Anda di halaman 1dari 24

1

TEXT BOOK READING

“Manajemen Injeksi Lokal pada Nyeri Bahu"

Disusun oleh:
Ardhila Aida Nirmala G4A015138

Pembimbing:
dr. Untung Gunarto, Sp.S

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
2

LEMBAR PENGESAHAN

TEXT BOOK READING

“Manajemen Injeksi Lokal pada Nyeri Bahu"

Disusun oleh:
Ardhila Aida Nirmala G4A015138

Text book reading ini telah dipresentasikan dan disahkan


sebagai salah satu syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di
Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Purwokerto, Juli 2017

Pembimbing:

dr. Untung Gunarto, Sp.S


3

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................ 3

I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang ........................................................................................... 4
B. Jurnal ......................................................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi .............................................................................. 10
B. Definisi ..................................................................................................... 12
C. Etiologi ..................................................................................................... 12
D. Patofisiologi ............................................................................................. 13
E. Manifestasi Klinis .................................................................................... 14
F. Diagnosis .................................................................................................. 16
G. Penatalaksanaan ....................................................................................... 17
H. Manajemen Injeksi Lokal ........................................................................ 18
III. KESIMPULAN ............................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................24
4

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nyeri bahu merupakan keluhan umum dengan prevalensi sekitar 16% di
komunitas. Nyeri bahu dapat terjadi akibat beberapa gangguan yang
mendasarinya termasuk rotator cuff tendinopathy, adhesive capsulitis (frozen
shoulder) dan osteoartritis. Kondisi ini mungkin dapat melumpuhkan dan
menyebabkan biaya ekonomi yang signifikan. Secara umum, perbedaan antara
gangguan yang mendasari nyeri bahu tidak selalu jelas dan diketahui bahwa
dokter umum biasanya menggunakan pendekatan pragmatis dengan
menggunakan istilah ‘nyeri bahu’ yang tidak spesifik daripada diagnosis
spesifik tertentu dalam catatan (Kuijpers et al., 2006; Linsell et al., 2006).

Bahu yang menyakitkan dapat ditangani dengan berbagai cara, termasuk


analgesia, obat antiinflamasi non-steroid (NSAID), fisioterapi, dan injeksi
kortikosteroid. Respon terhadap perawatan ini tidak dapat diprediksi, dan 40%
sampai 50% pasien masih mengalami nyeri pada 6 bulan. Sebuah minoritas
yang signifikan menderita nyeri dan gangguan fungsional yang terus-menerus.
Sebagian kecil memerlukan investigasi lebih lanjut dan intervensi bedah,
namun ini biasanya diperuntukkan bagi mereka yang gagal merespon dengan
terapi konservatif (Holt et al., 2013).

Injeksi kortikosteroid banyak digunakan pada pelayanan kesehatan primer


untuk mengobati nyeri bahu. Terdapat beberapa bukti yang mendasari untuk
mendukung terapi ini dan beberapa hasil uji coba tidak konsisten yang
dilakukan sejak tahun 1980an. Beberapa penelitian meliputi seluruh masalah
nyeri bahu, sedangkan yang lain meneliti pasien dengan dasar diagnosis yang
spesifik (Arrol & Goodyear-Smith, 2005).
5

B. Jurnal

“Effectiveness of Intra-articular Corticosteroid Injection in the Treatment of


Idiopathic Frozen Shoulder”
Mohammad Siraj, Wasim Anwar, Malik Javed Iqbal, Noor Rahman, Salik
Kashif, Asghar Khan, Israr Ahmad

Objektif: Untuk menentukan kemanjuran dari kortikosteroid intra-artikular


dalam terapi frozen shoulder idiopatik.
Desain penelitian: Quasi eksperimental.
Waktu & tempat penelitian: Department of Orthopedics Surgery Hayatabad
Medical Complex Peshawar, dari Februari 2010 sampai Oktober 2010.
Metodologi: Dalam penelitian ini, 113 kasus frozen shoulder idiopatik terpilih
dengan teknik non-probability consecutive sampling pada departemen rawat
jalan. Pasien menerima injeksi kortikosteroid (metilprednisolon) intra-artikular
yang dilanjutkan dengan fisioterapi selama empat minggu. Shoulder pain and
disability index (SPADI) digunakan sebagai hasil akhir untuk mengukur
peredaan nyeri dan disabilitas.
Hasil: Usia rata-rata pasien adalah 49±9.3 tahun. Menggunakan SPADI, skor
baseline rata-rata nyeri dan disabilitas adalah 81±7.2 dan 79.5±7.6 dan
mengalami perbaikan secara signifikan menjadi 14.5±7.4 dan 25.6±18.2 pada
minggu ke empat injeksi intra-artikular pada sendi glenohumeral yang
bermasalah dengan nilai p 0.000 dan 0.040 masing-masing.
Kesimpulan: Injeksi steroid intra-artikular merupakan modalitas yang efektif
dan dapat diandalkan sebagai terapi dalam meredakan nyeri dan mengurangi
disabilitas pada frozen shoulder idiopatik.
Kata kunci: frozen shoulder, injeksi intra-artikular, nyeri bahu, indeks
disabilitas

