Emfisema Paru Bismillah
Emfisema Paru Bismillah
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
EMFISEMA PARU
Disusun Oleh:
LUKMAN
C014181025
RESIDEN PEMBIMBING
dr. GEBI NONIYANTI
dr. RAHMI UTAMI
SUPERVISOR PEMBIMBING
dr. RAHMAWATY, M.Kes, Sp.A
1
HALAMAN PENGESAHAN
Makassar, 2018
Mengetahui,
Supervisor Pembimbing
2
I. PENDAHULUAN
Emfisema paru adalah suatu kelainan anatomik paru yang ditandai oleh
pelebaran secara abnormal saluran napas bagian distal bronkus terminalis,
disertai dengan kerusakan dinding alveolus yang ireversibel. Dalam keadaan
lanjut, penyakit ini sering menyebabkan obstruksi saluran napas yang menetap
dan dinamakan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).(1,2,3,4)
Emfisema paru diklasifikasikan atas dasar pola keikutsertaan unit
pertukaran gas (asinus) paru bagian distal bronkiolus terminalis. Walapun
hanya beberapa pola morfologik telah dijelaskan, ada dua hal yang paling
penting , yaitu perubahan morfologik yang meliputi bronkiolus pernapasan dan
duktus alveolaris di pusat asinus (emfisema sentriasinar) dan perubahan di
seluruh asinus (emfisema panasinar). Emfisema sentriasinar sering ditemukan
pada pasien pria perokok, biasanya pada lobus atas paru dan menyertai pasien
bronkitis kronik. Emfisema panasinar terdapat pada pasien defisiensi α1 anti
tripsin dan sering menyertai proses degeneratif atau pasien bronkitis kronik.
Timbul pada lobus bawah paru.(5,6)
Di negara-negara Barat seperti Inggris dan Amerika Serikat penyakit paru
kronik merupakan salah satu penyebab utama kematian dan ketidakmampuan
pasien untuk bekerja. Di Indonesia penyakit emfisema paru meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah orang yang mengisap rokok dan pesatnya
kemajuan industri.(2)
II. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kematian terbanyak
dari 10 penyebab kesakitan utama. Penyakit bronkitis kronik dan emfisema di
Indonesia meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang
mengisap rokok dan pesatnya kemajuan industri. (7)
Di negara-negara barat ilmu pengetahuan dan industri telah maju dengan
mencolok tetapi telah pula menimbulkan pencemaran lingkungan dan polusi.
3
Ditambah lagi dengan masalah merokok yang dapat menyebabkan penyakit
bronkitis kronis dan emfisema paru.(2) Diperkirakan 16,2 juta orang amerika
menderita bronkitis kronik dan emfisema atau keduanya, yang bertanggung
jawab dalam menyebabkan 112.584 kematian pada tahun 1998.(3,5)
Data epidemiologis di Indonesia sangat kurang. Nawas dkk melakukan
penelitian di poliklinik paru RS Persahabatan Jakarta dan mendapatkan
prevalensi PPOK sebanyak 26%, kedua terbanyak setelah tuberkulosis paru
(65%). Di Indonesia belum ada data mengenai emfisema paru.(2)
III. ETIOLOGI
a. Rokok
Secara patologis merokok (secara aktif maupun pasif) dapat menyebabkan
gangguan pergerakan silia pada jalan napas, menghambat fungsi makrofag
alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus bronkus.
Gangguan pada silia, fungsi makrofag alveolar akan mempermudah terjadinya
peradangan pada bronkus dan bronkiolus, serta infeksi pada paru-paru.
Peradangan bronkus dan bronkiolus akan mengakibatkan obstruksi saluran
napas, dinding bronkiolus melemah dan alveoli pecah. Di samping itu,
merokok akan merangsang leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim
protease (proteolitik), dan menginaktifasi antiprotease (Alfa-1 anti tripsin),
sehingga terjadi ketidakseimbangan antara aktifitas keduanya.(2,3)
b. Polusi Udara
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
Insiden dan angka kematian emfisema dapat lebih tinggi di daerah yang padat
industrialisasi. Polusi udara seperti halnya asap tembakau juga menyebabkan
gangguan pada silia, menghambat fungsi makrofag alveolar. (2,3)
c. Infeksi
Infeksi saluran napas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat.
