Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat – Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Anestesi Umum pada Ekstirpasi Fiboadenoma Mamae”.
1. dr. Dublianus, Sp.An, dr. Evita, Sp.An dan dr Tati, Sp.An yang telah membimbing
dan membantu kami dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun laporan
kasus ini.
2. Seluruh staf dan paramedis yang bertugas di Kamar Operasi RSU Kota Cilegon,
terutama kepada seluruh penata anestesi yang telah membantu kami selama
menjalankan kepaniteraan.
Kami menyadari bahwa dalam laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, karena
keterbatasan kemampuan serta pengalaman, walaupun demikian kami telah berusaha sebaik
mungkin. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna
kesempurnaannya.
Penyusun
BAB I. PENDAHULUAN.........................................................................................................1
BAB II
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AD
Usia : 16 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
II. Anamnesis
1. Pemeriksaan Fisik
Berat badan : 40 kg
Nadi : 96 x/menit
Suhu : 36,8 C
Pernafasan : 20 x/menit
Status Generalis
Kepala : Normocephali
Hidung : Simetris, liang hidung lapang, deviasi septum (-), sekret (-)
Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), trismus (-), bau pernafasan (-),
gerak sendi temporo mandibula baik
Gigi geligi : Gigi palsu (-), gigi goyag (-), gigi depan menonjol (-)
Rongga mulut : Terlihat palatum mole dan durum, terlihat tonsil dan uvula
Leher : Leher pendek (-), gerak vertebra servikal baik, KGB tidak teraba
Pulmo : Vocal fremitus simetris, sonor +/+ Suara nafas vesikuler normal,
Ronki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, simetris, teraba supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal.
2. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
o Hb : 12,4 gr/dl
o Ht : 38,1 %
o LED : 45 mm/jam
o SGOT : 17 u/L
o SGPT : 16 u/L
o Ureum : 14 mg/dl
3. PS ASA 1
RESUME
DIAGNOSA KERJA
Tonsilitis Kronis
KESIMPULAN
Diagnosa perioperatif:
LAPORAN ANESTESI
A. Pre Operatif
RR : 20 x/menit
Jenis Anestesi : General anestesi dengan teknik “Semi Close Circuit System
dengan NTT no 26” menggunakan O2 2L/mnt, N2O 2L/mnt,
dan Isoflurane 1,5 Vol %
Posisi : Supine
Pernafasan : Spontan
Rumatan : - O2 2L/menit
- N2O 2L/menit
- Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke kamar Aster
Nadi: 80x/min
Skor
Variabel Tem Skor
Pasien
Aktivitas Gerak ke-4 anggota gerak atas perintah 2 2
Apnea 0
Perubahan ,< 20 % TD sistol preoperasi 2
Tidak respon 0
Merah 2
Sianotik 0
9
Skor Total
Pada pasien ini didapatkan nilai aldrete score 9, pasien dipindahkan ke ruang
perawatan bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.
BAB IV
4x 10 kg = 40 cc
2x10 kg = 20 cc
1x 20 kg = 20 cc
Total : 80 cc
6 x 40 kg = 240 cc
9 x 80 = 720 cc
Kebutuhan cairan basal + Kebutuhan cairan operasi + 50% kebutuhan cairan puasa =
Selama operasi keadaan pasien stabil. Observasi dilanjutkan pada pasien postoperatif
di Recovery Room, dimana dilakukan pemantauan tanda vital meliputi tekanan darah, nadi,
respirasi dan saturasi oksigen.
BAB V
1. Pendahuluan
Sejak dilakukannya tindakan bedah, sebenarnya kalangan medis telah berusaha untuk
melakukan tindakan anestesi yang bertujuan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri
atau rasa sakit. (Anonim, 1989) Pada prinsipnya, seorang penderita akan dibuat tidak
sadarkan diri dengan melakukan tindakan-tindakan yang sering dilakukan secara fisik seperti
memukul, mencekik dan lain sebagainya. Hal tersebut terpaksa dilakukan agar pasien tidak
merasa kesakitan dan akhirnya meloncat dari meja operasi yang mengakibatkan terganggunya
jalannya acara operasi. (Anonim, 1986).
Sejak diperkenalkannya penggunaan gas ether oleh William Thomas Greene Morton
pada tahun 1846 di Boston Amerika Serikat, maka berangsur-angsur cara-cara kekerasan fisik
yang sering dilakukan untuk mencapai keadaan anestesi mulai ditinggalkan. Penemuan
tersebut merupakan titik balik dalam sejarah ilmu bedah, karena membuka cakrawala
kemungkinan dilakukannya tindakan bedah yang lebih luas, mudah serta manusiawi.
(Anonim, 1986). Dalam suatu tindakan operasi, seorang dokter bedah tidak dapat bekerja
sendirian dalam membedah pasien sekaligus menciptakan keadaan anestesi. Dibutuhkan
keberadaan seorang dokter anestesi untuk mengusahakan, menangani dan memelihara
keadaan anestesi pasien. Tugas seorang dokter anestesi dalam suatu acara operasi antara lain :
1. Menghilangkan rasa nyeri dan stress emosi selama dilakukannya proses pembedahan atau
prosedur medik lain.
