Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS PSIKIATRI

Disusun Oleh:
Jessica Jasmine Gondo 2014-061-099
Kevin Jonathan Djuanda 2014-061-101
Jean Valeria 2014-061-103
Agatha Kristanti 2014-061-106
Fidelis Jacklyn Adella 2014-061-108
Paulus Stephen Sembiring 2014-061-110
Florencia Putri Sjaaf 2015-061-074
Darvin Febrian 2015-061-076
Christianti 2015-061-078
Arviana Laurensia 2015-061-080

Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa dan Perilaku


Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya
Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta
Periode 26 Oktober 2016 – 28 Oktober 2016
BAB I
STATUS PSIKIATRI

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. IG
Usia : 37 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 28 Juli 1979
Suku Bangsa : Tionghoa
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan Terakhir : Diploma Business and Marketing
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara

II. RIWAYAT PSIKIATRIK


a. KELUHAN UTAMA
Pasien datang dengan kontrol terapi substitusi rumatan (Suboxone).

b. KELUHAN TAMBAHAN
Tidak ada

c. RIWAYAT GANGGUAN SEKARANG


Pasien datang ke RSKO terkait terapi rumatan yang sedang dijalaninya.
Pasien mengaku selama ini tidak memiliki gejala yang mengganggu dan
dapat beraktivitas sehari-hari dengan dosis Suboxone yang saat ini
dikonsumsi yaitu sebesar 8 mg per hari.

d. RIWAYAT GANGGUAN SEBELUMNYA


1. Riwayat Gangguan Psikiatrik : Tidak ada
2. Riwayat Gangguan Organik : Tidak ada
3. Riwayat Penggunaan Zat

No Jenis zat Sejak Cara Frekuensi Pemakaian Alasan Alasan Biasa Alasan
dan Jumlah terakhir Pemakaian Memakai Berhenti
Pertama Memakai

1 Alkohol 1998 Oral Vodka: 4-52006 Pergaulan Pergaulan Tahu bahwa


sloki/hari merugikan.
Beer: 2-3
kaleng/hari

2 Opioid 1997 Nasal 3x/minggu 2011 Coba-coba, Pergaulan, Gejala putus


pergaulan craving obat, lelah
karena
merugikan
diri dan

1
keluarga.

3. Metadon /
Burprenorfin
- Subutex 2007 Oral 24 mg/hari, 2016 Terapi Terapi Mengganti ke
lalu 8 mg/hari Suboxone.
8 mg/hari -
- Suboxone 2016 Oral Sampai Terapi Terapi
sekarang

4. Barbiturat - - - - - - -

5. Kanabis - - - - - - -

6. Sedatif / - - - - - - -
Hipnotik

7. Kokain 1999 Nasal Tidak tentu 2006 Pergaulan Untuk Tahu bahwa
menghadapi tidak baik.
masalah.

8. Amfetamin 1999 Rokok Tidak tentu 2006 Pergaulan Untuk Tahu bahwa
(Sabu) menghadapi tidak baik.
masalah.

9. Halusinogen - - - - - - -

10. Inhalan - - - - - - -

11. Tembakau 1995 Rokok ±20 batangSampai Pergaulan Tidak nyaman. -


/hari sekarang

12. Lainnya - - - - - - -
1995 : Pasien mengkonsumsi rokok pada usia 15 – 16 tahun karena
diajak temannya. Rokok yang dikonsumsi adalah rokok filter.
Pasien rutin merokok setiap hari, awalnya 2-3 batang/hari
hingga mampu menghabiskan 2 bungkus setiap harinya. Sampai
saat ini pasien masih mengonsumsi rokok dengan jumlah ±20
batang setiap harinya.

1997: Pasien pertama kali mencoba menggunakan putau. Putau pertama


kali diperkenalkan oleh teman sebagai “ampas heroin”. Motivasi
awal mencoba adalah rasa penasaran dan sebagai pelengkap saat
berkumpul bersama teman-teman. Pasien menggunakan putau
dengan cara “Chasing the Dragon”. Pasien menggunakan putau
sebanyak lebih dari 3 kali dalam 1 minggu di tempat-tempat yang
2
pasien rasa cukup sepi (mobil, kamar mandi, rumah saat kosong,
dll). Pasien mengaku tidak memahami bahaya narkoba dan tidak
tahu dapat menimbulkan kecanduan saat itu, sehingga pasien mau
untuk mengikuti ajakan temannya. Penggunaan putau biasa
dilakukan saat bersama dengan teman-teman pasien. Riwayat
penggunaan obat-obatan lain seperti alprazolam, sabu, ganja
disangkal. Pasien mulai merasakan adanya gejala putus obat
berupa rasa tidak enak pada tubuh, nyeri ngilu pada seluruh
tubuh, dan ketidakmampuan untuk menjalankan aktivitas bila
pasien tidak mengonsumsi putau selama 1-2 hari. Keluhan ini
akan membaik bila menggunakan putau kembali. Gejala putus
obat ini diikuti oleh craving dimana pasien menjadi terus mencari
teman pasien yang merupakan bandar dan mendapatkan putau
seharga Rp 100.000,00 untuk setiap 0,5 mg nya. Saat pasien
pasien tengah mengalami craving, pasien dapat berbohong
kepada orang tua pasien untuk mendapatkan uang jajan lebih
yang digunakan untuk putau. Riwayat mengamuk dan merusak
barang-barang di sekitar pasien disangkal.

