ditarik simpulan bahwa pembelajaran dengan
menerapkan model Learning Cycle 7E dapat meningkatkan kinerja
guru pada tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, aktivitas siswa, dan
hasil belajar siswa.
- Penelitian yang dilakukan oleh Kasmadi1, Abdul Gani Haji, dan
Yusrizal yang berjudul “Model Pembelajaran Learning Cycle 7e
Berbantu Ict Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Dan
Ketrampilan Berpikir Kritis Siswa Pada Materi Larutan Penyangga”
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran Learning Cycle 7E berbantu ICT dapat
meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan penguasaan konsep
larutan penyangga siswa SMAN 1 Glumpang Baro. Nilai penguasaan
konsep adalah 21,25 meningkat menjadi 61,88 setelah pembelajaran.
Peningkatan padakategori sedang (N-gain = 52,55), sedangkan nilai
kemampuan berpikir kritis adalah 21,25 meningkat menjadi 76,25
setelah pembelajaran. Peningkatan pada kategori sedang (N-gain =
67,44).
- Penelitian yang dilakukan oleh Partini, Budijanto dan Syamsul Bach,
yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 7e
Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa” Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran
Learning Cycle 7E dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis
siswa kelas X SMA Muhammadiyah 1 Kota Madiun pada kompetensi
dasar menganalisis hidrosfer dan dampaknya bagi kehidupan di muka
bumi. Pada saat penerapan model pembelajaran Learning Cycle 7E

26
guru perlu memerhatikan pengelolaan kelas yang baik terutama saat
berdiskusi untuk lebih intensif dalam memberi motivasi siswa yang
kurang peduli sehingga pelaksanaan kegiatan pembelajaran dapat
berlangsung sesuai dengan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif,
dan menyenangkan.
- Penelitian yang dilakukan oleh Ina Nur Adilah dan Rini Budiharti yang
berjudul “Model Learning Cycle 7E Dalam Pembelajaran IPA
Terpadu” yang menyimpulkan bahwa model ini merupakan model
pembelajaran yang berbasis konstruktivisme yang terdiri dari tujuh fase
berupa Elicit, Engage, Explore, Explain, Elaborate, Evaluate, dan
Extend yang terorganisasi dan berpusat pada siswa sehingga siswa
secara aktif menemukan konsep sendiri. Model ini cocok apabila
diterapkan dalam pembelajaran IPA karena memiliki korespondensi
dengan hakikat IPA yang meliputi empat unsur yakni sikap, proses,
produk, dan aplikasi. Model ini dapat menumbuhkan keterlibatan siswa
dalam pembelajaran secara aktif.
- Penelitian yang dilakukan oleh Zulfani Aziz yang berjudul
“Penggunaan Model Pembelajaran Learning Cycle - 7e Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Smp Pada Pokok Bahasan Usaha
Dan Energ” yang menyimpulkan bahwa bahwa penggunaan model
Learning Cycle - 7E dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII
A SMP Negeri 9 Semarang pada pokok bahasan Usaha dan Energi
secara signifikan meskipun masih rendah. Dalam pelaksanaannya
model Learning Cycle 7E diimplementasikan dengan pemberian
penghargaan pada siswa yang aktif, pada siswa yang mendapatkan nilai
tertinggi saat ulangan, serta pada kelompok dengan hasil praktikum dan
diskusi terbaik.
Dari beberapa penelitian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
adanya pengaruh penggunaan Model PembelajaranKooperatif tipe
Learning Cycle - 7e. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti ingin
meneliti hasil dari pengaruh model pembelajaran Kooperatif tipe

