Anda di halaman 1dari 8

Fitoremediasi Limbah Fosfat (PO4) menggunakan Chlorella vulgaris

dengan Sistem Hidroponik Deep Water

RANCANGAN PENELITIAN

Oleh:
Raihannisa Rizqi Meutia 11217005
Ruli Juliansyah 11217016
Ghiffary Rifqialdi 11217025
Amadhea Yudith Eryanti 11217039
Hidayat Mawawi 11415018

Asisten:
Muhammad Arief Ardiansyah (11215006)

Dosen:
Dr. Taufikurahman
Novi Tri Astutiningsih, M.Sc.

PROGRAM STUDI REKAYASA HAYATI


SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pencemaran air pada beberapa wilayah di Indonesia terus terjadi.


Pencemaran air ini menurut Arsyad (1989) berupa penurunan kualitas air salah
satunya akibat kandungan senyawa limbah rumah tangga yang masuk ke dalam
air. Salah satu penyebab pencemaran air adalah limbah organik rumah tangga
maupun industri kecil yang dihasilkan dari penggunaan deterjen. Deterjen
merupakan limbah cair domestik dengan volume tertinggi (Rochman, 2009).
Seiring produksi deterjen dunia mencapai 2,7 juta ton/tahun, dengan kenaikan
mencapai 5% maka limbah deterjen perlu diwaspadai karena kandungan bahan
aktif dalam deterjen dapat mengganggu kesehatan (Siswandari et al., 2016).
Deterjen memiliki komponen utama Natrium Dodecyl Benzen Sulfonat (NaDBS)
dan Sodium Tripolyphosphat (STPP) yang bersifat sulit terurai secara alami. Hal
ini terjadi karena deterjen mengandung fosfat yang berasal dari STPP dengan
kadar tinggi (Yuliana et al., 2013). Senyawa yang sulit terurai ini berakibat pada
sulit terdegradasinya sehingga terjadi akumulasi di alam (Susana dan Rositasari,
2009).
Dalam senyawa fosfat terkandung unsur fosfor. Fosfor merupakan nutrient
esensial yang termasuk kelompok makronutrien sehingga diperlukan dalam
jumlah besar bagi semua makhluk hidup. Unsur P ini merupakan nutrient
pembatas pada pertumbuhan alga dalam air (Bitton, 1994). Pembuangan limbah
cair dengan kandungan P > 0.015 mg/L ke dalam air dapat menyebabkan
eutrofikasi (Lawrence et al., 2002). Eutrofikasi merupakan pencemaran air yang
disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan. Masalah yang ditimbulkan
unsur fosfor ini cukup serius ketika membentuk ion orthofosfat. Ion orthofosfat ini
dapat terbentuk dari deterjen sehingga dapat mencemari lingkungan. Ion tersebut
bisa menurunkan kadar oksigen dalam air sehingga organisme air kekurangan
oksigen dan dapat menyebabkan kematian (Lichtenberg et al., 2013).
Untuk mengatasi masalah ini diperlukan penanganan limbah agar air tidak
kelebihan bahan organik atau anorganik, bahan beracun ataupun substansi yang
secara estetika tidak layak (Atlas dan Bartha, 1998). Penanganan limbah dapat
melalui metode fisika, kimia, dan biologi. Metode yang dinilai efisien dan relatif
murah dari ketiga pilihan tersebut adalah metode biologi (Hermawati et al., 2005).
Salah satu metode biologi untuk penanganan limbah, yaitu bioremediasi.
Bioremediasi adalah metode penanganan limbah menggunakan mikroorganisme
dengan mendegradasi polutan berbahaya secara cepat hingga tingkat yang aman
bagi lingkungan (Singh et al., 2014). Mikroalga Chlorella sp. digunakan sebagai
pengolah limbah fosfat ini. Mikroalga ini umumnya ditemukan di tempat iklim
hangat, secara alami mengolah air limbah dan memiliki kemampuan sterilisasi
nutrisi yang tinggi (Chevalier et al., 2000). Spesies yang digunakan pada
pengolahan limbah fosfat adalah Chlorella vulgaris karena memiliki kemampuan
penyerapan fosfat yang tinggi (Sultan et al., 2011).

