Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Absorpsi

Yang dimaksud dengan absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah

masuknya molekul-molekul obat ke dalam tubuh atau menuju peredaran darah

tubuh setelah melewati sawar biologik.

Untuk dapat diserap, semua zat aktif harus terlarut lebih dahulu. Oleh sebab

itu laju penyerapan merupakan fungsi dari laju pelarutan zat aktif didalam cairan

tubuh (saluran cerna misalnya) dan laju difusi molekul-molekul yang terlarut dalam

cairan tersebut melintasi membran seluler, sesuai dengan skema sebagai berikut:

Proses penyerapan tersebut berkaitan dengan prinsip: sebelum melintasi

membran biologik, zat aktif harus terlarut lebih dahulu didalam cairan disekitar

membran.

Bila zat aktif berada dalam suatu bentuk sediaan, maka sebelum melarut zat

aktif harus terlepas dari sediaan, dan selanjutnya berdifusi dan diserap menurut

tahapan sebagai berikut:

6
Bila proses pelepasan terjadi sangat lambat, maka pelepasan akan

mempengaruhi seluruh waktu dan tahapan proses pelarutan, difusi dan penyerapan

zat aktif. Jadi tahapan yang paling lambat dari rangkaian predisposisi zat aktif

sediaan obat didalam tubuh merupakan tahap penentu.

Dengan demikian, penyerapan zat aktif akan bergantung pada : laju

pelarutan zat aktif dalam cairan biologik disekitar membran, karakter fisikokimia

yang dapat mempengaruhi proses penyerapan (pKa, koefisien partisi, stabilitas,

dan lain-lain) (Aiache, et al., 1993).

2.1.1 Membran sel

Membran sel merupakan bagian sel yang mengandung komponen-

komponen yang terorganisasi dan dapat berinteraksi dengan mikromolekul secara

khas. Struktur membran biologis sangat kompleks dan dapat mempengaruhi

intensitas dan masa kerja obat. Sesudah pemberian secara oral, obat harus

melewati sel epitel saluran cerna, membran sistem peredaran tertentu, melewati

membran kapiler menuju sel-sel organ atau reseptor obat.

Menurut Siswandono dan Soekarjo (2000), membran sel terdiri dari

komponen-komponen yang terorganisasi, yaitu:

1. Lapisan lemak bimolekul.

Ǻ, mengandung kolesterol netral dan


Tebal lapisan lemak bimolekul ± 35

fosfolipid terionkan, yang terdiri dari fosfatidiletanolamin, fosfatidilkolin,

fosfatidilserin dan spingomielin. Berdasarkan sifat kepolarannya lapisan lemak

bimolekul dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian non polar, terdiri dari rantai

hidrokarbon, dan bagian polar yang terdiri dari gugus hidroksil kolesterol dan gugus

gliserilfosfat fosfolipid.

7
2. Protein.

Bentuk protein bervariasi, ada yang besar, berat molekulnya ± 300.000 dan

ada pula yang sangat kecil. Protein bersifat ampivil karena mengandung gugus

hidrofil dan hidrofob.

3. Mukopolisakarida.

Jumlah mukopolisakarida pada membran biologis kecil dan strukturnya

tidak dalam keadaan bebas tetapi dalam bentuk kombinasi dengan lemak, seperti

glikolipilid, atau dengan protein, seperti glikoprotein.

2.1.2 Struktur membran sel

Penelitian Dawson dan Danielli (1936-1943) serta Stein dan Danielli (1956),

mengemukakan suatu lembaran lipida protein sebagai model membran. Model

membran tersebut terdiri dari dua basal lipida monomolekular (yang terdiri dari

fosfolipida, tetapi juga kolesterol) yang kutub hidrofobnya menghadap ke bagian

dalam, dan kutub hidrofilnya merupakan basal protein berada di fasa berair. Dua

kutub hidrofil mengandung protein dan ujung fosfolipid yang polar (salah satu

diantaranya yang berada pada permukaan luar mempunyai lapisan protein globular)

mengelilingi daerah pusat hidrofob. Tetapi tampaknya susunan statis tersebut bukan

merupakan protein dan lipida dalam membran seluler yang hidup. Struktur

membran sel dapat dilihat pada Gambar 2.2. Dalam konsep mosaik cair, matrik

membran terdiri atas dua lapisan lipida protein globular yang tidak

berkesinambungan dan saling menyesuaikan menurut susunan yang teratur atau tidak

teratur. Gugusan polarnya terletak pada permukaan membran yang kontak dengan

cairan intra atau ekstraseluler, sedangkan gugus non polar menghadap ke arah dalam.

8
Pori-pori yang tampak pada sumbu utama protein globuler tebalnya ± 85 Angstrom.

Model ‘Mosaik Cair’ konsisten tentang eksistensi dari chanel-chanel ion khusus dan

reseptor-reseptor di dalam dan di sepanjang permukaan membran (Syukri, 2002).

Gambar 2.2 Stuktur membran sel

2.1.3 Cara penembusan obat melalui membran biologis

Pada umumnya obat menembus membran biologis secara difusi. Mekanisme

difusi dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat fisika kimia obat dan sifat membran

biologis.

Cara penembusan obat ke dalam membran biologis dibagi atas:

1. Difusi pasif

Penembusan membran biologis secara difusi pasif dibedakan menjadi tiga,

yaitu difusi pasif melalui pori (cara penyaringan), difusi pasif dengan cara melarut

dalam lemak penyusun membran dan difusi pasif dengan fasilitas.

a. Difusi Pasif Melalui Pori

Penembusan air terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik atau

osmotik; semua senyawa yang berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat

melewati kanal membrane. Sebagian besar membran (membran seluler, epitel usus

halus dan lain-lain) berukuran kecil (4 - 7oA) dan hanya dapat dilalui oleh molekul

dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150 untuk senyawa yang

9
bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya terdiri atas rantai panjang (Aiache,

et al., 1993). Untuk lebih jelasnya difusi pasif melalui pori dapat dilihat pada

Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Difusi pasif melalui pori

b. Difusi Pasif dengan Cara Melarut pada Lemak Penyusun Membran

Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia

tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan di kedua sisi membran.

Bila molekul semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan

difusi transmembran terjadi lebih mudah. Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau

asam organik, maka dalam keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk

terionkan dan sebagian dalam bentuk tak terionkan. Hanya fraksi zat aktif yang

terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi

pasif.

Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari asam kuat atau basa kuat,

derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk

elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa lemah yang

sedikit terionisasi, maka difusi melintasi membran tergantung kelarutan bentuk tak

terionkan di dalam lemak, jumlah bentuk yang tak terionkan (satu-satunya yang

bergantung pada konsentrasi), serta derajat ionisasi molekul.


10
c. Difusi Pasif dengan Fasilitas

Beberapa bahan obat dapat melewati membran sel karena ada tekanan

osmosa, yang disebabkan adanya perbedaan kadar antar membran, pengangkutan ini

berlangsung dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar yang lebih

rendah dan berhenti setelah mencapai kesetimbangan, gerakan ini tidak memiliki

energi dan terjadi secara spontan.

Diduga molekul obat membentuk kompleks dengan suatu molekul pembawa

dalam membran, yang bersifat mudah larut dalam lemak, sehingga dengan mudah

bergerak menembus membran. Pada sisi membran yang lain kompleks akan terurai

melepas molekul obat dan molekul pembawa bebas kembali ke tempat semula.

Pembawa dapat berupa enzim atau ion yang muatannya berlawanan dengan

muatan molekul obat. Penembusan obat ke dalam membran biologis dapat berjalan

dengan cepat bila ada katalisator enzim dan ukuran bentuk kompleks cukup kecil.

Penyerapan pasif terjadi hingga tercapainya keseimbangan dan proses akan berhenti

bila aliran darah tidak lagi mengangkut zat aktif dalam jumlah yang setara dengan

jumlah yang diserap (Aiache, et al., 1993).

2. Transpor Aktif

Pada transpor aktif diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini merupakan

suatu bagian dari membran, berupa enzim atau paling tidak senyawa protein dengan

molekul yang dapat membentuk kompleks pada permukaan membran. Kompleks

tersebut melintasi membran dan selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan

lainnya, lalu pembawa kembali menuju permukaan asalnya (transpor selalu terjadi

dalam arah tertentu, pada bagian usus perjalanan terjadi dari mukosa menuju serosa).

11
Sistem transpor aktif bersifat jenuh, artinya jika semua molekul pembawa telah

digunakan maka kapasitas maksimalnya tercapai. Sistem ini menunjukkan adanya

suatu kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab

itu dapat terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas sama pada pembawa

tertentu, dan molekul yang mempunyai afinitas tinggi dapat menghambat kompetisi

transpor dari molekul yang afinitasnya lebih rendah.

