Case Putau Tn. IG
Case Putau Tn. IG
Disusun Oleh:
Jessica Jasmine Gondo 2014-061-099
Kevin Jonathan Djuanda 2014-061-101
Jean Valeria 2014-061-103
Agatha Kristanti 2014-061-106
Fidelis Jacklyn Adella 2014-061-108
Paulus Stephen Sembiring 2014-061-110
Florencia Putri Sjaaf 2015-061-074
Darvin Febrian 2015-061-076
Christianti 2015-061-078
Arviana Laurensia 2015-061-080
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. IG
Usia : 37 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 28 Juli 1979
Suku Bangsa : Tionghoa
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan Terakhir : Diploma Business and Marketing
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara
b. KELUHAN TAMBAHAN
Tidak ada
No Jenis zat Sejak Cara Frekuensi Pemakaian Alasan Alasan Biasa Alasan
dan Jumlah terakhir Pemakaian Memakai Berhenti
Pertama Memakai
1
keluarga.
3. Metadon /
Burprenorfin
- Subutex 2007 Oral 24 mg/hari, 2016 Terapi Terapi Mengganti ke
lalu 8 mg/hari Suboxone.
8 mg/hari -
- Suboxone 2016 Oral Sampai Terapi Terapi
sekarang
4. Barbiturat - - - - - - -
5. Kanabis - - - - - - -
6. Sedatif / - - - - - - -
Hipnotik
7. Kokain 1999 Nasal Tidak tentu 2006 Pergaulan Untuk Tahu bahwa
menghadapi tidak baik.
masalah.
8. Amfetamin 1999 Rokok Tidak tentu 2006 Pergaulan Untuk Tahu bahwa
(Sabu) menghadapi tidak baik.
masalah.
9. Halusinogen - - - - - - -
10. Inhalan - - - - - - -
12. Lainnya - - - - - - -
1995 : Pasien mengkonsumsi rokok pada usia 15 – 16 tahun karena
diajak temannya. Rokok yang dikonsumsi adalah rokok filter.
Pasien rutin merokok setiap hari, awalnya 2-3 batang/hari
hingga mampu menghabiskan 2 bungkus setiap harinya. Sampai
saat ini pasien masih mengonsumsi rokok dengan jumlah ±20
batang setiap harinya.
5
1. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Dalam batas normal.
2. Riwayat Masa Kanak Awal
Tidak ada gangguan tumbuh kembang.
3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan
Tidak ada gangguan prilaku dan tumbuh kembang. Pasien dapat
menyelesaikan sekolah tepat waktu.
4. Riwayat Masa Remaja
Pasien aktif dan mudah bergaul sehingga pasien banyak bergaul
dengan teman di dalam dan di luar sekolah. Tidak memiliki riwayat
gangguan prilaku di sekolah.
5. Riwayat Masa Dewasa
a. Riwayat Pendidikan
SD 6 tahun tamat
SMP 3 tahun tamat
SMA 3 tahun tamat
S1 Bisnis Tidak Selesai
D3 Bisnis 3 tahun
b. Riwayat Pekerjaan
1999-2002: Pelayan di restoran bisnis keluarga
2008-2016: sebagai manajer bisnis kue dan makanan di Pantai
Indah Kapuk. Bisnis milik keluarga.
B. Riwayat Keluarga
6
=Pasien
= Laki- laki
=Perempuan
B. PEMBICARAAN
7
Pasien berbicara lancar dengan kecepatan bicara yang normal, volume
normal, artikulasi jelas. Kuantitas bicara cukup banyak, bisa menjawab
pertanyaan dengan beberapa kalimat dan sesuai dengan pertanyaan.
D. GANGGUAN PERSEPSI
1. Ilusi : Tidak ada
2. Halusinasi : Tidak ada
3. Depersonalisasi : Tidak ada
4. Derealisasi : Tidak ada
E. PIKIRAN
1. Proses pikir/bentuk pikiran :
i. Produktivitas : Baik
ii. Kontinuitas : Tidak terganggu. Pasien mampu
menjawab pertanyaan dengan koheren.
iii. Daya berbahasa : Tidak ada gangguan
2. Isi pikiran
i. Preokupasi pikiran : Tidak ada
ii. Waham : Tidak ada
iii. Ide bunuh diri : Tidak ada
iv. Ide membunuh : Tidak ada
v. Fobia : Tidak ada
G. PENGENDALIAN IMPULS
8
Terkendali, pasien tidak melakukan tindakan yang membahayakan diri
sendiri maupun orang lain.
