Anda di halaman 1dari 16

AGAMA DAN PERKEMBANGAN EKONOMI

Disusun Oleh :

Ayu Nugraha Putri - 17 3145 408 028


Liani Purnama – 17 3145 408 008
Riska Alhasan – 17 3145 408 038
Syamsinar – 17 3145 408 018

KELOMPOK 8

PROGRAM STUDI DIII TEKNIK KARDIOVASKULER

STIKes MEGA REZKY MAKASSAR

Page | 1
2017/2018

Page | 2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat – Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Agama dan Perkembangan Ekonomi” dengan baik meskipun
banyak kekurangan didalamnya dan juga kami berterimakasih kepada Dr. Muhammad Nawir,
S.Ag., M.Pd selaku Dosen Mata Kuliah Pendidikan Agama yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai Agama dan Perkembangan Ekonomi. Kami menyadari bahwa didalam makalah ini
terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, kami perlu adanya saran dan kritik demi perbaikan makalah
yang telah kami buat di waktu yang akan datang.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya dan dapat berguna bagi kami sendiri maupun pembacanya.

Makassar, 17 Oktober 2017

Penyusun

Page | 3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………..…………….
1

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………..………….…. 2

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………...……


3

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………..………….


4

1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………………..…..


4
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………………...……
4
1.3 Tujuan ………………………………………………………………………………………. 4

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………………...…..


5

2.1 Korelasi Agama dan Ekonomi ……………………………………………………………….


5
2.2 Pandangan Para Tokoh Sosiologi …………………………………………………………....
7
2.3 Analisis ……………………………………………………………………………………. 10

BAB III PENUTUP ………………………………………………………………………...………


13

3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………….…….. 13


3.2 Saran ………………………………………………………………………………………. 13

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………..……. 14

Page | 4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama adalah seperangkat nilai dan norma yang tersusun dalam sebuah sistem
kepercayaan yang mengatur bagaimana cara manusia berhubungan dengan Tuhan dan
berhubungan dengan sesamanya. Setiap sistem kepercayaan mempunyai cara – cara tertentu
yang mengatur manusia berhubungan dengan Tuhan – nya yang dimanifestasikan dalam
berbabagai ritual peribatan. Nilai normatif agama mengatur bagaimana cara seseorang
individu menafsirkan dan menanggapi segala sesuatu fenomena yang dihadapinya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa agama mengatur individu dan masyarakat pada setiap sendi
kehidupan. Salah satu sendi dari kehidupan sosial manusia yang turut serta diatur oleh agama
adalah kehidupan ekonomi masyarakat.
Ekonomi sendiri merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh manusia untuk
memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya yang menyangkut usaha pembuatan
keputusan, pelaksanaan dan pengalokasian sumber daya yang ada. Proses ekonomi pada
dasarnya meliputi tiga jenis akvititas, yaitu: produksi, distribusi dan konsumsi. Berdasarkan
paparan tersebut, penulis ingin mendalami lebih lanjut materi mengenai “Agama dan
Perkembangan Ekonomi”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana korelasi antara agama dan ekonomi?
2. Bagaimana pandangan dari para tokoh sosiologi mengenai agama dan ekonomi?
3. Bagaimana sosial yang terjadi saat ini menyangkut fenomena yang berhubungan
dengan agama dan ekonomi?
1.3 Tujuan

Page | 5
1. Untuk mengetahui korelasi antara agama dan ekonomi
2. Untuk mengetahui pandangan mengenai agama dan ekonomi dari para tokoh
sosiologi
3. Untuk menganalisis fenomena sosial saat ini yang berkaitan dengan agama dan
ekonomi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Korelasi Agama dan Ekonomi
Menurut Johnstone agama adalah sistem keyakinan dan praktek sebagai sarana bagi
sekelompok orang untuk menafsirkan dan menanggapi apa yang mereka rasakan sebagai
pengada adikodrati (supranatural) dan kudus. Agama sebagai sistem keyakinan berfungsi
sebagai sumber pedoman bagi masyarakat dalam berpikir dan menafsirkan segala sesuatu.
Sementara itu, agama sebagai sistem praktek berfungsi sebagai petunjuk bagi para
penganutnya dalam bertindak atau menanggapi berbagai stimulus yang dihadapinya.
Keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati ini menjadi suatu tendensi yang
mengarahkan manusia pada tatanan sosial masyarakat yang harmonik.
Menurut Emile Durkheim agama adalah sistem simbol – simbol yang melaluinya
masyarakat menjadi sadar atas dirinya. Durkheim berargumen bahwa agama secara simbolis
mewujudkan masyarakat itu sendiri. Durkheim memandang kepercayaan agamis sebagai
representasi – representasi yang mengungkapkan hakikat hal – hal yang sakral dan relasi –
relasi yang mereka pertahankan baik dengan satu sama lain maupun dengan duniawi.
Menurutnya agama dalam suatu masyarakat nonmodern adalah suatu nurani kolektif yang
serba meliputi.
Fungsi utama agama menurut William Haviland adalah untuk mengurangi kegelisahan
dan memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri serta memelihara keadaan manusia agar
siap mengahadapi realitas. Agama merupakan salah satu dari lembaga sosial yang ada dalam
masyarakat yang terdiri dari organisasi pola – pola pemikiran dan pola – pola perilaku
manusia yang diwujudkan melalui berbagai aktivitas sosial dan peribadatan. Agama sebagai

Page | 6
lembaga sosial pada dasarnya merupakan himpunan norma – norma segala tingkatan yang
berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Selain itu juga, agama
sebagai lembaga sosial memiliki symbol – symbol, peralatan, tradisi dan tujuan – tujuan
tertentu. Menurut Soerjono Soekanto, 4 lembaga kemasyarakatan yang bertujuan memenuhi
kebutuhan – kebutuhan pokok manusia pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
1. Sebagai pedoman pada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku
atau bersikap
2. Menjaga keutuhan masyarakat
3. Memberikan pegangan kepada anggota masyarakat untuk mengadakan pengendalian
sosial (social control)

Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan


adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan
individu dan masyarakat. Agama mengatur pada setiap sendi kehidupan masyarakat,
termasuk salah satunya adalah kehidupan ekonomi. Ekonomi sendiri merupakan suatu usaha
dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaannya yang berhubungan dengan pengalokasian
sumber daya rumah tangga yang terbatas diantara berbagai anggotanya dengan
mempertimbangkan kemampuan usaha dan keinginan masing – masing. Dalam hal ini,
agama memberikan pedoman yang mengatur dan membatasi berbagai tindakan ekonomi
yang dianggap baik dan dianggap buruk oleh ajaran agama.
Agama menetapkan tindakan – tindakan ekonomi apa saja yang boleh dilakukan dan
tindakan – tindakan ekonomi yang tidak boleh dilakukan oleh para penganutnya dalam
kehidupan sehari – hari. Misalnya dalam agama islam, tindakan sosial ekonomi seperti “jual
– beli” merupakan suatu hal yang diperbolehkan, tetapi disisi lain agama Islam juga
memberikan batasan mengenai bentuk jual – beli yang diperbolehkan. Islam melarang
bentuk jual beli barang haram seperti minuman keras dan narkoba. Artinya, dalam
menjalankan akitivitas ekonomi setiap pemeluk agama selalu dianjurkan untuk
memperhatikan norma halal dan haram yang terdapat dalam agama tersebut. Oleh karen itu,
terdapat korelasi yang kuat antara agama sebagai lembaga sosial dan ekonomi sebagai wujud
aktivitas sosial masyarakat.

Page | 7
Dalam sistem mata pencaharian pada masyarakat primitif, biasanya aktivitas – aktivitas
ekonomi yang dilakukan oleh mereka selalu disisipi dengan ritual – ritual tertentu seperti
upacara ritual setelah panen. Mereka memberikan sesajen kepada roh – roh nenek moyang
dan berdoa atas hasil panen yang telah didapatkan. Dalam mencari hasil hutan juga tidak
boleh melanggar pantangan (taboo) karena tanaman dan binatang dipercayai punya penghuni,
tenaga atau penunggu gaib (dinamisme, animisme)

