Anda di halaman 1dari 8

HUMANIORA

Ahmad Adaby Darban, Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah


VOLUME 16 No. 1 Februari 2004 Halaman 27 - 34

ULAMA JAWA
DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Ahmad Adaby Darban*

ABSTRAK

Ulama Jawa di samping berperan sebagai pemuka agama Islam juga memiliki
fungsi sebagai informal leaders, dan juga sebagai key person dalam perjuangan
bangsa Indonesia melawan Kolonial Belanda. Fungsi itu berlaku karena sebagai
besar masyarakat adalah pemeluk Islam, dan kehidupan ulama sebagai religious
elite dekat dengan rakyat (merakyat).
Keberpihakan kaum birokrat tradisional kepada pemerintah kolonial menyebabkan
masyarakat mencari kepemimpinan baru yaitu para ulama sebagai pengayom dan pemuka
dalam perlawanan terhadap pemerintah kolonial.

Kata kunci : ulama Jawa - sejarah - key person

PENGANTAR tata cara feodal. Di samping itu, ulama juga


memiliki otoritas karismatik sebagai elite
lama atau lebih dikenal dengan kyai, religius, yang punya pengaruh besar di kala-
di Jawa sebagai pemuka agama Is- ngan rakyat serta sebagai key person masya-
la m yang dalam dirinya memiliki rakat desanya.2
otoritas kharismatik, karena ketinggian ilmu Dengan demikian, pembicaraan ulama
agamanya, kesalehannya dan kepemim- di Jawa dalam perspektif sejarah dianggap
pinannya. Biasanya ulama dijadikan Uswatun penting untuk melihat seberapa jauh peran
khasanah, atau contoh panutan yang baik dan kedudukan para ulama dalam panggung
di dalam lingkungan masyarakatnya. Oleh sejarah. Oleh karena itu, pembicaraan ini
masyarakat, ulama diberi tempat sebagai berusaha mengungkap status para ulama
penasihat, sebagai guru (ustadz), dan seba- dan peranannya dalam sejarah Indonesia,
gai konsultan kehidupan baik kehidupan tidak hanya terbatas sebagai penyebar
rohani maupun duniawi. Di samping itu, ulama agama Islam, tetapi juga dalam bidang politik
sering juga diangkat sebagai pemimpin politik dan sosial.
dan pergerakan oleh masyarakat karena
dekat dan merakyat. NILAI ULAMA
Dalam lingkungan masyarakat agraris
terdapat hubungan yang erat antara masya- Di dalam Islam, ulama itu memiliki nilai
rakat dengan para ulama. Hal ini terjadi sebagai Warosatul Anbiya’, sebagai pewaris
karena para ulama biasanya memiliki identi- para nabi. “Sesungguhnya para ulama itu
tas yang sama dengan rakyat, yaitu sebagai pewaris para nabi, para nabi tidaklah
petani.1 Dengan demikian, komunikasi de- mewariskan dinar atau dirham (harta), tetapi
ngan rakyat pedesaan menjadi akrab, tanpa para nabi mewariskan risalah (ilmu dan

* Staf Pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

27
Ahmad Adaby Darban, Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah

agama).” (H.R. Abu Dawud dari Tirmidzi). nya berubah, hanya karena pengaruh materi
Diharapkan hidupnya seperti halnya para dan ambisinya. Ulama semacam ini biasanya
nabi yang telah lalu, sebagai penyampai akan menyimpang jauh dari nilai keulamaan-
risalah, penyebar dan pemelihara ajaran nya dan biasanya akan membingungkan dan
agama Islam, memimpin umat dan berani ber merusak umat yang dipimpinnya. Oleh
amar ma’ruf nahi munkar, memperbaiki dan karena itu, nama bagi ulama yang menyim-
meluruskan yang salah. Oleh karena itu, pang dari nilai keulamaannya, disebut ulama
ulama tidak hanya sekedar mempunyai ‘usu’, atau ulama yang sudah rusak,5 dalam
sebutan Al Mukarom atau yang mulia, tetapi bahasa sekarang lebih halus disebut sebagai
juga harus berani berjuang menegakkan “mantan Ulama”.
ajaran Islam dan mengayomi umat/rakyat-
nya, meskipun risiko penjara dan nyawa ULAMA PADA AWAL PENGEMBANGAN
harus dikorbankan. Seperti halnya Nabi ISLAM DI JAWA
Muhammad saw., berani menanggung risiko
Ulama pengembang Islam di Jawa
dikucilkan, disiksa, difitnah dianggap gila, dan
dinamai para Wali. Oleh karena jumlahnya
sebagainya. Ia juga ditawari iming-iming
sembilan, dinamai wali sanga. Termasuk
wanita, harta, dan tahta, asal mau meninggal-
dalam wali sanga itu ialah Maulana Malik
kan prinsipnya menyebarkan Islam, tetapi
Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
nabi menolak demi mempertahankan kebe-
Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus,
naran agamanya. Di samping itu, nabi lebih
Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, dan Sunan
berani menjalani risiko pahit dalam perjuang- Drajat. Meskipun para sunan itu tidak hidup
annya.3 sezaman, secara berkesinambungan mereka
Begitulah nilai hakiki seorang ulama. menanamkan Islam di hati rakyat tanah Jawa
Oleh karena itu, ulama yang ideal adalah ini. Dalam menyebaran Islam mereka meng-
ulama yang masih mempertahankan dirinya gunakan pendekatan sinkretis dan juga
sebagai Warosatul Anbiya’, pewaris para akulturatif, yaitu dengan menggunakan
nabi. Dengan demikian, ulama yang sesu- lambang-lambang dan lembaga-lembaga
ngguhnya akan selalu berpihak kepada kebe- budaya yang telah ada kemudian diisi
naran berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah dengan ajaran Islam sehingga mudah dicerna
nabi, membela kaum yang lemah, kaum yang dan sampai pada masyarakat awam.6
ditindas atau dizalimi, meskipun risiko pahit Model da’wah semacam ini ialah sekaten
menimpanya. 4 Selain itu para ulama juga (Syahadatain), yang lahir di desa Glagah
dapat bekerja sama baik dengan aparatur Wangi Demak. Sekaten merupakan game-
pemerintah, maupun dengan sultan, sunan lan yang gendingnya dicipta oleh Sunan
dan sebagainya, asalkan pihak aparatur Kalijaga dengan nafas Islami, seperti Rabul-
pemerintah itu tidak bertentangan dengan ngalamina, Salatun, Solawatan dan sebagai-
ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, serta menga- nya. Gamelan Sekaten merupakan da’wah
yomi rakyatnya dengan baik. Biasanya para melalui kesenian.7
ulama diberi tempat khusus sebagai Di samping sekaten juga dipakai
penasihat raja/sultan dan berfungsi pula pada lambang ketan, kolak, apem. Makanan ini
upacara keagamaan. dibuat dan diedarkan setiap bulan Ruwah
Meskipun idealnya ulama itu sebagai (Sya’ban). Secara etimologis, ketan berasal
pewaris nabi, perlu diperhatikan bahwa ulama dari kata Khotoan yang berarti kelemahan/
itu bukan nabi. Ulama tidak memiliki sifat kesalahan, kolak dari kata qola (mengucap-
makshum, sebagaimana utusan Allah SWT. kan), dan apem dari kata afuwun (mohon
yang dijaga-Nya. Oleh karena itu, kehidupan- ampun), Dengan demikian, makna ketan,
nya juga memiliki keterbatasan, misalnya kolak, dan apem secara keseluruhan adalah
sering tergoda oleh kemilaunya materi dan bila merasa bersalah cepat-cepatlah berkata
ambisi. Dengan demikian, dapat dipahami, mohon ampun.8 Da’wah menggunakan lam-
apabila ada orang yang sudah dikenal seba- bang-lambang budaya ini masih banyak lagi
gai ulama, kemudian tindakan dalam hidup- jenisnya.

28
Ahmad Adaby Darban, Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah

Penyebaran agama Islam selanjutnya membuat keputusan mengenai keberadaan


dilakukan melalui lembaga pendidikan yang Demak, dan yang membantu untuk mem-
dikenal sebagai pondok. Pendidikan pondok bentuk perangkat pemerintahan, dan ke-
dimulai oleh Sunan Ampel di Surabaya, agamaan. Sunan Giri yang memiliki otoritas
dengan sistem satu kompleks terdiri atas Ahlul Halli wal Aqdi sebagai pucuk pimpinan
masjid, keluarga kyai, tempat pendidikan, kaum Muslimin Jawa antara lain memiliki
dan tempat tinggal santri.9 Melalui pendidikan kewenangan sebagai berikut.
pondok pesantren, penghayatan dan penga-
a. Mengesahkan dan memberi gelar sul-
malan serta pengetahuan Islam lebih men-
tan kepada kerajaan-kerajaan Islam di
dalam dan intensif. Di samping itu pondok
Jawa.
pesantren juga merupakan komunitas santri,
b. Menentukan garis besar politik pemerin-
yang mempunyai pengaruh terhadap desa
tahan.
disekitarnya.
Sistem perkawinan antara pondok satu c. Ikut bertanggung jawab terhadap ke-
dengan pondok lainnya, menciptakan hubu- amanan kaum Muslimin dan kerajaan-
ngan kekerabatan antar pondok pesantren, kerajaan Islam.
dan secara luas adanya hubungan persau- d. Mencabut kedudukan sultan bila yang
daraan antara daerah-daerah pesantren.10 bersangkutan menyimpang dari kebijak-
Dengan demikian, terjadilah hubungan yang an para Wali.12
erat antar desa-desa pesantren dengan
agama Islam, pertalian darah, keilmuan, dan Selain Demak, Sultan Hadiwijaya dari
kemasyarakatan. Hal inilah yang menguat- Pajang juga mengambil gelar sultan dari
kan akar Islam di Jawa, dan sekaligus meme- Sunan Giri.13 Selain itu, menurut catatan
lihara kepemimpinan ulama dengan segala orang Belanda, Sunan Giri juga disebut
otoritasnya. dengan nama kehormatannya, yaitu Panem-
Ulama kemudian menjadi pimpinan bahan Mas Giri.14 Cornelis Speelman, me-
komunitas santri atau masyarakat Islam nyebutkan pula gambaran ketinggian Sunan
sebelum adanya kerajaan Islam di Jawa. Giri di mata rakyatnya sebagai berikut:
Pesantren Giri dan Gunung Jati pada awal “ … omdat zij Mas Gierij ten respecte
perkembangan Islam di Jawa, merupakan van zijne priesterlijke waardigheid an
pondok pesantren yang besar dan memiliki geprotendeerd heiligheid zeer
pengaruh yang luas. Karena luasnya penga- aanhangen en in cerehouden. “15
ruh kepemimpinan dan karisma yang kuat,
dua pesantren itu menjadi panutan bagi artinya :
beberapa pesantren di sekitarnya. “ … karena Ia Mas Giri oleh para
Giri, sebuah daerah enclave Muslim di pengikutnya sangat dihormati karena
wilayah Majapahit, merupakan pesantren dilindungi oleh nilai-nilai keulamaan
yang kemudian berkembang menjadi sema- yang melekat pada dirinya.”
cam kerajaan kecil. Giri sebagai kerajaan
kecil dipimpin oleh seorang ulama bernama Bahkan Gubernur Jendral J.P. Coen
R. Paku atau Sunan Giri. Kerajaan ini hanya- menyebut Sunan Giri dengan “der Moha-
lah suatu bentuk formal komunitas muslim: mestisten Paus” atau Paus-nya orang Islam.16
belum memiliki perangkat kerajaan yang Sunan Giri sebagai ulama memiliki otoritas
komplet. Meskipun demikian, Giri memiliki politik kenegaraan, bahkan diangkat sebagai
otoritas karismatik terhadap daerah-daerah sesepuh dari kerajaan-kerajaan Jawa pada
santri lainnya sehingga mendapat hak keper- masanya. Kerajaan-kerajaan di Jawa sejak
cayaan sebagai Ahlul Halli wal Aqdi, yaitu dari Demak sampai dengan Pajang, mem-
memiliki hak untuk memutuskan dan meng- berikan penghormatan dan menjunjung tinggi
ikat masalah agama Islam, kenegaraan, dan Sunan Giri, sebagai penguasa rohani di atas-
segala urusan kaum muslimin.11 Sunan Giri nya. Oleh karena itu, sebelum era Mataram
merupakan salah seorang yang diminta untuk Islam, boleh dikatakan peranan ulama

29
Ahmad Adaby Darban, Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah

menempati posisi di atas kerajaan-kerajaan ULAMA DI KERAJAAN MATARAM


Islam. Dengan demikian, kontrol keagamaan
dan politik ulama terhadap kerajaan-kerajaan Pergeseran pusat kerajaan-kerajaan Is-
cukup dominan sehingga dapat diharapkan lam Jawa dari pesisiran ke pedalaman,
kerajaan-kerajaan itu berjalan menurut kaidah menimbulkan corak dan sifat yang berbeda.
agama. Kerajaan Islam Mataram yang di pedalaman
lebih bersifat agraris, tertutup, sehingga wajar
GELAR BAGI ULAMA DI JAWA bila iklim senkretisme dan akulturasi dengan
kejawen lebih pekat.
Dalam masyarakat Jawa dikenal sebut- Meskipun agama Islam masih diakui
an beberapa gelar yang diperuntukkan bagi sebagai agama negara, telah terjadi perge-
ulama. Pertama, gelar wali diberikan pada seran penghormatan terhadap otoritas ulama
ulama tingkat tinggi, memiliki pribadi yang Giri sejak Mataram tidak mau menghormati
berkemampuan luar biasa. 17 Sering juga Giri sebagai penguasa rohani di kerajaan
para wali dipanggil sunan (susuhunan = yang Mataram. Hal ini terlihat pada raja Mataram
disuwuni), seperti halnya para raja. Hal ini pertama Senopati yang mengambil gelar
berarti memiliki derajat seperti raja yang Panembahan yang dipakai keturunan Sunan
dapat memenuhi dan mengayomi kebutuhan Giri. Dengan demikian, gelar Panembahan
masyarakat. Mas Giri sebagai penghormatan spiritual/
Kedua, gelar panembahan diberikan rohaniah diambil langsung oleh Senopati. Hal
kepada ulama yang memiliki keunggulan ini berarti bahwa Senopati telah memuliakan
spiritual. Di samping itu, gelar ini juga diberi- dirinya sebagai pemimpin spiritual/rohaniah.
kan kepada ulama yang berusia tua atau Demikian juga halnya pada waktu
awune tuwa. Hal ini untuk menunjukkan Mataram diperintah oleh Sultan Agung
bahwa sang ulama mempunyai kekuatan Hanyakrakusuma, dengan dalih memper-
spiritual yang tinggi.18
satukan Jawa, Sultan Agung menganeksasi
Gelar ini pernah dipakai oleh keturunan
daerah timur termasuk Gresik, Giri, dan
Sunan Giri (abad ke-17) yaitu Panembahan
Surabaya. Penguasa daerah itu, termasuk
Mas Giri dan juga Panembahan Rama atau
Sunan Giri dijadikan bawahan Mataram
Kyai Kajoran, seorang ulama Mataram
sehingga tamatlah riwayat kedaulatan politik
keturunan P. Senopati. Gelar Panembahan
ulama Giri atas kerajaan-kerajaan Islam.
itu juga dipakai oleh Senopati yang punya
Walaupun demikian kedaulatannya sebagai
kekuatan spiritual, atau saudara raja yang
pemimpin agama masih dihormati.
telah tua. Arti dari panembahan ialah yang
Pada masa pemerintahannya, Sultan
disembah atau dihormati, karena prestasi
Agung Hanyakrakusuma, melengkapi gelar-
spiritualnya.
Ketiga, gelar kyai, seperti telah disebut nya dengan gelar spiritual-keagamaan, yaitu
di muka, gelar ini adalah gelar sebagai Ngabdurahman Sayidin Panatagama
kehormatan bagi para ulama pada umumnya. Khalifatullah ing Tanah Jawa, yang artinya
Di samping itu, gelar kyai digunakan untuk Hamba Yang Maha Pengasih, Tuan yang
seorang ulama desa yang mempunyai mengatur agama, wakil Tuhan di Tanah Jawa.
pengaruh besar. Mereka sering disebut Sejak saat itulah gelar kerohanian dan
sebagai kyai ageng (ki ageng / ki gede). keagamaan dipegang langsung oleh raja
Ulama yang telah pergi haji disebut kyai haji, yang berkuasa. Meskipun demikian, Sultan
atau kiaji. Agung tetap menghormati para ulama.
Dari penggelaran para alim-ulama itu, Misalnya, ia menempatkan ulama pada
terlihat bahwa di Jawa terdapat penghor- jabatan terhormat sebagai anggota Dewan
matan baik terhadap pemimpin agama, mau- Parampara (penasihat tinggi kerajaan). Di
pun bidang politik kenegaraan. Adapun ulama samping itu, dalam struktur kerajaannya juga
yang masuk dalam lingkaran birokrat tradisio- didirikan mahkamah agama Islam dan ulama
nal, diberi gelar : Penghulu, Ketib, Modin, mendapat tempat sebagai abdi dalem dalam
Kaum, Abdi Dalem Kaji dan sebagainya. urusan keagamaan yang dikepalai oleh

30
Ahmad Adaby Darban, Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah

seorang pengulu. Sultan Agung juga mem- kan munculnya prahara di Mataram, yaitu
berikan tanah perdikan kepada kaum ulama Raja dikalahkan rakyat yang dipimpin oleh
atau kyai yang mengasuh pondok pesantren, ulama (Kyai Kajoran) dan Trunojoyo.
dalam rangka pengembangan Islam di Bercermin pada pengalaman ini, para
wilayah Mataram. penerus raja-raja Mataram mengambil
Pesantren-pesantren desa dikembang- pelajaran bahwa bagaimanapun juga sebagai
kan di daerah-daerah kabupaten. Di samping pewaris kerajaan Islam dan berdiri di atas
itu, oleh para ulama juga didirikan pesantren rakyat yang beragama Islam mereka harus
besar, pesantren takhasus (keahlian khusus) berjalan menurut kaidah Islam. Di samping
dan perguruan tariqat.19 Menurut perkiraan itu kerajaan juga harus memberikan tempat
jumlah pesantren pada masa pemerintahan kepada kaum ulama untuk melaksanakan
Sultan Agung berjumlah 300 pesantren.20 upacara dan mengembangkan Islam di
Pada maa pemerintahan Sultan Agung wilayahnya. Pendekatan antara raja dan
hubungan raja dengan ulama berjalan harmo- ulama harus dipelihara baik dalam keten-
nis. Sultan Agung menghormati ulama (para teraman kerajaan dan rakyatnya. Oleh
kyai) sebagai tokoh yang bermoral dan ber- karena itu, tradisi kerajaan dengan struktur
ilmu pengetahuan tinggi. Sebaliknya, kaum resmi menempatkan ulama sebagai anggota
ulama menunjukkan loyalitasnya yang baik birokrasi merupakan keharusan bagi
terhadap raja.21 Para ulama diangkat sebagai kerajaan-kerajaan pewaris Mataram Islam.
penasihat tidak hanya dalam bidang agama,
tetapi juga dalam bidang politik pemerintahan TIPOLOGI ULAMA JAWA
dan militer. Pesantren-pesantren diizinkan
mengadakan latihan beladiri (pencak), dan Dari pertumbuhan dan pengembangan-
berlatih perang. Kegiatan ini dijadikan se- nya, ulama di Jawa dapat dikategorikan
bagai pertahanan rakyat yang akan digunakan menjadi 4 tipe ulama,24
untuk mobilisasi umum. Pada saat Sultan Tipe yang pertama, adalah golongan
Agung membutuhkan prajurit perang yang ulama yang merangkap sebagai penguasa
banyak para ulama tampil memimpin kaum pusat pemerintahan. Termasuk golongan ini
santri dan rakyat desa yang sudah terpilih ialah Sunan Giri dengan keturunannya dan
untuk membantu kerajaan. Pada tahun 1924, Sunan Gunung Jati di Cirebon. Pemimpin
Sultan Agung mengerahkan 30.000 tentara agama itu mempunyai reputasi tinggi dalam
yang terdiri atas prajurit kraton dan Wiratani bidang keagamaan, politik kenegaraan, dan
dengan 7.000 pendekar yang kebal. 22 otoritas sebagai pentahbis para sultan di
Pasukan Wiratani itu biasanya adalah hasil Jawa sebelum Mataram.
binaan kaum ulama pedesaan. Tipe yang kedua, adalah golongan ulama
Hubungan harmonis antara kaum ulama yang masih berdarah bangsawan. Hal ini
dengan Sultan Agung, hal itu terjadi karena dapat terjadi, karena sering para bangsawan
penguasa tidak menyimpang dari nilai-nilai ataupun raja mengawinkan puteranya de-
Islami, dan justru mengembangkannya. ngan ulama, atau keluarga ulama. Ulama
Namun, apabila raja yang sedang memerin- yang golongan kedua ini antara lain Ki Ageng
tah menyimpang dari nilai-nilai Islami, Pandan Arang, Sayid Kalkum, dan Panem-
hubungan itu akan retak.23 Hal ini terjadi pada bahan Rama atau Kyai Kajoran. Yang disebut
saat Mataram diperintah oleh Amangkurat I, terakhir ini (Kajoran) justru masih keturunan
setelah Sultan Agung wafat. Panembahan Senopati, raja Mataram perta-
Oleh karena Amangkurat bersahabat ma (pendiri dinasti Mataram).25
dengan VOC (Belanda 1646), pengaruh Tipe yang ketiga, adalah golongan ulama
sekulerisme masuk di dalam Kerajaan sebagai alat birokrasi kerajaan/tradisional.
Mataram. Upacara dengan minuman keras Ulama birokrat bertugas pada upacara ke-
dibudayakan di keraton, raja lebih menghargai agamaan kraton, pernikahan keluarga raja,
orang Belanda dari pada Dewan Parampara. urusan tempat ibadah, dan makam. Di
Raja berlaku otoriter sehingga mengakibat- samping itu ulama kelompok ini juga ber-

31
Ahmad Adaby Darban, Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah

peran sebagai pemberi fatwa tentang hukum- nya, ulama dijadikan sebagai tokoh yang
hukum agama. Ulama golongan ini sering memimpin politik, memimpin gerakan sosial,
disebut sebagai Abdi Dalem Pamethakan, dan juga memimpin gerakan melawan
Abdi Dalem Kaji, Abdi Dalem Suronoto, dan penjajah. Dapat dikatakan pula ulama adalah
sebagainya. Mereka berada di bawah kepe- informal leaders sebagai key person yang
mimpinan Penghulu Kraton. ditaati oleh masyarakat di lingkungan yang
Tipe keempat, adalah golongan ulama dipimpinnya.
pedesaan yang hidup di desa-desa dan tidak Idealnya ulama itu berkarakter sebagai
memiliki hubungan dengan birokrasi. Kaum pewaris para nabi, yang tampil untuk men-
ulama desa ini bekerja independen menurut sosialisasikan ajaran Islam di tengah-tengah
kemauannya sendiri untuk mengembangkan masyarakat, dengan mengedepankan pe-
agama Islam di daerahnya. Ulama desa ini nyampaian ajaran (tablig), kejujuran (siddiq),
lebih akrab dan dekat dengan rakyat. Oleh dapat dipercaya/bertanggung jawab (ama-
rakyat desanya, mereka dihormati sebagai nah),dan dengan kecerdasan (fathanah).
elite religius dan tempat bertanya. Termasuk Tingkah laku ulama akan membawa keten-
dalam Tipe ini juga kaum ulama pengembara, teraman (sakinah), kesejahteraan di alam
dan ulama yang menetap di daerah perdikan. semesta (rakhmat lil ‘alamin), kesejukan,
Dari keempat tipologi ulama diatas, dan kedamaian (islah), sehingga akan
dapat dilihat bahwa tipe pertama pada saat menjadi tumpuan hati umat. Namun, ulama
ini sudah tidak ada lagi, sedangkan tipe tidak dapat se-sempurna nabi karena nabi
kedua dan keempat merupakan ulama yang di-ma’shum-kan (dijaga dari perbuatan
di dalam sejarah lebih independen, dan berani tercela) oleh Allah SWT., sedangkan ulama
menyampaikan secara tegas kebenaran Is- adalah manusia biasa, yang dapat tergoda
lam, meskipun harus bertentangan dengan oleh gemerlapnya dunia. Oleh karena itu,
penguasa. Ulama tipe ketiga, yaitu ulama terdapat pula istilah “ulama ‘usu’ “ (ulama yang
birokrat, biasanya merupakan alat upacara rusak) karena dikendalikan oleh hawa
kraton, hidupnya sangat bergantung pada nafsunya sehingga kehilangan karakter
maisah dari kraton. Oleh karena itu, lebih keulamaannya.
terikat pada penguasa. Dalam perkembangan awal Islam di
Walaupun dapat digolongkan dalam tipe- Jawa terdapat beberapa ulama yang men-
tipe diatas, para ulama itu tidak menyendiri. dapatkan julukan “wali”, tugasnya menyebar-
Mereka sering berhubungan dengan yang kan dan mempertahankan Islam dengan
lain terutama dalam masalah dakwah dan menggunakan pendekatan kultural. Pen-
pengembangan agama. Dialog antarulama dekatan kultural ini lebih cocok bagi masya-
dari berbagai tipe ini dilakukan untuk saling rakat Jawa sehingga penyebaran dan pe-
mengisi kekurangan yang ada dalam ngembangan Islam di Jawa dapat berjalan
memimpin umat. Adapun yang menyatukan cepat dan mengakar meskipun intensitas
mereka adalah mereka sama-sama masih keislamannya bervariasi. Pada awalnya
merasa menjadi Warosatul Anbiya’, dengan ulama di Jawa memiliki kedudukan yang
segala konsekuensinya. tinggi, dan yang memberikan gelar serta
sebagai penasihat bagi para raja di Jawa.
SIMPULAN Namun, semenjak Sultan Agung Hanyakra-
kusuma, kedudukan para ulama dijadikan
Nama “Ulama” merupakan jamak dari pembantu raja dalam urusan keagamaan
kata bahasa Arab “Alim”, yang artinya orang (semacam depertemen agama), dan masuk
berilmu atau ilmuwan. Setelah masuk dalam dalam dewan parampara (penasehat raja).
masyarakat Jawa, kata ulama mempunyai Di samping para ulama yang ada di birokrasi,
arti yang lebih luas, yaitu sebagai ahli agama terdapat pula para ulama yang berada di pede-
Islam sekaligus sebagai tokoh dan pemimpin saan dengan aktivitas mengelola pondok
keagamaan. Dalam perkembangan selanjut- pesantren, madrasah, serta menjadi guru

32
Ahmad Adaby Darban, Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah

ngaji, tabib (pengobatan), dan pemimpin 16 Ibid., hlm. 35.


masyarakat. Walaupun para ulama itu 17 F.A. Sutjipto, Pemimpin2 Agama Di
berada di berbagai pos aktivitasnya, namun Wilayah Keradjaan Mataram Sekitar
punya hubungan silaturahim yang erat. Abad 18, 1971. Tulisan tidak diterbitkan.
18 Sutjipto, “Panembahan dalam Sistem
Titular Tradisional“, dalam Buletin
Fakultas Sastra & Kebudayaan UGM,
No. 1, 1969, hlm. 80.
1 Sartono Kartodirdjo, Kepemimpinan
Sejarah Indonesia, (Yogyakarta : BPA- 19 Sri Sutjiantiningsih dan Sutrisno Kuntoyo
UGM, 1974), hlm. 16. (ed.), Sejarah Pendidikan Daerah
Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Proyek
2 Ibid, hlm. 17.
IDKD Dep. P & K, 1980/1981), hlm. 29.
3 Muhammad Husain Haekal, Sejarah
20 Lihat dalam Tijdschrift Bataviaasch
Hidup Muhammad. Terjemahan Ali
Genootschap, No. 31/Th. 1886, hlm.
Audah (Jakarta: Litera Antar Nusa,
518.
1992), hlm. 98 – 99.
21 F.A. Sutjipto, “Pengaruh Ulama Dalam
4 Lihat tulisan Ishtiaq Husain Qureshi, Bidang Politik Dan Militer Di Kerajaan
Ulema in Politics.(Karachi : Ma’aref Ltd., Mataram“ dalam Bacaan Sejarah No. 9.
1972), hlm. 5 – 12. Maret 1980, hlm. 3.
5 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Mendulang 22 B. Schriche, Indonesia Sociological
Faidah danri Lautan Ilmu, (Jakarta : Studies, II, (Bandung: W. van Hoeve Ltd,
Pustaka Al Kautsar, 1998), hlm. 161. 1959) hlm. 131.
6 Wiji Saksana, Mengislamkan Tanah 23 Ahmad Abady Darban: Fragmenta ….,
Jawa (Jakarta : Mizan, 1996), hlm. 17 – op. cit., hlm. 18.
46.
24 F.A. Sutjipto, Pemimpin2 …., op. cit.,
7 Titi Asri, (Jakarta : Proyek Penerbitan hlm. 19-24.
Buku Bacaan Dan Sastra Indonesia
25 Lihat Serat Candra Kanta, dikutip dalam
Serta Daerah Dep. PTK, 1978), hlm. 21
“Het Kadjoran Vraagstruk”, dalam Djawa,
– 25.
djilid XX, 1940, hlm. 326-327.
8 A. Adaby Darban, Fragmenta Sejarah
Islam Di Indonesia, (Yogyakarta :
Pustaka Irma, 1984), hlm. 5 – 6.
9 Research Pertama Sejarah dan Da’wah
Islamiyah Sunan Giri, (Gresik : Lembaga DAFTAR RUJUKAN
Research Pesantren Luhur Islam, 1973),
hlm. 135. A.Adaby Darban. 1984. Fragmenta Sejarah Islam
10 Zamakhsyari Dhofir. Tradisi Pesantren,
Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Irma.
(Jakarta : LP3ES, 1982), hlm. 62 – 70. ___________. 1940. “Het Kadjoran Vraag-
11 Op. cit. struk”. Artikel De Graaf. Majalah Djawa,
djilid XX.
12 Ibid., hlm. 137-138.
Husein Djajadiningrat. 1913. Cristische
13 Ibid., hlm. 138; Lihat pula dalam Husein
Beschouwing van de Sadjarah Banten.
Djajadiningrat, Cristische Beschouwing
Disertasi, Leiden.
van de Sadjarah Banten, Disertasi
Leiden 1913, hlm. 100. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. 1998. Mendulang Faidah
14 Husein Djajadiningrat, ibid. dariLautanIlmu. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
15 J.K.J. de Jonge, De Opkomst …., djilid Ishtiaq Husain Qureshi. 1972. Ulema in Politics.
VII (1873), hlm. 139-140. Karachi: Ma’aref Ltd.

33
Ahmad Adaby Darban, Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah

Jonge, J.K.J. 1873. de De Opkomst ….,djilidVII. Mataram“. Bacaan Sejarah No. 9. Maret
Muhammad Husain Haekal. 1992. Sejarah Hidup 1980, hlm. 3.
Muhammad. Terjemahan Ali Audah, Jakarta: F.A. Sutjipto. 1980. “Pengaruh Ulama Dalam
Litera Antar Nusa. Bidang Politik Dan Militer Di Kerajaan
___________. 1973. ResearchPertamaSejarah Mataram“. Bacaan Sejarah No. 9. Maret
dan Da’wah Islamiyah Sunan Giri, Gresik: 1980.
Lembaga Research Pesantren Luhur Islam. ___________. 1971. Pemimpin-pemimpinAgama
Sartono Kartodirdjo. 1974. Kepemimpinan Di Wilayah Keradjaan Mataram Sekitar Abad
Sejarah Indonesia, Yogyakarta: BPA-UGM. 18. Tidak diterbitkan.
Schriche, B. 1959. Indonesia Sociological Studies, _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ .1886. TijdschriftBataviaasch
II, Bandung: W. van Hoeve Ltd. Genootschap, No. 31/Th 1886.
Sri Sutjiantiningsih dan Sutrisno Kuntoyo. Titi Asri. 1978. Buku Bacaan dan Sastra Indone-
1980/1981. Sejarah Pendidikan Daerah sia serta Daerah. Jakarta : Proyek Penerbitan
Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Proyek IDKD Buku Dep. P&K.
Dep. P & K. Wiji Saksana. 1996. Mengislamkan Tanah Jawa.
Sutjipto, F.A. 1969. “Panembahan dalam Sistem Jakarta : Mizan.
TitularTradisional“. Buletin Fakultas Sastra Zamakhsyari Dhofir. 1982. Tradisi Pesantren.
& Kebudayaan UGM,No.1. Jakarta : LP3ES.
___________. 1980. “Pengaruh Ulama Dalam
Bidang Politik dan Militer di Kerajaan

34

Anda mungkin juga menyukai