Anda di halaman 1dari 15

Nama : Dwi Safitri

NIM : P1337420116041
Dosen Pembimbing :
Tanda Tangan :

A. KONSEP DASAR
1. Definisi
Death Conception adalah konsep yang telah mati dalam uterus
dengan tanda tidak berfungsinya organ janin yang biasanya ditandai
dengan perdarahan pervaginam. Pada awal kehamilan tampaknya
normal yaitu dengan adanya amenorhea, nausea serta vomitus,
perubahan pada payudara dan pertumbuhan uterus. Biasanya terjadi
pada kehamilan kurang dari 20 minggu.
Menurut WHO dan The American Collage of Obstetricians and
Gynecologists disebut kematian janin adalah janin yang mati dalam
rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian janin
dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Kematian janin
merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat janin,
atau infeksi.
Kematian janin dalam kandungan adalah kematian janin ketika
masing-masing berada dalam rahim yang beratnya 500 gram dan usia
kehamilan 20 minggu atau lebih (Achadiat, 2004).
Kematian janin dalam kandungan adalah kematian hasil
konsepsi sebelum dikeluarkan dengan sempurna dari ibunya tanpa
memandang tuanya kehamilan. Kematian dinilai dengan fakta bahwa
sesudah dipisahkan dari ibunya janin tidak bernafas atau tidak
menunjukkan tanda-tanda kehidupan, seperti denyut jantung, pulsasi
tali pusat, atau kontraksi otot (Monintja, 2005)
Menurut Wiknjosastro (2005) dalam buku Ilmu Kebidanan,
kematian janin dapat dibagi dalam 4 golongan yaitu :
a. Golongan I : Kematian sebelum masa kehamilan mencapai 20
minggu penuh.
b. Golongan II : Kematian sesudah ibu hamil 20 hingga 28
minggu.
c. Golongan III : Kematian sesudah masa kehamilan lebih 28
minggu (late foetal death).
d. Golongan IV : Kematian yang tidak dapat digolongkan pada
ketiga golongan di atas.

2. Etiologi
Menurut Mochtar (2004), lebih dari 50% kasus, etiologi
kematian janin dalam kandungan tidak ditemukan atau belum
diketahui penyebabnya dengan pasti. Beberapa penyebab yang bisa
mengakibatkan kematian janin dalam kandungan, antara lain:
a. Perdarahan : plasenta previa dan solusio plasenta.
b. Preeklampsi dan eklampsia
c. Penyakit-penyakit kelainan darah.
d. Penyakit infeksi dan penyakit menular.
e. Penyakit saluran kencing.
f. Penyakit endokrin : diabetes melitus
g. Malnutrisi

Faktor penyebab lain :


1. Faktor Ibu
a. Umur
Bertambahnya usia ibu, maka terjadi juga perubahan
perkembangan dari organ-organ tubuh terutama organ
reproduksi dan perubahan emosi atau kejiwaan seorang ibu. Hal
ini dapat mempengaruhi kehamilan yang tidak secara langsung
dapat mempengaruhi kehidupan janin dalam rahim. Usia
reproduksi yang baik untuk seorang ibu hamil adalah usia 20-30
tahun (Wiknjosastro, 2005).
Pada umur ibu yang masih muda organ-organ reproduksi
dan emosi belum cukup matang, hal ini disebabkan adanya
kemunduran organ reproduksi secara umum (Wiknjosastro,
2005).

b. Paritas
Paritas yang baik adalah 2-3 anak, merupakan paritas yang
aman terhadap ancaman mortalitas dan morbiditas baik pada ibu
maupun pada janin. Ibu hamil yang telah melahirkan lebih dari 5
kali atau grandemultipara, mempunyai risiko tinggi dalam
kehamilan seperti hipertensi, plasenta previa, dan lain-lain yang
akan dapat mengakibatkan kematian janin (Saifuddin, 2002).
c. Pemeriksaan Antenatal
Setiap wanita hamil menghadapi resiko komplikasi yang
mengancam jiwa. Oleh karena itu, setiap wanita hamil
memerlukan sedikitnya 4 kali kunjungan selama periode
antenatal.
a. Satu kali kunjungan selama trimester pertama (umur
kehamilan 1-3 bulan)
b. Satu kali kunjungan selama trimester kedua (umur kehamilan
4-6 bulan).
c. Dua kali kunjungan selama trimester ketiga (umur kehamilan
7-9 bulan).
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan sedini mungkin
pada seorang wanita hamil penting sekali sehingga kelainan-
kelainan yang mungkin terdapat pada ibu hamil dapat diobati
dan ditangani dengan segera.
Pemeriksaan antenatal yang baik minimal 4 kali selama
kehamilan dapat mencegah terjadinya kematian janin dalam
kandungan berguna untuk mengetahui pertumbuhan dan
perkembangan dalam rahim, hal ini dapat dilihat melalui tinggi
fundus uteri dan terdengar atau tidaknya denyut jantung janin
(Saifuddin, 2002).
d. Penyulit / Penyakit
1. Anemia
Hasil konsepsi seperti janin, plasenta dan darah
membutuhkan zat besi dalam jumlah besar untuk pembuatan
butir-butir darah pertumbuhannya, yaitu sebanyak berat zat
besi. Jumlah ini merupakan 1/10 dari seluruh zat besi dalam
tubuh. Terjadinya anemia dalam kehamilan bergantung dari
jumlah persediaan zat besi dalam hati, limpa dan sumsum
tulang.
Selama masih mempunyai cukup persediaan zat besi,
Hb tidak akan turun dan bila persediaan ini habis, Hb akan
turun. Ini terjadi pada bulan kelima sampai bulan keenam
kehamilan, pada waktu janin membutuhkan banyak zat besi.
Bila terjadi anemia, pengaruhnya terhadap hasil konsepsi
salah satunya adalah kematian janin dalam kandungan
(Mochtar, 2004).
Menurut Manuaba (2003), pemeriksaan dan
pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat
sahli, dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Normal : 11 gr%
b. Anemia ringan : 9-10 gr%
c. Anemia sedang : 7-8 gr%
d. Anemia berat : <7 gr%
2. Pre-eklampsi dan eklampsi
Pada pre-eklampsi terjadi spasme pembuluh darah
disertai dengan retensi garam dan air. Jika semua arteriola
dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan
naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer
agar oksigen jaringan dapat dicukupi. Maka aliran darah
menurun keplasenta dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi
gawat janin (Mochtar, 2004).
3. Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta
yang letaknya normal terlepas dari perlekatannya sebelum
janin lahir. Solusio plasenta dapat terjadi akibat turunnya
darah secara tiba-tiba oleh spasme dari arteri yang menuju ke
ruang intervirale maka terjadilah anoksemia dari jaringan
bagian distalnya. Sebelum ini terjadi nekrotis, spasme hilang
darah kembali mengalir ke dalam intervilli, namun pembuluh
darahdistal tadi sudah demikian rapuh, mudah pecah
terjadinya hematoma yang lambat laun melepaskan plasenta
dari rahim. Sehingga aliran darah ke janin melalui plasenta
tidak ada dan terjadilah kematian janin (Wiknjosastro, 2005).
4. Rhesus Iso-Imunisasi
Jika orang berdarah rhesus negatif diberi darah rhesus
positif, maka antigen rhesus akan membuat penerima darah
membentuk antibodi antirhesus. Jika tranfusi darah rhesus
positif yang kedua diberikan, maka antibodi mencari dan
menempel pada sel darah rhesus negatif dan memecahnya
sehingga terjadi anemia ini disebut rhesus iso-imunisasi. Hal
ini dapat terjadi begitu saja di awal kehamilan, tetapi
perlahan sesuai perkembangan kehamilan. Dalam aliran
darah, antibodi antirhesus bertemu dengan sel darah merah
rhesus positif normal dan menyelimuti sehingga pecah
melepaskan zat bernama bilirubin, yang menumpuk dalam
darah, dan sebagian dieklaurkan ke kantong ketuban bersama
urine bayi. Jika banyak sel darah merah yang hancur maka
bayi menjadi anemia sampai akhirnya mati (Llewelyn, 2005).
5. Infeksi dalam kehamilan
Kehamilan tidak mengubah daya tahan tubuh seorang
ibu terhadap infeksi, namun keparahan setiap infeksi
berhubungan dengan efeknya terhadap janin. Infeksi
mempunyai efek langsung dan tidak langsung pada janin.
Efek tidak langsung timbul karena mengurangi oksigen darah
ke plasenta. Efek langsung tergantung pada kemampuan
organisme penyebab menembus plasenta dan menginfeksi
janin, sehingga dapat mengakibatkan kematian janin in utero
(Llewellyn, 2001).
e. Sosial ekonomi yang rendah.
f. Pendidikan rendah.
g. Riwayat Death conception/IUFD.

2. Faktor Janin
a. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam
pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil
konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab
penting terjadinya kematian janin dalam kandungan, atau lahir
mati. Bayi dengan kelainan kongenital, umumnya akan
dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula
sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya.
Dilihat dari bentuk morfologik, kelainan kongenital
dapat berbentuk suatu deformitas atau bentuk malformitas.
Suatu kelainan kongenital yang berbentuk deformitas secara
anatomik mungkin susunannya masih sama tetapi bentuknya
yang akan tidak normal. Kejadian ini umumnya erat
hubungannya dengan faktor penyebab mekanik atau pada
kejadian oligohidramnion. Sedangkan bentuk kelainan
kongenital malformitas, susunan anatomik maupun bentuknya
akan berubah.
Kelainan kongenital dapat dikenali melalui pemeriksaan
ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban, dan darah janin (Kadri,
2005).
b. Infeksi intranatal
Infeksi melalui cara ini lebih sering terjadi daripada cara
yang lain. Kuman dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga
amnion setelah ketuban pecah. Ketuban pecah dini mempunyai
peranan penting dalam timbulnya plasentitis dan amnionitis.
Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih utuh,
misalnya pada partus lama dan seringkali dilakukan
pemeriksaan vaginal. Janin kena infeksi karena menginhalasi
liquor yang septik, sehingga terjadi pneumonia kongenital atau
karena kuman-kuman yang memasuki peredaran darahnya dan
menyebabkan septicemia. Infeksi intranatal dapat juga terjadi
dengan jalan kontak langsung dengan kuman yang terdapat
dalam vagina, misalnya blenorea dan oral thrush (Monintja,
2006).
2. Kelainan Tali Pusat
Tali pusat sangat penting artinya sehingga janin bebas
bergerak dalam cairan amnion, sehingga pertumbuhan dan
perkembangannya berjalan dengan baik. Pada umumnya tali pusat
mempunyai panjang sekitar 55 cm. Tali pusat yang terlalu panjang
dapat menimbulkan lilitan pada leher, sehingga mengganggu aliran
darah ke janin dan menimbulkan asfiksia sampai kematian janin
dalam kandungan.
a. Kelainan insersi tali pusat
Insersi tali pusat pada umumnya parasentral atau sentral.
Dalam keadaan tertentu terjadi insersi tali pusat plasenta
battledore dan insersi velamentosa. Bahaya insersi velamentosa
bila terjadi vasa previa, yaitu pembuluh darahnya melintasi
kanalis servikalis, sehingga saat ketuban pecah pembuluh darah
yang berasal dari janin ikut pecah. Kematian janin akibat
pecahnya vase previa mencapai 60%-70% terutama bila
pembukaan masih kecil karena kesempatan seksio sesaria
terbatas dengan waktu (Wiknjosastro, 2005).
b. Simpul tali pusat
Pernah ditemui kasus kematian janin dalam rahim akibat
terjadi peluntiran pembuluh darah umblikalis, karena selei
Whartonnya sangat tipis. Peluntiran pembuluh darah tersebut
menghentikan aliran darah ke janin sehingga terjadi kematian
janin dalam rahim. Gerakan janin yang begitu aktif dapat
menimbulkan simpul sejati sering juga dijumpai (Manuaba,
2002).
c. Lilitan tali pusat
Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat yang
panjang besar kemungkinan dapat terjadi lilitan tali pusat.
Lilitan tali pusat pada leher sangat berbahaya, apalagi bila
terjadi lilitan beberapa kali. Tali pusat yang panjang berbahaya
karena dapat menyebabkan tali pusat menumbung, atau tali
pusat terkemuka. Dapat diperkirakan bahwa makin masuk
kepala janin ke dasar panggul, makin erat lilitan tali pusat dan
makin terganggu aliran darah menuju dan dari janin sehingga
dapat menyebabkan kematian janin dalam kandungan
(Wiknjosastro, 2005).
3. Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi dalam desidua basalis, diikuti nekrosis
jaringan yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda
asing dalam uterus. Sehingga menyebabkan uterus berkonsentrasi untuk
mengeluarkan benda asing tersebut. Apabila pada kehamilan kurang
dari 8 minggu, nilai khorialis belum menembus desidua serta mendalam
sehingga hasil konsempsi dapat dikeluarkan seluruhnya.
Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai
bentuk, adakalanya kantung amnion kosong atau tampak didalamnya
benda kecil tanpa bentuk yang jelas (missed aborted). Apabila mudigah
yang mati tidak dikelurakan dalam waktu singkat, maka ia dapat diliputi
oleh lapisan bekuan darah. Ini uterus dinamakan mola krenta. Bentuk
ini menjadi mola karnosa apabila pigmen darah telah diserap dalam
sisinya terjadi organisasi, sehingga semuanya tampak seperti daging.
Bentuk lain adalah mola tuberose dalam hal ini amnion tampak
berbenjol-benjol karena terjadi hematoma antara amnion dan khorion.
Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat
terjadi proses modifikasi janin mengering dan karena cairan amnion
menjadi kurang oleh sebab diserap. Ia menjadi agak gepeng (fetus
kompresus). Dalam tingkat lebih lanjut ia menjadi tipis seperti kertas
pigmenperkamen.
Kemungkinan lain pada janin mati yang tidak lekas dikeluarkan
ialah terjadinya maserasi, kulterklapas, tengkorak menjadi lembek,
perut membesar karena terasa cairan dan seluruh janin berwarna
kemerah-merahan. (Sarwono, 2006).
4. Pathways
Trauma

