Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang


banyak membawa perubahan terhadap kehidupan manusia baik dalam hal
perubahan pola hidup maupun tatanan sosial termasuk dalam bidang kesehatan
yang sering dihadapkan dalam suatu hal yang berhubungan langsung dengan
norma dan budaya yang dianut oleh masyarakat yang bermukim dalam suatu
tempat tertentu.
Pengaruh sosial budaya dalam masyarakat memberikan peranan
penting dalam mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Perkembangan sosial budaya dalam masyarakat merupakan suatu tanda bahwa
masyarakat dalam suatu daerah tersebut telah mengalami suatu perubahan
dalam proses berfikir. Perubahan sosial dan budaya bisa memberikan dampak
positif maupun negatif.
Hubungan antara budaya dan kesehatan sangatlah erat hubungannya,
sebagai salah satu contoh suatu masyarakat desa yang sederhana dapat
bertahan dengan cara pengobatan tertentu sesuai dengan tradisi mereka.
Kebudayaan atau kultur dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap
kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa memandang
tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya
mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat mereka mengerti tentang
proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana meluruskan keyakinan atau
budaya yang dianut hubungannya dengan kesehatan.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa pengertian kesehatan?


b. Bagaimana hubungan kebudayaan dan pengobatan tradisional?
c. Bagaimana konsep sehat dan sakit menurut budaya masyarakat?
d. Bagaimana perilaku kesehatan didalam masyarakat?
e. Apa faktor - faktor yang mempengaruhi perilaku pengobatan dalam
masyarakat?

1
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian kesehatan.
b. Untuk mengetahui bagaimana hubungan kebudayaan dan pengobatan
tradisional.
c. Untuk mengetahui bagaimana konsep sehat dan sakit menurut budaya
masyarakat.
d. Untuk mengetahui perilaku kesehatan didalam masyarakat.
e. Untuk mengetahui faktor pendorong dan penghambat yang mempengaruhi
budaya kesehatan pada masyarakat tersebut.

BAB II
ISI
2.1 Pengertian Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penaggulangan dan pencegahan
gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau
perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Pendidikan kesehatan adalah
proses membantu sesorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri ataupun
secara kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan
mengenai hal-hal yang mempengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain.

2
Definisi yang bahkan lebih sederhana diajukan oleh Larry Green dan
para koleganya yang menulis bahwa pendidikan kesehatan adalah kombinasi
pengalaman belajar yang dirancang untuk mempermudah adaptasi sukarela
terhadap perilaku yang kondusif bagi kesehatan. Data terakhir menunjukkan
bahwa saat ini lebih dari 80 persen rakyat Indonesia tidak mampu mendapat
jaminan kesehatan dari lembaga atau perusahaan di bidang pemeliharaan
kesehatan, seperti Akses, Taspen, dan Jamsostek.
Golongan masyarakat yang dianggap 'teranaktirikan' dalam hal
jaminan kesehatan adalah mereka dari golongan masyarakat kecil dan
pedagang. Dalam pelayanan kesehatan, masalah ini menjadi lebih pelik,
berhubung dalam manajemen pelayanan kesehatan tidak saja terkait beberapa
kelompok manusia, tetapi juga sifat yang khusus dari pelayanan kesehatan itu
sendiri.
UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa: Kesehatan
adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka
kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-
unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa
merupakanbagian integral kesehatan.

2.2 Kebudayaan dan Pengobatan Tradisional


Masing-masing kebudayaan memiliki berbagai pengobatan untuk
penyembuhan anggota masyarakatnya yang sakit. Berbeda dengan ilmu
kedokteran yang menganggap bahwa penyebab penyakit adalah kuman,
kemudian diberi obat antibiotika dan obat tersebut dapat mematikan kuman
penyebab penyakit. Pada masyarakat tradisional, tidak semua penyakit itu
disebabkan oleh penyebab biologis. Kadangkala mereka menghubung-
hubungkan dengan sesuatu yang gaib, sihir, roh jahat atau iblis yang
mengganggu manusia dan menyebabkan sakit.
Banyak suku di Indonesia menganggap bahwa penyakit itu timbul
akibat guna-guna. Orang yang terkena guna-guna akan mendatangi dukun
untuk meminta pertolongan. Masing-masing suku di Indonesia memiliki
dukun atau tetua adat sebagai penyembuh orang yang terkena guna-guna

