Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Faset Lahan
dan Lahan Kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk Hulu adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2017
Degradasi lahan adalah proses penurunan fungsi lahan untuk tata air dan
produktivitas, baik bersifat sementara maupun tetap, sehingga kondisi ini
melahirkan lahan kritis. Sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS) Indonesia saat
ini sedang dalam keadaan kritis termasuk di antaranya adalah DAS Cimanuk yang
berada di Jawa Barat, disebabkan oleh kerusakan ekologi di daerah hulu yang
terjadi akibat peladangan liar maupun penebangan hutan untuk keperluan pertanian
ataupun eksploitasi produk hutan. Pada tahun 2004 di DAS Cimanuk Hulu telah
diperkirakan mempunyai lahan kritis seluas 40.876 ha, namun hingga kini belum
diketahui bagaimana penanganan terhadap fenomena tersebut. Sementara itu
kejadian cuaca ekstrim di wilayah ini pada tanggal 20 September 2016 yang
melahirkan bencana banjir bandang di kota Garut dapat dijadikan sebagai indikator
tentang masih belum tertanganinya secara baik lahan kritis yang ada. Alhasil fungsi
bentanglahan terhadap tata air belum berjalan dengan baik. Oleh sebab itu
penelitian terkait lahan kritis di DAS Cimanuk Hulu masih sangat relevan untuk
mengetahui kondisi aktual bentanglahan di wilayah ini. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi dan memetakan bentanglahan (faset lahan) dan lahan kritis
di DAS Cimanuk Hulu dan keterkaitan di antara keduannya serta terhadap
penggunaan lahan. Metode pemetaan faset lahan dilakukan secara visual dari citra
satelit (SRTM), sedangkan penilaian lahan kritis dilakukan sesuai dengan Perdirjen
BPDAS PS No. P.4/V-Set/2013 yang dimodifikasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa faset lahan di DAS Cimanuk Hulu yang terluas adalah Dataran Fluvio-
Vulkanik (FV1) yang terbentang di bagian tengah DAS, yaitu seluas 24.831,08 ha
atau 21,10% dari total luas daerah penelitian. Sisanya merupakan faset lahan
perbukitan dan pegunungan vulkanik denudasional yang mengelilingi dataran
tersebut. Sementara itu hasil kajian lahan kritis menunjukkan bahwa lahan-lahan
yang mempunyai “kategori tidak kritis” menempati luasan sekitar 82.208,56 ha
(69,86%) dari luas DAS Cimanuk Hulu, sedangkan lahan “kategori kritis”
menempati luasan 35.469,08 ha (30,14%). Dalam hubungannya dengan karakter
bentanglahan, persebaran lahan “kategori kritis” di DAS Cimanuk Hulu menempati
faset lahan perbukitan dan pegunungan seperti tersebut di atas, terutama tersebar
secara dominan pada faset lahan Lereng Tengah Kerucut Vulkanik Denudasional
(VD5), seluas 10.718,82 ha atau 93,55% dari total luas faset lahan VD5. Secara
spesifik persebaran lahan “kategori kritis” mempunyai hubungan yang erat dengan
morfometri faset lahan (kemiringan lereng), dimana persebarannya mengikuti pola
kemiringan lereng tertentu, yaitu yang terluas berada pada kemiringan lereng 16-
25% dan 26-40%, sedangkan dalam hubungannya dengan penggunaan lahan,
terindikasi 69,12% lahan “kategori kritis” terletak pada penggunaan lahan tegalan.
Dengan demikian kemiringan lereng dan penggunaan lahan dapat dianggap sebagai
parameter utama penentu lahan kritis pada bentanglahan vulkanik di DAS Cimanuk
Hulu.
Kata Kunci: DAS Cimanuk Hulu, Lahan Kritis, Faset Lahan, Kabupaten Garut
ABSTRACT
MUH. TAUFIQ WIGUNA. Land Facet and Degraded Land Mapping in Upstream
Cimanuk Watershed. Supervised by BOEDI TJAHJONO and KUKUH
MURTILAKSONO.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2016 sampai November 2016 ini
adalah Pemetaan Faset Lahan dan Lahan Kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Cimanuk Hulu. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan karya ilmiah ini
tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr Boedi Tjahjono, M.Sc selaku pembimbing skripsi utama dan Prof. Dr Ir
Kukuh Murtilaksono, MS selaku pembimbing kedua yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan saran, arahan, dan bimbingannya
kepada penulis.
2. Ir Hermanu Widjaja, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran dan masukan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.
3. Keluarga tercinta Alm. Bapak dan Mamah, Wiwi, A Ryan, Kayla, dan
Keluarga Besar dari Mamah dan Bapak terima kasih atas doa, kasih sayang,
motivasi serta dukungan moral dan spiritual yang tak kunjung berhenti
kepada penulis.
4. Saudara-saudari Tanah 49, Pentolan HMIT, dan teman seperjuangan di
masa sekolah hingga kuliah, terima kasih atas canda tawa, masukan,
dukungan, dan kebersamaannya selama ini, senang bisa menjadi bagian dari
kalian.
5. PPJ 48, dan PPJ 49, terima kasih atas semua saran dan masukan bagi penulis
selama penulisan skripsi ini.
6. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktorat Riset dan
Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan
Pengembangan, Kementerian Riset-Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang
telah ikut membiayai penelitian ini melalui Surat Perjanjian Penugasan
Pelaksanaan Program Penelitian Nomor: 079/SP2H/LT/DRPM/II/2016
tanggal 17 Februari 2015 yang dikelola oleh Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) – Institut Pertanian Bogor (IPB).
7. Semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian dan penyusunan
karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, untuk
itu penulis sangat berterima kasih bila ada kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Akhir kata,
semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Faset Lahan 2
Lahan Kritis 3
Kriteria Lahan Kritis 4
Daerah Aliran Sungai 4
METODE PENELITIAN 5
Lokasi dan Waktu Penelitian 5
Bahan dan Alat 5
Tahapan Penelitian 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 14
Faset Lahan Daerah Penelitian 14
Analisis Kekritisan Lahan di DAS Cimanuk Hulu 17
Sebaran Lahan Kritis di DAS Cimanuk Hulu 24
Hubungan antara Lahan Kritis dengan Faset Lahan 29
Hubungan antara Lahan Kritis dengan Penggunaan Lahan 30
SIMPULAN DAN SARAN 32
Simpulan 32
Saran 32
DAFTAR PUSTAKA 32
LAMPIRAN 34
RIWAYAT HIDUP 44
DAFTAR TABEL
1 Data Sekunder Penelitian 5
2 Parameter Penentu Kekritisan Lahan 9
3 Urutan Penilaian Bobot Parameter Penentu Kekritisan Lahan 9
4 Skoring Penutupan Lahan 10
5 Skoring Produktivitas 10
6 Skoring Kemiringan Lereng 10
7 Skoring Erosivitas Hujan (R) 11
8 Skoring Erosi yang Diperbolehkan (EDP) 12
9 Skoring Erodibilitas Tanah (K) 12
10 Skoring Manajemen 12
11 Klasifikasi Tingkat Kekeritisan Lahan Metode Modifikasi 13
12 Nama dan Luas Faset Lahan DAS Cimanuk Hulu 15
13 Luasan Penggunaan Lahan DAS Cimanuk Hulu Tahun 2015 17
14 Skoring dan Luasan Tutupan Lahan DAS Cimanuk Bagian Hulu 18
15 Skoring dan Luasan Produktivitas DAS Cimanuk Hulu 19
16 Skoring dan Luasan Kemiringan Lereng DAS Cimanuk Hulu 20
17 Skoring dan luasan Erosivitas Hujan (R) DAS Cimanuk Hulu 21
18 Skoring dan Luasan Erosi yang Diperbolehkan (EDP) DAS Cimanuk
Hulu 22
19 Skoring dan Luasan Erodibilitas Tanah (K) DAS Cimanuk Hulu 23
20 Skoring dan Luasan Manajemen DAS Cimanuk Hulu 24
21 Tingkat Kekritisan Lahan dan luasan di DAS Cimanuk Hulu 27
DAFTAR GAMBAR
1 Peta Daerah Penelitian (Daerah Aliran Sungai Cimanuk Hulu) 6
2 Peta Elevasi DAS Cimanuk Hulu 7
3 Diagram Alir Pemetaan Faset Lahan dan Lahan Kritis 14
4 Persebaran Faset Lahan di DAS Cimanuk Hulu 16
5 Persebaran Kelas Kerapatan Tutupan Lahan di DAS Cimanuk Hulu Tahun
2015 Berdasarkan Nilai NDVI 18
6 Persebaran Kelas Kombinasi antara Penggunaan Lahan dan Produktivitas
di DAS Cimanuk Hulu Tahun 2014-2016 19
7 Persebaran Kelas Kemiringan Lereng di DAS Cimanuk Hulu 20
8 Persebaran Kelas Erosivitas Hujan (R) di DAS Cimanuk Hulu Tahun
2009-2013 21
9 Persebaran Kelas Erosi yang Diperbolehkan (EDP) di DAS Cimanuk
Hulu Tahun 2016 22
10 Persebaran Kelas Erodibillitas Tanah (K) di DAS Cimanuk Hulu Tahun
2016 23
11 Persebaran Kelas Manajemen di DAS Cimanuk Hulu 24
12 Persebaran Kelas Lahan Kritis di Kawasan Lindung DAS Cimanuk Hulu
Tahun 2016 25
13 Persebaran Kelas Lahan Kritis di Kawasan Budidaya DAS Cimanuk Hulu
Tahun 2016 27
14 Persebaran Kelas Lahan Kritis di Kawasan Hutan Produksi DAS
Cimanuk Hulu Tahun 2016 26
15 Persebaran Kelas Lahan Kritis di DAS Cimanuk Hulu Tahun 2016 28
16 Sebaran Kekritisan Lahan Kategori Kritis berdasarkan Morfometri Luas
0-200 ha (a), Luas 0-350 ha (b), dan Luas 0-4800 ha (c) 31
DAFTAR LAMPIRAN
1 Bobot, Skor, dan Nilai Penentu Kekritisan Lahan Modifikasi dari
Perdirjen BPDAS PS P.4/V-Set/2013 34
2 Titik Pengambilan Contoh Tanah 35
3 Peta Titik Pengambilan Contoh Tanah 36
4 Peta Tanah DAS Cimanuk Hulu 36
5 Hasil Analisis Erodibilitas Tanah (K) di Laboratorium Tahun 2016 37
6 Hasil Analisis Erosi yang Diperbolehkan di Laboratorium
Tahun 2016 38
7 Peta Tata Guna Kawasan Hutan DAS Cimanuk Hulu Tahun 2013 39
8 Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Tahun 2009-2013 di DAS Cimanuk
Hulu 40
9 Peta Penggunaan Lahan DAS Cimanuk Hulu Tahun 2015 (Duitasari
2017) 40
10 Tabel Nilai Pixel Hasil Analisis NDVI 41
11 Titik Sebaran Nilai Pixel Tutupan Lahan 41
12 Luasan Penggunaan Lahan “Kategori Kritis” 43
13 Satuan Sistem Lahan di DAS Cimanuk Hulu 43
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
di daerah hulu ini, agar dapat diketahui keberadaannya secara aktual dan hasilnya
akan banyak membantu untuk rencana penanggulangannya di masa depan.
Tujuan
Penelitian ini mengambil lokasi di DAS Cimanuk Hulu dan bertujuan untuk
melakukan:
1. Identifikasi dan pemetaan faset lahan di DAS Cimanuk Hulu.
2. Penilaian tingkat kekritisan lahan di DAS Cimanuk Hulu.
3. Analisis hubungan antara lahan kritis dengan faset lahan dan penggunaan
lahan.
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Faset Lahan
Adapun dalam kaitannya dengan pemetaan lahan kritis, faset lahan dapat
digunakan sebagai satuan pemetaan (mapping unit) karena dalam satuan faset lahan
mempunyai karakter fisik lahan yang relatif seragam. Satuan pemetaan ini
kemudian dapat dirinci lagi berdasarkan parameter tertentu yang dibutuhkan, antara
lain keragaman penutup lahannya atau yang lainnya.
Lahan Kritis
Lahan kritis adalah lahan yang berada di dalam maupun di luar kawasan
hutan yang sudah tidak lagi berfungsi sebagai pengatur tata air dan unsur
produktivitas lahan sehingga menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem
daerah aliran sungai (Kementerian Kehutanan 2014). Menurut Prasetyo et al.
(2013) lahan kritis didefinisikan sebagai tanah yang mengalami penurunan fungsi
(degradasi) sampai ke tingkat tertentu yang disebabkan oleh kerusakan lahan.
Fungsi yang dimaksud di sini merupakan fungsi produksi dan sistem tata air. Fungsi
produksi berhubungan dengan tanah yang berfungsi sebagai sumber nutrisi bagi
tanaman, sedangkan fungsi sistem tata air berhubungan dengan tanah yang
berfungsi sebagai landasan akar dan penyimpanan air tanah.
Berdasarkan Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/2013, parameter lahan
kritis dipilah menjadi lima unsur, yaitu:
1. Penutupan lahan
Untuk menilai lahan kritis, penutupan lahan dinilai berdasarkan persentase
penutupan tajuk pohon terhadap luas satuan land system (menurut RePPProT) dan
diklasifikasikan menjadi lima kelas. Masing-masing kelas penutupan lahan
selanjutnya diberi skor untuk keperluan penentuan lahan kritis. Adapun dalam
penelitian ini satuan sistem lahan dirinci lebih detail lagi menjadi satuan faset lahan.
2. Kemiringan lereng
Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal)
suatu lahan terhadap jarak mendatarnya (jarak horisontal). Besar kemiringan lereng
dapat dinyatakan dengan beberapa satuan, di antaranya adalah dalam % (persen)
dan o (derajat). Data spasial kemiringan lereng dapat disusun dari hasil pengolahan
data ketinggian (garis kontur) yang bersumber dari peta topografi atau peta
rupabumi.
4. Produktivitas
Data produktivitas merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk
menilai kekritisan lahan di kawasan budidaya pertanian yang dinilai berdasarkan
rasio terhadap produksi komoditas umum yang optimal pada pengelolaan
tradisional.
4
5. Manajemen
Manajemen merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai
lahan kritis di kawasan hutan lindung, yang dinilai berdasarkan kelengkapan aspek
pengelolaan yang meliputi keberadaan tata batas kawasan, pengamanan, dan
pengawasan, serta dilaksanakan atau tidaknya penyuluhan.
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara
topografi dibatasi oleh punggung-punggung bukit/gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama. Wilayah daratan tersebut juga dinamakan Daerah Tangkapan Air (DTA)
yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya
alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat
sumberdaya alam (Asdak 2002). Adapun di dalam Undang–Undang Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Konservasi Tanah dan Air, disebutkan
bahwa DAS adalah satuan wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan
sungai dan anak-anak sungai yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alamiah.
5
METODE PENELITIAN
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data hasil pengecekan lapang serta hasil
pengujian tanah di laboratorium. Data sekunder terdiri dari peta dan citra yang
jenisnya disajikan pada Tabel 1.
Alat yang digunakan untuk survei lapang terdiri dari ring sampler, plastik
berukuran 1 kg, GPS, kamera digital, dan alat tulis. Proses pengolahan data spasial
menggunakan berbagai alat antara lain seperangkat komputer dengan perangkat
lunak Microsoft Word 2013, Microsoft Excel 2013, ArcGIS 10.2, Global Mapper
v.13, dan Erdas Imagine 2014.
Tahap Persiapan
Salah satu analisis dan interpretasi data yang dilakukan adalah untuk
membuat peta faset lahan yang dihasilkan melalui interpretasi visual hillshade citra
SRTM (resolusi 30 m) yang dibantu dengan peta sistem lahan, peta geologi, dan
peta kontur dengan interval garis kontur = 25 m. Sistem klasifikasi faset lahan
mempertimbangkan aspek-aspek morfologi (terkait dengan lereng dan relief),
morfogenesis (terkait dengan proses-proses geomorfik yang membentuknya serta
litologi yang menyusunnya), dan morfokronologi (terkait dengan tahapan atau
umur pembentukannya). Citra SRTM digunakan untuk melihat morfologi, peta
geologi berperan membantu mengetahui jenis dan struktur batuan penyusun
bentuklahan, menginterpretasi morfogenesis bentuklahan, dan mengetahui umur
dari batuan tersebut. Peta kontur dalam interpretasi faset lahan (bentuklahan)
digunakan untuk membantu melihat relief permukaan bumi dan menentukan
tingkatan torehan yang terjadi melalui pola garis kontur tersebut.
Sebelum melakukan kerja lapangan, pada tahap ini dilakukan terlebih
dahulu penentuan metode penilaian lahan kritis. Metode yang digunakan mengacu
7
pada Perdirjen BPDAS PS No. P.4/V-Set/2013 yang dimodifikasi seperti yang telah
dilakukan oleh Indrihastuti (2015) dan Andika (2016). Parameter yang digunakan
adalah penutupan lahan, kemiringan lereng, erosivitas hujan, erodibilitas tanah,
erosi yang diperbolehkan, produktivitas, dan manajemen. Sementara itu, penentuan
titik sampel tanah dipertimbangkan berdasarkan variasi faset lahan dan penggunaan
lahan sebagai unit pemetaan terkecil. Dalam hal ini peta tanah dapat digunakan
untuk membantu menentukan lokasi titik sampel di dalam faset lahan jika
diperlukan. Pada penelitian ini, untuk faset lahan morfologi dataran serta penutupan
lahan sawah dan badan air tidak dilakukan penilaian untuk kekritisan lahan, karena
pada faset lahan dataran yang didominasi oleh proses-proses deposisi diasumsikan
sebagai permukaan lahan yang tidak kritis berdasarkan lereng, demikian juga untuk
lahan sawah dan badan air.
karena adanya hambatan finansial jumlah sampel tanah yang diambil untuk analisis
laboratorium ada sebanyak 34 titik yang dianggap dapat mewakili kondisi tanah di
daerah penelitian. Data survei lapang dalam penelitian ini dilengkapi dengan
dokumentasi pengamatan lapangan.
Pemetaan lahan kritis dibuat melalui proses pembobotan dan skoring yang
dibuat dengan melihat besarnya kontribusi tiap parameter terhadap pembentukan
lahan kritis. Dalam penelitian ini pembobotan dan skoring mengacu pada
Indrihastuti (2015) dan analisis dilakukan melalui teknik overlay (tumpang tindih)
sistem informasi geografis, yaitu antara peta-peta dari masing-masing parameter
yang sudah ditetapkan. Pembobotan dilakukan dengan persamaan yang digunakan
oleh Wahyunto et al. (2007) sebagai berikut:
(𝑛−𝑟 )+1
Wj=∑(𝑛−𝑟𝑗 )+1
𝑗
1. Penutupan Lahan
Parameter penutupan lahan menggunakan data sekunder dari Duitasari
(2017). Analisis tutupan lahan ditentukan berdasarkan NDVI (Normalized
Difference Vegetation Index) dan diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Perdirjen
BPDAS PS No. P.4/V-Set/2013. Penilaian dan skoring penutupan lahan parameter
modifikasi dapat dilihat pada Tabel 4.
2. Produktivitas
Penilaian produktivitas dilakukan berdasarkan rasio terhadap komoditi
umum optimal pada pengelolaan tradisional dan diklasifikasikan berdasarkan
klasifikasi Perdirjen BPDAS PS No. P.4/V-Set/2013. Data yang digunakan
merupakan data sekunder dari Dinas Pertanian Kabupaten Garut (2016). Klasifikasi
dan skoring produktivitas untuk penentuan lahan kritis dapat dilihat pada Tabel 5.
3. Kemiringan Lereng
Parameter kemiringan lereng ditentukan dari data DEM (Digital Elevation
Model) dan diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Perdirjen BPDAS PS No.
P.4/V-Set/2013.
7. Manajemen
Penilaian manajemen pada penentuan lahan kritis dilakukan pada kawasan
lindung, kawasan budidaya, dan kawasan hutan produksi. Data terkait manajemen
diperoleh dari BPDAS PS, Kementerian Kehutanan Tahun 2013, serta pengamatan
langsung di lapangan pada saat survei lapang. Klasifikasi dan skoring manajemen
untuk masing–masing kawasan berdasarkan Perdirjen BPDAS PS No. P.4/V-
Set/2013 dapat dilihat pada Tabel 10.
𝐾𝐿 = ∑𝑛(𝑏 × 𝑠)
Analisis Hubungan antara Lahan Kritis dengan Faset Lahan dan Penggunaan
Lahan
Seperti halnya analisis spasial lahan kritis di atas, analisis hubungan ini juga
dilakukan secara spasial, yaitu melalui teknik tumpang-tindih (overlay) sistem
informasi geografis antara peta lahan kritis dengan peta faset lahan dan peta
penggunaan lahan.
Dari seluruh uraian metode penelitian di atas, maka secara singkat rangkaian
penelitian ini dapat disajikan dalam bentuk diagram alir seperti yang disajikan pada
Gambar 3.
14
tujuan dari penelitian ini. Berdasarkan hasil interpretasi visual geomorfologis, faset
lahan yang terdapat di daerah penelitian dapat dibedakan menjadi 25 jenis. Jumlah
faset lahan ini merupakan hasil dari pendetailan 8 unit sistem lahan yang ada pada
Peta Sistem Lahan daerah penelitian, skala 1:250.000, yaitu sistem lahan 1)
Argalingga (AGA), 2) Bukit Balang (BBG), 3) Bukit Masung (BMS), 4) Barong
Tongkak (BTK), 5) Cikadu (SMD), 6) Bukit Tinggi (SSN), 7) Tanggamus (TGM)
dan 8) Talamu (TLU) (Lampiran 13). Nama dan luas setiap faset lahan disajikan
pada Tabel 12, sedangkan sebaran jenis faset lahan disajikan pada Gambar 4.
Penutupan/Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan (land use) menurut Lillesand dan Kiefer (1979),
berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu, sedangkan penutup
lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi.
Berdasarkan hasil penelitian Duitasari (2017) jenis penggunaan lahan di DAS
Cimanuk Hulu dapat klasifikasikan menjadi 9 jenis, yaitu Badan Air, Hutan, Kebun
Campuran, Perkebunan, Padang Rumput, Lahan Terbuka, Permukiman, Sawah,
dan Tegalan. Berdasarkan luasannya, penggunaan lahan tegalan merupakan
penggunaan yang terbesar, yaitu seluas 50.702,16 ha (43,08%), sedangkan luasan
penggunaan terkecil adalah padang rumput, yaitu seluas 46,08 ha (0,04%). Seluruh
luasan penggunaan lahan di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 13,
sedangkan persebaran spasialnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan
persebaran tersebut, penggunaan lahan tegalan secara dominan berada pada faset
lahan Lereng Tengah Kerucut Vulkanik Denudasional (VD5), sedangkan sawah
secara dominan tersebar pada faset lahan Dataran Fluvio-vulkanik (FV1). Adapun
untuk hutan secara dominan tersebar pada faset lahan Lereng Atas Kerucut Vulkanik
Denudasional (VD4).
Dalam kaitannya dengan NDVI (hasil analisis NDVI yang disajikan dalam
Lampiran 10), persentase tutupan lahan dikelompokkan menjadi 5 kelas, yaitu
hutan termasuk ke dalam kelas tutupan >80% karena hasil nilai pixel yang didapat
untuk penggunaan lahan hutan adalah 0,456. Perkebunan termasuk ke dalam kelas
tutupan 61-80% karena memiliki nilai pixel 0,424. Kebun campuran dan padang
rumput termasuk ke dalam kelas tutupan 41-60% karena memiliki nilai pixel 0,373.
Tegalan termasuk ke dalam tutupan 21-40% karena memiliki nilai pixel 0,359,
sedangkan lahan terbuka, dan permukiman termasuk ke dalam tutupan 0-20%
karena memiliki nilai pixel 0,159, dan 0,179. Hal tersebut menunjukkan bahwa
tutupan vegetasi sangat sedikit untuk lahan terbuka dan permukiman. Adapun untuk
badan air dan sawah tidak dinilai NDVI-nya karena kedua penggunaan lahan ini
digolongkan ke dalam area yang tidak kritis. Sebaran spasial, luasan, dan skor
penutupan lahan berbasis NDVI disajikan dalam Tabel 14 dan Gambar 5.
18
Tabel 14 Skoring dan Luasan Tutupan Lahan DAS Cimanuk Bagian Hulu
Berdasarkan Nilai NDVI
Penutupan Lahan Kelas Pixel Skor Luas (ha) Persentase (%)
Area Tidak Kritis (Sawah
- - - 34.321,80 29,17
dan Badan Air)
Hutan Sangat Baik >0,424 5 18.224,9 15,49
Perkebunan Baik 0,373 4 973,77 0,83
Kebun Campuran dan
Sedang 0,359 3 3.465,58 2,94
Padang Rumput
Tegalan Buruk 0,325 2 50.702,16 43,09
Permukiman dan Lahan
Sangat Buruk <0,179 1 9.989,41 8,49
Terbuka
Total 117.677,64 100,00
Hulu didominasi oleh kelas produktivitas tinggi, yaitu seluas 78.700,98 ha atau
66,88% dari total luas daerah penelitian (Tabel 15 dan Gambar 6).
Tabel 17 Skoring dan luasan Erosivitas Hujan (R) DAS Cimanuk Hulu
Erosivitas Hujan (MJ cm ha-1 h-1) Skor Luas (ha) Persentase (%)
2.737,05 3 23.551,47 20,01
3.779,29 2 53.517,68 45,48
4.821,53 1 20.883,13 17,75
5.863,77 1 8.216,67 6,98
6.906,01 1 6.996,15 5,95
7.948,25 1 4.512,54 3,83
Total 117.677,64 100,00
Gambar 8 Persebaran Kelas Erosivitas Hujan (R) di DAS Cimanuk Hulu Tahun
2009-2013
Tabel 18 Skoring dan Luasan Erosi yang Diperbolehkan (EDP) DAS Cimanuk Hulu
Kelas Erosi Yang Diperbolehkan (EDP)
Kelas Luas (ha) Persentase (%)
(ton/ha/tahun)
>25 Tinggi 99.835,82 84,84
<25 Rendah 17.841,82 15,16
Total 117.677,64 100,00
Tabel 19 Skoring dan Luasan Erodibilitas Tanah (K) DAS Cimanuk Hulu
Erodibilitas Tanah
Kelas Skor Luas (ha) Persentase (%)
(t h MJ-1 mm-1)
0,01-0,19 Rendah 5 46.776,40 39,75
0,21-0,32 Sedang 4 24.129,00 20,50
0,34-0,44 Agak Tinggi 3 28.822,04 24,49
0,46-0,48 Tinggi 2 7.164,67 6,09
0,67 Sangat Tinggi 1 10.785,53 9,17
Total 117.677,64 100,00
Kawasan Lindung
Analisis tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung (mencakup hutan
lindung dan hutan suaka alam & margasatwa) adalah didasarkan pada parameter-
parameter berikut: penutupan lahan, kemiringan lereng, erosivitas hujan, erosi yang
diperbolehkan, erodibilitas tanah, dan manajemen. Adapun hasil analisis dan
sebaran tingkat kekritisan lahan yang diperoleh di kawasan ini secara keruangan
disajikan pada Gambar 12.
25
luas kawasan tersebut dan 4.621,69 ha (38,27%) yang tersebar pada kawasan
dengan kelerengan >25% dan tingkat erosi yang diperbolehkan tergolong rendah
(<25 ton/ha/tahun). Sementara itu, untuk kelas Tidak Kritis dan Sangat Kritis
mempunyai luasan terendah, yakni berturut-turut seluas 421,86 ha atau 3,49% dari
total luas kawasan tersebut dan 443,72 ha (3,67%).
Gambar 15 Persebaran Kelas Lahan Kritis di DAS Cimanuk Hulu Tahun 2016
Dari hasil analisis lahan kritis di DAS Cimanuk Hulu seperti yang tersaji
dalam Tabel 21 dan Gambar 15 terlihat bahwa sebagian besar bentanglahan di
daerah penelitian termasuk ke dalam kelas Tidak Kritis yaitu seluas 44.838,45 ha
atau 38,10% dari total luas daerah penelitian. Jika hanya melihat data tabular
tersebut, maka kondisi lahan kritis di daerah penelitian dapat dikategorikan tidak
terlalu buruk, namun jika melihat data spasial, tampak bahwa kondisi lahan kritis
sudah mengancam cukup serius, hal ini disebabkan lahan yang masuk ke dalam
“kategori tidak kritis” (yaitu kelas tidak kritis dan potensial kritis) berada pada
bentanglahan dataran yang sangat luas atau pada lereng-lereng bawah pegunungan
yang mempunyai ancaman erosi relatif kecil, sedangkan pada lereng tengah ke atas
kondisi lahan didominasi oleh lahan-lahan “kategori kritis” (yaitu kelas agak kritis,
kritis, dan sangat kritis). Jika melihat hasil penelitian sebelumnya perbandingan
luasan lahan “kategori kritis” ini relatif hampir sama, yaitu 40.876 ha pada tahun
2004 (BPDAS Cimanuk-Cisanggarung 2003) dan 38.180,80 ha (Ramdan 2014),
sedangkan hasil penelitian ini (2016) seluas 35.469,08 ha. Perbedaan selisih angka
luasan tersebut bisa disebabkan oleh banyak hal, antara lain adalah perbedaan nilai
dari parameter yang digunakan untuk input data dan/atau oleh perbedaan metode
penilaian yang digunakan.
