Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN HEMODIALISA
Hemodialisis (hd) adalah cara pengobatan / prosedur tindakan untuk
memisahkan darah dari zat-zat sisa / racun yang dilaksanakan dengan mengalirkan
darah melalui membran semipermiabel dimana zat sisa atau racun ini dialihkan dari
darah ke cairan dialisat yang kemudian dibuang, sedangkan darah kembali ke dalam
tubuh sesuai dengan arti dari hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti
memindahkan

B. TUJUAN HEMODIALISA
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengmbil zat-zat nitrogen yang toksik dari
darah dan mengelurkan air yang berlebihan.Pada hemodialisis, aliran darah yang
penuh dengan toksik dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser
tempat darah tersebut di bersihkan dan kemudian di kembalikan lagi ke tubuh pasien.

C. PRINSIP HEMODIALISA
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi.
 Toksin dan zat limbah di keluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak
dari darah yang memilki konsentrasi tinggi ke cairan yang konsentrasi rendah.
 Air yang berlebihan akan di keluarkan dari tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat di kendalaikan dengan menciptakan gradien tekanan
dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi
(tubuh pasien) ke tekanan yang loebih rendah (cairan dialisat).gradien ini dapat di
tingkatkan meleui tekanan negatif yang di kenal dengan ultrafiltrasi. Tekanan
negatif ini di terapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran
dan memfasilitasi pengeluran air karena pasien tidak dapat mengekresikan ari
kekuatan ini di perlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai
isovolemia(keseimbangan cairan).
D. PENATALAKSANAAN PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS
JANGKA PANJANG
Diet dan masalah cairan.
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis mengingat
adanya efek uremia. Apabila ginajal yang rusak tidak mampu mengekresikan produk
akhir metabolisme, subtansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum
pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin yang di kenal dengan gejala uremik.
Pertimbangan medikasi.
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang
memerlukan obat-obatan harus di pantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar
obat-obatan dalam darah dan jaringan dapat di pertahankan tanpa menimbulkan
akumulasi toksik.

E. KOMPLIKASI HEMODIALISA
Komplikasi terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut:
1. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan di keluarkan.
2. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika
udara memasuki sistem vaskuler pasien.
3. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah di luar tubuh.
4. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan
muncul sebagai serangan kejang.
6. Kram otot yang nyeri terjadi ketikacairan dan elektrolit dengan cepat
meningglkan ruang ekstrasel.
7. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi
BAB II
HIPOTENSI INTRADIALISIS

A. PENGERTIAN
Pada beberapa literatur, pengertian intradialytic hypotension (IDH) tidak
memiliki standardisasi dan beberapa studi memiliki definisi yang berbeda.Namun
kebanyakan mendefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai
munculnya gejala spesifik.Penurunan tekanan darah bisa relatif atau absolut.Banyak
definisi yang menyebutkan tentang hipotensi intradialisis, menurut Shahgholian,
Ghafourifard dan Mortazavi ( 2008 ) hipotensi intradialisis adalah penurunan tekanan
darah dari sistolik > 30 % atau penurunan tekanan diastolic sampai dibawah 60
mmHg yang terjadi pada saat pasien menjalani hemodialysis. Hipotensi intradialisis
juga dapat di definisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik > 40 mmHg atau
diastolic > 20 mmHg dalam waktu 15 menit ( Teta 2006 ). Sedangkan menurut
National Kidney Foundation 2002 Hipotensi intradialisis didefinisikan sebagai
penurunan tekanan darah sistolik > 20 mmHg atau penurunan MAP > 10 mmHg saat
pasien hemodialysis yang dihubungkan dengan gejala; perut tidak nyaman, menguap,
mual muntah kram otot, pusing dan cemas.
Sampai saat ini, belum ada evidence based yang merekomendasikan
pengertian IDH. Manifestasi dari IDH bervariasi mulai dari asimptomatik sampai
dengan syok.The EBPG working group menekankan bahwa menurunnya tekanan
darah, disertai dengan munculnya gejala klinis yang membutuhkan intervensi medis
harus dipikirkan kemungkinan munculnya IDH.Beberapa literature mengemukakan
bahwa IDH ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik ≥ 30 atau tekanan darah
sistolik absolut dibawah 90 mmHg. Hipotensi pada dialisis bisa muncul dengan
beberapa gambaran klinis: (i) akut (episodik) hipotensi, didefinisikan sebagai
penurunan tekanan darah sistolik secara tiba-tiba dibawah 90 mmHg atau paling tidak
20 mmHg diikuti dengan gejala klinis, (ii) Rekuren (berulang), secara definisi sama
seperti yang sebelumnya, namun hipotensi terjadi pada 50% dari sesi dialisis, dan (iii)
kronik, yaitu hipotensi persisten yang didefinisikan sebagai tekanan darah interdialisis
tetap dalam kisaran 90-100 mmHg. Pedoman dari NKF KDOQI, mendefiniskan
hipotensi intradialisis (Intradialytic hypotension) sebagai suatu penurunan tekanan
darah sistolik ≥ 20 mmHg atau penurunan Mean arterial pressure (MAP) >10 mmHg
dan menyebabkan munculnya gejalagejala seperti: perasaan tidak nyaman pada perut
(abdominal discomfort); menguap (yawning); sighing; mual; muntah; otot terasa kram
(muscle cramps), gelisah, pusing, dan kecemasan. Hal ini mengganggu kenyamanan
pasien, dan dapat mencetuskan aritmia jantung, dan sebagai faktor predisposisi untuk
penyakit jantung koroner, infark miokard (Burton et al., 2009) dan/atau kejadian
iskemia otak (Mizumasa et al., 2004). Selain itu, IDH menyebabkan terhalangnya
dosis dialisis yang adequat (adequate dose of dialysis), dimana episode hipotensi
menyebabkan efek kompartemen dan menghasilkan Kt/Vurea suboptimal.1,2,3,4
Komplikasi kardiovaskular dari IDH termasuk: kejadian iskemia (kardiak atau
neurologis); trombosis vaskular; disritmia; dan infark vena mesenterika. Efek IDH
jangka panjang termasuk; kelebihan cairan dikarenakan ultrafiltrasi yang suboptimal
dan pemberian bolus cairan resusitasi, pembesaran ventrikel jantung kanan, yang
berhubungan denganmorbiditas dan mortalitas; serta hipertensi interdialisis.

B. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gelaja hipotensi intradialis yang terjadi pada mumumnya :
1. Tekanan darah < 90 / 60 mmHg
2. Sering pusing, dan menguap,
3. Penglihatan terkadang dirasakan kurang jelas (kunang-kunang) terutama sehabis
duduk lama lalu berjalan
4. Keringat dingin
5. Merasa cepat lelah tak bertenaga
6. Bahkan mengalami pingsan yang berulang.
7. Pada pemeriksaan secara umum detak/denyut nadi teraba lemah,
8. Penderita tampak pucat, hal ini disebabkan suplai darah yang tidak maksimum
keseluruh jaringan tubuh.