Pendahuluan:
Frozen shoulder merupakan sindrom klinis yang dikarakteristikkan
sebagai pembatasan yang menyakitkan dari gerakan aktif maupun pasif.
6

Biasanya dianggap sebagai self-limiting condition namun bukti yang ada tidak
menganggapnya demikian. Penyebabnya secara umum masih belum diketahui.
Tata nama variabel, laporan yang tidak konsisten mengenai tahapan penyakit
serta banyaknya terapi membuat kondisi ini membingungkan serta
berkontradiksi dari literatur yang ada.
Berbagai macam terapi intervensi yang tersedia bertujuan untuk
mengembalikan gerakan serta mengurangi nyeri pada pasien dengan frozen
shoulder. Hal ini termasuk istirahat, obat-obatan NSAID (Non-steroidal anti-
inflamatory drugs), mobilisasi aktif dan pasif, fisioterapi, oral dan intra-
artikular kortikosteroid, hidro-dilatasi, manipulasi dibawah anestesi,
arthroscopic capsular release dan blok saraf suprascapular. Terapi frozen
shoulder sendiri ini sulit karena belum ada satupun terapi yang digunakan saat
ini terbukti efektif. Injeksi kortikosteroid intra-artikular sendiri biasanya
digunakan untuk mengobati capsulitis adhesive.
Penelitian ini diadakan untuk mengevaluasi keefektivan dari injeksi
kortikosteroid (metilprednisolon) intra-artikular sebagai terapi frozen shoulder
dalam tindak lanjut ringan.
Metodologi:
Penelitian quasi eksperimental ini diadakan di departemen rawat jalan
Bedah Ortopedi, Hayatabad Medical Complex, Peshawar dari Februari 2010
sampai Oktober 2010. Perbaikan dalam nyeri dan disabilitas menggunakan
shoulder pain and disability index merupakan pengukuran hasil akhir yang
utama. Pasien yang dipilih dalam penelitian ini berdasarkan teknik non-
probability consecutive sampling. Pasien dengan frozen shoulder idiopatik usia
lebih dari 18 tahun dengan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan
diinklusi. Pasien dengan frozen shoulder idiopatik yang memiliki riwayat
injeksi lokal intra-artikular sebelumnya, frozen shoulder sekunder, dan lost to
follow selama 4 minggu dieksklusi. Persetujuan etik didapatkan dari review
isntitusional dan dewan etik.
Pasien didiagnosis sebagai kasus frozen shoulder idiopatik secara klinis
mengalami nyeri bahu setidaknya dalam durasi satu bulan dengan diiringi
keterbatasan gerakan glenohumeral aktif maupun pasif yang berat, dalam
7

segala rentang gerak khususnya rotasi internal, dengan X-rays normal dari
sendi glenohumeral yang terkait. Dalam memasukkan data pasien (nyeri bahu
dan disabilitas) dicatat dalam shoulder pain and disability index (tabel 1).
Semua pasien menerima injeksi kortikosteroid intra-artikular. Diberikan dalam
campuran 2 ml (80 mg) metilprednisolon dan 1 ml lignocaine 2% (untuk
pereda nyeri lokal akibat injeksi intra-artikular), dalam jarum suntik tunggal.
Follow up setelah empat minggu disarankan dan skor SPADI dicatat untuk
variabel.
Data dianalisis dengan SPSS 10. Frekuensi dan persentasi dihitung untuk
variabel kategorik seperti jenis kelamin dan evaluasi bahu. Rata-rata dan
standar deviasi dihitung untuk variabel numerik seperti skor Visual Analogue
Scale dari nyeri dan disabilitas dalam baseline dan dalam interval empat
minggu. Student t test diaplikasikan untuk mengetahui perbedaan intensitas dari
nyeri dan disabilitas sebelum dan sesudah terapi dengan injeksi kortikosteroid
intra-artikular yang signifikan secara statistik. Nilai p <0.05 dianggap sebagai
level signifikan.
Hasil:
Sebanyak 126 pasien terdaftar. Tiga belas pasien lost to follow up selama 4
minggu dan dieksklusi. Analisis akhir dibuat pada 113 pasien. Usia rata-rata
pasien yang mengikuti penelitian ini adalah 49±9.3 tahun. Terdapat 62 (55%)
laki-laki dan 51 (45%) wanita. Pada 47 (42%) pasien, bahu sisi kanan
(dominan) yang terpengaruh sedangkan 66 (58%) pasien bahu sisi kiri (non-
dominan) yang terpengaruh.
Dengan menggunakan SPADI baseline subskala nyeri adalah 81±7.2 dimana
terdapat perbaikan menjadi 14.5±7.4 pada minggu ke 4 injeksi kortikosteroid
intra artikular pada sendi glenohumeral yang terlibat. Saat dibandingan secara
statistik nilai p yang signifikan 0.000 didapatkan. Baseline rata-rata skor
subskala disabilitas SPADI adalah 79.5±7.6 dimana terjadi perbaikan menjadi
25.6±18.2 pada minggu ke 4 injeksi intra-artikular pada sendi glenohumeral
yang terlibat (p 0.040).
8