3
tersebut. Cara yang digunakan juga berbeda-beda masing-masing suku.
Begitu pula suku-suku di dunia, mereka menggunakan pengobatan tradisional
masing-masing untuk menyembuhkan anggota sukunya yang sakit.
Suku Azande di Afrika Tengah mempunyai kepercayaan bahwa jika
anggota sukunya jari kakinya tertusuk sewaktu sedang berjalan melalui jalan
biasa dan dia terkena penyakit tuberkulosis maka dia dianggap terkena
serangan sihir. Penyakit itu disebabkan oleh serangan tukang sihirdan korban
tidak akan sembuh sampai serangan itu berhenti.
Orang Kwakuit di bagian barat Kanada percaya bahwa penyakit dapat
disebabkan oleh dimasukkannya benda asing ke dalam tubuh dan yang
terkena dapat mencari pertolongan ke dukun. Dukun itu biasa disebut
Shaman. Dengan suatu upacara penyembuhan maka Shaman akan
mengeluarkan benda asing itu dari tubuh pasien.

2.3 Konsep Sehat dan Sakit Menurut Budaya Masyarakat

Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan


universal karena ada faktor–faktor lain diluar kenyataan klinis yang
mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling
mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks
pengertian yang lain.
Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan
lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian
tentang konsep sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu.
Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan
kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan
baik secara biologis, psikologis maupun sosio budaya.
Definisi sakit: seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit
menahun (kronis), atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas
kerja/kegiatannya terganggu. Walaupun seseorang sakit (istilah sehari -hari)
seperti masuk angin, pilek, tetapi bila ia tidak terganggu untuk melaksanakan
kegiatannya, maka ia di anggap tidak sakit.

4
Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan
resultante dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun
masalah buatan manusia, social budaya, perilaku, populasi penduduk,
genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai
psycho socio somatic health well being , merupakan resultante dari 4 faktor
yaitu:
a. Environment atau lingkungan.
b. Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua dihubungkan
dengan ecological balance.
c. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi
penduduk, dan sebagainya.
d. Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif,
promotif, kuratif, dan rehabilitatif.

Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan


faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya
derajat kesehatan masyarakat. Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan
pasien sangat dipengaruhi oleh faktor -faktor seperti kelas social, perbedaan
suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama (yang
ditentukan secara klinis), bergantung dari variable-variabel tersebut dapat
menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien.
Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, social dan
pengertian profesional yang beragam. Dulu dari sudut pandangan kedokteran,
sehat sangat erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit. Dalam
kenyataannya tidaklah sesederhana itu, sehat harus dilihat dari berbagai
aspek. WHO melihat sehat dari berbagai aspek. WHO mendefinisikan
pengertian sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani, rohani,
maupun kesejahteraan social seseorang. Sebatas mana seseorang dapat
dianggap sempurna jasmaninya.
Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan di pandang sebagai
disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan
sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi
antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi
kesehatan dan penyakit. Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya: hal ini

5
karena penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat
menjalankan peran normalnya secara wajar.
Seorang pengobat tradisional yang juga menerima pandangan
kedokteran modern, mempunyai pengetahuan yang menarik mengenai
masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit adalah sebagai berikut: sakit badaniah
berarti ada tanda-tanda penyakit di badannya seperti panas tinggi, penglihatan
lemah, tidak kuat bekerja, sulit makan, tidur terganggu, dan badan lemah atau
sakit, maunya tiduran atau istirahat saja.
Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara
daerah yang satu dengan daerah yang lain, karena tergantung dari kebudayaan
yang ada dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Persepsi kejadian
penyakit yang berlainan dengan ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di
masyarakat; dapat turun dari satu generasi ke generasi berikutnya dan bahkan
dapat berkembang luas.