Transpor dari satu sisi membran ke sisi yang lain dapat terjadi dengan

mekanisme perbedaan konsentrasi. Transpor aktif ini memerlukan energi yang

diperoleh dari hidrolisa adenosintrifosfat (ATP) di bawah pengaruh suatu ATP-ase.

(Aiache, et al., 1993). Mekanisme transpor aktif dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Sistem pengangkutan aktif

3. Pinositosis

Pinositosis merupakan tipe khas pengangkutan aktif dari obat yang

mempunyai ukuran molekul besar dan misel-misel seperti lemak, amilum, gliserin,

vitamin A, D, E dan K. Pengangkutan ini digambarkan seperti sistem fagositosis pada

bakteri (Siswandono dan Soekarjo, 2000)). Mekanisme pinositosis dapat dilihat pada

Gambar 2.5.

12
Gambar 2.5 Sistem pengangkutan secara pinositosis

Kebanyakan dari obat melewati membran biologis dengan cara difusi pasif.

Senyawa obat yang berbobot molekul kecil dengan bebas melewati mikroporus dari

sel. Dengan catatan mungkin obat larut diluar fase membran plasma menembus

membran dan masuk ke dalam sitoplasma sel. Karena bersifat lipid membran sel

mempunyai daya afinitas yang lebih tinggi terhadap bentuk obat yang larut dalam

lipid. Obat asam lemah dan basa lemah mungkin berada dalam keadaan tak terion

pada harga pH dari fasa berair pada bagian eksternal dan internal membran. Selama

bentuk tak terion dari obat lebih mudah larut dalam lipid dari pada bentuk terion,

bentuk tak terion larut ke dalam membran dan seterusnya maka difusi akan lebih

cepat dari pada bentuk terion (Wolf, 1994).

2.2 Usus Halus

Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas tiga bagian yaitu;

duodenum, jejunum dan illeum yang bebas bergerak. Diameter usus halus beragam

tergantung pada letaknya yaitu 2 – 3 cm dan panjang keseluruhan antara 5 - 9 m.

Panjang tersebut akan berkurang oleh gerakan regangan otot yang melingkari

peritonium (Aiache, et al., 1993). Duodenum dengan panjang sekitar 25 cm, terikat

erat pada dinding dorsal abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal.

Jalannya berbentuk –C, mengitari kepala pankreas dan ujung distalnya menyatu
13
dengan jejenum, yang terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium.

Jejenum dapat digerakkan bebas pada mesenteriumnya dan merupakan 2/5 bagian

proksimal usus halus, sedangkan ileum merupakan sisa 3/5 nya. Kelokan-kelokan

jejenum menempati bagian pusat abdomen, sedangkan ileum menempati bagian

bawah rongga (Fawcett, 2002). Mukosa usus halus, kecuali yang terletak pada bagian

atas duodenum berbentuk lipatan-lipatan atau disebut juga valvula conniventes.

Lipatan-lipatan inilah yang berfungsi sebagai permukaan penyerapan dan penuh

dengan villi yang tingginya 0,75 – 1,00 mm dan selalu bergerak. Adanya villi ini

lebih memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga 40 – 50 m (Aiache, et al,

1993).

Bahan obat dari lambung masuk ke duodenum, fungsi utama duodenum

dan bagian pertama jejenum adalah untuk sekresi, sedangkan fungsi bagian kedua

dari jejenum dan illeum ialah untuk absorpsi. pH usus halus meningkat dari

duodenum 4- 6, jejenum 6-7, illeum 7-8. pH dalam usus halus berperan besar

dalam hal absorpsi obat sebagai akibat disolusi berbagai bentuk sediaan (Aiache, et

al., 1993).

Karakteristik anatomi dan fisiologi usus (dengan makrovilli dan

mikrovillinya) lebih menguntungkan untuk penyerapan obat, seperti halnya juga

penyerapan zat makanan.

Pentingnya permukaan penyerapan terutama karena banyaknya lipatan-

lipatan mukosa usus yang berupa valvula conniventes atau lipatan kerckring, yang

terutama banyak terdapat di daerah duodenum dan jejunum. Di daerah tersebut villi-

villi usus tertutup oleh epitel bagaikan sikat yang terdiri dari bulu-bulu halus

(mikrovilli) dan mempunyai aktivitas yang kuat. Adanya anyaman kapiler darah dan

getah bening pada setiap lipatan memungkinkan terjadinya penyerapan yang besar.
14
Gerakan usus dan gerakan villi usus di sepanjang saluran cerna akan mendorong

terjadinya penembusan menuju pembuluh darah. Keadaan pH serta tebal dinding

yang beragam di setiap bagian usus menyebabkan perbedaan penembusan yang

cukup besar pada molekul zat aktif terutama molekul asam yang penyerapannya

dipengaruhi oleh pH lambung.

Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya pelintasan

membran dengan intensitas yang besar, dan disini lebih banyak terjadi difusi pasif.

Difusi pasif berkaitan dengan sejumlah senyawa yang larut lemak atau

fraksi-fraski tak terionkan yang larut lemak.

Difusi pasif terutama terjadi pada bagian pertama usus halus, karena

konsentrasi obat-obat yang tinggi dalam liang usus akan meningkatkan gradien

difusi, hal yang sama terjadi pula pada bagian usus sebelah bawah dan pada

penyerapan susjacent. Skema usus halus dengan villi dan perfusinya dapat dilihat

pada Gambar 2.6.

Transpor aktif juga berperan di usus halus dan di sini terjadi persaingan

terhadap pembawa yang sama atau terjadi penjenuhan sistem transpor yang dapat

membatasi pelintasan membran. Pinositosis juga berperan terutama di ileum terhadap

molekul-molekul yang tidak larut (Aiache, et al., 1993).

15
Gambar 2.6 Skema usus halus dengan villi dan perfusinya

2.3 Metode Kantung Terbalik (Everted Sac)

Preformulasi melibatkan sejumlah pemeriksaan untuk menghasilkan informasi

yang bermanfaat untuk tahap formulasi selanjutnya meliputi kestabilan fisikokimia

dan kecocokan dosis obat secara biofarmasi.

Penelitian awal biofarmasi dari senyawa obat juga dilakukan selama

preformulasi. Uji-uji ini didesain untuk menelusuri karakteristik ketersediaan

senyawa obat secara in vitro. Hasil penelitian ini mengkontribusikan suatu produk

sediaan obat yang efektif, rasional, aman, dan ekonomis.

Suatu teknik dengan menggunakan everted intestinal sac dapat digunakan

dalam mengevaluasi karakteristik absorpsi dari zat obat (Ansel, 1989).

Pada persiapannya, teknik everted sac menggunakan bagian dari intestin,

disayat dari bagian omentum dan sirkulasi mesenterikum. Intestin ini dibalik

sehingga permukaannya berada pada bagian luar dan ujung dari bagian ini diikat,

larutan buffer dimasukkan melalui kateter pada bagian lainnya, dan bagian luar usus

direndam dalam larutan berisis obat dengan suhu 37oC, dialiri oksigen 95% dan CO2
16
50%. Kedua bagian, baik serosa maupun mukosa dapat dijadikan sampel untuk

analisis.

Everted sac merupakan teknik yang sederhana yang menghadirkan kerumitan

yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan pengujian konsentrasi obat secara in

vivo.

Kondisi dari temperatur, oksigen, ketersediaan makanan sebagai sumber

energi dapat diatur dalam metode ini, namun tidak ada lagi sirkulasi mesenterikum

dan kehadiran obat secara total pada bagian dalam kantung pada difusi melalui

serosa (Swarbrick and Boylan, 1992).

2.4 Ibuprofen

2.4.1 Sifat fisikokimia

Ibuprofen ((±)-2-(p-isobutilfenil) asam propionat) dengan rumus molekul

C13H18O2 dan berat molekul 206,28. Rumus bangun ibuprofen seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Rumus bangun ibuprofen

Ibuprofen berupa serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas

lemah. Ibuprofen praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol,

metanol, aseton dan dalam kloroform, sukar larut dalam etil asetat (Ditjen POM,

1995). Larut dalam larutan alkali hidroksida dan karbonat. Senyawa ini mempunyai

17
titik lebur 75 - 77ºC dengan pKa 4,4; 5,2 dan log P (oktanol/air) 4,0 (Moffat, et al.,

2005).

2.4.2 Farmakokinetik

Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan dengan

bioavailabilitas lebih besar dari 80%. Puncak konsentrasi plasma dapat dicapai

setelah 1-2 jam. Ibuprofen menunjukkan pengikatan (99%) yang menyeluruh dengan

protein plasma (Anderson, 2002). Pada manusia sehat volume distribusi relatif rendah

yaitu (0,15 ± 0,02 L/kg). Waktu paruh plasma berkisar antara 2 - 4 jam. Kira-kira

90% dari dosis yang diabsorpsi akan dieksresi melalui urin sebagai metabolit atau

konyugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi

(Stoelting, 2006; Sinatra, et al., 1992).