Penyakit infeksi saluran napas seperti pneumonia, bronkitis akut, asma
bronkial dapat mengarah pada obstruksi jalan napas, yang pada akhirnya dapat
menyebakan terjadinya emfisema. (2,3)
4
d. Faktor Genetik
Defisiensi Alfa-1 anti tripsin, kurangnya enzim yang diperlukan untuk
metabolisme tripsin sebagai enzim pencernaan. Jika tripsin tidak
dimetabolisme akan menyebabkan destruksi pada jaringan paru normal. Cara
yang tepat bagaiman defisiensi antitripsin dapat menimbulkan emfisema masih
belum jelas. (2,3)
Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan
antielastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan
akan menimbulkan kerusakan jaringan elastik paru. Arsitektur paru akan
berubah dan menimbulkan emfisema. Sumber elastase yang penting adalah
pancreas. Perangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi
menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktifitas sistem antielastase yaitu
sistem alfa-1 protease inhibitor terutama enzim alfa-1 antitripsin (alfa-1
globulin) menjadi menurun. Akibat tidak ada lagi keseimbangan antara elastase
dan antielastase akan terjadi krusakan jaringan elastik paru dan kemudian
emfiema. (2)
e. Obstruksi Jalan Napas
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus,
sehingga terjadinya mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke dalam alveolus
pada waktu inspirasi akan tetapi tidak dapat keluar pada waktu ekspirasi.
Etiologinya adalah benda asing di dalam lumen dengan reaksi lokal, tumor
intrabronkial di mediastinum, kongenital.(2,3)
IV. KLASIFIKASI
Menurut The America Thoracic Society, emfisema paru dibagi atas: (2)
1. Parasikatrial : terdapat pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding
alveolus di tepi suatu lesi fibrotik paru.
2. Lobular : pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding alveolus di asinus/
lobules sekunder.
Emfisema paru dibagi lagi menurut tempat proses terjadinya, yaitu : (2,8)
5
1. Sentrolobular (centriacinar/centrilobular emphysema): kerusakan terjadi di
daerah sentral asinus. Daerah distalnya tetap normal.
6
Ada empat jenis empisema paru : (8,9)
1. Emfisema sentrilobuler : Secara selektif hanya menyerang bronchialus
respiratoris. Dinding – dinding mulai berlubang membesar, bergabung
dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang sewaktu dinding-dinding
terintegrasi. Berlangsung mula-mula duktus alveolaris dan sakum
alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan. Penyakit ini cenderung
lebih berat menyerang bagian atas paru, tetapi akhirnya cenderung tersebar
tidak merata. Emfisema tipe ini paling sering terjadi pada perokok yang
tidak menderita defisiensi kongenital antitripisin α.(6,10)
2. Emfisema panlobuler : pada tipe emfisema ini, asinus secara merata
membesar dari tingkat bronkiolus respiratorik hingga alveolus buntu di
terminal. Emfisema panlobuler lebih sering terjadi di zona paru bawah dan
merupakan tipe emfisema yang terjadi pada defisiensi antitrypsin α-1.(6,10)
3. Emfisema paraseptal atau subpleural : pada bentuk ini bagian proksimal
asinus normal, tetapi bagian distal umunya terkena. Emfisema lebih nyata
di sekat pleura, disepanjang septum jaringan ikat lobulus dan tepi lobulus.
Temuan khas adanya ruang udara yang multiple, saling berhubungan dan
membesar kadang kadang membentuk struktur mirip kista dan jika
membesar progresif disebut bulla. Tipe emfisema ini mungkin mendasari
kasus pneumothoraks spontan akibat bulla atau balon subpleura yang
pecah.(6,10)
4. Emfisema parasikatrisial : parasikatrisial emfisema juga berbeda dari
sentrilubular emfisema, pada emfisema jenis ini tidak disebabkan oleh
destruksi dari dinding alveolus tetapi dari bakas luka dadalam perbatasan
panenkim paru.(10)
7
V. PATOFISIOLOGI
8
obstruksi selalu dapat ditemukan. Karena bronkitis kronik dan emfisema selalu
ditemukan bersamaan sulit untuk menentukan peran masing-masing dalam
menyebabkan kecacatan seorang pasien.(5)
VI. DIAGNOSIS
A. GAMBARAN KLINIS
1. Anamnesis :
Sebagai suatu kasus yang sering dijumpai dalam masyarakat, ada beberapa
hal yang perlu ditanyakan ketika menganamnesis yaitu : riwayat menghirup
rokok, riwayat terpajan zat kimia, riwayat penyakit emfisema pada keluarga,
terdapat faktor predisposisi pada masa bayi misalnya BBLR, infeksi saluran
napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara, sesak napas waktu
beraktivitas terjadi bertahap dan pelan-pelan memburuk dalam beberapa tahun.
(10)
9
c. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah.
d. Auskultasi
Suara napas vesikuler normal atau melemah
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
saat ekspirasi paksa dan ekspirasi memanjang
B. GAMBARAN RADIOLOGI
1. Gambaran Radiologi Konvensional (9,11,12,13)
Dengan menggunakan Foto Polos Thoraks dapat menunjukkan diagnosis
dari Emfisema.
Diagnosis foto polos thoraks ini disarkan pada :
a. Tanda hiperinflasi (diafragma datar, peningkatan ruang retrosternal,
kadang dada besar/ Barrel chest).
b. Kriteria Vaskular (menurunnya pembuluh darah perifer, daerah
avaskular lokal, arteri paru besar).
Gambar 4A. Foto toraks posisi PA. Tampak bayangan vaskuler perifer
sedikit, khususnya daerah basal. Lengkungan diafragma letak rendah
dan meningkatnya jumlah aerasi jaringan paru. Tampak gambaran
jantung yang ramping.(12)
10
Gambar 4B. Foto thoraks posisi lateral. Tampak bayangan vaskuler
perifer sedikit, khususnya daerah basal.(11)
Emfisema paru disebabkan oleh obstruksi pernapasan kronik yang
merupakan hasil destruksi alveoli. Paru-paru berisi lebih banyak udara
dibandingkan keadaan normal sebab obstruksi jalan napas mengakibatkan
udara terperangkap. Kadang-kadang, persediaan udara meningkat
menyerupai bola, yang disebut bulla. Hal ini memberikan pengertian sejak
densitas cairan pada dinding alveolar menjadi hilang dan udara terperangkap
dalam paru-paru. Selain itu, karena destruksi jaringan maka hanya sedikit
pembuluh darah yang tampak. (11,14)
Jadi, pada gambaran foto thoraks dari emfisema paru ditemukan gambaran
radiologi sebagai berikut: (12)
Hiperinflasi paru
Hemidiafragma letak rendah
Hemidiafragma datar (jarak ≤1,5 cm antara garis yang
menghubungkan sudut costa dan cardioprenicus dengan puncak
midhemidiafragma)
Ruang udara retrosternal > 2,5 cm
Barrel chest
Pemangkasan dan distorsi vaskuler paru (hipertensi arteri pulmonal)
Pembesaran jantung kanan
11
Bulla
2. CT-SCAN
Dengan menggunakan CT-scan telah terbukti bermanfaat dalam
mendiagnosis suatu emfisema. Grade dari emphysema yaitu :(9,11,14)
1. Analisis kuantitatif
2. Grade visual
Analisis kuantitatif didasarkan pada pengukuran kepadatan dengan berbagai
kerapatan atau grading visual piksel dengan grade visual, penekanan non-
peripheral.(11,14)
12
Gambar 6. Karena merokok mengakibatkan Emfisema Sentrilobular.
Pinggiran paru (panah biru), Arteri centrilobular (panah kuning) terlihat di
tengah area hipodens.(10)
13
Perubahan struktur tampak dengan mata telanjang atau lens pada slide besar di
paru. (16)
14
Gambar 10. Foto thoraks posisi PA. Tanda panah menunjukkan daerah
yang hiperlusen avaskuler pada daerah seluruh hemitoraks kanan dan
jaringan paru yang kolaps di bagian sentral.(4)
B. Asma
15
Gambar 11. Gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang
bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang
menurun.(18)
VIII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang pandai harus dilakukan dengan pengetahuan yang
selengkap mungkin mengenai derajat obstruksi, taraf disabilitas dan
reversibilitas relative pasien tersebut. Karena emfisema proses yang
irreversibel, tindakan mencegah progresifitas penyakit dan menghindari
serangan akut merupakan pendekatan utama.(5)
Adapun penatalaksanaan bronkitis kronik dan emfisema paru dapat dibagi
atas : (2,9,19)
A. Pencegahan
Rokok : hubungan rokok dengan penyakit ini sudah jelas. Karena itu
kebiasaan merokok harus diberhentikan. Meskipun sukar, penyuluhan
dan usaha optimal harus dilakukan.
Menghindari lingkungan polusi : sebaiknya dilakukan penyuluhan
berkala khususnya pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik
yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran.
Vaksin : dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama
terhadap influensa dan infeksi pneumokokus.
16
B. Terapi farmakologis
1. Pemberian Bronkodilator
Tujuan utama untuk mengurangi obstruksi jalan napas yang masih
mempunyai komponen yang reversibel meskipun sedikit. Dengan
mengurangi obstruksi sedikit saka akan membantu pasien.
Pemberian Bronkodilator yaitu Golongan teofilin biasanya diberikan
dengan dosis 10-15 mg/kgBB per oral. Dalam pemberian obat ini harus
diperhatikan kadar teofilin dalam darah karena metabolisme sangat
berfariasi pada setiap individu. Konsentrasi dalam darah yang baik
adalah 10-15 mg/L.
Pemberian golongan Agonis B2 sebaiknya diberikan secara aerosol atau
nebuliser. Dapat juga diberikan kombinasi antara obat secara aerosol
dan obat oral sehingga diharapkan efek bronkodilator lebih kuat. Efek
samping utama adalah tremor namun dapat menghilang dengan
pemberian yang agak lama. Hati-hati pada penderita aritmia jantung
(ekstra sistol ventrikel atau takikardia ventrikel). Selain efek
bronkodilator terbutalin suatu egonist B2 yang juga memiliki efek
pengeluaran mukus bila diberikan secara aerosol.