Berikut ini contoh persepsi masyarakat tentang penyakit malaria, yang


saat ini masih ada di beberapa daerah pedesaan di Papua (Irian Jaya).
Makanan pokok penduduk Papua adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa
-rawa. Selain rawa-rawa, tidak jauh dari mereka tinggal terdapat hutan lebat.
Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib
yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar ketentuannya.
Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah
pertanian, dan lain-lain akan diganjar hukuman berupa penyakit dengan
gejala demam tinggi, menggigil, dan muntah. Penyakit tersebut dapat sembuh
dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian memetik daun
dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di minum dan dioleskan ke seluruh
tubuh penderita. Dalam beberapa hari penderita akan sembuh.
Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan ditentukan dari
penuturan sederhana dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit
akibat kutukan Allah, makhluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman
berbisa, binatang, dan sebagainya. Pada sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu
penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiram air di malam

6
hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka
masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria.

2.4 Perilaku Kesehatan Didalam Masyarakat


Perilaku merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas, yang
merupakan hasil akhir jalinan yang saling mempengaruhi antara berbagai
macam gejala seperti perhatian, pengamatan, pikiran, ingatan, dan fantasi.
Skinner mendefinisikan lain mengenai perilaku, yaitu merupakan
tanggapan (respon) atau reaksi seseorang terhadap perangsang (stimulus).
Perilaku dalam konsep Skinner dapat terbentuk dari 2 faktor, yaitu
stimulus sebagai faktor eksternal dan respon sebagai faktor internal. Faktor
eksternal meliputi lingkungan fisik, sosial, dan budaya, sedangkan faktor
internal terdiri dari perhatian, pengamatan, motivasi, persepsi, intelegensi,
dan fantasi (Notoatmojo, 2003).
Pembentukan perilaku pada seseorang memerlukan suatu kondisi
tertentu yang disebut operant conditioning. Proses pembentukan perilaku
dalam operant conditioning menurut Skinner dalam (Notoatmodjo, 2003)
adalah sebagai berikut:
1. Melakukan identifikasi mengenai hal-hal yang merupakan penguat
atau reinforcer berupa hadiah-hadiah atau reward bagi perilaku yang
akan dibentuk.
2. Menganalisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang
membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-
komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju
kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.
3. Mengidentifikasi reinforcement atau hadiah untuk masing-masing
komponen yang telah disusun diatas.
4. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan
komponen yang telah tersusun itu. Hadiah dapat diberikan setelah
komponen perilaku yang pertama telah dilakukan, sehingga seseorang
cenderung mengulangi apa yang telah dilakukanya tersebut. Perilaku
yang sudah terbentuk ini, kemudian dilanjutkan dengan komponen

7
perilaku yang kedua. Komponen perilaku yang pertama sudah tidak
memerlukan hadiah lagi, tetapi yang diberi hadiah adalah komponen
perilaku yang kedua. Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai
komponen perilaku kedua terbentuk, dan kemudian dilanjutkan
dengan komponen perilaku ketiga, keempat dan seterusnya.

Perilaku yang telah terbentuk melalui proses operant


conditioning tadi, jika dilihat dari bentuk responnya terhadap stimulus,
maka perilaku dapat dibagi menjadi perilaku tertutup (covert behavior )
dan perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup adalah jika respon
individu tersebut terhadap stimulus masih terbatas pada perhatian,
persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang belum dapat diamati
dengan jelas oleh orang lain. Perilaku terbuka adalah jika respon seseorang
terhadap stimulus sudah dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka yang
dapat diamati oleh orang lain (Notoatmojo, 2003).
Manusia dibekali oleh akal pikiran, sehingga mampu untuk
berpikir terlebih dahulu dalam berperilaku dengan mempertimbangkan
segala aspek 14 yang ada. Akal pikiran saja juga tidak cukup, di mana
emosi dan perasaan juga turut berperan dalam membentuk perilaku.
Kombinasi antara akal pikiran, emosi, dan perasaan membuat seseorang
dapat berperilaku, dimana ketiga hal tersebut tidak bisa dipisahkan satu
sama lain. Setelah timbul niat untuk melakukan perilaku tertentu, manusia
tentu saja tidak langsung berperilaku (Ajzen, 2005).
Manusia akan cenderung untuk merencanakan perilaku yang akan
dilakukanya terlebih dahulu agar mendapatkan hasil yang baik. Ajzen
mengemukakan theory of planned behavior untuk menerangkan hal ini.
Teori ini mengasumsikan bahwa suatu perilaku tidak hanya ditentukan
oleh sikap dan norma subjektif saja, tetapi juga oleh persepsi individu
terhadap kontrol yang dilakukannya yang bersumber pada keyakinan
terhadap kontrol tersebut (Ajzen, 2005).

