Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang
diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi juga didefinisikan
sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan
masukan nutrien dimana makanan yang dikonsumsi sangatlah berpengaruh terhadap status
gizi seseorang diantaranya status gizi baik, kurang, buruk, dan lebih (Sulistyoningsih,
2011). Kebutuhan gizi merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam membantu proses
pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak mengingat zat-zat gizi dalam tubuh dapat
membantu proses bayi dan anak serta mencegah terjadinya berbagai penyakit akibat
kurang gizi dalam tubuh (Sulpidar, 2014).
Masalah gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita masih menjadi masalah gizi
utama yang perlu mendapat perhatian. Kondisi tersebut merupakan salah satu penyebab
mortalitas dan morbiditas terbanyak pada balita di negara berkembang, yaitu sebanyak
54% atau 10,8 juta anak meninggal akibat malnutrisi (Kabeta, et al., 2017). Data Pantauan
Status Gizi (PSG) 2017 yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
menunjukkan 29,6% balita menderita stunting (kekurangan gizi kronis pada balita yang
berlangsung lama yang berakibat pada pendeknya ukuran badan dan kecerdasan anak)
sedangkan ambang batas yang ditetapkan World Health Organization (WHO) adalah 20%,
dan 9,5% menderita wasting (terlalu kurus untuk tinggi badan mereka) dengan ambang
batas 5%, serta 17% mengalami gizi kurang dengan ambang batas 10% (Kemenkes, 2018).
Berdasarkan hasil Riskesdas Provinsi Riau tahun 2013 oleh Kementerian Kesehatan
RI, prevalensi status gizi balita TB/U menunjukkan bahwa anak pendek (sangat pendek
dan pendek) di Riau sebesar (34,1%). Prevalensi anak pendek tertinggi ditemukan di
kabupaten Rokan Hulu yaitu sebesar (59,0%) dan terendah di kota Dumai sebesar (34,1%),
sedangkan di kota Pekanbaru sebesar (34,7%). Menurut hasil penelitian yang dilakukan
oleh Nurkarimah (2018) yang dilakukan di wilayah Puskesmas Rejosari Pekanbaru
menunjukkan bahwa dari 87 sampel didapatkan 33 (37,9%) anak mengalami stunting.
Dengan masih tingginya angka-angka tersebut dari ambang batas menyebabkan masalah
ini perlu sekali menjadi perhatian. Sesuai dengan target tujuan pembangunan
berkelanjutan (Sustainable Development Goals) pada tahun 2030 mengakhiri segala
bentuk malnutrisi, termasuk mencapai target internasional 2025 untuk menurunkan angka
stunting dan wasting pada balita termasuk juga di Indonesia.
Stunting menjadi salah satu fokus kesehatan di Indonesia. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia mengatakan bahwa ada tiga isu kesehatan yang menjadi fokus
perhatian pemerintah yaitu, tuberculosis, stunting dan imunisasi. Stunting (balita pendek)
adalah suatu kondisi status gizi dalam standar antropometri yang didasarkan pada indeks
PB/U atau TB/U didapatkan hasil pengukuran berada pada ambang batas (Z-Score) <-2
sampai dengan -3 SD (pendek/stunted) dan <-3 SD (sangat pendek/severely stunted).
Masalah stunting ini secara garis besar disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor langsung
dan faktor tidak langsung. Faktor langsung yang mempengaruhi status gizi adalah asupan
makanan (energi dan protein) dan penyakit infeksi. Faktor tidak langsung adalah tingkat
pengetahuan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pola asuh, sosial budaya,
ketersediaan pangan, pelayanan kesehatan dan faktor lingkungan (Depkes RI, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aridiyah, dkk (2015) mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak balita di wilayah pedesaan dengan
perkotaan didapatkan hasil bahwa tingkat pengetahuan ibu mengenai gizi merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada anak balita. Pengetahuan
mengenai gizi merupakan proses awal dalam perubahan perilaku peningkatan status gizi.
Pengetahuan ibu tentang gizi akan menentukan perilaku ibu dalam menyediakan makanan
untuk anaknya dan secara tidak langsung tingkat pengetahuan ibu akan memengaruhi
kemampuan ibu mengenai perawatan kesehatan terutama mengenai gizi anak. Selain itu,
ibu dengan tingkat pendidikan rendah memiliki resiko 5,1 kali lebih besar mempunyai
anak umur 6-23 bulan mengalami stunting. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu,
dkk (2014) tentang risiko pendidikan ibu terhadap kejadian stunting pada anak 6-23 bulan
menunjukkan bahwa dari 51 sampel anak yang mengalami stunting memiliki ibu dengan
tingkat pengetahuan gizi kategori rendah sebesar 24 orang.
Untuk meningkatkan pengetahuan tersebut dapat dilakukan melalui upaya promosi
kesehatan salah satunya dengan penyuluhan. Keberhasilan penyuluhan kesehatan pada
masyarakat tergantung pada komponen pembelajaran. Media penyuluhan kesehatan
merupakan salah satu komponen dari proses pembelajaran. Media yang menarik akan
memberikan keyakinan, sehingga perubaha kognitif afeksi dan priskomotor dapat
dipercepat. Mengingat pentingnya promosi kesehatan maka perlu adanya metode
pembelajaran atau inovasi-inovasi baru agar audiens bisa menerima pesan kesehatan
dengan baik. Dalam penyuluhan kesehatan, banyak media yang digunakan untuk
menunjang efektivitas penyuluhan kesehatan. Salah satu media penyuluhan yang bisa
digunakan yaitu Audiovisual yang menyajikan informasi atau pesan secara audio dan
visual. Media Audiovisual memberikan stumulus terhadap mata (pengelihatan) dan telinga
(pendengaran) (Setiawati dan Dermawan, 2008).
Hasil penelitian Kapti, dkk (2013) tentang efektifitas audio visual sebagai media
penyuluhan kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap ibu dalam tata laksana
balita dengan diare di dua Rumah Sakit Kota Malang menunjukkan ada perubahan
pengetahuan, sikap dan keterampilan ibu sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan.
Pemilihan audiovisual sebagai media penyuluhan kesehatan diterima dengan baik oleh
responden karena media ini menawarkan penyuluhan yang lebih menarik dan tidak
monoton. Sebagian besar responden mempunyai keingitahuan terhadap isi video dan
melihat video sampai selesai dengan serius.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di puskesmas Rejosari dengan
melakukan wawancara dengan perawat di puskesmas tersebut didapatkan hasil bahwa
sebelumnya sudah pernah dilakukan penyuluhan kesehatan tentang status gizi anak dan
pencegahan stunting dengan menggunakan media leaflet dan lembar balik serta slide
powerpoint. Peneliti juga melakukan wawancara terhadap 10 ibu yang datang ke
puskesmas tersebut, namun dari 10 ibu, hanya 3 orang yang mengetahu tentang status gizi
dan stunting pada anak.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
efektivitas peningkatan pengetahuan ibu rumah tangga tentang stunting melalui media
audiovisual. Penelitian ini dilakukan untuk menilai apakah pemilihan media audiovisual
untuk penyuluhan kesehatan efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang status
gizi anak dan stunting. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
membantu dalam promosi kesehatan tentang status gizi anak dalam upaya pencegahan
stunting pada anak.

1.2.Rumusan Masalah
Masalah gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita masih menjadi masalah gizi
utama yang perlu mendapat perhatian. Di Indonesia, angka stunting masih dikategorikan
tinggi yaitu sebesar 29,6% sedangkan ambang batas yang ditetapkan WHO adalah 20%.
Salah satu faktor penyebab terjadinya stunting tersebut adalah kurangnya pengetahuan ibu
tentang pemenuhan gizi dan pencegahan stunting. Untuk mengatasi masalah tersebut
dilakukan penyuluhan kesehatan guna meningkatkan pengetahuan. Dalam pelaksanaan
penyuluhan kesehatan itu diperlukan media sebagai penunjang penyuluhan. Salah satu
media yang digunakan yaitu media audiovisual. Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti
tertarik untuk meneliti apakah penyuluhan kesehatan dengan menggunakan media
audiovisual efektif dalam meningkatkan pengetahuan ibu tentang stunting.

1.3.Tujuan
1. Tujuan Instruksional Umum
Mengetahui efektifitas penyuluhan kesehatan dengan media audiovisual terhadap
tingkat pengetahuan ibu rumah tangga tentang stunting.
2. Tujuan Instruksional Khusus
a. Mengetahui skor tingkat pengetahuan ibu tentang definisi stunting.
b. Mengetahui skor tingkat pengetahuan ibu tentang penyebab stunting.
c. Mengetahui skor tingkat pengetahuan ibu tentang pencegahan stunting.
d. Mengetahui skor tingkat pengetahuan ibu tentang pemenuhan gizi saat hamil,
menyusui, dan pada balita.

1.4.Manfaat
1. Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan meningkatkan
pengetahuan ibu tentang stunting dan pencegahannya.
2. Pengembangan Ilmu Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan media
untuk penunjang penyuluhan kesehatan sehingga penyuluhan yang diberikan dapat
menjadi lebih efektif dan menarik.
3. Pelayanan Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar mengenai pemilihan media
penyuluhan kesehatan sehingga dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat dengan
menggunakan media yang berbeda dari biasanya.

4. Penelitian lain
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan kreatifitas peneliti
untuk mengetahui efektivitas penggunaan media lain dalam hal peningkatan
pengetahuan masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori


2.1.1 Konsep Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sampai menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek (Notoadmodjo, 2010).
Pengetahuan merupakan informasi yang ditemui dan diperoleh oleh manusia
melalui pengamatan akal untuk mengenai suatu benda atau kejadian yang belum
pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Seringkali pengetahuan dijadikan acuan
untuk mengetahui tingkat kecerdasan seseorang. Pengetahuan seseorang terhadap
objek mempunyai intensitas yang berbeda-beda. Daryanto (2010) menjelaskan bahwa
aspek-aspek pengetahuan dalam taksonomi Bloom adalah sebagai berikut:
a. Pengetahuan (knowledge). Tahu diartikan hanya sebagai recall (ingatan).
Seseorang dituntut untuk mengetahui atau mengenal fakta tanpa dapat
menggantinya.
b. Pemahaman (comprehension). Memahami suatu objek bukan sekedar tahu, tidak
sekedar dapat menyebutkan, tetapi harus dapat menginterpretasikan secara benar
tentang objek yang diketahui.
c. Penerapan (application), diartikan apabila orang yang telah memahami objek
tersebut dapat menggunakan dan mengaplikasikan prinsip yang diketahui pada
situasi yang lain.
d. Analisis (analysis), adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang
terdapat dalam suatu objek.
e. Sintesis (synthesis), menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk
merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-
komponen pengetahuan yang dimiliki. Sintesis adalah suatu kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dari formulasi- formulasi yang telah ada.
f. Penilaian (evaluation). Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu didasarkan pada suatu kriteria
atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan


Menurut Fitriani (2015), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
antara lain:
a. Tingkat pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan keperibadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar, semakin tinggi pendidikan seseorang
maka semakin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.
Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal,
akan tetapi dapat diperoleh pada pendidikan non-formal. Pengetahuan seseorang
tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif.
Kedua aspek ini akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu.
b. Media massa/informasi
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal
dapat memberikan pengetahuan jangka pendek (immediate impact), sehingga
menghasilkan perubahan dan peningkatan pengetahuan. Kemajuan teknologi
menyediakan bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi
pengetahuan masyarakat tentang informasi baru. Sarana komunikasi seperti
televisi, radio, surat kabar, majalah, penyuluhan, dan lain-lain mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang.
c. Sosial budaya dan ekonomi
Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan seseorang tanpa melalui penalaran
apakah yang dilakukan itu baik atau tidak. Status ekonomi seseorang juga akan
menentukan ketersediaan fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu,
sehingga status sosial ekonomi akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.
d. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu baik
lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap
masuknya pengetahuan ke dalam individu tersebut. Hal ini terjadi karena adanya
interaksi timbal balik yang akan direspon sebagai pengetahuan.
e. Pengalaman
Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman pribadi ataupun
pengalaman orang lain. Pengalaman ini merupakan suatu cara untuk memperoleh
kebenaran suatu pengetahuan.
f. Usia
Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Bertambahnya usia akan semakin berkembang pola pikir dan daya tangkap
seseorang sehingga pengetahuan yang diperoleh akan semakin banyak.

2.1.2 Konsep Ibu


1. Pengertian
Ibu adalah posisi sebagai istri, pemimpin, dan pemberi asuhan kesehatan. Ibu
adalah sebutan untuk seorang perempuan yang telah menikah dan melahirkan, sebutan
wanita yang telah bersuami (Effendi, 2004).
2. Peran dan fungsi ibu
Ibu sebagai istri, ibu dari anak-anaknya. Ibu mempunyai peranan dalam
mengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan
sebagai salah satu kelompok dalam peranan sosialnya, serta sebagai anggota
masyarakat dari lingkungannya. Disamping itu, ibu berperan sebagai pencari nafkah
tambahan dalam keluarganya.
Seorang ibu bersama keluarga mempunyai peran dan fungsi-fungsinya sebagai
berikut:
a. Fungsi fisiologis, berperan dalam reproduksi, pengasuh anak, pemberian
makanan, pemelihara kesehatan dan rekreasi.
b. Fungsi ekonomi, menyediakan cukup untuk mendukung fungsi lainnya,
menentukan alokasi sumber dana, menjamin keamanan vital keluarga.
c. Fungsi pendidik, mengajarkan keterampilan, tingkah laku, dan pengetahuan
berdasarkan fungsi lainnya.
d. Fungsi psikologis, memberikan lingkungan yang mendukung fungsi alamiah
setiap individu, menawarkan perlindungan psikologis yang optimal dan
mendukung untuk membentuk hubungan dengan orang lain.
e. Fungsi sosial budaya dengan meneruskan nilai-nilai budaya, sosialisasi, dan
pembentukan norma-norma, tingkah laku pada tiap tahap perkembangan anak
serta kehidupan keluarga. (Puspitasari, 2013)

2.1.3 Stunting
1. Definisi
Stunting adalah sebuah kondisi dimana tinggi badan seseorang ternyata lebih
pendek dibanding tinggi badan orang lain pada umumnya (yang seusia) (Sandjojo,
2017). Stunting adalah gangguan pertumbuhan yang menggambarkan tidak
tercapainya potensi pertumbuhan sebagai akibat status kesehatan dan atau gizi yang
tidak optimal yang ditunjukkan dengan nilai z-score tinggi badan menurut usia (TB/U)
kurang dari -2 standar deviasi (World Health Organization, 2010). Stunting
berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadinya kesakitan dan kematian,
perkembangan otak suboptimal sehingga perkembangan motorik terlambat dan
terhambatnya pertumbuhan mental.