2. Pemberian kortikosteroid
Pada beberapa pasien pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi
obstruksi saluran napas. Pada penelitian madella dkk terdapat respon baik
pada 8 dari 38 pasien. Karena itu Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk
mencoba pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu kalau tidak ada
respon, baru dihentikan.(2)
3. Mengurangi sekresi mukus
Minum cukup, supaya tidak terjadi dehidrasi dan mukus menjadi lebih
encer
Ekspektoran, yang sering digunakan adalah gliseril guaikolat, kalium
ionida, dan amonium klorida.
Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan
mengencerkan sputum.
17
Mukolitik, dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.
C. Pemberian O2 Jangka Panjang
Pemberian O2 jangka panjang telah terbukti berguna pada pasien-pasien
dengan bronkitis kronik / emfisema paru yang lanjut dengan hipoksia
kronik.
D. Operasi
Reduksi volume paru (Lung Volume Reduction). Pada prosedur ini,
proses pembedahan mengangkat sebagian jaringan paru yang rusak dan
terlalu meluas. Pengangkatan sebagian jaringan paru yang rusak ini
agar bagian paru yang lain dan otot diafragma membaik dan bekerja
lebih efisien agar dapat memperbaiki proses bernapas.
Transplantasi paru (Lung Transplant), Transplantasi paru dilakukan
pada emfisema yang berat dan semua pilihan telah gagal. Akan tetapi
pendekatan ini memiliki batasan karena terbatasnya organ-organ dari
donor, dan banyaknya jumlah pasien yang membutuhkan.
IX. KOMPLIKASI
1. Kolaps Paru (Pneumothoraks)
Udara masuk kedalam rongga pleura karena lemahnya dinding alveolus
dan pleura visceral yang terjadi secara tiba tiba dan tak terduga didalam
empisema terjadi pecahnya bleb sub pleura pada permukaan paru paru atau
penyakit bulla lokal.(19)
2. Gangguan Jantung (hipertensi paru)
Emfisema dapat meningkatkan tekanan darah di arteri. Awalnya terjadi
takikardi dan kemudian akan terjadi bradicardi jika otot jantung tidak cukup
mendapat suplai O2. Peningkatan tekanan darah yang selanjutnya diikuti oleh
penurunan tekanan darah jika hipoksia tidak diatasi. Keadaan ini biasa
disebabkan oleh yang biasa disebut kor pulmonal.(19)
18
X. KESIMPULAN
Emfisema paru adalah suatu kelainan anatomik paru yang ditandai oleh
pelebaran secara abnormal saluran napas bagian distal bronkus terminalis,
disertai dengan kerusakan dinding alveolus yang ireversibel.
Etiologi penyebab terjadinya emfisema yaitu rokok, polusi udara, infeksi,
faktor genetik dan obstruksi saluran nafas
Emfisema dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu Emfisema Sentrilobuler,
Emfisema Panlobuler, Emfisema Paraseptal dan Emfisema Parasikatrisial
Diagnosis emfisema dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis,
pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan patologi anatomi
Tatalaksana emfisema dapat dilakukan dengan pencegahan, terapi
farmakologis, pemberian O2 jangka panjang dan tindakan operasi
Komplikasi yang dapat timbul pada emfisema yaitu pneumothoraks,
kolaps paru dan kor pulmonal.
19
DAFTAR PUSTAKA
20
11) Medcyclopedia. Respiratory disease and emphysema. [Online]. 2008 [Cited
2018 October ] . Available from: URL;
http://www.medcyclopedia.com/nic_k18_883.jpg
12) Ouellette H, Tetreault P. Clinical radiology: chest radiograph. United States
of America : Medmaster; 2000. P : 21-22
13) Ekayuda Iwan. Radiologi Diagnostik edisi II. Jakarta; 2005. Hal : 108-112
14) Richard B.G. Essensial Radiology. New York; 2006 Hal : 84-85
15) Mithun Prasad. Arcot Sowmya. Peter Wilson. Multi-level classification of
emphysema in HRCT lung images. Springer-Verlag :London; 2007 P: 1-4
16) West JB. Pulmonary patophysiology: obstructive diseases. United States of
America : Lippincott Williams & Wilkins; 2003.
17) Joanne LW, Andrew Chug. Pathologic Features of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease Diagnostic Criteria and Differential Diagnosis. 2005 P:
90-92
18) David CH, Brian A. The Hands-On Guide to Imaging. United States of
America: Blackwell;2004 P: 25-27
19) Mayoclinic.Emphysema.[online] 2012 [cited 2018 October] available from :
http//www.mayoclinic.com/health/emphysema/DS00296
21