C. FAKTOR RESIKO HIPOTENSI INTRA DIALISA


Beberapa subgrup pasien yang mempunyai kecenderungan terjadinya IDH
antara lain pasien dengan diabetes CKD, penyakit kardiovaskular, status nutrisi yang
jelek, dan hipoalbuminemia, uremic neuropathy atau disfungsi autonomik, anemia
yang berat, usia ≥ 65 tahun, dan tekanan darah sistolik predialisis < 100 mmHg,
Kecepatan ultrafiltrasi yang tinggi, tidak akuratnya dalam penentuan berat badan
kering pasien.
Namun demikian belum ada penelitian epidemiologis dalam jumlah skala
besar untuk mendefinisikan faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian
IDH, walaupun IDH muncul lebih sering pada pasien dengan diabetes dan hipotensi
predialisis.Walaupun pasien dialisis memiliki tensi yang normal (normotensi) atau
hipertensi, dapat mengalami IDH.Derajat beratnya IDH pada satu pasien mungkin
bisa bervariasi dari waktu ke waktu.Insidensi IDH sangat bervariasi selama periode 24
bulan.Selain itu, ada variasi tekanan darah pada pasien hemodialisis. Studi penelitian
multi-centre cohort yang besar, telah dilaporkan oleh Tisler et al. Dari penelitian
kohort 958 pasien, bersumber dari 11 pusat hemodialisis, dijumpai 226 pasien dengan
IDH. Usia, jenis kelamin wanita, diabetes melitus, hiperfosfatemia, penyakit arteri
koroner, dan penyakit ginjal selain glomerulonefritis, dan penggunaan obat-obat
golongan nitrat, menyebabkan angka kejadian IDH lebih tinggi.Analisis multivariat,
menyimpulkan bahwa usia, hiperfosfatemia dan penggunaan obat-obatan nitrat
merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya IDH. Pada studi lain, episode
hipotensi muncul pada 44% pasien dialisis dengan usia ≥ 65 tahun dan 32% pada
pasien dengan usia yang lebih muda. Nakamoto H dkk mengemukakan bahwa kadar
albumin yang rendah merupakan faktor resiko untuk IDH. Abnormalitas dari jantung
dapat meningkatkan resiko terjadinya IDH.Pada studi observasional 15 pasien dialisis,
penurunan tekanan darah lebih tinggi pada pasien dengan disfungsi sistolik,
dibandingkan dengan pasien dengan fungsi sistolik yang normal.Dan juga, disfungsi
diastolik bisa meningkatkan resiko IDH.Pada suatu studi observational, pasien dengan
IDH mempunyai hipertrofi ventrikel kiri yang lebih berat dengan tekanan darah
predialisis yang lebih rendah, dan terganggunya pengisian diastolik ventrikel
kiri.Walaupun anemia dipertimbangkan sebagai faktor resiko untuk terjadinya IDH,
belum ada studi yang membahas hubungan anemia terhadap terjadinya IDH.Neuropati
saraf autonom juga ditemukan sebagai salah satu faktor resiko untuk IDH pada
sebagian banyak penelitian, namun tidak pada semua penelitian. Berikut ini adalah
subgrup pasien dengan hemodialisis kronik yang harus dievaluasi dengan hati-hati
karena memiliki faktor resiko untuk terjadinya IDH:
 Pasien dengan diabetes CKD stadium 5
 Pasien dengan Penyakit kardiovaskular: LVH dan disfungsi diastolik dengan
atau tanpa CHF; Pasien dengan penyakit katup jantung; Pasien dengan
penyakit perikardium (perikarditisi konstriktif atau efusi perikardium)
 Pasien dengan status nutrisi yang buruk, dan hipoalbuminemia
 Pasien dengan uremic neuropathy atau disfungsi autonomik dikarenakan
penyebab lain
 Pasien dengan anemia yang berat
 Pasien yang membutuhkan volume ultrafiltrasi yang lebih besar; misal pada
pasien dengan berat badan yang melebihi interdialytic weight gain
 Pasien dengan usia 65 tahun atau usia yang lebih tua
 Pasien dengan tekanan darah sistolik predialisis < 100 mmHg

D. PATOFISIOLOGI
Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab dari IDH adalah
multifaktorial. Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan
darah selama hemodialisis: umur, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati,
anemia, large interdialytic weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat antihipertensi.
Pada sisi lain, faktor-faktor yang berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat
berkontribusi terhadap instabilitas hemodinamik: sesi hemodialisis yang pendek, laju
ultrafiltrasi yang tinggi, temperatur dialisat yang tinggi, konsentrasi sodium dialisat
yang rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari membran dan lain-lain. Faktor
yang kelihatannya paling dominan dari kejadian IDH ini adalah berkurangnya volume
sirkulasi darah yang agresif, dikarenakan ultrafiltrasi, penurunan osmolalitas
ekstraselular dengan cepat yang berhubungan dengan perpindahan sodium, dan
ketidakseimbangan antara ultrafiltrasi dan plasma refilling. Dari segi pandangan
fisiologi, IDH dapat dipandang sebagai suatu keadaan ketidakmampuan dari system
kardiovaskular dalam merespon penurunan volume darah secara adequat.Respon
adequate dari sistem kardiovaskular termasuk refleks aktivasi sitem saraf simpatetik,
termasuk takikardia dan vasokonstriksi arteri dan vena yang merupakan respon dari
cardiac underfilling dan hipovolemia. Mekanisme kompensasi ini dapat terganggu
pada beberapa pasien, yang akan menyebabkan mereka mempunyai faktor resiko
terjadinya IDH. Bagaimanapun, hal-hal seperti ini sulit untuk diukur dan untuk
dimodifikasi.Suatu studi komprehensif mengenai regulasi volume darah selama HD,
dapat menolong kita untukmengerti tentang kemungkinan IDH pada individu pasien.
Regulasi Volume Darah
Konsep Plasma Refilling
Volume darah tergantung dari dua faktor utama; kapasitas plasma refilling dan
laju ultrafiltrasi.Selama sesi HD, cairan dipindahkan langsung dari kompartemen
intravaskular. Jumlah total cairan tubuh (TBW), sekitar 60% dari berat badan,
didistribusikan di intraseluler (40% BW) dan sebagian lagi di kompartemen
ekstraselular (20% BW). Ekstraselular dapat dibagi lagi menjadi interstisial (15%
BW) dan intravaskular (5% BW).Sehingga hanya sekitar 5-8% dari TBW yang dapat
diultrafiltrasi.Sehingga untuk memindahkan sejumlah cairan substansial dalam jangka
waktu tertentu, kompartemen vaskular harus melakukan refilling secara terus menerus
dari ruangan interstisial. Dalam lingkaran fisiologis, penurunan volume darah akan
menginisiasi peningkatan resistensi vaskular perifer, dikarenakan vasokonstriksi, dan
mempertahankan cardiac output dengan cara meningkatkan heart rate dan
kontraktilitas miokard dan konstriksi dari capacitance vessels. Orang sehat dapat
mentoleransi penurunan volume sirkulasi darah sampai 20% sebelum munculnya
hipotensi.Namun, pada pasien dengan HD, hipotensi dapat muncul hanya dengan
penurunan volume darah dalam jumlah yang lebih sedikit.Terganggunya respon
kardiak berupa peningkatan heart rate dan kontraktilitas miokardium dapat
mencetuskan terjadinya IDH.Telah dikemukakan sebelumnya bahwa adanya penyakit
jantung, yang menyebabkan disfungsi sistolik atau diastolik meningkatkan resiko
terjadinya IDH.Penurunan tekanan darah lebih besar pada pasien dengan disfungsi
sistolik dibandingkan denga fungsi sistolik normal.Hipertrofi ventrikel kiri yang lebih
berat dan diastolic filling yang terganggu juga dijumpai pada pasien IDH.
Plasma refill sebagian besar diperankan oleh tekanan hidrostatik dan tekanan
onkotik. Selama sesi HD awal, tekanan onkotik vaskular meningkat dan tekanan
hidrostatik menurun sebagai hasil dari ultrafiltrasi yang progresif.Perubahan gradien
tekanan menyebabkan cairan bergerak ke dalam vaskular sampai keseimbangan
tercapai.Begitu seterusnya sampai sesi HD berakhir (Santoro et al., 1996). Beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi laju plasma refilling adalah: status hidrasi
kompartemen interstisial, osmolalitas plasma, dan konsentrasi plasma protein,
konsentrasi sodium dialisat, permeabilitas vaskular, dan venous compliance.
Sehingga, IDH dapat muncul ketika terjadinya ketidakseimbangan diantara laju
ultrafiltrasi dan kapasitas plasma refilling yang tidak bisa diatur oleh refleks
kompensasi kardiovaskular.
Cardiac underfilling terutama ventricular underfilling merupakan salah satu
mekanisme akibat terganggunya mekanisme kompensasi kardiovaskular yang dapat
memicu sympatico-inhibitory cardiodepressor Bezold-Jarish reflex.Refleks ini berupa
suatu keadaan bradikardia akibat gangguan respon simpatik yang terganggu.Beberapa
penelitian telah menunujukkan bahwa gangguan fungsi simpatik, dapat ditunjukkan
dengan beberapa manifestasi, seperti berkurangnya frekuensi heart rate.Berkurangnya
resistensi dan kapasitansi pembuluh darah selama penurunan volume darah dapat
memicu IDH.Berkurangnya konstriksi dari arteriolar dapat mengganggu respon
fisiologis terhadap keadaan hipovolemia.Berkurangnya konstriksi aktif dan pasif dari
venula dan vena, yang menyebabkan berkurangnya venous return selama
hipovolemia.
Telah lama diketahui sebelumnya bahwa iskemia miokardium dapat
disebabkan oleh HD. Sesi HD yang singkat saja dapat berpengaruh secara signifikan
terhadap hemodinamik, dan 20-30% kejadian ini menyebabkan IDH.Pasien HD lebih
rentan terhadap kejadian iskemia miokardium.Dengan bertambah tingginya kejadian
ateroma arteri koroner, pasien diabetes dengan HD, mengalami suatu keadaan yaitu
berkurangnya aliran koroner walaupun tidak dijumpai lesi di pembuluh darah
koroner.Pasien HD juga cenderung mengalami LVH, berkurangnya compliance arteri
perifer, gangguan mikrosirkulasi, dan inefektif mikrosirkulasi, dan inefektif
vasoregulasi. Seluruh faktor ini akan mempredisposisi terjadinya iskemia jantung.
Diabetes dapat menyebabkan komplikasi sistemik seperti neuropati autonom, dan
perifer, makroangiopati, dan progresifitas dari aterosklerosis dan dapat memperberat
atau bahkan meningkatkan kejadian IDH.Salah satu juga yang harus diperhitungkan
bahwa uremia sendiri dapat menyebabkan disfungsi autonom.
Zat-zat Vasoaktif
Beberapa penulis mengindikasikan mengenai mengenai pengaruh dari beberapa
substansi vasoaktif yang disintesis atau dilepaskan selama sesi dialisis
berlangsung.Seperti yang telah diketahui sebelumnya, disfungsi endotel mempunyai
peran penting dalam instabilitas hemodinamik selama dialisis berlangsung. Sebagai
respon mekanis dan kimia, sel endotel akan merespon dengan memproduksi substansi
biologis aktif, yaitu: endothelial derived relaxing factor, NO, endothelin-1. Sebagai
contoh, zat-zat cardiodepressive dan vasodilative adenosine atau nitric oxide (NO)
yang mengalami produksi berlebihan oleh inducible synthase.Adenosin, suatu
nukleosida purin endogen, dilepaskan oleh sel endotel dan miosit vaskular selama
terjadinya iskemia jaringan.Konsentrasi adenosin yang tinggi dan metabolitnya telah
banyak dijumpai pada pasien hemodialisis.Substansi ini bekerja dengan menstimulasi
reseptor spesifik dan efek yang ditimbulkannya adalah supresi dari kontraktilitas
jantung, dan berkurangnya heart rate, relaksasi arteri, dan juga menurunnya
pelepasan katekolamin dan renin.Akumulasi dari adenosin mungkin terjadi karena
dipicu oleh IDH yang mencetuskan iskemia, dan hal ini sepertinya tidak merupakan
pemeran utama dari patogenesis terjadinya hipotensi intradialisis.NO, merupakan zat
kimia yang labil, disintesa dari asam amino L-arginine (L-arg) oleh enzim NOS
(Nitric Oxide synthase), studi invitro mengemukakan bahwa aktivitas dari NO
synthase meningkat ketika darah terekspos oleh material membran hemodialisis. Pada
pasien dengan hemodialisis, aktivasi dari sitokin selama hemodialisis meningkatkan
kadar NO, dan uremic milieu telah dilaporkan meningkatkan sintesis dari NO dengan
meningkatkan aktivitas dari NO synthase (NOS). Sebenarnya ada zat yang
menghambat sintesa dari NO, zat ini disebut Asymmetric dimethyarginine
(ADMA).Inhibitor ini bersifat dialyzable. Sehingga, gangguan keseimbangan kadar
NO dan ADMA selama proses HD, dapat mencetuskan instabilitas hemodinamik.
Endothelin-1 (ET-1) dapat memodulasi respon vaskular, dan menentukan respon
hemodinamik terhadap perubahan volume intravaskular selama hemodialisis terjadi.

Komposisi Cairan Dialisat


Dialisat Sodium
Kadar sodium pada cairan dialisat memainkan peranan penting dalam refill
volumedarah dari kompartemen interstisial. Pengembalian volume darah dari
interstisial ke dalamkompartemen intravaskular akan rendah bila status hidrasi dari
interstisial juga rendah.Semakin tinggi konsentrasi sodium pada cairan dialisat, maka
cairan akan bergerak darikompartemen intraselular, sedangkan konsentrasi sodium
yang rendah, disequilibrium antarakompartemen intraselular dan ekstraselular akan
terjadi. Oleh karena itu, dialisis dengankadar sodium yang rendah, pengembalian
volume darah dari kompartemen interstisial akanterganggu, oleh karena normalnya
cairan akan bergerak dari interstisial kedalamkompartemen intraselular, sementara
dengan kadar sodium dalam dialisat, cairan akanbergerak dari intraselular ke dalam
kompartemen interstisial, yang pada gilirannya akanmempengaruhi pengembalian
volume darah dari interstisial kedalam kompartemenintravaskular.
Beberapa studi, menemukan adanya penurunan insidensi IDH atau
insidensipenurunan tekanan darah pada pasien yang diterapi dengan konsentrasi
sodium dialisatkonvensional (138-140 mmol/L) dibandingkan dengan konsentrasi
sodium dialisat yangrendah (≤135 mmol/L). Namun tidak semua studi berpendapat
sama seperti yang diatas.
Kadar sodium dialisat yang tinggi (>140 mmol/L) telah dikemukakan dapat
mencegahterjadinya IDH. Walaupun kadar sodium dialisat yang tinggi dapat
digunakan dalampencegahan IDH, hal ini tidak sepenuhnya bisa diterima, karena
beberapa studimenyimpulkan bahwa dengan kadar sodium dialisat yang tinggi
berhubungan dengan controltekanan darah yang buruk selama sesi dialisis
(intradialytic), terutama pada pasien hipertensiatau peningkatan IDWG. Penggunaan
cairan dialisat dengan kadar sodium yang lebihtinggi(> 140 mEq/L) efektif untuk
memastikan adequatnya vascular refilling dan telahterbukti sebagai salah satu terapi
yang efikasi dan toleransinya paling baik untuk hipotensiepisodik.
Kadar sodium pada cairan dialisat dapat dimodifikasi selama hemodialisa
dengantujuan mengurangi penurunan volume darah yang terlalu agresif selama
ultrafiltrasi. Hal inidapat dilakukan dengan cara memodifikasi konsentrasi sodium
selama proses hemodialisis.Pada umumnya, konsentrasi tinggi sodium dialisat
digunakan pada awal sesi HD, sehinggaakan menyebabkan influx dari Na lebih awal
untuk mencegah penurunan osmolalitas plasmayang agresif. Banyak penelitian,
mengemukakan bahwa dialisis dengan kadar sodium tinggi,berhubungan dengan
peningkatan rasa haus, IDWG, dan peningkatan level tekanan darah predialisis.
Buffer Dialisat
Asetat, pada dekade sebelumnya digunakan sebagai buffer dialisat,
mempunyai efek vasodilatasi, dan efek kardiodepresan. Pada beberapa studi cross
over yang kecil. Penurunan tekanan darah yang lebih besar atau insidensi IDH yang
lebih tinggi dijumpai pada penggunaan asetat dibandingkan dengan bikarbonat.Suatu
studi mengemukakan bahwa toleransi ultrafiltrasi lebih baik dan signifikan dengan
menggunakan bikarbonat dibandingkan dengan penggunaan asetat.Ada dua studi yang
mencoba efek dari perubahan buffer asetat menjadi bikarbonat.Pada salah satu dari
kedua studi tersebut, merupakan non-randomized cross-over trial, menyimpulkan
terjadinya penurunan insidensi IDH sebesar 50%. Dan juga selama proses
hemodiafiltrasi, sedikit terjadi instabilitas hemodinamik pada penggunaan bikarbonat
versus asetat sebagai buffer dialisat.1,2,3,6 Lebih jauh, diperkirakan bahwa,
konsentrasi bikarbonat pada dialisat mempengaruhi stabilitas hemodinamik. Pada
studi randomized cross-over trial, insidensi IDH secara signifikan lebih rendah
dengan menggunakan dialisat bikarbonat. Bagaimanapun, pada percobaan ini, juga
menggunakan konsentrasi kalsium pada dialisat yang rendah (1.25 mmol/l). Pada
beberapa penelitian randomized cross-over, tidak ada perbedaan instabilitas
hemodinamik atau penurunan tekanan darah yang ditemukan selama penggunaan
dialisat bikarbonat dengan konsentrasi 26 atau 32 mmol/L, walaupun dengan
konsentrasi kalsium pada cairan dialisat rendah (1.25 mmol/L). Pada percobaan ini,
insidensi IDH lebih rendah ketika pasien diberikan konsentrasi bikarbonat dialisat. 32
mmol/L dan konsentrasi kalsium dialisat 1.50 mmol/L.1,2,3,6
Konsentrasi bikarbonat dialisat yang rendah kemungkinan akan menyebabkan
insuffisiensi koreksi asidosis dan menyebabkan efek samping pada metabolisme
tulang dan status nutrisi pasien.2 Sebagai kesimpulan, penurunan tekanan darah dan
insidensi IDH lebih tinggi pada penggunaan asetat sebagai buffer dialisat. Konsentrasi
bikarbonat standar tidak menyebabkan instabilitas hemodinamik jika dibandingkan
dengan konsentrasi bikarbonat dialisat yang rendah dengan konsentrasi kalsium 1.50
mmol/L.

Dialisat kalsium
Perubahan kalsium terionisasi memainkan peranan penting dalam
kontraktilitas miokardium selama hemodialisis berlangsung. Beberapa studi
menunjukkan penurunan kontraktilitas miokardium diantara pasien yang mendapat
konsentrasi kalium rendah (1.25 mmol/L) dibandingkan dengan pasien yang
mendapat konsentrasi kalium yang tinggi (1.75 mmol/L). Perubahan tekanan arterial
rata-rata selama hemodialisis berbanding terbalik dengan kadar kalsium terionisasi,
sedangkan pada dua studi, yang mana salah satunya dilakukan pada pasien dengan
gangguan jantung disimpulkan bahwa penurunan tekanan darah lebih sedikit pada
pasien dengan konsentrasi kalsium dialisat 1.75 mmol/L dibandingkan dengan 1.25
mmol/L. Pada studi lain, tidak ada perbedaan respon tekanan darah dijumpai diantara
konsentrasi kalsium rendah ataupun tinggi. Dengan kata lain, dialisat tinggi kalsium
menyebabkan keseimbangan kalsium positif selama dialisis, sementara keseimbangan
kalsium cenderung negatif dengan kadar dialisat rendah kalsium. Dialisat tinggi
kalsium mungkin memiliki efek jangka pendek yang merugikan berupa kekakuan
arteri, dan relaksasi jantung, walaupun penelitan lain tidak menemukan efek
peningkatan kadar kalsium terionisasi dengan penggunaan dialisis tinggi kalsium pada
fungsi diastolic jantung. Hubungan antara konsentrasi kalsium dialisat dan kalsifikasi
vaskular belum sepenuhnya dipelajari. Suatu studi randomized cross-over
menemukan insidensi IDH yang lebih rendah dan penurunan tekanan darah yang lebih
rendah dengan penggunaan konsentrasi kalsium 1.50 mmol/L dibandingkan dengan
dialisis rendah kalsium. Pada studi ini, konsentrasi bikarbonat dialisat adalah 26
mmol/L (dialisis rendah kalsium) dan 32 mmol/L (konsentrasi kalsium 1.50 mmol/L).
Studi randomized cross-over menilai efek dari kalsium yang diprofil pada stabilitas
hemodinamik pada 18 pasien hemodialisis. Selama periode 9 minggu, terdapat tiga
terapi dengan konsentrasi dialisat kalsium yang berbeda diterapkan, masing-masing
1.25 mmol/L, dan 1.50 mmol/L dan terapi diprofil dengan konsentrasi kalsium 1.25
mmol/L selama 2 jam pertama, dan 1.75 mmol selama 2 jam selanjutnya. Dengan
terapi seperti itu, kejadian IDH dapat dikurangi dibandingkan dengan konsentrasi
dialisat 1.25 mmol/L dan 1.50 mmol/L. Sebagai kesimpulan, hampir kebanyakan studi
menunjukkan efek positif dialisat tinggi kalsium pada stabilitas hemodinamik selama
dialisis dibandingkan dengan dialisat rendah kalsium. Namun, dialisat tinggi kalsium
menyebabkan keseimbangan kalsium positif pada jangka pendek dan jangka panjang,
mempunyai potensi efek yang merugikan.
Dialisat dan Temperatur tubuh
Selama hemodialisis dengan suhu dialisis standar (≥ 37oC), suhu inti
meningkat walaupun terjadi kehilangan energi melalui sistem ekstrakorporeal.Hal ini
dapat meningkatkan resiko terjadinya IDH.Fenomena ini tidak sepenuhnya
dimengerti. Ada yang mengemukakan oleh karena heat load dari sistem
ekstrakorporeal, ataupun proses sekunder dari perpindahan cairan. Perpindahan cairan
berasosiasi dengan peningkatan metabolic rate dan berkurangnya kehilangan panas
dari kulit yang disebabkan oleh vasokonstriksi perifer sebagai respon dari penurunan
volume darah.Peningkatan suhu inti tubuh menyebabkan dilatasi dari pembuluh darah
di kulit, hal ini berlawanan dengan respon fisiologis dari hipovolemia.Namun
hipotesis ini baru-baru ini ditentang.Agar mencegah peningkatan suhu inti ini,
sejumlah energi panas signifikan, sebesar 30% dari daily resting energy expenditure,
harus dikeluarkan oleh sirkuit ekstrakorporeal dengan mendinginkan dialisat.
Berbagai percobaan randomized cross-over menunjukkan bahwa dialisis dengan
temperatur dialisat lebih dingin (pada kebanyakan studi 35oC) dikaitkan dengan
peningkatan reaktivitas dari resistensi perifer dan kapasitansi pemubuluh darah,
meningkatkan kontraktilitas miokardium, mengurangi penurunan tekanan darah, dan
mengurangi frekuensi IDH dibandingkan dengan temperatur dialisat 37-37.5oC.
Dialisis dengan suhu yang lebih dingin dapat menyebabkan gemetar (keringat dingin),
namun tidak semua studi.Penurunan volume darah signifikan lebih tinggi dengan
menggunakan dialisis temperatur dingin, kemungkinan dikarenakan berkurangnya
refill volume darah dari interstisial dikarenakan vasokonstriksi perifer.Walaupun pada
studi dimana penurunan volume darah lebih besar dengan dialisis temperature dingin,
stabilitas hemodinamik meningkat jika dibandingkan dengan temperatur dialysis
standar.Oleh karena dialisis temperatur dingin terkadang dapat menyebabkan gemetar
(keringat dingin), the working group menyarankan untuk menurunkan suhu dialisat
secara bertahap, dari 36.5oC kebawah selama sesi dialisis yang berbeda agar
mencapai hasil klinis yang terbaik pada individu pasien.Agar mengurangi efek
samping dan dikarenakan pengalaman yang terbatas, serta tidak adanya bukti
mengenai manfaat dari suhu dialisat < 35oC, the working group menyarankan bahwa
suhu dialisat < 35oC tidak boleh digunakan.
Sebagai kesimpulan, dialisis temperatur dingin efektif dalam mencegah IDH
tanpa efek samping yang merugikan.Agar dapat mengurangi efek samping seperti
shivering, maka dianjurkan penurunan temperatur dialisat secara bertahap mulai dari
36.5oC sampai didapatkan efek optimal.Sangat sedikit bukti dan keuntungan
tambahan dengan penurunan suhu dialisat < 35oC.Perlu diingat bahwa monitoring
temperatur sulit pada pasien dialisis, dikarenakan variasi suhu ruangan, suhu inti
tubuh, dan temperatur dialisat, serta kurangnya sensitivitas alat untuk memantau
gradien suhu dialisat-darah.

E. PENCEGAHAN HIPOTENSI INTRA DIALISA


1. Berat Badan Kering (Dry body weight)
Perhitungan dry body weight yang tidak tepat dapat menyebabkan
underhydration atau overhydration pasien dialisis. Studi-studi sebelumnya
menunjukkan jumlah signifikan dari pasien tidak stabil yang pada awalnya
normohidrasi atau underhidrasi, menjadi underhydrated pada akhir sesi dialisis. Pada
pasien underhydrated, volume interstisial sangat kurang, dan terganggunya refill dari
volume darah, sehingga menyebabkan penurunan volume darah yang lebih besar.
Dengan kata lain, overestimasi berat badan kering dapat menyebabkan hipertensi dan
meningkatkan resiko terjadinya dilatasi jantung, dan edema paru. Pemeriksaan fisik
harus dilakukan untuk menilai keadaan pasien apakah pasien kemungkinan
underhydrated atau overhydrated. Beberapa metode non-invasif telah
dikembangkan.Cardiothoracic ratio dengan X-ray bisa mendeteksi pasien
overhydrated, tetapi tidak dapat digunakan sebagai alat untuk pencegahan terjadinya
IDH. Diameter vena cava inferior, dapat diukur dengan ekokardiografi, berhubungan
dengan volume darah, dan tekanan atrium kanan dan dapat memprediksi perubahan
hemodinamik selama proses dialisis. Analisis Multifrequency bioimpedance dapat
digunakan untuk memprediksi instabilitas hemodinamik pada beberapa studi.Alat ini
juga sangat sensitif dalam mendeteksi perubahan status cairan.Marker biokimia
seperti cGMP, tetapi bukan ANP, dapat memprediksi perubahan hemodinamik selama
dialisis berlangsung.Baik cGMP dan ANP dilepaskansebagai respon terhadap
peregangan atrium kiri.cGMP ditemukan dan dianggap kemungkinan berguna untuk
diagnosis overhydration, namun tidak dapat memprediksi underhydration. Dan juga
BNP, yang dilepaskan sebagai respon terhadap peregangan terhadap ventrikel kiri,
dapat memprediksi overhidration, tetapi tidak underhydration.Sebagai kesimpulan,
melalui beberapa metode objektif dapat digunakan untuk memprediksi perubahan
tekanan darah dan parameter hemodinamik yang lain selama hemodialisis, pada saat
ini penggunaan ekokardiografi vena kava telah menunjukkan hasil yang memuaskan
dalam pengurangan terjadinya IDH. Bagaimanapun, tekhnik ini tergantung operator,
dan mungkin sulit diinterpretasikan pada pasien gagal jantung.Penggunaan
bioimpedance tidak menunjukkan pencegahan terjadinya IDH, namun tekhnik ini
mungkin bermanfaat untuk mendeteksi perubahan status hidrasi.
2. Tekanan darah dan frekuensi heart rate
Tekanan darah dan frekuensi heart rate harus diukur rutin selama hemodialisis
untuk mengantisipasi IDH.Dua tipe episode hipotensi dapat dibedakan selama
hemodialisis, yaitu bradikardia dan takikardia.Kebanyakan, episode IDH
dikarakteristikkan dengan penurunan tekanan darah bertahap dan peningkatan heart
rate.Alternatif, episod IDH dapat muncul tibatiba dan berhubungan dengan respon
bradikardia (Bezold Jarish Reflex), yang berasal dari aktivasi mekanoreseptor
ventrikel kiri dikarenakan underfilling ventrikel berat. Pada IDH tipe takikardi,
diperkirakan bahwa IDH mungkin dapat dicegah dengan pengaturan
ultrafiltrasi,walaupun belum ada studi yang membuktikan hal ini. Evaluasi jantung
harus dilakukan pada pasien dengan frekuensi IDH yang sering.Keadaan penyakit
jantung, menyebabkan disfungsi sistolik dan disfungsi diastolik dari jantung dapat
meningkatkan resiko terjadinya IDH.Peningkatan kontraktilitas miokardium
merupakan respon fisiologik terhadap penurunan volume darah, dimana respon ini
dapat terganggu oleh disfungsi sistolik dari jantung.Diastolic filling terganggu pada
pasien IDH, dan disfungsi diastolik biasanya berhubungan dengan hipertrofi ventrikel
kiri, namun bisa juga karena iskemia miokardium atau fibrosis.
3. Intervensi Pola hidup
Dalam rangkan mengontrol IDWG, dan mengurangi resiko IDH, asupan
garam harus diperhatikan dan tidak boleh melebihi 6 gram/hari.Restriksi garam
menurunkan IDWG dan meningkatkan kontrol tekanan darah interdialisis.Dua
penelitian menilai efek dari batasan asupan garam terhadap kontrol tekanan darah
interdialisis dan insidensi IDH. IDWG menurun secara signifikan dengan batasan
asupan garam, dan insidensi IDH: 0.71±0.8(asupan garam biasa) vs 0.18±0.5 (asupan
garam dibatasi). Pada studi lain, insiden IDH bulanan menurun dari 22% menjadi 7%
setelah membatasi asupan garam. Pada pasien diabetes, hiperglikemia dapat
mencetuskan perasaan haus, dan menstimulasi haus dan meningkatkan IDWG,
sehingga diperkirakan kontrol glukosa yang ketat dapat mengurangi IDWG, namun
belum ada data mengenai kontrol glukosa dan IDWG pada pasien dialisis.
Kesimpulan, mengurangi asupan garam (2 gram/90 mmol Na atau 6 gram NaCl)
dapat mengurangi IDWG dan dapat mempunyai peranan dalam pencegahan
IDH.Asupan makanan selama dialisis dapat menyebabkan vasodilatasi splachnic, dan
dapat mencetuskan IDH.Tiga studi menunjukkan penurunan tekanan darah yang lebih
besar dan insidensi IDH lebih besar setelah asupan makanan.Kafein tidak terbukti
dapat mencegah kejadian IDH.
4. Durasi Dialisis dan Frekuensi
Pemanjangan waktu dialisis atau peningkatan frekuensi dialisis
harusdipertimbangkan pada pasien yang sering mengalami IDH.Pemanjangan waktu
dialisis dapat mengurangi laju ultrafiltrasi, sehingga penurunan volume darah tidak
agresif. Suatu studi membandingkan toleransi intradialisis dengan membandingkan
dialisis selama 4 jam dan 5 jam, dengan hasil penurunan episode hipotensi pada
pasien yang menjalani dialisis selama 5 jam. Lebih jauh, efek dari pengurangan laju
ultrafiltrasi, hanya dapat dicapai dengan memperpanjang waktu dialisis, dan ini telah
dilakukan pada pasien dengan gangguan jantung.Pada studi ini, penurunan tekanan
darah sistolik lebih sedikit pada pasien dengan laju ultrafiltrasi 500 dibandingkan
dengan laju ultrafiltrasi 1000. Pada DOPPS, insidensi IDH lebih sedikit 30% pada
pasien dengan laju ultrafiltrasi < 11ml/kg/jam dibandingkan dengan laju ultrafiltrasi
standar. Dan mortalitas lebih rendah pada pasien dengan laju ultrafiltrasi < 10
ml/kg/jam. Pada pasien yang menjalani dialisis 8 jam sebanyak 3 x seminggu,
insidensi hipotensi sangat rendah. Dengan frekuensi hemodialisis yang lebih sering,
seperti quotidian dialysis atau short daily dialysis, kontrol tekanan darah lebih bagus,
dan masa ventrikel kiri juga berkurang.Karena frekuensinya lebih sering, volume
ultrafiltrasi dikurangi. Suatu studi menunjukkan pengurangan insidensi IDH dengan
mengganti frekuensi HD dari 3-4 kali seminggu menjadi 6 kali, 2 jam per sesi dialisis.
Suatu studi menunjukkan pengurangan kebutuhan infus salin setelah konversi
frekuensi hemodialisis dari 3x seminggu menjadi 6x seminggu.Pada studi kohort, 23
pasien (11 pasien, short daily dialysis; 12 pasien, long nocturnal dialysis)
dibandingkan dengan 22 HD konvensional (3x seminggu) sebagai kontrol.Terjadi
pengurangan insidensi dialysis-related symptoms pada short daily dialysis. Namun
studi oleh Fagugli et al pada pasien yang stabil, tidak ada perbedaan IDH diantara
short daily dialysis dan dialisis standar 3x seminggu. Sebagai kesimpulan, ada bukti
yang menunjukkan bahwa memperpanjang waktu dialisis dapat menurunkan kejadian
IDH, dengan penurunan laju ultrafiltrasi sehingga penurunan tekanan darah sistolik
tidak terlalu agresif pada pasiendengan fungsi jantung terganggu.

F. PENATALAKSANAAN JIKA TERJADI HIPOTENSI INTRA DIALISA


Pendekatan Lini Pertama
 . Konseling asupan makanan (restriksi garam)
 . Menghindari asupan makanan selama dialysis
 . Pengukuran berat badan kering
 . Penggunaan bikarbonat sebagai buffer dialysis
 . Penggunaan temperatur dialisat 36.5Oc
 . Periksa dosis dan waktu pemberian obat antihipertensi
Pendekatan Lini kedua
 Evaluasi performa jantung
 Penurunan temperatur dialisat secara berkala mulai dari 36.5oC sampai 35oC
 Memperpanjang waktu dialisis dan/atau frekuensi dialysis
 Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1.50 mmol/l
Pendekatan Lini Ketiga
 Pertimbangan pemberian midodrine
 Pertimbangkan suplementasi L-carnitine
Posisi Trendelenburg
Posisi trendelenburg harus dipertimbangkan pada penatalaksanaan
IDH.Namun efikasi masih terbatas.Posisi ini sering digunakan pada penatalaksanaan
IDH, dengan penerapan manuver ini, volume aliran darah berkurang di perifer dan
lebih tersentralisasi.Namun, hanya sedikit studi yang menilai efikasi posisi ini.Pada
suatu studi, peningkatan volume darah hanya sekitar 0.4%.Tidak ada perbedaan yang
terlalu signifikan dalam perubahan tekanan darah selama dialisis setelah menerapkan
posisi terndelenburg.Sebagai kesimpulan, efek dari posisi trendelenburg pada volume
darah sangat kecil.
Stop Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi harus dihentikan selama episode IDH. Menghentikan ultrafiltrasi,
akan mencegah penurunan volume darah lebih jauh, dan akan memfasilitasi refill
volume darah dari kompartemen intrestisial. Memperlambat laju aliran darah
terkadang dapat digunakan dalam pengobatan IDH.
Pemberian Cairan
Salin isotonik harus diinfuskan, pada pasien yang tidak respon dengan
penghentian ultrafiltrasi dan posisi trendelenburg selama episode IDH.Pemberian
cairan ini paling sering diberikan untuk meningkatkan volume darah selama kejadian
IDH.Baik kristaloid dan koloid telah dipelajari dalam pengobatan IDH.Beberapa studi
telah menilai efek dari salin isotonik, glukosa hipertonik, manitol, dan larutan koloid.
Pada studi tersebut membandingkan efek dari isovolumetrik infus glukosa 5 dan 20%,
salin 0.9% dan 3.0% dan manitol 20% dalam volume darah selama ultrafiltrasi,
peningkatan volume darah paling besar selama pemberian larutan glukosa hipertonik.
Pada studi lain, peningkatan volume darah lebih besar setelah pemberian infus 100 ml
plasma ekspander gelofusin dibandingkan dengan 100 cc salin isotonik. Pada studi
lain, tidak ada perbedaan signifikan antara pemberian albumin dibandingkan salin
isotonik untuk penatalaksanaan IDH. Sebagai kesimpulan baik salin isotonik dan
larutan albumin sama-sama efektif pada pengobatan IDH.Salin hipertonik tidak lebih
superior dari salin isotonik, dan albumin tidak lebih superior dari albumin atau HES
pada penatalaksanaan IDH.
Intervensi farmakologis
Midrodin merupakan suatu obat alpha-1 agonist oral.Metabolit dari
midodrine, desglymidodrine, menyebabkan konstriksi dari resistance dan capacitance
vessels.Midrodrine mencegah IDH dengan mempertahankan volume darah sentral dan
cardiac output, dan peningkatan resistensi vaskular perifer. Midodrin efektif
diekskresikan melalui hemodialisis, dan waktu paruh berkurang sampai 1.4 jam
dengan hemodialisis. Midodrine memiliki efek jantung yang minimal, dan efek
susunan saraf pusat, dikarenakan spesifisitas terhadap reseptor α1, dan tidak melewati
BBB. Pemberian dosis tunggal midodrine (5 mg) 30 menit sebelum sesi dialisis
berhubungan dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik dan MAP
intradialisis dan pos dialisis, dibandingkan dengan sesi dialisis tanpa penggunaan
midodrine. Penelitian lain menunjukkan efikasi dari penggunaan midodrine
berketerusan (8 bulan) dan tidak ada tanda-tanda efek samping yang berkembang.
Namun beberapa literatur pernah menemukan komplikasinya berupa supine systolic
hypertension.Beberapa studi mengemukakan efek samping yang dijumpai antara lain
scalp paresthesias, heartburn, flushing, nyeri kepala, nyeri leher, dan kelemahan
tungkai, urinary urgency, dan gangguan tidur.Pasien juga harus dimonitor untuk
kemungkinan bradikardia, oleh karena midodrine dapat menstimulasi refleks
parasimpatis.Midodrin harus digunakan secara hatihati pada pasien CHF dan obat-
obat kronotropik negatif seperti beta-bloker, digoksin, dan CCB nondihidropiridin.
Penggunaan bersama-sama dengan obat α-adrenergik yang lain seperti efedrin,
pseudoefedrin, dan phenylpropanolamin harus dihindari, oleh karena akan
mencetuskan supine hypertension. Suatu studi membandingkan efektivitas dari
midodrine dan dialisis temperatur dingin.Baik dialisis temperatur dingin, dan
midodrine sama-sama efektif dalam pencegahan IDH, dan tidak ada perbedaan respon
tekanan darah dan insidensi IDH diantara kedua terapi tersebut.Efektivitas dari
beberapa obat vasoaktif dalam pencegahan IDH telah dilaporkan.Data mengenai
efektivitas dan keamanan dari lisin vasopresin, ergotamin, metilen blue, sertralin dan
dobutamin sangat terbatas dan tidak bisa dijadikan rekomendasi. Pada beberapa
literatur menyimpulkan bahwa dosis awal midodrine adalah 2.5 mg, dimakan 30
menit sebelum dialisis, dengan dosis maksimal 10 mg, efektif dan mungkin aman
dalam pencegahan IDH, walaupun data tentang keamanan dalam penggunaan jangka
panjang masih terbatas. Namun, superioritas dari midodrine dibandingkan dari
intervensi lain belum dapat dibandingkan
L-carnitine, suplementasi zat golongan ini harus dipertimbangkan dalam
pencegahan IDH jika pengobatan standar lainnya gagal. Pada pasien hemodialisis,
kadar L-carnitine menjadi rendah oleh karena berkurangnya biosintesis oleh ginjal,
dan kehilangan dari cairan dialisat. Defisiensi l-carnitine dapat menyebabkan
berkurangnya fungsi sistolik dari jantung.Pemberian l-carnitine juga meningkatkan
fraksi ejeksi dari ventrikel kiri.Suatu penelitian dengan pemberian infus L-carnitin 20
mg/kg pada setiap sesi dialisis mengurangi frekuensi IDH dan kram otot (44%
banding 18% dan 36% banding 13%) dibandingkan dengan plasebo.Mengenai alasan
atas keuntungan ini belum jelas, namun kemungkinan dikarenakan peningkatan fungsi
otot polos vaskular dan fungsi otot jantung.Namun, masih sedikit bukti mengenai
suplementasi l-carnitine berguna dalam pencegahan IDH.
Dopamin, merupakan katekolamin yang memproduksi efek ionotropik dan
kronotropik pada miokardium, sehingga meningkatkan heart rate dan kontraktilitas
jantung.Onset kerja dopamin adalah 5 menit setelah pemberian intravena, dan waktu
paruh sekitar 2.5 menit.Efek predominan dopamin sangat tergantung dosis.Pada dosis
infus rendah (0.5-2 μg/kg/menit) dopamin menyebabkan vasodilatasi.Pada dosis infus
sedang (2-10 μg/kg/menit) dopamin bekerja merangsang β1-adrenoreseptor,
menyebabkan peningkatan kontraktilitas miokardium.Pada dosis infus tinggi (10-20
μg/kg/menit) menyebabkan efek pada α-adrenoreseptor, dengan efek vasokonstriktor
dan peningkatan tekanan darah.Suatu penelitian oleh Wen-Yuan Chiu et al,
mengemukakan bahwa pemberian dopamin selama sesi dialisis dapat diterapi dan
efektif untuk grup pasien IDH simptomatik.Pada penelitiannya, penggunaan infus
dopamin pada dosis 20 μg/kg/meenit, dan tidak melebihi dosis tersebut karena dosis
tersebut tidak memberikan efek yang lebih baik untuk miokardium namun
meningkatkan resiko vasokonstriksi dan iskemia.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan darah
2. Biakan darah
3. EKG
4. Analisa air kemih
5. Rontgen perut

H. PROGNOSIS
Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab dari IDH adalah
multifaktorial. Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan
darah selama hemodialisis: umur, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati,
anemia, large interdialytic weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat antihipertensi.
Dari segi pandangan fisiologi, IDH dapat dipandang sebagai suatu keadaan
ketidakmampuan dari system kardiovaskular dalam merespon penurunan volume
darah secara adequat.Respon adequate dari sistem kardiovaskular termasuk refleks
aktivasi sitem saraf simpatetik, termasuk takikardia dan vasokonstriksi arteri dan vena
yang merupakan respon dari cardiac underfilling dan hipovolemia. Mekanisme
kompensasi ini dapat terganggu pada beberapa pasien, yang akan menyebabkan
mereka mempunyai faktor resiko terjadinya IDH. Bagaimanapun, hal-hal seperti ini
sulit untuk diukur dan untuk dimodifikasi.Suatu studi komprehensif mengenai
regulasi volume darah selama HD, dapat menolong kita untukmengerti tentang
kemungkinan IDH pada individu pasien.

I. ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien CKD adalah:
1. Resiko hipotensi berhubungan dengan proses hemodialisa.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri kepala, berhubungan dengan hipotensi.

J. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa NOC NIC Rasional
Komplikasi Setelah dilakukan 1. Health education: 1. Peningkatan
injury tindakan keperawatan Jelaskan pada pasien pengetehauan pada
(hipotensi) selama 1 x 4 jam komplikasi apa saja pasien akan
berhubungan diharapakan hipotensi yang dapat terjadi pada membantu pasien
dengan proses tidak terjadi dengan hemodialisa lebih mengenal
hemodialisa kriteria hasil: 2. Kolaborasi: turunkan akibat dari penyakit
- lemah berkurang, QB pada alat yang dideritanya
- TTV normmal: hemodialisa sehingga akan lebih
TD : 3. Berikan posisi yang kooperatif dalam
Sistolik : 90-130 nyaman bagi pasien tindakan
Diastol: 70-90 - Observasi TD, N, keperawatan yang
N: 60-100x/mnt, RR, dan S, 1 jam diberikan
RR: 18-24x/mnt, selama HD 2. Peningkatan QB
berlangsung dapat memperbesar
4. Mengkonsumsi OAH kesempatan
pada waktu yang tepat terjadinya hipotensi
3. Posisi yang nyaman
dapat memberikan
ketenangan/ rileks
selama tindakan
keperawatan
dilakukan
Tekanan darah saat
hemodialisa dapat
berubah sesuai
dengan keeadaan
pasien
4. Karena dapat
menurunkan TD
klien

Gangguan Setelah dilakukan 1. Lakukan pengkajian 1. Menyediakan


rasa nyaman tindakan keperawatan nyeri secara informasi dalam
nyeri kepala 1 x 4 jam diharapkan komprehensif penanganan nyeri
berhubungan nyeri berkurang 2. Observasi reaksi non- yang dialami klien
dengan dengan kriteria hasil : verbal dari 2. Mengetahui tingkat
hipotensi - Klien mampu ketidaknyamanan keparahan nyeri
mengontrol 3. Ajarkan klien dalam yang dialami klien
nyeri teknik manajemen 3. Pengurangan nyeri
- Klien nyeri klien secara
melaporkan farmakologi
nyeri
berkurang
dengan
manajemen
nyeri
DAFTAR PUSTAKA

GInting, Ananda Wibawanta. 2010. Hipotensi IntraDialisis. Medan: Divisi Nefrologi


Hipertensi Dept. Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUP H. Adam Malik / RSU. Dr.
Pirngadi Medan.
Corwin, E.J. 2001. Alih bahasa : Pendit, B.U. Handbook of pathophysiology. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2000. Alih bahasa: Kariasa,I.M. Nursing
care plans: Guidelines for planning and documenting patients care. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Long, B.C. Essential of medical – surgical nursing : A nursing process approach. Alih bahasa
: Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran; 1996 (Buku asli diterbitkan tahun 1989)
Mansjoer, Arif dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Alih bahasa : Anugerah, P. 2006. Pathophysiology: Clinical
concept of disease processes. 4th Edition.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Alih bahasa : Setyono, J. 2001. Medical – surgical
nursing. Jakarta: Salemba Medika.
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2005. Brunner & Suddarth Textbook of Medical
Surgical Nursing 10th Edition.Lippincott Williams & Wilkins.
Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;

Anda mungkin juga menyukai