1.2 Tujuan

1. Menentukan konsentrasi optimal penyerapan fosfat oleh Chlorella


vulgaris dengan variasi konsentrasi larutan fosfat.

1.3 Hipotesis

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi


fosfat terhadap penyerapan fosfat oleh Chlorella vulgaris. Berikut ini perumusan
hipotesis dari penelitian ini:
H0 : Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi larutan fosfat oleh Chlorella
vulgaris.
H1 : Ada pengaruh variasi konsentrasi larutan fosfat oleh Chlorella
vulgaris.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

KULTIVASI CHLORELLA VULGARIS

Pada umumnya kultivasi mikroalga dapat dikelompokkan menjadi 2


sistem, yaitu sistem kultivasi terbuka dan sistem kultivasi tertutup. Konsep sistem
kultivasi tertutup memiliki kemudahan dalam mengontrol kultivasi alga yang
membutuhkan kondisi selektif. Sistem ini digunakan untuk mencegah alga dari
kontaminasi logam berat ataupun mikroorganisme lain yang tidak diinginkan.
Produktivitas kultivasi tertutup lebih baik karena beberapa hal seperti, terjaganya
kultur murni dari kontaminan sehingga tidak terjadi persaingan dalam
pertumbuhan, efisiensi pemanfatan cahaya untuk fotosintesis, serta terjaga kondisi
optimum seperti pH, temperature, dan laju transfer massa. Sistem kultivasi
terbuka sering menjadi alternative karena sistemnya yang mudah dan murah.
Sistem ini menggunakan kolam terbuka dengan memanfaatkan sumber energi
cahaya matahari. Sistem ini memiliki kerkurangan diantaranya sering terjadi efek
shelf shading dalam sel, jumlah CO2 yang terdifusi ke udara cukup besar,
membutuhkan area yang luas,dan sering terjadi kontaminasi bahan kimia maupun
organisme lain (Harnadiemas, 2012).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi sel chlorella
yang dihasilkan, menurut (Amini & Syamdidi, 2005) faktor tersebut antara lain
adalah temperature, aerasi, cahaya, dan pH. Temperatur merupakan faktor yang
cukup penting dalam pertumbuhan mikroalga. Mayoritas alga dapat tumbuh pada
rentang suhu antara 15 hingga 40oC. Sebagian mikroalga dapat tumbuh subur
pada kondisi suhu kisaran 24-26oC. Pada suhu di bawah 16oC, mikroalga masih
dapat tumbuh dengan laju pertumbuhan yang lambat. Kemudian pada suhu di
atas 35oC, beberapa mikroalga dapat mati atau lisis (Hadiyanto & Azim, 2012).
Aerasi berfungsi untuk meratakan penyebaran nutrisi pada alga dengan terjadinya
sirkulasi udara yang juga menunjang terjadinya proses fotosintesis. Pada
pertumbuhannya mikroalga membutuhkan cahaya untuk melakukan fotosntesis.
Intensitas cahaya mempengaruhi aktifitas fotosintesis dari alga semakin besar
intesintas cahaya semakin tinggi aktifitas fotosintesisnya. Beberapa mikroalga
tidak dapat tumbuh dengan kondisi pencahayaan yang konstan karena
membutuhkan waktu peristriahatan dalam menyimpan makanan. Kondisi pH
medium dapat mempengaruhi umur kultivasi pada mikroalga. Menurut penelitian
(Prihantini et al., 2005) rata-rata pupolasi sel terendah terjadi pada media dengan
pH 5. pH asam menyebabkan terganggunya proses metabolisme sel dan
menyebabkan kemampuan sel menyerap nutrien tidak optimal sehingga
mempengaruhi proses pertumbuhan sel. Proses biokimia dalam sel Chlorella
berlangsung pada pH internal sel yang netral (pH 7,15). Beberapa penelitian yang
lain memperlihatkan bahwa pH mempengaruhi konsentrasi dan mobilitas logam
berat dalam sel. Salah satu logam berat tersebut adalah tembaga (Cu). Kelarutan
Cu meningkat pada media yang asam, Cu terserap oleh sel dalam jumlah banyak,
akibatnya Cu dalam sel Chlorella menjadi toksik. Chlorella secara umum dapat
tumbuh optimal pada kondisi pH berkisar 7-9.
Faktor yang berpengaruh lainnya adalah salinitas, yaitu tingkat kadar
garam di dalam perairan. Besarnya salinitas berbeda-beda, tergantung evaporasi
dan presipitasi. Organisme yang hidup dalam suatu perairan memiliki tingkat
kepekaan yang berbeda-beda terhadap salinitas, tergantung spesies dan tingkat
kehidupan. Kehidupan ganggang halus laut jenis Chlorella,sp cukup toleran pada
lingkungan dengan kadar garam 0 – 70 ppt (Chalid et al., 2010).
Mikroalga juga membutuhkan nutrisi baik makronutrien maupun
mikronutrien. Makronutrien yang diperlukan diantaranya unsur N, P, K, S dan Ca.
nitrogen berperan dalam pembentukan protein dan klorofil. Fosfor merupakan
bagian pendukung kesuburan dan unsur penting dalam metabolism sel. Kalsium
sebagai bahan pembentukan dinding sel. Selain itu ada juga mikronutrien yang
dibutuhkan alga, diantaranya adalah Fe, Cu, Zn, dan Mn. Fe berperan dalam
pembentukan klorofil Cu dibutuhkan dalam sintesis lignin dan proses
metabolisme. Zinc (Zn) berfungsi untuk menghasilkan energi, sintesi protein dan
pertumbuahan. Serta Mn berperan dalam fotosintesis dan metabolisme protein
(Irfiansyah, 2015).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan


Alat Bahan
Botol Kaca Pupuk Anorganik NPK
Selang Aerasi Air Akuades
Aerator Larutan Fosfat
Bak Chlorella vulgaris
Spektofotometer Larutan Asam Sulfat H2SO4 2,5 M
Gelas Kimia 100 mL, 1 L Larutan Ammonium Molibdat
(NH4)6Mo7O24.4H2O 0,03 M
Gelas Ukur 50 mL, 100mL Larutan Kalium Antimonil Tartat
K(SbO)C4H4O6.1/2H2O 0,008 M
Larutan Asam Askorbat C6H8O6 0,1 M
Larutan Baku Fosfat 10 mg/L

3.2 Rancangan Penelitian


Limbah Larutan Fosfat
Tanaman/Mikroalga Chlorella vulgaris
Data yang diambil pH, Suhu, Konsentrasi Larutan Fosfat, Kepadatan
Chlorella vulgaris
Variasi Perlakuan Konsentrasi Larutan Fosfat 0 ppm, 0,1 ppm, 0,2 ppm, 0,3
ppm
3.3 Jadwal Pelaksanaan
Tempat : Labtek 1A ITB Jatinangor

Tanggal / Hari Kegiatan


13 Feb 19 s/d 20 Feb 19 Kultivasi Chlorella vulgaris
21 Feb 19 s/d 25 Feb 19 Aklimatisasi
26 Mar 19 s/d 5 Mar 19 Penelitian
6 Mar 19 s/d 20 Mar 19 - Analisis data
- Pembuatan laporan
- Pembuatan draft publikasi
hasil pencil

DAFTAR PUSTAKA

Amini, S., & Syamdidi. (2005). Kosentrasi Unsur Hara pada Media dan
Pertumbuhan Chlorella vulgaris dengan Pupuk Anorganik Teknis dan Analis.
Jurnal Perikanan, 201-206.

Arsyad, S. (1989). Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press

Bitton, G. (1994). Wastewater Microbiology. New York: John Willey and Sons,
Inc.

Chalid, S. Y., Amini, S., & Lestari, S. D. (2010). Kultivasi Chlorella, sp Pada
Media Tumbuh Yang Diperkaya Dengan Pupuk Anorganik Dan Soil Extract.
298-304.

Chevalier, P., Proulx, D., Lessard, P., Vincent, W. F., & De La Noue, J. (2000).
Nitrogen and phosphorus removal by high latitude mat-forming
cyanobacteria for potential use in tertiary wastewater treatment. Journal of
Applied Phycology, Vol.12, 105-112.

Hadiyanto, & Azim, M. (2012). MIKROALGA SUMBER PANGAN DAN ENERGI


MASA DEPAN. Semarang: UPT UNDIP Press Semarang.

Harnadiemas. (2012). EVALUASI PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN


ESENSIAL CHLORELLA VULGARIS PADA KULTIVASI
FOTOBIOREAKTOR OUTDOOR SKALA PILOT DENGAN
PENCAHAYAAN TERANG GELAP ALAMI. Depok: Fakultas Teknik
Universitas Indonesia.
Hermawati, E, Wiryanto, Solichatun. (2005). Fitoremediasi limbah detergen
menggunakan kayu apu (Pistia stratiotes L. ) dan genjer ( Limnocharis flava
L.). Jurnal BioSMART, 7(2), 115-124.

Irfiansyah, M. R. (2015). TEKNIK KULTUR CHLORELLA SP, SKALA MASSAL


UNTUK PAKAN ROTIFERA SP. DAN STARTER TAMBAK DI BBPBAP
JEPARA, JAWA TENGAH. Surabaya: Universitas Airlangga.

Lawrence, J.R., Neu, T.R., & Marshall, K.C. (2002). Colonization, Adhesion,
Aggregation, and Biofilm, in Hurst, C.J., Crawford R.L., Knudsen G.R.,
McInerney, M.J., & Stetzenbach, L.D. Manual of Environmental
Microbiology. Washington, DC: American Society for Microbiology.

Lichtenberg, D., H. Ahyayauch, & Goni, F. M. (2013). The mechanism of


deterjen solubilization of lipid bilayers. Biophysical Journal.

Prihantini, N. B., Putri, B., & Yuniati, R. (2005). PERTUMBUHAN Chlorella spp.
DALAM MEDIUM EKSTRAK TAUGE (MET) DENGAN VARIASI pH
AWAL. 1-6.

Rochman, F. (2009). Pembuatan IPAL mini untuk limbah deterjen domestik.


Jurnal Penelitian Eksakta, 8(2), 134- 142.

Singh, R., Singh, P., & Sharma, R. (2014). Microorganism as a tool of


bioremediation technology for cleaning waste and industrial water.
Bioscience Research, 14(3), 633–644.

Siswandari, A. M., Hindun, I., & Sukarsono, S. (2016). Phytoremediation of


Phosphate Content In Liquid Laundry Waste by Using Echinodorus
paleafolius and Equisetum hyemale Used as Biology Learning Resource.
Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia, 2(3), 222.
http://doi.org/10.22219/jpbi.v2i3.3860

Sultan, J., Shah, A., Mahkota, B. I., Pahang, K., Gombak, J., & Lumpur, K.
(2011). Removal of Nitrate and Phosphate from Municipal Wastewater
Sludge by Chlorella Vulgaris , Spirulina Platensis and Scenedesmus
Quadricauda. IIUM Engineering Journal, 12(4), 125–132.

Susana, T., & Rositasari, R. (2009). Dampak Deterjen terhadap Foraminifera di


Kepulauan Seribu Bagian Selatan, Teluk Jakarta. Oseanologi dan Limnologi
di Indonesia, 35(3): 335-352.

Yuliana, M., Raza, S., & Zulfikar, A. (2011). Efektifitas dan Efisiensi
Fitoremediasi Orthofosfat pada Deterjen dengan menggunakan eceng
gondok (Eichornia crassipes), 2.

Anda mungkin juga menyukai