A. Latar Belakang
Tidak setiap anak mengalami perkembangan normal.Banyak di antara mereka yang
dalam perkembangannya mengalami hambatan, gangguan, kelambatan, atau memiliki faktor-
faktor resiko sehingga untuk mencapai perkembangan optimal diperlukan penanganan atau
intervensi khusus.Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai anak berkebutuhan
khusus.
Anak-anak berkebutuhan khusus, adalah anak-anak yang memiliki keunikan
tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-
anak normal pada umumnya. Keadaan inilah yang menuntut pemahaman
terhadap hakikat anak berkebutuhan khusus. Keragaman anak berkebutuhan khusus
terkadang menyulitkan guru dalam upaya menemu kenali jenis dan pemberian
layanan pendidikan yang sesuai. Namun apabila guru telah memiliki pengetahuan
dan pemahaman mengenai hakikat anak berkebutuhan khusus, maka mereka akan
dapat memenuhi kebutuhan anak yang sesuai.
Anak berkebutuhan khusus sejatinya terjadi dari berbagai macam dan karakter. Anak
berkebutuhan khusus bisa digolongkan menjadi anak yang memiliki kelainan secara fisik,
mental, berkelainan emosional maupun akademik. Dan sebagai tenaga pendidik, memahami
berbagai karakter anak terutama anak yang memiliki karakter yang istimewa seperti anak
berkebutuhan khusus tentu saja harus menjadi sebuah keahlian karena bukan tidak mungkin ,
siswa yang pada nantinya menjadi anak didik bisa saja memiliki keistimewaan seperti anak
berkebutuhan khusus.
Untuk itu melalui makalah ini kami mencoba mengkaji lebih dalam mengenai
klasifikasi dan karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) berkelainan Fisik dan ABK
berkelainan emosi
Oleh karna itu , penulis membuat makalah ini yang fungsinya bertujuan untuk
memaparkan karakteristik – karakteristik yang terdapat pada anak yang mengalami gangguan
fisik, dan emosi agar nantinya bagi para calon pendidik Anak Berkebutuhan Khusus dapat
mengenali dan memahami mereka serta mampu memberikan layanan pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus berkelainan fisik?
2. Apa saja yang menjadi klasifikasi dan karakteristik anak berkebutuhan khusus berkelainan
fisik?
3. Apa yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus berkelainan emosi(tunalaras)?
4. Apa saja yang menjadi klasifikasi dan karakteristik anak berkebutuhan khusus berkelainan
emosi (tunalaras)?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Anak Berkebutuhan Khusus Berkelainan
Fisik.
2. Untuk mengetahui dan memahami apa saja klasifikasi serta karakteristik Anak Berkebutuhan
Khusus Berkelainan Fisik.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Anak Berkebutuhan Khusus Berkelainan
Emosi (Tunalaras).
4. Untuk mengetahui dan memahami apa saja klasifikasi serta karakteruistik Anak
Berkebutuhan Khusus Berkelainan Emosi (Tunalaras).
PEMBAHASAN
Secara fisik mungkin anak mampu mencapai kematangan sama dengan anak awas pada
umumnya, tetapi dikarenakan fungsi psikisnya, seperti pemahaman terhadap realita
lingkungan, kemungkinan adanya bahaya dan cara – cara menghadapinya, keterampilan
gerak serba terbatas, serta kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu mengakibatkan
kematangan fisiknya kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan aktivitas
gerakan motorik. Anak tunanetra mengalami hambatan dalam sistem umpan balik persepsi
penginderaan yang sangat penting dalam konsep belajar, seperti : pengenalan bentuk, ukuran
dan ruang (spatial).
Fallen dan Umansky (1985) dalam http://nofriyanirezki.blogspot.com menjelaskan
bahwa anak tunanetra cenderung gagal dalam memahami gambaran tubuh (body image)
secara akurat, sebagai dampak dari eksplorasi yang terbatas, gerakan yang terbatas dan
overprotection, yang semua ini kan berpengaruh terhadap kelambatan dalam perkembangan
motoriknya.
3. Perilaku
Kondisi tunanetra tidak secara langsung menimbulkan masalah atau penyimpangan
perilaku pada diri anak, meskipun demikian hal tersebut berpengaruh pada perilakunya. Anak
tunanetra sering menunjukkan perilaku stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak
semestinya. Manifestasi perilaku tersebut dapat berupa sering menekan matanya, membuat
suara dengan jarinya, menggoyang-goyangkan kepala dan badan, atau berputar-putar. Ada
beberapa teori yang mengungkap mengapa tunanetra kadang-kadang mengembangkan
perilaku stereotipnya. Hal itu terjadi mungkin sebagai akibat daritidak adanya rangsangan
sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak didalam lingkungan, serta keterbatasan sosial. Untuk
mengurangi atau menghilangkan perilaku tersebut dengan membantu mereka memperbanyak
aktifitas, atau dengan mempergunakan strategi perilaku tertentu, seperti memberikan pujian
atau alternatif pengajaran, perilaku yang lebih positif, dan sebagainya.
4. Akademik
Secara umum kemampuan akademik, anak-anak tunanetra sama seperti anak-anak
normal pada umumnya. Keadaan ketunanetraan berpengaruh pada perkembangan
keterampilan akademis, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Dengan kondisi
yang demikian maka tunanetra mempergunakan berbagai alternatif media atau alat untuk
membaca dan menulis, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin
mempergunakan huruf braille atau huruf cetak dengan berbagai alternatif ukuran. Dengan
asesmen dan pembelajaran yang sesuai, tunanetra dapat mengembangkan kemampuan
membaca dan menulisnya seperti teman-teman lainnya yang dapat melihat.
5. Pribadi dan Sosial
Mengingat tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan
menirukan, maka anaktunananetra sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku
sosial yang benar. Sebagai akibat dari ketunanetraannya yang berpengaruh terhadap
keterampilan sosial, anak tunanetra perlu mendapatkan latihan langsung dalam bidang
pengembangan persahabatan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur
tubuh yang baik, mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah, mempergunakan
intonasi suara atau wicara dalam mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat
pada waktu melakukan komunikasi.
Penglihatan memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu
lingkungan, tetapi tunanetra mempunyai keterbatasan dalam melakukan gerakan tersebut.
Keterbatasan tersebut mengakibatkan keterbatasan dalam memperoleh pengalaman dan juga
berpengaruh pada hubungan sosial. Dari keadaan tersebut mengakibatkan tunanetra lebih
terlihat memiliki sikap:
a. Curiga yang berlebihan pada orang lain, ini disebabkan oleh kekurangmampuannya dalam
berorientasi terhadap lingkungannya.
b. Mudah tersinggung. Akibat pengalaman-pengalaman yang kurang menyenangkan atau
mengecewakan yang sering dialami, menjadikan anak-anak tunanetra mudah tersinggung.
c. Ketergantungan pada orang lain. Anak-anak tunanetra umumnya memilki sikap
ketergantungan yang kuat pada oranglain dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Kondisi
yang demikian umumnya wajar terjadi pada anak-anak tunanetra berkenaan dengan
keterbatasan yang ada pada dirinya.
Suparno dan Heri Purwanto.Pendidikan Anak Kebutuhan Khusus. file:///C:/Users/PIC/Downl
oads/Documents/Pendidikan+Anak+Kebutuhan+Khusus+UNIT+4.pdf
2. Anak Tunarungu
A. Klasifikasi Anak Tunarungu
Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ
pendengaran atau telinga seseorang anak. Kondisi ini menyebabkan mereka memiliki
karakteristik yang khas, berbeda dari anak-anak normal pada umumnya.
Dalam http://mely novikasari loelhabox.blogspot.com/2014/04/abk-berkelainan-
fisik.html Tunarungu terdiri atas 2 tingkatan yaitu umum dan khusus,
1. Tunarungu secara umum
a. the deaf atau tuli, yaitu peyandang tunarngu berat dan sangat berat dengan tingkat ketulian di
atas 90 dB.
b. heard of hearing, atau kurang dengan yaitu penyandang tunarungu ringan atau sedang dengan
derajat ketulian 20- 90 dB.
2. Tunarungu secara khusus.
a. tunarungu ringan adalah penyandang tunarungu yang mengalami tingkt ketulian 25-45 dB.
Seseorang yang mengalami ketunarunguan taraf ringan dimana ia mengalami kesulitan untuk
merespon suara-suara yang datangnya agak jauh.
b. Tunarungu sedang, adaah penyandan tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 46-70 dB.
Seseorang yang mengalami ketnarunguan taraf sedang dimana ia hanya dapat mengerti
percakapan pada jarak 3-5 feet secara berhadapan, tetapi idak dapat mengikuti diskusi-diskusi
dikelas. Pada kondisi anak tunarungu yang demikian sudah memerlukan alat bantu
dengar (heardingan aid) memerukan pembinaan komunikasi, persepsi, bunyi dan irama.
c. Tunarungu berat, adalah penyandang tunarungu yang mengalami tingkat kesulitan 71-90 dB.
Seseorang yang mengalami ketunarunguan taraf berat, hanya dapat merespon bunyi-bunyi
dalam jarak yang sangat dekat dan diperkeras. Pada anak tunarungu demikian memerlukan
alat bantu dengar dalam mengikuti pendidikan disekolah, selain itu juga diperlukan
pembinaan dan latihan berkomunikasi dan pengembangan bicaranya.
d. Tunarungu sangat berat (profound) adalah penyandang tunarungu yang mengalami tingkat
ketulian 90 dB ke atas. Pada tahap ini seseorang sudah tidak dapat lagi merespon suara sama
sekali, kemungkinan hanya bisa merespon melaui getaran-getaran suara yang ada. Untuk
menyandang tunarungu ini lebih mengandalkan kemampuan visual atau penglihatannya.
Perkembangan fisik atau motorik anak tunarungu tidak begitu jauh berbeda dengan
perkembangan anak pada umunya. Bahkan tidak jarang anak tunarungu baru dapat dikendali
ketika diajak berbicara atau berkomunikasi, tetapi terkadang ditemui pada beberapa anak
tunarungu yang letak gangguan pendengarannya pada teliga bagian dalam ( auri internal)
yang mengenai bagian organ keseimbangan (semiciculas canals) yang pada giliranya juga
dapat mempengaruhi nerves cochlearis (saraf keseimbangan ) yang menyebabkan anak ketika
berjalan seperti terhuyung – huyung (akan jatuh). Anak kurang memiliki keseimbangan yang
baik. Tetapi selain dari pada itu, jika anak murni mengalami ketunarunguan maka
perkembangan fisik tidak banyak mengalami ketunarunguan maka perkembangan fisiknya
mengalami ketunaan penyerta (double handicapped).
4. Tuna Wicara
A. Pengertian Tunawicara
Menurut Heri Purwanto (Ortopedagogik Umum, 1998) dalam http://fathinfauziah.blog
spot.com/2012/11/makalah-anak-tunawicara.html tuna wicara adalah apabila seseorang
mengalami kelainan baik dalam pengucapan (artikulasi) bahasa maupun suaranya dari bicara
normal, sehingga menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi lisan dalam lingkungan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunawicara adalah individu
yang mengalami gangguan atau hambatan dalam dalam komunikasi verbal sehingga
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.
C. Klasifikasi Tunawicara
Heri Purwanto (Ortopedagogik Umum, 1998), dalam http://fathinfauziah.blogspot.co
m/2012/11/makalah-anak-tunawicara.html mengemukakan tunawicara secara umum
diklasifikasikan menjadi 4 bagian,yaitu:
1. Keterlambatan bicara (Delayed speech ), Yaitu seseorang yang mengalami keterlambatan
dalam perkembangan bicaranya jika dibandingkan dengan anak seusianya.
2. Gagap (stuttering), Yaitu:kelainan dalam memulai pembicaraan dapat berupa:
a. Pemanjangan fonom atau suku kata depan (prolongation),
b. Pengulangan suku kata depan ( repetition ),
c. Gerak mulut berbicara namun tidak keluar suara ( silent struggle )
d. Anak dengan kekacauan dalam berbicara (cluttering), biasanya berupa bicara terlalu cepat,
struktur kalimat tidak karuan, repitisi berlebihan.
3. kehilangan kemapuan berbahasa(disphasia), Yaitu kehilangan kemampuan berbahasa mulai
dari kesalahan dalam inti pembicaraan sampai tidak dapat bebicara sama sekali.
4. Kelainan suara(voice disorder), Ditandai dengan perbedaan suara dengan anak normal.
Adapun kelainan suara berupa:
a. Kelainan nada(pitch)
b. Kelainan nada bicara dapat berupa nada terlalu tinggi, terlalu rendah, atau monoton.
c. Kelainan kualitas suara, Kelainan kualitas atau warna suara berupa serak, lemah, atau desah.
d. Kelainan keras lembutnya suara, Kelainan ini dapat berupa suara keras ataupun suara lembut
D. Karakteristik tuna wicara
Menurut Heri Purwanto (Ortopedagogik umum ,1998) dalam http://fathinfauziah.blog
spot.com/2012/11/makalah-anak-tunawicara.html yang merupakan karakterisktik anak
tunawicara adalah :
1. Karakteristik bahasa dan wicara, Pada umumnya anak tunawicara memiliki kelambatan
dalam perkembangan bahasa wicara bila dibandingkan dengan perkembangan bicara anak-
anak normal.
2. Kemampuan intelegensi, Kemamapuan intelegensi (IQ) tidak berbeda dengan anak-anak
normal, hanya pada skor IQ verbalnya akan lebih rendah dari IQ performanya
3. Penyesuaian emosi,sosial dan perilaku
4. Dalam melakukan interaksi sosial di masyarakat banyak mengandalkan komunikasi verbal,
hal ini yang menyebabkan tuna wicara mengalami kesulitan dalam penyesuaian
sosialnya.Sehingga anak tunawicara terkesan agak eksklusif atau terisolasi dari kehidupan
masyarakat normal.
5. Sedangkan yang merupakan ciri-ciri fisik dan psikis anak tunawicara adalah: Berbicara
keras dan tidak jelas, Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranya,Telinga
mengeluarkan cairan, Biasanya Menggunakan alat bantu dengar, Bibir sumbing,Suka
melakukan gerakan tubuh, Cenderung pendiam, Suara sengau, Cadel.
Ada tiga perilaku utama yang tampak pada seorang anak dengan kelainan perilaku
menyimpang, yaitu: Agresif, suka menghindar diri dari keramaian, dan sikap bertahan diri.
B. Klasifikasi Anak Tunalaras
Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan sebagai anak yang mengalami
kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan yang mengalami
gangguan emosi. Tiap jenis kelainan anak tersebut dapat ditinjau dari segi gangguan atau
hambatan dan klasifikasi berat ringan nya kenakalan, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Menurut jenis ganguan atau hambatan
a. Gangguan emosi, anak tunalaras yang mengalami hambatan atau gangguan emosi terwujud
dalam tiga jenis perbuatan yaitu, senang-sedih, lambat-cepat marah, dan rileks-tekanan.
Secara umum emosinya menunjukkan sedih, cepat tersinggung atu marah, rasa tertekan dan
merasa cemas.
b. Gangguan sosial, anak ini mengalami gangguan atu merasa kurang senang menghadapi
pergaulan. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan hidup bergaul. Gejala-
gejala perbuatan ini adalah seperti sikap bermusuhan, agresif, bercakap kasar, menyakiti hati
orang lain, keras kepala, menentang, menghina orang lain, berkelahi, merusak milik orang
lain, dan lain sebagainya. Perbuatan mereka sangat mengganggu ketentraman orang lain.
2. Klasifikasi berat-ringan nya kenakalan
a. Besar-kecilnya gangguan emosi, artinya semakin tinggi memiliki perasaan negatif terhadap
orang lain makin dalam rasa negatif semakin berat tingkat kenakalan anak tersebut.
b. Frekuensi tindakan, artinya frekuensi tindakan semakin sering dan tidak menunjukkan sikap
penyesalan terhadap perbuatan yang kurang baik semakin berat kenakalan nya.
c. Berat-ringan nya pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan dapat diketahui dari sangsi
hukum.
d. Tempat atau situasi kenakalan yang dilakukan atinya anak berani berbuat kenakalan
dimasyarakat sudah menunjukkan berat, dibandingkan dengan apabila dia dirumah.
e. Mudah-sukarnya dipengaruhi untuk bertingkah laku baik. Para pendidik atau orang tua dapat
mengetahui sejauh mana dengan segala cara memperbaiki anak. Anak bandel dan keras
kepala sukar mengikuti petunjuk termasuk kelompok berat.
f. Tunggal atu ganda ketunaan yang dialami, apabila seorang anak tunalaras juga mempunyai
ketunaan lain maka dia termasuk golongan berat dalam pembinaan nya.
c. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunalaras ditandai dengan adanya gangguan makan,
gangguan tidur, dan gangguan gerakan (tik). Seringkali anak merasakan ada sesuatu yang
tidak beres pada jasmaninya, ia mudah mendapat kecelakaan, merasa cemas terhadap
kesehatannya, merasa seolah-olah sakit. Kelainan lain yang berwujud kelainan fisik, seperti
gagap, buang air tidak terkendali, sering mengompol dan jorok.
D. Faktor-Faktor Penyebab Ketunalarasan
Penelitian tentang penyebab terjadinya kelainan perilaku atau
ketunalarasan telah banyak dilakukan. Dalam https://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak
-tuna-laras-dan-karakteristiknya/ penyebab terjadinya ketunalarasan dapat diklasifikasikan,
yaitu: (1) faktor penyebab bersifat internal, dan (2) faktor penyebab yang bersifat eksternal.
Faktor penyebab internal adalah faktor-faktor yang langsung berkaitan dengan kondisi
individu itu sendiri, seperti keturunan, kondisi fisik dan psikisnya. Sedangkan faktor
penyebab eksternal adalah faktor-faktor yang bersifat di luar individu terutama lingkungan,
baik lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah (Patton, 1991).
1. Faktor Internal
a. Kondisi/Keadaan Fisik
Kondisi fisik ini dapat berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris
yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Kecacatan yang dialami seseorang
mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan baik berupa kebutuhan
fisik-biologis maupun kebutuhan psikisnya.
Masalah ini menjadi kompleks dengan adanya sikap atau perlakuan negatif dari
lingkungan. Sebagai akibatnya, timbul perasan rendah diri, perasaan tidak berdaya/tidak
mampu, mudah putus asa, dan merasa tidak berguna sehingga menimbulkan kecenderungan
menarik diri dari lingkungan pergaulan atau sebaliknya, memperlihatkan tingkah laku agresif,
atau bahkan memanfaatkan kelainannya untuk menarik belas kasihan lingkungan. Dengan
demikian jelaslah bahwa kondisi/keadaan fisik yang dinyatakan secara langsung dalam ciri-
ciri kepribadian atau secara tidak langsung dalam reaksi menghadapi kenyataan memiliki
implikasi bagi penyesuaian diri seseorang.
b. Masalah Perkembangan
Erikson (dalam Singgih D. Gunarsa, 1985:107) menjelaskan bahwa setiap memasuki
fase perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai tantangan atau krisis emosi.
Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini jika pada dirinya tumbuh kemampuan baru
yang berasal dari adanya proses kematangan yang menyertai perkembangan. Apabila ego
dapat mengatasi mengatasi krisis ini, maka perkembangan ego yang matang akan terjadi
sehingga individu dapat mnyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sebaliknya apabila
individu tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut maka akan menimbulkan gangguan
emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini terutama terjadi pada masa kanak-kanak dan
pubertas.
Adapun ciri yang menonjol pada masa kritis ini adalah sikap menentang dan keras
kepala. Kecenderungan ini disebabkan oleh karena anak yang sedang menemukan ‘aku’-nya.
Anak jadi marasa tidak puas dengan otoritas lingkungan sehingga timbul gejolak emosi yang
meledak-ledak, misalnya: marah, menentang, memberontak, dan keras kepala.
c. Keturunan
Salah satu hasil penelitian spektakuler di bidang biologi tentang rekayasa genetika
telah dibuat mendell. Hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa keturunan mempunyai
peranan kuat dalam meahirkan generasi berikutnya.implementasi teori tersebut dalam
identifikasi ketunalarasan bahwa keturunan memberikan banyak bukti bayi yang dilahirkan
dalam keadaan abnormal berasal dari keturunan yang abnormal pula. Keabnormalan perilaku
menyimpang yang dilakukan oleh orang tuanya memberikan konstribusi ketunalarasan
kepada generasi berikutnya (Patton, 1991). Beberapa perilaku menyimpang tersebut
diantaranya kawin sedarah, seks maniak, alkoholisme, kleptomania, gangguan kepribadian,
dan lain-lain.
d. Faktor Psikologis
Meier dalam penelitiannya, menghubungkan antara variabel frustasi dengan perilaku
abnormal memperoleh kesimpulan bahwa seorang yang mengalami kesulitan memecahkan
persoalan akan menimbulkan perasaan frustasi. Akiat frustasi tersebut akan timbul konflik
kejiwaan. Bagi individu yang memiliki stabilitas kepribadian yang baik, konflik psikologis
tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Namun, bagi mereka yang memiliki kepribadian
neurotik, konflik tersebut tidak dapat diselesaikan dengan baik. Akibatnya, timbul perilaku
menyimpsng sebagai defence mechanism. Perilaku-perilaku tersebut diantaranya agresivisme
(suka memberontak, mencela, memukul, merusak), regresivisme (perilaku yang kekanak-
kanakan), resignation (perilaku yang kehilangan arah karena ketidakmampuan mewujudkan
keinginannya karena tekanan otoritas).
e. Faktor Biologis
Hubungan faktor biologis secara khusus dengan keadaan kelainan perilaku dan emosi
sangat jarang ditemukan, sebab kelainan perilaku dan kelainan emosi tidak dapat dideteksi
melalui kerusakan biologis. Adakalanya perilaku anak termasuk normal, tetapi yang
bersangkutan mengalami kerusakan biologis serius; dan sebaliknya anak secara fisik normal ,
tetapi menunjukkan gangguan emosi dan perilaku secara serius. Hal yang pasti adalah anak
lahir dengan kondisi fisik biologis tertentu akan menentukan style perilaku (temperamen).
Anak yang mengalami kesulitan menempatkan temperamennya, akan memberikan
kecenderungan untuk berkembangnya kondisi kelainan perilaku dan emosi. Faktor-faktor
yang memberikan konstribusi terhadap buruknya temperamen seseorang antara lain penyakit,
malnutrisi, trauma otak (Hallahan & Kauffman, 1991).
Dari pemeriksaan electro encephalogram (EEG) ditemukan, bahwa hasil EEG dari
anak-anak yang melakukan perbuatan menyimpang ada kelainan. Pada orang dewasa
kelainan EEG diketahui pada orang-orang yang telah melakukan perbuatan kriminal.
Kelainan hasil EEG tersebut merupakan indikasi jika salah satu bagian otak mengalami
kerusakan (brain damage), secara fisiologis fungsi otak tersebut menjadi kurang/ tidak
sempurna (brain disfunction). Selain itu, kelainan pada kelenjar hyperthyroidmenyebabkan
anak sukar menyesuaikan diri dan mengalami gangguan emosi. (Kirk, 1970).
2. Faktor eksternal
a. Faktor Psikososial
Sigmund Freud melaui psikoanalisisnya menjelaskan bahwa ketunalarasan
disebabkan pengalaman anak pada usia awal. Pengalaman tidak menyenangkan pada usia
awal mengakibatkan anak menjadi tertekan dan secara tidak disadari berpengaruh pada
penyimpangan perilaku. Pengalaman anak di rumah seperti kualitas hubungan antara ayah,
ibu, serta saudara sekandungnya memberikan pengaruh yang besar pada perilaku anak.
Hubungan interaksional dan transaksional menyebabkan saling memengaruhi antara anak
dengan orang tua, sehingga jika pada anak terdeteksi mengalami masalah kelainan perilaku
dapat dialamatkan pada orang tuanya (Sameroff, Steifer, Zax, 1982)
dalamhttps://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya/ Orang
tua yang lemah dalam menegakkan disiplin anak, yang ditandai dengan penolakan,
bermusuhan, kekejaman, dapat menumbuhkan perilaku yang menyimpang seperti agresif atau
kejahatan lainnya (Hallahan & Kauffman, 1991).
b. Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah peletak dasar perasaan aman (emitional security) pada anak, dalam
keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan sikap sosial.
Lingkungan keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk
perkembangan sosial dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku pada anak.
Faktor yang terdapat dalam keluarga yang berkaitan dengan ganguan emosi dan tingkah laku,
diantaranya yaitu:
a. Kasih sayang dan perhatian
Kasih sayang dan perhatian orang tua dan anggota keluarga lain sangat dibutuhkan
oleh anak. Kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua mengakibatkan anak mencarinya
diluar rumah. Dia bergabung dengan kawan-kawanya dan membentuk suatu kelompok anak
yang merasa senasib. Mengenai
hal ini Sofyan S. Willis (1981) dalam https://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-
laras-dan-karakteristiknya/ mengemukakan bahwa mereka berkelompok untuk memenuhi
kebutuhan yang hampir sama, antara lain untuk mendapatkan perhatian dari orang tua dan
masyarakat.
Selain sikap diatas, tidak jarang diantara orang tua justru memberikan kasih sayang,
perhatian, dan bahkan perlindungan yang berlebihan. Sikap memanjakan menyebabkan
ketergantungan pada anak sehingga jika anak mengalami kegagalan dalam mencoba sesuatu
ia lekas menyerah dan merasa kecewa, sehingga pada akhirnya akan timbul rasa tidak
percaya diri/rendah diri pada anak.
b. Keharmonisan keluarga
Berdasarkan hasil studinya, Hetherington (dalam Kirk & Gallagher, 1986)
dalam menyimpulkan bahwa hampir semua anak yang mengalami perceraian orang tua
mengalami masa peralihan yang sangat sulit. Orang tua yang sering berselisih paham dalam
menerapkan peraturan atau disiplin dapat menimbulkan keraguan pada diri anak akan
kebenaran suatu norma, sehingga anak akhirnya mencari jalan sendiri dan hal ini dapat saja
menjadi awal dari terjadinya gangguan tingkah laku.
c. Kondisi ekonomi
Lemahnya kondisi ekonomi keluarga dapat pula menjadi salah satu penyebab tidak
terpenuhinya kebutuhan anak, padahal seperti kita ketahui pada diri anak timbul keinginan-
keinginan untuk dapat menyamai temannya yang lain, misalnya: dalam berpakaian,
kebutuhan akan hiburan, dan lain-lain. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut dalam
keluarga dapat mendorong anak mencari jalan sendiri
yang kadang kadang mengarah pada tindakan antisosial. G.W. Bawengan (1977) dalam https:
//phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak tuna laras dan karakteristiknya/ menyatakan bahwa
kondisi-kondisi seperti kemiskinan atau pengangguran secara relatif dapat melengkapi
rangsangan-rangsangan untuk melakukan pencurian, penipuan, dan perilaku menyimpang
lainnya.
d. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan tempat pendidikan yang kedua bagi anak setelah keluarga.
Tanggung jawab sekolah tidak hanya sekedar membekali anak didik dengan sejumlah ilmu
pengetahuan, tetapi sekolah juga bertanggung jawab membina kepribadian anak didik
sehingga menjadi individu dewasa yang bertanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri
maupun terhadap masyarakat yang lebih luas. Akan tetapi sekolah tidak jarang menjadi
penyebab timbulnya gangguan tingkah laku pada anak seperti dikemukakan Sofyan Willis
(1978)dalam https://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-
karakteristiknya/ bahwa dalam rangka membina anak didik kearah kedewasaan, kadang-
kadang sekolah juga penyebab dari timbulnya kenakalan remaja.
Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan lingkungan sekolah antara lain
disebabkan dari guru sebagai tenaga pelaksana pendidikan, fasilitas penunjang yang
dibutuhkan anak didik. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak merasa tertekan dan
takut menghadapi pelajaran. Anak lebih memilih membolos dan berkeluyuran pada saat ia
seharusnya berada dalam kelas. Sebaliknya, sikap guru yang terlampau lemah dan
membiarkan anak didiknya tidak disiplin mengakibatkan anak didik berbuat sesuka hati dan
berani melakukan tindakan yang menentang peraturan.
Selain guru, fasilitas pendidikan juga berpengaruh pula terhadap terjadinya gangguan
tingkah laku. Sekolah yang kurang mempunyai fasilitas pendidikan berpengaruh pula
terhadap terjadinya gangguan tingkah laku. Sekolah yang kurang mempunyai fasilitas yang
dibutuhkan anak didik utuk menyalurkan bakat dan mengisi waktu luang mengakibatkan
anak menyalurkan aktivitasnya pada hal-hal yang kurang baik.
a. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan tempat anak berpijak sebagai makhluk sosial adalah
masyarakat. Menurut Bandura (dalam Kirk & Gallagher, 1986) dalam https://phierda.wordpre
ss.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya/ salah satu hal yang nampak
mempengaruhi pola perilaku anak dalam lingkungan sosial adalah keteladanan, yaitu
menirukan perilaku orang lain. Disamping pengaruh-pengaruh yang bersifat positif, di dalam
lingkungan masyarakat juga terdapat banyak sumber yang merupakan pengaruh negatif
ditambah hiburan yang tidak sesuai dengan perkembangan jiwa anak merupakan sumber
terjadinya kelainan tingkah laku. Hal ini terutama terjadi di kota-kota besar dimana berbagai
fasilitas tontonan dan hiburan yang tak tersaring oleh budaya lokal.
Ekspresi lain dari kondisi lingkungan masyarakat sekitar yang berpengaruh terhadap
kelainan perilaku (tunalaras) anak diantaranya daerah yang terlalu padat, angka kejahatan
tinggi, kurangnya fasilitas hiburan/rekreasi, tidak adanya aktivitas yang terorganisasi
(Moerdiani, 1987) dalam https://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-
karakteristiknya kurangnya pengajaran agama oleh masyarakat, pengaruh bacaan/film video
porno atau sadisme, pengaruh penyalahgunaan abat-obatan terlarang (nafza), dan minuman
keras.
Masuknya pengaruh kebudayaan asing yang kurang sesuai dengan tradisi yang dianut
oleh masyarakat yang diterima begitu saja oleh kalangan remaja dapat menimbulkan konflik
yang sifatnya negatif. Di satu pihak remaja menganggap bahwa kebudayaan asing itu benar,
sementara di pihak lain masyarakat masih memegang norma-norma yang bersumber adat
istiadat dan agama. Selanjutnya konflik juga timbul pada diri anak sendiri yang disebabkan
norma yang dianut di rumah atau di keluarga bertentangan dengan norma dan kenyataan di
dalam masyarakat. Misalnya: seorang dalam keluarga ditekankan untuk bertingkah laku
sopan dan menghargai orang lain, akan tetapi ia menemukan kenyataan lain dalam
masyarakat dimana banyak ditemukan tindakan kekerasan dan tidak adanya sikap saling
menghargai.
E. Perkembangan Kognitif, Kepribadian, Emosi, dan Sosial Anak Tunalaras
1. Perkembangan Kognitif Anak Tunalaras
Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-anak pada
umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan mereka kehilangan minat dan
konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi yang mereka alami. Kegagalan dalam
belajar di sekolah seringkali menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki intelegensi
yang rendah. Memang anggapan tersebut tidak sepenuhnya keliru karena diantara anak yang
tunalaras juga ada yang mengalami keterbelakangan mental. Kelemahan dalam
perkembangan kecerdasan ini justru yang menjadi penyebab timbulnya gangguan tingkah
laku. Masalah yang dihadapi anak dengan intelegensi rendah di sekolah adalah
ketidakmampuan untuk menyamai teman-temannya, padahal pada dasarnya seorang anak
tidak ingin berbeda dengan kelompoknya terutama yang berkaitan dengan prestasi belajar.
Mengenai hal ini Ny. Singgih Gunarsa
(1982)dalamhttps://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-
karakteristiknya/mengemukakan bahwa kecemasan dirinya berbeda dengan kelompoknya
menimbulkan kesulitan pada anak dengan cara penyelesaian yang seringkali tidak sesuai
dengan cara penyesuaian yang wajar.
Ketidakmampuan anak untuk bersaing dengan teman-temannya dalam belajar dapat
menyebabkan anak frustasi dan kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri sehingga anak
mencari kompensasi yang sifatnya negatif, misalnya: membolos, lari dari rumah, berkelahi,
mengacau dalam kelas, dan sebagainya. Akibat lain dari kelemahan intelegensi ini terhadap
gangguan tingkah laku adalah ketidakmampuan anak untuk memperhitungkan sebab akibat
dari suatu perbuatan, mudah dipengaruhi serta mudah pula terperosok ke dalam tingkah laku
yang negatif.
Disamping anak yang berintelegensi rendah, tidak berarti anak yang memiliki
intelegensi tinggi tidak memiliki masalah. Anak berintelegensi tinggi seringkali memiliki
masalah dalam penyesuaian diri dengan teman-temannya. Ketidaksejajaran antara
pekembangan intelegensi dengan kemampuan sosial mengakibatkan anak mengalami
kesulitan penyesuaian diri dengan kelompok anak yang lebih tua (tetapi setara dalam
kemampuan mentalnya). Anak yang pintar dengan hambatan ego emosional seringkali
mempunyai anggapan negatif terhadap sekolah. Ia menganggap sekolah terlalu mudah dan
guru menerangkan terlalu lambat.
Masalah lain yang dihadapi anak ini dalam hubungannya dengan orang lain adalah
sikap tidak mau kalah. Mereka selalu ingin berhasil dan tidak mau ikut dalam permainan
dengan kemungkinan dikalahkan orang lain. Hal ini nampak dari sikap anak yang selalu ingin
lebih unggul dari teman-temannya sehingga apabila suatu waktu dia mengalami kekalahan,
maka ia cenderung untuk selalu merasa mudah kecewa.
2. Perkembangan Kepribadian Anak Tunalaras
Kepribadian akan mewarnai peranan dan kedudukan seseorang dalam berbagai
kelompok dan akan mempengaruhi kesadaran sebagai bagian dari kepribadian akan dirinya.
Dengan demikian kepribadian akan menjadi penyebab seseorang berperilaku menyimpang.
Menifestasi kepribadian yang teramati tampak dalam interaksi individu dengan
lingkungannya, dan pada dasarnya interaksi ini sebagai upaya bentuk pemenuhan kebutuhan.
Tingkah laku yang ditampilkan orang ini erat sekali kaitannya dengan upaya
pemenuhan kebutuhan hidup. Sejak lahir setiap individu sudah dibekali dengan berbagai
kebutuhan dasar yang menuntut pemenuhan kebutuhan, dan untuk itu setiap individu
senantiasa berusaha memenuhinya yang diwujudkan dalam berbagai lingkungannya. Konflik
psikis dapat terjadi apabila terjadi benturan antara usaha pemenuhan kebutuhan dengan
norma sosial. Kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian konflik, dapat
menjadikan stabilitas emosi terganggu. Selanjutnya mendorong terjadinya perilaku
menyimpang dan dapat menimbulkan frustasi pada diri individu. Keadaan seperti ini yang
berkepanjangan dan tidak terselesaikan dapat menimbulkan frustasi pada diri individu.
Apabila keadaan ini berkepanjangan maka dapat menimbulkan gangguan.
3. Perkembangan Emosi Anak Tunalaras
Terganggunya perkembangan emosi merupakan penyebab dari tingkah laku anak
tunalaras. Ciri yang menonjol pada mereka adalah kehidupan emosi yang tidak stabil,
ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara tepat, dan pengendalian diri yang kurang
sehingga mereka seringkali menjadi sangat emosional. Terganggunya kehidupan emosi ini
terjadi sebagai akibat ketidakberhasilan anak dalam melewati fase-fase perkembangan.
Kematangan emosional seorang anak ditentukan dari hasil interaksi dengan
lingkungannya, dimana anak belajar tentang bagaimana emosi itu hadir dan bagaimana cara
untuk mengekspresikan emosi-emosi tersebut. Perkembangan emosi ini berlangsung terus
menerus sesuai perkembangan usia, akan banyak pula pengalaman emosional yang diperoleh
anak.ia semakin banyak merasakan berbagai macam perasaan. Akan tetapi tidak demikian
dengan anak tunalaras. Ia tidak mampu belajar dengan baik dalam merasakan dan menghayati
berbagai macam emosi yang mungkin dapat dirasakan, kehidupan emosinya kurang
bervariasi dan ia pun kurang dapat mengerti dan menghayati perasaan orang lain. Mereka
juga kurang mampu mengendalikan emosinya dengan baik sehingga seringkali terjadi
peledakan emosi. Ketidakstabilan emosi ini menimbulkan penyimpangan tingkah laku,
misalnya: mudah marah dan mudah tersinggung, kurang mampu memahami perasaan orang
lain, berperilaku agresif, menarik diri, dan sebagainya. Perasaan-perasaan seperti itu akan
mengganggu situasi belajar dan akan mengakibatkan prestasi belajar yang tidak sesuai
dengan potensi yang dimilikinya.
4. Perkembangan Sosial Anak Tunalaras
Sebagaimana telah kita pahami bahwa anak tunalaras mengalami hambatan dalam
melakukan interaksi sosial dengan orang lain atau lingkungannya. Hal ini tidak berarti bahwa
mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk membentuk hubungan sosial dengan
semua orang. Dalam banyak kejadian ternyata mereka dapat menjalin hubungan sosial yang
sangat erat dengan teman-temannya. Mereka mampu membentuk suatu kelompok yang
kompak dan akrab serta membangun keterikatan antara yang satu dengan yang lainnya.
Anak tunalaras memiliki penghayatan yang keliru, baik tehadap dirinya sendiri
maupun terhadap lingkungan sosialnya. Mereka menganggap dirinya tak berguna bagi orang
lain dan merasa tidak berperasaan. Oleh karena itu timbullah kesulitan apabila akan menjalin
hubungan dengan mereka. Apabila berhasil sekalipun mereka akan menjadi sangat tergantung
kepada seseorang yang pada akhirnya dapat menjalin hubungan sosial dengannya.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pembahsan diatas dapat disimpulkan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus
berkelainan fisik meliputi:
1. Anak tunanetra
a. Klasifikasi anak tunanetra
Anak tunanetra adalah anak-anak yang mengalami kelainan atau gangguan fungsi
penglihatan, yang dinyatakan dengan tingkat ketajaman penglihatan atau visus sentralis diatas
20/200 dan secara pedagogis membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajarnya di
sekolah.
b. Yang menjadi karakteristik anak-anak tunanetra antara lain dapat dilihat dari segi fisik, segi
motorik, perilaku, akademik, pribadi dan sosial.
2. Anak tunarungu
Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ
pendengaran atau telinga seseorang anak. Kondisi ini menyebabkan mereka memiliki
karakteristik yang khas, berbeda dari anak-anak normal pada umumnya.
Yang menjadi karakteristik anak-anak tunarungu antara lain dapat dilihat dari segi
fisik, segi bahasa, intelektual, sosial-emosional.
3. Anak tunadaksa
Anak tunadaksa adalah kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh,
kelainan atau kerusakan pada fisik dan kesehatan dan kelainanan atau kerusakan yang
disebabkan oleh kerusakan otak dan saraf tulang belakang.
a. Klasifikasi anak tunadaksa meliputi beberapa golongan antara lain:
1. Penggolongan cerebral palsy menurut derajat kecacatan.
2. Golongan cerebral palsy menurut topografi monoplegia, adalah kecacatan satu anggota
gerak, kaki kanan.
3. Golongan menurut fisiologi.
b. Yang menjadi karakteristik anak tunadaksa adalah: gangguan motorik, gangguan sensorik,
gangguan tingkat kecerdasan, kemampuan berbicara, emosi dan penyesuaian sosial.
4. Tuna wicara
Tunawicara adalah individu yang mengalami gangguan atau hambatan dalam dalam
komunikasi verbal sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.
a. Faktor penyebab tuna wicara dapat terjadi karena gangguan ketika: gangguan pre natal,
gangguan neo natal, gangguan pos natal.
b. Tunawicara secara umum diklasifikasikan menjadi 4 bagian,yaitu: keterlambatan bicara
(Delayed speech ), gagap (stuttering), kehilangan kemapuan berbahasa(disphasia), kelainan
suara(voice disorder).
c. Yang merupakan karakterisktik anak tunawicara adalah : Karakteristik bahasa, kemampuan
intelegensi, Penyesuaian emosi,sosial dan perilaku
Sedangkan anak berkebutuhan khusus berkelainan emosi (Tunalaras)
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami gangguan/ hambatan emosi
dan tingkah laku sehingga tidak/ kurang menyesuaikan diri dengan baik, baik terhadap
lingkungan, sekolah, maupun masyarakat.
1. Klasifikasi anak tunalaras
a. Menurut jenis ganguan atau hambatan yaitu Gangguan emosi, Gangguan sosial.
b. Klasifikasi berat-ringan nya kenakalan yaitu Besar-kecilnya gangguan emosi, Frekuensi
tindakan, Berat-ringan nya pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan.
c. Yang menjadi karakteristik anak tunalaras antara lain: Anak yang mengalami kekacauan
tingkah laku, merasa cemas dan menarik diriAnak yang kurang dewasa, anak yang agresif
bersosialisasi.