29
Analisis untuk mengetahui hubungan antara lahan kritis dengan faset lahan
dilakukan secara sederhana, yaitu dilakukan dengan teknik tumpang-tindih
(overlay) sistem informasi geografis antara peta lahan kritis dengan peta faset lahan.
Berdasarkan analisis ini didapatkan hasil bahwa sebaran luas lahan “kategori kritis”
seperti yang sudah dijelaskan pada uraian di atas terjadi sebagian besar pada faset
lahan Lereng Tengah Kerucut Vulkanik Denudasional (VD5) yaitu seluas
10.718,82 ha atau 93,55% dari total luas faset lahan VD5. Selain itu sebaran luas
lahan “kategori kritis” terdapat pula pada (1) faset lahan Pegunungan Vulkanik
Denudasional (VD3) seluas 6.383,27 ha atau 33,62% dari total luas jenis faset lahan
tersebut, (2) faset lahan Lereng Atas Kerucut Vulkanik Denudasional (VD4) seluas
3.528,85 ha atau 51,13% dari total luas jenis faset lahan tersebut, (3) faset lahan
Kompleks Kerucut Vulkanik Gunung Guntur (Vg2) seluas 3.086,35 ha atau 50,61%
dari total luas jenis faset lahan tersebut, dan (4) faset lahan Perbukitan Vulkanik
Denudasional (VD2) seluas 2.532,23 ha atau 37,22% dari total luas jenis faset lahan
tersebut.
Berdasarkan uraian di atas maka terlihat bahwa lahan “kategori kritis”
tersebar pada morfologi bentuklahan “perbukitan dan pegunungan”, sedangkan
secara morfogenesis semuanya berada di lahan “vulkanik”. Material vulkanik yang
terdapat di permukaan pada umumnya adalah terdiri dari bahan piroklastik (abu
vulkanik) atau aliran lava. Material yang pertama pada umumnya sangat rentan
terhadap erosi, sedangkan material yang kedua mempunyai kondisi sebaliknya,
yaitu sangat tahan terhadap erosi, hal ini dikarenakan material lava adalah material
yang sulit melapuk kecuali dalam waktu yang sangat lama, yakni dalam puluhan
hingga ratusan ribu tahun atau bahkan lebih. Lahan “kategori kritis” yang terdapat
di Gunung Guntur (Vg2), misalnya, merupakan contoh lahan yang berbatu-batu
lava di permukaan dan hanya tertutup oleh lapisan tipis endapan pasir di sela-sela
batuan dan hanya dapat ditumbuhi oleh rerumputan pada musim penghujan.
Dari morfologi ini, hubungan antara lahan kritis dengan faset lahan dapat
pula dilihat dari aspek morfometrinya. Morfometri adalah aspek kuantitatif dari
geomorfologi yang mendeskripsikan ukuran pada bentuklahan, antara lain seperti
lereng, luas, atau ketinggian dari suatu bentuklahan (Van Zuidam 1985).
Morfometri faset lahan yang dianalisis dalam penelitian ini hanya mengambil pada
sisi kemiringan lereng saja. Hasil analisis menunjukkan bahwa kemiringan lereng
mempunyai hubungan yang cukup erat dengan pola sebaran lahan kritis (Gambar
16). Gambar 16c menunjukkan bahwa terdapat 5 jenis faset lahan yang mempunyai
pola hubungan erat antara kemiringan lerengnya dengan tingkat kekritisan lahan,
yaitu VD5, VD3, VD4, Vg2, dan VD2.
Pada Lereng Tengah Kerucut Vulkanik Denudasional (VD5), lahan
“kategori kritis” tersebar hampir di semua kemiringan lereng, namun luasan
tertinggi terdapat pada kemiringan lereng 16-25%. Luasan tersebut kemudian
menurun seiring dengan meningkatnya kemiringan lereng dan sangat mungkin hal
ini disebabkan oleh semakin tingginya elevasi dan tingginya kerapatan vegetasi
(hutan). Kemudian pada faset lahan Perbukitan Vulkanik Denudasional (VD2),
lahan “kategori kritis” juga memiliki pola yang mirip dengan faset lahan VD5
dimana persebaran tertinggi pada kemiringan lereng 16-25%. Sementara itu, pada
faset lahan Pegunungan Vulkanik Denudasional (VD3), dan Kompleks Kerucut
30
200
175
150
125
100
Luas (ha)
75
50
25
0
0-8 9-15 16-25 26-40 > 40
(a)
350
300
250
200
Luas (ha)
150
100
50
0
0-8 9-15 16-25 26-40 > 40
(b)
4800
4000
3200
Luas (ha)
2400
1600
800
0
0-8 9-15 16-25 26-40 > 40
Kemiringan Lereng (%)
(c)
Gambar 16 Sebaran Kekritisan Lahan Kategori Kritis berdasarkan Morfometri
Luas 0-200 ha (a), Luas 0-350 ha (b), dan Luas 0-4800 ha (c)
32
Simpulan
Daerah penelitian tersusun atas 8 satuan sistem lahan yang dapat dirinci
menjadi 25 jenis faset lahan dimana proses vulkanik dan denudasional
mendominasi morfogenesis bentuklahan di DAS Cimanuk Hulu.
Kelas kekritisan lahan terluas di daerah penelitian adalah pada “kategori tidak
kritis” (kelas tidak kritis dan potensial kritis), yaitu seluas 82.208,56 ha (69,86%)
yang tersebar di bentanglahan dataran dan lereng bawah pegunungan. Sementara
itu lahan “kategori kritis” (kelas agak kritis, kritis, dan sangat kritis) memiliki luas
total 35.469,08 ha (30,14%) yang tersebar pada bentanglahan perbukitan dan
pegunungan.
Persebaran lahan kritis mempunyai hubungan yang erat dengan faset lahan
dan penggunaan lahan, dimana lahan “kategori kritis” sebagian besar terjadi pada
faset lahan Lereng Tengah Kerucut Vulkanik Denudasional (VD5), yaitu seluas
10.718,82 ha atau 93,55% dari total luas faset lahan VD5. Faset lahan yang
mempunyai lahan kelas “kategori kritis” sebagian besar berada pada kemiringan
lereng 16-25% hingga 26-40% dan memiliki penggunaan lahan tegalan.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Andika LD. 2016. Analisis Lahan Kritis Di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Cipunagara [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID).
Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor (ID).
Asdak C. 2002. Hidrologi dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta (ID).
Chandra DS. 2011. Analysis of Critical Land in the Musi Watershed Using
Geographic Information System. Int J Rem Sens Earth Sci. 8: 13-18.
Duitasari. 2017. Penggunaan Lahan di DAS Cimanuk Hulu: Perubahan dan
Keterkaitannya dengan Faset Lahan [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor
(ID).
Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Tataguna Lahan. Yogyakarta (ID): Gadjahmada University Press.
Indrihastuti D. 2015. Analisis Lahan Kritis dan Arahan Rehabilitasi Lahan Dalam
Pengembangan Wilayah Kabupaten Kendal Jawa Tengah [tesis]. Institut
Pertanian Bogor. Bogor (ID).
Lihawa F. 2009. Pendekatan Geomorfologi dalam Survei Kejadian Erosi. Jurnal
Pelangi Ilmu. 2 (5): 1-18.
Lillesand TM, Kiefer RW. 1979. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Diterjemahkan oleh Dulbahri, Suharsono P, Hartono, Suharyadi. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Nugroho SP, Prayogo T. 2008. Penerapan SIG untuk Penyusunan dan Analisis
Lahan Kritis pada Satuan Wilayah Pengelolaan DAS Agam Kuantan,
Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Teknologi Lingkungan. 9 (2): 130-140.
Nurwadjedi. 2000. Klasifikasi Bentuklahan Semi Detil (Skala 1;50.000/1:25.000)
Hasil Pengembangan Peta RePPProt Skala 1:250.000. Globe: 2 (2): 72-83.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2003. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Jawa Barat 2010. Bandung (ID).
Dinas Pertanian Kabupaten Garut. 2016. Laporan Akhir PAPAL JAN Kabupaten
Garut. Garut (ID). Dinas Pertanian Kabupaten Garut.
Prasetyo SYJ, Hasiholan BS, Hartomo KD, Paseleng M, Nuswantoro B. 2013.
Geographic Information System of Critical Level of Land Degredation
(Critical Land) Based on Agro-ecological Zone (AEZ) in Agricultural Areas
with Recombination Method of Fuzzy Logic and Scoring. Int J of Comput Sci
Iss. 10 (1): 217-221.
Pratiwi K, Murti HS. 2012. Aplikasi Pengolahan Digital Citra Penginderaan Jauh
dan Informasi Geografis Untuk Pemetaan Lahan Kritis di Kabupaten
Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Bumi Indonesia: 1 (1): 1-8.
Ridwan D. 2014. Salah Urus Ekologi Jawa Barat: Menabung dan Menanam
Bencana. Catatan Akhir Tahun Lingkungan Hidup Walhi Jawa Barat 2014.
Wahana Lingkungan Hidup.
Van Zuidam RA. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphological Mapping. International Institute for Aerospace Survey
and Earth Sciences (ITC). Netherlands (NL).
Wahyunto, Kuntjoro D, Muryati SR. 2007. Inventarisasi lahan terdegradasi dengan
aplikasi teknologi inderaja dan sistem informasi geografi. [Prosiding]. Di
dalam: Seminar nasional sumberdaya lahan dan lingkungan pertanian.
Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian. 247–263.
34
LAMPIRAN
Lampiran 1 Bobot, Skor, dan Nilai Penentu Kekritisan Lahan Modifikasi dari
Perdirjen BPDAS PS P.4/V-Set/2013
Nilai
(Bobot
No. Parameter Bobot Kriteria Skor
x
Skor)
1 a. Penutupan Lahan 29 Sangat Baik (Hutan) 5 143
(Untuk Kawasan Hutan Baik (Perkebunan) 4 114
Lindung, Cagar Alam, Sedang (Kebun Campuran dan Padang
dan Hutan Produksi) Rumput) 3 86
Buruk (Tegalan) 2 57
Sangat Buruk (Permukiman dan Lahan
Terbuka) 1 29
b. Produktivitas (Untuk 29 Sangat Tinggi (>80%) 5 143
Kawasan Budidaya Tinggi (61-80%) 4 114
Pertanian, berdasarkan Sedang (41-60%) 3 86
rasio terhadap produksi Rendah (21-40%) 2 57
komoditi umum Sangat Rendah (<20%) 1 29
optimal pada
pengelolaan
tradisional)
2 Kemiringan Lereng 24 Datar (0–8%) 5 119
Landai (8–15%) 4 96
Agak Curam (15–25%) 3 72
Curam (25–40%) 2 48
Sangat Curam (>40%) 1 24
3 Erosivitas Hujan (R) 19 Rendah (<1160 MJ cm ha-1 h-1) 5 95
Sedang (1160–2013 MJ cm ha-1 h-1) 4 76
Agak Tinggi (2013–2977 MJ cm ha-1 h-1) 3 57
Tinggi (297 –4033 MJ cm ha-1 h-1) 2 38
Sangat Tinggi (>4033 MJ cm ha-1 h-1) 1 19
4 Erosi Yang 14 Tinggi (> 25 ton/ha/tahun) 5 70
Diperbolehkan (EDP) Rendah (< 25 ton/ha/tahun) 1 14