27
Learning Cycle - 7e terhadap pemahaman konsep matematika siswa kelas
VII SMP Negeri 4 Mendoyo.
I.4 Kerangka Berpikir
Berdasarkan hasil observasi awal yang telah dilakukan di kelas VII
SMP Negeri 4 Mendoyo terdapat beberapa permasalahan terkait dengan
proses pembelajaran mata pelajaran Matematika yang berlangsung dalam
suatu proses pembelajaran di kelas, diantaranya 1) guru dalam kegiatan
pembelajaran lebih banyak menggunakan metode caramah sehingga
menyebabkan sebagian siswa pasif dan minim kontribusi dalam kegiatan
pembelajaran, 2) belum maksimalnya pembelajarn yang menekankan
siswa untuk menyampaikan ide tau argumentasi secara lisan, 3)
pemahaman konsep matematika siswa belum maksimal dilihat dari
rendahnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika
yang berupa soal yang lebih menekankan pada pemahaman dan
penguasaan konsep suatu pokok bahasan tertentu.
Salah satu uraian di atas menyatakan bahwa guru terkadang lebih suka
menggunakan metode caramah sehingga menyebabkan siswa pasif dalam
kegiatan pembelajaran serta belum maksimalnya pembelajaran yang
menekankan siswa untuk dapat menyampaikan ide tau argumentasi secara
lisan dan memecahkan masalah. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap
pemhaman konsep matematika siswa terhadap materi yang disampaikan
di kelas. Oleh karena itu, untk meningkatkan pemahaman konsep
matematika siswa, maka tenaga pendidik diharapka memperluas dan
memperlihatkan hasil belajar yang tinggi dengan menyajuikan
pembelajaran yang menarik, inovatif, efisien, menyenangkan, dan
bermakna.
Model pembelajaran yang dapat digunakan yaitu model pembelajaran
Kooperatif Tipe Learning Cycle – 7E. Model pembelajaran ini dipilih
karena mengarahkan siswa untuk lebih aktif dalam proses
pembelajarannya, dalam setiap fase dalam model pembelajaran
Kooperatif Tipe Learning Cycle – 7E. siswa akan di tuntut untuk
memahami konsep pembelajaran sesui dengan fase -fase pembelajaran.

28
Model pembelajaran ini sangat tepat diterapkan untuk mengatasi
permasalahan proses pembelajaran matematika kelas VII SMP Negeri 4
Mendoyo dikarenakan oleh keunggulan yang dimiliki dan sesuai dengan
cara belajar yang disukai siswa. Adapun kerangka berpikir peneliti yang
bisa digambarkan dalam bentuk pada gambar di bawah ini.

Bagan 1. Kerangka Berpikir

I.5 Hipotesis Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka berpikir, maka hipotesis
penelitian sesuai dengan masalah yang dirumuskan dengan teori yang
dikemukakan maka dapat disusun suatu hipotasi awal yaitu:
Terdapat pengaruh model pembelajaran Kooperatif tipe Learning
Cycle - 7e terhadap pemahaman konsep matematika siswa SMP Negeri 4
Mendoyo.

29
I. Metode Penelitian
J.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan eksperimen. Menurut Sugiyono (2013)
penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan
untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam
kondisi yang terkendali. Mengingat tidak semua variabel dan kondisi
eksperimen dapat diatur dan dikontrol secara ketat, maka penelitian ini
dikategorikan sebagai penelitian eksperimen semu (quasi experiment).
J.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 4 Mendoyo. Waktu
pelaksanaan penelitian adalah rentangan waktu semester ganjil antara
bulan September sampai dengan bulan Desember tahun pelajaran
2018/2019.
J.3 Populasi Dan Sampel Penelitian
Menurut Arikunto (2002) populasi adalah keseluruhan subjek
penelitian. Dalam penelitian ini, subjek penelitiannya adalah seluruh
siswa kelas VII SMP Negeri 4 Mendoyo tahun ajaran 2018/2019. Jumlah
siswa adalah 302 siswa yang tersebar dalam 6 kelas, yaitu kelas VIIA
sampai dengan kelas VIIF. Dalam penelitian ini, subjek dari populasi
diharuskan setara. Informasi yang diperoleh bahwa delapan kelas tersebut
terdistribusi ke dalam kelas-kelas yang setara secara akademik. Dikatakan
setara, karena dalam pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas tersebut
disebar secara merata antara siswa yang memiliki kemampuan tinggi,
sedang, dan rendah. Hal ini berarti tidak terdapat kelas unggulan maupun
non unggulan. Sebaran anggota populasi dalam tiap kelas terdapat pada
tabel berikut.
No. Kelas Jumlah Siswa
1 VII A 34
2 VII B 34
3 VII C 33
4 VII D 34
5 VII E 34
6 VII F 33
JUMLAH 302
Tabel 3. Jumlah Siswa Kelas VII SMP Negeri 4 Mendoyo