8
Teori Planned behavior mengandung beberapa variabel yang
saling berkaitan, yaitu (Ajzen, 2005):
a. Latar belakang, seperti usia, jenis kelamin, ras, sosioekonomi,
pengetahuan, dan kepribadian. Ajzen memasukkan tiga faktor latar
belakang, yaitu personal, sosial, dan informasi. Faktor personal adalah
sikap umum seseorang terhadap suatu sifat kepribadian. Faktor sosial
adalah jenis kelamin, usia, pendidikan, etnis, penghasilan, dan agama,
sementara faktor informasi adalah pengalaman, pengetahuan, dan
paparan media.
b. Keyakinan perilaku. Individu dalam bertindak karena dirinya yakin
bahwa apa yang dilakukanya merupakan tindakan yang positif atau
negatif. Apabila individu tersebut merasa bahwa berobat ke suatu
tempat adalah tindakan yang positif untuk kesehatannya, maka dia
akan berobat ke tempat tersebut.
c. Keyakinan normatif (normative beliefs). Faktor lingkungan sosial,
khususnya orang-orang yang mempunyai pengaruh kuat bagi
kehidupan individu dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Sebagai
contoh, individu tersebut memilih suatu bentuk pengobatan karena
himbauan dari orang tuanya.
d. Norma Subjektif (subjective norm). Individu akan bertindak jika
memang merasa sesuatu itu adalah hak pribadinya, kemudian dia akan
mengabaikan pandangan orang lain tentang perilaku yang akan
dilakukannya. Individu merasa bahwa kesehatan dirinya adalah hak
pribadinya, sehingga apapun yang perlu dilakukan untuk kesehatannya
akan dia putuskan sendiri.
e. Keyakinan bahwa suatu perilaku dapat dilakukan (control beliefs).
Seseorang yakin bisa melakukan suatu tindakan bila dia pernah
melakukan hal yang sama sebelumnya atau dia pernah melihat
pengalaman dari orang lain. Individu yang sudah pernah berobat dan
merasakan hasil yang baik cenderung menggunakan pengobatan yang
sama seterusnya. Begitu pula sebaliknya.

9
f. Persepsi kemampuan mengontrol (perceived behavioral control), yaitu
seseorang dapat berperilaku bukan karena dia memiliki waktu dan
fasilitas untuk melakukan perilaku tersebut saja, namun juga
dipengaruhi oleh perkiraan individu tersebut apakah dia mampu
melakukanya atau tidak.

Awal tahun 2009, masyarakat dihebohkan dengan kehadiran


seorang dukun cilik asal Jombang. Dalam tayangan televisi, tergambarkan
jelas saat ribuan orang antri berdesak-desakan dan berebut minta obat pada
seorang bocah bernama Ponari. Orang-orang tersebut datang dari berbagai
penjuru daerah Jawa Timur, bahkan sebagian mengaku dari luar propinsi.
Mereka meyakini bahwa “watu gludhug” yang dimiliki Ponari dapat
menyembuhkan segala macam penyakit. Kehebohan yang terjadi di
Jombang ini umumnya ditangkap sebagai perilaku masyarakat yang dinilai
berada di luar nalar (Priyono, 2009).
Ada banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat ketika mereka
mengalami gangguan kesehatan. Cara yang ditempuh pada umumnya akan
berkait dengan keyakinan yang dimiliki serta peluang untuk mengakses
pelayanan kesehatan yang tersedia dalam masyarakat (Priyono, 2009).
Keyakinan tersebut nantinya akan mempengaruhi perilaku sehat-
sakit seseorang. Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan
yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar memperoleh
kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan
individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk
pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri, penjagaan kebugaran
melalui olahraga dan makanan bergizi. Perilaku sehat diperlihatkan oleh
individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu
mereka benar-benar sehat. Sesuai dengan persepsi tentang sakit dan
penyakit, maka perilaku sakit dan perilaku sehat pun sifatnya subjektif
(Mubarak, 2009). Suchman dalam (Becker & Maiman, 1995) menjelaskan
bahwa sekuensi peristiwa medis dibagi atas 5 tingkat, yaitu :