1998 : Pasien mengatakan mulai terganggu dengan kecanduannya


terhadap putau dan memutuskan untuk mencari pengobatan di RS
Graha Medika dan disarankan untuk mencari panti rehabilitasi.
Menyadari kondisi pasien yang dirasa tidak baik, lelah akan
gejala putus obat dan merugikan orang sekitar, atas permintaan
sendiri dan dukungan orang tua pasien menjalani rehabilitasi di
Panti Rehabilitasi Pamardi Pantai Indah Kapuk. Pada rehabilitasi
ini pasien menjalani terapi putus obat dan terapi komunitas
berbasis agama selama 3 bulan (dari program yang seharusnya
berjalan selama 1 tahun) karena tidak nyaman dengan lingkungan
pergaulan di panti rehabilitasi tersebut. Enam bulan kemudian
pasien menjalani terapi rehabilitasi selama 1 tahun dari program
1 tahun yang direncanakan. Terapi yang didapatkan berupa terapi
komunitas berbasis agama dan terapi putus obat total. Setelah
pesien menjalani rehabilitasi pasien tidak rutin kembali ke panti
3
untuk menjalani evaluasi dan akhirnya kembali mengonsumsi
putau karena craving yang muncul setelah 4 bulan bebas putau.
Pasien mengonsumsi rokok secara rutin sebanyak 1 bungkus/ hari
dan meminum alkohol berupa vodka 4-5 sloki dan beer 2-3
kaleng secara bergantian setiap akhir minggu. Riwayat
penggunaan obat-obatan lain berupa alprazolam, sabu, seks
bebas, ganja, mushroom, maupun obat-obatan injeksi disangkal.

1999: Untuk menjauhkan pasien dari pergaulan yang menyebabkan


pasien menggunakan putau dan krisis di Indonesia pada tahun
1999, pasien pindah ke Los Angeles selama 3 tahun. Selama di
Los Angeles, pasien bekerja sambilan di restoran bisnis keluarga
dan menjalani kuliah di bidang business and marketing. Pasien
sempat berhenti mengonsumsi putau selama 6 bulan sebelum
akirnya kembali mengonsumsi putau. Karena merasa lingkungan
pasien tidak mendukung pasien untuk bersih dari putau, pasien
memutuskan untuk berhenti kuliah dan kembali ke Indonesia.
Selama di Los Angeles pasien pernah mengonsumsi alkohol,
sabu, dan kokain namun tidak sampai kecanduan seperti putau.
Riwayat seks bebas disangkal dan selama di Los Angeles pasien
menjalin komunikasi baik dengan orang tua pasien dan teman
dekat pasien di Indonesia.

2000 : Pasien kembali ke Indonesia dan melakukan rehabilitasi kembali


di tempat rehabilitasi pasien selama 1 tahun dan dengan metode
yang sama. Setelah keluar dari rehabilitasi pasien mengatakan
tidak lagi rutin mengonsumsi putau seperti sebelumnya, namun
pasien mengaku sempat beberapa kali mengalami craving dan
akhirnya kembali mengonsumsi putau.

2002 : Pasien melanjutkan studi diploma bidang business and marketing


di Sydney. Selama melanjutkan studi pasien beberapa kali
mengalami craving dan mengonsumsi putau kembali yang
sempat berhenti selama beberapa minggu sebelum kambuh
4
kembali. Metode penggunaan obat masih dengan cara “Chasing
the Dragon”. Pasien memiliki riwayat menggunakan obat-obatan
sabu dan kokain, tetapi tidak mengalami kecanduan, hanya
digunakan saat pasien perlu menyelesaikan tugas-tugas kuliah
atau sedang mengalami masalah dengan keluarga atau temannya.
Riwayat penggunaan obat secara intravena disangkal. Riwayat
seks bebas disangkal.