2. Etiologi
Stunting pada balita merupakan konsekuensi yang sering dikaitkan dengan
kemiskinan termasuk gizi, kesehatan, sanitasi dan lingkungan. Ada lima faktor utama
penyebab stunting yaitu kemiskinan, sosial budaya, peningkatan paparan terhadap
penyakit infeksi, kerawanan pangan dan akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan (KEMENKES, 2013).
Stunting pada balita dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor
langsung seperti asupan makanan dan penyakit infeksi serta faktor tidak langsung
seperti pengetahuan gizi (pendidikan orang tua, pengetahuan tentang gizi, pendapatan
orang tua, distribusi makanan, besar keluarga). Masalah anak pendek merupakan
cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat karena masalah stunting ini
diakibatkan keadaan yang berlangsung lama (Ardiyah, 2015).
Stunting disebabkan karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi,
rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan sumber
protein hewani. Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada perilaku dan
praktik pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab anak stunting apabila
ibu tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik. Ibu yang masa remajanya
kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi akan sangat berpengaruh pada
pertumbuhan tubuh dan otak anak.
Faktor lainnya yang menyebabkan stunting adalah terjadi infeksi pada ibu,
kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan
hipertensi. Selain itu, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses
sanitasi dan air bersih menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
pertumbuhan anak. Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi. Intervensi paling
menentukan pada 1.000 HPK (1000 Hari Pertama Kehidupan) (Sandjojo, 2017).
a. Praktek pengasuhan yang tidak baik
 Kurang pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa
kehamilan.
 60 % dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI ekslusif.
 Anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pengganti ASI.
b. Terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC (Antenatal Care), post
natal dan pembelajaran dini yang berkualitas.
 Anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di Pendidikan Anak Usia Dini.
 Ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai.
 Menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu.
 Tidak mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi.
c. Kurangnya akses ke makanan bergizi
 Ibu hamil anemia
 Makanan bergizi mahal
d. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi
 Rumah tangga masih BAB diruang terbuka.
 Rumah tangga yang belum memiliki akses ke air minum bersih.

3. Patofisiologi
Masalah gizi merupakan masalah multidimensi, dipengaruhi oleh berbagai
faktor penyebab. Masalah gizi berkaitan erat dengan masalah pangan. Masalah gizi
pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah, atau masyarakat bahkan 10
keluarga karena anak tidak tampak sakit. Terjadinya kurang gizi tidak selalu didahului
oleh terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan seperti kurang gizi pada
dewasa. Hal ini berarti dalam kondisi pangan melimpah masih mungkin terjadi kasus
kurang gizi pada anak balita. Kurang gizi pada anak balita bulan sering disebut sebagai
kelaparan tersembunyi atau hidden hunger.
Stunting merupakan reterdasi pertumbuhan linier dengan deficit dalam
panjang atau tinggi badan sebesar -2 Z-score atau lebih menurut buku rujukan
pertumbuhan World Health Organization/National Center for Health Statistics
(WHO/NCHS). Stunting disebabkan oleh kumulasi episode stress yang sudah
berlangsung lama (misalnya infeksi dan asupan makanan yang buruk), yang kemudian
tidak terimbangi oleh catch up growth (kejar tumbuh) (Supariasa, 2002).
Dampak dari kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan berlanjut dalam
setiap siklus hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil yang mengalami
kekurangan energi kronis (KEK) akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR). BBLR ini akan berlanjut menjadi balita gizi kurang (stunting) dan
berlanjut ke usia anak sekolah dengan berbagai konsekuensinya. Konsep timbulnya
malnutrisi terjadi akibat dari faktor lingkungan dan faktor manusia (host) yang
didukung oleh kekurangan asupan zat-zat gizi. Akibat kekurangan zat gizi, maka
simpanan zat gizi pada tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Apabila keadaan
ini berlangsung lama, maka simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi
kemerosotan jaringan. Pada saat ini orang sudah saat dikatakan malnutrisi, walaupun
hanya ditandai dengan penurunan berat badan dan pertumbuhan terhambat.

4. Klasifikasi
Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat badannya
dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan
hasilnya berada dibawah normal. Penghitungan ini menggunakan standar z-score dari
WHO. Klasifikasi stunting terbagi menjadi tiga, yaitu normal, pendek dan sangat
pendek yang merupakan pengklasifikasian status gizi yang didasarkan pada indeks
panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) yang
merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek)
(Kemenkes, 2013).
a. Sangat pendek : z-score <-3,0
b. Pendek : z-score <-2,0 s.d z-score ≥-3,0
c. Normal : z-score ≥-2,0

5. Manifestasi Klinis
Gejala penyakit stunting sebenarnya sudah bisa teramati sejak lahir, beberapa
gejala dan tanda lain yang terjadi kalau anak mengalami stunting antara lain; anak
berbadan lebih pendek untuk anak seusianya, proporsi tubuh cenderung normal tetapi
anak tampak lebih muda atau lebih kecil untuk usianya, Pertumbuhan tulang tertunda,
berat badan tidak naik, cenderung menurun, untuk anak perempuan, menstruasi
terlambat dan mudah terkena penyakit infeksi. Risiko yang dialami oleh anak pendek
atau stunting kesulitan belajar dan kemampuan kognitifnya lemah, Mudah lelah dan
tak lincah, risiko mengalami berbagai penyakit kronis saat dewasa seperti diabetes,
jantung, kanker (Sandjojo, 2017).

6. Dampak Stunting
Dampak jangka pendek bagi anak yang mengalami stunting adalah
terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan
gangguan metabolisme dalam tubuh. Dalam jangka panjang dampak buruk dari
stunting adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya
kekebalan tubuh sehingga mudah sakit dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit
diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan
disabilitas pada usia tua (Sandjojo, 2017).
7. Pemeriksaan Antropometri
Antropometri berasal dari kata “anthropos” (tubuh) dan “metros” (ukuran)
sehingga antropometri secara umum artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pandang gizi, maka antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan gizi.
Dimensi tubuh yang diukur, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar
lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah
kulit (Supariasa, 2002). Dimensi tubuh yang dibutuhkan pada penelitian ini yaitu umur
dan tinggi badan, guna memperoleh indeks antropometri tinggi badan berdasar umur
(TB/U).
a. Umur
Umur adalah suatu angka yang mewakili lamanya kehidupan seseorang.
Usia dihitung saat pengumpulan data, berdasarkan tanggal kelahiran. Apabila
lebih hingga 14 hari maka dibulatkan ke bawah, sebaliknya jika lebih 15 hari
maka dibulatkan ke atas. Informasi terkait umur didapatkan melalui pengisian
kuesioner.
b. Tinggi badan
Tinggi atau panjang badan ialah indikator umum dalam mengukur tubuh
dan panjang tulang. Alat yang biasa dipakai disebut stadiometer. Ada dua macam
yaitu: ‘stadiometer portabel’ yang memiliki kisaran pengukur 840-2060 mm dan
‘harpenden stadiometer digital’ yang memiliki kisaran pengukur 600-2100 mm.
Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus, tanpa alas kaki dan
aksesoris kepala, kedua tangan tergantung rileks di samping badan, tumit dan
pantat menempel di dinding, pandangan mata mengarah ke depan sehingga
membentuk posisi kepala Frankfurt Plane (garis imaginasi dari bagian inferior
orbita horizontal terhadap meatus acusticus eksterna bagian dalam). Bagian alat
yang dapat digeser diturunkan hingga menyentuh kepala (bagian verteks).
Sentuhan diperkuat jika anak yang diperiksa berambut tebal. Pasien inspirasi
maksimum pada saat diukur untuk meluruskan tulang belakang. Pada bayi yang
diukur bukan tinggi melainkan panjang badan. Biasanya panjang badan diukur
jika anak belum mencapai ukuran linier 85 cm atau berusia kurang dari 2 tahun.
Ukuran panjang badan lebih besar 0,5-1,5 cm daripada tinggi. Oleh sebab itu, bila
anak diatas 2 tahun diukur dalam keadaan berbaring maka hasilnya dikurangi 1
cm sebelum diplot pada grafik pertumbuhan.
Anak dengan keterbatasan fisik seperti kontraktur dan tidak
memungkinkan dilakukan pengukuran tinggi seperti di atas, terdapat cara
pengukuran alternatif. Indeks lain yang dapat dipercaya dan sahih untuk
mengukur tinggi badan ialah: rentang lengan (arm span), panjang lengan atas
(upper arm length), dan panjang tungkai bawah (knee height). Semua pengukuran
di atas dilakukan sampai ketelitian 0,1 cm.

2.1.4 Pendidikan Kesehatan


1. Pengertian
Pendidikan kesehatan dalam arti pendidikan secara umum adalah segala upaya
yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok, atau
masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan
atau promosi kesehatan. Dan batasan ini tersirat unsur-unsur input (sasaran dan
pendidik dari pendidikan), proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi
orang lain) dan output (melakukan apa yang diharapkan). Hasil yang diharapkan dari
suatu promosi atau pendidikan kesehatan adalah perilaku kesehatan, atau perilaku
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang kondusif oleh sasaran dari
promosi kesehatan. (Notoadmojo, 2012) .
Pendidikan kesehatan adalah proses perubahan perilaku yang dinamis, dimana
perubahan tersebut bukan sekedar proses transfer materi atau teori dari seseorang ke
orang lain, akan tetapi perubahan tersebut terjadi karena adanya kesadaran dari dalam
diri individu atau kelompok masyarakat sendiri (Mubarak dan Chayatin, 2009).

2. Tujuan Pendidikan Kesehatan


Tujuan pendidikan kesehatan berdasarkan Undang-Undang Kesehatan No. 36
tahun 2009 adalah meningkatkan kemampuan masyarakat, baik fisik, mental dan
sosialnya sehingga produktif secara ekonomi maupun sosial. Pendidikan kesehatan
mencakup beberapa program kesehatan yaitu pemberantasan penyakit menular,
sanitasi, lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan kesehatan, maupun program lainnya.
Menurut Mubarak dan Chayatin (2009), tujuan pendidikan kesehatan adalah
agar setiap orang mampu:
a. Menetapkan masalah dan kebutuhan mereka sendiri.
b. Memahami apa yang dapat mereka lakukan terhadap masalah dengan sumber
daya yang ada pada mereka ditambah dengan dukungan dari luar.
c. Memutuskan kegiatan yang paling tepat, guna untuk meningkatkan taraf hidup
sehat dan kesejahteraan masyarakat.

3. Sasaran Pendidikan Kesehatan


Menurut Notoadmojo (2010), sasaran pendidikan kesehatan dibagi menjadi
tiga, yaitu:
a. Sasaran primer (Primary target)
Sasaran langsung pada masyarakat berupa upaya pendidikan keshetan/promosi
kesehatan. contohnya, kepala keluarga untuk masalah kesehatan umum, ibu hamil
dan menyusui untuk masalah KIA, anak sekolah untuk kesehatan remaja, dll.
b. Sasaran sekunder (Secondary target)
Sasaran ini ditujukan ke tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan
sebagainya. Kelompok ini diharapkan akan memberikan pendidikan kesehatan
dan contoh bagaimana cara berperilaku hidup sehat bagi masyarakat di
sekitarnya.
c. Sasaran tersier (Tertiary target)
Sasaran ditujukan pada pembuat keputusan/penentu kebijakan baik ditingkat
pusat maupun daerah. Diharapkan dengan keputusan dari kelompok ini akan
berdampak kepada perilaku kelompok sasaran sekunder dan juga pada kelompok
primer.

4. Media Pendidikan
Media sebagai alat bantu menyampaikan pesan-pesan kesehatan. Alat-alat bantu
tersebut mempunyai fungsi sebagai berikut (Notoadmojo, 2012) :
a. Menimbulkan minat sasaran pendidikan
b. Mencapai sasaran yang lebih banyak
c. Membantu dalam mengatasi banyak hambatan dalam pemahaman
d. Menstimulasi sasaran pendidikan untuk meneruskan pesan –pesan yang diterima
oran lain
e. Mempermudah penyampaian bahan atau informasi kesehatan
f. Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran/ masyarakat
g. Mendorong keinginan orang untuk mengetahui, kemudian lebih mendalami, dan
akhirnya mendapatkan pengertian yang lebih baik
h. Membantu menegakkan pengertian yang diperoleh
Dengan kata lain media ini memiliki beberapa tujuan yaitu :
a. Tujuan yang akan dicapai
1) Menanamkan pengetahuan/pengertian, pendapat dan konsep- konsep
2) Mengubah sikap dan persepsi
3) Menanamkan perilaku/kebiasaan yang baru
b. Tujuan penggunaan alat bantu
1) Sebagai alat bantu dalam latihan/penataran/pendidikan
2) Untuk menimbulkan perhatian terhadap suatu masalah
3) Untuk mengingatkan suatu pesan/informasi
4) Untuk menjelaskan fakta-fakta, prosedur, tindakan.
Ada beberapa bentuk media penyuluhan antara lain (Notoadmojo, 2012) :
a. Alat bantu lihat (visual aid) yang berguna dalam membantu menstimulasi indra
penglihatan
b. Alat bantu dengar (audio aids) yaitu alat yang dapat membantu untuk
menstimulasi indra pendengar pada waktu penyampaian bahan
pendidikan/pengajaran
c. Alat bantu lihat-dengar (audio visual aids)

2.1.5 Media Audiovisual


Menurut Wina Sanjaya (2010) secara umum media merupakan kata jamak dari
medium, yang berarti perantara atau pengantar. Kata media berlaku untuk berbagai
kegiatan atau usaha, seperti media dalam penyampaian pesan, media pengantar magnet
atau panas dalam bidang teknik. Istilah media juga digunakan dalam bidang pengajaran
atau pendidikan sehingga istilahnya menjadi media pendidikan atau media pembelajaran.
Sedangkan media audio yaitu media yang berkaitan dengan indera pendengaran. Pesan
yang akan disampaikan dituangkan dalam lambang-lambang auditif, baik verbal (kedalam
kata-kata/bahasa lisan) maupun non verbal. Beberapa jenis media yang termasuk dalam
kelompok ini adalah radio, dan alat perekam pita magnetikMedia Audiovisual, yaitu jenis
media yang selain mengandung unsur suara juga mengandung unsur gambar yang bisa
dilihat, misalnya rekaman video, berbagai ukuran film, slide suara, dan lain sebagainya.
Kemampuan media ini dianggap lebih baik dan lebih menarik, sebab mengandung kedua
unsur jenis media yang pertama dan kedua.
Media visual yang menggabungkan penggunaan suara memerlukan pekerjaan
tambahan untuk memproduksinya. Salah satu pekerjaan penting yang diperlukan dalam
media audio-visual adalah penulisan naskah dan storyboard yang memerlukan persiapan
yang banyak, rancangan, dan penelitian. Yang didalamnya terdapat media audio dan visual
seperti televisi, headphone, video player, radio cassette, dan alat perekam.
Macam-macam media audio visual dan pemanfaatannya:
a. Audio visual murni yaitu baik unsur suara maupun unsur gambar berasal dari satu
sumber seperti video kaset.
b. Audio visual tidak murni yaitu unsur suara dan unsur gambarnya berasal dari sumber
yang berbeda. Misalnya film bingkai suara yang unsur gambarnya berasal dari slides
proyektor dan unsur suaranya berasal dari tape recorder.
Pembelajaran menggunakan teknologi audio visual adalah satu cara
menyampaikan materi dengan menggunakan mesin-mesin mekanis dan elektronis untuk
menyajikan pesan-pesan audio visual. Arsyad (2011) mengemukakan bahwa media audio
visual memiliki karakteristik sebagai berikut.
a. Mereka biasanya bersifat linear.
b. Mereka biasanya menyajikan visual yang dinamis.
c. Mereka digunakan dengan cara yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
perancang/pembuatnya.
d. Mereka merupakan gambaran fisik dari gagasan real atau abstrak.
e. Mereka dikembangkan menurut prinsip psikologis behaviorisme dan kognitif.
f. Umumnya mereka berorientasi pada guru dengan tingkat pelibatan interaktif murid
yang rendah.
Setiap jenis media yang digunakan dalam proses pembelajaran memiliki kelebihan
dan kelemahan begitu pula dengan media audio visual. Arsyad (2011) mengungkapkan
beberapa kelebihan dan kelemahan media audio visual dalam pembelajaran sebagai
berikut.
a. Kelebihan media audio visual:
1) Film dan vidio dapat melengkapi pengalaman dasar audiens.
2) Film dan vidio dapat menggambarkan suatu proses secara tepat yang dapat
disaksikan secara berulang-ulang jika perlu.
3) Di samping mendorong dan meningkatkan motivasi film dan video menanamkan
sikap-sikap dan segi afektif lainnya.
4) Film dan video yang mengandung nilai-nilai positif dapat mengundang pemikiran
dan pembahasan dalam kelompok audiens.
5) Film dan video dapat menyajikan peristiwa yang berbahaya jika dilihat secara
langsung.
6) Film dan video dapat ditunjukkan kepada kelompok besar atau kelompok kecil,
kelompok yang heterogen maupun homogen maupun perorangan.
7) Film yang dalam kecepatan normal memakan waktu satu minggu dapat
ditampilkan dalam satu atau dua menit.
b. Kelemahan media audio visual:
1) Pengadaan film dan video umumnya memerlukan biaya mahal dan waktu yang
banyak.
2) Tidak semua audiens mampu mengikuti informasi yang ingin disampaikan
melalui film tersebut.
Film dan vidio yang tersedia tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan tujuan belajar
yang diinginkan, kecuali dirancang dan diproduksi khusus untuk kebutuhan sendiri.