Diskusi:
Frozen shoulder atau adhesif capsulitis merupakan masalah yang biasanya
dijumpai di praktik umum yang dpresentasikan sebagai nyeri yang mungkin
berat dengan berkurangnya fungsi dan gerakan secara bertahap. Kekakuan yang
menyakitkan pada bahu merupakan entitias klinis yang tidak jelas yang sulit
dinilai dan diobati. Efektivitas injeksi steroid pada follow up jangka pendek
tidak dapat dipungkiri namun efektivitas follow up pada jangka menengah dan
jangka panjang belum ditetapkan. Dalam penelitian ini kami menetapkan
perbaikan klinis yang ditandai pada populasi yang diteliti.
Baseline karakteristik dalam penelitian kami sejalan dengan yang telah
dilaporkan dalam kepustakaan. Tidak terdapat predileksi rasial yang dilaporkan
dalam kepustakaan, meskipun demikian wanita dianggap lebih banyak
terpengaruh dibandingkan pria. Frozen shoulder idiopatik mungkin dapat
mempengaruhi kedua bahu pada sebesar 16% pasien. Hal ini lebih umum pada
bahu kiri (non-dominan-66%) dibandingkan bahu kanan (dominan-47%).
Meskipun kepustakaan memberi kesan bahwa kondisi ini lebih umum terjadi
pada wanita, namun pada penelitian kami dan penelitian yang dilakukan oleh
Ahmad et al frekuensi lebih banyak pada pria.
Kortikosteroid intra-artikular memiliki efek aditif dalam meredakan nyeri
dengan cepat, terutama pada minggu pertama periode pengobatan. Pada pasien
dengan adhesive capsulitis yang memiliki gejala predominan, terapi
kortikosteroid intra-artikular dapat disarankan bersamaan dengan berolahraga.
Pada uji coba kontrol terandomisasi dari kortikosteroid intra-artikular
dibandingkan dengan plasebo dengan atau tanpa fisioterapi, seluruh peserta
diberikan program latihan di rumah yang sama. Ukuran hasil akhir dinilai pada
6 minggu. Diketahui bahwa kortikosteroid dapat memberi perbaikan dalam
nyeri dan disabilitas dibandingkan dengan plasebo.
Carrete et al membandingkan empat terapi: injeksi kortikosteroid intra-
artikular (dibawah kontrol fluoroscopik) ditambah fisioterapi, injeksi
kortikosteroid sendiri, injeksi salin ditambah fisioterapi, dan injeksi salin
sendiri. Peneliti menyimpulkan bahwa kortikosteroid intra-artikular (dengan
atau tanpa fisioterapi) memberikan perbaikan nyeri dan disabilitas secara
9

signifikan pada minggu ke 6 dibandingkan dengan injeksi salin ditambah


fisioterapi atau injeksi salin sendiri.
Pada review sistematik dari lima Cochrane dan 18 uji coba randomisasi
terkontrol Favejee et al meneliti efektivitas medikasi oral, terapi injeksi,
fisioterapi, akupuntur, arthrographic distension dan supscapular nerve block
(SSNB). Mereka menemukan bukti yang kuat untuk efektivitas injeksi steroid
dan terapi laser dalam terapi jangka pendek dan bukti moderat untuk injeksi
steroid pada follow up jangka menengah. Untuk intervenso lain yang biasanya
digunakan, tidak ada tau hanya bukti terbatas mengenai efektivitas yang
ditemukan. Uji coba berkualitas tinggi dibutuhkan untuk mendokumentasikan
hasil jangka panjang.
Keterbatasan potensial dalam penelitian kami adalah jumlah sampel yang
kecil, tidak terdapat kelompok kontrol dan teknik injeksi kortikosteroid intra-
artikular yang diberikan tanpa panduan fluoroskopik atau fasilitas ultrasound.
Oleh sebab itu tidak mungkin untuk mengetahui dengan pasti bahwa semua
injeksi benar-benar dilakukan secara intra-artikular. Dalam uji coba kami,
pasien memiliki frozen shoulder idiopatik dengan nyeri dan gerakan yang
terbatas pada tingkat akhir 1 atau tingkat 2. Namun pengukuran hasil akhir
tidak dialkukan secara terpisah pada tiap tingkatan. Kami berharap bahwa
penelitian selanjtunya dapat fokus dalam kelemahan ini.
Kesimpulan:
Injeksi kortikosteroid intra-artikular efektif sebagai terapi frozen shoulder
idiopatik. Hal ini memungkinkan pasien untuk mendapatkan kembali
jangkauan gerakannya, mengurangi disabilitas dan meredakan nyeri hingga
minggu ke 4.
10