5 Erodibilitas Tanah (K) 9 Rendah (< 0,20 t h MJ-1 mm-1) 5 45
Sedang (0,21–0,32 t h MJ-1 mm-1) 4 36
Agak Tinggi (0,33–0,40 t h MJ-1 mm-1) 3 27
Tinggi (0,41–0,55 t h MJ-1 mm-1) 2 18
Sangat Tinggi (0,56–0,64 t h MJ-1 mm-1) 1 9
6 Manajemen 5 Baik : 5 25
- Kawasan Lindung dan Hutan Produksi :
Lengkap, tata bats kawasan ada, pengamanan
kawasan ada dan penyuluhan dilaksanakan
- Kawasan Budidaya : Penerapan teknologi
konservasi tanah lengkap dan sesuai petunjuk
Sedang (tidak lengkap) 3 15
Buruk (tidak ada) 1 5
Sumber: Indrihastuti 2015
35
Koordinat
Titik Kode Sampel Kecamatan
X Y
1 108,04205 -6,99840 FV1H Selaawi
2 108,06197 -7,00143 VD1H Malangbong
3 107,98319 -6,99804 VD3H Selaawi
4 107,84408 -7,30666 VD5H Bayongbong
5 107,83147 -7,17291 Vg2H Tarogong Kaler
6 107,73651 -7,30791 Vp2H Cisurupan
7 107,74941 -7,30577 Vp3H Cisurupan
8 107,83696 -7,40301 VD2Pkb Banjarnegara
9 107,84940 -7,35444 VD5Pkb Cikajang
10 108,01085 -7,07836 VD5Kc Cibatu
11 107,77068 -7,21284 VD3Kc Pasirwangi
12 107,90242 -7,19030 FV1Sw2 Tarogong Kidul
13 107,75788 -7,29074 Vp2Tg Cisurupan
14 107,98288 -7,02635 VD6Tg Blubur Limbangan
15 107,97450 -7,21750 VD5Tg Karangpawitan
16 107,81344 -7,32311 VD1Tg Cigedug
17 107,99073 -7,17744 FV1Tg Wanaraja
18 107,81286 -7,19808 VD10Tg Samarang
19 107,90431 -7,15368 VD11Tg Banyuresmi
20 108,05292 -7,02375 FV2Tg Malangbong
21 107,87920 -7,22834 FV1Sw1 Tarogong Kidul
22 107,82142 -7,22676 VD15Sw Pasirwangi
23 107,84365 -7,21480 VD10Sw Samarang
24 107,95891 -7,04304 VD14Sw Blubur Limbangan
25 108,02450 -7,16020 VD1Sw Karang Tengah
26 108,09696 -7,05759 VD5Sw Malangbong
27 107,89268 -7,20545 FV1Pkm Tarogong Kidul
28 107,83698 -7,22159 VD10Pkm Samarang
29 107,90598 -7,06729 VD12Pkm Kadungora
30 107,93365 -7,21583 VD1Pkm Karangpawitan
31 108,06580 -7,08640 VD5Pkm Malangbong
32 107,89357 -7,13008 Vg2Pkm Leles
33 107,97211 -7,03332 VD9Pkm Blubur Limbangan
36
Lampiran 6 (Lanjutan)
Kedalaman Bobot Faktor
EDP EDP
Kode Efektif Isi Kedalaman DE Dmin
mm/tahun ton/ha/tahun
(cm) (g/cm3) Tanah
VD5 50 0,63 1 500 400 0,80 5,04
VD1 110 1,34 0,80 880 400 3,84 51,46
VD1 110 0,92 0,80 880 400 3,84 35,33
VD1 110 0,94 0,80 880 400 3,84 36,10
VD2 115 0,75 1 1.150 400 6,00 45,00
FV1 80 0,78 1 800 300 4,00 31,20
VD13 80 0,78 1 800 300 4,00 31,20
VD11 90 1,18 1 900 300 4,80 56,64
Lampiran 7 Peta Tata Guna Kawasan Hutan DAS Cimanuk Hulu Tahun 2013
Lampiran 9 Peta Penggunaan Lahan DAS Cimanuk Hulu Tahun 2015 (Duitasari
2017)
41
Lampiran 11 (Lanjutan)
X Y Penggunaan Lahan Nilai Pixel
107,83793 -7,38053 Perkebunan 1 0,298
107,84558 -7,37513 Perkebunan 2 0,434
107,84961 -7,36462 Perkebunan 3 0,351
107,83613 -7,36209 Perkebunan 4 0,444
107,76862 -7,28552 Perkebunan 5 0,453
107,77151 -7,29314 Perkebunan 6 0,422
107,77633 -7,30228 Perkebunan 7 0,434
107,79470 -7,30355 Perkebunan 8 0,403
107,88213 -7,30327 Perkebunan 9 0,496
107,89350 -7,29446 Perkebunan 10 0,446
107,84678 -7,14722 Lahan Terbuka 1 0,103
107,84177 -7,15500 Lahan Terbuka 2 0,189
107,72856 -7,31806 Lahan Terbuka 3 0,029
107,73311 -7,31358 Lahan Terbuka 4 0,040
107,84795 -7,15481 Lahan Terbuka 5 0,212
107,85626 -7,15756 Lahan Terbuka 6 0,259
107,86022 -7,16682 Lahan Terbuka 7 0,165
107,86997 -7,16092 Lahan Terbuka 8 0,235
107,87061 -7,16940 Lahan Terbuka 9 0,185
107,86579 -7,17643 Lahan Terbuka 10 0,274
107,76771 -7,29910 Kebun Campuran 1 0,516
107,78287 -7,25430 Kebun Campuran 2 0,465
107,78599 -7,21929 Kebun Campuran 3 0,343
107,88917 -7,20717 Kebun Campuran 4 0,294
107,93232 -7,07069 Kebun Campuran 5 0,204
108,01119 -7,08375 Kebun Campuran 6 0,438
107,99655 -7,01055 Kebun Campuran 7 0,451
108,03044 -7,04289 Kebun Campuran 8 0,425
108,01839 -6,98589 Kebun Campuran 9 0,460
108,07345 -6,97890 Kebun Campuran 10 0,326
107,73442 -7,25917 Hutan 1 0,389
107,79319 -7,39668 Hutan 2 0,431
107,86433 -7,31445 Hutan 3 0,508
107,96675 -7,25222 Hutan 4 0,538
108,03899 -7,10927 Hutan 5 0,463
107,96384 -6,98667 Hutan 6 0,523
108,12157 -7,05782 Hutan 7 0,529
107,94642 -7,07167 Hutan 8 0,544
107,87594 -7,06146 Hutan 9 0,451
107,83579 -7,13666 Hutan 10 0,476
43
RIWAYAT HIDUP