2.2 Pandangan Para Tokoh


1. Karl Marx
Dalam kajiannya mengenai agama dan ekonomi, Marx memandang bahwa agama
berfungsi sebagai alat eksploitasi kapitalis. Menurutnya kapitalisme telah menyebabkan
manusia sebagai pekerja tidak lagi mempunyai kontrol atas potensi yang terkandung
dalam kerja mereka. Agama yang ada saat itu dipandang tidak mampu memberikan solusi
atas ketertindasan kaum proletar. Agama justru meninabobokan mereka dari perjuangan
kelas melalui dogma – dogma yang dikemukakan oleh para pemuka agama. Tekanan
agama tradisional pada dunia transenden, non – material dan harapan – harapan
kehidupan setelah kematian membantu mengalihkan perhatian orang dari penderitaan dan
kesulitan nyata dalam kehidupan mereka.
Marx melihat agama sebagai sebuah ideologi dimana ia menempatkannya dalam
konteks sosial – historis. Ia menganalisis antara kondisi – kondisi kehidupan (sub-
ekonomi masyarakat) dan gagasan – gagasan (superstruktur normatif masyarakat) pada
dasar-dasar kontinuitas perubaha melalui perkembangan sejarah masyarakat. Sebagai
sebuah ideologi, agama berfungsi sebagai seperangkat sanksi moral, khayal, penghibur
atas kondisi ketidakadilan, penyelubung kenyataan dan pembenar ketidaksetaraan. Marx
menganggap agama sebagai perwujudan dari rasa ketertindasan dan pembenaran atas
tatanan sosial yang ada. Sehingga pada akhirnya Marx sampai pada satu kesimpulan yang
menyatakan bahwa “agama merupakan candu bagi masyarakat”.
Marx menekankan bahwa agama sebenarnya muncul dari kondisi material tertentu
bukan dari wahyu atau gagasan kreatif yang muncul begitu saja karena ilham illahiyah

Page | 8
tanpa adanya pergulatan dialektik antara kesadaran dengan lingkungan. Ia melihat bahwa
agama berlaku atas masyarakat bagaikan candu yang meringankan penderitaan, tetapi
tidak menghilangkan keadaan yang memunculkan penderitaan tersebut. Menurutnya
agama semata – mata bersifat menenangkan orang dan memungkinkan orang – orang
yang berada dibawah pengaruh agama tersebut menerima begitu saja keadaan sosial
karena perhatian mereka dialihkan kepada harapan akan kebahagiaan kehidupan di
kemudian hari dimana semua penderitaan dan kesengsaraan akan lenyap untuk selama –
lamanya (alam akhirat).
Hubugan erat antara kondisi – kondisi kehidupan material dan suprastruktur sulit
untuk diidentifikasi adalah karena ideologi – ideologi itu memberikan ketimpangan dan
kekukurangan dalam kehidupan material. Akibatnya, meskipun ideologi itu
mencerminkan hubungan – hubungan produksi dalam masyarakat, cerminan itu
seringkali menyimpang atau dalam istilah Marx sebagai “suatu kesadaran dunia yang
terbalik”. Saat ideologi – ideologi tersebut menjadi kesadaran subjektif seseorang akan
menyebabkan individu tersebut tidak mampu menyadari kepentingan mereka yang
sesungguhnya. Contohnya seorang buruh lebih menunjuk sebab kemiskinan yang
dideritanya karena nasib atau takdir dibanding karena praktik penghisapan para kapitalis.
Marx melihat konflik kelas sosial sebagai titik sentral dalam kajiannya mengenai
masyarakat. Konflik antara kaum kapitalis dan kaum proletar adalah sentral dalam
masyarakat. Kaum kapitalis menguasai alat produksi dan mengeksploitasi kaum buruh
melalui mekanisme kerja. Ketidakmerataan pengalokasian sumber daya ekonomi ini
mengakibatkan kesenjangan antar kelas dan kemiskinan pada kaum buruh. Agama yang
hadir dalam kehidupan masyarakat saat itu dianggap tidak memberikan solusi yang tepat
dalam mengurangi penderitaan buruh. Agama justru memberikan ilusi romantika ukhrowi
sebagai kebahagiaan sejati di kehidupan yang selanjutnya. Kaum proletar lebih
memandang kemiskinannya sebagai takdir dari pada sebagai kejahatan struktural yang
diakibatkan oleh para kapitalis. Oleh karena itulah Marx memandang agama sebagai
candu rakyat.
2. Max Weber
Pemikiran Max Weber mengenai agama dan ekonomi tertuang dalam salah satu
karyanya yang terkenal yaitu The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism. Dalam