H. DAYA NILAI DAN TILIKAN
1. Daya nilai :
i. Daya nilai sosial : tidak terganggu
ii. Uji daya nilai : tidak terganggu
iii. Reality Test Ability : tidak terganggu
2. Tilikan : Derajat 6, pasien menyadari bahwa yang dilakukan
pasien berakibat buruk sehingga pasien memutuskan untuk
berobat.
B. STATUS NEUROLOGIS
GCS : E4M6V5
Pemeriksaan Saraf Kranial (I-XII):
Saraf kranial I : dalam batas normal
Saraf kranial II : dalam batas normal
Saraf kranial III, IV, VI : dalam batas normal
Saraf kranial V : dalam batas normal
Saraf kranial VII : dalam batas normal
Saraf kranial VIII : dalam batas normal
Saraf kranial IX-X : dalam batas normal
Saraf kranial XI : dalam batas normal
Saraf kranial XII : dalam batas normal
Tanda rangsang meningeal : Tidak ditemukan
Motorik:
Koordinasi : Baik
Tonus : Normotonus
Refleks biceps : ++/++
Refleks triceps : ++/++
Refleks patella : ++/++
Refleks achilles : ++/++
Refleks patologis : (-)
Sensibilitas : dalam batas normal
Sistem saraf vegetatif : dalam batas normal
Fungsi luhur : dalam batas normal
Gangguan khusus : tidak ditemukan
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada
B. PEMERIKSAAN FISIK
Tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik dan neurologis.
C. STATUS MENTAL
Baik
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
tidak ada
11
iii. F20 – F22. Pasien tidak memenuhi kriteria diagnosis
skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan delusi
persisten. Maka dapat disimpulkan bahwa gangguan mental
dan perilaku akibat skizofrenia, gangguan skizotipal dan delusi
persisten dapat disingkirkan.
iv. F23. Pasien tidak memenuhi kriteria diagnosis gangguan
psikotik akut
Diagnosis kerja : F11.23: Kini abstinen, tetapi sedang dalam
terapi dengan obat aversif atau penyekat.
b. Aksis II
Tidak ada diagnosis
c. Aksis III
Tidak ada diagnosis
d. Aksis IV
Tidak ada diagnosis
e. Aksis V
Current GAF:
Masuk RS : 61 – 70Beberapa gejala ringan, atau sedikit
kesulitan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau sekolah, namun
secara umum berfungsi dengan baik, ada hubungan
interpersonal.
Mutakhir : 71 – 80 Jika muncul gejala, hanya gejala
ringan dan merupakan reaksi wajar terhadap stressor
psikososial; hanya sedikit gangguan pada fungsi sosial,
pekerjaan, atau sekolah.
Highest level past year GAF: 81 – 90 Tidak ada gejala atau gejala
ringan, berfungsi dengan baik di semua bidang, tertarik dan
berpartisipasi dalam berbagai aktifitas, efektif bersosialisasi, puas
dengan kehidupannya, tidak ada masalah lain selain masalah sehari-
hari.
12
VIII. DAFTAR MASALAH
1. Organobiologik
Penyakit fisik (-).
2. Psikologik
Dalam batas normal
3. Lingkungan dan sosial
Tidak terganggu
IX. PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : bonam
2. Quo ad functionam : bonam
3. Quo ad sanationam : dubia ad bonam
X. RENCANA PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi
Suboxone 1 x 8 mg per hari.
2. Non-farmakoterapi
a. Psikoterapi individual:
i. Memberikan motivasi kepada pasien agar dapat lebih
berfokus kepada karir dan keluarga.
ii. Memberikan anjuran kepada pasien untuk menekuni hobi
yang dapat mencegah pasien untuk kembali menggunakan
NAPZA.
iii. Memberikan keyakinan bahwa suatu hari pasien akan
dapat mengatasi gejala yang tersisa.
XI. FOLLOW UP
Pemantauan terhadap keluhan dan keadaan fisik pasien.
Pemantauan terhadap efek samping pengobatan.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. PUTAU
Putau merupakan istilah di Indonesia untuk heroin, yaitu salah satu senyawa
dalam golongan opioid. Opioid sendiri merupakan salah satu golongan NAPZA
yang kuat potensi ketergantungannya. Diperkirakan bahwa sekitar 23% orang yang
menggunakan heroin akan menjadi ketergantungan.1 Selain heroin, yang termasuk
golongan opioid adalah morfin, petidin, metadon, dan kodein, di mana heroin
merupakan opioid yang paling sering disalahgunakan. Sebutan lain untuk heroin
adalah ‘putau’, ‘pete’, ‘hero’, ‘petewe’.2
Heroin merupakan opioid semi-sintetik yang berasal dari morfin yaitu
substansi alami yang berasal dari tumbuhan opium poppy. Heroin berbentuk kristal
putih yang larut dalam air, kadang juga dapat berbentuk bubuk kristal coklat atau
bahan hitam lengket (‘black tar heroin’).(1) Putau yang beredar ilegal di Indonesia
biasanya merupakan heroin dengan bahan campuran sehingga warnanya tidak lagi
putih (tercampur kontaminan, disebut juga ‘street heroin’). Kontaminan ini
menambah bahaya pada pengguna karena beberapa kontaminan dapat menyumbat
pembuluh darah sehingga merusak organ-organ vital yang disuplai pembuluh darah
tersebut.1
Di Indonesia terdapat tiga bentuk penggunaan heroin, yaitu:2
‘Dragon’ (atau dregi, ngedreg) di mana uap heroin yang dipanaskan
melalui aluminium foil dihirup dengan bibir menggunakan bong pipa dari
uang kertas atau plastik
Injeksi (atau cucauw, kipek) dengan menggunakan suntikan (disebut insul)
secara intravena atau intramuskular
Merokok, di mana bubuk heroin dicampurkan dengan rokok atau
tembakau
Semua cara penggunaan tersebut sangat cepat membawa substansi heroin ke
otak, yang menyebabkan tingginya risiko masalah kesehatan dan risiko adiksinya,
di mana terdapat perubahan pada otak yang dikarakteristikan oleh craving yang
tidak dapat dikontrol, sehingga orang dapat berusaha mencari heroin tanpa peduli
konsekuensinya.1
14
Saat heroin memasuki otak, heroin dikonversi kembali ke bentuk morfin.
Morfin akan berikatan dengan reseptor opioid yang terdapat di otak dan di bagian
lain tubuh, termasuk pada batang otak, di mana reseptor-reseptor ini terlibat dalam
persepsi nyeri dan reward, serta di batang otak dapat mempengaruhi proses-proses
otonom (tekanan darah, kesadaran, respirasi). Secara spesifik, reseptor opioid
regulasi dan mediasi analgesia, depresi napas, konstipasi, dan ketergantungan obat;
reseptor opioid mempengaruhi analgesia, diuresis, dan sedasi; reseptor opioid
diduga mempengaruhi analgesia. Opioid juga memiliki efeksignifikan terhadap
sistem neurotransmiter dopaminergik dan noradrenergik. Diduga bahwa sifat opioid
yang menimbulkan rewarding yang adiktif dimediasi oleh aktivasi area ventral
tegmental neuron dopaminergik yang diproyeksi ke korteks dan sistem limbik.3
Heroin merupakan pilihan obat yang populer disalahgunakan akibat
awitannya yang cepat (lebih cepat daripada morfin), efek euforia yang kuat, adanya
rush dengan penggunaan ‘dragon’ dan intravena.2 Rush merupakan sensasi
mendadak euforia, timbul setelah injeksi intravena heroin, yang kemudian diikuti
oleh mulut kering, flushing pada kulit, ekstremitas terasa berat, serta kesadaran
berkabut. Setelah fase tersebut berakhir pengguna akan mengalami fase di mana
terjadi kondisi sadar dan mengantuk bergantian. Penggunaan heroin melalui rute
selain intravena mungkin tidak menimbulkan efek rush, tetapi efek-efek lainnya
sama.1 Kriteria DSM-IV untuk intoksikasi heroin:
Penggunaan opioid yang terjadi dalam waktu dekat
Perubahan perilaku atau psikologis yang bermakna secara klinis
Konstriksi pupil dan salah satu dari gejala berikut yang muncul saat, atau
segera setelah penggunaan opioid:
o Kesadaran berkabut atau koma
o Gangguan bicara (slurred speech)
o Gangguan atensi atau memori
o Depresi napas
Gejala-gejala tersebut bukan akibat gangguan mental lain
Penggunaan heroin secara kronik dapat mengakibatkan ketergantungan dan
toleransi, di mana tubuh telah beradaptasi terhadap obat sehingga apabila heroin
dihentikan atau dikurangi mendadak pengguna mengalami gejala withdrawal.
Secara umum, senyawa dengan durasi kerja yang pendek biasanya menimbulkan
sindrom withdrawal yang singkat dan intens, sedangkan senyawa dengan durasi
kerja panjang menghasilkan sindrom withdrawal berkepanjangan tetapi tidak begitu
15
intens. Gejala withdrawal heroin dapat muncul mulai 6-8 jam sejak penggunaan
obat terakhir, biasanya setelah 1-2 minggu penggunaan heroin secara kontinu atau
setelah administrasi antagonis narkotik, berupa gelisah, nyeri otot dan tulang,
kesulitan tidur, diare berat, kram perut, rhinorrhea, lakrimasi, muntah, rasa dingin
diikuti piloereksi (‘cold turkey’), gerakan menendang (‘kicking the habit’),
menguap, demam, dilatasi pupil, hipertensi, takikardia, disregulasi temperatur, serta
craving yang berat.1,3 Gejala-gejala lain yang terasosiasi withdrawal opioid antara
lain iritabilitas, depresi, tremor, dan kelemahan otot. Sindrom withdrawal ini
mencapai intensitas puncak pada hari kedua dan ketiga, kemudian perlahan
berkurang selama 7-10 hari berikutnya. Beberapa gejala withdrawal, misalnya
insomnia, bradikardia, disregulasi temperatur, dan craving dapat bertahan hingga
enam bulan setelah penggunaan terakhir. Jarang terdapat pengguna yang mengalami
kematian akibat withdrawal opioid, kecuali pengguna tersebut memiliki penyakit
lain seperti penyakit jantung. Pada saat terjadi sindrom withdrawal, satu injeksi
morfin atau heroin dapat menghilangkan semua gejala tersebut.3 Kriteria DSM-IV
untuk withdrawal opioid:
Salah satu dari:
o Penghentian penggunaan opioid yang berat dan berkepanjangan
o Administrasi antagonis opioid setelah periode penggunaan opioid
Tiga atau lebih gejala berikut yang muncul dalam beberapa menit hingga
beberapa hari setelah penggunaan opioid terakhir (biasa setelah 12 jam)
o Piloereksi
o Nyeri otot, menggigil
o Lakrimasi, rhinorrhea
o Berkeringat
o Diare
o Menguap
o Midriasis
o Facial flushing
o Hipertensi dan takikardia
Gejala-gejala tersebut menimbulkan distress atau gangguan yang
bermakna secara klinis dalam aspek sosial, pekerjaan, atau aspek fungsi
lain
Gejala tersebut tidak diakibatkan gangguan kejiwaan lain
Sekitar 90% pengguna opioid yang mengalami ketergantungan memiliki
kelainan psikiatrik lain, yang paling sering adalah depresi, penggunaan alkohol,
kelainan kepribadian antisosial, dan gangguan panik. Sekitar 15% pengguna opioid
yang ketergantungan telah melakukan setidaknya satu kali percobaan bunuh diri.
16
Tingginya prevalensi komorbiditas dan diagnosis psikiatrik lain menandai perlunya
program tatalaksana penggunaan heroin yang juga memperhatikan kelainan
psikiatrik lain dari pasien.3
Komplikasi dari penggunaan heroin antara lain:2
Masalah fisik:
o Abses pada kulit hingga septikemia
o Infeksi akbiat emboli, dapat juga mengakibatkan stroke
o Endokarditis
o Hepatitis B dan C
o HIV/AIDS
o Trauma pada jaringan saraf lokal akibat injeksi
o Opiate neonatal abstinence syndrome
Masalah psikiatri;
o Gejala withdrawal menyebabkan perilaku agresif
o Bunuh diri
o Depresi berat hingga skizofrenia
Masalah sosial:
o Gangguan interaksi di rumah tangga sampai lingkungan masyarakat
o Kecelakaan lalu lintas
o Perilaku kriminal sampai tindak kekerasan
o Gangguan perilaku sampai antisosial (mencuri, mengancam,
menodong, berbohong, menipu, membunuh)
Kematian, yang diakibatkan oleh:
o Reaksi heroin akut menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan
akhirnya meninggal
o Overdose yang mengakibatkan penekanan susunan saraf pusat,
depresi pernapasan, dan akhirnya kematian
o Tindak kekerasan
o Bronkopneumonia
o Endokarditis
II. Suboxone®
Nama generik : buprenorphine hydrochloride; naloxone hydrochloride
Sediaan : 8 mg/2 mg buprenorphine/naloxone tab sublingual
Indikasi : terapi maintenance ketergantungan opioid.
Kombinasi buprenorphine–naloxone dibuat untuk menurunkan
penyalahgunaan buprenorphine dengan cara menurunkan potensi penggunaan via
injeksi. Bioavailabilitas buprenorphine sublingual antara 30-55%, sedangkan
naloxone <10%, sehingga penggunaan sublingual hanya akan memberikan efek
dari buprenorphine. Pemberian bersamaan ini tidak menurunkan bioavailibilitas
17
dari buprenorphine. Tetapi jika suboxone digunakan secara injeksi, efek yang akan
bekerja adalah efek dari naloxone, sehingga dapat muncul gejala putus obat pada
pengguna opioid aktif.4,5
A. Buprenorphine4,5
Buprenorphine adalah derivat alkaloid morfin (thebaine), dan adalah
agonis parsial dari opioid, yang bekerja di reseptor µ opioid. Zat ini berfungsi
sebagai analgetik.
Efek withdrawal dari penggunaan buprenorphine lebih rendah
dibandingkan heroin, morfin, dan methadon.
Secara bioavailabilitas, penyerapan buprenorphine melalui saluran cerna
buruk.
1. Farmakodinamik
Konsentrasi puncak plasma didapatkan dalam 1-2 jam setelah
penggunaan sublingual. Dimetabolisme oleh hati melalui konjugasi
dengan glucuronic acid and N-dealkylation, yang dimediasi oleh
cytochrome P450 3A4 isozyme. Metabolit diekskresi melalui sistem
bilier, sebagian besar dibuang ke feses, dan sebagian kecil melalui urin.4,5
18
2. Onset dan durasi :
Onset efek: 30 – 60 menit
Puncak efek klinis: 1- 4 jam
Durasi efek: 8 – 12 jam (dosis rendah (2mg))
24 – 72 jam (dosis tinggi (>16mg))
3. Efek samping :
Konstipasi
Gangguan tidur
Drowsiness
Keringat
Sakit kepala
Mual muntah
Penurunan libido
4. Interaksi obat :
Sedatif : dapat menyebabkan overdosis (fatal).
Opioid agonis : dapat mengganggu kerja agonis opioid, dosis
awal dapat menyebabkan efek putus obat pada orang yang
sedang menggunakan opioid.
Opioid antagonis : dapat digunakan untuk membalikan sebagian
efek dari overdosis buprenorphine.
Hepatic enzyme inducers dan inhibitors : dapat meningkatkan
konsentrasi buprenorphine dalam darah (inhibitor), dapat
menurunkan konsentrasi buprenorphine (inducer)
B. Naloxone
Naloxone adalah antagonis opioid total, yang bekerja pada reseptor µ
opioid dan berfungsi untuk membalikkan efek dari opioid. Naloxone tidak
menyebabkan depresi napas atau pun konstriksi pupil. Efek muncul dalam 2
menit pada pemberian intravena, sedikit lebih lambat pada pemberian
intramuskular atau subkutan. Dimetabolisme oleh hepar dan akan mengalami
glucoronidasi untuk membentuk naloxone-3-glucuronide. Diekskresikan
melalui urin.4-6
19
Gambar 2.3. Perbedaan Suboxone® sublingual, intravena, dan Subutex®.
20
DAFTAR PUSTAKA
21