Anda di halaman 1dari 13

Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik

Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik ialah suatu sindrom yang ditandai
dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis, disertai
penurunan kesadaran (Mansjoer, 2000).
Menurut Hudak dan Gallo (edisi VI) koma hiperosmolar adalah komplikasi dari
diabetes yang ditandai dengan :
1. Hiperosmolaritas dan kehilangan cairan yang hebat.
2. Asidosis ringan.
3. Sering terjadi koma dan kejang lokal.
4. Kejadian terutama pada lansia.
5. Angka kematian yang tinggi.
Sindrom hiperglikemik hiperosmotik ditandai dengan adanya peningkatan hiperglikemi
parah yang dapat dilihat peningkatan osmolaltias serum dan bukti klinis adanya dehidrasi
tanpa akumulasi α-hidroksibutirat atau acetoacetic ketoacids. Hiperglikemi disebabkan
karena defisiensi absolut/relatif dari insulin karena penurunan respon insulin dari jaringan
(resistensi insulin). Hal ini menyebabkan peningkatan glukoneogenesis dan glikogenolisis
yang dapat meningkatkan proses pembentukan glukosa dari glikogen dan senyawa lain di
dalam tubuh, selain itu terjadi penurunan uptake dan penggunaan glukosa oleh jaringan
perifer sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (Venkatraman & Singhi,
2006).
Kejadian yang menginisiasi pada SHH adalah glucosuric dieresis. Munculnya kadar
glukosa dalam urin memperburuk kapasitas pengenceran urin oleh ginjal, sehingga
menyebabkan kehilangan air yang lebih parah. Dalam kondisi yang normal, ginjal berperan
sebagai katup penfaman untuk mengeluarkan glukosa yang melewati ambang batas dan
mencegah akumulasi glukosa lebih lanjut. Penurunan volume intravascular atau penyakit
ginjal dapat menurunkan LFG (Laju filtrasi glomerulus) menyebabkan kadar glukosa
meningkat. Pengeluaran lebih banyak air daripada natrium menyebabkan hiperosmolar.
Insulin diprosuksi, namun tidak cukup mampu untuk menurunkan kadar glukosa, terutama
pada kondisi resistansi insulin pada penderita Diabetes Melitus (Stoner, 2005)

Diabetic Retinopathy

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering pada usia 20-75
tahun. Pasien DM memiliki risiko 25 kali lebih mudah mengalami retinopati dan juga
penyakit ini merupakan salah satu komplikasi dari DM yang kronis.

Retinopati diabetik ialah suatu kelainan mata pada pasien DM yang disebablan oleh
kerusakan kapiler di retina dalam berbagai tingkatan, yang pada akhirnya akan akan
menimbulkan gangguan penglihatan mulai dari ringan hingga berat bahkan bisa terjadi
kebutaan.

Penyebab dari komplikasi ini masih belum diketahui secara pasti, namun keadaan
hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai faktor resiko utama. Beberapa proses
biokimiawi seperti aktivasi jalur poliol, glikasi nonezimatik dan diasilgliserol serta aktivasi
protein kinase C diduga berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetik. Hormon
pertumbuhan dan beberapa faktor pertumbuhan seperti VEGF juga dianggap berperan dalam
progesifitas retinopati diabetik.

Retina merupakan struktur berlapis ganda dari fotoreseptor dan sel saraf. Aktivitas
metabolisme retina tergantung dari kapilernya. Kelainan dasar dari retinopati diabetik terletak
pada kapiler retina tersebut. Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan berturut-turut dari
luar kedalam yaitu sel perisit, membrana basalis, dan sel endotel. Dalam keadaan normal
perbandingan sel perisit dan sel endotel kapiler retina adalah 1:1. Perubahan histopatologis
kapiler retina pada retinopati diabetik dimulai dari penebalan membrana basalis kemudian
disusul dengan hilangnya sel perisit dan meningkatnya proliferasi sel endotel. Pada keadaan
lanjut sel perisit tidak mampu menahan kecepatanproliferasi sel endotel sehingga
perbandingan antara sel endotel dan sel perisit meningkat hingga mencapai 10:1,7.