Page | 9
bukunya tersebut ia mengungkapkan hubungan elective afinity, yaitu hubungan yang
memiliki konsistensi logis dan pengaruh motivasional yang bersifat mendukung secara
timbal balik anatar etika protestan dan semangat kapitalisme pada awal perkembangan
kapitalisme modern. Menurutnya terdapat suatu etika dalam agama Protestan yang
menjadi stimulus bagi pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis modern dalam tahap
pembentukannya.
Weber menentang pandangan Marx yang melihat agama sebagai lembaga bayangan
yang selalu mencerminkan kekuasaan dan kepentingan kelas yang berkuasa. Ia
berpendapat bahwa kebangkitan kapitalisme didukung oleh sikap yang ditekankan oleh
Protestanisme asketik. Jadi, bukan kekuatan ekonomi yang menentukan agama, tetapi
agamalah yang menentukan arah perkembangan ekonomi.
Weber melihat kondisi sosial para penganut agama Protestan seperti Calvinisme
dan Metodisme yang mempercayai konsep predistinasi. Menurut konsep ini Allah telah
menentukan keselamatan abadi seseorang diakhirat yang ditandai dengan kesuksesan dan
kesejateraan yang dihasilkan oleh pekerjaan. Mereka memandang pekerjaan sebagai
suatu panggilan suci (beruf atau calling). Membuang – buang waktu merupakan dosa
pertama dan secara prinsip dosa yang paling mematikan. Ajaran – ajaran agama tersebut
pada akhirnya melahirkan pola motivasi yang memiliki konsistensi logis bagi semangat
kapitalisme modern yang sedang berkembang seperti akuntansi rasional, hukum rasional
dan teknik rasional.
3. Karl Polanyi
Dalam esainya yang berjudul The Economy as an Instituted Process, Karl Polanyi
mengajukan sebuah gagasan tentang embeddedness (keterlekatan). Menurutnya,
kehidupan ekonomi manusia terlekat dan terjaring dalam institusi – institusi sosial lain
seperti institusi politik dan agama. Granovetter, mendefinisikan keterlekatan ini sebagai
tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan sosial
personal yang sedang berlangsung diantara para aktor. Menurut Polanyi, memasukan
institusi non – ekonomi kedalam ekonomi manusia merupakan suatu hal yang penting.
Menurutnya agama dan pemerintahan mungkin menjadi penting terhadap struktur dan
berfungsinya ekonomi sebagai institusi moneter.

Page | 10
Menurutnya ekonomi masyarakat pra industri melekat pada institusi sosial, politik
dan agama. Kehidupan ekonomi dalam mayarakat pra – kapitalis diatur keluarga
subsitensi, resiprositas dan redistribusi. Keluarga merupakan suatu sistem dimana barang
– barang diproduksi dan disimpan dikalangan anggota kelompok untuk pemakaian
mereka sendiri (self sufficient system). Barang yang diproduksi adalah untuk dikonsumsi.
Adapun sebagian barang yang dijual bukan untuk dijadikan sebagai modal, tetapi untuk
memenuhi kebutuhan lain.
Sementara, pada masyarakat modern sistem redistribusi tersebut digantikan oleh
ekonomi pasar yang ditandai dengan “pasar yang mengatur dirinya sendiri”. Uang
menggantikan mekanisme barter karena aktivitas ekonomi yang semakin kompleks.
Selain itu, tenaga kerja dan tanah dipandang sebagai komoditi rekaan (commodity
fiction) yang dapat diperjualbelikan di pasar seperti produk yang lainnya.
Kesimpulanya, pada masyarakat pra – kapitalis, harga dibentuk oleh
keterlekatannya dengan institusi lain seperti otoritas politik dan tradisi. Sementara pada
masyarakat modern, pasar mengatur dirinya sendiri dimana harga dibentuk oleh
permintaan dan penawaran.
Dalam konsep keterlekatan ini, tindakan ekonomi didasarkan pada tujuan rasional
untuk mencapai tujuan serta dituntun oleh aturan yang berupa nilai, norma, adat istiadat
dan tata kelakuan yang ada dalam masyarakat. Misalnya, seorang pedagang muslim pada
dasarnya bekerja untuk memperoleh keuntungan. Namun tidak semua barang atau jasa
bisa diperjual – belikan olehnya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya aturan dalam
agama Islam yang tidak memperbolehkan umatnya untuk memperjualbelikan barang
haram. Contoh lainnya adalah transaksi peminjaman uang yang berbunga, bagi seorang
muslim yang taat tindakan ekonomi tersebut merupakan tindakan yang harus dihindari.
Karena, transaksi riba ini merupakan sesuatu yang telah diharamkan baik dalam Al-
qur’an maupun dalam Al- Hadits.
Dari contoh tersebut kita dapat melihat bagaimana keterlekatan antara agama dan
ekonomi terjadi di dalam masyarakat. Seorang penganut agama yang taat akan
mempertimbangakan segala tindakan ekonominya apakah bertentangan dengan ajaran
agama atau tidak. Jika tidak bertentangan, maka ia akan melakukannya. Begitu pula

Page | 11
sebaliknya, jika tindakan tersebut dianggap bertentangan maka ia akan berusaha untuk
tidak melakukannya.
2.3 Analisis Sosial : Korelasi Agama dan Ekonomi dalam Islam
Agama sebagai sistem keyakinan dan praktek mengatur manusia dalam upayanya untuk
memenuhi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dan keinginannya. Agama menyediakan
suatu tatanan sosial bagi masyarakat yang menjaga keselarasan dan keserasian sosial.
Tindakan – tindakan ekonomi yang dianggap akan merugikan suatu pihak dilarang oleh
agama demi terciptanya suatu keseimbangan dalam masyarakat. Dalam agama Islam terdapat
berbagai hukum yang mengatur kehidupan ekonomi masyarakat muslim. Sama seperti halnya
dalam agama Kristen Protestan, dalam Islam pun terdapat etika sosial yang melandasi
aktivitas ekonomi umat muslim. Etika sosial ini di dasarkan pada firman Allah dalam Al-
Qur’an surat An-Nisa ayat 29 yang berbunyi :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah
Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa [4]: 9)

Berdasarkan ayat tersebut, dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya kehidupan ekonomi
umat muslim mengutamakan nilai – nilai “keadilan” bagi semua pihak. Suatu tindakan
ekonomi yang merugikan salah satu pihak akan mengakibatkan hilangnya keselarasan sosial
dalam masyarakat sehingga perlu dicegah melalui mekanisme yang terkandung dalam konsep
‘halal’ dan ‘haram’. Beberapa bentuk aktivitas ekonomi yang diatur dalam Islam diantaranya
adalah mengenai zakat, muamalah dan faraid.
Zakat adalah sejumlah harta dalam kadar tertentu yang harus diberikan kepada
sekelompok orang yang dianggap pantas menerimanya berdasarkan ketentuan dan syarat
tertentu. Secara sosiologis zakat berfungsi sebagai alat pemersatu sosial yang merekatkan
hubungan antara masyarakat kelas ekonomi atas dengan kelas ekonomi bawah. Zakat bukan
merupakan sesuatu yang bersifat kariratif seperti shadaqah, tetapi imperatif yang diwajibkan
baik secara teologis maupun politis. Zakat bahkan dapat dituntut oleh kelas miskin atau
dipaksakan oleh negara.

Page | 12
Permasalahan sosial seperti ketimpangan ekonomi anatara kelas atas dengan kelas
bawah tidak diatasi dengan jalan penumpasan oleh satu kelas terhadap kelas lainnya
melainkan dengan jalan ta’awun (saling tolong – menolong). Sekelompok orang yang
dianggap sukses secara finansial dianjurkan untuk menolong saudaranya yang kekurangan
sehingga terciptalah suatu proses simbiosis mutualisme dalam masyarakat. Hal tersebut
berbeda dengan konsep yang diajukan oleh Karl Marx yang menganjurkan penumpasan salah
satu kelas (Borjuis) oleh kelas yang lainnya (ploretar) atau sering disebut dengan “revolusi
komunis”.
Islam adalah seperangkat kredo yang diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama
yang telah sempurna. Maka oleh sebab itu, Islam mempunyai formulasi tersendiri dalam tata
pengaturan konflik atau permasalahan sosial yang terjadi ditengah – tengah masyarakat.
Episentrum serta pengaturan tata dan konflik sosial tidak semata – mata dilakukan untuk
tujuan kemanusiaaan melainkan untuk menegakan keadilan serta untuk mendapatkan
keridhaan dari Tuhan Yang Maha Esa. Nilai – nilai transedental inilah yang membuat garis
pembatas yang tegas antara tata pengaturan konflik dan permasalahan sosial di dalam agama
Islam dengan pandangan sekuler.
Muamalah merupakan tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat
dengan cara yang ditentukan seperti jual – beli, sewa – menyewa, upah – menupah, pinjam –
meminjam, bercocok tanam, berserikat dan usaha lainnya. Dalam jual beli Islam mempunyai
ketentuan barang yang diperjualbelikan harus suci (bukan barang haram), bermanfaat, dapat
diserah terimakan, diketahui, milik sendiri atau diwakili dan tidak menimbulkan kerugian
pada salah satu pihak. Kemudian muamalah juga terdapat aturan mengenai larangan
melakukan transaksi ekonomi riba.
Islam mengakui konsep realitas ganda, yaitu sebuah konsep yang memandang bahwa
realitas itu terdiri dari dua jenis, yaitu realitas dunia dan realitas akhirat. Realitas dunia
adalah realitas empiris dan berada dalam struktur objektif, sementara realitas akhirat
merupakan realitas normatif yang berada dalam struktur objektif.
Faraid merupakan pembagian harta pusaka kepada ahli waris berdasar ketentuan yang
sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam Sudut pandang sosiologis, faraid
dapat dilihat sebagai pengalokasian sumberdaya ekonomi terhadap anggota keluarga baik
laki – laki atau pun perempuan. Dalam Agama Islam, hak waris seorang laki – laki adalah