2007 : Pasien menikah dan melakukan rehabilitasi kembali di Panti


Rehabilitasi Pandawa di Pantai Indah Kapuk. Pasien
mendapatkan terapi substitusi selama 8 bulan. Setelah pasien
pulang pasien rutin kontrol setiap minggu dengan obat pulang
Buprenorphin (Subutec) dengan dosis awal 24 mg per hari.
Setelah pasien kontrol, pasien beberapa kali tidak mengonsumsi
Buphrenorphine dan mengalami craving. Saat pasien mengalami
craving dan gejala putus obat, pasien beberapa kali sempat
kembali mencari dealer yang menawarkan putau dan digunakan
secara Chasing The Dragon. Sampai saat ini pasien merokok
sebanyak 20 batang per harinya. Riwayat penggunaan alkohol,
sabu, kokain, seks bebas dan obat intravena disangkal. Selama
pengobatan pasien mengalami Tappering Off hingga dosis
Suboxone yang digunakaan sampai saat ini adalah 8 mg.

2011: Tahun terakhir pasien menggunakan Putau setelah pasien


menjalani terapi substitusi. Gejala craving masih dirasakan tetapi
semakin dapat dikendalikan oleh pasien. Gejala putus obat
dirasakan minimal.

2016 : Panti Rehabilitasi pasien tidak beroperasi dan pasien mencari


pengobatan di RSKO Jakarta. Selama di RSKO pasien
mendapatkan terapi lanjutan berupa Suboxone dengan dosis 8 mg
dan kontrol setiap minggu. Pasien mengatakan ingin mencoba
menurunkan dosis penggunaan Suboxone yang dikonsumsi dan
pasien berharap pada akhirnya dapat lepas dari penggunaan
Suboxone tersebut.

5
1. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Dalam batas normal.
2. Riwayat Masa Kanak Awal
Tidak ada gangguan tumbuh kembang.
3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan
Tidak ada gangguan prilaku dan tumbuh kembang. Pasien dapat
menyelesaikan sekolah tepat waktu.
4. Riwayat Masa Remaja
Pasien aktif dan mudah bergaul sehingga pasien banyak bergaul
dengan teman di dalam dan di luar sekolah. Tidak memiliki riwayat
gangguan prilaku di sekolah.
5. Riwayat Masa Dewasa
a. Riwayat Pendidikan
 SD 6 tahun tamat
 SMP 3 tahun tamat
 SMA 3 tahun tamat
 S1 Bisnis Tidak Selesai
 D3 Bisnis 3 tahun
b. Riwayat Pekerjaan
 1999-2002: Pelayan di restoran bisnis keluarga
 2008-2016: sebagai manajer bisnis kue dan makanan di Pantai
Indah Kapuk. Bisnis milik keluarga.

c. Riwayat Perkawinan / Berpacaran dan Kehidupan Sosial


 Pasien menikah sebanyak 1 kali. Kehidupan rumah tangga
dengan istri akur. Pasien memiliki 2 orang anak laki-laki (usia
9 tahun dan 6 tahun.)
d. Kehidupan Beragama
 Pasien beragama Kristen Protestan, pasien rajin menjalani
ibadah setiap minggu. Komunitas keagamaan pasien
memberikan dukungan kepada pasien.

B. Riwayat Keluarga

6
=Pasien

= Laki- laki

=Perempuan

C. Situasi Kehidupan Sosial Sekarang


Pasien tinggal bersama istri dan kedua anak pasien. Istri pasien
mengetahui riwayat penggunaan NAPZA dan ketergantungan yang dialami
pasien dan memberikan dukungan untuk pasien menjalani rehabilitasi. Anak-
anak pasien berusia 6 dan 9 tahun dan tidak mengetahui ayah mereka
memiliki riwayat penggunaan NAPZA.
Hubungan dengan ayah, ibu dan adik pasien baik. Keluarga pasien
memberikan dukungan penuh bagi pasien untuk menjalani rehabilitasi.
Riwayat anggota keluarga lainnya yang mengalami ketergantungan obat atau
gangguan psikiatri disangkal.
Pasien memiliki banyak teman dan lingkup pergaulan luas. Pergaulan
pasien yang mengarah kepada penggunaan putau sudah ditinggalkan, pasien
sudah tidak pernah berhubungan kembali dengan pengedar putau.

III. STATUS MENTAL


A. DESKRIPSI UMUM
1. Penampilan
Laki-laki, berusia 37 tahun, berpenampilan sesuai usia, berpakaian
rapi, kebersihan dan perawatan diri baik.
2. Perilaku dan aktivitas psikomotor
Tampak tenang saat diwawancara dan melakukan kontak mata
dengan pemeriksa.
3. Sikap terhadap pemeriksa
Bersikap kooperatif, merespon dan menjawab pertanyaan
pemeriksa.

B. PEMBICARAAN

7
Pasien berbicara lancar dengan kecepatan bicara yang normal, volume
normal, artikulasi jelas. Kuantitas bicara cukup banyak, bisa menjawab
pertanyaan dengan beberapa kalimat dan sesuai dengan pertanyaan.

