254 502 1 PB
254 502 1 PB
Laporan Penelitian
ABSTRAK
Latar Belakang: Rinosinusitis kronik jamur merupakan permasalahan kesehatan terutama di
negara berkembang karena prevalensinya yang semakin meningkat, sulitnya penanganan medis, serta
berdampak besar terhadap penurunan kualitas hidup. Saat ini tengah dikembangkan teknologi untuk
membantu penegakan diagnosis tanpa tindakan invasif, yaitu dengan memanfaatkan β-glucan sebagai
komponen terbesar penyusun dinding sel beberapa spesies jamur. Tujuan: Mengetahui hubungan antara
kadar β-glucan jaringan sinus dan serum darah untuk diagnosis rinosinusitis kronik jamur. Metode:
Penelitian cross sectional ini melibatkan 20 subjek penelitian. Dilakukan pengambilan sampel darah, dan
pembedahan sinus maksila untuk mengambil jaringan mukosa, yang kemudian dilanjutkan pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) untuk identifikasi jamur pada mukosa sinus. Bila didapatkan spesies
jamur yang memiliki β-glucan, dilakukan pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk
pengukuran kadar β-glucan. Hasil: Aspergillus flavus merupakan jamur yang paling banyak ditemukan.
Seluruh subjek melampaui batasan positif β-glucan (≥80 pg/mL) dari spesimen mukosa, dan hanya 1
subjek memberikan hasil intermediate (60-79 pg/mL) dari darah. Uji t berpasangan mendapatkan kadar
β-glucan darah tidak berbeda bermakna dengan mukosa sinus (p=0,886), sehingga pemeriksaan β-glucan
pada darah dapat menggambarkan kadar β-glucan pada sinus paranasal. Kesimpulan: β-glucan dapat
dimanfaatkan untuk membantu memperoleh diagnosis rinosinusitis kronik jamur, sehingga diharapkan
diagnosis dapat ditegakkan dengan cepat dan tepat tanpa memerlukan tindakan invasif, namun hasil ini
membutuhkan penelitian lebih lanjut, khususnya terkait uji diagnostik.
ABSTRACT
Background: Chronic fungal rhinosinusitis is a major health problem particularly in developing
countries due to its increasing prevalence, difficult medical treatment, and also could make a large impact
on the quality of life. The current technology to establish diagnosis without invasive procedure is by
utilizing β-glucan, the largest component of fungal cell wall in some fungal species. Purpose: To discover
the correlation of β-glucan level in paranasal sinus tissue and blood serum as a potential diagnosis
marker for chronic fungal rhinosinusitis. Methods: A cross sectional study involving 20 subjects. Blood
sampling and maxillary sinus surgery were performed, then fungi identification in the sinus mucosa
was done by Polymerase Chain Reaction (PCR). If a fungal species with β-glucan was found, then the
examination was continued with the measurement of β-glucan by Enzyme-Linked Immuno Sorbent Assay
(ELISA) technique in sinus and blood. Results: Aspergillus flavus is the most commonly found fungus. All
subjects passed the positive β-glucan limit (≥80 pg/mL) of the mucosal sample, and only 1 subject had
intermediate results (60-79 pg/mL) from the blood. Paired t-test result showed no significant difference
between the level of β-glucan in blood and mucosal sinus (p=0.886), so that β-glucan blood examination
could illustrate β-glucan levels in paranasal sinuses. Conclusion: β-glucan may be used to establish
the diagnosis of fungal chronic rhinosinusitis with one hope that the diagnosis process can be obtained
quickly and accurately without invasive procedure, although it still requires more studies, particularly
related to diagnostic test.
34
ORLI Vol. 48 No. 1 Tahun 2018 β-glucan dalam diagnosis rinosinusitis kronik jamur
Alamat Korespondensi: dr. Dhaniel Abdi Wicaksana. Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok-Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/ Rumah Sakit Dr. Saiful
Anwar Malang. Email: dr_dhaniel@yahoo.co.id
35
ORLI Vol. 48 No. 1 Tahun 2018 β-glucan dalam diagnosis rinosinusitis kronik jamur
36
ORLI Vol. 48 No. 1 Tahun 2018 β-glucan dalam diagnosis rinosinusitis kronik jamur
37
ORLI Vol. 48 No. 1 Tahun 2018 β-glucan dalam diagnosis rinosinusitis kronik jamur
Subjek penelitian
Spesies
n %
Aspergillus flavus 14 70
Aspergillus fumigatus 13 65
Candida albicans 10 50
Cryptococcus neoformans 3 15
Candida parapsilosis 2 10
Tabel 4. Kadar dan hubungan antara β-glucan mukosa sinus maksila dengan serum darah
Median
Rerata ± SD Uji normalitas
β-glucan n (min-maks) p
(pg/mL) (pg/mL) p p*
Mukosa 20 944,85 ± 981,854 622,0 (179 - 4551) 0,000 0,735
0,886
Darah 20 909,65 ± 487,327 871,5 (77 - 1654) 0,153 -
Keterangan: * setelah transformasi data
38
ORLI Vol. 48 No. 1 Tahun 2018 β-glucan dalam diagnosis rinosinusitis kronik jamur
hidung tersumbat dan sekret hidung. Gejala pemeriksaan lain dalam membantu identifikasi
minor yang paling banyak dikeluhkan jamur. Pada penelitian ini, spesimen mukosa
oleh subjek penelitian adalah rasa letih sinus maksila diperiksa dengan PCR dan dari
yang dialami oleh 16 orang (80%) diikuti lima spesies yang diidentifikasi, diperoleh
sakit kepala pada 10 orang (50%). Lama Aspergillus flavus merupakan jamur yang
keluhan berlangsung hingga subjek penelitian paling banyak ditemukan dalam penelitian
memeriksakan diri dan dinyatakan menderita ini (14 orang), diikuti Aspergillus fumigatus,
rinosinusitis kronik berkisar antara 3 hingga Candida albicans, Cryptococcus neoformans
120 bulan dengan rerata 32,95 ± 37,378 bulan. dan Candida parapsilosis seperti tercantum
pada tabel 3.
Selain rinosinusitis kronik, beberapa
subjek penelitian memiliki penyakit penyerta, β-glucan sebagai komponen dinding
di antaranya 10 orang memiliki kelainan beberapa spesies jamur dapat dimanfaatkan
atopi berupa asma, rinitis alergi, food allergy dalam proses diagnosis rinosinusitis kronik
atau alergi obat. Dari 20 subjek penelitian, jamur dengan bantuan pemeriksaan ELISA.
18 orang menjalani pemeriksaan tes cukit Dalam penelitian ini didapatkan rerata
kulit di poliklinik khusus Alergi Imunologi β-glucan mukosa sinus maksila adalah 944,85
IK THT-KL RSUD dr. Saiful Anwar, dan ± 981,854 pg/mL, sedangkan pada darah
diperoleh sebanyak 7 orang positif terhadap 909,65 ± 487,327 pg/mL. Uji t berpasangan
alergen inhalan. Setelah dilakukan anamnesis, dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
pemeriksaan fisik dan penunjang hingga β-glucan mukosa dan darah. Tidak didapatkan
akhirnya diagnosis rinosinusitis maksila adanya perbedaan bermakna antara kadar
kronik jamur dapat ditegakkan, didapatkan β-glucan mukosa dengan darah (p=0,886)
60% (12 orang) subjek penelitian menderita yang menunjukkan bahwa kadar β-glucan
rinosinusitis maksila kronik tanpa polip darah dapat menggambarkan kadar β-glucan
hidung, dan sisanya 40% (6 orang) dengan pada mukosa sinus paranasal. Dengan
polip hidung. Kejadian ditemukan kelainan demikian, bila mendapatkan kasus yang
unilateral dan bilateral sama banyaknya, yaitu memenuhi kriteria diagnosis rinosinusitis
masing-masing 10 orang (50%). kronik, dengan pemeriksaan β-glucan darah
memberikan nilai positif dapat dinyatakan
Kuesioner SNOT22 digunakan untuk
bahwa penderita tersebut mengalami
evaluasi subjektif sebelum dan sesudah
rinosinusitis kronik jamur. Berdasarkan
pembedahan. Didapatkan penurunan nilai
batasan nilai positif β-glucan (≥80 pg/mL),
rerata SNOT22 dari 48,0 ± 17,625 sebelum
seluruh subjek penelitian melewati ambang
pembedahan menjadi 20,8 ± 14,795 pada
batas tersebut untuk spesimen mukosa, dan
1 bulan sesudah pembedahan. Penurunan
hanya satu subjek penelitian dengan kadar
total nilai SNOT22 ini didapatkan bermakna
β-glucan darah yang sesuai dengan batasan
secara statistik dengan nilai p=0,000 yang
intermediate (60–79 pg/mL).
menunjukkan adanya perbaikan secara
bermakna dari keluhan subjektif penderita
setelah pembedahan.
DISKUSI
Identifikasi jamur merupakan proses
Rinosinusitis kronik merupakan penyakit
penting, namun sulit dilakukan karena
dengan prevalensi yang tinggi dan hingga
berbagai keterbatasan dari pemeriksaan
saat ini telah terdapat beberapa panduan
penunjang yang tersedia. Meskipun mahal
untuk membantu penegakan diagnosis, salah
dan sulit untuk dilakukan, PCR merupakan
satunya adalah EP3OS. Berbagai panduan
pemeriksaan yang memiliki sensitivitas
tersebut menggabungkan antara keluhan
dan spesifisitas paling tinggi dibandingkan
39
ORLI Vol. 48 No. 1 Tahun 2018 β-glucan dalam diagnosis rinosinusitis kronik jamur
subjektif penderita dengan temuan klinis baik dengan lokasi paparan dimana perempuan
dari pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan dikaitkan dengan polusi rumah tangga
penunjang.1,6 Bila rinosinusitis kronik telah sementara laki-laki dikaitkan paparan di
diterapi sesuai dengan algoritma namun tempat kerja, namun saat ini hal tersebut
tidak mengalami perbaikan, perlu dicurigai dianggap tidak sesuai.
bahwa penyebabnya adalah infeksi jamur
Sekitar 60% subjek penelitian bekerja di
dan untuk membuktikannya dibutuhkan
dalam ruangan menunjukkan bahwa paparan
pemeriksaan lanjutan yang seringkali bersifat
jamur dalam ruangan juga berperan dalam
invasif. Alternatif pemeriksaan lainnya
kejadian infeksi jamur.13 Meskipun pada
seringkali tidak sensitif atau harganya mahal.
dasarnya jamur tersebut terbawa dari tanah
Pemeriksaan yang lebih mudah, seperti
ke dalam ruangan, namun akibat sirkulasi
IgE Aspergillus masih sulit diterapkan di
ruangan yang tidak baik menyebabkan
Indonesia karena kurangnya fasilitas yang
jamur tersebut tertahan di dalam ruangan
mampu melakukan pemeriksaan tersebut.
dan meningkatkan peluang terjadinya infeksi
Oleh karena itu diperlukan suatu modalitas
jamur karena paparan jamur yang berulang.
baru yang lebih murah dan mudah dilakukan
Jamur tersebut dapat bertahan dan tumbuh
namun minimal invasif, terlebih dengan
dalam ruangan pada celah-celah bangunan
semakin meningkatnya kejadian infeksi jamur
yang kemudian tersebar, salah satunya
termasuk rinosinusitis jamur pada tiga dekade
melalui air conditioner.
terakhir.1,7
Tingkat pendidikan subjek penelitian
Mayoritas usia subjek penelitian memang
ini 55% adalah pendidikan tinggi dan
berkisar antara 18-29 tahun (30%), namun
45% pendidikan rendah. Hal tersebut
50% subjek penelitian berada pada usia 40-
berbeda dengan penelitian Wahid et al.14
60 tahun. Rinosinusitis kronik jamur dapat
yang mendapatkan hampir 70% subjek
diderita oleh semua kelompok usia, namun
penelitiannya berpendidikan rendah.
cenderung lebih banyak pada kelompok
Pendidikan rendah sering dikaitkan dengan
usia kerja. Hasil tersebut sesuai dengan
status sosioekonomi yang rendah dan
penelitian Satish et al.11 dimana 80% subjek
kurangnya pengertian akan bahaya higiene
penelitiannya berada pada kelompok usia
yang buruk serta pentingnya kesehatan.
dekade ke-4 hingga ke-6. Kelompok usia
Tingkat pendidikan tinggi seringkali dikaitkan
penderita yang berada pada usia kerja
dengan pekerja perkantoran atau ruangan,
dikaitkan dengan paparan jamur yang
sementara pendidikan rendah seringkali
diperoleh saat kerja, dalam hal ini pekerjaan
dikaitkan dengan pekerja kasar atau lapangan.
diduga lebih memiliki peran berkaitan dengan
kejadian rinosinusitis jamur daripada usia Sebanyak 12 penderita (60%)
penderita. rinosinusitis maksila kronik jamur datang
dengan keluhan utama hidung tersumbat,
Pada penelitian ini jumlah penderita
diikuti dengan keluhan pilek dan nyeri
berjenis kelamin laki-laki sebanyak 11 orang,
wajah (20%). Temuan tersebut sesuai dengan
sedikit lebih banyak dibandingkan dengan
penelitian Srivastava et al.15 dan Satish et al.11
perempuan. Senada dengan penelitian Shivani
yang mendapatkan hidung tersumbat sebagai
et al. 12 yang mendapatkan perbandingan
keluhan yang paling banyak ditemukan pada
penderita rinosinusitis kronik antara laki-
penderita rinosinusitis jamur, diikuti dengan
laki dan perempuan adalah 1,4:1 yang
adanya sekret hidung. Keluhan hidung
menunjukkan kejadian rinosinusitis kronik
tersumbat maupun adanya sekret hidung
jamur tidak berkaitan dengan jenis kelamin.
merupakan keluhan yang tidak spesifik untuk
Dahulu perbedaan jenis kelamin dikaitkan
rinosinusitis jamur namun termasuk kriteria
40
ORLI Vol. 48 No. 1 Tahun 2018 β-glucan dalam diagnosis rinosinusitis kronik jamur
mayor diagnosis rinosinusitis kronik secara dengan Th2 dan rekruitmen eosinofil yang
umum, dan dialami oleh seluruh subjek dalam menyebabkan peradangan tidak hanya
penelitian ini. Keluhan tersebut cenderung menyerang rongga hidung, namun juga akan
akan semakin memberat dengan berjalannya menginfiltrasi jaringan sekitarnya seperti sinus
waktu hingga akhirnya mengganggu aktivitas hingga ke paru. Peradangan menyebabkan
maupun tidur penderitanya. kerusakan sistem transpor mukosiliar,
sehingga terjadi stagnansi sekret dan menjadi
Pada penelitian ini, didapatkan rata-
media yang baik untuk pertumbuhan berbagai
rata penderita telah mengalami gejala
patogen termasuk jamur. Keadaan pejamu
rinosinusitis kronik selama 32,95 ± 37,378
yang imunokompeten memungkinkan infeksi
bulan. Hal tersebut disebabkan karena
menjadi kronik, bila dibandingkan dengan
keluhan rinosinusitis kronik awalnya tidak
pejamu imunokompromais yang cenderung
terlalu mengganggu, sehingga penderita
mengalami infeksi akut/fulminan.17,18
seringkali tidak segera memeriksakan dirinya
sejak awal, dan baru memeriksakan diri Mayoritas subjek penelitian menderita
ketika gejala semakin berat dan mengganggu. rinosinusitis kronik tanpa polip hidung,
Pernyataan yang berbeda disampaikan oleh dengan jumlah penderita rinosinusitis maksila
Wahid et al.14 yang mendapatkan sebesar kronik jamur unilateral sama banyaknya
76% penderita berobat dengan gejala yang dengan kelainan bilateral. Hasil tersebut
kurang dari tiga bulan atau masih dalam tidak sesuai dengan berbagai literatur yang
keadaan akut. Rinosinusitis akut seringkali menyatakan bahwa adanya polip hidung
memberikan gejala yang lebih berat dan berkaitan erat dengan rinosinusitis jamur,
memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi khususnya rinosinusitis jamur alergi yang
daripada rinosinusitis kronik, sehingga memasukkan polip hidung sebagai salah satu
penderita lebih perhatian akan penyakitnya. kriteria diagnosisnya. Kelainan unilateral
Penelitian ini hanya mengikut sertakan juga lebih berkaitan dengan rinosinusitis
penderita dengan keluhan kronik atau lebih jamur daripada polip hidung bilateral. Santhi
dari 12 minggu yang sesuai dengan kriteria et al. 19 melaporkan 80% penderita polip
EP3OS sebagai subjek penelitian.1 hidung memberikan hasil kultur jamur positif,
dengan sekitar 31% didapatkan struktur jamur
Penyakit atopi merupakan penyakit
pada pemeriksaan histopatologi. Kejadian
penyerta yang paling banyak ditemukan
polip hidung unilateral hampir serupa
pada penelitian ini. Data tersebut didukung
dengan bilateral, yaitu 38% berbanding
dengan hasil tes cukit kulit yang mendapatkan
40%. Hidung dan sinus paranasal merupakan
7 subjek penelitian memberikan hasil positif
lingkungan yang baik untuk tumbuhnya
terhadap alergen inhalan. Rinosinusitis kronik
jamur. Selain itu, kemampuannya untuk
jamur dapat terjadi baik pada penderita
dapat menginvasi mukosa menyebabkan
imunokompromais ataupun imunokompeten,
jamur dapat bertahan dalam jangka waktu
meskipun lebih banyak literatur menyebutkan
yang lama dan menciptakan inflamasi
peran dari keadaan imunokompromais,
kronik. Peradangan kronik tersebut dapat
seperti penderita diabetes melitus maupun
menstimulasi terbentuknya polip hidung.6,19
penggunaan steroid jangka panjang. 16,17
Penderita rinosinusitis kronik yang juga Sinonasal Outcome Test (SNOT)22
menderita asma mencapai 23%, sementara merupakan kuesioner untuk mengevaluasi
penyakit atopi lain seperti rinitis alergi kualitas hidup secara spesifik pada penderita
juga ditemukan pada 25-58% penderita rinosinusitis kronik. Kuesioner ini terdiri
rinosinusitis, seperti yang disampaikan dari 22 pertanyaan yang terbagi menjadi
oleh Hull et al.18 Inflamasi yang berkaitan empat domain, yaitu gejala hidung, gejala
41
ORLI Vol. 48 No. 1 Tahun 2018 β-glucan dalam diagnosis rinosinusitis kronik jamur
pg/mL untuk serum darah. Pada penelitian terapi anti fungal berhasil, seharusnya
ini hanya mendapatkan satu subjek penelitian terdapat penurunan kadar β-glucan. Selain
dengan kadar β-glucanintermediate (60- itu, meskipun β-glucan merupakan penyusun
79 pg/mL) pada spesimen darah, hasil lain terbesar dinding sel jamur, namun karena
memberikan nilai positif (≥80 pg/mL) baik lokasinya yang berada di dalam, terkadang
pada mukosa maupun darah. Batasan nilai tidak dapat dikenali oleh sistem imun
tersebut kini telah dipakai oleh United States tubuh pejamu. Keadaan-keadaan tersebut
Food and Drug Agency (FDA) sebagai memungkinkan jamur dapat membentuk
nilai batasan untuk diagnosis infeksi jamur. kolonisasi, kemudian menembus masuk
Kadar β-glucan juga telah dimasukkan hingga endotel pembuluh darah dan terbawa
dalam kriteria diagnosis fungaemia oleh oleh peredaran darah sistemik, namun
European Organization for Research and tidak mengaktifkan sistem imun protektif
Treatment of Cancer (EORTC) sejak tahun tubuh. Pada keadaan tersebut, komponen
2008. Saat ini juga tengah diteliti untuk jamur termasuk β-glucan dapat ditemukan
kemungkinan pemanfaatan evaluasi kadar dalam peredaran darah, sehingga dapat
β-glucan yang melewati nilai batasan positif dimanfaatkan sebagai petanda adanya infeksi
untuk pengambilan keputusan pemberian anti jamur terutama yang invasif.4, 27-29
jamur pada kasus yang dicurigai fungaemia Pemanfaatan β-glucan sebagai penanda
namun belum diketahui lokasi infeksinya.23-26 infeksi jamur telah disampaikan pada
Stimulasi sistem imun tubuh oleh beberapa literatur, namun penelitian tersebut
β-glucan telah terjadi sejak pengenalan lebih untuk keadaan fungaemia dan hingga
β-glucan oleh dectin-1 yang merupakan saat ini belum pernah dilakukan untuk kasus
reseptor spesifik β-glucan pada sistem imun rinosinusitis jamur. Penelitian Pazos yang
di mukosa sinus paranasal. Adanya jamur dikutip oleh Morrison et al.30 mendapatkan
pada mukosa sinus paranasal, dapat merusak sensitivitas 88%, spesifisitas 90%, positive
kesatuan pelindung mekanis, salah satunya predictive value (PPV) 70%, dan negative
dengan pelepasan enzim proteolitik. Tubuh predictive value (NPV) 96% untuk β-glucan
akan berusaha mengeliminasi patogen sebagai petanda infeksi jamur. Penelitian
dengan mengerahkan berbagai efektor sistem serupa dengan menggunakan galactomannan
imun ke lokasi infeksi. Respon sistem imun sebagai petanda infeksi jamur dengan
manusia untuk mengeliminasi β-glucan pemeriksaan ELISA mendapatkan hasil yang
tersebut antaranya adalah dengan produksi cukup baik, dengan sensitivitas sebesar 64%
enzim yang merupakan proses non spesifik, dan spesifisitas sebesar 60%. Kelemahan
meskipun proses pengenalan β-glucan dari pemeriksaan ELISA galactomannan
melibatkan suatu reseptor spesifik. Usaha adalah karena hanya dapat mendeteksi
tubuh manusia untuk menyingkirkan β-glucan infeksi yang disebabkan oleh Aspergillus
adalah dengan proses degradasi oksidatif dari spp bila dibandingkan dengan β-glucan
oksigen aktif dan ion nitrit yang diproduksi yang mencakup lebih banyak spesies
oleh sel makrofag atau leukosit, namun detil jamur. Kombinasi pemeriksaan β-glucan
proses tersebut masih belum sepenuhnya dengan galactomannan tengah dilakukan,
dipahami. Proses tersebut berjalan lambat dan diharapkan memberikan kemampuan
dan dinilai tidak efektif untuk menyingkirkan diagnostik yang lebih baik dengan spesies yang
jamur yang menyebabkan komponen jamur diperiksa lebih banyak. Kedua pemeriksaan
dapat diidentifikasi dalam tubuh dengan tersebut juga tengah dikembangkan sebagai
rentang waktu yang lama. Pemantauan alat penilaian keberhasilan terapi dengan
kadar β-glucan dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi kadar awal dan selama
menilai keberhasilan terapi infeksi jamur berlangsungnya pengobatan.10, 26, 29, 30
dengan pemeriksaan secara berkala. Bila
43
ORLI Vol. 48 No. 1 Tahun 2018 β-glucan dalam diagnosis rinosinusitis kronik jamur
Berdasarkan data yang ada maka 7. Theel ES, Jespersen DJ, Iqbal S, Bestrom
dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat JE, Rollins LO, Misner LJ, et al. Detection
hubungan antara kadar β-glucan serum darah of (1,3)-ß-D-Glucan in Bronchoalveolar
Lavage and Serum Samples Collected
dengan mukosa sinus paranasal, yang dapat from Immunocompromised Hosts.
dimanfaatkan sebagai penanda adanya infeksi Mycopathologia. 2013;175(1-2):33-41.
jamur pada sinus paranasal, dengan tetap 8. Akramienė D, Kondrotas A, Didžiapetrienė
memperhatikan gejala-gejala yang sesuai J, Kėvelaitis E. Effects of ß-glucans on
dengan kriteria diagnosis rinosinusitis yang the Immune System. Medicina (Kaunas).
ada. Diharapkan dengan adanya penelitian 2007;43(8):597-606.
ini proses diagnosis rinosinusitis kronik 9. Shetty A, Chavan K. Microbiology in
jamur dapat diperoleh dengan cepat dan Invasive Fungal Sinusitis. In: Mankekar G,
tepat tanpa memerlukan tindakan invasif, editor. Invasive Fungal Rhinosinusitis. New
sehingga tatalaksana yang sesuai dapat segera Delhi: Springer; 2014. p.39-50.
diberikan, meskipun tetap perlu dilakukan 10. Chen CY, Sheng WH, Cheng A, Chen YC,
penelitian lebih lanjut untuk uji diagnostik, Tsay W, Tang JL, et al. Invasive Fungal
Sinusitis in Patients With Hematological
dan pembuktian lebih lanjut mengenai kaitan Malignancy: 15 Years Experience in a Single
β-glucan dengan patofisiologi rinosinusitis University Hospital in Taiwan. BMC Infect
jamur. Dis. 2011;11(250):1471-80.
11. Satish HS, Alokkan J. Clinical Study of
Fungal Rhinosinusitis. IOSR Journal of
DAFTAR PUSTAKA Dental and Medical Sciences. 2013;5(4):37-
40.
1. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C,
Alobid I, Baroody F, et al. European Position 12. Shivani, Devi B, Sharma K, Devi P, Rupali,
Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps Deep G. Mycological Profile of Fungal
2012. Rhinology. 2012;50(1):1-12. Rhinosinusitis in a Tertiary Care Hospital.
International Journal of Contemporary
2. D a i n e s S M , O r l a n d i R R . C h r o n i c Medical Research. 2016;3(4):1026-28.
Rhinosinusitis. Facial Plast Surg Clin N
Am. 2012;20(1):1-10. 13. Bush RK, Portnoy JM, Saxon A, Terr
AI, Wood RA. The Medical Effects of
3. Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L. Mold Exposure. J Allergy Clin Immunol.
Laporan Tahunan 2016 Departemen Ilmu 2006;117:326-33.
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah
Kepala dan Leher Rumah Sakit Umum 14. Wa h i d F I , K h a n A , K h a n I A .
Daerah Saiful Anwar Malang. Malang: Clinicopathological Profile of Fungal
Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar Rhinosinusitis. Bangladesh J
Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L; Otorhinolaryngol. 2012;18(1):48-54.
2017. 15. Srivastava RM, Rijuneeta, Gupta AK,
4. Wüthrich M, Deepe GS, Jr., Klein B. Patro SK, Avasthi A. Quality of Life,
Adaptive Immunity to Fungi. Annu Rev Disability Scores, and Distress Index in
Immunol. 2012;30:115-48. Fungal Rhinosinusitis. Medical Mycology.
2014;52(7):706-14.
5. Maharani I, Suheryanto R, Retnoningsih E.
Airborne Fungi in Chronic Rhinosinusitis 16. Mankekar G. Epidemiology, Pathogenesis,
Patients Maxillary Sinus Lavage at Dr. and Risk Factors. In: Mankekar G, editor.
Saiful Anwar Hospital Malang. Bali Medical Invasive Fungal Rhinosinusitis. New Delhi:
Journal. 2016;5(2):18-24. Springer; 2014. p.7-14.
6. Adelson RT, Marple BF, Ryan MW. Fungal 17. Brewer JM, Marple BF. Fungal Disease
Rhinosinusitis. In: Johnson JT, Rosen in the Maxillary Sinus. In: Duncavage JA,
CA, editors. Bailey’s Head and Neck Becker SS, editors. The Maxillary Sinus -
Surgery-Otolaryngology. 5th ed. Baltimore: Medical and Surgical Management. New
Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p. York: Thieme Medical Publishers, Inc; 2011.
557-72. p.50-59.
44
ORLI Vol. 48 No. 1 Tahun 2018 β-glucan dalam diagnosis rinosinusitis kronik jamur
18. Hull BP, Han JK. Classification of Chronic 25. Albert O, Toubas D, Strady C, Cousson
Rhinosinusitis and Its Subsets. In: Batra J, Delmas C, Vernet V, et al. Reactivity
PS, Han JK, editors. Practical Medical of (1→3)-β-d-Glucan Assay in Bacterial
and Surgical Management of Chronic Bloodstream Infections. Eur J Clin Microbiol
Rhinosinusitis. New York: Springer; 2015. Infect Dis. 2011;30(11):1453–60.
p. 73-110.
26. Pauw BD, Walsh TJ, Donnelly JP, Stevens
19. Santhi T, Rajan KV. Presence of Fungal DA, Edwards JE, Calandra T, et al. Revised
Organisms in Chronic Rhinosinusitis with Definitions of Invasive Fungal Disease from
Nasal Polyposis: A Clinico Pathological the European Organization for Research
Study from Kerala. International Journal of and Treatment of Cancer/Invasive Fungal
Scientific Study. 2015;3(3):99-104. Infections Cooperative Group and the
National Institute of Allergy and Infectious
20. Juanda IJ, Madiadipoera T, Ratunanda SS,
Diseases Mycoses Study Group (EORTC/
Lasminingrum L, Sudiro M, Dermawan A.
MSG) Consensus Group. Clin Infect Dis.
Adaptasi Budaya, Alih Bahasa Indonesia
2008;46(12):1813–21.
dan Validasi Sino-Nasal Outcome Test
(SNOT)-22. Thesis. Bandung: Pascasarjana 27. Gow NAR, van de Veerdonk FL, Brown AJP,
Universitas Padjajaran; 2016. Netea MG. Candida albicans Morphogenesis
and Host Defence: Discriminating Invasion
21. Champagne JP, Antisdel JL, Woodard TD,
From Colonization. Nat Rev Microbiol.
Kountakis SE. Epidemiologic Factors
2012;10:112-22.
Affect Surgical Outcomes in Allergic
Fungal Sinusitis. The Laryngoscope. 28. Kern RC, Conley DB, Walsh W, Chandra
2010;120(11):2322-24. RK, Kato A, Peters AT, et al. Perspectives on
the Etiology of Chronic Rhinosinusitis: An
22. Hohl TM, Epps HLV, Rivera A, Morgan LA,
Immune Barrier Hypothesis. Am J Rhinol.
Chen PL, Feldmesser M, et al. Aspergillus
2008;22(6):549-59.
fumigatus Triggers Inflammatory Responses
by Stage-Specific ß-Glucan Display. PloS 29. Miura NN. Fate of β-Glucans In Vivo: Organ
Pathog. 2005;1(3):232-40. Distribution and Degradation Mechanisms
of Fungal β-Glucans in the Body. In: Young
23. Odabasi Z, Mattiuzzi G, Estey E, Kantarjian
SH, Castranova V, editors. Toxicology of
H, Saeki F, Ridge RJ, et al. β-D-Glucan as
1→ 3-Beta-Glucans: Glucans as a Marker
a Diagnostic Adjunct for Invasive Fungal
for Fungal Exposure. Boca Raton: Taylor &
Infections: Validation, Cutoff Development,
Francis; 2005. p.109-26.
and Performance in Patients with Acute
Myelogenous Leukemia and Myelodysplastic 30. Morrison CJ, Warnock DW. Serodiagnosis:
Syndrome. Clin Infect Dis. 2004;39(2):199- Antibody and Antigen Detection. In:
205. Maertens JA, Marr KA, editors. Diagnosis
of Fungal Infections. New York: Informa
24. Deshazo RD. Syndromes of Invasive Fungal
Healthcare; 2007. p.65-120.
Sinusitis. Med Mycol. 2009;47(1):S309-S14.
45