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


Sendi pada bahu terdiri dari tiga tulang yaitu tulang klavikula, skapula, dan
humerus. Beberapa sendi pada bahu yaitu glenohumeral, skapulothorakal,
sternoclavicular, akromioclavicular, suprahumeral, costosternal, dan
costovertebral. Terdapat dua sendi yang sangat berperan pada pergerakan bahu
yaitu sendi akromiklavikular dan glenohumeral. Sendi glenohumeral lah yang
berbentuk “ball-and-socket” yang memungkinkan untuk terjadi Range of
Movement (ROM) yang luas (Priguna , 2003).
Gangguan gerakan di dalam sendi bahu sering mempunyai konsekuensi
untuk sendi-sendi yang lain di gelang bahu dan sebaliknya. Sendi bahu
dibentuk oleh kepala tulang humerus dan mangkok sendi, disebut cavitas
glenoidalis. Sendi ini menghasilkan gerakan fungsional sehari-hari seperti
menyisir, menggaruk kepala, dan sebagainya atas kerja sama yang harmonis
dan simultan dengan sendi- sendi lainnya. Cavitas glenoidalis sebagai mangkok
sendi bentuknya agak cekung tempat melekatnya kepala tulang humerus
dengan diameter cavitas glenoidalis yang pendek kira-kira hanya mencakup
sepertiga bagian dan kepala tulang sendinya yang agak besar, keadaan ini
otomatis membuat sendi tersebut tidak stabil namun paling luas gerakannya
(Soeharyono, 2004; Priguna, 2003).
Beberapa karakteristik daripada sendi bahu, yaitu (Soeharyono, 2004):
1. Perbandingan antara permukaan mangkok sendinya dengan kepala
sendinya tidak sebanding.
2. Kapsul sendinya relatif lemah.
3. Otot-otot pembungkus sendinya relatif lemah, seperti otot supraspinatus,
infrapinatus, teres minor dan subscapularis.
4. Gerakannya paling luas.
5. Stabilitas sendinya relatif kurang stabil.
11

Gambar 2.1. Anatomi Bahu (Soeharyono, 2004)

Struktur-struktur yang membentuk bahu disebut juga sebgai rotator cuff.


Tulang-tulang pada bahu disatukan oleh otot, tendon, dan ligament. Tendon
dan ligament membantu memberi kekuatan dan stabilitas lebih. Otot-otot yang
menjadi bagian dari rotator cuff adalah m. supraspinatus, m. infraspinatus, m.
teres minor, dan m. Subscapularis. Otot-otot pada rotator cuff sangat penting
pada pergerakan bahu dan menjaga stabilitas sendi glenohumeral. Otot ini
bermulai dari scapula dan menyambung ke humerus membuat seperti cuff atau
manset pada sendi bahu. Manset ini menjaga caput humeri di dalam fossa
glenoid yang dangkal. Otot-otot pada rotator cuff menjada “ball” dalam
“socket” pada sendi glenohumeral dan memberikan mobilitas dan kekuatan
pada sendi shoulder. Terdapat dua bursa untuk memberi bantalan dan
melingungi dari akromion dan memungkinkan gerakan sendi yang lancar. Saat
terjadi abduksi lengan, rotator cuff memampatkan sendi glenohumeral, sebuah
istilah yang dikenal sebagai kompresi cekung (concavity compression), untuk
memungkinkan otot deltoid yang besar untuk terus mengangkat lengan. Dengan
kata lain, rotator cuff, caput humerus akan naik sampai sebagian keluar dari
fosa glenoid, mengurangi efisiensi dari otot deltoid (Setianing et al., 2008).
12

Gambar 2.2. Sendi Bahu (Setianing et al., 2008)

B. Definisi
Frozen shoulder merupakan penyakit dengan karakteristik nyeri dan
keterbatasan gerak, dan penyebabnya idiopatik yang sering dialami oleh orang
berusia 40-60 tahun dan memiliki riwayat trauma sering kali ringan. Frozen
shoulder adalah suatu gangguan bahu yang sedikit atau sama sekali tidak
menimbulkan rasa sakit, tidak memperlihatkan kelainan pada foto rontgen
tetapi menunjukkan adanya pembatasan gerak. Frozen shoulder dapat
diidentikkan dengan capsulitis adhesive dan periarthritis yang ditandai dengan
keterbatasan gerak baik secara pasif maupun aktif pada semua pola gerak
(David, 2009).

C. Etiologi
Frozen shoulder dapat terjadi akibat suatu proses idiopatik atau akibat
kondisi yang menyebabkan sendi tidak dapat digunakan. Frozen shoulder
idiopatik sering terjadi pada dekade ke empat atau ke enam. Rotator cuff
tendinopati, bursitis subacromial akut, patah tulang sekitar collum dan caput
humeri, stroke paralitik adalah faktor predisposisi yang sering menyebabkan
terjadinya frozen shoulder. Penyebab tersering adalah rotator cuff tendinopati
13

dengan sekitar 10% dari pasien degan kelainan ini akan mengalamai frozen
shoulder. Pasien dengan diabetes mellitus dan pasien yang tidak menjalani
fisioterapi juga memiliki risiko tinggi. Penggunaan sling terlalu lama juga
dapat menyebabkan frozen shoulder. Frozen shoulder dapat terjadi setelah
imobilisasi yang lama akibat trauma atau operasi pada sendi tersebut. Biasanya
hanya satu bahu yang terkena, akan tetapi pada sepertiga kasus pergerkannya
yang terbatas dapat terjadi pada kedua lengan (Morgan & Potthoff, 2015).
Adapun beberapa teori yang dikemukakan AAOS tahun 2007 mengenai
frozen shoulder, teori tersebut adalah (Strange, 2010):
1. Teori hormonal
Pada umumnya Capsulitis adhesive terjadi 60% pada wanita bersamaan
dengan datangnya menopause.
2. Teori genetik
Beberapa studi mempunyai komponen genetik dari Capsulitis adhesive,
contohnya ada beberapa kasus dimana kembar identik pasti menderita pada
saat yang sama.
3. Teori auto immuno
Diduga penyakit ini merupakan respon auto immuno terhadap hasil-hasil
rusaknya jaringan lokal.
4. Teori postur
Banyak studi yang belum diyakini bahwa berdiri lama dan berpostur tegap
menyebabkan pemendekan pada salah satu ligamen bahu.