10
1. Pengalaman dengan gejala penyakit
Pada tahap ini individu merasakan adanya rasa sakit, kurang enak
badan, atau sesuatu yang tidak biasa di alami.
2. Penilaian terhadap peran sakit
Pengetahuan individu tentang gejala tersebut mendorongnya
membuat penafsiran-penafsiran yang berkaitan dengan akibat
penyakit serta gangguan terhadap fungsi sosialnya.
3. Kontak dengan perawatan medis
Individu mulai mencari sumber pelayanan medis sesuai
pengalamannya atau setelah meminta pendapat dari orang-orang
terdekatnya. Pada tahap ini individu bisa memilih dan menentukan
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan keinginannya.
4. Jadi pasien
Individu menggantungkan dirinya pada pihak pelayanan medis dan
pasrah terhadap prosedur pengobatan. Dia harus mematuhi prosedur
yang dilakukan oleh pihak pelayanan medis agar cepat mencapai
kesembuhan.
5. Sembuh atau masa rehabilitasi Individu terbebas dari tahap berperan
sakit dan memasuki tahap pemulihan kesehatan atau memasuki tahap
rehabilitasi.

Beberapa penelitian memang menunjukkan bahwa tindakan


pertama untuk mengatasi penyakit adalah berobat sendiri (self
medication). Masyarakat Indonesia masih mempunyai satu tahap lagi yang
dilewati banyak penderita sebelum datang ke petugas kesehatan, yaitu
berobat ke dukun atau ahli-ahli pengobatan tradisional lainnya. Dengan
demikian, yang datang meminta pertolongan dokter adalah individu
dengan keadaan yang sudah parah. Bahkan di Mesir, rumah sakit pernah
dikenal dengan istilah “rumah mati”, karena siapa yang masuk ke rumah
sakit biasanya keluar sebagai mayat. Mereka mengira bahwa kematian itu

11
disebabkan oleh dokter-dokter rumah sakit tanpa memahami keadaan yang
sebenarnya (Sarwono, 2007).
Dalam 30 tahun terakhir, berbagai istilah telah digunakan untuk
cara-cara pengobatan yang berkembang di tengah masyarakat. WHO
menyebut sebagai traditional medicine atau pengobatan tradisional. Ada
pula yang menyebut traditional healing, folk medicine, alternatif medicine,
ethnomedicine, dan indigenous medicine.
WHO menyatakan pengobatan tradisional adalah ilmu dan seni
pengobatan berdasarkan himpunan dari pengetahuan dan pengalaman
praktek, baik yang dapat diterangkan secara ilmiah ataupun tidak, dalam
menegakkan diagnosis, prevensi, dan pengobatan terhadap
ketidakseimbangan fisik, mental, ataupun sosial (Ratna, 2010).
Ada beberapa tahap perkembangan pengobatan tradisioanal
ditinjau dari perkembangan kebudayaan, yaitu (Ratna, 2010):
1. Tahap irasionalisme dini
Kepercayaan bahwa orang menjadi sakit karena perbuatan makhluk-
makhluk halus. Untuk menyembuhkan, perlu ditempuh cara-cara yang
langsung diarahkan pada makhluk-makhluk halus ini. Orang yang
tahu cara menghindarkan manusia dari penyakit dan
menyembuhkannya disebut dukun. Atas petunjuk dukun disajikan
buah-buahan dan kembang agar makhluk halus berkurang amarahnya,
kalau perlu disajikan hewan seperti ayam, kambing, sapi atau kerbau
sebagai “korban” seolah-olah untuk penebus dosa.
2. Tahap irasionalisme fajar
Dalam tahap ini, manusia sadar bahwa melalui dukun, mereka dapat
memanipulasikan berbagai kekuatan gaib untuk keperluannya sendiri.
Manusia dapat menggunakannya untuk membuat orang lain sakit,
tetapi juga menyembuhkan si sakit. Dengan menggunakan doa atau
mantranya, seorang dukun dapat meresapkan kekuatan gaib kedalam
benda-benda pilihannya, yang dapat digunakan untuk suatu keperluan
baik atau jahat. Diantara para dukun ada yang menggunakan kekuatan