Patofisiologis retinopati diabetik melibatkan lima proses yang terjadi di tingkat kapiler
yaitu : 1. Pembentukan mikrioaneurisma, 2. Peningkatan permeabilitas, 3. Penyumbatan, 4.
Proliferasi pembuluh darah baru (neovascular) dan pembentukan jaringan fibrosis, 5.
Kontraksi jaringan fibrosis kapiler dan vitreus. Dan jika keadaan ini tidak segera ditangani
maka lama kelamaan akan terjadi kebutaan. Kebutaan akibat retinopati diabetik dapat terjadi
melalui beberapa mekanisme yaitu: 1. Edema makula atau nonperfusi, 2. Pembentukan
pembuluh darah baru dan kontraksi jaringan fibrosis sehingga terjadi ablasio retina, 3.
Pembuluh darah baru yang terbentuk menimbulkan perdarahan preretina dan vitreus, 4.
Terjadi glaukoma yang juga merupakan akibat dari pembentukan pembuluh darah baru.

Hipoglikemi
Hipoglikemia adalah komplikasi akut diabetes melitus yang seringkali terjadi secara
berulang yang ditandai dengan gula darah kurang dari 70 mg/dl. Penyebab tersering dari
kondisi komplikasi ini adalah intake insulin yang melebihi dosis atau kebutuhan yang tidak
disertai dengan intake kalori atau glukosa dalam jumlah yang wajar. Keadaan hipoglikemia
yang berat dapat menyebabkan kebingungan, lemas, tremor, berkunang, bahkan sampai
koma.

Hipoglikemia dapat pula didefinisikan sebagai

1) perkembangan gejala otonom atau gejala neuroglikopenik.

2) kadar glukosa plasma yang rendah (<4,0 mmol / L untuk pasien yang diobati dengan
insulin atau insulin secretagogue)

3) gejala peresponan karbohidrat. Tingkat keparahan hipoglikemia didefinisikan oleh


manifestasi klinisnya.

Hipoglikemia yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan irreversibel dari


otak sampai kematian, oleh karena itu setelah kadar glukosa darah bebas (GDS) sudah
didapatkan (GDS < 70 mg/dL) penangananan yang difokuskan untuk meningkatkan kadar
glukosa plasma harus segera dilaksanakan, baik dengan asupan makanan oral, dekstrosa
intravena, atau glukagon intramuskular. Penanganan secara oral harus sebisa dan secepat
mungkin dilakukan.

Penatalaksaan yang disarankan untuk kondisi hipoglikemi adalah sebagai berikut :

1. Hipoglikemia ringan sampai sedang harus diobati dengan konsumsi oral 15 g


karbohidrat, lebih disarankan untuk diberikan dalam bentuk tablet atau larutan
glukosa atau sukrosa. Ini lebih baik untuk diterima daripada gel glukosa. Pasien harus
tes ulang BG dalam 15 menit dan diobati ulang dengan 15 g karbohidrat dalam bentuk
yang lain jika level BG tetap <4.0 mmol / L [Grade D, Konsensus]. Catatan: tidak
berlaku untuk anak-anak.
2. Hipoglikemia berat pada orang yang sadar harus diobati dengan konsumsi 20 g
karbohidrat secara oral, lebih disarankan untuk diberikan dalam bentuk tablet glukosa
atau setara. Uji BG harus diuji ulang dalam 15 menit dan akan diberikan asupan
glukosa 15 g kembali jika level BG tetap <4.0 mmol / L [Grade D, Konsensus].

NEFROPATI DIABETIK

Nefropati Diabetik adalah komplikasi mikrovaskular yang terjadi pada perjalanan


penyakit Diabetes Melitus (DM), ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau
> 200 ig/menit pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi
proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat
glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication product yang ireversible dan
menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide
sebagai vasadilator, terjadi peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi terus
menerus dan inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati
dimana terjadi keruakan menetap dan berkembang menjadi chronic kidney disease

Mogensen membagi Nefropati Diabetik dalam 5 tahapan yaitu tahap 1, hipertrofi dan
hiperfiltrasi, tahap 2 adanya perubahan histopatologis berupa penebalan membrane basalis
dan peningkatan matriks mesangium, tahap 3 mulai adanya mikroalbuminuria yang nyata dan
umumnya sudah mulai terdapat peningkatan tekanan darah , tahap 4 ditandai adanya
proteinuria yang persisten, umumnya komplikasi klinis sudah nyata seperti
retinopati,neuropati,dislipidemia , tahap 5 dengan adanya penurunan laju filtrasi glomerulus
secara kronik progresif.