D. Patofisiologi
Patofisiologi frozen shoulder masih belum jelas, tetapi beberapa penulis
menyatakan bahwa dasar terjadinya kelainan adalah imobilisasi yang lama.
Setiap nyeri yang timbul pada bahu dapat merupakan awal kekakuan sendi
bahu. Hal ini sering timbul bila sendi tidak digunakan terutama pada pasien
yang apatis dan pasif atau dengan nilai ambang nyeri yang rendah, di mana
tidak tahan dengan nyeri yang ringan akan membidai lengannya pada posisi
tergantung. Lengan yang imobil akan menyebabkan stasis vena dan kongesti
sekunder dan bersama-sama dengan vasospastik, anoksia akan menimbulkan
14

reaksi timbunan protein, edema, eksudasi, dan akhirnya reaksi fibrosis. Fibrosis
akan menyebabkan adhesi antara lapisan bursa subdeltoid, adhesi
ekstraartikuler dan intraartikuler, kontraktur tendon subskapularis dan bisep,
perlekatan kapsul sendi. Penyebab frozen shoulder mungkin melibatkan proses
inflamasi. Kapsul yang berada di sekitar sendi bahu menebal dan berkontraksi.
Hal ini membuat ruangan untuk tulang humerus bergerak lebih kecil, sehingga
saat bergerak terjadi nyeri (Priguna , 2003).
Penemuan makroskopik dari patofisiologi dari frozen shoulder adalah
fibrosis yang padat dari ligament dan kapsul glenohumeral. Secara histologik
ditemukan proliferasi aktif fibroblast dan fibroblas tersebut berubah menjadi
miofibroblas sehingga menyebabkan matriks yang padat dari kolagen yang
berantakan yang menyebabkan kontraktur kapsular. Berkurangnya cairan
synovial pada sendi bahu juga berkontribusi terhadap terjadinya frozen
shoulder (Priguna , 2003).
Pendapat lain mengatakan inflamasi pada sendi menyebabkan thrombine
dan fibrinogen membentuk protein yang disebut fibrin. Protein tersebut
menyebabkan penjedalan dalam darah dan membentuk suatu substansi yang
melekat pada sendi. Perlekatan pada sekitar sendi inilah yang menyebabkan
perlekatan satu sama lain sehingga menghambat full ROM. Kapsulitis adhesiva
pada bahu inilah yang disebut frozen shoulder. Terdapat pula pendapat yang
menyatakan adanya proses perrubahan vaskuler pada frozen shoulder (Priguna ,
2003).

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari frozen shoulder memiliki ciri khas yaitu terbagi
dalam tiga fase, nyeri, kaku, dan perbaikan. Proses alamiah dari fase-fase ini
biasanya berjalan selama 1 hingga 3 tahun (Morgan & Potthoff, 2015).
1. Fase pertama sering disebut juga sebagai painful atau freezing stage, fase
ini diawali dengan rasa nyeri pada bahu. Pasien akan mengeluhkan nyeri
saat tidur dengan posisi miring dan akan membatasi gerak untuk
menghindari nyeri. Pasien akan sering mengeluhkan nyeri pada daerah
deltoid. Sering kali pasien tidak akan meminta bantuan medis pada fase
15

ini, karena dianggap nyeri akan hilang dengan sendirinya. Mereka dapat
mencoba mengurangi nyeri dengan analgesik. Tidak ada trauma
sebelumnya, akan tetapi pasien akan ingat pertama kali dia tidak bisa
melakukan kegiatan tertentu akibat nyeri yang membatasi pergerakan. Fase
ini dapat berlangsung selama 2 sampai 9 bulan.
2. Fase kedua ini disebut stiff atau frozen fase. Pada fase ini pergerakan bahu
menjadi sangat terbatas, dan pasien akan menyadari bahwa sangat sulit
untuk melakukan kegiatan sehari-hari, terutama yang memerlukan
terjadinya rotasi interna dan externa serta mengangkat lengan seperti pada
saat keramas atau mengambil sesuatu yang tinggi. Saat in pasien biasanya
mempunyai keluhan spesifik seperti tidak bisa menggaruk punggung, atau
memasang bra, atau mengambil sesuatu dari rak yang tinggi. Fase ini
berlangsung selama 3 bulan hingga 1 tahun.
3. Fase terakhir adalah fase resolusi atau thawing fase. Pada fase ini pasien
mulai bisa menggerakan kembali sendi bahu. Setelah 1-3 tahun
kemampuan untuk melakukan aktivitas akan membaik, tapi pemulihan
sempurna jarang terjadi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hilangnya gerak pada segala arah baik
secara gerak aktif maupun pasif. Pada pemeriksaan fisik, fleksi atau elevasi
mungkin kurang dari 90 derajat, abduksi kurang dari 45 derajat, dan rotasi
internal dan eksternal dapat berkurang sampai 20 derajat atau kurang. Terdapat
pula restriksi pada rotasi eksternal (Strange, 2010).
Tes Appley scratch merupakan tes tercepat untuk mengeveluasi lingkup
gerak sendi aktif. Pasien diminta menggaruk daerah angulus medialis skapula
dengan tangan sisi kontra lateral melewati belakang kepala. Pada frozen
shoulder pasien tidak dapat melakukan gerakan ini. Nyeri akan bertambah pada
penekanan dari tendon yang membentuk muskulotendineus rotator cuff. Bila
gangguan berkelanjutan akan terlihat bahu yang terkena reliefnya mendatar,
bahkan kempis, karena atrofi otot deltoid, supraspinatus dan otot rotator cuff
lainnya (Strange, 2010).
Pada prinsipnya diagnosa frozen shoulder ditegakan berdasarkan
manifestasi klinis. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologis
16

hanya dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain.


Pemeriksaan laboratorium kadang dilakukan karena sering pada penderita
frozen shoulder merupakan penderita diabetes yang tidak diketahui (Strange,
2010).

F. Diagnosis
1. Anamnesis
Pada penderita didapatkan keluhan nyeri hebat dan atau keterbatasan
lingkup gerak sendi (LGS). Penderita tidak bisa menyisir rambut, memakai
baju, menggosok punggung waktu mandi, atau mengambil sesuatu dari
saku belakang. Keluhan lain pada dasarnya berupa gerakan abduksi-
eksternal rotasi, abduksi-internal rotasi, maupun keluhan keterbatasan gerak
lainnya (Priguna , 2003).

2. Pemeriksaan Fisik
Capsulitis adhesive merupakan gangguan pada kapsul sendi, maka
gerakan aktif maupun pasif terbatas dan nyeri. Nyeri dapat menjalar ke
leher lengan atas dan punggung. Perlu dilihat faktor pencetus timbulnya
nyeri. Gerakan pasif dan aktif terbatas, pertama-tama pada gerakan elevasi
dan rotasi interna lengan, tetapi kemudian untuk semua gerakan sendi bahu
(Priguna , 2003).
Tes “appley scratch” merupakan tes tercepat untuk mengevaluasi
lingkup gerak sendi aktif pasien. Pasien diminta menggaruk daerah angulus
medialis skapula dengan tangan sisi kontralateral melewati belakang kepala
(Gambar 2.3). Pada Capsulitis adhesive pasien tidak dapat melakukan
gerakan ini. Bila sendi dapat bergerak penuh pada bidang geraknya secara
pasif, tetapi terbatas pada gerak aktif, maka kemungkinan kelemahan otot
bahu sebagai penyebab keterbatasan (Priguna , 2003).
Nyeri akan bertambah pada penekanan dari tendon yang membentuk
muskulotendineus “rotator cuff”. Bila gangguan berkelanjutan akan terlihat
bahu yang terkena reliefnya mendatar, bahkan kempis, karena atrofi otot
deltoid, supraspinatus dan otot “rotator cuff” lainnya (Priguna , 2003).
17

Gambar 2.3. Tes Appley scracth (Priguna , 2003)

3. Pemeriksaan Penunjang
Selain dibutuhkan pemeriksaan fisik, dalam mendiagnosa suatu
penyakit juga dibutuhkan suatu pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penujang dilakukan sesuai dengan masing-masing penyakit. Pada
Capsulitis adhesive pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu
pemeriksaan radiologi (x-ray untuk menyingkirkan arthritis, tumor, dan
deporit kalsium) dan pemeriksaan MRI atau arthrogram (dilakukan bila
tidak ada perbaikan dalam waktu 6-12 minggu), dan pemeriksaan
ultrasound (Laubhscher, 2009).

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari frozen shoulder berfokus pada mengembalikan
pergerakan sendi dan mengurangi nyeri pada bahu. Biasanya pengobatan
diawali dengan pemberian NSAID dan pemberian panas pada lokasi nyeri,
dilanjutkan dengan latihan-latihan gerakan. Pada beberpa kasus dilakukan
Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) untuk mengurangi nyeri
(Morgan & Potthoff, 2015).
Langkah selanjutnya biasanya melibatkan satu atau serangkaian suntikan
steroid (sampai enam) seperti Methylprednisolone. Pengobatan ini dapat perlu
dilakukan dalam beberapa bulan. Injeksi biasanya diberikan dengan bantuan
radiologis, bisa dengan fluoroskopi, USG, atau CT. Bantuan radiologis
digunakan untuk memastikan jarum masuk dengan tepat pada sendi bahu.
Kortison diinjeksikan pada sendi untuk menekan inflamasi yang terjadi pada
kondisi ini (Morgan & Potthoff, 2015).
18

Kapsul bahu juga dapat diregangkan dengan salin normal, kadang hingga
terjadi rupture pada kapsul untuk mengurangi nyeri dan hilangnya gerak karena
kontraksi. Tindakan ini disebut hidrodilatasi, akan tetapi terdapat beberapa
penelitian yang meragukan kegunaan terapi tersebut (Morgan & Potthoff,
2015).
Apabila terapi-terapi ini tidak berhasil seorang dokter dapat
merekomendasikan manipulasi dari bahu dibawah anestesi umum untuk
melepaskan perlengketan. Operasi dilakukan pada kasus yang cukup parah dan
sudah lama terjadi. Biasanya operasi yang dilakukan berupa arthroskopi
(Morgan & Potthoff, 2015).

Gambar 2.4. Hirarki Terapi Frozen Shoulder (Morgan & Potthoff, 2015)

H. Manajemen Injeksi Lokal


Injeksi steroid merupakan prosedur invasif minimal yang dapat meredakan
nyeri secara temporer yang disebabkan karena inflamasi sendi. Prosedur ini
mempunyai dua tujuan. Yang pertama, dapat digunakan sebagai tes diagnostik
untuk melihat apakah nyeri benar-benar berasal dari sendi. Kedua, dapat
digunakan sebagai terapi dalam meredakan inflamasi dan nyeri yang
disebabkan berbagai kondisi (Orlando & Lynch, 2016).
19

Injeksi steroid berisi kortikosteroid (triamcinolone, methylprednisolone,


dexamerhasone) dan agen mati rasa anestesi (lidocaine, bupivacaine). Obat ini
langsung dimasukkan ke sendi yang nyeri, ke dalam kapsul sendi. Injeksi
kortikosteroid dapat mengurangi inflamasi dan bekerja efektif saat dimasukkan
langsung ke area yang sakit. Pereda nyeri ini dapat bertahan dari beberapa hari
sampai beberapa tahun, memungkinkan kondisi pasien membaik dengan terapi
fisik dan program latihan. Secara khusus, injeksi sendi direkomendasikan untuk
mereka yang tidak merespon terhadap terapi konservatif lain, seperti medikasi
oral anti inflamasi, istirahat, atau terapi fisik (Orlando & Lynch, 2016).
Injeksi sendi steroid dilakukan menggunakan tuntunan fluoroscopic (x-
ray) dan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien yang sedang terinfeksi, hamil,
atau memiliki masalah perdarahan. Injeksi ini mungkin dapat sedikit
meningkatkan kadar gula darah pada pasien dengan diabetes. Selain itu
mungkin juga dapat meningkatkan tekanan darah atau tekanan intra okular
sementara pada pasien dengan glaukoma (Orlando & Lynch, 2016).
Prosedur ini dapat dilakukan oleh physiatrists (PM&R), radiologists,
anesthesiologists, neurologists, dan surgeons. Pasien yang sedang
menggunakan aspirin atau dalam medikasi antikoagulan atau antiplatelet
mungkin harus menghentikan pengobatan selama beberapa hari sebelum
dilakukannya prosedur (Orlando & Lynch, 2016).
Pada saat dilakukannya prosedur, pasien harus menandatangani informed
consent, menginformasikan daftar obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat
ini, dan obat apa saja yang membuat alergi. Prosedur ini mungkin dapat
berjalan 15-45 menit yang diikuti oleh periode pemulihan (Orlando & Lynch,
2016).
Langkah-langkah dalam prosedur injeksi lokal (Orlando & Lynch, 2016;
Rastogi et al., 2016):
1. Persiapkan pasien
Pasien berbaring pada meja x-ray. Anestesi lokal digunakan untuk
meminimalisir rasa tidak nyaman saat dilakukannya prosedur. Pasien
dibiarkan tetap saat dilakukannya prosedur untuk memberikan umpan balik
20

kepada dokter yang melakukan tindakan. Sedatif dosis rendah, seperti


Valium atau Versed, biasanya medikasi yang digunakan dalam prosedur ini.
2. Masukkan jarum
Tiga pendekatan terpandu yang paling banyak digunakan adalah
pendekatan anterior (teknik Schneider), interval rotator, dan posterior.
Pendekatan anterior (teknik Schneider) dan interval rotator merupakan
teknik fluoroscopic yang paling sering dilakukan untuk akses sendi
glenohumeral. Dengan bantuan fluoroscope (x-ray spesial), dokter
mengarahkan jarum suntik melewati kulit dan masuk ke dalam regio yang
terasa sakit. Fluoroscopy memudahkan dokter untuk melihat jarum secara
langsung pada monitor fluoroscope untuk memastikan bahwa jarum masuk
ke lokasi yang diinginkan. Kontras mungkin dapat diinjeksikan untuk
mengkonfirmasi lokasi jarum yang tepat. Rasa tidak nyaman mungkin
dapat terjadi, namun pasien biasanya lebih merasakan rasa tertekan
dibandingkan rasa nyeri.
3. Injeksikan obat
Saat jarum dalam posisi yang tepat, obat bius dan kortikosteroid
diinjeksikan ke kapsul sendi. Setelah itu keluarkan jarum suntik. Satu atau
beberapa sendi mungkin dapat diinjeksi tergantung pada lokasi nyeri.
Contoh komposisi obat-obatan yang diinjeksikan yaitu: 2 mL Lidocaine 1%
+ 2 mL Ropivacaine 0,5% + 1 mL Triamcinolone Acetonide (40 mg/mL)
dengan total volume yang diinjeksikan sebanyak 5 mL. Karena sifat
komplementernya, lidocaine dan ropivacaine digunakan bersama-sama
untuk memberikan onset yang lebih cepat dan efek anestetik yang lebih
lama.
Jika sendi yang diterapi merupakan sumber nyeri, maka nyeri dapat
mereda mula dari dua sampai tujuh hari setelah injeksi. Nyeri mungkin dapat
mereda dalam beberapa hari sampai beberapa bulan, memungkinkan pasien
untuk mengikuti terapi fisik. Jika injeksi dapat membantu dan pasien
merasakan nyeri lagi, prosedur dapat diulangi. Jika pasien tidak mengalami
perbaikan nyeri sama sekali, terapi lain dapat direkomendasikan (Orlando &
Lynch, 2016).
21