C. MOOD DAN AFEK


1. Afek : Luas
2. Mood : Euthym
3. Keserasian : Serasi

D. GANGGUAN PERSEPSI
1. Ilusi : Tidak ada
2. Halusinasi : Tidak ada
3. Depersonalisasi : Tidak ada
4. Derealisasi : Tidak ada

E. PIKIRAN
1. Proses pikir/bentuk pikiran :
i. Produktivitas : Baik
ii. Kontinuitas : Tidak terganggu. Pasien mampu
menjawab pertanyaan dengan koheren.
iii. Daya berbahasa : Tidak ada gangguan
2. Isi pikiran
i. Preokupasi pikiran : Tidak ada
ii. Waham : Tidak ada
iii. Ide bunuh diri : Tidak ada
iv. Ide membunuh : Tidak ada
v. Fobia : Tidak ada

F. SENSORIUM DAN KOGNISI


1. Kesiagaan dan taraf kesadaran : Compos mentis
2. Orientasi:
Orientasi waktu, tempat, dan orang baik. Pasien mengetahui
bahwa pasien sedang berada di rumah sakit, dapat menyebutkan
tanggal, hari, bulan, dan tahun dengan tepat. Pasien mengenali
yang memeriksa pasien adalah dokter muda dan mengetahui saat
diperiksa oleh dokter muda.
3. Ingatan:
i. Segera : Tidak terganggu
ii. Jangka pendek : Tidak terganggu
iii. Jangka panjang : Tidak terganggu
4. Konsentrasi dan perhatian : Tidak terganggu
5. Kemampuan membaca dan menulis : Tidak terganggu
6. Kemampuan visuospasial : Tidak terganggu
7. Pikiran abstrak : Tidak terganggu
8. Inteligensi dan daya informasi : Tidak terganggu

G. PENGENDALIAN IMPULS
8
Terkendali, pasien tidak melakukan tindakan yang membahayakan diri
sendiri maupun orang lain.
H. DAYA NILAI DAN TILIKAN
1. Daya nilai :
i. Daya nilai sosial : tidak terganggu
ii. Uji daya nilai : tidak terganggu
iii. Reality Test Ability : tidak terganggu
2. Tilikan : Derajat 6, pasien menyadari bahwa yang dilakukan
pasien berakibat buruk sehingga pasien memutuskan untuk
berobat.

I. TARAF DAPAT DIPERCAYA


Secara keseluruhan, pembicaraan pasien dapat dipercaya.

IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT


A. STATUS INTERNUS
Keadaan umum : Baik, tampak tenang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Laju nadi : 80 kali per menit
Laju napas : 18 kali per menit
Suhu : 36.7C
IMT : Normal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat
isokor 3mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tidak
langsung +/+
Hidung : Deviasi septum (-), sekret -/-
Mulut : Mukosa oral basah
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Pulmo : Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis maupun
dinamis
Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan
kiri, fremitus taktil simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing (-)
Cor : Inspeksi : Iktus kordis terlihat di ICS IV
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV linea
midklavikularis sinistra
Perkusi :
Batas atas : ICS III linea midklavikularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternal dextra
Batas kiri : ICS IV linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, gallop (-), murmur (-)
9
Abdomen : Inspeksi : Tampak datar
Palpasi : Supel, nyeri tekan abdomen (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen
Auskultasi : Bising usus 4 – 5x/menit
Kulit : Turgor kulit baik, pucat (-)
Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat, edema -/-/-/-, tremor
-/-/-/-
Motorik : Normotonus, koordinasi baik
Refleks : Refleks fisiologis ++/++/++/++, refleks patologis (-)

B. STATUS NEUROLOGIS
GCS : E4M6V5
Pemeriksaan Saraf Kranial (I-XII):
 Saraf kranial I : dalam batas normal
 Saraf kranial II : dalam batas normal
 Saraf kranial III, IV, VI : dalam batas normal
 Saraf kranial V : dalam batas normal
 Saraf kranial VII : dalam batas normal
 Saraf kranial VIII : dalam batas normal
 Saraf kranial IX-X : dalam batas normal
 Saraf kranial XI : dalam batas normal
 Saraf kranial XII : dalam batas normal
Tanda rangsang meningeal : Tidak ditemukan
Motorik:
 Koordinasi : Baik
 Tonus : Normotonus
 Refleks biceps : ++/++
 Refleks triceps : ++/++
 Refleks patella : ++/++
 Refleks achilles : ++/++
 Refleks patologis : (-)
Sensibilitas : dalam batas normal
Sistem saraf vegetatif : dalam batas normal
Fungsi luhur : dalam batas normal
Gangguan khusus : tidak ditemukan