30
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Pemilihan
sampel dilakukan secara acak dari 6 kelas yang memiliki kemampuan
yang setara (homogen). Untuk menghindari kesalahan dalam memilih
sampel penelitian ini, maka teknik yang digunakan untuk memilih kelas
eksperimen dan kontrol yaitu teknik random sampling. Selanjutnya
dilakukan penyetaraan terhadap kedua kelas tersebut dengan
menggunakan uji-t. Penyetaraan ini dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan rata-rata skor kemampuan belajar matematika siswa.
Apabila tidak ada perbedaan, maka kedua kelas dinyatakan setara. Data
yang digunakan dalam uji-t adalah nilai rapor SMP Negeri 4 Mendoyo
semester sebelumnya tahun pelajaran 2017/2018. Adapun rumus uji-t
yang digunakan adalah sebagai berikut.

t hitung 
X1  X 2
S2 
n1  1s12  n2  1s22
S
1

1 dengan (n1  n2  2)
n1 n 2

Keterangan :

X 1 : rata-rata skor dari kelompok pertama

X 2 : rata-rata skor dari kelompok kedua

S : simpangan baku gabungan

S1 : simpangan baku dari kelompok pertama

S2 : simpangan baku dari kelompok kedua

n1 : banyak subjek dari kelompok pertama

n2 : banyak subjek dari kelompok kedua

31
Kriteria pengujian : jika  t tabel  t hit  t tabel dengan derajat kebebasan

n1  n21 dan taraf signifikan 5%   0.05 , maka kedua kelas dinyatakan


setara.

Berdasarkan hasil perhitungan penyetaraan kedua kelas dan


dinyatakan bahwa kedua kelas adalah setara, selanjutnya dilakukan
pengundian lagi terhadap kedua kelas tersebut untuk menentukan kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Berdasarkan hasil pengundian, terpilih
kelas VII D sebagai kelas kontrol yaitu kelas yang pembelajarannya
menggunakan model konvensional dan siswa kelas VII E sebagai kelas
eksperimen yaitu kelas yang pembelajarannya menggunakan model
pembelajaran Kooperatif tipe Learning Cycle – 7E.

J.4 Variabel Penelitian


Penelitian ini menyelidiki pengaruh dua variabel independent atau
variabel bebas terhadap variabel dependent atau variabel terikat.
1. Variabel independent/bebas adalah variabel perlakuan atau variabel
yang diperkirakan mempengaruhi variabel terikat. Variabel perlakuan
yang dimaksud dalam penelitian ini ada dua yaitu :
a. Model pembelajaran Kooperatif tipe Learning Cycle – 7E.
b. Model pembelajaran konvensional
2. Variabel dependent/terikat adalah variabel akibat yang dipradugakan
mengikuti perubahan atau variasi variabel independent. Variabel
terikat yang diteliti dalam penelitian ini adalah pemahaman konsep
matematika siswa. Selain kedua variabel tersebut, terdapat juga
variabel-variabel ekstra yang perlu dikontrol, antara lain :
a. Kemampuan intelektual, sikap, dan kesanggupan dalam
melaksanakan pembelajaran
b. Waktu pembelajaran
c. Fasilitas pembelajaran yang disiapkan.
Variabel-variabel tersebut sedapat mungkin dikontrol, antara lain
dengan melaksanakan penelitian yang dilakukan oleh pengajar (guru),
alokasi pembelajaran yang sama, dan penyediaan perangkat pembelajaran

32
berupa RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dan LKPD (Lembar
Kerja Peserta Didik) yang memfasilitasi masing-masing kelompok dalam
pembelajaran.
J.5 Rancangan Dan Prosedur Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian eksperimen
ini adalah “post test only control group design” . Desain penelitian ini
dapat dilihat pada tabel berikut

Kelompok Perlakuan Post-test

K X1 Y

E X2 Y

Tabel 4. Desain Penelitian

Keterangan:

K : kelompok kontrol

E : kelompok eksperimen

X1 : perlakukan dengan model pembelajaran konvensional

X2 : perlakuan dengan model pembelajaran Kooperatif tipe Learning


Cycle – 7E.

Y : post-test

Peneliti akan membandingkan pemahaman konsep matematika siswa


yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Kooperatif tipe
Learning Cycle – 7E dengan pemahaman konsep matematika siswa yang
pembelajarannya menggunakan model konvensional. Terdapat dua
kelompok yang menjadi sampel penelitian yaittu kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa
model pembelajaran Kooperatif tipe Learning Cycle – 7E dan kelompok

33
kontrol diberi perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran
konvensional.

Prosedur penilitian ini meliputi langkah-langkah berikut ini:


1. Menentukan sampel penelitian yang berupa kelas dari polulasi yang
telah ditentukan dengan cara pengundian dihadapan guru bidang studi
matematika.
2. Melakukan uji kesetaraan terhadap kedua kelas menggunakan nilai
matematika pada hasil rapot siswa VIII dan menggunakan uji-t.
3. Sampel kelas yang sudah dinyatakan setara, diundi lagi untuk
menentukan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
4. Menyusun dan merancang perangkat pembelajaran berupa RPP,
LKPD, angket, dan tes essay untuk mengukur pemahaman konsep
matematika siswa. Kemudian mengkonsultasikan instrumen penelitan
tersebut dengan guru matematika dan dosen pembimbing.
5. Mengadakan uji coba instrumen penelitian.
6. Memberikan perlakuan model pembelajara Kooperatif tipe Learning
Cycle – 7E pada kelas eksperimen dan model pembelajaran
konvensional pada kelas kontrol.
7. Menganalisa hasil penelitian untuk menguji hipotesis yang diajukan.
J.6 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan beberapa instrumen penelitian
yaitu berupa angket dan tes untuk mengetahui pemahaman konsep belajar
matematika siswa. Angket merupakan kumpulan dari beberapa
pernyataan untuk mengetahui kemampuan atau sifat seseorang dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman konsep siswa.
Sedangkan tes menurut Arikunto (2002) adalah serentetan pertanyaan
atau latihan atau instrumen yang digunakan untuk mengukur ketrampilan,
pengetahuan, intelegasi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh
individu dan kelompok. Dalam penelitian ini, tes untuk mengukur
pemahaman konsep matematika siswa.

34
Agar instrumen memenuhi syarat sebagai instrument yang baik, maka
dalam penyusunan instrument peneliti meminta masukan dari ahli yaitu
guru bidang studi matematika dan dosen pembimbing.
J.7 Uji Coba Instrumen
Instrumen penelitian dikatakan baik jika sudah memenuhi dua
persyaratan penting yaitu valid dan reliabel (Arikunto, 2002). Uji coba
instrumen bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara empirik
mengenai layak tidaknya instrumen penelitian ini digunakan. Data yang
diperoleh dianalisis validitas dan reliabilitasnya.
1. Uji Validitas Tes
Suatu tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang
hendak diukur. Validitas itu sendiri adalah suatu ukuran yang
menunjukkan kevalidan atau kesahihan suatu instrumen (Arkunto,
2002). Untuk mengukur validitas suatu tes digunakan rumus korelasi
product-moment dengan angka kasar sebagai berikut.
N  XY  ( X )  Y  
rxy 
N  X 2
  X  N  Y   Y  
2 2 2

dimana :
X = Skor butir tes
Y = Skor total
N = Banyak responden
rxy = Koefisien Korelasi

Soal yang dikatakan valid jika rxy > rtabel pada taraf signifikan 5%
dengan acuan tabel harga r-product moment pada taraf signifikan 5%
untuk r tabel.
2. Uji reliabilitas
Reliabilitas suatu alat ukur atau alat evaluasi dimaksudkan sebagai
suatu alat yang memberikan hasil yang tetap sama (konsisten). Hasil
pengukuran itu harus tetap sama (relatif sama) atau tidak mengalami
perbedaan yang terlalu jauh jika pengukurannya diberikan pada subjek
yang sama meskipun dilakukan oleh orang yang berbeda, waktu yang

35
berbeda dan tempat yang berbeda pula (tidak terpengaruh situasi dan
kondisi). Alat ukur yang reliabilitasnya tinggi disebut alat ukur yang
reliabel.
Untuk menentukan reliabilitas tes pemahaman konsep matematika
dipergunakan rumus alpha cronbach, yaitu:

 n    i 
2

r11   1  
 n  1   i 2 
dengan:

 X 2

X 2

N
Varian tiap butir tes:  i 
2

 Y  2

Y 2

N
Varian total:  I 
2

Keterangan:
r11 = Reliabilitas
n = banyaknya butir soal

 = Jumlah varian skor tiap item


 i 2 = Varian total
N = Jumlah responden
Y = Skrtotal item
X = Skor tiap item

Derajat reliabilitas alat evaluasi dapat digunakan dengan kriteria


sebagai berikut.
0,80 < r11 ≤ 1,00 : Reliabilitas sangat tinggi (sangat baik)

0,60 < r11 ≤ 0,80 : Reliabilitas tinggi (baik)

0,40 < r11 ≤ 0,60 : Reliabilitas sedang (cukup)

0,20 < r11 ≤ 0,40 : Reliabilitas rendah (kurang)

r11 ≤ 0,20 : Reliabilitas sangat rendah

36
(Erman Suherman, 1993:156)

Soal yang akan digunakan adalah soal yang reliabilitasnya


minimal pada kategori sedang.

J.8 Hasil Uji Coba Instrumen


Hasil yang diharapkan dari hasil uji instrumen adalah mendapatkan
gambaran secara empirik dalam mengetahui seberapa pantas dan baik
instrument tersebut digunakan untuk mengukur pemahaman konsep
matematika siswa.

J.9 Teknik Analisis Data


Untuk menguji keunggulan dari model pembelajaran Kooperatif tipe
Learning Cycle – 7E terhadap pemahaman konsep matematika siswa,
maka data yang diperoleh dianalisa dengan langkah-langkah sebagai
berikut.
a. Uji Normalitas
Pada penelitian ini, pengujian normalitas skor hasil belajar
matematika siswa dilakukan dengan bantuan SPSS 16 dengan melihat
besaran dari tes Kolmogorov-Smirnov. Dengan memperlihatkan nilai
Sig. jika nilai Sig. > α (5%) maka H0 diterima.
Apabila nilai μ dan σ2 tidak diketahui, maka dapat menggunakan
Chi-Square (χ2). Hipotesis statistik yang diuji dalam pengujian ini
adalah sebagai berikut.
H0 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1 : sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi
normal
Rumus statistik dari Chi-Square adalah sebagai berikut.
k
Oi  Ei 2
2   (Candiasa,2010)
i 1 Ei
dimana:
 2 = koefisien Chi-Square

37
Oi : frekuensi observasi (frekuensi data yang diperoleh dari
observasi)
E i : frekuensi harapan (frekuensi data yang berdistribusi normal)
k : banya kelompok atau kelas

Kriteria pengujian H 0 diterima jika  hitung


2
<  tabel
2
, dengan taraf

signifikasi (α) sebesar 5%.


b. Uji Homogenitas Varians
Uji homogenitas dengan bantuan SPSS 16 dengan menggunakan
uji Levene dan juga bisa menggunakan uji F. Hipotesis statistik yang
diuji dalam pengujian hipotesis adalah sebgai berikut.
Rumus Uji F
2
S1
Fhitung  2
S2
Dimana
S12 : Varian Kelompok Eksperimen
S12 : Varian Kelompok Kontrol

Dengan kriteria pengujian H0 ditolak atau data memiliki varian


yang tidak homogen jika nilai Fhitung  F ( n 1,n
1 2 1)
.

Pada penelitian ini, uji homogenitas menggunakan uji Levene


dilakukan dengan bantuan SPSS 16 dengan memperhatikan
signifikannya. Jika signifikan yang diperoleh > 0,05 maka variansi
setiap sampe sama (Homogen). Jika signifikansi yang diperoeh < 0,05
makan variansi setiap sampel tidak sama (Tidak Homogen).
(Candidasa dalam Ayika Primadani, 2012:55).
c. Uji Hipotesis
Sesuia dengan hipotesis penelitian yang diajukan, dapat
dirumuskan hipotesis nol (H0).