Page | 13
dua kali lipat dari jatah perempuan. Hal tersebut dilakukan dalam Islam karena laki – laki
diwajibkan untuk memberikan nafkah bagi keluarganya sementara perempuan tidak
diwajibkan untuk mencari nafkah, tetapi tidak pula ada aturan yang melarang perempuan
untuk mencari nafkah.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Agama mempunyai korelasi dengan ekonomi dimana agama sebagai sistem keyakinan
dan praktek mengatur bagaimana umatnya melakukan aktivitas ekonomi.
2. Pandangan dari para tokoh mengenai agama dan ekonomi :
a. Karl Marx, ia melihat bahwa agama dijadikan sebagai alat eksploitasi yang dilakukan
oleh para kapitalis kepada kaum proletar. Agama memberikan kesadaran palsu bagi
para penganutnya sehingga terlelap dalam harapan – harapan palsu di kehidupan
nanti.
b. Max Weber, melihat agama sebagai kekuatan dinamis yang mana doktrin yang
terkandung dalam agama akan menentukan aktivitas dan kekuatan ekonomi para
penganutnya.

Page | 14
c. Karl Polanyi, melahat agama sebagai salah satu institusi sosial yang mempunyai
keterlekatan (embeddedness) dengan ekonomi. Khususnya dalam masyarakat pra –
industri aktivitas ekonominya di dasarkan atas keterlekatannya dengan agama.
3. Analisis : korelasi agama dan ekonomi dalam Islam :
a. Islam mengatur segala sendi kehidupan umatnya termasuk dalam kehidupan ekonomi
seperti zakat, muamalah dan faraid.
b. Etika sosial ekonomi dalam Islam didasarkan pada aspek keadilan dimana suatu
tindakan ekonomi tidak boleh merugikan pihak lainnya.
c. Islam menganjurkan umatnya untuk menjadi manusia yang produktif tetapi tidak
melanggar batas – batas yang sudah ditentukan oleh agama.
3.2 Saran
Kehidupan ekonomi dalam masyarakat sudah sepantasnya selalu dilekatkan dengan
ajaran agama sehingga terjadi keselarasan dan kesimbangan dalam kehidupan sosial
masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanudin, Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama,
Jakarta: Rajagrafindo persada, 2006
Bachtiar, Wardi, Sosiologi Klasik (Dari Comte hingga Parsons), Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010
Damsar & Indrayani, Pengantar Sosiologi Ekonomi, Jakarta: Kencana, 2013
Dede Mulyanto, Atropologi Marx : Karl Marx tentang Masyarakat dan
Kebudayaan, Bandung: Ulitimus, 2011
Graham C. Kinloch, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi,
Bandung: Pustaka Setia, 2009
Horton, Paul B. & Chester L. Hunt, Sosiologi, Terjemahan Aminudi Ram dan Tita
Sobari, Jakarta: Erlangga, _____
Imam B. Jauhari. Teori Sosial : Proses Islamisasi dalam Ilmu Pengetahuan,

Page | 15
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012
Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Terjemahan TW Utomo &
Yusup Priya Sudiarja, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Rasjid, H. Sualiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2013
Ritzer, George, Teori Sosiologi (Dari Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Posmodern), Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012
Soekanto, Soerjono, Sosiologi suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2012

Page | 16

Anda mungkin juga menyukai