Table 1 Tahapan nefropati diabetik menurut mogensen

Tahap Kondisi ginjal AE LF TD Prognosis


R G
1 Hipertrofi, Normal Meningkat Normal Reversibel
hiperfungsi
2 Kelainan Normal Meningkat Normal/ Mungkin
struktur Meningkat reversibel
3 Mikroalbumin 20-200mg/menit Meningkat/N Meningkat Mungkin
persisten ormal reversible
4 Makroalbumin >200mg/menit Rendah Meningkat/ Mungkin
uria/ Proteinuria Hipertensi bisa stabil

5 Uremia Tinggi/Rendah <10ml/menit Hipertensi Ireversibel

Ket. AER; Albumin Excretion Rate. LFG : Laju Filtrasi Glomerulus. TD : Tekanan Darah

Faktor resiko yang menyebabkan Nefropati Diabetik pada seorang penderita DM adalah
1. Hiperglikemia, merupakan faktor utama penyebab terjadinya Hiperfiltrasi pada
Glomerulus, cedera ginjal, pelepasan Sitokin dan produk Glikosilasi.

2. Hipertensi sistemik maupun glomerular menyebabkan vasodilatasi arteriol aferen


glomerulus dan menambah hiperfiltrasi yang sudah ada.

3. Dislipidemia , terutama peranan kadar LDL dan TG yang tinggi adalah merupakan
agen proinflamasi yang berperan pada disfungsi endotel

4. Genetik dan Ras, faktor penyakit dalam keluarga menunjukan adanya kerentanan
terhadap Nefropati Diabetik.

5. Merokok, sudah disadari bahwa resiko perokok terhadap Nefropati Diabetik lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok tidak merokok.

Penangan Nefropati Diabetik yang baik adalah bermula dari pengendalian faktor resiko yang
masih dapat dimodifikasi yaitu:
1. Pengelolaan DM dengan berbagai tahapan dari peranan terapi non medikamentosa
berupa diet dan perubahan gaya hidup, aktifitas fisik yang disesuaikan dengan target
untuk mendapatkan keseimbangan berat badan serta pilihan obat oral antidiabetik
maupun insulin. Target kendali Gula Darah pada DM ditentukan dari rata -rata Gula
Darah Puasa <130mg/dl dan Post Prandial < 160 mg/dl serta HbA1C <7.
2. Pilihan obat antihipertensi adalah terutama yang bekerja pada RAAS yaitu ACE-Inh
atau ARB. Captopril sebagai generasi pertama kelompok ini masih luas digunakan
dan dirasakan manfaatnya dalam mengatasi Nefropati Diabetik. Target pencapaian
tekanan darah <130/80 mmHg dan pada keadaan Proteinuria >1gram/hari ditargetkan
<125/75 mmHg.
3. Dislipidemia ditanggulangi dengan penggunaan Statin maupun Fibrat. Perlu perhatian
untuk pemakaian Fibrat pada LFG yang sudah menurun <30ml/menit .5,6 Aspirin
digunakan terutama bila resiko kardiovaskular yang lainnya menyertai.
4. Atasi komplikasi Nefropati Diabetik sesuai berat ringannya berdasarkan kriteria
Penyakit Ginjal Kronis sesuai dengan KDIGO 2013.5,6
a. Diet rendah protein 0,8-1,2 gram/hari,35 kalori/Kg Berat Badan.

b. Deteksi dini terhadap komplikasi kardiovaskular dan Retinopati.


c. Bila kondisi telah tiba pada tahap ahir Penyakit Ginjal Kronis maka
penatalaksanaan akan ditujukan dalam perbaikan kualitas hidup secara paliatif
dengan terapi pengganti ginjal yaitu Hemodialisis, CAPD, Transplantasi ginjal.

PATOFISIOLOGI KARDIOMIOPATI DIABETIK

Terdapat beberapa mekanisme yang mungkin dapat menjelaskan proses terjadinya


kardiomiopati diabetik. Mekanisme tersebut antara lain hiperglikemia, resistensi insulin,
stress oksidatif, lipotoksisitas miokardium, neuropati autonomy jantung, disfungsi
mitokondria, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron (RAA), dan fibrosis miokardium.

1. Hiperglikemia
Hiperglikemia merupakan faktor penting yang dapat mencetuskan berbagai
mekanisme yang berujung pada kardiomiopati diabetik.hiperglikemia dapat
menyebabkan gangguan langsung terhadap makro dan mikrovaskular.
Hiperglikemia dapat mengakibatkan perubahan seluler kardiomiosit menjadi
fibroblast yang berujung sebagai fibrosis. Selain itu hiperglikemia dapat
mengakibatkan neuropati pada saraf autonom jantung.

2. Resistensi insulin
Studi terbaru menunjukan peran resistensi insulin dalam perkembangan
kardiomiopati diabetik. Studi-studi melaporkan bukti bahwa insulin berperan
dalam proses hipertrofi kardiak, peningkatan stress oksidatif, toksisitas eeramide,
gangguan sintesis protein, serta
gangguan metabolisme energi seperti glikolisis dan gangguan metabolisme lipid.
Beberapa
studi juga menunjukan bahwa resistensi insulin berhubungan dengan disfungsi
mitokondria.
3. Stress oksidatif
Berbagai studi menunjukan peningkatan stress oksidatif pada jantung diabetes.
Studi tersebut menunjukan adanya kerusakan sel endothelial dan sel otot polos
vaskular akibat stress oksidatif yang dihasilkan dari berbagai mekansime yang
menyebabkan gangguan metabolisme lipid, protein, dan asam nukleat. Kerusakan
ini menyebabkan gangguan fungsi endothel yang ditandai dengan berkurangnya
bioavailibilitas nitric oksida endothelium (eNOS). Pembuluh darah pasien
diabetes memproduksi radikal oksigen bebas dari berbagai sumber seperti
gangguan pada transport rantai elektron di mitokondria, NADPH oksidase,
xanthine oksidase, dan nitrik oksida inflamasi (iNOS). Brownlee dkk
membuktikan bahwa hiperglikemia meningkatkan produksi superoksida pada
sistem transport rantai elektron di mitokondria. Beberapa studi lainnya juga
menunjukan bahwa hiperglikemia menyebabkan kerusakan sel miokardium dan
vaskular melalui pembentukan advanced glycation end-products (AGE) yang
lebih lanjut meningkatkan produksi reaktif oksigen bebas.9,32 Lebih lanjut lagi,
diabetes berhubungan dengan kematian sel miokardium.9,33 Namun, belum
diketahui secara pasti apakah mekanisme kematian sel ini merupakan efek toksik
langsung dari kadar glukosa yang tinggi atau aktivasi jalur lain yang
menyebabkan apoptosis ataupun nekrosis.
4. Lipotoksisitas miokardium
Pada orang sehat, jantung dewasa menggunakan metabolisme asam lemak (60%-
90%) dan glukosa (10%-40%) sebagai sumber energi. Pasien DM tipe 2 ditandai
oleh keadaan hiperglikemia. Pada keadaan tersebut, jantung tidak dapat
menggunakan glukosa akibat resistensi insulin dan penurunan transport ambilan
glukosa. Oleh karena itu, jantung makin ketergantungan terhadap asam lemak
sebagai sumber energi. Namun, keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan
kerusakan mitokondria yang berujung pada gangguan β-oksidasi asam lemak.
Tingginya ambilan asam lemak tanpa disertai kemampuan β-oksidasi akan
menyebabkan akumulasi asam lemak di sitosol berujung pada lipotoksisitas
jantung. Kadar asam lemak yang berlebih akan menyebabkan kerusakan jantung
melalui beberapa mekanisme. Gangguan metabolisme β-oksidasi asam lemak
akan mengurangi aktivitas kanal kalsium jenis ATPase yang berakibat pada
gangguan regulasi kalsium. Hal ini dapat mengakibatkan tertahannya kalsium di
sitosol berujung pada gangguan relaksasi. Selain itu, asam lemak dapat
menghambat aktivitas enzim piruvat dehydrogenase (PDH). Enzim PDH berperan
penting dalam proses oksidasi glukosa. Inhibisi enzim PDH menyebabkan
akumulasi produk glikolisis seperti asam laktat dan ceramide yang dapat
menyebabkan asidosis dan apoptosis. Lebih lanjut, berbagai studi telah
membuktikan bahwa kadar asam lemak yang tinggi makin meningkatkan
resistensi insulin. Pada studi pasien dengan kardiomiopati dilatasi, ditemukan
hubungan terbalik antara tingkat ambilan asam lemak di jantung dengan fungsi
kontraktilitas jantung.
5. Disfungsi mitokondria
Mitokondria merupakan salah satu pusat produksi energi dan regulasi sinyal
apoptosis. Regan dkk melaporkan adanya pleiomorfisme mitokondria jantung
pada pasien DM tipe 2.17 Hewan coba DM tipe 1 dan 2 menunjukan adanya
disfungsi mitokondria berat akibat hiperglikemia kronis.14,37 Penelitian terbaru
menunjukan bahwa disfungsi mitokondria juga terjadi pada pasien diabetes.
6. Aktivasi sistem renin angiotensin aldosterone
Peningkatan stress oksidatif pada pasien diabetes dapat meningkatkan aktivasi
sistem renin angiotensin aldosterone (RAAS). Pasien diabetes memiliki reseptor
angiotensin II yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang sehat. Berbagai studi
telah membuktikan bahwa aktivasi RAAS menyebabkan kerusakan langsung
berbagai organ termasuk sistem kardiovaskular. Aktivasi RAAS berhubungan
dengan makin meningkatnya stress oksidatif, kematian sel endothelium dan
miokardium, serta fibrosis interstitial miokardium. Beberapa studi menunjukan
perbaikan parameter fungsi diastolik pasca pemberian terapi inhibisi RAAS pada
pasien kardiomiopati diabetik.
7. Neuropati saraf autonom jantung
Pada keadaan normal, terdapat keseimbangan homeostasis antara aktivitas sa
raf simpatis dan parasimpatis di jantung. Efek kronik hiperglikemia dapat
menyebabkan neuropati saraf autonom jantung yang ditandai dengan penurunan
aktivitas parasimpatis dan peningkatan aktivitas simpatis. Fenomena ini berakibat
pada meningkatnya denyut jantung disertai hilangya variabilitas denyut jantung.
Aktivitas simpatis berlebih mengakibatkan peningkatan beban kerja jantung,
kebutuhan oksigen, penurunan waktu pengisian ventrikel, mengurangi efisiensi
kontraksi jantung.
8. Fibrosis miokardium Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kardiomiopati diabetik
ditandai oleh fibrosis miokardium.yang ditandain oleh deposisi kolagen di
interstititum dan perivascular. Fibrosis interstitial ditambah dengan hipertrofi
miokardium, gangguan mikrovaskular, serta gangguan regulasi kalsium
berhubungan dengan disfungsi diastolik pada kardiomiopati diabetik.

DIABETIC ASIDOSIS

Diabetic ketoacidosis adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa bila tidak
ditangani secara tepat. Diabetic ketoacidosis paling sering terjadi pada pasien penderita
diabetes tipe 1 (yang pada mulanya disebut insulin-dependent diabetes mellitus), akan tetapi
keterjadiannya pada pasien penderita diabetes tipe 2 (yang pada mulanya disebut non-insulin
dependent diabetes mellitus), terutama pasien kulit hitam yang gemuk adalah tidak sejarang
yang diduga. Penanganan pasien penderita Diabetic ketoacidosis adalah dengan memperoleh
riwayat menyeluruh dan tepat serta melaksanakan pemeriksaan fisik sebagai upaya untuk
mengidentifikasi kemungkinan faktor faktor pemicu. Pengobatan utama terhadap kondisi ini
adalah rehidrasi awal (dengan menggunakan isotonic saline) dengan pergantian potassium
serta terapi insulin dosis rendah.

Mekanisme Kerja Insulin

Kerja insulin dimulai ketika hormon tersebut terikat dengan sebuah reseptor
glikoprotein yang spesifik pada permukaan sel sasaran. Insulin terikat dengan reseptor
membran dan interaksi ini menghasilkan satu atau lebih sinyal transmembran. Sinyal ini
memodulasi sejumlah besar peristiwa intrasel. Reseptor insulin secara konstan disintesis serta
diuraikan dan usia paruhnya adalah 7 -12 jam. Reseptor tersebut disintesis sebagai peptida
rantai tunggal dalam retikulum endoplasma kasar dan dengan cepat mengalami glikolisasi
dalam regio aparatus golgi. Reseptor insulin ditemukan pada sebagian besar sel mamalia
dengan konsentrasi sampai 20.000 per sel, dan sering pula terdapat pada sel yang secara
khusus tidak diperkirakan sebagai sasaran insulin. Kalau insulin terikat dengan reseptor,
beberapa peristiwa akan terjadi (1). Terjadi perubahan bentuk reseptort (2), reseptor akan
berikatan silang dan membentuk mikroagregat, 3). Reseptor akan mengalami penyatuan
(intenalisasi) dan 4). Dihasilkan satu atau lebih sinyal. Dalam kondisi dengan kdar insulin
yang tinggi,misalnya obesitas atau akromegaIi, jumlah reseptor insulin berkurang dan
jaringan sasaran menjadi kurang peka terhadap insulin. Regulasi ke bawah ini terjadi akibat
hilangnya reseptor oleh proses internalisasi yang dengan proses ini, kompleks reseptor insulin
akan masuk ke dalam sel lewat endositosis dalam vesike bersalut klatrin. Peranan utama
insulin dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan protein dapat dipahami paling jelas dengan
memeriksa berbagai akibat defisiensi insulin pada manusia. Manifestasi utama penyakit
diabetes melitus adalah hiperglikemia, yang terjadi akibat (1) berkurangnya jumlah glukosa
yang masuk ke dalam sel ; 2). Berkurangnya penggunaan glukosa oleh berbagai jaringan, dan
3) peningkatan produksi glukosa (glukoneogenesis) oleh hati.

Poluria, polidipsia dan penurunan berat badan sekalipun asupan kalorinya memadai,
merupakan gejala utama defisiensi insulin. Bagaimana hal ini dijelaskan? Kadar glukosa
plasma jarang melampaui 120 mg / dL pada manusia normal, kendati kadar yang jauh lebih
tinggi selalu dijumpai pada pasien defisiensi kerja insulin. Setelah kadar terentu glukosa
plasma dicapai (pada manusia umumnya > 180 mg jdl), tarat maksimal reabosrbsi glukosa
pada tubulus renalis akan dilampaui, dan gula akan diekskresikan ke dalam urine
(glikogusria). Volume urine meningkat akibat terjadinya diuersis osmotik dan kehilangan air
yang bersifat obligatorik pada saat yang bersarnaan (poliuria), kejadian ini selanjutnya akan
menimbulkan dehidrasi (hiperosmolaritas), bertambahnya rasa haus dan gejala banyak
minum (oliipsia). Glikosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar (4.'1 kal bagi
setiap gram karbohidrat yang diekskresikan keluar), kehilangan ini, kalau ditambah lagi
dengan deplesi jaringan otot and adiposa, akan mengakibatkan penurunan berat badan yang
hebat kendati terdapat peningkatan selera makan (polifagia) dan asupan-kalori yang normal
atau meningkat.

Sintesis protein akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan keadaan ini sebagian
terjadi akibat berkurangnya pengangkutan asam amino ke dalam otot (asam amino berfungsi
sebagai substrat glukoneogenik). Jadi, orang yang kekurangan insulin berada dalam
keseimbangan nitrogen yang negatif. Kerja antilipolisi insulin hilang seperti halnya efek
lipogenk yang dimiliknya, dengan demikian, kadar asam lemak plasma akan meninggi. Kalau
kemampuan hati untuk mengakosidasi asam lemak terlampaui, maka senyawa asam β
hidroksibutirat dan asam asetoasetat akan bertumpuk (ketosis). Mula mula penderita dapat
mengimbangi pengumpulan asam organik ini dengan meningkatan pengeluaran CO2 lewat
sistem respirasi, namun bila keadaan ini tidak dikendalikan dengan pemberian insulin, maka
akan terjadi asidosi metabolik dan pasien akan meninggal dalam keadaan koma diabetik.

 Patogenese Diabetic Ketoacisodis

Faktor faktor pemicu yang paling umum dalam perkembangan Diabetic Ketoacidosis
(DKA) adalah infeksi, infark miokardial, trauma, ataupun kehilangan insulin. Semua
gangguan gangguan metabolik yang ditemukan pada DKA (diabetic ketoacidosis) adalah
tergolong konsekuensi langsung atau tidak langsung dari kekurangan insulin. Menurunnya
transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan menimbulkan hyperglycaemia yang
meningkatkan glycosuria. Meningkatnya lipolysis akan menyebabkan over-produksi asam
asam lemak, yang sebagian diantaranya akan dikonversi (dirubah) menjadi ketone,
menimbulkan ketonnaemia, asidosis metablik dan ketonuria. Glycosuria akan menyebabkan
diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolite-seperti sodium,
potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan
menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan shock hypofolemik. Asidodis
metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajad ventilasi
(peranfasan Kussmaul). Muntah-muntah juga biasanya sering terjadi dan akan mempercepat
kehilangan air dan elektrolite. Sehingga, perkembangan DKA adalah merupakan rangkaian
dari iklus interlocking vicious yang seluruhnya harus diputuskan untuk membantu pemulihan
metabolisme karbohidrat dan lipid normal.

 Pengobatan Diabetic Ketoacidosis

Penanganan DKA (diabetic ketoacidosis) memerlukan pemberian tiga agent berikut:

- Cairan: pasien penderita DKA biasanya mengalami deplesi cairan yang hebat dan adalah
penting untuk mengekspansi nilai ECF nya dengan saline untuk memulihkan sirkulasinya.

- Insulin. Insulin intravena paling umum dipergunakan. Insulin intramuskular adalah


alterantif hila pompa infusi tidak tersedia atau bila akses vena mengalami kesulitan, misalnya
pada anak anak kecil.

- Potassium. Meskipun ada kadar potassium serum normal, namun semua pasien penderita
DKA mengalami deplesi kalium tubuh yang mungkin terjadi secara hebat.

Dalam kebanyakan kasus, terapi rehidrasi dan insulin akan mengatasi asidosis metabolik,
dan tidak acta terapi lanjutan akan diindikasikan. Namun demikian, dalam kasus kasus yang
paling parah, bila konsentrasi ion hidronRen lebih tinggi dari 100 nmol/l, maka kaium
bikarbonat dapat diindikasikan. Penanganan diabetic ketoacidosis secara rinci 0.9% akan
pulih kembali selama defisit cairan dan elektrolite pasien semakin baik. Insulin intravena
diberikan melalui infusi kontinu dengan menggunakan pompa otomatis, dan suplement
potasium ditambahkan kedalam regimen cairan. Bentuk penanganan yang baik atas seorang
pasien penderita DKA (diabetic ketoacidosis) adalah melalui monitoring klinis dan biokimia
yang cermat.

Nefropati Diabetik (ND)

Nefropati Diabetik merupakan komplikasi mikrovaskuler dari Diabetes Mellitus (DM),


baik DM tipe 1 maupun tipe 2. Adapun sindrom klinisnya yang ditandai dengan :
 Albuminuria persisten ( >300 mg/24 jam atau >200 µg/menit) yang dikonfirmasi
setidaknya 2 kali dengan jarak 3-6 bulan.
 Penurunan progresif laju filtrasi glomerulus (GFR)
 Peningkatan tekanan darah arteri
1. Etiologi
Hipertensi merupakan faktor pada DM yang dipercaya paling banyak menyebabkan
terjadinya Nefropati Diabetik secara langsung. Hipertensi yang tak terkontrol dapat
meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase Nefropati Diabetik yang lebih
tinggi (Fase V Nefropati Diabetika)

2. Faktor Risiko
1) Predisposisi genetik
Perkembangan diabetes menjadi Nefropati Diabetik tergantung pada proses
beratnya proteinuria dan penurunan fungsi ginjal yang mempengaruhi pada
genetik. Salah satu yang diteliti adalah polimorfisme pada renin angiotensin
system (RAS), ada 2 jenis yang sudah dikenali yaitu genotip M235T dari
angiotensinogen dan insersi/ delesi dari genotip ACE.10

2) Hipertensi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita DM yang disertai hipertensi
lebih banyak mengalami nefropati dibanding penderita DM tanpa hipertensi.
Teori dari Viberti tentang hemodinamik dan hipertrofi sangat mendukung
adanya hipertensi sebagai biang terjadinya hipertensi glomeruler dan
hiperfiltrasi. Kadar angiotensin II yang meningkat menyebabkan vasokonstriksi
arteriol efferent dan meningkatkan hipertensi glomerulus, hal ini akan
mempercepat terjadinya kerusakan ginjal

3) Albuminuria/proteinuria
Proteinuria merupakan prediktor independen dan kuat dari penurunan fungsi
ginjal baik pada Nefropati Diabetik maupun glomerulopati progresif lainnya.
Proteinuria yang berlangsung lama dan berlebihan akan menyebabkan
kerusakan tubulointerstitial dan progresifitas penyakit.

4) Kontrol gula darah yang buruk, resistensi insulin (kadar HbA1C >7%) Diabetes
Control and Complication Trial (DCCT) dalam penelitiannya mengatakan bahwa
penurunan kadar glukosa darah dan kadar HbA1C pada penderita DM tipe 1 dapat
menurunkan risiko perkembangan Nefropati Diabetik. Menurut, United Kingdom
Prospective Diabetes Study menunjukkan perbaikan kontrol glukosa pada penderita
DM tipe 2 baru dapat mencegah kejadian mikroalbuminuria.

5) Perokok

6) Intake tinggi protein

7) Hiperlipidemia, berperan penting dalam mengawali progresivitas penyakit


ginjal daripada merupakan konsekuensi penyakit ginjal. Peningkatan kadar
kolesterol plasma 40 mg/dL, ekskresi albuminuri akan meningkat 2 kali.

3. Epidemiologi

• Rata-rata pasien yang mencapai penyakit ginjal stadium akhir, berusia 60


tahun. Penderita diabetes yang didiagnosis saat usia muda memiliki risiko lebih
tinggi.

• Berdasarkan ras, kejadian Nefropati Diabetik cenderung lebih tinggi pada


ras kulit hitam (frekuensinya 3-6 kali lebih tinggi dibandingkan kulit putih).
Kondisi ini bisa dikarenakan faktor sosial ekonomi, seperti diet, kontrol
hiperglikemia yang buruk, hipertensi, dan obesitas.
4. Patogenesis

Patogenesis dari Nefropati Diabetik sejalan dengan patogenesis Diabetes


Mellitus pada umumnya, dan mikroangiopati pada khususnya. Beberapa
kejadian memegang peranan penting, yaitu kelainan pada endotel, membrana
basalis glomerulus dan mesangium, serta meningkatnya kompleks imun pada
penderita DM.

1) Endotel
Pada DM tidak terkontrol atau hiperglikemia, endotel akan membengkak akibat
timbunan sorbitol dan fruktosa, sehingga faal endotel terganggu, akibatnya celah
endotel bertambah luas dan timbullah proteinuria. Di samping itu juga mudah
timbul agregasi trombosit akibat sintesis Faktor VIII yang meningkat, PGI2 (anti
agregan) menurun, dan aktivator plasminogen yang menurun.

2) Membrana basalis glomerulus (MBG)


DM dan hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya penebalan MBG sebagai akibat
dari deposisi kolagen tipe I, III, IV, dan glikoprotein, serta menurunnya kadar
glikoaminoglikans dan sistein. Hal ini menyebabkan hilangnya sifat anionic MBG
yang mengakibatkan permeabilitasnya meningkat dan timbul albuminuria.
3) Mesangium
Pada DM dan hiperglikemia, produksi matriks mesangium meningkat. Akibatnya
terjadi pelebaran mesangium sehingga permukaan filtrasi efektif mengecil.
4) Kompleks imun
Sering dilaporkan pula bahwa kompleks imun (Ag—Ab) pada DM meningkat.
Endapan kompleks Ag-Ab ini banyak didapatkan pada membrana basalis glomerulus
dan mesangium. Dalam keadaan normal, kompleks ini dibersihkan oleh fagosit (RES)
dan sel-sel mesangium, sedangkan pada DM (terutama yang tidak terkontrol) keadaan
RES dan sel mesangium kurang mampu membersihkannya, dengan akibat matriks
mesangium bertambah lebar dan permukaan filtrasi efektif bertambah sempit

3. Diagnosis
Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe2 tahun 2011 menyebutkan
diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin > 30 mg
dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3- 6 bulan,
tanpa penyebab albuminuria lainnya. Klasifikasi diagnosis proteinuria pada
diabetes mellitus dapat dilihat pada tabel berikut:

Urin 24jam Urin dalam waktu Urin sewaktu


Kategori
(mg/24jam) tertentu (µg/menit) (µg/mg kreatinin)

Normal < 30 < 20 < 30

Mikroalbuminuria 30 – 299 20 – 199 30 – 299


Makroalbuminuria ≥ 300 ≥ 200 ≥ 300

Dikutip dari : PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe2 di
Indonesia. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan.
Keluhan tidak khas berupa kesemutan, luka sukar sembuh, gatal pada kulit, ginekomastia,
dan impotensi juga dapat menegakkan diagnosis pada Nefropati Diabetik.

Referensi:
1. Diabetic retinopathy: pathogenesis, clinical grading, management and future
developments L. Z. Heng, O. Comyn, T. Peto, C. Tadros, E. Ng, S. Sivaprasad and P.
G. Hykin
2. Fong SD, Siello L., Gardner TW, et al. Retinopathy in diabetes. Diabetes care 2004,
27:suppl. 64-87
3. Constable IJ. Diabetic retinopathy: pathogenesis, clinical feature, and treatment.
In:turtle JL, et al, editor. Diabetes in the new millenium. Sydney: university of sydney,
1999:p.365-76
4. http://eprints.undip.ac.id/43733/3/AULIA_AHMAD_G2A009130_Bab2KTI.pdf
5. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_dir/c58e23e8c06f79cb2ade6f283a78
75c2.pdf
6. Library.usu.ac.id
7. http://eprints.undip.ac.id/37374/1/ANGGUN_DESI_G2A008022_LAP_KTI.pdf
8. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/krisis_hiperglikemia_pada_diab
etes_melitus.pdf
9. https://www.academia.edu/9823689/HYPERGLYCEMIC_HYPEROSMOLAR
KELOMPOK II
TUTORIAL 13
KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS 2

FATMAWATI - 20170310084

GILDAN AJI - 20170310113

IQBAL S DZULFIKAR - 20140310073

M. IZZATUL IMADUDDIN - 20170310017

NURSAFIRA - 20170310156

RIVALI BACHTIAR - 20170310195

SYLVIA DAMAYANTI - 20170310172

Anda mungkin juga menyukai