Dengan risiko yang sedikit, injeksi sendi steroid dapat dipertimbangkan


sebagai terapi non-bedah yang sesuai untuk beberapa pasien. Risiko yang
berpotensial berkaitan dengan pemasukan jarum suntik termasuk perdarahan,
infeksi, reaksi alergi, nyeri kepala, dan kerusakan saraf (jarang). Efek samping
kortikosteroid mungkin dapat menyebabkan peningkatan berat badan
sementara, retensi air, flushing (hot flashes), perubahan emosi yang cepat
(mood swings) atau insomnia, dan peningkatan kadar gula darah pada pasien
diabetes. Efek ini biasanya hilang dalam 7-10 hari (Orlando & Lynch, 2016).

Gambar 2.5. Pendekatan injeksi lokal bahu. A. Pendekatan Anterior (Schneider); B.


Gambaran aspek anterior bahu menggambarkan interval rotator; C. Pendekatan
Rotator Interval; D. Gambaran fluoroscopic yang diperoleh saat injeksi kortikosteroid
pada pasien yang alergi iodinated contrast dan gadolinium; E. Gambaran ultrasound
dengan probe transversus yang berkaitan dengan tubuh setinggi midhumeral head (H)
dan glenoid (G) (Rastogi et al., 2016).
22

Gambar 2.6. Konsep injeksi dengan bantuan ultrasound probe. A. Gambar tiga-dimensi
memperlihatkan probe sebelum menekan kulit; B. Gambar tiga-dimensi memperlihatkan
ujung probe berlawanan jarum telah ditekan ke dalam kulit sementara ujung yang lebih
dekat diangkat dengan lembut. Manuver meratakan sudut antara probe dan jarum,
memudahkan visualisasi jarum (Rastogi et al., 2016).
23

III. KESIMPULAN

1. Nyeri bahu dapat terjadi akibat beberapa gangguan yang mendasarinya


termasuk rotator cuff tendinopathy, adhesive capsulitis (frozen shoulder)
dan osteoartritis.
2. Perbedaan antara gangguan yang mendasari nyeri bahu tidak selalu jelas dan
diketahui dokter umum biasanya menggunakan pendekatan pragmatis
dengan menggunakan istilah ‘nyeri bahu’ yang tidak spesifik.
3. Injeksi kortikosteroid banyak digunakan pada pelayanan kesehatan primer
untuk mengobati nyeri bahu.
4. Injeksi kortikosteroid intra-artikular efektif sebagai terapi frozen shoulder
idiopatik. Hal ini memungkinkan pasien untuk mendapatkan kembali
jangkauan gerakannya, mengurangi disabilitas dan meredakan nyeri hingga
minggu ke 4.
24

DAFTAR PUSTAKA

Arrol , B. & Goodyear-Smith, F., 2005. Corticosteroid injections for painful


shoulder: a meta-analysis. Brit J Gen Pract, 55, pp.224-28.
David, R., 2009. Approach to The Patient with Shoulder Pain. In Primary Care
Medicine. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. p.150.
Holt, T.A. et al., 2013. Corticosteroid injection for shoulder pain: single-blind
randomized pilot trial in primary care. BioMed Central, 14(425), pp.1-10.
Kuijpers, T., van Tulder, M.W. & van der Heijen, G., 2006. Cost of shoulder pain
in primary care consulters: a prospective cohort study in The Netherlands.
BMC Musculoskelet Disord, 7(83).
Laubhscher, P.H., 2009. Frozen Shoulder. SA Orthopaedy Journal South Africa.
Linsell, L. et al., 2006. Prevalence and incidence of adults consulting for shoulder
conditions in UK primary care; patterns of diagnosis and referral.
Rheumatology , 45, pp.215-21.
Morgan, W.E. & Potthoff, S., 2015. Managing the Frozen Shoulder. Maryland:
Walter Reed National Military Medical Center.
Orlando, M. & Lynch, S., 2016. Steroid injection for joint pain. Mayfielf Brain &
Spine, 1, pp.1-2.
Priguna , S., 2003. Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek Umum. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Rastogi, A.K., Davis, K.W., Ross, A. & Rosas, H.G., 2016. Fundamentals of Joint
Injection. AJR, 207, pp.484-94.
Setianing, R., Kusumawati, K. & Siswarni, 2008. Pelatihan Keterampilan Medis
Pemeriksaan Muskuloskeletal Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Medik. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Soeharyono, 2004. Sinkronisasi gerak persendian daerah gelang bahu pada gerak
abduksi lengan. Maj Fisioterapi , 2(23).
Strange, K., 2010. Passive Range of Motion and Codmans Exercise. American
Academy of Orthopedics Surgeons.

Anda mungkin juga menyukai