2.4.3 Farmakodinamik

Mekanisme kerja ibuprofen melalui inhibisi sintesa prostaglandin dan

menghambat siklooksigenase-I (COX I) dan siklooksigenase-II (COX II). Namun

tidak seperti aspirin hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat reversibel. Dalam

pengobatan dengan ibuprofen, terjadi penurunan pelepasan mediator dari granulosit,

basofil dan sel mast, terjadi penurunan kepekaan terhadap bradikinin dan histamin,

mempengaruhi produksi limfokin dan limfosit T, melawan vasodilatasi dan

menghambat agregasi platelet (Stoelting, 2006).

2.4.4 Indikasi dan dosis terapi

Ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yang ringan hingga

sedang, khususnya nyeri oleh karena inflamasi seperti yang terdapat pada arthritis dan

gout (Trevor, et al., 2005; Anderson, et al., 2002). Untuk mengurangi nyeri ringan

hingga sedang dosis dewasa penggunaan ibuprofen per oral adalah 200 - 400 mg,

untuk nyeri haid 400 mg per oral kalau perlu. Untuk arthritis rheumatoid 400 - 800
18
mg. Untuk demam pada anak-anak 5 mg/kg berat badan, untuk nyeri pada anak-anak

10 mg/ kg berat badan, untuk arthritis juvenil 30 - 40 mg/ kg berat badan/hari

(Anderson, et al., 2002).

2.5 Spektrofotometri Ultraviolet - visibel

Radiasi elektromagnetik, yang mana sinar ultraviolet dan sinar tampak

merupakan salah satunya, dapat dianggap sebagai energi yang merambat dalam

bentuk gelombang. Beberapa istilah dan hubungan digunakan untuk menggambarkan

gelombang ini. Panjang gelombang merupakan jarak linier dari suatu titik pada satu

gelombang ke titik yang bersebelahan pada gelombang yang berdekatan. Sinar

ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200 - 400 nm, sementara sinar

tampak mempunyai panjang gelombang 400 – 750 nm (Gandjar dan Rohman, 2009).

Jika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik maka

molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai.

Interaksi antara molekul dengan radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan

energi potensial elektron pada tingkat keadaan tereksitasi. Apabila pada molekul yang

sederhana tadi hanya terjadi transisi elektronik pada satu macam gugus yang terdapat

pada molekul, maka hanya akan terjadi satu absorbsi. Pada kenyataannya, spektrum

UV–Vis yang merupakan korelasi antara absorbansi (sebagai ordinat) dan panjang

gelombang (sebagai absis) bukan merupakan garis spektrum akan tetapi merupakan

pita spektrum. Terbentuknya pita spektrum UV–Vis tersebut disebabkan oleh

terjadinya eksitasi elektronik lebih dari satu macam pada gugus molekul yang sangat

kompleks (Gandjar dan Rohman, 2009).

Spektra UV – Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus

dapat digunakan untuk analisis kuantitatif.


19
a. Aspek Kualitatif

Data spektra UV – Vis secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk

identifikasi kualitatif obat atau metabolitnya. Akan tetapi jika digabung dengan cara

lain seperti spektroskopi infra merah, resonansi magnet inti, dan spektroskopi massa,

maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi/ analisis kualitatif suatu senyawa

tersebut. Data yang diperoleh dari spektroskopi UV dan Vis adalah panjang

gelombang maksimal, intensitas, efek pH, dan pelarut; yang kesemuanya itu dapat

diperbandingkan dengan data yang sudah dipublikasikan (Gandjar dan Rohman,

2009).

b. Aspek Kuantitatif

Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan

(larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi

yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang

diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies penyerap

lainnya. Intensitas atau kekuatan radiasi cahaya sebanding dengan jumlah foton yang

melalui satu satuan luas penampang perdetik. Serapan dapat terjadi jika foton/radiasi

yang mengenai cuplikan memiliki energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan

untuk menyebabkan terjadinya perubahan tenaga. Kekuatan radiasi juga mengalami

penurunan dengan adanya penghamburan dan pemantulan cahaya, akan tetapi

penurunan karena hal ini sangat kecil dibandingkan dengan proses penyerapan.

Hukum Lambert–Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat

penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan (Gandjar dan

Rohman, 2009).

20

Anda mungkin juga menyukai