2. Melakukan pengelolaan tindakan medik umum kepada pasien yang dioperasi, menjaga
fungsi organ-organ tubuh berjalan dalam batas normal sehingga keselamatan pasien tetap
terjaga.
3. Menciptakan kondisi operasi dengan sebaik mungkin agar dokter bedah dapat melakukan
tugasnya dengan mudah dan efektif.
Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter ahli anestesi adalah
menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal, tanpa pengaruh yang berarti
akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan napas menjadi salah satu bagian yang
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan
tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran
pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum
adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta
teratur. Bahkan, menurut Halliday (2002) penggunaan intubasi endotrakheal juga
direkomendasikan untuk neonatus dengan faktor penyulit yang dapat mengganggu jalan
napas. Tulisan ini akan menguraikan tentang intubasi endotrakheal, dan hanya akan dibatasi
pada permasalahan tersebut.
Respirasi merupakan kombinasi dari proses fisiologi dimana oksigen dihisap dan
karbondioksida dikeluarkan oleh sel-sel dalam tubuh. Hal ini merupakan proses pertukaran
gas yang penting. Respirasi dibagi dalam dua fase. Fase pertama ekspirasi eksternal dalam
pengertian yang sama dengan bernafas. Ini merupakan kombinasi dari pergerakan otot dan
skelet, dimana udara untuk pertama kali didorong ke dalam paru dan selanjutnya dikeluarkan.
Peristiwa ini termasuk inspirasi dan ekspirasi. Fase yang lain adalah respirasi internal yang
meliputi perpindahan / pergerakan molekul-molekul dari gas-gas pernafasan (oksigen dan
karbondioksida) melalui membrana, perpindahan cairan, dan sel-sel dari dalam tubuh sesuai
keperluan.
Sistem Respirasi
2.4 Faring dan Laring
Hubungan faring dengan proses respirasi. Faring yang sering disebut-sebut adalah
bagian dari sistem pencernaan dan juga bagian dari sistem pernafasan. Hal ini merupakan
jalan dari udara dan makanan. Udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui
faring dan masuk ke dalam laring. Nasofaring terletak di bagian posterior rongga hidung yang
menghubungkannya melalui nares posterior. Udara masuk ke bagian faring ini turun
melewati dasar dari faring dan selanjutnya memasuki laring.
Organ ini (kadang-kadang disebut sebagai Adam’s Apple) terletak di antara akar lidah
dan trakhea. Laring terdiri dari 9 kartilago melingkari bersama dengan ligamentum dan
sejumlah otot yang mengontrol pergerakannya. Kartilago yang kaku pada dinding laring
membentuk suatu lubang berongga yang dapat menjaga agar tidak mengalami kolaps. Dalam
kaitan ini, maka laring membentuk trakea dan berbeda dari bangunan berlubang lainnya.
Laring masih terbuka kecuali bila pada saat tertentu seperti adduksi pita suara saat berbicara
atau menelan. Pita suara terletak di dalam laring, oleh karena itu ia sebagai organ pengeluaran
suara yang merupakan jalannya udara antara faring dan laring.
Bagian laring sebelah atas luas, sementara bagian bawah sempit dan berbentuk silinder.
Kartilago laring merupakan kartilago yang paling besar dan berbentuk V yaitu kartilago
tiroid. Kartilago ini terdiri dari dua kartilago yang cukup lebar, dimana pada bagian depan
membentuk suatu proyeksi subkutaneus yang dikenal sebagai Adam’s Apple atau penonjolan
laringeal. Kartilago ini menempel pada tulang lidah melalui membrana hyotiroidea, suatu
lembaran ligamentum yang luas dan terhadap kartilago krikoid oleh suatu “elastic cone”
suatu ligamentum yang sebagian besar terdiri dari jaringan elastik berwarna kuning.
Kartilago krikoid lebih kecil tapi lebih tebal terdiri dari cincin depan, tetapi meluas ke dalam
suatu struktur menyerupai plat untuk membentuk bagian bawah dan belakang laring.
Kartilago arytenoid berjumlah dua buah terletak pada batas atas dari bagian yang luas
sebelah posterior krikoid. Kartilago ini kecil dan berbentuk piramid.Epiglotis, kartilago yang
berbentuk daun terletak di pangkal lidah dan kartilago tiroid pada linea mediana anterior.
Kartilago ini melebar secara oblik ke belakang dan atas.
Rongga laring, rongga ini dimulai pada pertemuan antara faring dan laring serta ujung
dari bagian bawah kartilago krikoid dimana ruangan ini akan berlanjut dengan trakhea.
Bagian ini dibagi ke dalam dua bagian oleh vokal fold dan ventrikuler fold secara horizontal.