4.2. Kerangka Konsep


Kerangka konsep penelitian merupakan formula atau simplifikasi dari kerangka
teori atau teori-teori yang mendukung penelitian tersebut (Setiadi, 2013). Kerangka konsep
terdiri dari variabel-variabel serta hubungan variabel yang satu dengan yang lain sehingga
kerangka konsep akan mengarahkan penelitian untuk menganalisis hasil penelitian.
Skema 1.
Kerangka konsep
Kelompok Eksperimen
Input Proses Output

Tingkat pengetahuan Tingkat pengetahuan


Diberikan pendidikan
ibu tentang stunting ibu tentang stunting
kesehatan dengan
sebelum diberikan setelah diberikan
media Audiovisual
pendidikan pendidikan kesehatan
tentang stunting
kesehatan dengan dengan media
media Audiovisual Audiovisual

Kelompok Kontrol
Input Proses Output

Tingkat pengetahuan Tidak diberikan Tingkat pengetahuan


ibu tentang stunting. pendidikan kesehatan ibu tentang stunting.
dengan media
Audiovisual tentang
stunting

4.3. Hipotesis Penelitian


Hipotesis adalah suatu pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan
pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesa tersebut dapat diterima atau harus ditolak,
berdasarkan fakta atau data empiris yang telah dikumpulkan dalam penelitian (Hidayat,
2007).
Hipotesa dari penelitian ini adalah:
a. Hipotesa Nol (Ho)
Pemberian pendidikan kesehatan dengan menggunakan media audiovisual tidak dapat
meningkatkan pengetahuan ibu tentang stunting.
b. Hipotesa Alternatif (Ha)
Pemberian pendidikan kesehatan dengan menggunakan media audiovisual tidak dapat
meningkatkan pengetahuan ibu tentang stunting.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Metode penelitian adalah suatu prosedur untuk mendapatkan ilmu dan merupakan
usaha untuk memecahkan masalah melalui berfikir rasional dan berfikir empiris. Desain
penelitian merupakan rencana yang telah disusun sedemikian rupa untuk memperoleh
jawaban dari pertanyaan penelitian (Setiadi, 2013).
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif yang menggunakan desain
penelitian Quasi Experiment dengan pendekatan cross sectional. Penelitian cross sectional
merupakan rancangan penelitian yang pengukuran dan pengamatannya dilakukan dalam
waktu yang singkat (sekali waktu) (Hidayat, 2012). Penelitian ini menggunakan rancangan
penelitian non-equivalent control group yaitu dengan membagi responden menjadi dua
kelompok (kelompok kontrol dan kelompok eksperimen) yang dilakukan secara acak.
Kemudian dilakukan pretest pada kedua kelompok tersebut. Setelah itu kelompok
eksperimen akan diberikan intervensi lalu dilanjutkan dengan dilakukannya posttest pada
kedua kelompok tersebut (Notoadmodjo, 2012). Bentuk rancangan ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
Skema 2.
Rancangan Penelitian

Kelompok eksperimen O₁ X₁ O₂
Pretest Intervensi Posttest

Kelompok kontrol O₃ X₀ O₄
Pretest Tidak diintervensi Posttest

Keterangan:
O₁ : Pengukuran tingkat pengetahuan ibu sebelum dilakukan intervensi pada
kelompok eskperimen.
O₂ : Pengukuran tingkat pengetahuan ibu setelah dilakukan intervensi pada kelompok
eskperimen.
O₃ : Pengukuran tingkat pengetahuan ibu pada kelompok kontrol.
O₄ : Pengukuran tingkat pengetahuan ibu pada kelompok kontrol.
X₁ : Intervensi atau perlakuan yang diberikan kepada pasien berupa program
pendidikan kesehatan dengan media audio visual.
X₀ : Tidak diberikan intervensi atau perlakuan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


A. Lokasi penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Aula Puskesmas Rejosairi Pekanbaru
B. Waktu penelitian
3.3 Populasi dan Sampel
A. Populasi penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang ada di wilayah kerja
puskesmas Rejosari Pekanbaru.
B. Sampel penelitian
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik pengambilan total
sampling yaitu dengan mengambil semua anggota populasi menjadi sampel. Sampel
dalam penelitian ini adalah ibu yang ada di wilayah kerja puskesmas Rejosari yaitu
berjumlah 90 orang.
Agar karakteristik sampel penelitian tidak menyimpang dari populasinya,
maka penelitian ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Kriteria Inklusi:
2) Wanita yang berumur >18 tahun atau wanita yang sudah menikah.
3) Dapat membaca dan menulis
4) Tidak mengalami gangguan penglihatan dan pendengaran.
5) Bersedia menjadi responden.

3.4 Etika Penelitian


Masalah etika penelitian menjadi masalah yang sangat penting bagi penelitian
dalam keperawatan
3.5 Defenisi Operasional
3.6 Alat Pengumpulan Data
3.7 Prosedur Pengumpulan Data
3.8 Pengolahan dan Analisa Data
DAFTAR PUSTAKA

Ardiyah, F.O., Ninna, R., & Mury, R. 2015. Faktor- faktor yang mempengaruhi kejadian
stunting pada anak balita di wilayah pedesaan dan perkotaan. Jurnal Pustaka
Kesehatan 3 (1) : 163-170
Arsyad, A. 2006. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Asyhar, R. 2011. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada (GP)
Press.

Daryanto, H. 2010. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta


Depkes RI. 2007. Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Tatalaksana Anak Gizi Buruk bagi
Tenaga Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat.
Effendi. 2004. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC
Fitriani, N. L., & Andriyani. 2015. Hubungan antara pengetahuan dengan sikap anak usia
sekolah akhir (10-12 tahun) tentang makanan jajanan di SD Negeri II Tagog Apu
Padalarang Kabupaten Bandung Barat. FIKES FPOK-UPI.
Hidayat. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika

Hidayat, L. 2008. Kekurangan energi dan zat gizi merupakan faktor resiko kejadian stunting
pada anak usia 1-3 tahun yang tinggal di wilayah kumuh perkotaan Surakarta. Jurnal
Kesehatan, 3 (1): 89-104
Mubarak, W. I., & Chayatin, N. 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Salemba Medika.

Notoadmodjo, S. 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoadmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Kabeta, A., Belegavi, D., & Gizachew, Y. 2017. Factors associated with nutritional status of
under-five children in Yirgalem Town South Ethiopia. IOSR Journal of Nursing and
Health Science (IOSR-JNHS) 6 (2): 78-84.
Kapti, R.E., Rustina, Y., & Widyatuti. 2013. Efektivftas audiovisual sebagai media penyuluhan
kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap ibu dalam tatalaksana balita
dengan diare di dua Rumah Sakit kota Malang. Jurnal Ilmu Keperawatan, 1 (1): 53-
59.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013a. Standar Antropometri Penilaian Status
Gizi Anak. Jakarta: Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak

Kementerian Kesehatan RI. 2013b. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Pusat Data dan Informasi. Jakarta:
Kemenkes.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Pemantauan Status Gizi 2017. Jakarta:
Kemenkes.
Nurkarimah, dkk. 2018. Hubungan durasi pemberian ASI ekslusif dengan kejadian stunting
pada anak. Jurnal Online Mahaaudiens 5 (2).
Rahayu, A., & Khairiya, L. 2014. Risiko pendidikaan ibu terhadap kejadian stunting pada anak
6-23 bulan. Panel Gizi Makan, 37 (2): 129-136.
RISKESDAS. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia
Sandjojo, E. P. 2017. Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting. Jakarta: Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta
: Prenada Media Group

Setiadi. 2013. Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan, edisi 2. Yogyakarta: Graha
Ilmu

Setiawati, S., & Dermawan, A. C. 2008. Proses Pembelajaran dalam Pendidikan Kesehatan.
Jakarta: Trans Info Media
Sulistyoningsih, H. 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sulpidar. 2014. Gambaran Perbandingan Status Gizi Balita Pada Penderita Gizi Kurang
Sebelum dan Sesudah Diberikan Taburia Di Puskesmas Antang Tahun 2014.
Makassar: Universitas Islam Negeri Alauddin.
Supariasa. 2002. Penilaian status gizi. Jakarta: EGC

World Health Organization, 2010. Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country
Profile Indicators: Interpretation Guide. Geneva: WHO

World Health Organization. 2013. Scalling Up Nutrition.

Anda mungkin juga menyukai