Dead Conceptus/ Abortus Insipien

Curetase Kurang pengetahuan Nyeri Abdomen

Jaringan terputus/ terbuka Ansietas Gangguan rasa nyaman

Invasi bakteri Nyeri Intoleransi Aktivitas

Resiko Infeksi

5. Komplikasi
a. Perdarahan
b. Perforasi, bila curetase dilakukan oleh tenaga tidak ahli, seperti
bidan atau dukun
c. Payah ginjal akut
d. Infeksi berat atau sepsis
e. Syok karena perdarahan
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Doppler atau USG untuk mengetahui kondisi janin
masih hidup atau tidak
b. Pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan darah lengkap
c. Ultrasonografi, mencari DJJ
7. Penatalaksanaan Medis
a. Selama menunggu diagnosa pasti, ibu akan mengalami syok dan
ketakutan memikirkan bahwa bayinya telah meninggal. Pada tahap
ini perawat berperan sebagai motivator untuk meningkatkan
kesiapan mental ibu dalam menerima segala kemungkinan yang
ada.
b. Diagnosa pasti dapat ditegakkan dengan berkolaborasi dengan
dokter spesialis kebidanan melalui hasil USG dan rongen foto
abdomen, maka seharusnya dilakukan rujukan.
c. Dilakukan kunjungan rumah pada hari ke 2, 6, 14, atau 40 hari.
Dilakukan pemeriksaan nifas seperti biasa. Mengkaji ulang
tentang keadaan psikologis, keadaan laktasi (penghentian ASI),
dan penggunaan alat kontrasepsi.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Fokus Pengkajian
a. Data Umum Klien
Terdiri dari inisial dan biodata klien dan suami
b. Riwayat Kesehatan
Terdiri dari keluhan utama, riwayat kesehatan dahulu, keluarga,
sekarang riwayat obstetri, riwayat reproduksi, KB
c. Data Umum Kesehatan Saat Ini
Keadaan umum kien, tanda vital, serta pemeriksaan fisik klien
d. Pola Fungsional
Mengacu pada pola fungsional Gordon
e. Obat- obatan
Terapi obat yang didapat klien selama menjalani perawatan
f. Hasil Pemeriksaan Penunjang
Hasil dari pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada klien
yang dapat digunakan sebagai penegak diagnosis
2. Diagnosa Keperawatan
a. Intoleransi aktivitas b.d. imobilitas
b. Nyeri akut b.d kerusakan jaringan intra uteri
c. Resiko infeksi b.d. kondisi vulva lembab
d. Ansietas b.d. kurangnya pengetahuan
3. Perencanaan Keperawatan
a. Intoleransi aktivitas b.d. imobilitas
Intervensi :
1. Bantu klien untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai
dengan kemampuan fisik, psikologi, dan sosial
2. Bantu untuk mendapatkan alat bantuan seperti kursi roda, kruk
3. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan di waktu luang
4. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
5. Kolaborasi dengan tenaga Rehab Medik dalam merencanakan
program terapi
6. Monitoring respon fisik, emosi, sosial, dan spiritual
b. Nyeri akut b.d. kerusakan jaringan intra uteri
Intervensi :
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
2. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
3. Kurangi faktor presipitasi nyeri
4. Tingkatkan istirahat
5. Ajarkan teknik non farmakologi
6. Berikan analgesik
7. Monitoring TTV pasien
c. Resiko infeksi b.d. kondisi vulva lembab
Intervensi :
1. Dorong masukan nutrisi
2. Dorong istrirahat
3. Pertahankan teknik asepsis
4. Instruksikan pasien untuk meminum antibiotik sesuai resep
5. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
6. Ajarkan cara menghindari infeksi
d. Ansietas b.d. kurangnya pengetahuan
Intervensi :
1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
2. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama
prosedur
3. Pahami perspektif pasien terhadap stress
4. Dorong keluarga untuk menemani pasien
5. Identifikasi tingkat kecemasan
6. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan,
persepsi
7. Intruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
8. Berikan obat untuk mengurangi kecemasan
DAFTAR PUSTAKA

Bullechek, G.M, Butcher, H.K Dochterman, J.M, Wagner, C.M . Nursing


Invention Classifications (NIC), Edition 6, United States Of
America: Mosby Elseveir Acadamic Press, 2013.

NANDA. 2015. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2015-2017


Edisi 10. Jakarta : EGC

Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.

Sarwono, Prawiroharjo. 2012. Ilmu Kebidanan, Edisi 4 Cetakan II. Jakarta :


Yayasan Bina Pustaka

Wiknjosastro, Hanifa. 2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan


Maternal dan Neonatal.Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai