HT Nia 1

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT sedang dan
10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi yang merupakan suatu
kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa
penderita. Krisis hipertensi merupakan salah satu kegawatan dibidang neurovaskular yang sering
dijumpai di instalasi gawat darurat. Krisis hipertensi ditandai dengan peningkatan tekanan darah
akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi dari
peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari penderita dengan
hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam
jiwa.
Dua puluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien dengan krisis
hipertensi. Data di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 6,7%
pada penduduk berusia 20-39 tahun dan menjadi 65% pada penduduk berusia diatas 60 tahun. Data
ini didapat dari total penduduk 30% yang diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1%-2%
akan berlanjut menjadi krisis hipertensi disertai kerusakan organ target (hipertensi emergensi).
Sebagian besar pasien dengan stroke perdarahan mengalami krisis hipertensi.
Membedakan golongan krisis HT ini bukanlah dari tingginya TD, tapi dari kerusakan organ
sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada seorang penderita dipikirkan suatu keadaan emergensi
bila terjadi kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem syaraf sentral, miokardinal, dan ginjal.
HT emergensi dan urgensi perlu dibedakan karena cara penaggulangan keduanya berbeda.
Gambaran kilnis krisis HT berupa TD yang sangat tinggi (umumnya TD diastolik > 120
mmHg) dan menetap pada nilai-nilai yang tinggi dan terjadi dalam waktu yang singkat dan
menimbulkan keadaan klinis yang gawat. Seberapa besar TD yang dapat menyebabkan krisis HT
tidak dapat dipastikan, sebab hal ini juga bisa terjadi pada penderita yang sebelumnya normotensi
atau HT ringan/sedang. Walaupun telah banyak kemajuan dalam pengobatan HT, namun para
kilinisi harus tetap waspada akan kejadian krisis HT, sebab penderita yang jatuh dalam keadaan
ini dapat membahayakan jiwa bila tidak ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Pengobatan yang
cepat dan tepat serta intensif lebih diutamakan daripada prosedur diagnostik karena sebagian besar
komplikasi krisis HT bersifat reversible.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi
(tekanan diastolic > 120 mmHg) dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadinya
kelainan organ target.

KLASIFIKASI

Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas pengobatan, sebagai
berikut :
1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi
akut. (tabel I). Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan timbulnya sequele atau
kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam.
Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU).
2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam
sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II).
Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :
1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg,
walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan
kepatuhan pasien.
2. Hipertensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan kelainan
funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120 – 130 mmHg
dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian tekanan intrakranial
kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita
tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat

2
hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang sebelumnya
mempunyai TD normal.
4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala
yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible bila TD
diturunkan.
Tabel I : Hipertensi emergensi ( darurat ) 3
TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.
 Pendarahan intrakranial, trombotik CVA atau pendarahan subarakhnoid.
 Hipertensi ensefalopati.
 Aorta diseksi akut.
 Oedema paru akut.
 Eklampsi.
 Feokhromositoma.
 Funduskopi KW III atau IV.
 Insufisiensi ginjal akut.
 Infark miokard akut, angina unstable.
 Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :
- Sindrome withdrawal obat anti hipertensi.
- Cedera kepala.
- Luka bakar.
- Interaksi obat.

Tabel II : Hipertensi urgensi ( mendesak ) 3


 Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal
atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I.
 KW I atau II pada funduskopi.
 Hipertensi post operasi.
 Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.

3
EPIDEMIOLOGI

Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT sedang dan 10% HT
berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi yang merupakan suatu kegawatan
medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita.
Angka kejadian krisis HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju berkisar
2 – 7% dari populasi HT, terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan pengobatan yang tidak teratur
selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10 tahun belakangan ini karena
kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya lebih kurang 1% dari 60 juta penduduk
yang menderita hipertensi. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadian ini.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vascular, berupa disfungsi endotel,
remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi masih belum sepenuhnya dipahami, diduga karena terjadinya peningkatan tekanan darah
secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak
ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan
vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi

Causes of Hypertensive Emergency

4
MEKANISME AUTOREGULASI

Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan
darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai
tingkatan perubahan kontraksi/ dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka akan
terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu
normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70
mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih
banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal,
maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan
sinkop.

Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi
ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah dapat
terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi.
Kurva autoregulasi pada tekanan darah.

5
Patofisiologi krisis hipertensi

6
Pada penelitian Stragard, dilakukan pemgukuran MAP pada penderita hipertensi dengan pasien
yang normotensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara
grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi terkontrol cenderung
menggeser autoregulasi ke arah normal.

Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi, diperkirakan
bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh
karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP sebanyak 20%-25% dalam
beberapa menit atau jam,tergantung dari apakah emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan darah
pada penderita diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam
tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita
hipertensi ensefalopati dapat dilakukan penurunan tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk
pasien dengan infark serebri akut ataupun perdarahan intrakranial, penurunan tekanan darah
dilakukan lebih lambat (6-12 jam) dan harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-
180/100 mmHg

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis krisis hipertensi berhubungan dengan kerusakan organ target yang ada. Tanda
dan gejala krisis hipertensi berbeda-beda pada setiap pasien. Pada pasien dengan perdarahan
intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi
fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati didapatkan
penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal.

Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola,
perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi
kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal
jantung kiri akut dan beberapa pasien gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa
saja terjadi.

7
Papiledema. Perhatikan adanya pembengkakan dari optik disc dengan margin kabur

Tabel 3. Hipertensi Emergensi

Tabel 4. Hipertensi Urgensi.

Hipertensi berat dengan tekanan darah > 180/120 mmHg, tetapi dengan minimal atau tanpa
kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel 3’

1. Funduskopi KW I atau KW II
2. Hipertensi post operasi
3. Hipertensi tak terkontrol/tanpa diobati pada perioperatif

8
PENDEKATAN DIAGNOSIS

Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7.

JNC 8

9
Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat dilakukan dengan
cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pasien. Anamnesis
tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin diminum, kepatuhan
minum obat, riwayat konsumsi kokain, amphetamine dan phencyclidine. Riwayat penyakit yang
me-nyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal penting dievaluasi. Tanda-tanda defisit
neurologik harus diperiksa seperti sakit kepala,penurunan kesadaran, hemiparesis dan kejang.

Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi tergantung kepada
tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan yang menyeluruh
walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa suatu krisis hipertensi.

1. Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang


penting ditanyakan :

a. Riwayat hipertensi : lama dan beratnya., riwayat keluarga

b. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.

c. Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun.

d. Gejala sistem syaraf (sakit kepala, pusing, perubahan mental, ansietas).

e. Gejala sistem ginjal (gross hematuri, jumlah urine berkurang).

f. Gejala sistem kardiovascular (adanya payah jantung, kongestif dan edema paru, nyeri
dada, sesak nafas, edema tungkai).

g. Riwayat penyakit : (glomerulonefrosis, pyelonephritis, CKD, CHF)

h. Riwayat kehamilan : Riwayat eklampsi dan preeklampsi

2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan berdiri ), diulang kurang
lebih 6 jam kemudian. Mencari kerusakan organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi,
payah jantung kongestif ). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan
neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan edema paru. Perlu dicari penyakit penyerta

10
lain seperti penyakit jantung coroner.
3. Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :
a. Pemeriksaan yang segera seperti :
i. Darah rutin, BUN, kadar ureum dan creatinine, elektrolik, GDS.
ii. Urine : Urinalisis.
iii. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.
iv. Foto dada : apakah ada edema paru atau kardiomegali ( dapat ditunggu setelah
pengobatan terlaksana ).
b. Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang
pertama ) :
i. Memastikan kelainan pada jantung :Ekokardiografi
ii. Memastikan kelainan renal : IVP, Renald angiography ( kasus tertentu ), biopsi
renal ( kasus tertentu ).
iii. Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : CT Scan kepala.

Berikut adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi:

11
DIAGNOSIS BANDING

Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi seperti :

- Hipertensi berat

- Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.

- Ansietas dengan hipertensi labil.

- Edema paru dengan payah jantung kiri.

PENATALAKSANAAN

Dasar-Dasar Penatalaksanaan Krisis Hipertensi:

Seperti keadaan gawat yang lain, penderita dengan krisis hipertensi sebaiknya dirawat di ruang
perawatan intensif. Pengobatan krisis hipertensi dapat dibagi:

1. Penurunan tekanan darah


Pada dasarnya penurunan tekanan darah harus dilakukan secepat mungkin tapi juga
seaman mungkin. Tingkat tekanan darah yang akan dicapai tidak boleh terlalu rendah,
karena akan menyebabkan hipoperfusi target organ. Untuk menentukan tingkat tekanan
darah yang diinginkan, perlu ditinjau kasus demi kasus. Dalam pengobatan krisis
hipertensi, pengurangan Mean Arterial Pressure (MAP) sebanyak 20–25% dalam
beberapa menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi. Penurunan TD
pada penderita aorta diseksi akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri
dilakukan dalam tempo 15–30 menit dan bisa lebih rendah lagi dibandingkan hipertensi
emergensi lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 2–3
jam. Untuk pasien dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial,
pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6 – 12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak
lebih rendah dari 170 – 180/100 mmHg.

12
2. Pengobatan target organ
Meskipun penurunan tekanan darah yang tepat sudah memperbaiki fungsi target organ,
pada umumnya masih diperlukan pengobatan dan pengelolaan khusus untuk mengatasi
kelainan target organ yang terganggu. Misalnya pada krisis hipertensi dengan gagal
jantung kiri akut diperlukan pengelolaan khusus termasuk pemberian diuretic,
pemakaian obat-obat yang menurunkan preload dan afterload. Pada krisis hipertensi
yang disertai gagal ginjal akut, diperlukan pengelolaan khusus untuk ginjalnya, yang
kadang-kadang memerlukan hemodialisis.
3. Pengelolaan khusus
Beberapa bentuk krisis hipertensi memerlukan pengelolaan khusus, terutama yang
berhubungan dengan etiloginya, misalnya eklampsia gravidarum.

Penatalaksanaan hipertensi urgensi :

Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Sebaiknya
penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali dalam 30
menit. Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya
digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini dan hasilnya
cukup memuaskan.

Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan :

1. Nifedipine : Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki puncak
kerja antara 10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi
hipertensi urgensi karena dapat menurunkan tekanan darah yang men-dadak dan tidak
dapat diprediksikan sehingga berhubungan dengan kejadian stroke. Penggunaan dosis oral
biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang
diinginkan. Pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit). Buccal (onset 5 –10
menit), oral (onset 15-20 menit), duration 5 – 15 menit secara sublingual/ buccal).
Efek samping : sakit kepala, takhikardi, hipotensi, flushing, hoyong.
2. Nicardipine : Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering
digunakan pada pasien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53
pasien dengan hipertensi urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine atau

13
placebo. Nicardipine memiliki efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang
mencapai 22% (p=0,002).
3. Clonidine : Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-
adrenergicreceptor agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit dan puncaknya
antara 2-4 jam. Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap
jam sampai tercapainya tekanan darah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg.
Pemberian secara oral dengan onset 30 – 60 menit Duration of Action 8-12 jam. Dosis :
0,1-0,2 mg, dilanjutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg.
nd rd
Efek samping : sedasi,mulut kering. Hindari pemakaian pada 2 degree atau 3 degree,
heart block, brakardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
4. Captopril : Captopril adalah golongan angiotensin-convert-ing enzyme (ACE) inhibitor
dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai dosis awal
kemudian tingkatkan dosis-nya 50-100 mg setelah 90-120 menit kemudian.
Efek samping : angio-neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada penderita bilateral
renal arteri sinosis.
5. Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2 mg dan diulang perjam bila perlu.
Efek samping : first dosyncope, hiponsi orthostatik, palpitasi, takhikaro sakit kepala.
6. Labetalol : Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan memiliki
waktu kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range yang
sangat lebar sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada
36 pasien, setiap grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan
300 mg secara oral dan meng-hasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik
secara signifikan. Secara umum labetalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg secara
oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam kemudian.
Efek samping : mual dan sakit kepala.

Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan MAP sebanyak 20 %
ataupun TD<120 mmHg. Demikian juga Captopril, Prazosin terutama digunakan pada penderita
hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekholamine. Perlu diingat bahwa pemberian obat anti
hipertensi oral/sublingual dapat menyebabkan penurunan TD yang cepat dan berlebihan bahkan
sampai kebatas hipotensi (walaupun hal ini jarang sekali terjadi).

14
Dikenal adanya “first dose” efek dari Prazosin. Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi akibat
pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke. Dengan
pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD dapat diturunkan bertahap dan
mencapai batas aman dari MAP.

Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih sensitive terhadap
penambahan terapi. Untuk penderita dengan riwayat penyakit cerebrovaskular dan koroner, juga
pada pasien umur tua dan pasien dengan volume depletion maka dosis obat Nifedipine dan
Clonidine harus dikurangi. Seluruh penderita diobservasi paling sedikit selama 6 jam setelah TD
turun untuk mengetahui efek terapi dan juga kemungkinan timbulnya orthotatis.

Penatalaksanaan hipertensi emergensi :

Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera diturunkan. Langkah-
langkah yang perlu diambil adalah :

1. Rawat di ICU.
2. Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik.

- tentukan penyebab krisis hipertensi

- singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT

- tentukan adanya kerusakan organ sasaran

3. Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya serta tingginya TD sebelumnya,


cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan usia
pasien.

- Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang dari
160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama,
kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic aneurysm ). Penurunan
TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang didapat.

- Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan dapat


menyebabkan berkurangnya perfusi ke ke otak, jantung dan ginjal dan hal ini harus
15
dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal :
dissecting anneurysma aorta.

- TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.

Pemakaian obat-obat untuk hipertensi emergensi


Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan untuk hipertensi emergensi dan disertai
dengan kerusakan organ sasaran yaitu salah satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV ).

1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodilator direk kuat baik arterial maupun venous.
Secara IV mempunyai onset of action yang cepat yaitu : 1 – 2 dosis 1 – 6 mg / kg / menit.
Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.
2. Nitroglycerin : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan dosis
tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 – 5 menit, duration of action 3
– 5 menit.
Dosis : 5 – 100 mg / menit, secara infus IV.
Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.
3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara IV bolus.
Onset of action 1 – 2 menit, efek puncak pada 3 – 5 menit, duration of action 4 – 12 jam.
Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 – 75 mg setiap 5 menit sampai
TD yang diinginkan.
Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen, hiperuricemia,
aritmia, dll.

4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 – 1 jam, IV
:10 – 20 menit duration of action : 6 – 12 jam.

Dosis : 10 – 20 mg i.v bolus : 10 – 40 mg i.m.

Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk
mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular.

Efek samping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put,
eksaserbasi angina, MCI akut dll.

16
5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action 15 – 60

menit.

Dosis 0,625 – 1,25 mg tiap 6 jam i.v.

6. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers. Terutama


untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin.

Dosis 5 – 20 mg secar i.v bolus atau i.m.

Onset of action 11 – 2 menit, duration of action 3 – 10 menit.

7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi sistem


simpatis dan parasimpatis.

Dosis : 1 – 4 mg / menit secara infus i.v.

Onset of action : 1 – 5 menit.

Duration of action : 10 menit.

Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest, glaukoma, hipotensi,

mulut kering.

8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent.

Dosis : 20 – 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v.

Onset of action 5 – 10 menit

Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi, dll.

Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10 jam
dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering dijumpai.

9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf simpatis.

Dosis : 250 – 500 mg secara infus i.v / 6 jam.

Onset of action : 30 – 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam.

Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino, with drawal


17
sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan kasiatnya tidak konsisten,

obat ini kurang disukai untuk terapi awal.

10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral.

Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc
dekstrose dengan titrasi dosis.

Onset of action 5 –10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam.

Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, pusing, mulut kering, rasa sakit pada parotis. Bila
dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.

Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang cara
pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan Sodium
nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan baik secara perlahan maupun
cepat sesuai keinginan dengan cara menatur tetesan infus. Bila terjadi penurunan TD berlebihan,
infus distop dan TD dapat naik kembali dalam beberapa menit.

Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus intermitten intravena
dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang diinginkan telah dicapai, injeksi dapat di
stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila digunakan obat parenteral yang long acting ataupun
obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali.

*Pilihan obat-obatan pada hipertensi emergensi 1,6,10

Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun yang sebaiknya
dihindari adalah sbb :

1. Hipertensi encephalopati:
Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, diazoxide.
Hindarkan : B-antagonist, Methyidopa, Clonidine.
2. Cerebral infark :
Anjuran : Sodium nitropsside, Labetalol,
Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonidine.
3. Perdarahan intacerebral, perdarahan subarakhnoid :

18
Anjuran : Sodiun nitroprusside Labetalol
Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonodine.
4. Miokard iskemi, miokrad infark :
Anjuran : Nitroglycerine, Labetalol, Caantagonist, Sodium Nitroprusside dan loop
diuretuk.
Hindarkan : Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil.
5. Oedem paru akut :
Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik.
Hindarkan : Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, Labetalol.
6. Aorta disseksi :
Anjuran : Sodium nitroprussidedan B-antagonist, Trimethaohaan dan B-antagonist,
labetalol.

Hindarkan : Hydralazine, Diaozoxide, Minoxidil

7. Eklampsi :
Anjuran : Hydralazine, Diazoxide, labetalol, Ca antagonist, sodium nitroprusside.
Hindarkan: Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist
8. Renal insufisiensi akut :
Anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Ca-antagonist
Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan
9. KW III-IV :
Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, Ca – antagonist.
Hindarkan : B-antagonist, Clonidine, Methyldopa.
10. Mikroaangiopati hemolitik anemia :
Anjuran : Sodium nitroprosside, Labetalol, Caantagonist.
Hindarkan : B-antagonist.

Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium nitroprusside
merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena pemakaian obat ini
haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring ketat, penderita harus dirawat
di ICU karena dapat menimbulkan hipotensi berat.

19
Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang diperukan secara
intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil) dan tampaknya
memberikan harapan yang baik.

• Obat oral untuk hipertensi emergensi : 7,8

Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan obat oral
seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam penanganan hipertensi emergensi.

Pada tahun 1993 telah diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual dan captoprial
pada penderita hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup memuaskan setelah menit ke 20.
Captopril dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna dam menurunkan TD.

Captopril 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara sublingual kepada
pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga dicatat tanda-tanda
efek samping yang timbul. Pasien digolongkan non-respon bila penurunan TD diastolik <10mmHg
setelah 20 menit pemberian obat. Respon bila TD diastolik mencapai <120mmHg atau MAP
<150mmHg dan adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan organ sasaran yang dinilai
secara klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit pemberian
obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih >120mmHg atau MAP masih >150mmHg,
tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom dan sign dari organ sasaran.

A. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada
kerusakan or-gan target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan
parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar
monitoring tekanan darah bisa dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal
pe-nurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure
(MAP) 10% se-lama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan
darah secara cepat dan berle-bihan akan mengakibatkan jantung dan pembu-luh darah orak
mengalami hipoperfusi

20
B. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi
1) Neurologic emergency. Kegawatdaru-ratan neurologi sering terjadi pada hi-pertensi
emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intrakranial dan stroke
iskemik akut. American Heart Association merekomendasikan penu-runan tekanan darah
> 180/105 mmHg pada hipertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus
dipertahankan di bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iske-mik tekanan darah
harus dipantau secara hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan darah akan
menurun se-cara sepontan. Secara terus-menerus MAP dipertahankan > 130 mmHg.
2) Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut
pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi yang
melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi den-gan nitroglycerin. Pada
studi yang telah di-lakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah
pada arteri ko-roner. Pada keadaan diseksi aorta akut pem-berian obat-obatan β-blocker
(labetalol dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat
dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut
dapat menurunkan tekanan darah sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik
> 120mmHg) dalam waktu 20 menit.
3) Kidney Failure. Acute kidney injury bisa dise-babkan oleh atau merupakan konsekuensi
dari hipertensi emergensi. Acute kidney in-jury ditandai dengan proteinuria, hematuria,
oligouria dan atau anuria. Terapi yang di-berikan masih kontroversi, namun nitroprus-side
IV telah digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan
sianida atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat meng-hindari potensi
keracunan sianida akibat dari pemberian nitroprussidedalam terapi gagal ginjal.
4) Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obat-
obatan seperti kate-kolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien dengan
kelebihan zat-zat katekolamin seper-ti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine
dapat menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin ok-sidase dapat mencetuskan
timbulnya hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada
orang-orang dengan kelebihan zat seperti pheo-chromocytoma, tekanan darah dapat
dikontrol dengan pemberian sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine
IV (ganglion-blocking agent). Golongan

21
5) β-blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai te-kanan darah yang diinginkan
tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik adalah de-ngan
memberikan kembali klonidin sebagaidosis inisial dan dengan penambahan obat-obatan
anti hipertensi yang telah dijelaskan di atas.

Tabel 3.Obat-obatan spesifik untuk komplikasi hipertensi emergensi.

22
Tabel 2. Obat-obatan parenteral yang digunakan untuk terapi hipertensi emergensi

PROGNOSIS

Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal (19%) dan gagal jantun (13%).
Prognosis menjadi lebih baik apabila penangannannya tepat dan segera.

23
KESIMPULAN

Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan di bidang neuro-cardiovaskular yang


sering di-jumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis terdiri dari hipertensi emergensi dan
hipertensi urgensi. Keduanya harus ditangani dengan tepat dan segera sehingga prognosisnya
terhadap or-gan target (otak, ginjal dan jantung) dan sistemik dapat ditanggulangi.

24
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. L
Umur : 25 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Alamat : Karang Kendal
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Suku : Jawa
Masuk RS : 27-02-2016

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Pusing berputar dan nyeri kepala sejak 1 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Arjawinangun dengan keluhan pusing berputar dan nyeri kepala
sejak 1 hari SMRS yang dirasakan tiba tiba dan disertai pandangan buram. Pasien juga
merasa mual, namun tidak disertai muntah. Pasien mengeluh batuk tidak berdahak yang
dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Pasien tidak mengeluhkan adanya demam, nafsu makan
pasien menurun. BAB dan BAK normal.
Pasien mengaku sedang menjalani pengobatan TB paru yang dimulai dari 1 bulan yang
lalu. Pasien mempunyai riwayat pengobatan hipertensi 1 tahun yang lalu namun tidak
pernah dikontrol.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat DM disangkal
 Riwayat TB paru disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang sama dengan pasien
Riwayat Kebiasaan
 Sering minum minuman berenergi(x-trajoss dan cucubima) sejak umur 18 tahun

25
Riwayat Pengobatan
 Pengobatan hipertensi 1 tahun yang lalu (Namun tidak rutin minum obat)

I. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Keadaan umum : CM
Keadaan sakit : Sakit berat
Kesadaran/GCS : Composmentis / E4V5M6.
Tekanan Darah : 180/120 mmHg.
Nadi : 97 kali per menit, reguler
Pernafasan : 22 kali per menit
Suhu : 37,4 oC.
Status Lokalis
• Kepala :
- Normochepal, rambut hitam
Mata :
- Konjungtiva anemis -/-
- Sklera ikterik -/-
- Pupil isokhor
Telinga :
- Normotia
- Lubang telinga : normal, secret (-/-).
- Nyeri tekan (-/-).
- Peradangan pada telinga (-)
- Pendengaran : normal.
Hidung :
- Simetris, deviasi septum (-/-).
- Napas cuping hidung (-/-).
- Perdarahan (-/-), secret (-/-).
- Penciuman normal.
Mulut :

26
- Simetris.
- Bibir : sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-).
- Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-).
- Lidah: glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-), kemerahan di pinggir
(-), tremor (-), lidah kotor (-).
- Gigi : caries (-)
- Mukosa : normal.
• Leher :
- Pembesaran KGB (-)
- Peningkatan JVP (+) 5±4 cmH2O
- Trakea : di tengah, tidak deviasi
• Thorax
Pulmo :
Inspeksi : Bentuk simetris, pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Fremitus taktil dan fremitus vokal kanan simetris,
nyeri tekan (-), edema (-), krepitasi (-).
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikular kanan menurun, rhonki (+/+), wheezing (-/-)
Cor :
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba ICS V linea midklavikula sinistra
Perkusi : batas kanan jantung : ICS IV linea parasternal dextra.
batas kiri jantung : ICS IV linea midklavikula sinistra.
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).
• Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-).
Auskultasi : Bising usus (+) normal, metallic sound (-), bising aorta (-).
Palpasi : Nyeri tekan pada regio epigastrium, Balotement (-)
Perkusi : Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen, Shifting dullness (-), nyeri
ketok CVA (-)
• Extremitas :

27
Ekstremitas atas :
Akral hangat : +/+, Deformitas : -/-, Edema: -/-, Sianosis : -/-

Ekstremitas bawah :
Akral hangat : +/+, Deformitas : -/-, Edema: -/-
• Genitourinaria : Tidak dievaluasi.

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Darah Rutin
Tanggal WBC HGB HCT PLT
[10^3/ µL] g/dL [%] [10^3/ µL]
27/02/2016 7,3 9,9 27,5 295.000
Pemeriksaan Dex Eritrosit
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
MCV 77,1 79 – 99 fl
MCH 27,9 27 – 31 pg
MCHC 36,1 33 – 37 g/dl
RDW 14,7 33 – 47 fl
MPV 7,6 7,9 – 11,1 fl
PDW 38,3 9,0 – 13,0 fl
Hitung Jenis ( DIFF)
Eosinofil 3,1 0–3%
Basofil 0,8 0–1%
Segmen 82,2 25 – 70 %
Limfosit 8,8 20 – 40 %
Monosit 3,7 0–9%
Stab 1,4 35 – 47 %
Kimia Klinik
GDS 85 70 - 140 mg/dl
Ureum 103,4 10 - 45 mg/dl

28
Kreatinin 6,97 0,50 - 1,10 mg/dl
Asam Urat 13,79 3,4 – 7,2 mg/dl

Elektrokardiografi (27/02/2016)

Kesan :
- Sinus rhytm, heart rate 100 kali/menit
- Normoaxis
- T inversi pada Lead I dan lead AVL
- Terdapat LVH

29
Radiologi (01/02/2016)

Kesan: - Pembesaran jantung mild, susp. TB paru advance

III. Follow Up
TANGG SUBJEKTIVE OBJEKTIVE ASESMEN PLANING
AL T
29/02/16 Pusing berputar P : 88 x/menit Hipertensi RL 8 tpm
(+), pandangan R : 20 x/menit emergency
OAT lanjutkan
buram (+), batuk S : 36,7 Gangguan
(+), demam (-), TD : 150/120 visus Ranitidin 2x1

mual (+), muntah Kepala : TB paru on amp

(-), BAB dan Normochepal OAT Ondansetron 3


BAK normal Mata : Ca(-/-), Si(- x 1 amp
/-)
Candesartan
Leher jvp
2x8 mg
meningkat
Pulmo : VBS kanan Amlodipin
turun, RH (+/+), 1x10 mg
WH (-/-)
ketorolac 2x1
amp

30
COR : BJ 1-2 reg, konsul mata
GL(-), Mur (-) cek ureum
Abdo : BU(+), NT kreatinin
(+) pada ulu hati
Ekstremitas : Akral
hangat, edema (-/-)

01/03/16 Pusing berputar P : 98 x/menit Hipertensi RL 8 tpm


(+), pandangan R : 30 x/menit emergency
OAT lanjutkan
buram (+), batuk S : 36,5 TB paru on
(+), sesak (+), TD : 190/140 OAT Ranitidin 2x1

demam (-), mual Kepala : Papil amp

(+), muntah (-), Normochepal edema+neur Ondansetron 3


BAB dan BAK Mata : Ca(-/-), Si(- oretinitis x 1 amp
normal /-), papil edema
candesartan
Leher : JVP
2x16 mg
meningkat
Pulmo : VBS kanan Ketorolac 2x1
turun, RH (-/+), amp
WH (-/-)
Glaucon
COR : BJ 1-2 reg,
1x1tab
GL(-), Mur (-)
Timol 2x1 ed
Abdo : BU(+), NT
ODS
(+) pada
epigastrium Noncort 4x1
Ekstremitas : Akral
Neurodex 1x1
hangat, edema (-/-)
ISDN 2x1

Aspilet 1x1

31
CT scan Head
orbita

02/03/16 Pusing berputar P : 94 x/menit Hipertensi RL 8 tpm


(+), pandangan R : 27 x/menit emergency OAT Stop
buram (+), batuk S : 37,0 TB paru on pirazinamid,
(+), sesak (+), TD : 170/140 OAT RHE
demam (-), mual Kepala : Papil Ranitidin 2x1
(+), muntah (-), Normochepal edema+neur amp
BAB dan BAK Mata : Ca(-/-), Si(- oretinitis Ondansetron
normal /-) papil edema CKD grade stop
Leher : T.A.K V candesartan
Pulmo : VBS kanan 2x16 mg
turun, RH (-/+), Ketorolac 2x1
WH (-/-) amp
COR : BJ 1-2 reg, Glaucon
GL(-), Mur (-) 1x1tab

32
Abdo : BU(+), NT Timol 2x1 ed
(+) pada ODS
epigastrium Noncort 4x1
Ekstremitas : Akral Neurodex 1x1
hangat, edema (-/-) Asam folat3x1
B12 3x1
B6 1x1
ISDN 2x1
Aspilet 1x1
Cek Asam urat
USG ginjal
03/02/16 Pusing P : 88 x/menit Hipertensi RL 8 tpm
berkurang, R: 27 emergency RHE
pandangan buram S: 37,3 TB paru on Ranitidin 2x1
(-), batuk (+), TD: 110/80 OAT amp
sesak (-), demam Kepala : Papil candesartan
(-), mual Normochepal edema+neur 2x8 mg
berkurang, Mata : Ca(-/-), Si(- oretinitis Glaucon
muntah (-), BAB /-) papil edema CKD grade 1x1tab
dan BAK normal Leher : T.A.K V Timol 2x1 ed
Pulmo : VBS kanan Hiperuricem ODS
turun, RH (-/+), ia Noncort 4x1
WH (-/-) Neurodex 1x1
COR : BJ 1-2 reg, Asam folat3x1
GL(-), Mur (-) B12 3x1
Abdo : BU(+), NT B6 1x1
(+) pada ISDN 2x1
epigastrium Aspilet 1x1
Ekstremitas : Akral Allopurinol
hangat, edema 1x100
tungkai bawah (-/-) Acc pulang

33
34
IV. RESUME
Laki-laki usia 25 tahun dengan cephalgia, mata buram, mual, batuk kronik, sedang
menjalani pengobatan TB paru 1 bulan, riwayat hipertensi tidak terkontrol, riwayat rutin
konsumsi minuman berenergi (x-trajoss dan cucubima) selama 7 tahun, hipertensi 180/120
mmHg, takikardi 97 kali/menit, peningkatan JVP 5 ±4, Ronkhi +/+, Anemia normositik
normokrom (Hb : 9.9, MCV : 77, MCH : 27,9, MCHC : 36,1), ureum 103,4, kreatinin 6.97,
Asam urat 13.79. Hasil EKG : CAD dan LVH. Hasil foto thorax pembesaran jantung mild,
susp. TB paru advance.

V. DAFTAR MASALAH
- Hipertensi emergency
- Gangguan visus
- AKI dd/ CKD
- Anemia normositik normokrom
- CAD dan LVH
- TB paru on OAT
- Hiperuricemia

35
VI. PENGKAJIAN
1. Hipertensi emergensi
Atas dasar : Pada pemeriksaan tekanan darah, didapatkan tekanan darah sistol >180,
diastole >120 yaitu 180/120 mmHg, ditemukan disfungsi organ yaitu
penurunan visus. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol
sejak 1 tahun yang lalu.
Assesment : Hipertensi emergensi
Planning :
 Diagnosis : Pengukuran tekanan darah secara berkala
Pemeriksaan ureum dan kreatinin serum
Elektrokardiografi
Foto thorax
 Treatment :
Non farmakologis
• Tirah baring
• Pemasangan kateter urin
• Diet rendah garam
Farmakologis
• Candesartan 2x8 mg
• Amlodipin 1x10 mg

2. Gangguan visus
Atas dasar : Pasien mengeluhkan pandangan buram. Pasien juga mengeluhkan pusing
berputar dan nyeri kepala. Saat dilakukan pemeriksaan tekanan darah
didapatkan hasil 180/120 mmHg. Dalam hal ini gangguan pandangan
pada pasien ini merupakan disfungsi organ akibat dari hipertensi.
Assesment : Hipertensi emergensi
Planning :
 Diagnosis : Pengukuran tekanan darah secara berkala
Pemeriksaan ketajaman penglihatan dengan snellen chart
 Treatment :

36
Non farmakologis
• Tirah baring
• Konsul dr spesialis mata
Farmakologis
• Glaucon 1x1tab
• Timol 2x1 ed ODS
• Noncort 4x1
• Neurodex 1x1

3. AKI dd/ CKD


Atas dasar :

Assesment : Efusi Pleura dextra


Planning :
 Diagnosis : Pungsi cairan pleura
 Treatment : WSD

4. Hipokalemia (??)
Atas dasar : Penggunan furosemide, hasil lab hipokalium : 3,2
Assesment : Hipokalemia
Planning :
 Treatment :
Farmakologis
• KSR 1 x 1

37
Non farmakologis
• Makan pisang
 Cek kimia darah ulang

38
BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien perempuan berusia 65 tahun datang ke RSUD Arjawinangun dengan keluhan sesak
nafas yang dirasakan semakin memberat sejak 2 hari SMRS yang disertai nyeri yang menjalar ke
punggung kiri, nyeri dirasakan seperti tertusuk. Pasien merasa lebih nyaman berbaring dengan 3
bantal. Sesak tetap dirasakan meski sedang istirahat dan lebih berat saat beraktivitas atau saat
malam hari. Pasien juga mengeluhkan batuk tidak berdahak sejak 1 minggu. Pasien juga mengeluh
kedua tungkai bawah sedikit membengkak sejak 4 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
demam, mual dan pusing sejak 2 hari. Pasien tidak mengeluhkan masalah pada BAB dan BAK,
nafsu makan pasien masih baik.
Dari hasil pemeriksaan selama pasien dirawat di Ruang Diponegoro bagian Penyakit
Dalam RSUD Arjawinangun, pasien terdiagnosis CHF. Hal ini didasari pada ditemukannya
keluhan sesak napas yang lebih berat saat malam hari (PND (+)), edema tungkai, peningkatan JVP
5 ±4 , batuk memberat di malam hari, Ronkhi paru, takikardia, pada pemeriksaan rontgen
didapatkan efusi pleura dextra, pemeriksaan echocardiografi didapatkan CHF dan CAD.
Berdasarkan kriteria farmingham terdapat 3 kriteria mayor (PND, Peningkatan JVP, ronkhi paru),
dan 4 kriteria minor (Batuk di malam hari, edema tungkai, efusi pleura, dan takikardi) sehingga
dapat ditegakkan diagnosis CHF pada pasien ini. Pasien juga memiliki penyulit yaitu kondisi
sepsis, CAD, efusi pleura dextra, hypokalemia dan anemia yang masing-masing diketahui
berdasarkan pemeriksaan fisik demam 38.9oC, takikardi 120 kali/menit, takipneu 32 kali/menit,
pemeriksaan penunjang lab Anemia : 9.2 g/dL, Leukositosis : 12,13 10e3/µL, Trombositopenia :
910 10e3/µL, Neutrofil Segmen : 87,6 %, Hipokalemia : 3,2. Pemeriksaan foto thorax dengan
kesan efusi pleura dextra, pemeriksaan EKG : Sinus rhytm, heart rate 100 kali/menit, Left axis
deviation, T inversi pada Lead V1, V2, V3, V4, V5, V6 dan ST elevasi pada lead V4, V5, V6
(Infark miokard anterolateral), dan ECG : CAD.
Berdasarkan data yang terkumpul, pasien mendapatkan perawatan di ruang rawat inap Diponegoro
selama 4 hari. Pasien mendapatkan terapi : infus RL 8 tpm, O2 4 liter/menit, Furosemid 2x1 amp,
Ranitidin 2x1 amp, ISDN 2x1 tab, Aspilet 1 x 1, Clopidrogel 1x1, dan KSR 1 x 1. Pasien menolak

39
tindakan pemasangan kateter urin. Pasien dipindahkan ke ruang rawat campuran dan rawat
bersama dengan bagian paru.

40
DAFTAR PUSTAKA

41

Anda mungkin juga menyukai