12
gaib (magic) yang dikuasainya untuk menolong sesama manusia
(white magic). Ada pula yang memenuhi permintaan orang lain
dengan bayaran untuk menggunakan kekuatan gaibnya guna
mengganggu kesehatan jasmani atau bahkan rohani orang lain (black
magic). Bila menurut pendapat orang, suatu penyakit disebabkan
“black magic” maka satu-satunya jalan untuk menyembuhkan adalah
dengan menggunakan “counter white magic”
3. Tahap rasionalisme awal
Manusia secara kebetulan atau mungkin karena pengalaman
mengetahui kekuatan-kekuatan yang terkandung di dalam bahan-
bahan alam. Manusia secara “empiris”, atas dasar kejadian-kejadian
nyata, mengetahui bahaya racun, kekuatan penyembuh penyakit,
kekuatan penyegar badan dan kekuatan-kekuatan lain yang
tersembunyi di dalam bahan-bahan di lingkungannya. Sebagian dukun
yang dahulu menekuni kekuatan-kekuatan gaib kini mencurahkan
sebagian dari perhatiannya kepada kekuatan-kekuatan ilmiah tersebut.
Meskipun mereka tidak mengetahui dengan benar penyebab orang
sakit, namun dari pengalaman atau secara empiris dia mengetahui
kekuatan alamiah apa yang dapat menyembuhkan suatu penyakit.
Dukun dapat mencampur beberapa bahan alamiah, biasanya yang
berasal dari tumbuhan atau tubuh hewan menjadi “jamu” yang lebih
manjur efeknya.
4. Tahap rasionalisme lanjut
Dalam tahap ini timbul suatu kesadaran bahwa manusia mampu
menguasai kekuatan yang terkandung dalam alam secara rasional dan
mengabdikannya untuk kepentingan manusia dan masyarakat. Mereka
ingin mengetahui lebih jelas dan mendalam kekuatan-kekuatan alam
tadi. Usaha ini menumbuhkan ilmu pengetahuan yang disusun secara
rasional, objektif dan realistik. Manusia tidak lagi mau percaya pada
sesuatu yang tidak dapat dinalar secara rasional bersandarkan atas
fakta-fakta yang nyata dan objektif sifatnya. Jamu yang dihasilkan

13
secara modern ini kemudian dikenal dengan nama“obat”. Sejajar
dengan perkembangan jamu menjadi obat, terjadi pula perkembangan
dukun menjadi dokter. Dukun yang lahir dan bergerak di dalam
“irasionalisme” digantikan oleh dokter yang timbul dan tumbuh dalam
periode “rasionalisme”. Adat dan tradisi yang menjadi pegangan
dukun dan menjiwai jamu, digantikan oleh ilmu pengetahuan yang
menjadi pedoman dokter dan teknologi modern untuk menghasilkan
obat. Beberapa jenis penyakit membuka pintu/peluang pengobatan
bagi para dukun/pengobat tradisional, misalnya penyakit
“psikofisiologis/ psikosomatik”. Dengan penenang, reassurance,
dapat disembuhkan oleh siapa saja. Demikian pula penyakit yang
sukar diagnosisnya dan membutuhkan pemeriksaan laboratorium yang
banyak, fasilitas yang tidak lengkap, biaya yang banyak/mahal dan
waktu penyembuhan lama memungkinkan penderita mencari
pengobatan alternatif (Ratna, 2010).