Vokal fold atau pita suara merupakan dua ligementum yang kuat dimana meluas dari sudut
antara bagian depan terhadap dua kartilago aritenoid pada bagian belakang. Ventrikuler fold
sering disebut sebagai pita suara palsu yang terdiri dari lipatan membrana mukosa dan
terselip suatu pita jaringan ikat. Lipatan-lipatan berada di samping terhadap pita suara yang
Fungsi laring, yaitu mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang selanjutnya
mengatur suara. Laring juga menerima udara dari faring diteruskan ke dalam trakhea dan
mencegah makanan dan air masuk ke dalam trakhea. Kedua fungsi ini sebagian besar
dikontrol oleh muskulus instrinsik laring. Otot-otot laring baik yang memisahkan vokal fold
atau yang membawanya bersama, pada kenyataannya mereka dapat menutup glotis kedap
udara, seperti halnya pada saat seseorang mengangkat beban berat atau terjadinya regangan
pada waktu defekasi dan juga pada waktu seseorang menahan nafas pada saat minum. Bila
otot-otot ini relaksasi, udara yang tertahan di dalam rongga dada akan dikeluarkan dengan
suatu tekanan yang membukanya dengan tiba-tiba yang menyebabkan timbulnya suara
ngorok.
Pengaliran udara pada trakhea, glotis hampir terbuka setiap saat dengan demikian
udara masuk dan keluar melalui laring. Namun akan menutup pada saat menelan. Epiglotis
yang berada di atas glottis berfungsi sebagai penutup laring. Ini akan dipaksa menutup glottis
bila makanan melewatinya pada saat menelan. Epiglotis juga sangat berperan pada waktu
memasang intubasi, karena dapat dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang berwarna
putih yang mengelilingi lubang.
Intubasi Endotrakeal
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara
lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri
dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui
masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di
arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet.
Dalam sumber lain (Anonim, 1986) disebutkan indikasi intubasi endotrakheal antara lain :
a. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
b. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada
kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa
mengganggu pekerjaan ahli bedah.
c. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak
ada ketegangan.
d. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah,
memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra
pulmonal.
e. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
f. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
g. Tracheostomi.
h. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di ruang bedah, ada beberapa
indikasi intubasi endotrakheal pada beberapa kasus nonsurgical, antara lain:
a. Asfiksia neonatorum yang berat.
b. Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya, depresi atau
abcent dan sering menimbulkan aspirasi.
c. Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.
d. Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.
e. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari
24 jam seharusnya diintubasi.
f. Pada post operative respiratory insufficiency.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal
antara lain :
Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan
kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air position. Kesalahan
yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.
Sumber : http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/Hi%20res/Laryngoscopy%201.jpg
a. Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis laringoskop
yaitu :
b. Pipa endotrakheal. Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali pakai
dan lebih tidak mengiritasi mukosa trakhea. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah kepala
dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi.
Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon
(cuff) pada ujunga distalnya. Terdapat dua jenis balon yaitu balon dengan volume besar dan
kecil. Balon volume kecil cenderung bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa dan mengurangi
aliran darah kapiler, sehingga dapat menyebabkan ischemia. Balon volume besar melingkupi
daerah mukosa yang lebih luas dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan
volume kecil. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit
jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon
karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan
diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm. Untuk
intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus :
Panjang pipa yang masuk (mm) = Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan
pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat
diperkirakan dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.
e. Stilet atau forsep intubasi. Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa
endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi (McGill) digunakan untuk
memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan (Anonim, 1989) antara lain :
a. Persiapan.
Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan
menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus 1
gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam
satu garis lurus.
b. Oksigenasi.
Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan
pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit.
Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop.
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan
kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun
laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan
Anestesi Umum Intubasi Endotrakheal tube Page 28
terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan.
Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan
berbentuk huruf V.
Langkah-langkah intubasi
1 2
5 6
3.8 Obat-Obatan yang Dipakai.
Berikut ini adalah obat-obat yang biasa dipakai dalam tindakan intubasi endotrakheal
(Anonim, 1986), antara lain :
a. Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxant merupakan obat yang
paling populer untuk intubasi yang cepat, mudah dan otomatis bila dikombinasikan
dengan barbiturat I.V. dengan dosis 20 –100 mg, diberikan setelah pasien dianestesi,
bekerja kurang dari 1 menit dan efek berlangsung dalam beberapa menit. Barbiturat
Suxamethonium baik juga untuk blind nasal intubation, Suxamethonium bisa diberikan
I.M. bila I.V. sukar misalnya pada bayi
b. Thiophentone non depolarizing relaxant : metode yang bagus untuk direct vision
intubation. Setelah pemberian nondepolarizing / thiophentone, kemudian pemberian O2
dengan tekanan positif (2-3 menit) setelah ini laringoskopi dapat dilakukan. Metode ini
tidak cocok bagi mereka yang belajar intubasi, dimana mungkin dihadapkan dengan
pasien yang apneu dengan vocal cord yang tidak tampak.
c. Cyclopropane : mendepresi pernafasan dan membuat blind vision intubation sukar.
d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi.
Iritabilitas laringeal meninggi, sedang relaksasi otot-otot tidak ada dan dalam dosis besar
dapat mendepresi pernafasan.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA