Anda di halaman 1dari 60

PEMETAAN FASET LAHAN DAN LAHAN KRITIS DI

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIMANUK HULU

MUH. TAUFIQ WIGUNA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Faset Lahan
dan Lahan Kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk Hulu adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2017

Muh. Taufiq Wiguna


NIM A14120059
ABSTRAK
MUH. TAUFIQ WIGUNA. Pemetaan Faset Lahan dan Lahan Kritis di Daerah
Aliran Sungai (DAS) Cimanuk Hulu. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan
KUKUH MURTILAKSONO.

Degradasi lahan adalah proses penurunan fungsi lahan untuk tata air dan
produktivitas, baik bersifat sementara maupun tetap, sehingga kondisi ini
melahirkan lahan kritis. Sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS) Indonesia saat
ini sedang dalam keadaan kritis termasuk di antaranya adalah DAS Cimanuk yang
berada di Jawa Barat, disebabkan oleh kerusakan ekologi di daerah hulu yang
terjadi akibat peladangan liar maupun penebangan hutan untuk keperluan pertanian
ataupun eksploitasi produk hutan. Pada tahun 2004 di DAS Cimanuk Hulu telah
diperkirakan mempunyai lahan kritis seluas 40.876 ha, namun hingga kini belum
diketahui bagaimana penanganan terhadap fenomena tersebut. Sementara itu
kejadian cuaca ekstrim di wilayah ini pada tanggal 20 September 2016 yang
melahirkan bencana banjir bandang di kota Garut dapat dijadikan sebagai indikator
tentang masih belum tertanganinya secara baik lahan kritis yang ada. Alhasil fungsi
bentanglahan terhadap tata air belum berjalan dengan baik. Oleh sebab itu
penelitian terkait lahan kritis di DAS Cimanuk Hulu masih sangat relevan untuk
mengetahui kondisi aktual bentanglahan di wilayah ini. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi dan memetakan bentanglahan (faset lahan) dan lahan kritis
di DAS Cimanuk Hulu dan keterkaitan di antara keduannya serta terhadap
penggunaan lahan. Metode pemetaan faset lahan dilakukan secara visual dari citra
satelit (SRTM), sedangkan penilaian lahan kritis dilakukan sesuai dengan Perdirjen
BPDAS PS No. P.4/V-Set/2013 yang dimodifikasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa faset lahan di DAS Cimanuk Hulu yang terluas adalah Dataran Fluvio-
Vulkanik (FV1) yang terbentang di bagian tengah DAS, yaitu seluas 24.831,08 ha
atau 21,10% dari total luas daerah penelitian. Sisanya merupakan faset lahan
perbukitan dan pegunungan vulkanik denudasional yang mengelilingi dataran
tersebut. Sementara itu hasil kajian lahan kritis menunjukkan bahwa lahan-lahan
yang mempunyai “kategori tidak kritis” menempati luasan sekitar 82.208,56 ha
(69,86%) dari luas DAS Cimanuk Hulu, sedangkan lahan “kategori kritis”
menempati luasan 35.469,08 ha (30,14%). Dalam hubungannya dengan karakter
bentanglahan, persebaran lahan “kategori kritis” di DAS Cimanuk Hulu menempati
faset lahan perbukitan dan pegunungan seperti tersebut di atas, terutama tersebar
secara dominan pada faset lahan Lereng Tengah Kerucut Vulkanik Denudasional
(VD5), seluas 10.718,82 ha atau 93,55% dari total luas faset lahan VD5. Secara
spesifik persebaran lahan “kategori kritis” mempunyai hubungan yang erat dengan
morfometri faset lahan (kemiringan lereng), dimana persebarannya mengikuti pola
kemiringan lereng tertentu, yaitu yang terluas berada pada kemiringan lereng 16-
25% dan 26-40%, sedangkan dalam hubungannya dengan penggunaan lahan,
terindikasi 69,12% lahan “kategori kritis” terletak pada penggunaan lahan tegalan.
Dengan demikian kemiringan lereng dan penggunaan lahan dapat dianggap sebagai
parameter utama penentu lahan kritis pada bentanglahan vulkanik di DAS Cimanuk
Hulu.

Kata Kunci: DAS Cimanuk Hulu, Lahan Kritis, Faset Lahan, Kabupaten Garut
ABSTRACT

MUH. TAUFIQ WIGUNA. Land Facet and Degraded Land Mapping in Upstream
Cimanuk Watershed. Supervised by BOEDI TJAHJONO and KUKUH
MURTILAKSONO.

Land degradation is the proceses of decreasing function of land on water regulation


and productivity, either temporary or permanent, so it was generating a degraded
land or critical land. Most watershed in Indonesia is currently in critical condition,
including Cimanuk watershed in West Java, mainly caused by ecological damage
in the upstream areas. The damage was caused by illegal cultivation and
deforestation for agricultural purposes or exploitation of forest products. In 2004 in
the Upstream Cimanuk Watershed (UCW) has been estimated possess degraded
land area of about 40 876 ha, but until now the handling of degraded land is publicly
unreported. While the extreme weather occured in the region on 20 September 2016
generating “flash flood” disasters in Garut’s town can be used as an indicator that
the degraded land is still not well rehabilited. Yield, the function of landscape on
water regulation has not gone well. Therefore, the research on degraded land in the
UCW is still relevan and necessary to perform how the actual condition of the
landscape in this region is. This study aimed to identify and mapping the landscape
(land facets) and degraded land areas in the UCW and the linkage between degraded
land to land facet and also to land use. The land facet mapping was done visually
by satellite imagery (SRTM), while degraded land assessment carried out in
accordance with the modification of Perdirjen BPDAS PS No. P.4/ V-Set /2013.
The results of the research showed that the widest land facet in the UCW is Fluvio-
Volcanic Plains (FV1) lying in the central part of watershed of about 24.831.08 ha
or 21,10% of the UCW area. The rest is the hilly and mountainous landforms
surrounding the fluvio-volcanic plains. The results of the degraded land assessment
showed that "undegraded land category" occupies an area of about 82.208,56 ha
(69,86%) of UCW’s total area, while "degraded land category" occupy an area of
35.469,08 ha (30,14%). In conjunction with the character of landscape, the
distribution of "degraded land category" in UCW occupy the hills and mountains
landforms, especially distributed predominantly on Middle Slope of Volcanic
Denudasional Cones (VD5), of about 10.718,82 ha atau 93,55% of the VD5’s total
area. Specifically, the distribution of "degraded land category" has a close
relationship with the land facet morphometry (slope steepness), where the largest
degraded land follows the pattern of certain slope class, i.e.16-25% and 26-40%,
while in relation to land use, it indicate that 69,12% of "degraded land category"
lies in dry land agriculture. Thus the slope and land use can be considered as the
determining parameter of degraded land on the volcanic landscape in UCW.

Keywords: Upstream Cimanuk Watershed, Land Degradation, Land facet, Garut


Regency
PEMETAAN FASET LAHAN DAN LAHAN KRITIS DI
DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIMANUK HULU

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2016 sampai November 2016 ini
adalah Pemetaan Faset Lahan dan Lahan Kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Cimanuk Hulu. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan karya ilmiah ini
tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr Boedi Tjahjono, M.Sc selaku pembimbing skripsi utama dan Prof. Dr Ir
Kukuh Murtilaksono, MS selaku pembimbing kedua yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan saran, arahan, dan bimbingannya
kepada penulis.
2. Ir Hermanu Widjaja, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran dan masukan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.
3. Keluarga tercinta Alm. Bapak dan Mamah, Wiwi, A Ryan, Kayla, dan
Keluarga Besar dari Mamah dan Bapak terima kasih atas doa, kasih sayang,
motivasi serta dukungan moral dan spiritual yang tak kunjung berhenti
kepada penulis.
4. Saudara-saudari Tanah 49, Pentolan HMIT, dan teman seperjuangan di
masa sekolah hingga kuliah, terima kasih atas canda tawa, masukan,
dukungan, dan kebersamaannya selama ini, senang bisa menjadi bagian dari
kalian.
5. PPJ 48, dan PPJ 49, terima kasih atas semua saran dan masukan bagi penulis
selama penulisan skripsi ini.
6. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktorat Riset dan
Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan
Pengembangan, Kementerian Riset-Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang
telah ikut membiayai penelitian ini melalui Surat Perjanjian Penugasan
Pelaksanaan Program Penelitian Nomor: 079/SP2H/LT/DRPM/II/2016
tanggal 17 Februari 2015 yang dikelola oleh Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) – Institut Pertanian Bogor (IPB).
7. Semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian dan penyusunan
karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, untuk
itu penulis sangat berterima kasih bila ada kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Akhir kata,
semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Maret 2017

Muh. Taufiq Wiguna


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Faset Lahan 2
Lahan Kritis 3
Kriteria Lahan Kritis 4
Daerah Aliran Sungai 4
METODE PENELITIAN 5
Lokasi dan Waktu Penelitian 5
Bahan dan Alat 5
Tahapan Penelitian 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 14
Faset Lahan Daerah Penelitian 14
Analisis Kekritisan Lahan di DAS Cimanuk Hulu 17
Sebaran Lahan Kritis di DAS Cimanuk Hulu 24
Hubungan antara Lahan Kritis dengan Faset Lahan 29
Hubungan antara Lahan Kritis dengan Penggunaan Lahan 30
SIMPULAN DAN SARAN 32
Simpulan 32
Saran 32
DAFTAR PUSTAKA 32
LAMPIRAN 34
RIWAYAT HIDUP 44
DAFTAR TABEL
1 Data Sekunder Penelitian 5
2 Parameter Penentu Kekritisan Lahan 9
3 Urutan Penilaian Bobot Parameter Penentu Kekritisan Lahan 9
4 Skoring Penutupan Lahan 10
5 Skoring Produktivitas 10
6 Skoring Kemiringan Lereng 10
7 Skoring Erosivitas Hujan (R) 11
8 Skoring Erosi yang Diperbolehkan (EDP) 12
9 Skoring Erodibilitas Tanah (K) 12
10 Skoring Manajemen 12
11 Klasifikasi Tingkat Kekeritisan Lahan Metode Modifikasi 13
12 Nama dan Luas Faset Lahan DAS Cimanuk Hulu 15
13 Luasan Penggunaan Lahan DAS Cimanuk Hulu Tahun 2015 17
14 Skoring dan Luasan Tutupan Lahan DAS Cimanuk Bagian Hulu 18
15 Skoring dan Luasan Produktivitas DAS Cimanuk Hulu 19
16 Skoring dan Luasan Kemiringan Lereng DAS Cimanuk Hulu 20
17 Skoring dan luasan Erosivitas Hujan (R) DAS Cimanuk Hulu 21
18 Skoring dan Luasan Erosi yang Diperbolehkan (EDP) DAS Cimanuk
Hulu 22
19 Skoring dan Luasan Erodibilitas Tanah (K) DAS Cimanuk Hulu 23
20 Skoring dan Luasan Manajemen DAS Cimanuk Hulu 24
21 Tingkat Kekritisan Lahan dan luasan di DAS Cimanuk Hulu 27

DAFTAR GAMBAR
1 Peta Daerah Penelitian (Daerah Aliran Sungai Cimanuk Hulu) 6
2 Peta Elevasi DAS Cimanuk Hulu 7
3 Diagram Alir Pemetaan Faset Lahan dan Lahan Kritis 14
4 Persebaran Faset Lahan di DAS Cimanuk Hulu 16
5 Persebaran Kelas Kerapatan Tutupan Lahan di DAS Cimanuk Hulu Tahun
2015 Berdasarkan Nilai NDVI 18
6 Persebaran Kelas Kombinasi antara Penggunaan Lahan dan Produktivitas
di DAS Cimanuk Hulu Tahun 2014-2016 19
7 Persebaran Kelas Kemiringan Lereng di DAS Cimanuk Hulu 20
8 Persebaran Kelas Erosivitas Hujan (R) di DAS Cimanuk Hulu Tahun
2009-2013 21
9 Persebaran Kelas Erosi yang Diperbolehkan (EDP) di DAS Cimanuk
Hulu Tahun 2016 22
10 Persebaran Kelas Erodibillitas Tanah (K) di DAS Cimanuk Hulu Tahun
2016 23
11 Persebaran Kelas Manajemen di DAS Cimanuk Hulu 24
12 Persebaran Kelas Lahan Kritis di Kawasan Lindung DAS Cimanuk Hulu
Tahun 2016 25
13 Persebaran Kelas Lahan Kritis di Kawasan Budidaya DAS Cimanuk Hulu
Tahun 2016 27
14 Persebaran Kelas Lahan Kritis di Kawasan Hutan Produksi DAS
Cimanuk Hulu Tahun 2016 26
15 Persebaran Kelas Lahan Kritis di DAS Cimanuk Hulu Tahun 2016 28
16 Sebaran Kekritisan Lahan Kategori Kritis berdasarkan Morfometri Luas
0-200 ha (a), Luas 0-350 ha (b), dan Luas 0-4800 ha (c) 31

DAFTAR LAMPIRAN
1 Bobot, Skor, dan Nilai Penentu Kekritisan Lahan Modifikasi dari
Perdirjen BPDAS PS P.4/V-Set/2013 34
2 Titik Pengambilan Contoh Tanah 35
3 Peta Titik Pengambilan Contoh Tanah 36
4 Peta Tanah DAS Cimanuk Hulu 36
5 Hasil Analisis Erodibilitas Tanah (K) di Laboratorium Tahun 2016 37
6 Hasil Analisis Erosi yang Diperbolehkan di Laboratorium
Tahun 2016 38
7 Peta Tata Guna Kawasan Hutan DAS Cimanuk Hulu Tahun 2013 39
8 Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Tahun 2009-2013 di DAS Cimanuk
Hulu 40
9 Peta Penggunaan Lahan DAS Cimanuk Hulu Tahun 2015 (Duitasari
2017) 40
10 Tabel Nilai Pixel Hasil Analisis NDVI 41
11 Titik Sebaran Nilai Pixel Tutupan Lahan 41
12 Luasan Penggunaan Lahan “Kategori Kritis” 43
13 Satuan Sistem Lahan di DAS Cimanuk Hulu 43
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan, baik yang


bersifat sementara maupun tetap. Dampak dari proses degradasi lahan adalah
timbulnya areal-areal yang tidak produktif atau dikenal sebagai lahan kritis.
Berdasarkan data statistik Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2014)
pada tahun 2013 di Indonesia terdapat 19,57 juta ha lahan kritis dan 4,74 juta ha
lahan sangat kritis dengan total luas lahan kritis 44,30 juta ha. Dengan kata lain
sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia saat ini sedang dalam
keadaan kritis.
Provinsi Jawa Barat memiliki 40 DAS kritis, salah satunya adalah DAS
Cimanuk, yaitu DAS terluas kedua di Jawa Barat. DAS Cimanuk mempunyai luas
358.400 ha yang tercakup dalam 4 wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Garut,
Kabupaten Sumedang, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Indramayu. DAS
Cimanuk Hulu dengan luas 146.000 ha hanya mencakup 2 wilayah Kabupaten,
yaitu Kabupaten Garut dan sebagian kecil Kabupaten Sumedang. Berdasarkan data
dari Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Cisanggarung tahun 2003 tercatat bahwa
luas lahan kritis DAS Cimanuk mencapai 178.794 ha dimana yang terdapat di
kawasan hutan seluas 46.129 ha dan di luar kawasan hutan seluas 132.665 ha.
Adapun DAS Cimanuk Hulu sampai dengan tahun 2004 tercatat mempunyai luas
lahan kritis seluas 40.876 ha (Kemen PU 2010) dan kondisi DAS Cimanuk yang
kritis ini disebabkan oleh rusaknya ekologi daerah hulu.
Kerusakan daerah hulu terjadi antara lain diakibatkan oleh peladangan liar,
penebangan hutan, ataupun eksploitasi produk hutan untuk keperluan pertanian.
Kerusakan hutan tersebut tidak hanya diakibatkan oleh meningkatnya jumlah
penduduk, tetapi juga diakibatkan oleh semakin terbukanya hak pengelolaan hutan
dan juga meluasnya investasi lahan yang masuk hingga ke wilayah pedalaman.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS, Asdak (2002) mengemukakan bahwa
ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting untuk dikelola karena
mempunyai fungsi perlindungan tata air terhadap seluruh bagian DAS. Oleh karena
itu, DAS hulu dapat dijadikan sebagai landasan dalam perencanaan pengelolaan
DAS agar tidak melahirkan bencana alam, baik di daerah hulu itu sendiri maupun
di daerah hilir.
Bencana banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Garut pada 20
September 2016, misalnya, merupakan masalah besar di kabupaten ini karena telah
membawa banyak korban jiwa dan kerugian yang tidak sedikit. Oleh sebab itu
kejadian ini dapat dijadikan sebagai peringatan (alert) bahwa kerusakan ekologi di
DAS Cimanuk Hulu sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Hasil penelitian
Duitasari (2017) menunjukkan bahwa peningkatan luas lahan tegalan di DAS
Cimanuk Hulu cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Sebaliknya
penanganan terhadap masalah lahan kritis masih belum tampak secara nyata. Oleh
sebab itu hingga sekarang ini masih belum diketahui bagaimana kondisi kekritisan
lahan di DAS Cimanuk Hulu apakah semakin bertambah atau sebaliknya semakin
menurun. Oleh karenanya penelitian mengenai lahan kritis masih sangat diperlukan
2

di daerah hulu ini, agar dapat diketahui keberadaannya secara aktual dan hasilnya
akan banyak membantu untuk rencana penanggulangannya di masa depan.

Tujuan

Penelitian ini mengambil lokasi di DAS Cimanuk Hulu dan bertujuan untuk
melakukan:
1. Identifikasi dan pemetaan faset lahan di DAS Cimanuk Hulu.
2. Penilaian tingkat kekritisan lahan di DAS Cimanuk Hulu.
3. Analisis hubungan antara lahan kritis dengan faset lahan dan penggunaan
lahan.

Manfaat Penelitian

Informasi yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat membantu


Pemerintah Daerah maupun masyarakat luas dalam memanfaatkan lahan secara
bijaksana dan dapat membantu memlih prioritas penanggulangan bencana alam di
DAS Cimanuk Hulu.

TINJAUAN PUSTAKA

Faset Lahan

Faset lahan merupakan klasifikasi bentuklahan (landform) pada skala semi


detail (1:50.000/1:25.000) atau dapat pula merupakan pendetailan bentuklahan dari
peta sistem lahan pada skala tinjau (1:250.000) seperti yang dikembangkan oleh
RePPProT (Regional Physical Planning Programme for Transmigration) pada
tahun 1980-an. Dengan demikian faset lahan merupakan satuan yang lebih detail
atau rinci dari sistem lahan (Nurwadjedi 2000). Mabbut (1968 dalam Nurwadjedi
2000) menyatakan bahwa faset lahan adalah unit dasar (fundamental unit) dalam
klasifikasi lahan dimana di dalam faset lahan terdapat komponen-komponen
tunggal, seperti crest, convex upper slope, midslope, concave lower slope, dan lain-
lain yang dapat dipetakan pada skala 1:25.000 atau lebih besar.
Penggunaan pendekatan bentanglahan (landscape approach) yang
berkembang selama ini untuk pemetaan tanah merupakan konsekuensi dari
pengembangan konsep sistem lahan dan aplikasinya dalam evaluasi sumberdaya
lahan di berbagai lingkungan. Melalui pendekatan ini, baik melalui peta sistem
lahan maupun peta faset lahan, juga dapat dirancang untuk memberikan evaluasi
terhadap kemampuan penggunaan lahan dalam pengembangan pertanian dan
eksploitasi sumber daya hutan. Menurut Ameyan (1986) evaluasi ini kemudian
dapat digunakan sebagai dasar untuk perencanaan daerah dengan skala yang lebih
luas.
3

Adapun dalam kaitannya dengan pemetaan lahan kritis, faset lahan dapat
digunakan sebagai satuan pemetaan (mapping unit) karena dalam satuan faset lahan
mempunyai karakter fisik lahan yang relatif seragam. Satuan pemetaan ini
kemudian dapat dirinci lagi berdasarkan parameter tertentu yang dibutuhkan, antara
lain keragaman penutup lahannya atau yang lainnya.

Lahan Kritis

Lahan kritis adalah lahan yang berada di dalam maupun di luar kawasan
hutan yang sudah tidak lagi berfungsi sebagai pengatur tata air dan unsur
produktivitas lahan sehingga menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem
daerah aliran sungai (Kementerian Kehutanan 2014). Menurut Prasetyo et al.
(2013) lahan kritis didefinisikan sebagai tanah yang mengalami penurunan fungsi
(degradasi) sampai ke tingkat tertentu yang disebabkan oleh kerusakan lahan.
Fungsi yang dimaksud di sini merupakan fungsi produksi dan sistem tata air. Fungsi
produksi berhubungan dengan tanah yang berfungsi sebagai sumber nutrisi bagi
tanaman, sedangkan fungsi sistem tata air berhubungan dengan tanah yang
berfungsi sebagai landasan akar dan penyimpanan air tanah.
Berdasarkan Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/2013, parameter lahan
kritis dipilah menjadi lima unsur, yaitu:

1. Penutupan lahan
Untuk menilai lahan kritis, penutupan lahan dinilai berdasarkan persentase
penutupan tajuk pohon terhadap luas satuan land system (menurut RePPProT) dan
diklasifikasikan menjadi lima kelas. Masing-masing kelas penutupan lahan
selanjutnya diberi skor untuk keperluan penentuan lahan kritis. Adapun dalam
penelitian ini satuan sistem lahan dirinci lebih detail lagi menjadi satuan faset lahan.

2. Kemiringan lereng
Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal)
suatu lahan terhadap jarak mendatarnya (jarak horisontal). Besar kemiringan lereng
dapat dinyatakan dengan beberapa satuan, di antaranya adalah dalam % (persen)
dan o (derajat). Data spasial kemiringan lereng dapat disusun dari hasil pengolahan
data ketinggian (garis kontur) yang bersumber dari peta topografi atau peta
rupabumi.

3. Tingkat bahaya erosi


Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dapat dihitung dengan cara membandingkan
tingkat erosi di suatu satuan lahan (land unit) dan kedalaman tanah efektif pada
satuan lahan. Dalam hal ini tingkat erosi dihitung dengan menghitung perkiraan
rata-rata tanah hilang tahunan akibat erosi lapis dan alur yang dihitung dengan
rumus Universal Soil Loss Equation (USLE).

4. Produktivitas
Data produktivitas merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk
menilai kekritisan lahan di kawasan budidaya pertanian yang dinilai berdasarkan
rasio terhadap produksi komoditas umum yang optimal pada pengelolaan
tradisional.
4

5. Manajemen
Manajemen merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai
lahan kritis di kawasan hutan lindung, yang dinilai berdasarkan kelengkapan aspek
pengelolaan yang meliputi keberadaan tata batas kawasan, pengamanan, dan
pengawasan, serta dilaksanakan atau tidaknya penyuluhan.

Kriteria Lahan Kritis

Berdasarkan penilaian terhadap parameter-parameter tersebut di atas, dalam


Perdirjen BPDAS PS No. P.4/V-Set/2013 lahan kritis selanjutnya dibagi menjadi 5
kelompok, yaitu: (1) Tidak kritis, (2) Potensial kritis, (3) Agak kritis, (4) Kritis, dan
(5) Sangat kritis. Dalam hal ini penilaian lahan kritis ditentukan berdasarkan fungsi
dari lahan itu sendiri, yaitu:

a) Fungsi kawasan sebagai hutan lindung


Pada fungsi ini kekritisan lahan dinilai berdasarkan keadaan penutupan
lahan/penutupan tajuk pohon, kelerengan lahan, tingkat tingkat bahaya erosi, dan
manajemen lahan.

b) Fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian


Pada fungsi ini kekritisan lahan dinilai berdasarkan produktivitas lahan,
yaitu rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional,
kelerengan lahan, tingkat bahaya erosi, batu-batuan, dan manajemen (usaha
penerapan teknologi konservasi tanah pada setiap unit lahan).

c) Fungsi kawasan lindung di luar hutan lindung


Pada fungsi ini kekritisan lahan dinilai berdasarkan vegetasi permanen,
yaitu persentase penutupan tajuk pohon, kelerengan lahan, tingkat bahaya erosi, dan
manajemen.

Dalam penelitian Indrihastuti (2015) parameter-parameter dari Perdirjen


BPDAS PS No. P.4/V-Set/2013 telah digunakan namun dilakukan modifikasi
sehingga parameter-parameter yang digunakan adalah: penutupan/penggunaan
lahan, produktivitas, kemiringan lereng, erosivitas hujan (R), erosi yang
diperbolehkan (EDP), erodibilitas tanah (K), dan manajemen.

Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara
topografi dibatasi oleh punggung-punggung bukit/gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama. Wilayah daratan tersebut juga dinamakan Daerah Tangkapan Air (DTA)
yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya
alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat
sumberdaya alam (Asdak 2002). Adapun di dalam Undang–Undang Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Konservasi Tanah dan Air, disebutkan
bahwa DAS adalah satuan wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan
sungai dan anak-anak sungai yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alamiah.
5

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di DAS Cimanuk bagian hulu yang tercakup


dalam wilayah Provinsi Jawa Barat yang sebagian besar berada di Kabupaten Garut
dan mempunyai luas wilayah 117.677,64 ha. Secara astronomis, DAS Cimanuk
bagian hulu ini terletak pada koordinat 107o41’40’’–108o07’5’’ Bujur Timur dan
6o57’30’’–7o24’10’’ Lintang Selatan (Gambar 1). Kegiatan penelitian dan
pengolahan data telah dilaksanakan dari bulan Mei 2016 hingga November 2016.
Selain di lapangan, kegiatan penelitian juga dilakukan di 3 laboratorium, yaitu di
Divisi Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Divisi Pengembangan
Sumberdaya Fisik Lahan, dan Divisi Konservasi Tanah dan Air, Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Secara geografis, lokasi penelitian terletak pada ketinggian 350 mdpl
sampai dengan 2.792 mdpl. Lokasi ini mempunyai relief yang bervariasi, dari relief
dataran di bagian Utara hingga relief perbukitan dan pegunungan di bagian Selatan.
Elevasi 350-500 mdpl terletak di sebelah Utara daerah penelitian dan mempunyai
luas 1,4% dari total luas daerah penelitian; untuk elevasi 500-1.000 mdpl seluas
52,7% di bagian tengah; untuk elevasi 1.000-1.500 mdpl seluas 33,1%; untuk
elevasi 1.500-2.000 mdpl seluas 10,1%; dan untuk elevasi 2.000-2.500 mdpl seluas
2,5%. Adapun untuk elevasi >2.500 mdpl hanya seluas 0,2% di sebelah Barat
(Gambar 2).

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data hasil pengecekan lapang serta hasil
pengujian tanah di laboratorium. Data sekunder terdiri dari peta dan citra yang
jenisnya disajikan pada Tabel 1.
Alat yang digunakan untuk survei lapang terdiri dari ring sampler, plastik
berukuran 1 kg, GPS, kamera digital, dan alat tulis. Proses pengolahan data spasial
menggunakan berbagai alat antara lain seperangkat komputer dengan perangkat
lunak Microsoft Word 2013, Microsoft Excel 2013, ArcGIS 10.2, Global Mapper
v.13, dan Erdas Imagine 2014.

Tabel 1 Data Sekunder Penelitian


No. Nama Bahan Spesifikasi Skala
1. Citra satelit SRTM resolusi 30 m
2 Peta Sistem Lahan 1 : 250.000
3. Peta Geologi 1 : 100.000
4. Peta Penggunaan Lahan 1 : 50.000
5. Peta Tanah 1 : 250.000
6. Peta Tata Guna Kawasan Hutan 1 : 250.000
6

Gambar 1 Peta Daerah Penelitian (Daerah Aliran Sungai Cimanuk Hulu)


Tahapan Penelitian

Tahap Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan selain literatur dan hasil-hasil penelitian, juga data
sekunder lain, seperti data SRTM resolusi 30 m, data rata-rata curah hujan tahunan,
peta geologi, peta sistem lahan, peta administrasi, peta jalan, peta sungai, dan peta
penggunaan lahan yang bersumber dari hasil penelitian Duitasari (2017).

Tahap Persiapan
Salah satu analisis dan interpretasi data yang dilakukan adalah untuk
membuat peta faset lahan yang dihasilkan melalui interpretasi visual hillshade citra
SRTM (resolusi 30 m) yang dibantu dengan peta sistem lahan, peta geologi, dan
peta kontur dengan interval garis kontur = 25 m. Sistem klasifikasi faset lahan
mempertimbangkan aspek-aspek morfologi (terkait dengan lereng dan relief),
morfogenesis (terkait dengan proses-proses geomorfik yang membentuknya serta
litologi yang menyusunnya), dan morfokronologi (terkait dengan tahapan atau
umur pembentukannya). Citra SRTM digunakan untuk melihat morfologi, peta
geologi berperan membantu mengetahui jenis dan struktur batuan penyusun
bentuklahan, menginterpretasi morfogenesis bentuklahan, dan mengetahui umur
dari batuan tersebut. Peta kontur dalam interpretasi faset lahan (bentuklahan)
digunakan untuk membantu melihat relief permukaan bumi dan menentukan
tingkatan torehan yang terjadi melalui pola garis kontur tersebut.
Sebelum melakukan kerja lapangan, pada tahap ini dilakukan terlebih
dahulu penentuan metode penilaian lahan kritis. Metode yang digunakan mengacu
7

pada Perdirjen BPDAS PS No. P.4/V-Set/2013 yang dimodifikasi seperti yang telah
dilakukan oleh Indrihastuti (2015) dan Andika (2016). Parameter yang digunakan
adalah penutupan lahan, kemiringan lereng, erosivitas hujan, erodibilitas tanah,
erosi yang diperbolehkan, produktivitas, dan manajemen. Sementara itu, penentuan
titik sampel tanah dipertimbangkan berdasarkan variasi faset lahan dan penggunaan
lahan sebagai unit pemetaan terkecil. Dalam hal ini peta tanah dapat digunakan
untuk membantu menentukan lokasi titik sampel di dalam faset lahan jika
diperlukan. Pada penelitian ini, untuk faset lahan morfologi dataran serta penutupan
lahan sawah dan badan air tidak dilakukan penilaian untuk kekritisan lahan, karena
pada faset lahan dataran yang didominasi oleh proses-proses deposisi diasumsikan
sebagai permukaan lahan yang tidak kritis berdasarkan lereng, demikian juga untuk
lahan sawah dan badan air.

Gambar 2 Peta Elevasi DAS Cimanuk Hulu


Tahap Survey Lapangan
Proses kerja lapang dimulai terlebih dahulu melalui penentuan titik-titik
rencana pengamatan lapang (Lampiran 3). Pada saat kerja di lapang dilakukan
pengambilan sampel tanah yang akan digunakan untuk pengujian di laboratorium.
Sampel tanah yang diambil meliputi sampel tanah utuh dan tanah terganggu yang
meliputi tanah lapisan atas (0–20 cm). Sampel tanah utuh diambil dengan
menggunakan alat ring sampler dan untuk sampel tanah terganggu diambil secara
komposit. Dengan demikian survei ditentukan oleh titik-titik sampel yang telah
ditetapkan dan dalam penelitian ini jumlah titik pengecekan lapang direncanakan
sejumlah 104 dengan teknik Stratified Purposive Sampling, namun demikian
8

karena adanya hambatan finansial jumlah sampel tanah yang diambil untuk analisis
laboratorium ada sebanyak 34 titik yang dianggap dapat mewakili kondisi tanah di
daerah penelitian. Data survei lapang dalam penelitian ini dilengkapi dengan
dokumentasi pengamatan lapangan.

Tahap Analisis Laboratorium


Analisis laboratorium yang dilakukan meliputi penetapan permeabilitas
tanah, C-organik tanah, tekstur tanah, dan bobot isi. Untuk penetapan permeabilitas
tanah dan bobot isi, sampel tanah yang digunakan adalah sampel tanah utuh, adapun
metode yang digunakan untuk penetapan permeabilitas tanah adalah metode
Constant Head dan untuk bobot isi menggunakan metode Oven. Sementara itu,
untuk penetapan C-organik tanah dan tekstur tanah, sampel yang digunakan adalah
sampel tanah terganggu. Penetapan C-organik tanah mengacu pada metode
Walkley dan Black, sedangkan tekstur tanah mengacu pada metode Pipet. Hasil
analisis permeabilitas tanah, C-organik tanah, dan tekstur tanah selanjutnya
digunakan untuk penetapan nilai erodibilitas tanah (K), sedangkan analisis bobot
isi digunakan untuk penetapan nilai erosi yang diperbolehkan (EDP).

Tahap Analisis Data Akhir


Pada tahap ini dilakukan analisis data dari masing-masing parameter lahan
kritis. Parameter yang digunakan mengacu pada metode Perdirjen BPDAS PS No.
P.4/V-Set/2013 yang dimodifikasi (Indrihastuti 2015). Adapun cara penilaiannya
akan diuraikan pada sub-bab berikut tentang Analisis Kekritisan Lahan.
Perlu diketahui bahwa untuk penetapan kekritisan lahan pada penelitian ini
tidak melakukan penilaian untuk kawasan lindung di luar kawasan hutan, karena di
wilayah penelitian tidak terdapat kawasan lindung di luar kawasan hutan (Lampiran
7: Peta Tata Guna Kawasan Hutan DAS Cimanuk Hulu tahun 2013). Dengan
demikian penentuan kekritisan lahan hanya dilakukan pada 3 kawasan, yaitu
Kawasan Lindung (hutan lindung; hutan suaka alam dan margasatwa), Kawasan
Budidaya (pertanian, permukiman, dan sebagainya), dan Kawasan Hutan Produksi
(hutan produksi dan hutan produksi terbatas).

Analisis Kekritisan Lahan


Dalam penelitian ini analisis sebaran lahan kritis dilakukan dengan
menggunakan parameter modifikasi dari Perdirjen BPDAS PS No. P.4/V-Set/2013
yang bertujuan untuk menghindari pengulangan perhitungan terhadap parameter-
parameter yang dipakai, seperti parameter kemiringan lereng (LS), pengelolaan
tanaman (C), dan tindakan konservasi (P). Parameter ini sesungguhnya telah
dipakai pada saat menilai tingkat bahaya erosi. Oleh karena itu dengan modifikasi
ini maka pengulangan perhitungan terhadap paramete-parameter tersebut dapat
dihindari. Penggunaan parameter pada tiap kawasan disajikan pada Tabel 2.
9

Tabel 2 Parameter Penentu Kekritisan Lahan


Modifikasi
No Parameter Penentu Lahan Kritis
KL KB KHP
1 Penutupan Lahan √ - √
2 Produktivitas - √ -
3 Kemiringan Lereng √ √ √
4 Erosivitas Hujan √ √ √
5 Erodibilitas Tanah √ √ √
6 Erosi yang Diperbolehkan √ √ √
7 Manajemen √ √ √
KL = Kawasan Lindung, KB = Kawasan Budidaya, dan KHP = Kawsan Hutan Produksi

Pemetaan lahan kritis dibuat melalui proses pembobotan dan skoring yang
dibuat dengan melihat besarnya kontribusi tiap parameter terhadap pembentukan
lahan kritis. Dalam penelitian ini pembobotan dan skoring mengacu pada
Indrihastuti (2015) dan analisis dilakukan melalui teknik overlay (tumpang tindih)
sistem informasi geografis, yaitu antara peta-peta dari masing-masing parameter
yang sudah ditetapkan. Pembobotan dilakukan dengan persamaan yang digunakan
oleh Wahyunto et al. (2007) sebagai berikut:

(𝑛−𝑟 )+1
Wj=∑(𝑛−𝑟𝑗 )+1
𝑗

Dimana: Wj = Bobot yang dinormalkan untuk parameter ke j (j = 1,2,3...n)


n = Jumlah parameter yang sedang dikaji
rj = Urutan kepentingan dari parameter

Dari rumusan tersebut di atas didapatkan bahwa parameter penentu pertama


pembentukan lahan kritis adalah parameter penutupan/penggunaan lahan, karena
faktor tersebut merupakan penyebab terjadinya degradasi lahan, sedangkan untuk
parameter selanjutnya adalah kemiringan lereng, erosivitas hujan (R), erosi yang
diperbolehkan (EDP), erodibilitas (K), dan manajemen (Indrihastuti 2015). Hasil
pembobotan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Urutan Penilaian Bobot Parameter Penentu Kekritisan Lahan


Kepentingan Bobot
No. Parameter Penentu (n-rj)+1 %Wj
(rj) (Wj)
1 Penutupan Lahan (dan 1 6 0,29 29
Produktivitas*)
2 Kemiringan Lereng 2 5 0,24 24
3 Erosivitas Hujan (R) 3 4 0,19 19
4 Erosi yang Diperbolehkan (EDP) 4 3 0,14 14
5 Erodibiltas Tanah (K) 5 2 0,09 9
6 Manajemen 6 1 0,05 5
n=6 21 1 100
*parameter produktivitas digunakan pada kawasan budidaya
Sumber: Indrihastuti (2015)
10

Uraian terhadap masing-masing parameter tersebut, data, rumusan, dan


skoring yang digunakan dalam penelitian ini (berdasarkan modifikasi dari Perdirjen
BPDAS PS No. P.4/V-Set/2013) diuraikan sebagai berikut:

1. Penutupan Lahan
Parameter penutupan lahan menggunakan data sekunder dari Duitasari
(2017). Analisis tutupan lahan ditentukan berdasarkan NDVI (Normalized
Difference Vegetation Index) dan diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Perdirjen
BPDAS PS No. P.4/V-Set/2013. Penilaian dan skoring penutupan lahan parameter
modifikasi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Skoring Penutupan Lahan


Penutupan Lahan Kelas Tutupan (%) Skor
Ditentukan berdasarkan analisis NDVI Sangat Baik >80% 5
(Normalized Difference Vegetation Index) Baik 61–80% 4
Sedang 41–60% 3
Buruk 21–40% 2
Sangat Buruk <20% 1

2. Produktivitas
Penilaian produktivitas dilakukan berdasarkan rasio terhadap komoditi
umum optimal pada pengelolaan tradisional dan diklasifikasikan berdasarkan
klasifikasi Perdirjen BPDAS PS No. P.4/V-Set/2013. Data yang digunakan
merupakan data sekunder dari Dinas Pertanian Kabupaten Garut (2016). Klasifikasi
dan skoring produktivitas untuk penentuan lahan kritis dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Skoring Produktivitas


Deskripsi Kelas Kriteria (%) Skor
Rasio terhadap produksi komoditi Sangat Tinggi >80% 5
umum optimal pada pengelolaan Tinggi 61-80% 4
tradisional Sedang 41-60% 3
Rendah 21-40% 2
Sangat Rendah <20% 1

3. Kemiringan Lereng
Parameter kemiringan lereng ditentukan dari data DEM (Digital Elevation
Model) dan diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Perdirjen BPDAS PS No.
P.4/V-Set/2013.

Tabel 6 Skoring Kemiringan Lereng

Kelas Kemiringan Lereng Keterangan Skor


0-8% Datar 5
8-15% Landai 4
15-25% Agak Curam 3
25-40% Curam 2
>40% Sangat Curam 1
11

4. Erosivitas Hujan (R)


Data spasial erosivitas hujan disusun dari hasil pengolahan data curah hujan
sekunder selama lima tahun, yaitu periode tahun 2009–2013 pada enam stasiun
pengamatan di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Sumedang yang bersumber dari
data BPDAS Cimanuk–Citanduy (2013) (Lampiran 8). Klasifikasi dan skoring
pengolahan data curah hujan menghasilkan informasi mengenai erosivitas hujan
yang dapat dilakukan secara manual maupun dengan bantuan komputer. Indeks
erosivitas hujan dihitung berdasarkan persamaan Bols (1978 dalam Arsyad 2010)
sebagai berikut:
EI30 = 6,119 (RAIN)1,21 (DAYS)-0,47 (MAXP)0,53

Dimana : EI30 = indeks erosi hujan bulanan


RAIN = curah hujan rata–rata bulanan
DAYS = jumlah hari hujan rata–rata perbulan
MAXP = curah hujan maksimum selama 24 jam

Tabel 7 Skoring Erosivitas Hujan (R)


Curah Hujan (mm/tahun) Erosivitas Hujan (MJ cm ha-1 h-1) Skor
<1.000 <1.160 5
1.000–1.500 1.160–2.013 4
1.500–2.000 2.013–2.977 3
2.000–2.500 2.977–4.033 2
>2.500 >4.033 1
Sumber: Indrihastuti (2015)

5. Erosi yang Diperbolehkan (EDP)


Erosi yang diperbolehkan (EDP) menggambarkan jumlah tanah hilang yang
diperbolehkan per tahun. EDP dihitung dengan persamaan dari Wood dan Dent
(1983 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007) sebagai berikut:
DE−Dmin
EDP mm/thn = Kelestarian Tanah + Laju Pembentukan Tanah

DE = Kedalaman Efektif x Faktor Kedalaman

EDP ton/ha/thn = EDP mm/thn x 10 ton/ha x BD gram/cm3

Dimana: DE = Kedalaman ekuivalen tanah


BD = Bobot Isi tanah (gram/cm3)
Dmin = Kedalaman tanah minimum untuk perakaran tanaman
Laju pembentukan tanah = 2 mm/tahun (rata-rata tanah di Indonesia)
Kelestarian tanah = 250 tahun (tanah terbentuk hingga dapat ditembus
oleh perakaran tanaman/tumbuhan)

Menurut Arsyad (2010) nilai erosi yang diperbolehkan untuk tanah di


Indonesia (terutama tanah yang dalam) adalah 25 ton/ha/tahun, sedangkan untuk
tanah yang kedalamannya tipis maka nilai EDP adalah kurang dari 25 ton/ha/tahun.
12

Tabel 8 Skoring Erosi yang Diperbolehkan (EDP)


Erosi yang Diperbolehkan (ton/ha/tahun) Kelas Skor
>25 Tinggi 5
<25 Rendah 1
Sumber: Indrihastuti (2015)

6. Erodibilitas Tanah (K)


Data-data yang diperlukan untuk parameter erodibilitas tanah adalah a)
tekstur tanah (dalam fraksi debu, pasir, dan klei), b) persentase bahan organik, c)
struktur tanah, dan d) permeabilitas tanah. Data-data primer terkait erodibilitas
tanah berasal dari contoh tanah lokasi penelitian yang telah dilakukan analisis di
laboratorium. Untuk perhitungan nilai K digunakan persamaan Weischmeier et al.
(1971 dalam Arsyad 2010) sebagai berikut:
1,292{2,1 𝑀 1,14 (10−4)(12−𝑎)+3,25 (𝑏−2)+2,5 (𝑐−3)}
K=
100
Dimana: M = ukuran partikel (% pasir + % debu x (100 - % klei))
a = kandungan bahan organik (BO = % C x 1,724)
b = harkat struktur tanah
c = harkat permeabilitas

Tabel 9 Skoring Erodibilitas Tanah (K)


Erodibilitas Tanah (t h MJ-1 mm-1) Kelas Skor
<0,20 Rendah 5
0,21-0,32 Sedang 4
0,33-0,40 Agak Tinggi 3
0,41-0,55 Tinggi 2
0,56-0,64 Sangat Tinggi 1
Sumber: Arsyad (2010)

7. Manajemen
Penilaian manajemen pada penentuan lahan kritis dilakukan pada kawasan
lindung, kawasan budidaya, dan kawasan hutan produksi. Data terkait manajemen
diperoleh dari BPDAS PS, Kementerian Kehutanan Tahun 2013, serta pengamatan
langsung di lapangan pada saat survei lapang. Klasifikasi dan skoring manajemen
untuk masing–masing kawasan berdasarkan Perdirjen BPDAS PS No. P.4/V-
Set/2013 dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Skoring Manajemen


Kawasan Kelas Skor
Kawasan Lindung Baik (lengkap : batas kawasan ada, dan 5
penyuluhan dilaksanakan)
Sedang (tidak lengkap) 3
Buruk (tidak ada) 1
Kawasan Budidaya dan Baik (Penerapan teknologi konservasi tanah 5
Kawasan Hutan Produksi lengkap dan sesuai petunjuk)
Sedang (tidak lengkap atau tidak terpelihara) 3
Buruk (tidak ada) 1
13

Analisis Spasial Lahan Kritis


Analisis spasial dilakukan dengan pemetaan lahan kritis pada skala tinjau
dan dengan teknik tumpang-tindih (overlay) sistem informasi geografis antara
parameter-parameter penentu lahan kritis, sehingga menghasilkan unit pemetaan
baru yang berupa unit lahan kritis. Pada setiap unit dilakukan analisis terhadap data
atributnya yang merupakan data tabular, sehingga analisisnya disebut juga analisis
tabular. Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data spasialnya untuk
menghasilkan data spasial lahan kritis. Untuk penentuan tingkat kekritisan lahan
digunakan rumus sebagai berikut:

𝐾𝐿 = ∑𝑛(𝑏 × 𝑠)

Dimana: KL = nilai kekritisan lahan


n = parameter lahan kritis
b = bobot masing-masing parameter
s = skor masing-masing parameter

Nilai kekritisan lahan yang diperoleh selanjutnya dikelaskan ke dalam 5


kategori, seperti yang terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Klasifikasi Tingkat Kekeritisan Lahan Metode Modifikasi


Kelas Lahan Kritis Nilai
Tidak Kritis 424–500
Potensial Kritis 347–423
Agak Kritis 270–346
Kritis 193–269
Sangat Kritis 115–192
Sumber: Indrihastuti (2015)

Analisis Hubungan antara Lahan Kritis dengan Faset Lahan dan Penggunaan
Lahan
Seperti halnya analisis spasial lahan kritis di atas, analisis hubungan ini juga
dilakukan secara spasial, yaitu melalui teknik tumpang-tindih (overlay) sistem
informasi geografis antara peta lahan kritis dengan peta faset lahan dan peta
penggunaan lahan.

Dari seluruh uraian metode penelitian di atas, maka secara singkat rangkaian
penelitian ini dapat disajikan dalam bentuk diagram alir seperti yang disajikan pada
Gambar 3.
14

Gambar 3 Diagram Alir Pemetaan Faset Lahan dan Lahan Kritis

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faset Lahan Daerah Penelitian

Bentuklahan (landform) adalah bentuk permukaan bumi yang dihasilkan


oleh proses geomorfik tertentu atau gabungan dari berbagai proses sehingga
menghasilkan morfologi yang spesifik, seperti dataran, bukit, lembah atau yang
lainnya. Bentuklahan yang diklasifikasikan pada skala ≥1:50.000 atau skala semi-
detail oleh Oxford-MEXE dinamakan faset lahan (Van Zuidam 1985) dan menjadi
15

tujuan dari penelitian ini. Berdasarkan hasil interpretasi visual geomorfologis, faset
lahan yang terdapat di daerah penelitian dapat dibedakan menjadi 25 jenis. Jumlah
faset lahan ini merupakan hasil dari pendetailan 8 unit sistem lahan yang ada pada
Peta Sistem Lahan daerah penelitian, skala 1:250.000, yaitu sistem lahan 1)
Argalingga (AGA), 2) Bukit Balang (BBG), 3) Bukit Masung (BMS), 4) Barong
Tongkak (BTK), 5) Cikadu (SMD), 6) Bukit Tinggi (SSN), 7) Tanggamus (TGM)
dan 8) Talamu (TLU) (Lampiran 13). Nama dan luas setiap faset lahan disajikan
pada Tabel 12, sedangkan sebaran jenis faset lahan disajikan pada Gambar 4.

Tabel 12 Nama dan Luas Faset Lahan DAS Cimanuk Hulu


Persentase
Kode Faset Lahan Luas (ha)
(%)
FV1 Dataran Fluvio-Vulkanik 24.831,08 21,10
FV2 Lembah Sungai 2.346,01 1,99
VD1 Lereng Bawah Kerucut Vulkanik Denudasional 17.690,31 15,03
VD10 Dataran Aliran Lava 2.888,88 2,45
VD11 Kompleks Bukit Sisa Vulkanik 5.659,73 4,81
VD12 Kubah Lava 1.621,09 1,38
VD13 Bukit Sisa Vulkanik 139,89 0,12
VD14 Kaldera Tidak Aktif 423,81 0,36
VD15 Perbukitan Aliran Lava 1.218,52 1,04
VD2 Perbukitan Vulkanik Denudasional 6.802,56 5,78
VD3 Pegunungan Vulkanik Denudasional 18.085,02 15,37
VD4 Lereng Atas Kerucut Vulkanik Denudasional 6.901,84 5,87
VD5 Lereng Tengah Kerucut Vulkanik Denudasional 11.458,29 9,74
VD6 Kerucut Vulkanik Denudasional 619,48 0,53
VD7 Kerucut parasite 1.554,52 1,32
VD8 Kawah Tidak Aktif 442,16 0,38
VD9 Tebing Kaldera 284,03 0,24
Lereng Bawah Kompleks Kerucut Vulkanik
Vg1 2.162,94 1,84
Gunung Guntur
Vg2 Kompleks Kerucut Vulkanik Gunung Guntur 6.098,31 5,18
Vp1 Lereng Atas Kerucut Vulkanik Papandayan 707,37 0,60
Vp2 Lembah Barranco Papandayan 650,49 0,55
Vp3 Lereng Tengah Kerucut Vulkanik Papandayan 1.479,88 1,26
Vp4 Kawah Aktif Papandayan 98,01 0,08
Vp5 Lereng Bawah Kerucut Vulkanik Papandayan 3.284,23 2,79
Vp6 Perbukitan Aliran Lava Papandayan 229,20 0,19
Total 117.677,64 100,00
16

Gambar 4 Persebaran Faset Lahan di DAS Cimanuk Hulu


Berdasarkan luasan dan persebarannya, faset lahan yang paling luas di
daerah penelitian adalah Dataran Fluvio-Vulkanik (FV1) yang terletak di bagian
tengah daerah penelitian dengan luas 24.831,08 ha atau 21,10% dari total luas
daerah penelitian. Hal ini menunjukan bahwa wilayah tengah daerah penelitian
merupakan wilayah deposisional atau wilayah sedimentasi dari material-material
pegunungan vulkanik di sekitarnya. Faset lahan fluvio-vulkanik ini secara dominan
dicirikan oleh karakeristik morfologinya yang memiliki lereng datar dan luas.
Adapun faset lahan yang sebaliknya, yaitu yang terkecil luasannya di daerah
penelitian adalah faset lahan Kawah Aktif Papandayan (Vp4) yang terletak di
bagian selatan, yaitu mempunyai luas hanya 98 ha atau seluas 0,08 % dari total luas
daerah penelitian.
Secara morfogenesis daerah penelitian didominasi oleh proses vulkanik-
denudasional. Proses vulkanik merupakan proses yang utama di wilayah ini
dikarenakan daerah penelitian dikelilingi oleh barisan pegunungan vulkanik. Oleh
sebab itu, tenaga magmatik merupakan tenaga utama yang membentuk
bentanglahan di wilayah ini. Sementara itu, proses denudasional direpresentasikan
oleh adanya proses pengikisan atau erosi dan longsor sehingga membentuk
pelembahan-pelembahan atau torehan-torehan di daerah atas (uplands). Menurut
Lihawa (2009) bentuklahan denudasional adalah unit bentuklahan yang terbentuk
oleh proses degradasi dimana proses ini didahului oleh proses pelapukan yang
sudah lanjut.
17

Analisis Kekritisan Lahan di DAS Cimanuk Hulu

Penutupan/Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan (land use) menurut Lillesand dan Kiefer (1979),
berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu, sedangkan penutup
lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi.
Berdasarkan hasil penelitian Duitasari (2017) jenis penggunaan lahan di DAS
Cimanuk Hulu dapat klasifikasikan menjadi 9 jenis, yaitu Badan Air, Hutan, Kebun
Campuran, Perkebunan, Padang Rumput, Lahan Terbuka, Permukiman, Sawah,
dan Tegalan. Berdasarkan luasannya, penggunaan lahan tegalan merupakan
penggunaan yang terbesar, yaitu seluas 50.702,16 ha (43,08%), sedangkan luasan
penggunaan terkecil adalah padang rumput, yaitu seluas 46,08 ha (0,04%). Seluruh
luasan penggunaan lahan di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 13,
sedangkan persebaran spasialnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan
persebaran tersebut, penggunaan lahan tegalan secara dominan berada pada faset
lahan Lereng Tengah Kerucut Vulkanik Denudasional (VD5), sedangkan sawah
secara dominan tersebar pada faset lahan Dataran Fluvio-vulkanik (FV1). Adapun
untuk hutan secara dominan tersebar pada faset lahan Lereng Atas Kerucut Vulkanik
Denudasional (VD4).

Tabel 13 Luasan Penggunaan Lahan DAS Cimanuk Hulu Tahun 2015


Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)
Badan Air 726,45 0,62
Hutan 18.224,91 15,49
Kebun Campuran 3.419,50 2,91
Lahan Terbuka 1.514,71 1,29
Padang Rumput 46,08 0,04
Perkebunan 9.73,77 0,83
Permukiman 8.474,70 7,20
Sawah 33.595,35 28,55
Tegalan 50.702,16 43,09
Total 117.677,64 100,00

Dalam kaitannya dengan NDVI (hasil analisis NDVI yang disajikan dalam
Lampiran 10), persentase tutupan lahan dikelompokkan menjadi 5 kelas, yaitu
hutan termasuk ke dalam kelas tutupan >80% karena hasil nilai pixel yang didapat
untuk penggunaan lahan hutan adalah 0,456. Perkebunan termasuk ke dalam kelas
tutupan 61-80% karena memiliki nilai pixel 0,424. Kebun campuran dan padang
rumput termasuk ke dalam kelas tutupan 41-60% karena memiliki nilai pixel 0,373.
Tegalan termasuk ke dalam tutupan 21-40% karena memiliki nilai pixel 0,359,
sedangkan lahan terbuka, dan permukiman termasuk ke dalam tutupan 0-20%
karena memiliki nilai pixel 0,159, dan 0,179. Hal tersebut menunjukkan bahwa
tutupan vegetasi sangat sedikit untuk lahan terbuka dan permukiman. Adapun untuk
badan air dan sawah tidak dinilai NDVI-nya karena kedua penggunaan lahan ini
digolongkan ke dalam area yang tidak kritis. Sebaran spasial, luasan, dan skor
penutupan lahan berbasis NDVI disajikan dalam Tabel 14 dan Gambar 5.
18

Tabel 14 Skoring dan Luasan Tutupan Lahan DAS Cimanuk Bagian Hulu
Berdasarkan Nilai NDVI
Penutupan Lahan Kelas Pixel Skor Luas (ha) Persentase (%)
Area Tidak Kritis (Sawah
- - - 34.321,80 29,17
dan Badan Air)
Hutan Sangat Baik >0,424 5 18.224,9 15,49
Perkebunan Baik 0,373 4 973,77 0,83
Kebun Campuran dan
Sedang 0,359 3 3.465,58 2,94
Padang Rumput
Tegalan Buruk 0,325 2 50.702,16 43,09
Permukiman dan Lahan
Sangat Buruk <0,179 1 9.989,41 8,49
Terbuka
Total 117.677,64 100,00

Gambar 5 Persebaran Kelas Kerapatan Tutupan Lahan di DAS Cimanuk Hulu


Tahun 2015 Berdasarkan Nilai NDVI
Produktivitas
Parameter produktivitas digunakan untuk analisis lahan kritis pada kawasan
budidaya. Dalam penilaian kekritisan lahan, data produktivitas lahan didapatkan
dari Dinas Pertanian Kabupaten Garut tahun 2016 yaitu tentang produksi lahan di
masing-masing kecamatan dari tahun 2014 sampai 2016. Berdasarkan data tesebut
kelas produktivitas lahan di daerah DAS Cimanuk Hulu, khususnya Kabupaten
Garut, tergolong tinggi dan tidak terdapat kelas produktivitas yang rendah dan
sangat rendah. Oleh sebab itu, sebaran luas produktivitas lahan di DAS Cimanuk
19

Hulu didominasi oleh kelas produktivitas tinggi, yaitu seluas 78.700,98 ha atau
66,88% dari total luas daerah penelitian (Tabel 15 dan Gambar 6).

Tabel 15 Skoring dan Luasan Produktivitas DAS Cimanuk Hulu


Kelas Produktivitas Skor Luas (ha) Persentase (%)
Sangat Tinggi 5 32.322,53 27,47
Tinggi 3 78.700,98 66,88
Sedang 4 6.654,13 5,65
Total 117.677,64 100,00

Gambar 6 Persebaran Kelas Kombinasi antara Penggunaan Lahan dan


Produktivitas di DAS Cimanuk Hulu Tahun 2014-2016
Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Semakin curam
lereng maka akan memperbesar laju aliran permukaan (Arsyad 2010). Secara
spasial kemiringan lereng lebih mudah dibaca ketika sudah dikelaskan. Dalam
penelitian ini, klasifikasi kemiringan lereng mengacu pada klasifikasi Perdirjen
BPDAS PS No. P.4/V-Set/2013. Berdasarkan hasil analisis kemiringan lereng
didapatkan bahwa daerah penelitian memiliki kelas kemiringan lereng bervariasi
dimana yang terluas adalah lereng datar (0–8%), yaitu 37.318,47 ha atau 31,71%
dari total luas DAS Cimanuk Hulu. Sementara itu, kelas kemiringan lereng yang
sangat curam (>40%) memiliki luasan yang paling kecil, yaitu 6.711,48 ha atau
5,70% dari total luas DAS Cimanuk Bagian Hulu. Sebaran spasial dan luasan kelas
kemiringan lereng DAS Cimanuk Hulu disajikan dalam Tabel 16 dan Gambar 7.
20

Tabel 16 Skoring dan Luasan Kemiringan Lereng DAS Cimanuk Hulu


Kelas Kemiringan Persentase
Keterangan Skor Luas (ha)
Lereng (%)
0-8% Datar 5 37.318,47 31,71
9-15% Landai 4 27.047,02 22,98
16-25% Agak Curam 3 26.761,12 22,74
26-40% Curam 2 19.839,54 16,86
>40% Sangat Curam 1 6.711,48 5,70
Total 117.677,64 100,00

Gambar 7 Persebaran Kelas Kemiringan Lereng di DAS Cimanuk Hulu

Erosivitas Hujan (R)


Erosivitas hujan adalah tenaga pendorong yang menyebabkan terkelupas
dan terangkutnya partikel-partikel tanah ke tempat yang lebih rendah (Asdak 2002).
Nilai faktor erosivitas hujan dihasilkan dari data curah hujan pada 6 stasiun
pengamatan selama 5 tahun yaitu 2009 sampai 2013 dan dihitung dengan
menggunakan persamaan Bols (1978 dalam Arsyad 2010). Berdasarkan hasil
analisis didapatkan bahwa nilai erosivitas hujan terluas di DAS Cimanuk Hulu
adalah pada nilai erosivitas hujan 3.779,29 MJ cm ha-1 h-1, seperti yang terlihat pada
Tabel 17 atau Gambar 8.
21

Tabel 17 Skoring dan luasan Erosivitas Hujan (R) DAS Cimanuk Hulu
Erosivitas Hujan (MJ cm ha-1 h-1) Skor Luas (ha) Persentase (%)
2.737,05 3 23.551,47 20,01
3.779,29 2 53.517,68 45,48
4.821,53 1 20.883,13 17,75
5.863,77 1 8.216,67 6,98
6.906,01 1 6.996,15 5,95
7.948,25 1 4.512,54 3,83
Total 117.677,64 100,00

Gambar 8 Persebaran Kelas Erosivitas Hujan (R) di DAS Cimanuk Hulu Tahun
2009-2013

Erosi yang Diperbolehkan (EDP)


Erosi yang diperbolehkan adalah nilai laju erosi yang masih dapat dibiarkan
atau ditoleransikan karena masih dapat memelihara suatu kedalaman tanah yang
mencukupi untuk pertumbuhan tanaman/tumbuhan sehingga dengan kondisi ini
memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari (Arsyad 2010).
Penggunaan parameter erosi yang diperbolehkan di sini adalah ditujukan untuk
melihat seberapa besar batas laju kehilangan tanah. Perhitungan erosi yang
diperbolehkan dalam penelitian ini memakai persamaan Wood dan Dent (1983
dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007) dan didapatkan bahwa kelas erosi
yang diperbolehkan didominasi oleh kelas tinggi atau >25 ton/ha/tahun yaitu seluas
99.835,82 ha atau meliputi 84,84% dari total luas DAS Cimanuk Hulu (Tabel 18
dan Gambar 9).
22

Tabel 18 Skoring dan Luasan Erosi yang Diperbolehkan (EDP) DAS Cimanuk Hulu
Kelas Erosi Yang Diperbolehkan (EDP)
Kelas Luas (ha) Persentase (%)
(ton/ha/tahun)
>25 Tinggi 99.835,82 84,84
<25 Rendah 17.841,82 15,16
Total 117.677,64 100,00

Gambar 9 Persebaran Kelas Erosi yang Diperbolehkan (EDP) di DAS Cimanuk


Hulu Tahun 2016

Erodibilitas Tanah (K)


Erodibilitas tanah (K) adalah mudah tidaknya tanah mengalami erosi yang
ditentukan oleh berbagai sifat fisik dan kimia tanah, yaitu tekstur, bahan organik,
struktur, dan permeabilitas. Perhitungan erodibilitas dihitung dengan menggunakan
persamaan Weischmeier et al. (1971 dalam Arsyad 2010) dan hasilnya
menunjukkan bahwa kelas erodibilitas tanah yang paling luas di daerah penelitian
adalah kelas rendah, yaitu dengan nilai erodibitilitas tanah 0,01 sampai 0,19, seluas
46.776,40 ha atau meliputi 40% dari total luas DAS Cimanuk Hulu (Tabel 19 dan
Gambar 10).
23

Tabel 19 Skoring dan Luasan Erodibilitas Tanah (K) DAS Cimanuk Hulu
Erodibilitas Tanah
Kelas Skor Luas (ha) Persentase (%)
(t h MJ-1 mm-1)
0,01-0,19 Rendah 5 46.776,40 39,75
0,21-0,32 Sedang 4 24.129,00 20,50
0,34-0,44 Agak Tinggi 3 28.822,04 24,49
0,46-0,48 Tinggi 2 7.164,67 6,09
0,67 Sangat Tinggi 1 10.785,53 9,17
Total 117.677,64 100,00

Gambar 10 Persebaran Kelas Erodibillitas Tanah (K) di DAS Cimanuk Hulu


Tahun 2016
Manajemen
Parameter manajemen dinilai berdasarkan kelengkapan aspek pengelolaan
pada kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan hutan produksi.
Pengelolaan tersebut meliputi keberadaan tata batas kawasan dan dilakukannya
penyuluhan untuk kawasan lindung. Sementara itu, penerapan tindakan konservasi
tanah yang sesuai prosedur digunakan untuk menilai parameter manajemen di
kawasan budidaya dan kawasan hutan produksi. Hasil penilaian menunjukkan
bahwa kelas manajemen didominasi oleh kelas sedang, yaitu seluas 100,376 ha atau
85,30% dari total semua kawasan yang berada di DAS Cimanuk Hulu (Tabel 20
dan Gambar 11).
24

Tabel 20 Skoring dan Luasan Manajemen DAS Cimanuk Hulu


Kelas Manajemen Skor Luas (ha) Persentase (%)
Baik 5 17.301,07 14,70
Sedang 1 100.376,58 85,30
Total 117.677,64 100,00

Gambar 11 Persebaran Kelas Manajemen di DAS Cimanuk Hulu

Sebaran Lahan Kritis di DAS Cimanuk Hulu

Berdasarkan hasil penilaian parameter-parameter penentu lahan kritis yang


telah diuraikan di atas, maka selanjutnya dapat dilakukan analisis terhadap tingkat
kekritisan lahan yang mengacu pada metode Perdirjen BPDAS PS No. P.4/V-
Set/2013 yang dimodifikasi, yakni melalui pembobotan dan skoring terhadap setiap
parameter. Hasil analisis tingkat kekritisan lahan berikut ini akan diuraikan pada
setiap “kawasan” sebelum diuraikan secara menyeluruh dari DAS Cimanuk Hulu.

Kawasan Lindung
Analisis tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung (mencakup hutan
lindung dan hutan suaka alam & margasatwa) adalah didasarkan pada parameter-
parameter berikut: penutupan lahan, kemiringan lereng, erosivitas hujan, erosi yang
diperbolehkan, erodibilitas tanah, dan manajemen. Adapun hasil analisis dan
sebaran tingkat kekritisan lahan yang diperoleh di kawasan ini secara keruangan
disajikan pada Gambar 12.
25

Berdasarkan Gambar 12 tampak bahwa kawasan lindung didominasi oleh


tingkat kekritisan Potensial Kritis dan Agak kritis dengan luasan berturut-turut
adalah 8.040,08 ha atau 46,55% dari total luas kawasan lindung dan 5.384,86 ha
(31,18%). Sementara itu, tingkat kekritisan Tidak Kritis memiliki luasan terendah
yaitu seluas 241,14 atau 1,40% dari total luas kawasan lindung. Berdasarkan angka-
angka tersebut di atas maka luas lahan kritis di kawasan lindung masih tergolong
tinggi jika dibandingkan dengan yang tidak kritis. Padahal lahan kritis seharusnya
tidak terdapat pada kawasan lindung yang memiliki fungsi sebagai perlindungan
lingkungan yang berupa hutan lindung maupun hutan suaka alam & margasatwa.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan ini tergolong kurang baik
dan perlu dievaluasi untuk waktu yang akan datang, karena jika tidak maka
kerusakan ekologi dapat diperkirakan akan meningkat seiring dengan waktu.

Gambar 12 Persebaran Kelas Lahan Kritis di Kawasan Lindung DAS Cimanuk


Hulu Tahun 2016
Kawasan Hutan Produksi
Analisis tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi (mencakup
wilayah hutan produksi dan hutan produksi terbatas) adalah dinilai berdasarkan
pada parameter yang sama dengan parameter untuk kawasan lindung dan juga untuk
skoring dan pembobotannya. Hasil analisis dan sebaran tingkat kekritisan lahan
pada kawasan hutan produksi disajikan dalam Gambar 14.
Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa di kawasan hutan produksi,
tingkat kekritisan lahan didominasi oleh kelas Agak Kritis, yaitu seluas 5.150,31 ha
atau 42,65% dari total luas kawasan tersebut. Adapun tingkat kekritisan Potensial
Kritis dan Kritis memiliki luas berturut-turut 1.438,73 ha atau 11,91% dari total
26

luas kawasan tersebut dan 4.621,69 ha (38,27%) yang tersebar pada kawasan
dengan kelerengan >25% dan tingkat erosi yang diperbolehkan tergolong rendah
(<25 ton/ha/tahun). Sementara itu, untuk kelas Tidak Kritis dan Sangat Kritis
mempunyai luasan terendah, yakni berturut-turut seluas 421,86 ha atau 3,49% dari
total luas kawasan tersebut dan 443,72 ha (3,67%).

Gambar 13 Persebaran Kelas Lahan Kritis di Kawasan Hutan Produksi DAS


Cimanuk Hulu Tahun 2016
Kawasan Budidaya
Analisis tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya (mencakup
wilayah-wilayah permukiman, pertanian, dan lainnya) adalah dinilai berdasarkan
pada parameter-parameter berikut, yaitu: produktivitas, kemiringan lereng,
erosivitas hujan, erosi yang diperbolehkan, erodibilitas tanah, dan manajemen.
Hasil analisis kekritisan lahan pada kawasan ini secara keruangan disajikan dalam
Gambar 13.
Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa pada kawasan budidaya kondisi
kekritisan lahan tampak lebih baik, karena tidak terdapat kelas sangat kritis. Secara
umum kawasan budidaya ini didominasi oleh kelas Tidak Kritis, yaitu seluas
44.175,44 ha atau 50,01% dari total luasan kawasan budidaya. Dominasi tersebut
dikarenakan oleh adanya tindakan pengelolaan lahan yang dapat meningkatkan
produktivitas, seperti pembuatan teras pada lahan pertanian. Sementara itu untuk
kelas gabungan Agak Kritis dan Kritis di kawasan ini mencapai luasan 16.264,19
ha atau 18,41% dari total luas kawasan budidaya dan berada pada wilayah dengan
kemiringan lereng >25 % serta curah hujan yang sangat tinggi.
27

Gambar 14 Persebaran Kelas Lahan Kritis di Kawasan Budidaya DAS Cimanuk


Hulu Tahun 2016
Berdasarkan uraian ketiga kawasan di atas, tampak bahwa kawasan
budidaya memiliki luas wilayah yang lebih besar dibandingkan dengan kawasan
lindung dan kawasan hutan produksi, yaitu seluas 88.330,93 ha atau 75,06% dari
total luas daerah penelitian. Sementara itu, kawasan hutan produksi memiliki luasan
lahan kritis tertinggi, yaitu sebesar 10.215,72 ha atau 8,68% dari total luas daerah
penelitian atau 84,59% dari total luas kawasan hutan produksi itu sendiri. Melihat
kondisi tersebut, maka dalam upaya pelestarian lingkungan hidup ataupun
penanggulangan bencana untuk jangka panjang, maka seyogyanya lahan yang
mempunyai “kategori kritis” segera mendapat perhatian untuk di atasi. Dalam hal
ini kawasan hutan produksi bisa menjadi prioritas pertama, misalnya untuk program
rehabilitasi lahan, dibandingkan kawasan lainnya karena di kawasan ini mempuyai
luasan yang lebih besar.

Tabel 21 Tingkat Kekritisan Lahan dan luasan di DAS Cimanuk Hulu

Tingkat Kekritisan Total (ha) Persentase (%)


Tidak Kritis 44.838,45 38,10
Potensial Kritis 37.370,10 31,76
Agak Kritis 24.888,16 21,15
Kritis 9.533,50 8,10
Sangat Kritis 1.047,43 0,89
Total 117.677,64 100,00
28

Gambar 15 Persebaran Kelas Lahan Kritis di DAS Cimanuk Hulu Tahun 2016
Dari hasil analisis lahan kritis di DAS Cimanuk Hulu seperti yang tersaji
dalam Tabel 21 dan Gambar 15 terlihat bahwa sebagian besar bentanglahan di
daerah penelitian termasuk ke dalam kelas Tidak Kritis yaitu seluas 44.838,45 ha
atau 38,10% dari total luas daerah penelitian. Jika hanya melihat data tabular
tersebut, maka kondisi lahan kritis di daerah penelitian dapat dikategorikan tidak
terlalu buruk, namun jika melihat data spasial, tampak bahwa kondisi lahan kritis
sudah mengancam cukup serius, hal ini disebabkan lahan yang masuk ke dalam
“kategori tidak kritis” (yaitu kelas tidak kritis dan potensial kritis) berada pada
bentanglahan dataran yang sangat luas atau pada lereng-lereng bawah pegunungan
yang mempunyai ancaman erosi relatif kecil, sedangkan pada lereng tengah ke atas
kondisi lahan didominasi oleh lahan-lahan “kategori kritis” (yaitu kelas agak kritis,
kritis, dan sangat kritis). Jika melihat hasil penelitian sebelumnya perbandingan
luasan lahan “kategori kritis” ini relatif hampir sama, yaitu 40.876 ha pada tahun
2004 (BPDAS Cimanuk-Cisanggarung 2003) dan 38.180,80 ha (Ramdan 2014),
sedangkan hasil penelitian ini (2016) seluas 35.469,08 ha. Perbedaan selisih angka
luasan tersebut bisa disebabkan oleh banyak hal, antara lain adalah perbedaan nilai
dari parameter yang digunakan untuk input data dan/atau oleh perbedaan metode
penilaian yang digunakan.
29

Hubungan antara Lahan Kritis dengan Faset Lahan

Analisis untuk mengetahui hubungan antara lahan kritis dengan faset lahan
dilakukan secara sederhana, yaitu dilakukan dengan teknik tumpang-tindih
(overlay) sistem informasi geografis antara peta lahan kritis dengan peta faset lahan.
Berdasarkan analisis ini didapatkan hasil bahwa sebaran luas lahan “kategori kritis”
seperti yang sudah dijelaskan pada uraian di atas terjadi sebagian besar pada faset
lahan Lereng Tengah Kerucut Vulkanik Denudasional (VD5) yaitu seluas
10.718,82 ha atau 93,55% dari total luas faset lahan VD5. Selain itu sebaran luas
lahan “kategori kritis” terdapat pula pada (1) faset lahan Pegunungan Vulkanik
Denudasional (VD3) seluas 6.383,27 ha atau 33,62% dari total luas jenis faset lahan
tersebut, (2) faset lahan Lereng Atas Kerucut Vulkanik Denudasional (VD4) seluas
3.528,85 ha atau 51,13% dari total luas jenis faset lahan tersebut, (3) faset lahan
Kompleks Kerucut Vulkanik Gunung Guntur (Vg2) seluas 3.086,35 ha atau 50,61%
dari total luas jenis faset lahan tersebut, dan (4) faset lahan Perbukitan Vulkanik
Denudasional (VD2) seluas 2.532,23 ha atau 37,22% dari total luas jenis faset lahan
tersebut.
Berdasarkan uraian di atas maka terlihat bahwa lahan “kategori kritis”
tersebar pada morfologi bentuklahan “perbukitan dan pegunungan”, sedangkan
secara morfogenesis semuanya berada di lahan “vulkanik”. Material vulkanik yang
terdapat di permukaan pada umumnya adalah terdiri dari bahan piroklastik (abu
vulkanik) atau aliran lava. Material yang pertama pada umumnya sangat rentan
terhadap erosi, sedangkan material yang kedua mempunyai kondisi sebaliknya,
yaitu sangat tahan terhadap erosi, hal ini dikarenakan material lava adalah material
yang sulit melapuk kecuali dalam waktu yang sangat lama, yakni dalam puluhan
hingga ratusan ribu tahun atau bahkan lebih. Lahan “kategori kritis” yang terdapat
di Gunung Guntur (Vg2), misalnya, merupakan contoh lahan yang berbatu-batu
lava di permukaan dan hanya tertutup oleh lapisan tipis endapan pasir di sela-sela
batuan dan hanya dapat ditumbuhi oleh rerumputan pada musim penghujan.
Dari morfologi ini, hubungan antara lahan kritis dengan faset lahan dapat
pula dilihat dari aspek morfometrinya. Morfometri adalah aspek kuantitatif dari
geomorfologi yang mendeskripsikan ukuran pada bentuklahan, antara lain seperti
lereng, luas, atau ketinggian dari suatu bentuklahan (Van Zuidam 1985).
Morfometri faset lahan yang dianalisis dalam penelitian ini hanya mengambil pada
sisi kemiringan lereng saja. Hasil analisis menunjukkan bahwa kemiringan lereng
mempunyai hubungan yang cukup erat dengan pola sebaran lahan kritis (Gambar
16). Gambar 16c menunjukkan bahwa terdapat 5 jenis faset lahan yang mempunyai
pola hubungan erat antara kemiringan lerengnya dengan tingkat kekritisan lahan,
yaitu VD5, VD3, VD4, Vg2, dan VD2.
Pada Lereng Tengah Kerucut Vulkanik Denudasional (VD5), lahan
“kategori kritis” tersebar hampir di semua kemiringan lereng, namun luasan
tertinggi terdapat pada kemiringan lereng 16-25%. Luasan tersebut kemudian
menurun seiring dengan meningkatnya kemiringan lereng dan sangat mungkin hal
ini disebabkan oleh semakin tingginya elevasi dan tingginya kerapatan vegetasi
(hutan). Kemudian pada faset lahan Perbukitan Vulkanik Denudasional (VD2),
lahan “kategori kritis” juga memiliki pola yang mirip dengan faset lahan VD5
dimana persebaran tertinggi pada kemiringan lereng 16-25%. Sementara itu, pada
faset lahan Pegunungan Vulkanik Denudasional (VD3), dan Kompleks Kerucut
30

Vulkanik Gunung Guntur (Vg2) lahan-lahan yang mempunyai “kategori kritis”


tersebar dengan luasan maksimal pada kemiringan lereng 26-40%, sedangkan pada
faset lahan Lereng Atas Kerucut Vulkanik Denudasional (VD4) lahan-lahan
“kategori kritis” tersebar dengan luasan maksimal pada kemiringan lereng >40%
atau lebih curam daripada faset-faset lahan sebelumnya. Hal tersebut cukup logis
disebabkan lahan-lahan pada kemiringan lereng tersebut (agak curam hingga
curam) secara morfometrik lebih peka terhadap proses erosi, apalagi jika berada
pada wilayah yang mempunyai curah hujan tinggi dan kerapatan vegetasi yang
rendah.

Hubungan antara Lahan Kritis dengan Penggunaan Lahan

Analisis untuk mengetahui hubungan antara lahan kritis dengan penggunaan


lahan dilakukan juga melalui teknik tumpang tindih (overlay) sistem informasi
geografis. Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 12) terlihat bahwa lahan “kategori
kritis” berada secara dominan pada lahan tegalan, yaitu seluas 24.515,35 ha atau
69,12% dari total luas lahan “kategori kritis”. Hal ini senada dengan pendapat
Pratiwi dan Murti (2012) bahwa kondisi topografi yang beragam serta didukung
oleh penggunaan lahan yang tidak sesuai, seperti pertanian hortikultura atau tegalan,
merupakan faktor utama pemicu terjadinya lahan kritis. Menurut Duitasari (2017)
lahan tegalan mendominasi lereng-lereng dari kelas agak curam hingga curam di
seluruh faset lahan yang mempunyai kemiringan lereng ≤45%, namun demikian
persebaran yang paling luas dari tegalan adalah pada kemiringan lereng 16-25%.
Berdasarkan uraian di atas dapat diringkas bahwa lahan “kategori kritis”
mempunyai keterkaitan yang erat dengan faset lahan dan penggunaan lahan.
Morfologi perbukitan dan pegunungan merupakan faset lahan yang rentan terhadap
proses lahan kritis apalagi bermaterial vulkanik (piroklastik dan lava). Dalam hal
ini terdapat 5 jenis faset lahan yang mempunyai keterkaitan jelas antara lahan kritis
dengan morfometrinya (lereng), yaitu faset lahan Lereng Tengah Kerucut Vulkanik
Denudasional (VD5), Pegunungan Vulkanik Denudasional (VD3), Lereng Atas
Kerucut Vulkanik Denudasional (VD4), Kompleks Kerucut Vulkanik Gunung
Guntur (Vg2), dan Perbukitan Vulkanik Denudasional (VD2). Kemiringan lereng
yang terdapat banyak lahan kritis adalah pada kemiringan 16-25% dan 26-40%.
Adapun penggunaan lahan yang paling dominan memiliki lahan “kategori kritis”
adalah lahan tegalan. Hal ini disebabkan kerapatan vegetasi pada lahan tegalan
bernilai paling rendah, sehingga peluang terjadinya erosi sangat besar.
31

200
175
150
125
100
Luas (ha)

75
50
25
0
0-8 9-15 16-25 26-40 > 40

Kemiringan Lereng (%)

Vp2 VD8 VD13 Vp5 Vg1 VD14 VD10

(a)
350
300
250
200
Luas (ha)

150
100
50
0
0-8 9-15 16-25 26-40 > 40

Kemiringan Lereng (%)


VD11 Vp1 VD6 VD9 Vp6
FV2 VD15 Vp4 VD12

(b)
4800
4000
3200
Luas (ha)

2400
1600
800
0
0-8 9-15 16-25 26-40 > 40
Kemiringan Lereng (%)

VD3 Vp3 VD2 VD5 VD4 Vg2 VD1 VD7

(c)
Gambar 16 Sebaran Kekritisan Lahan Kategori Kritis berdasarkan Morfometri
Luas 0-200 ha (a), Luas 0-350 ha (b), dan Luas 0-4800 ha (c)
32

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Daerah penelitian tersusun atas 8 satuan sistem lahan yang dapat dirinci
menjadi 25 jenis faset lahan dimana proses vulkanik dan denudasional
mendominasi morfogenesis bentuklahan di DAS Cimanuk Hulu.
Kelas kekritisan lahan terluas di daerah penelitian adalah pada “kategori tidak
kritis” (kelas tidak kritis dan potensial kritis), yaitu seluas 82.208,56 ha (69,86%)
yang tersebar di bentanglahan dataran dan lereng bawah pegunungan. Sementara
itu lahan “kategori kritis” (kelas agak kritis, kritis, dan sangat kritis) memiliki luas
total 35.469,08 ha (30,14%) yang tersebar pada bentanglahan perbukitan dan
pegunungan.
Persebaran lahan kritis mempunyai hubungan yang erat dengan faset lahan
dan penggunaan lahan, dimana lahan “kategori kritis” sebagian besar terjadi pada
faset lahan Lereng Tengah Kerucut Vulkanik Denudasional (VD5), yaitu seluas
10.718,82 ha atau 93,55% dari total luas faset lahan VD5. Faset lahan yang
mempunyai lahan kelas “kategori kritis” sebagian besar berada pada kemiringan
lereng 16-25% hingga 26-40% dan memiliki penggunaan lahan tegalan.

Saran

Program penanggulangan lahan kritis untuk DAS Cimanuk Hulu merupakan


program yang sangat penting (urgent) dilakukan saat ini. Untuk itu, dalam
pengelolaan lahan di DAS Cimanuk Hulu ini diperlukan adanya pendampingan
maupun kerjasama dari Pemerintah Daerah kepada masyarakat maupun stakeholder
dalam memanfaatkan lahan. Apabila ada penelitian lanjutan terkait dengan skripsi
ini maka disarankan perlu tambahan data tanah agar dapat diperoleh hasil yang lebih
baik.

DAFTAR PUSTAKA

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2013. Peraturan Direktur Jenderal Bina


Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor: P.4/V-
Set/2013 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis.
Jakarta (ID): Kemenhut.
[KemenPU] Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum Republik Indonesia Nomor: SK.267/KPTS/M/2010 tentang Pola
Pengelolaan Sumberdaya Air Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung.
Jakarta (ID): Kementrian PU.
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2014. Statistik
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta (ID): KLHK.
Ameyan O. 1986. Quality of Land Facets as Soil Mapping Units in an Area of
Northern Nigeria. Geoforum. 17 (1): 97-107.
33

Andika LD. 2016. Analisis Lahan Kritis Di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Cipunagara [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID).
Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor (ID).
Asdak C. 2002. Hidrologi dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta (ID).
Chandra DS. 2011. Analysis of Critical Land in the Musi Watershed Using
Geographic Information System. Int J Rem Sens Earth Sci. 8: 13-18.
Duitasari. 2017. Penggunaan Lahan di DAS Cimanuk Hulu: Perubahan dan
Keterkaitannya dengan Faset Lahan [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor
(ID).
Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Tataguna Lahan. Yogyakarta (ID): Gadjahmada University Press.
Indrihastuti D. 2015. Analisis Lahan Kritis dan Arahan Rehabilitasi Lahan Dalam
Pengembangan Wilayah Kabupaten Kendal Jawa Tengah [tesis]. Institut
Pertanian Bogor. Bogor (ID).
Lihawa F. 2009. Pendekatan Geomorfologi dalam Survei Kejadian Erosi. Jurnal
Pelangi Ilmu. 2 (5): 1-18.
Lillesand TM, Kiefer RW. 1979. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Diterjemahkan oleh Dulbahri, Suharsono P, Hartono, Suharyadi. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Nugroho SP, Prayogo T. 2008. Penerapan SIG untuk Penyusunan dan Analisis
Lahan Kritis pada Satuan Wilayah Pengelolaan DAS Agam Kuantan,
Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Teknologi Lingkungan. 9 (2): 130-140.
Nurwadjedi. 2000. Klasifikasi Bentuklahan Semi Detil (Skala 1;50.000/1:25.000)
Hasil Pengembangan Peta RePPProt Skala 1:250.000. Globe: 2 (2): 72-83.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2003. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Jawa Barat 2010. Bandung (ID).
Dinas Pertanian Kabupaten Garut. 2016. Laporan Akhir PAPAL JAN Kabupaten
Garut. Garut (ID). Dinas Pertanian Kabupaten Garut.
Prasetyo SYJ, Hasiholan BS, Hartomo KD, Paseleng M, Nuswantoro B. 2013.
Geographic Information System of Critical Level of Land Degredation
(Critical Land) Based on Agro-ecological Zone (AEZ) in Agricultural Areas
with Recombination Method of Fuzzy Logic and Scoring. Int J of Comput Sci
Iss. 10 (1): 217-221.
Pratiwi K, Murti HS. 2012. Aplikasi Pengolahan Digital Citra Penginderaan Jauh
dan Informasi Geografis Untuk Pemetaan Lahan Kritis di Kabupaten
Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Bumi Indonesia: 1 (1): 1-8.
Ridwan D. 2014. Salah Urus Ekologi Jawa Barat: Menabung dan Menanam
Bencana. Catatan Akhir Tahun Lingkungan Hidup Walhi Jawa Barat 2014.
Wahana Lingkungan Hidup.
Van Zuidam RA. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphological Mapping. International Institute for Aerospace Survey
and Earth Sciences (ITC). Netherlands (NL).
Wahyunto, Kuntjoro D, Muryati SR. 2007. Inventarisasi lahan terdegradasi dengan
aplikasi teknologi inderaja dan sistem informasi geografi. [Prosiding]. Di
dalam: Seminar nasional sumberdaya lahan dan lingkungan pertanian.
Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian. 247–263.
34

LAMPIRAN

Lampiran 1 Bobot, Skor, dan Nilai Penentu Kekritisan Lahan Modifikasi dari
Perdirjen BPDAS PS P.4/V-Set/2013
Nilai
(Bobot
No. Parameter Bobot Kriteria Skor
x
Skor)
1 a. Penutupan Lahan 29 Sangat Baik (Hutan) 5 143
(Untuk Kawasan Hutan Baik (Perkebunan) 4 114
Lindung, Cagar Alam, Sedang (Kebun Campuran dan Padang
dan Hutan Produksi) Rumput) 3 86
Buruk (Tegalan) 2 57
Sangat Buruk (Permukiman dan Lahan
Terbuka) 1 29
b. Produktivitas (Untuk 29 Sangat Tinggi (>80%) 5 143
Kawasan Budidaya Tinggi (61-80%) 4 114
Pertanian, berdasarkan Sedang (41-60%) 3 86
rasio terhadap produksi Rendah (21-40%) 2 57
komoditi umum Sangat Rendah (<20%) 1 29
optimal pada
pengelolaan
tradisional)
2 Kemiringan Lereng 24 Datar (0–8%) 5 119
Landai (8–15%) 4 96
Agak Curam (15–25%) 3 72
Curam (25–40%) 2 48
Sangat Curam (>40%) 1 24
3 Erosivitas Hujan (R) 19 Rendah (<1160 MJ cm ha-1 h-1) 5 95
Sedang (1160–2013 MJ cm ha-1 h-1) 4 76
Agak Tinggi (2013–2977 MJ cm ha-1 h-1) 3 57
Tinggi (297 –4033 MJ cm ha-1 h-1) 2 38
Sangat Tinggi (>4033 MJ cm ha-1 h-1) 1 19
4 Erosi Yang 14 Tinggi (> 25 ton/ha/tahun) 5 70
Diperbolehkan (EDP) Rendah (< 25 ton/ha/tahun) 1 14
5 Erodibilitas Tanah (K) 9 Rendah (< 0,20 t h MJ-1 mm-1) 5 45
Sedang (0,21–0,32 t h MJ-1 mm-1) 4 36
Agak Tinggi (0,33–0,40 t h MJ-1 mm-1) 3 27
Tinggi (0,41–0,55 t h MJ-1 mm-1) 2 18
Sangat Tinggi (0,56–0,64 t h MJ-1 mm-1) 1 9
6 Manajemen 5 Baik : 5 25
- Kawasan Lindung dan Hutan Produksi :
Lengkap, tata bats kawasan ada, pengamanan
kawasan ada dan penyuluhan dilaksanakan
- Kawasan Budidaya : Penerapan teknologi
konservasi tanah lengkap dan sesuai petunjuk
Sedang (tidak lengkap) 3 15
Buruk (tidak ada) 1 5
Sumber: Indrihastuti 2015
35

Lampiran 2 Titik Pengambilan Contoh Tanah

Koordinat
Titik Kode Sampel Kecamatan
X Y
1 108,04205 -6,99840 FV1H Selaawi
2 108,06197 -7,00143 VD1H Malangbong
3 107,98319 -6,99804 VD3H Selaawi
4 107,84408 -7,30666 VD5H Bayongbong
5 107,83147 -7,17291 Vg2H Tarogong Kaler
6 107,73651 -7,30791 Vp2H Cisurupan
7 107,74941 -7,30577 Vp3H Cisurupan
8 107,83696 -7,40301 VD2Pkb Banjarnegara
9 107,84940 -7,35444 VD5Pkb Cikajang
10 108,01085 -7,07836 VD5Kc Cibatu
11 107,77068 -7,21284 VD3Kc Pasirwangi
12 107,90242 -7,19030 FV1Sw2 Tarogong Kidul
13 107,75788 -7,29074 Vp2Tg Cisurupan
14 107,98288 -7,02635 VD6Tg Blubur Limbangan
15 107,97450 -7,21750 VD5Tg Karangpawitan
16 107,81344 -7,32311 VD1Tg Cigedug
17 107,99073 -7,17744 FV1Tg Wanaraja
18 107,81286 -7,19808 VD10Tg Samarang
19 107,90431 -7,15368 VD11Tg Banyuresmi
20 108,05292 -7,02375 FV2Tg Malangbong
21 107,87920 -7,22834 FV1Sw1 Tarogong Kidul
22 107,82142 -7,22676 VD15Sw Pasirwangi
23 107,84365 -7,21480 VD10Sw Samarang
24 107,95891 -7,04304 VD14Sw Blubur Limbangan
25 108,02450 -7,16020 VD1Sw Karang Tengah
26 108,09696 -7,05759 VD5Sw Malangbong
27 107,89268 -7,20545 FV1Pkm Tarogong Kidul
28 107,83698 -7,22159 VD10Pkm Samarang
29 107,90598 -7,06729 VD12Pkm Kadungora
30 107,93365 -7,21583 VD1Pkm Karangpawitan
31 108,06580 -7,08640 VD5Pkm Malangbong
32 107,89357 -7,13008 Vg2Pkm Leles
33 107,97211 -7,03332 VD9Pkm Blubur Limbangan
36

Lampiran 3 Peta Titik Pengambilan Contoh Tanah

Lampiran 4 Peta Tanah DAS Cimanuk Hulu

Sumber: BBSDLP 2011


37

Lampiran 5 Hasil Analisis Erodibilitas Tanah (K) di Laboratorium Tahun 2016


Nilai
Tekstur C-Organik Struktur Permeabilitas
Kode Erodibilitas Harkat
(M) (a) (b) (c)
(K)
VD1Sw 3538,55 4,37 3 6 0,34 Agak Tinggi
VD5Pkb 8043,92 6,74 1 2 0,35 Agak Tinggi
Vp2H 3041,46 9,32 2 4 0,09 Rendah
VD1Pkm 5495,29 3,47 2 3 0,42 Agak Tinggi
FV1Tg 3959,53 6,88 2 4 0,20 Rendah
VD5Kc 767,28 3,09 2 6 0,12 Rendah
Vp3H 3370,84 4,10 2 4 0,25 Sedang
VD5Sw 3917,58 3,74 3 6 0,39 Agak Tinggi
VD1Tg 1351,52 1,50 2 6 0,18 Rendah
FV1H 343,00 3,73 2 6 0,09 Rendah
VD5H 6775,27 8,54 2 2 0,19 Rendah
Vp2Tg 8708,29 6,24 2 2 0,46 Tinggi
VD9Pkm 2224,28 3,43 2 4 0,18 Rendah
VD6Tg 1429,32 2,45 2 2 0,08 Rendah
Vg2Pkm 4896,39 5,22 2 4 0,32 Sedang
FV1Sw1 8346,52 3,15 2 6 0,78 Sangat Tinggi
FV2Tg 1145,02 3,10 1 5 0,09 Rendah
VD12Pkm 3463,49 3,92 2 4 0,26 Sedang
VD3H 1775,40 2,39 2 2 0,11 Rendah
Vg2H 4091,60 6,07 2 3 0,21 Sedang
VD2Pkb 4963,03 8,69 1 4 0,14 Rendah
VD5Pkm 767,37 4,80 2 4 0,06 Rendah
VD5Tg 4613,43 2,11 2 6 0,48 Tinggi
VD1H 506,04 2,87 2 5 0,08 Rendah
VD10Sw 2843,86 3,21 1 3 0,17 Rendah
VD11Tg 4335,25 4,33 1 3 0,26 Sedang
VD15Sw 5235,15 4,08 3 5 0,46 Tinggi
VD3Kc 6802,79 0,59 2 1 0,67 Sangat Tinggi
VD3H 3107,35 4,09 2 6 0,28 Sedang
VD14Sw 1669,20 3,43 3 2 0,12 Rendah
FV1Pkm 3327,81 3,61 2 6 0,31 Sedang
VD10Tg 4268,20 3,14 2 4 0,36 Sedang
VD10Pkm 3829,61 3,19 2 5 0,34 Sedang
FV1Sw2 4372,00 2,10 3 4 0,44 Agak Tinggi
38

Lampiran 6 Hasil Analisis Erosi yang Diperbolehkan di Laboratorium Tahun 2016


Kedalaman Bobot Faktor
EDP EDP
Kode Efektif Isi Kedalaman DE Dmin
mm/tahun ton/ha/tahun
(cm) (g/cm3) Tanah
Vp6 150 0,5 1 1.500 1.000 4,00 20,00
VD7 150 0,5 1 1.500 1.000 4,00 20,00
Vp2 150 1,02 1 1.500 1.000 4,00 40,80
Vp4 150 0,5 1 1.500 1.000 4,00 20,00
Vp1 150 0,5 1 1.500 1.000 4,00 20,00
Vp3 50 1,07 1 500 400 0,80 8,56
Vp5 104 1,07 0,80 832 400 3,46 36,98
VD12 150 0,99 1 1.500 400 8,80 87,12
VD15 150 0,99 1 1.500 400 8,80 87,12
VD3 150 1,12 1 1.500 400 8,80 98,56
VD2 150 1,12 1 1.500 300 9,60 107,52
VD10 150 0,87 1 1.500 300 9,60 83,52
Vg1 139 1,07 1 1.390 400 7,92 84,74
Vg2 150 1,01 1 1.500 1.000 4,00 40,40
Vg1 139 1,07 1 1.390 300 8,72 93,30
VD13 50 1,07 1 500 400 0,80 8,56
VD13 50 1,07 1 500 400 0,80 8,56
VD3 150 1,18 1 1.500 400 8,80 103,84
VD12 50 1,09 1 500 400 0,80 8,72
VD12 150 1,09 1 1.500 1.000 4,00 43,60
VD2 50 1,18 1 500 400 0,80 9,44
VD3 150 1,03 1 1.500 1.000 4,00 41,20
VD3 150 1,03 1 1.500 400 8,80 90,64
VD6 50 1 1 500 400 0,80 8,00
VD9 50 1,21 1 500 400 0,80 9,68
VD14 80 1,21 1 800 300 4,00 48,40
FV2 80 1,15 1 800 300 4,00 46,00
FV1 80 0,83 1 800 300 4,00 33,20
FV2 150 1,15 1 1.500 1.000 4,00 46,00
FV1 80 0,83 1 800 300 4,00 33,20
FV1 80 0,78 1 800 300 4,00 31,20
VD1 110 1 1 1.100 400 5,60 56,00
VD5 50 1,1 1 500 400 0,80 8,80
VD4 150 0,63 1 1.500 1.000 4,00 25,20
VD1 88 1 1 880 400 3,84 38,40
VD8 150 0,63 1 1.500 1.000 4,00 25,20
VD8 150 0,63 1 1.500 400 8,80 55,44
VD5 50 1,03 1 500 400 0,80 8,24
VD4 150 0,63 1 1.500 1.000 4,00 25,20
VD5 50 1,03 1 500 400 0,80 8,24
VD7 150 0,63 1 1.500 1.000 4,00 25,20
VD5 50 1,15 1 500 400 0,80 9,20
VD7 50 1,15 1 500 400 0,80 9,20
VD5 50 1,15 1 500 400 0,80 9,20
VD4 150 0,63 1 1.500 1.000 4,00 25,20
VD4 150 0,63 1 1.500 1.000 4,00 25,20
VD4 150 0,63 1 1.500 1.000 4,00 25,20
39

Lampiran 6 (Lanjutan)
Kedalaman Bobot Faktor
EDP EDP
Kode Efektif Isi Kedalaman DE Dmin
mm/tahun ton/ha/tahun
(cm) (g/cm3) Tanah
VD5 50 0,63 1 500 400 0,80 5,04
VD1 110 1,34 0,80 880 400 3,84 51,46
VD1 110 0,92 0,80 880 400 3,84 35,33
VD1 110 0,94 0,80 880 400 3,84 36,10
VD2 115 0,75 1 1.150 400 6,00 45,00
FV1 80 0,78 1 800 300 4,00 31,20
VD13 80 0,78 1 800 300 4,00 31,20
VD11 90 1,18 1 900 300 4,80 56,64

Lampiran 7 Peta Tata Guna Kawasan Hutan DAS Cimanuk Hulu Tahun 2013

Sumber: Kementrian Kehutanan 2013


40

Lampiran 8 Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Tahun 2009-2013 di DAS Cimanuk


Hulu
Stasiun
Bulan
Cikajang Bayongbong Sukawening Malangbong Cibugel Kadipaten
Januari 343,50 254,80 257,64 300,60 240,30 390,60
Februari 377,30 221,00 352,90 369,90 303,90 401,92
Maret 399,40 189,40 285,76 266,10 399,90 446,54
April 289,10 220,80 297,96 275,90 305,80 326,34
Mei 231,20 165,20 214,84 129,36 241,30 251,58
Juni 82,50 61,20 94,16 95,48 97,50 154,60
Juli 68,40 69,80 78,38 82,60 64,60 87,30
Agustus 36,10 27,00 29,80 72,04 35,40 51,72
September 71,40 46,80 86,14 90,66 82,00 109,80
Oktober 136,20 129,20 151,76 62,52 83,00 186,04
November 216,80 211,00 304,76 229,02 322,50 355,28
Desember 367,40 281,20 490,58 298,90 358,40 539,62
CH
2.619,30 1.877,40 2.644,68 2.273,08 2.534,60 3.301,34
Tahunan

Lampiran 9 Peta Penggunaan Lahan DAS Cimanuk Hulu Tahun 2015 (Duitasari
2017)
41

Lampiran 10 Tabel Nilai Pixel Hasil Analisis NDVI


Kebun Padang Lahan
No. Hutan Perkebunan Tegalan Permukiman
Campuran Rumput Terbuka
1 0,601 0,58 0,573 0,595 0,633 0,554 0,579
2 0,544 0,498 0,516 0,488 0,453 0,274 0,191
3 0,538 0,496 0,465 0,478 0,447 0,259 0,185
4 0,529 0,453 0,460 0,410 0,405 0,235 0,163
5 0,523 0,446 0,451 0,396 0,389 0,212 0,138
6 0,508 0,444 0,438 0,367 0,386 0,189 0,135
7 0,476 0,434 0,425 0,360 0,361 0,185 0,122
8 0,463 0,434 0,343 0,359 0,340 0,165 0,120
9 0,451 0,422 0,326 0,357 0,328 0,103 0,118
10 0,431 0,403 0,294 0,344 0,293 0,040 0,108
11 0,389 0,351 0,204 0,304 0,283 0,029 0,104
12 0,024 0,126 0,006 0,020 -0,005 -0,095 -0,060
Rata-
0,456 0,424 0,375 0,373 0,359 0,179 0,159
Rata

Lampiran 11 Titik Sebaran Nilai Pixel Tutupan Lahan


X Y Penggunaan Lahan Nilai Pixel
107,84616 -7,16738 Padang Rumput 1 0,304
107,84728 -7,16660 Padang Rumput 2 0,488
107,84726 -7,16850 Padang Rumput 3 0,418
107,84674 -7,17090 Padang Rumput 4 0,396
107,84916 -7,16986 Padang Rumput 5 0,478
107,87407 -7,17223 Padang Rumput 6 0,357
107,87600 -7,17248 Padang Rumput 7 0,344
107,87574 -7,17354 Padang Rumput 8 0,367
107,87491 -7,17490 Padang Rumput 9 0,360
107,87874 -7,17466 Padang Rumput 10 0,395
107,90543 -7,21711 Permukiman 1 0,108
107,90336 -7,20036 Permukiman 2 0,104
107,94370 -7,20769 Permukiman 3 0,120
107,98141 -7,17426 Permukiman 4 0,191
108,08727 -7,05715 Permukiman 5 0,135
107,97563 -7,03716 Permukiman 6 0,122
107,89781 -7,08393 Permukiman 7 0,138
107,89845 -7,11151 Permukiman 8 0,185
107,81383 -7,26934 Permukiman 9 0,163
107,81135 -7,36089 Permukiman 10 0,118
107,76013 -7,20034 Tegalan 1 0,328
107,77620 -7,32606 Tegalan 2 0,340
107,82428 -7,38818 Tegalan 3 0,283
107,86132 -7,28751 Tegalan 4 0,361
107,98202 -7,21468 Tegalan 5 0,405
108,02565 -7,13738 Tegalan 6 0,453
108,07997 -7,01517 Tegalan 7 0,447
107,93798 -7,01264 Tegalan 8 0,293
107,88241 -7,07000 Tegalan 9 0,389
107,89966 -7,13351 Tegalan 10 0,386
42

Lampiran 11 (Lanjutan)
X Y Penggunaan Lahan Nilai Pixel
107,83793 -7,38053 Perkebunan 1 0,298
107,84558 -7,37513 Perkebunan 2 0,434
107,84961 -7,36462 Perkebunan 3 0,351
107,83613 -7,36209 Perkebunan 4 0,444
107,76862 -7,28552 Perkebunan 5 0,453
107,77151 -7,29314 Perkebunan 6 0,422
107,77633 -7,30228 Perkebunan 7 0,434
107,79470 -7,30355 Perkebunan 8 0,403
107,88213 -7,30327 Perkebunan 9 0,496
107,89350 -7,29446 Perkebunan 10 0,446
107,84678 -7,14722 Lahan Terbuka 1 0,103
107,84177 -7,15500 Lahan Terbuka 2 0,189
107,72856 -7,31806 Lahan Terbuka 3 0,029
107,73311 -7,31358 Lahan Terbuka 4 0,040
107,84795 -7,15481 Lahan Terbuka 5 0,212
107,85626 -7,15756 Lahan Terbuka 6 0,259
107,86022 -7,16682 Lahan Terbuka 7 0,165
107,86997 -7,16092 Lahan Terbuka 8 0,235
107,87061 -7,16940 Lahan Terbuka 9 0,185
107,86579 -7,17643 Lahan Terbuka 10 0,274
107,76771 -7,29910 Kebun Campuran 1 0,516
107,78287 -7,25430 Kebun Campuran 2 0,465
107,78599 -7,21929 Kebun Campuran 3 0,343
107,88917 -7,20717 Kebun Campuran 4 0,294
107,93232 -7,07069 Kebun Campuran 5 0,204
108,01119 -7,08375 Kebun Campuran 6 0,438
107,99655 -7,01055 Kebun Campuran 7 0,451
108,03044 -7,04289 Kebun Campuran 8 0,425
108,01839 -6,98589 Kebun Campuran 9 0,460
108,07345 -6,97890 Kebun Campuran 10 0,326
107,73442 -7,25917 Hutan 1 0,389
107,79319 -7,39668 Hutan 2 0,431
107,86433 -7,31445 Hutan 3 0,508
107,96675 -7,25222 Hutan 4 0,538
108,03899 -7,10927 Hutan 5 0,463
107,96384 -6,98667 Hutan 6 0,523
108,12157 -7,05782 Hutan 7 0,529
107,94642 -7,07167 Hutan 8 0,544
107,87594 -7,06146 Hutan 9 0,451
107,83579 -7,13666 Hutan 10 0,476
43

Lampiran 12 Luasan Penggunaan Lahan “Kategori Kritis”


Penggunaan Lahan Luas Lahan "Kategori Kritis" (ha) Persentase (%)
Tegalan 24.515,35 69,12
Hutan 7.961,99 22,45
Lahan Terbuka 1.432,00 4,04
Kebun Campuran 1.034,56 2,92
Permukiman 374,10 1,05
Perkebunan 130,75 0,37
Padang Rumput 20,34 0,06
Luas 35.469,08 100,00

Lampiran 13 Satuan Sistem Lahan di DAS Cimanuk Hulu


Tipe
Nama Sistem Persentase
No. Simbol Bentuk Luas (ha)
Lahan (%)
Lahan
1 AGA Argalingga Plains 8.591,14 7,30
2 BBG Bukit Balang Mountains 3.378,04 2,87
3 BMS Bukit Masung Hills 3.362,61 2,86
4 BTK Barong Tongkak Plains 32.084,39 27,26
5 SMD Cikadu Plains 8.618,23 7,32
6 SSN Bukittinggi Beaches 10.858,61 9,23
7 TGM Tanggamus Mountains 49.292,26 41,89
Fans and
8 TLU Talamau 1.492,35 1,27
Lahar
Total 117.677,64 100,00
44

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Muhammad Taufiq Wiguna dilahirkan di Garut


pada tanggal 22 Oktober 1993. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara
dari pasangan Alm. Iip dan Alm. Rd. Yuyun Suhaedah. Penulis mengawali
pendidikan formal di SDN 1 Sukakarya Garut yang diselesaikan pada tahun 2006.
Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah
Pertama di SMPN 1 Garut dan selesai pada tahun 2009. Penulis kemudian
meneruskan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 6 Garut dan
meyelesaikannya pada tahun 2012. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi
mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Undangan di Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi
mahasiswa, penulis aktif dalam setiap kegiatan Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan. Dalam kegiatan akademik, penulis berkesempatan menjadi
asisten praktikum pada mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (tahun
2016-2017), Geomorfologi dan Analisis Lanskap (tahun 2015-2016), dan Sistem
Informasi Geografis dan Kartografi (tahun 2015-2016). Penulis juga pernah
menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) pada tahun 2015 dan
pernah menjadi ketua pelaksana dalam salah satu program kerja HMIT yaitu Cross
Country Ilmu Tanah pada tahun 2015.

Anda mungkin juga menyukai