38
Pengujian hipotesis tersebut dijabarkan menjadi pengujian (H0)
melawan hipotesis penelitian (Ha) yang diformulasikan sebagai
berikut.
H0 : μ1 = μ2 melawan Ha : μ1 ≠ μ2
Keterangan:
μ1 : rata-rata skor hasil belajar matematika siswa yang dibelajarkan
dengan model pembelajaran Kooperatif tipe Learning Cycle – 7E.
μ2 : rata-rata skor hasil belajar matematika siswa yang dibelajarkan
dengan model pembelajaran konvensional.

Shomogeny maka untuk menguji hipotesis nol (H0) pada


penelitian ini akan digunakan uji-t dengan taraf signifikan 5%. Uji-t
yang digunakan disini adalah uji-t dua ekor dengan taraf signifikansi
5%. Uji-t yang digunakan adalah uji-t dengan rumus sebgai berikut.

X1  X 2
t hitung 
1 1
S gab 
n1 n2

(n  1) S1  (n2  1) S 2
2 2

S  1
2

(n1  n2  2)

S1 
2  (X i  X1)2
n 1

S2 
2  ( X i  X 2 )2
n 1
Keterangan:
X1 : rata-rata skor kelompok eksperimen

X2 : rata-rata skor kelompok kontrol

Xi : skor post-test

S : simpangan baku gabungan


S1 : simpangan baku dari kelompok eksperimen

S2 : simpangan baku dari kelompok kontrol

n1 : banyak siswa dari kelompok eksperimen

39
n2 : banyak kelompok dari kelompok kontrol

Kriteria pengujian adala H0 ditolak jika thitung ≥ t(1-(1/2α) dimana t(1-


(1/2α) didapat dari tabel distribusi t pada taraf signifikansi (α) 5% atau
taraf kepercayaan 95% dengan derajat kebebasan dk = (n1 + n2 – 2).

40
DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. 2004. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandumg: Sinar Baru
Algesindo.
An, S., Kulm, G., dan Wu, Z. 2004. The Pedagogical Content Knowledge of Middle
School. Mathematics Teachers in China and The U.S. Journal of Mathematics
Teacher Education, 7, 145-172.
Aunurrahman, 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Aqib, Z. 2003. Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran. Surabaya: Insan
Cendikia.
Degeng, I N.S. 2001. Landasan dan Wawasan Kependidikan. Malang: Lembaga
Pengembangan dan Pendidikan (LP3) Universitas Negeri Malang.
Depdikbud. 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha
Nasional.
Arikunto, S. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Badan Standar Nasonal Pendidikan. (2006). Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah Standak Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Jakarta:
BSNP.
Dina Nur Adilah, Rini Budiharti. 2015. Model Learning Cycle 7E Dalam
Pembelajaran IPA Terpadu. Prosiding Seminar Nasional Fisika dan
Pendidikan Fisika (SNFPF) Ke-6 2015. 6(1): 212 – 217
Eisenkraft, A. 2003. Expanding the 5E Model a proposed 7E Model Emphasizes.
a Journal for High School Science Educators Published by The National
Science Teachers Association the Science Teacher Vol. 70, No.6
Kasmadi, Abdul Gani Haji, Yusrizal. 2016. Model Pembelajaran Learning Cycle
7e Berbantu Ict Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Dan
Ketrampilan Berpikir Kritis Siswa Pada Materi Larutan Penyangga. Jurnal
Pendidikan Sains Indonesia. 04(02):106-112
Laelasari, Toto Subroto, Nurul Ikhsan K. 2014. Penerapan Model Pembelajaran
Learning Cycle 7e Dalam Kemampuan Representasi Matematis
Mahasiswa. Jurnal Euclid. 1(2): 82 – 92

41
Mulyasa, E. (2009). Praktik Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Partini, Budijanto, Syamsul Bachri. 2017. Penerapan Model Pembelajaran
Learning Cycle 7e Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa.
Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan. 2(2): 268 – 272
Yeti Sumiyati, Atep Sujana, adan Djuanda. 2016. Penerapan Model Learning Cycle
7e Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Proses Daur Air.
Jurnal Pena Ilmiah. 1(1): 41 – 50
Zulfani Aziz. 2013. Penggunaan Model Pembelajaran Learning Cycle 7e Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Smp Pada Pokok Bahasan Usaha Dan
Energi. Skripsi. Tidak di terbitkan. Fakultas Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang: Semarang

42

Anda mungkin juga menyukai