2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Pengobatan Dalam Masyarakat

Perilaku yang dinyatakan di atas adalah berkaitan dengan upaya atau


tindakan individu ketika sedang sakit atau kecelakaan. Tindakan atau
perilaku ini bisa melalui dengan cara mengobati sendiri sehingga mencari
pengobatan ke luar negeri.
Menurut Blum (1974) yang dipetik dari Notoadmodjo (2007), faktor
lingkungan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kesehatan individu,
kelompok, atau masyarakat manakala faktor perilaku pula merupakan faktor
yang kedua terbesar. Disebabkan oleh teori ini, maka kebanyakan intervensi
yang dilakukan untuk membina dan meningkatkan lagi kesehatan masyarakat
melibatkan kedua faktor ini. Menurut Notoadmodjo juga mengatakan
mengikut teori Green(1980), perilaku ini dipengaruhi oleh 3 faktor utama,
yaitu:
a. Faktor predisposisi yang mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-

14
hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianuti
masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.
b. Faktor pemungkin yang mencakup ketersediaan sarana dan prasarana
atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat contohnya fasilitas pelayanan
kesehatan.
c. Faktor penguat pula mencakup pengaruh sikap dan perilaku tokoh yang
dipandang tinggi oleh masyarakat contohnya tokoh masyarakat dan
tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas yang sering berinteraksi
dengan masyarakat termasuk petugas kesehatan. Selain itu, faktor
undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan kesehatan
juga termasuk dalam faktor ini.
Aspek sosial (mitos) yang berkembang di masyarakat yang berkaitan
dengan kesehatan anak :
a. Dukun sebagai penyembuh
Masyarakat pada beberapa daerah beranggapan bahwa bayi yang
mengalami kejang-kejang disebabkan karena kemasukan roh halus, dan
dipercaya hanya dukun yang dapat menyembuhkannya.
b. Timbulnya penyakit sebagai pertanda
Contoh Demam atau diare yang terjadi pada bayi dianggap pertanda
bahwa bayi tersebut akan bertambah kepandaiannya, seperti sudah bisa
untuk berjalan.
c. Kesehatan anak juga dipengaruhi oleh faktor budaya dan sosial. Dimana
hingga kini masyarakat baik di perkotaan maupun pedesaan masih
menjalankan kepercayaan tersebut. Hal tersebut disebabkan karena
kebiasaan yang telah turun temurun terjadi .

Tetapi ada baiknya jika masyarakat juga mempertimbangkan dengan


pemahaman menurut para medis karena para medis lebih memahami tentang
mana yang baik dalam tumbuh kembang kesehatan anak.

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konsep sehat digambarkan sebagai suatu keadaan yang sempurna baik
secara fisik, mental, dan sosial, bukan hanya bebas dari penyakit atau
kelemahan. Secara umum masyarakat Sampang menggambarkan konsep
sehat dan sakit yang berbeda-beda, namun masih sejalan, baik antar informan,
pemerintah ataupun WHO. Dalam konteks sederhana, mereka mendefinisikan
sehat sebagai tidak adanya gangguan pada jasmani dan rohani.
Perilaku merupakan totalitas penghayatan dan aktifitas, yang
merupakan hasil akhir jalinan yang saling mempengaruhi antara berbagai
macam gejala seperti perhatian, pengamatan, pikiran, ingatan, dan fantasi.
Perilaku kesehatan menggambarkan bagaimana seseorang melakukan suatu
tindakan untuk mengatasi keadaan sakit. Secara umum masyarakat Sampang
masih memilih menggunakan pengobatan tradisional. Ada yang memilih
pengobatan tradisional sebagai pilihan pertama, ada pula yang
menggunakannya sebagai pendukung ataupun alternatif pengobatan medis.

3.2 Saran
Kita sebagai salah satu anggota tenaga kesehatan khususnya perawat
harus lebih memahami budaya - budaya yang ada di masyarakat, sehingga

16
nantinya kita dapat memberikan arahan dan pendidikan kesehatan kepada
masyarakat tentang budaya mana saja yang memang harus tetap
dipertahankan maupun budaya yang harus dihilangkan demi meningkatkan
status kesehatan didalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

17

Anda mungkin juga menyukai