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


A. ANAMNESIS
 Pasien datang tanpa keluhan dengan tujuan kontrol terapi
substitusi rumatan (Suboxone) yang sekarang ia minum sebesar 8
mg per hari.
10
 Pasien memiliki riwayat menggunakan putau sebanyak lebih dari
3 kali selama 1 minggu pada 19 tahun SMRS.
 Sejak 19 tahun SMRS hingga 5 tahun SMRS, pasien terhitung
telah putus menggunakan dan kembali menggunakan putau
sebanyak 6 kali
 Pasien telah melakukan rehabilitasi sebanyak 4 kali, yang terakhir
pada tahun 2007, dan setelah itu rutin kontrol.
 Pada awalnya pasien diberi obat pulang Buprenorphin (Subutec)
dengan dosis awal 24 mg per hari, riwayat intravena disangkal.
Selama pengobatan pasien mengalami tappering off hingga kini
menggunakan Suboxone dengan dosis 1x8 mg per hari.

B. PEMERIKSAAN FISIK
Tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik dan neurologis.
C. STATUS MENTAL
Baik

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
tidak ada

VI. FORMULASI DIAGNOSTIK


Dapat disimpulkan bahwa tidak adanya gangguan jiwa pada pasien sesuai
dengan definisi gangguan jiwa yang tercantum dalam PPDGJ III.
a. Aksis I
i. F00 – F09. Tidak ada gangguan mental yang disebabkan oleh
gangguan fungsi organik. Hasil pemeriksaan internus dan
neurologis dalam batas normal. Maka dapat disimpulkan
bahwa gangguan mental organik pada pasien dapat
disingkirkan.
ii. F10 – F19. Pasien adalah seorang regular smoker, merokok
kurang lebih 20 batang setiap hari. Pasien pernah
mengonsumsi putau pada tahun 1997 - 2011, dengan riwayat
masuk 3 kali rehabilitasi dan putus pakai putau sebanyak 6
kali. Pasien sudah berhenti sejak tahun 2011 hingga sekarang,
berobat rutin dengan diberikan Suboxone 8 mg setiap hari.
Meminum alkohol saat ini hanya untuk pergaulan bisnis.
Penggunaan saat ini zat psikoaktif lainnya disangkal. Dapat
disimpulkan bahwa gangguan mental dan perilaku akibat
penggunaan NAPZA dapat disingkirkan.

11
iii. F20 – F22. Pasien tidak memenuhi kriteria diagnosis
skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan delusi
persisten. Maka dapat disimpulkan bahwa gangguan mental
dan perilaku akibat skizofrenia, gangguan skizotipal dan delusi
persisten dapat disingkirkan.
iv. F23. Pasien tidak memenuhi kriteria diagnosis gangguan
psikotik akut
Diagnosis kerja : F11.23: Kini abstinen, tetapi sedang dalam
terapi dengan obat aversif atau penyekat.
b. Aksis II
Tidak ada diagnosis
c. Aksis III
Tidak ada diagnosis
d. Aksis IV
Tidak ada diagnosis
e. Aksis V
Current GAF:
 Masuk RS : 61 – 70Beberapa gejala ringan, atau sedikit
kesulitan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau sekolah, namun
secara umum berfungsi dengan baik, ada hubungan
interpersonal.
 Mutakhir : 71 – 80  Jika muncul gejala, hanya gejala
ringan dan merupakan reaksi wajar terhadap stressor
psikososial; hanya sedikit gangguan pada fungsi sosial,
pekerjaan, atau sekolah.
Highest level past year GAF: 81 – 90  Tidak ada gejala atau gejala
ringan, berfungsi dengan baik di semua bidang, tertarik dan
berpartisipasi dalam berbagai aktifitas, efektif bersosialisasi, puas
dengan kehidupannya, tidak ada masalah lain selain masalah sehari-
hari.

VII. EVALUASI MULTI AKSIAL


Aksis I : F11.23 Kini abstinen, tetapi sedang dalam terapi dengan obat
aversif atau penyekat.
Aksis II : Z 03.2 Tidak ada diagnosis
Aksis III : Z 03.2 Tidak ada diagnosis
Aksis IV : Tidak ada diagnosis
Aksis V : Current GAF :Masuk RS : 61 – 70
: Mutakhir : 71 – 80
: Highest level past year GAF : 81 – 90

12
VIII. DAFTAR MASALAH
1. Organobiologik
 Penyakit fisik (-).
2. Psikologik
 Dalam batas normal
3. Lingkungan dan sosial
 Tidak terganggu

IX. PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : bonam
2. Quo ad functionam : bonam
3. Quo ad sanationam : dubia ad bonam

X. RENCANA PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi
 Suboxone 1 x 8 mg per hari.
2. Non-farmakoterapi
a. Psikoterapi individual:
i. Memberikan motivasi kepada pasien agar dapat lebih
berfokus kepada karir dan keluarga.
ii. Memberikan anjuran kepada pasien untuk menekuni hobi
yang dapat mencegah pasien untuk kembali menggunakan
NAPZA.
iii. Memberikan keyakinan bahwa suatu hari pasien akan
dapat mengatasi gejala yang tersisa.

XI. FOLLOW UP
 Pemantauan terhadap keluhan dan keadaan fisik pasien.
 Pemantauan terhadap efek samping pengobatan.

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. PUTAU
Putau merupakan istilah di Indonesia untuk heroin, yaitu salah satu senyawa
dalam golongan opioid. Opioid sendiri merupakan salah satu golongan NAPZA
yang kuat potensi ketergantungannya. Diperkirakan bahwa sekitar 23% orang yang
menggunakan heroin akan menjadi ketergantungan.1 Selain heroin, yang termasuk
golongan opioid adalah morfin, petidin, metadon, dan kodein, di mana heroin
merupakan opioid yang paling sering disalahgunakan. Sebutan lain untuk heroin
adalah ‘putau’, ‘pete’, ‘hero’, ‘petewe’.2
Heroin merupakan opioid semi-sintetik yang berasal dari morfin yaitu
substansi alami yang berasal dari tumbuhan opium poppy. Heroin berbentuk kristal
putih yang larut dalam air, kadang juga dapat berbentuk bubuk kristal coklat atau
bahan hitam lengket (‘black tar heroin’).(1) Putau yang beredar ilegal di Indonesia
biasanya merupakan heroin dengan bahan campuran sehingga warnanya tidak lagi
putih (tercampur kontaminan, disebut juga ‘street heroin’). Kontaminan ini
menambah bahaya pada pengguna karena beberapa kontaminan dapat menyumbat
pembuluh darah sehingga merusak organ-organ vital yang disuplai pembuluh darah
tersebut.1
Di Indonesia terdapat tiga bentuk penggunaan heroin, yaitu:2
 ‘Dragon’ (atau dregi, ngedreg) di mana uap heroin yang dipanaskan
melalui aluminium foil dihirup dengan bibir menggunakan bong pipa dari
uang kertas atau plastik
 Injeksi (atau cucauw, kipek) dengan menggunakan suntikan (disebut insul)
secara intravena atau intramuskular
 Merokok, di mana bubuk heroin dicampurkan dengan rokok atau
tembakau
Semua cara penggunaan tersebut sangat cepat membawa substansi heroin ke
otak, yang menyebabkan tingginya risiko masalah kesehatan dan risiko adiksinya,
di mana terdapat perubahan pada otak yang dikarakteristikan oleh craving yang
tidak dapat dikontrol, sehingga orang dapat berusaha mencari heroin tanpa peduli
konsekuensinya.1

14
Saat heroin memasuki otak, heroin dikonversi kembali ke bentuk morfin.
Morfin akan berikatan dengan reseptor opioid yang terdapat di otak dan di bagian
lain tubuh, termasuk pada batang otak, di mana reseptor-reseptor ini terlibat dalam
persepsi nyeri dan reward, serta di batang otak dapat mempengaruhi proses-proses
otonom (tekanan darah, kesadaran, respirasi). Secara spesifik, reseptor opioid 
regulasi dan mediasi analgesia, depresi napas, konstipasi, dan ketergantungan obat;
reseptor opioid  mempengaruhi analgesia, diuresis, dan sedasi; reseptor opioid 
diduga mempengaruhi analgesia. Opioid juga memiliki efeksignifikan terhadap
sistem neurotransmiter dopaminergik dan noradrenergik. Diduga bahwa sifat opioid
yang menimbulkan rewarding yang adiktif dimediasi oleh aktivasi area ventral
tegmental neuron dopaminergik yang diproyeksi ke korteks dan sistem limbik.3
Heroin merupakan pilihan obat yang populer disalahgunakan akibat
awitannya yang cepat (lebih cepat daripada morfin), efek euforia yang kuat, adanya
rush dengan penggunaan ‘dragon’ dan intravena.2 Rush merupakan sensasi
mendadak euforia, timbul setelah injeksi intravena heroin, yang kemudian diikuti
oleh mulut kering, flushing pada kulit, ekstremitas terasa berat, serta kesadaran
berkabut. Setelah fase tersebut berakhir pengguna akan mengalami fase di mana
terjadi kondisi sadar dan mengantuk bergantian. Penggunaan heroin melalui rute
selain intravena mungkin tidak menimbulkan efek rush, tetapi efek-efek lainnya
sama.1 Kriteria DSM-IV untuk intoksikasi heroin:
 Penggunaan opioid yang terjadi dalam waktu dekat
 Perubahan perilaku atau psikologis yang bermakna secara klinis
 Konstriksi pupil dan salah satu dari gejala berikut yang muncul saat, atau
segera setelah penggunaan opioid:
o Kesadaran berkabut atau koma
o Gangguan bicara (slurred speech)
o Gangguan atensi atau memori
o Depresi napas
 Gejala-gejala tersebut bukan akibat gangguan mental lain
Penggunaan heroin secara kronik dapat mengakibatkan ketergantungan dan
toleransi, di mana tubuh telah beradaptasi terhadap obat sehingga apabila heroin
dihentikan atau dikurangi mendadak pengguna mengalami gejala withdrawal.
Secara umum, senyawa dengan durasi kerja yang pendek biasanya menimbulkan
sindrom withdrawal yang singkat dan intens, sedangkan senyawa dengan durasi
kerja panjang menghasilkan sindrom withdrawal berkepanjangan tetapi tidak begitu

15
intens. Gejala withdrawal heroin dapat muncul mulai 6-8 jam sejak penggunaan
obat terakhir, biasanya setelah 1-2 minggu penggunaan heroin secara kontinu atau
setelah administrasi antagonis narkotik, berupa gelisah, nyeri otot dan tulang,
kesulitan tidur, diare berat, kram perut, rhinorrhea, lakrimasi, muntah, rasa dingin
diikuti piloereksi (‘cold turkey’), gerakan menendang (‘kicking the habit’),
menguap, demam, dilatasi pupil, hipertensi, takikardia, disregulasi temperatur, serta
craving yang berat.1,3 Gejala-gejala lain yang terasosiasi withdrawal opioid antara
lain iritabilitas, depresi, tremor, dan kelemahan otot. Sindrom withdrawal ini
mencapai intensitas puncak pada hari kedua dan ketiga, kemudian perlahan
berkurang selama 7-10 hari berikutnya. Beberapa gejala withdrawal, misalnya
insomnia, bradikardia, disregulasi temperatur, dan craving dapat bertahan hingga
enam bulan setelah penggunaan terakhir. Jarang terdapat pengguna yang mengalami
kematian akibat withdrawal opioid, kecuali pengguna tersebut memiliki penyakit
lain seperti penyakit jantung. Pada saat terjadi sindrom withdrawal, satu injeksi
morfin atau heroin dapat menghilangkan semua gejala tersebut.3 Kriteria DSM-IV
untuk withdrawal opioid:
 Salah satu dari:
o Penghentian penggunaan opioid yang berat dan berkepanjangan
o Administrasi antagonis opioid setelah periode penggunaan opioid
 Tiga atau lebih gejala berikut yang muncul dalam beberapa menit hingga
beberapa hari setelah penggunaan opioid terakhir (biasa setelah 12 jam)
o Piloereksi
o Nyeri otot, menggigil
o Lakrimasi, rhinorrhea
o Berkeringat
o Diare
o Menguap
o Midriasis
o Facial flushing
o Hipertensi dan takikardia
 Gejala-gejala tersebut menimbulkan distress atau gangguan yang
bermakna secara klinis dalam aspek sosial, pekerjaan, atau aspek fungsi
lain
 Gejala tersebut tidak diakibatkan gangguan kejiwaan lain
Sekitar 90% pengguna opioid yang mengalami ketergantungan memiliki
kelainan psikiatrik lain, yang paling sering adalah depresi, penggunaan alkohol,
kelainan kepribadian antisosial, dan gangguan panik. Sekitar 15% pengguna opioid
yang ketergantungan telah melakukan setidaknya satu kali percobaan bunuh diri.
16
Tingginya prevalensi komorbiditas dan diagnosis psikiatrik lain menandai perlunya
program tatalaksana penggunaan heroin yang juga memperhatikan kelainan
psikiatrik lain dari pasien.3
Komplikasi dari penggunaan heroin antara lain:2
 Masalah fisik:
o Abses pada kulit hingga septikemia
o Infeksi akbiat emboli, dapat juga mengakibatkan stroke
o Endokarditis
o Hepatitis B dan C
o HIV/AIDS
o Trauma pada jaringan saraf lokal akibat injeksi
o Opiate neonatal abstinence syndrome
 Masalah psikiatri;
o Gejala withdrawal menyebabkan perilaku agresif
o Bunuh diri
o Depresi berat hingga skizofrenia
 Masalah sosial:
o Gangguan interaksi di rumah tangga sampai lingkungan masyarakat
o Kecelakaan lalu lintas
o Perilaku kriminal sampai tindak kekerasan
o Gangguan perilaku sampai antisosial (mencuri, mengancam,
menodong, berbohong, menipu, membunuh)
 Kematian, yang diakibatkan oleh:
o Reaksi heroin akut menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan
akhirnya meninggal
o Overdose yang mengakibatkan penekanan susunan saraf pusat,
depresi pernapasan, dan akhirnya kematian
o Tindak kekerasan
o Bronkopneumonia
o Endokarditis

II. Suboxone®
Nama generik : buprenorphine hydrochloride; naloxone hydrochloride
Sediaan : 8 mg/2 mg buprenorphine/naloxone tab sublingual
Indikasi : terapi maintenance ketergantungan opioid.
Kombinasi buprenorphine–naloxone dibuat untuk menurunkan
penyalahgunaan buprenorphine dengan cara menurunkan potensi penggunaan via
injeksi. Bioavailabilitas buprenorphine sublingual antara 30-55%, sedangkan
naloxone <10%, sehingga penggunaan sublingual hanya akan memberikan efek
dari buprenorphine. Pemberian bersamaan ini tidak menurunkan bioavailibilitas

17
dari buprenorphine. Tetapi jika suboxone digunakan secara injeksi, efek yang akan
bekerja adalah efek dari naloxone, sehingga dapat muncul gejala putus obat pada
pengguna opioid aktif.4,5

Gambar 2.1. Suboxone®

A. Buprenorphine4,5
Buprenorphine adalah derivat alkaloid morfin (thebaine), dan adalah
agonis parsial dari opioid, yang bekerja di reseptor µ opioid. Zat ini berfungsi
sebagai analgetik.
Efek withdrawal dari penggunaan buprenorphine lebih rendah
dibandingkan heroin, morfin, dan methadon.
Secara bioavailabilitas, penyerapan buprenorphine melalui saluran cerna
buruk.

Gambar 2.2. Bioavailabilitas buprenorphine.

1. Farmakodinamik
Konsentrasi puncak plasma didapatkan dalam 1-2 jam setelah
penggunaan sublingual. Dimetabolisme oleh hati melalui konjugasi
dengan glucuronic acid and N-dealkylation, yang dimediasi oleh
cytochrome P450 3A4 isozyme. Metabolit diekskresi melalui sistem
bilier, sebagian besar dibuang ke feses, dan sebagian kecil melalui urin.4,5
18
2. Onset dan durasi :
 Onset efek: 30 – 60 menit
 Puncak efek klinis: 1- 4 jam
 Durasi efek: 8 – 12 jam (dosis rendah (2mg))
24 – 72 jam (dosis tinggi (>16mg))

3. Efek samping :
 Konstipasi
 Gangguan tidur
 Drowsiness
 Keringat
 Sakit kepala
 Mual muntah
 Penurunan libido
4. Interaksi obat :
 Sedatif : dapat menyebabkan overdosis (fatal).
 Opioid agonis : dapat mengganggu kerja agonis opioid, dosis
awal dapat menyebabkan efek putus obat pada orang yang
sedang menggunakan opioid.
 Opioid antagonis : dapat digunakan untuk membalikan sebagian
efek dari overdosis buprenorphine.
 Hepatic enzyme inducers dan inhibitors : dapat meningkatkan
konsentrasi buprenorphine dalam darah (inhibitor), dapat
menurunkan konsentrasi buprenorphine (inducer)

B. Naloxone
Naloxone adalah antagonis opioid total, yang bekerja pada reseptor µ
opioid dan berfungsi untuk membalikkan efek dari opioid. Naloxone tidak
menyebabkan depresi napas atau pun konstriksi pupil. Efek muncul dalam 2
menit pada pemberian intravena, sedikit lebih lambat pada pemberian
intramuskular atau subkutan. Dimetabolisme oleh hepar dan akan mengalami
glucoronidasi untuk membentuk naloxone-3-glucuronide. Diekskresikan
melalui urin.4-6

19
Gambar 2.3. Perbedaan Suboxone® sublingual, intravena, dan Subutex®.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Heroin [Internet]. National Institute on Drug Abuse. [dikutip 27 Oktober 2016].


Tersedia pada:https://www.drugabuse.gov/publications/drugfacts/heroin
2. Al Bachri Husin, Kristiana Siste. Gangguan Penggunaan Zat. In: Buku Ajar
Psikiatri. 2 ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
3. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook of Clinical
Psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins; 2008. 756 hal.
4. U.S. Department Of Health And Human Services [Internet]. Clinical guidelines
for the use of buprenorphine in the treatment of opioid addiction. Rockville.
2004. [dikutip 27 Oktober 2016]. Tersedia pada:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK64245/pdf/Bookshelf_NBK64245.pd
f.
5. National clinical guidelines and procedures for the use of buprenorphine.
[dikutip 27 Oktober 2016]. Tersedia pada:
http://www.nationaldrugstrategy.gov.au/internet/drugstrategy/publishing.nsf/co
ntent/9011C92D2F6E1FC5CA2575B4001353B6/$File/bupren1.pdf
6. Naloxone. Drug Bank. 2005. [dikutip 27 Oktober 2016]. Tersedia pada:
https://www.drugbank.ca/drugs/DB01183.

21

Anda mungkin juga menyukai