Asuhan kebidanan pada persalinan dengan PEB, DM Gestasional, obesitas grade I,
impending eklampsia dan pro SC telah dilakukan kepada Ny. L. Berdasarkan pengkajian dari faktor risiko dari Ny. L yang menyebabkan komplikasi dalam kehamilannya diantaranya dari faktor usia ibu, pendidikan ibu, riwayat metode kontrasepsi yang digunakan, IMT saat hamil 32,69 kg/m2 yang masuk dalam kategori obesitas grade I dan riwayat kesehatan keluarga yang memiliki hipertensi dan diabetes mellitus, serta status ibu sebagai perokok pasif. Ny. L juga mengalami pusing dan pandangan mata kabur sehingga didiagnosis dengan impending eklampsia sehingga perlu dilakukan terminasi kehamilan dengan segera dengan cara sectio secaria. Dari data subjektif didapatkan data bahwa Ny. L berusia 35 tahun. Berdasarkan teori, usia ibu hamil yang ≥35 tahun berisiko terjadi komplikasi pada kehamilan salah satunya adalah preeklampsia. Dan juga perburukan fungi fisiologi tubuh sehingga rentang terjadi diabetes mellitus (Sadla, 2012). Seseorang yang menderita diabetes militus gestasional memiliki resiko 4x lipat menderita preeklamsi (Kurniawan, 2017) Salah satu pengaruh diabetes terhadap kehamilan, salah satunya adalah dapat menyebabkan preeklampsia – eklampsia. Selama trimester kedua dan ketiga, peningkatan kadar laktogen plasental, estrogen, progesteron, kortisol, prolaktin, dan insulin meningkatkan resistansi insulin melalui kerjanya sebagai suatu antagonis yaitu peningkatan produksi glukosa untuk memastikan suplai glukosa yang berlebihan untuk janin. Dan ini akan memperlambat kerja ginjal sehingga terjadi kerusakan sistem ginjal dan akan terjadi proteinuria dan peningkatan tekanan darah. Insiden faktor risiko ini mendekati 50% (Varney, 2007). Ny. L berpendidikan terakhir SD. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Nuryani, dkk (2012) yang menunjukkan bahwa ibu yang mengalami preeklampsia 63,1% memiliki pendidikan kurang. Menurut Djannah (2010), pendidikan seseorang berhubungan dengan kesempatan dalam menyerap informasi mengenai pencegahan dan faktor risiko preeklampsia, tetapi hal ini juga dipengaruhi oleh seberapa besar motivasi, atau dukungan lingkungan seseorang untuk menerapkan pencegahan dan faktor risiko preeklampsia. Keluhan yang dirasakan ibu saat pertama kali datang adalah kesemutan pada jari tangan yang dirasakan sejak bulan Oktober 2018. Kesemutan pada jari tangan menjadi tanda kerusakan saraf yang dapat diakibatkan oleh cedera traumatik maupun stress berulang, infeksi bakteri atau virus paparan racun dan penyakit sistemik seperi diabetes (Rudystina, 2017). Berdasarkan hasil anamnesa riwayat kontrasepsi diketahui Ny. L pernah menggunaan kontrasepsi suntik 1 bulan dengan lama pemakaian ± 2 tahun. Hasil penelitian Beddu (2015) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian preeklampsia serta diabetes militus. Begitu pula hasil penelitian Setiawan (2016) menyatakan bahwa ibu akseptor kontrasepsi sebelum hamil memiliki kecenderungan 5,636 kali dibandingkan bukan akseptor KB sebelum hamil untuk terkena preeklampsia serta diabetes mellitus. Riwayat keluarga memiliki riwayat penyakit hipertensi yaitu ibu pasien dan riwayat penyakit DM yaitu bapak dari pasien. Riwayat penyakit keluarga menderita hipertensi dan DM merupakan salah satu faktor risiko terjadinya preeklampsia dan DM Gestasional. DM cenderung diturukan atau diwariskan, faktor genetik memiliki peluang besar terjadnya DM, apabila orang tua atau saudara kandung menderita DM ada kecendrungan menderita DM 40% (Rahmawati et al., 2016). Serta Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia (Angsar, 2008). Status ibu sebagai perokok pasif juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya preeklampsia. Penelitian yang dilakukan oleh Isnawati (2012) menunjukkan bahwa ibu hamil yang terpapar asap rokok memiliki risiko mengalami preeklamsia 8.38 kali lebih besar daripada ibu hamil yang tidak terpapar asap rokok. Paparan kronik Pb berkadar rendah pada asap rokok dapat menyebabkan akumulasi Pb pada tubula renalis, paru-paru, hepatosit, dan jaringan. Peningkatan kadar Pb pada darah ibu hamil dapat menjadi faktor resiko dari terjadinya hipertensi gestasional/preeklampsia, abortus spontan, dan kelahiran premature (Khasanah, dkk., 2016). Ibu melakukan ANC sebanyak 10 x hal ini sudah sesuai dengan program pemerintah bahwa ibu hamil minima 4xdalam mengunjungi tenagan kesehatan, ANC mempunyai arti dapat menyelamakan nyawa atau menurunkan AKI. Melalui ANC kesempatan pemberian edukasi dan promosi oleh tenaga kesehatan khususnya bidan bisa dilakukan lebih baik, fungsi suportif dan komunikatif ANC tidak hanya menurunkan AKI tetapi memperbaiki kualitas hidup ibu dan bayi yang akan dilahirkan, serta secara tidak langsung kualitas dari pelayanan kesehatan juga ikut meningkat. Pemberian ANC terpadu serta Skrining Preeklamsi yang di galakan di kota Surabaya salah satu program untuk menurunkan AKI dan AKB pada kasus ibu sudah mendapatkan ANC terpadu didalanmya pemerikasan darah, gigi, nutrisi,psikologis serta terdapat skrining PE dan gula darah, pada skrining PE didapatkan PE (+) ssehingg mendapatkan penanganan dengan memberikan aspilet serta obat antihipertensi, pemberian edukasi yang baik sehingga ibu mau dan bersedia untuk di rujuk ke RS Hasil pemeriksaan data objektif TD 164/93 mmHg. Preeklampsia didapatkan apabila tekanan darah sistolik melebihi 140 mmHg atau tekanan darah diastolic melebihi 90 mmHg, sedangkan preeclampsia berat didapatkan apabila tekanan darah sistolik melebihi 160 mmHg atau tekanan darah diastolic melebihi 110 mmHg. Pada data obyektif, diperoleh data IMT prahamil sebesar 29,38 kg/m2, berdasarkan klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) tergolong dalam overweight. IMT saat hamil menjadi 32,69 kg/m2 sehingga berubah menjadi kategori obesitas grade 1. Pada kehamilan terjadi suatu insulin resisten, hal tersebut fisiologis sebagai kompensasi terhadap perkembangan hasil konsepsi namun akan memberikan dampak yang buruk apabila kehamilan dialami oleh wanita dengan overweight dan obesitas (Roberts dkk., 2011). Kondisi ini merupakan faktor resiko terjadinya DMG. Faktor kegemukan menyebabkan sel-sel beta kurang peka terhadap rangsang dan kegemukan menekan jumlah reseptor insulin pada sel target di seluruh tubuh (Guyton,1986). Pada wanita obesitas berisiko 3 kali untuk menderita diabetes dalam kehamilan, oleh karena keadaan obesitas menyebabkan disregulasi metabolisme tubuh sehingga sangat berpotensi untuk timbulnya diabetes. Dari literatur juga disebutkan bahwa pada keadaan obesitas kadar vitamin D lebih rendah dibandingkan dengan wanita hamil dengan berat badan normal dimana keadaan ini dapat berhubungan dengan terjadinya gestasional diabetes dan preeklampsia serta terhadap perkembangan otak dan tulang bayi (Karlsson, 2014). American College of Obstetricians and Gynecologist(ACOG) merekomendasikan diet sehat (Gunatilake, 2011). Penambahan berat badan yang dianjurkan umtuk wanita overweight selama kehamilan adalah 7-11,5 kg, pada kasus Ny. L penambahan BB selama kehamilan sebesar 9 kg. Pemantauan berat badan selama kehamilan merupakan poin penting dari pelayanan kebidanan, untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat obesitas. Menurut Sa’adah (2013) pertambahan berat badan yang berlebih berhubungan dengan kejadian preeklampsia dimana 54% ibu dengan preeklampsia memiliki berat berlebih. Ibu hamil dengan overweight sebaiknya dimotivasi untuk pertambahan BB sesuai target yang direkomendasikan dengan pengurangan asupan kalori yang dikombinasi dengan olahraga, hal ini bertujuan untuk mengurangi dampak buruk bagi ibu dan janin .pada pola nutrisi didapatkan ibu minum 3000 cc sebelum hal ini dikarnakan ibu mengalami Polydipsia yang merupakan salah satu tanda DMG tetapi hal ini sangat bertentangan dengan penyakit PEB yang di derita ibu dimana pembatasan minuman di perlukan agar tidak terjadi odema paru. Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil didapatkan protein urine 3+. Menurut Prawirohardjo (2014) dan Cunningham (2014), uji fungsi ginjal berupa tes urin meliputi proteinuria (proteinuria >5 gr/24 jam dalam pemeriksaan kuantitatif atau > 3+ dalam pemeriksaan kualitatif merupakan salah satu deteksi preeklampsia), reduksi urin (diabetes mellitus merupakan factor risiko terjadinya preeklampsia), BUN (Blood Urea Nitrogen), serta kadar elektrolit lainnya dalam urin. Selain itu, pada pemeriksaan laboratorium juga didapatkan ibu mengalami hypoalbuminemia dengan kadar albumin 2,9 g/dL (normal 3,4-4,8 g/dL). Pada kehamilan terdapat penurunan kadar albumin, terutama selama trimester ketiga. Proses ini diduga disebabkan oleh karena peningkatan kebutuhan protein dan penggunanya oleh janin. Pada penderita PE, penurunan kadar albumin sebagian adalah akibat ekskresi albumin yang berlebih-lebihan dan disertai penurunan lgG, peningkatan lgE dan a1 globulin (Lintang, L.S., 2003). Pengaruh utama dari kadar albumin serum yang rendah (hipoalbuminemia) adalah edema jaringan lunak yang disebabkan tekanan osmotic koloid intravaskular yang menurun. Hal ini sesuai dengan kasus ibu yang mengalami edema pada ekstremitas bawah. Penelitian yang dilakukan oleh Witlin, dkk. (1999) pada 445 wanita hamil dengan PEB dan eklampsia menunjukkan bahwa serum albumin (kurang dari 3 gram / dl) dapat dianggap sebagai prediktor PEB dan eclampsia. Penelitian lain yang dilakukan oleh Seong, dkk. (2010) menunjukkan bahwa kadar albumin serum yang rendah dikaitkan dengan peningkatan komplikasi ibu. Hipoalbuminemia terjadi terutama karena spasme pembuluh darah sistemik kecil, peningkatan sekresi angiotensin serta kerusakan dan peningkatan permeabilitas sel endotel vaskular, sehingga menyebabkan sejumlah besar protein dan cairan bocor dalam pembersihan jaringan dan hilangnya sejumlah besar protein plasma (terutama serum albumin), menyebabkan dehidrasi intravaskular. Dehidrasi intravaskular ini dapat mempercepat munculnya lesi intravaskular, yang dianggap sebagai faktor predisposisi hemolisis, peningkatan enzim hati dan sindrom low platelet (HELLP) serta hati berlemak akut pada kehamilan. Selain itu, dapat terjadi pengurangan aliran darah pada hati akibat produksi albumin menurun. Hipoalbuminemia juga berhubungan dengan meningkatnya risiko section caesarean, hipertensi berat, kelainan fungsi hati dan ginjal, ascites, dan abruptio plasenta (Chen dkk., 2016). Kadar albumin serum pada preeklampsia dapat digunakan sebagai penentu keparahan penyakit dan dapat digunakan sebagai penanda yang berguna untuk penghentian kehamilan dan hasil kehamilan (Ghazali, dkk., 2014). Hasil pemeriksaan gula darah puasa ibu adalah 118 mg/dL sedangkan gula darah 2 jam pp adalah 108 mg/dL . ibu sebelumnya telah periksa gula darah puasa di poli risti RSUD dr. M. Soewandhie dan didapatkan hasil GDP 131 mg/dL, 1 jam pp 261 mg/dL dan 2 jam pp 220 mg/Dl. Ibu telah mendapatkan terapi injeksi insulin sejak usia kehamilan 24-25 minggu berdasarkan hasil konsultasi poli risti ke IPD. Sebelumnya ibu tidak pernah menderita penyakit diabetus mellitus. Berdasarkan teori disebutkan bahwa ada 2 jenis diabetus mellitus dalam kehamilan yaitu diabetes mellitus yang diketahui sewaktu hamil yang disebut Diabetes Melitus Gestasional dan diabetes melitus yang terjadi sebelum hamil disebut Diabetes Melitus Pragestasi (Bobak, 2004). Oleh karena itu perlu dilakukan skrining DMG pada saat usia kehamilan 24-28 minggu, mengingat DMG berdampak buruk terhadap ibu dan janin jika tidak dilakukan penanganan dengan benar. Peningkatan estrogen, progesterone dan HPL selama kehamilan memproduksi daya tahan terhadap insulin pada jaringan maternal, oleh karena itu sisa glukosa darah terangkat lebih lama dari keadaan tidak hamil, dimana insulin yang diproduksi tidak cukup untuk mengatasi resistensi yang di sebabkan oleh HPL, sehingga kelebihan konsentrasi glukosa terus bertambah yang menyebabkan terjadi DMG (Hanifa, 2005). Resistensi insulin merupakan mekanisme penghematan glukosa untuk memastikan suplai glukosa pada janin tercukupi. Selama trimerter 2 & 3 hormon estrogen, progesterin, HPL kortisol dan prolaktin bekerja sebagai antagonis untuk meningkatkan resistensi insulin. Menjelang akhir kehamilan kebutuhan insulin meningkat 2-4 kali, jika pancreas tidak cukup memproduksi insulin maka akan menjadi pemicu terjadinya DMG. Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus diatas yaitu persalinan dengan PEB, DM Gestasional, obesitas grade I, impending eklampsia dan pro SC di RSUD dr. M. Soewandhie Surabaya diantaranya adalah pasien dianjurkan untuk tirah baring, melakukan pemeriksaan NST, pemantauan atau observasi keadaan umum ibu, observasi kemajuan persalinan atau observasi CHPB, kolaborasi dengan dokter SpOG untuk pemberian obat untuk darah tinggi (nifedipin, dopamet), obat anti kejang (MgSO4), obat untuk DM (novorapid), pemberian induksi persalinan dengan misoprostol untuk merangsang kontraksi dan mempercepat pembukaan serviks, pemantauan cairan meliputi pembatasan cairan oral, pemberian cairan infus dan pemantauan pengeluaran cairan yaitu urine, pemantauan terjadinya tanda-tanda impending eklampsia. Saat hari ketiga perawatan, pasien mengalami keluhan pusing dan pandangan mata kabur serta peningkatan tekanan darah sehingga penatalaksanaan yang diberikan adalah dengan pemberian obat darah tinggi dan mempercepat proses persalinan dengan melakukan secsio secarea secara cito. Penatalaksanaan yang diberikan diatas telah sesuai dengan teori penatalaksanaan asuhan persalinan kepada pasien dengan PEB, DM Gestasional, obesitas grade I, impending eklampsia dan pro SC Menurut teori, penatalaksanaan pasien peb yang telah aterm dianjurkan untuk dilakukan terminasi kehamilan. Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada tiap penderita dilaksanakan pemeriksaan NST. Pemberian medikamentosa yang dilakukan antara lain: segera rawat inap, tirah baring miring ke satu sisi, infus RL yang mengandung 5% dextrose dengan 60-125 cc/jam, dan pemberian anti kejang MgSO4. Pemberian obat untuk darah tinggi secara oral juga telah diberikan yaitu metildopa 1 tab dan nifedipin 1 tab serta pemberian injeksi insulin novorapid sebanyak 4 IU juga telah diberikan. Persalinan harus diusahakan segera setelah pasien stabil. Penundaan persalinan meningkatkan risiko untuk ibu dan janin. Saifuddin (2013) menyatakan bahwa cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasar keadaan obstetrik pada waktu itu (inpartu atau belum). Jika serviks matang, lakukan pemecahan ketuban dan induksi persalinan dengan oksitosin. Induksi dikerjakan bila NST baik dan belum inpartu dengan skor pelvik baik (skor bishop ≥5). Dalam kasus ini induksi dilakukan dengan menggunakan misoprostol. Misoprostol (Cytotec) merupakan PGE sintetis, analog yang ditemukan aman dan tidak mahal untuk pematangan serviks. Penggunaan misoprostol tidak direkomendasikan pada pematangan serviks atau induksi persalinan pada wanita yang pernah mengalami persalinan dengan seksio sesaria atau operasi uterus mayor karena kemungkinan terjadinya ruptur uteri. Wanita yang diterapi dengan misoprostol untuk pematangan serviks atau induksi persalinan harus dimonitor denyut jantung janin dan aktivitas uterusnya di rumah sakit sampai penelitian lebih lanjut mampu mengevaluasi dan membuktikan keamanan terapi pada pasien. Uji klinis menunjukkan bahwa dosis optimal dan pemberianinterval dosis 25 mcg intravagina setiap empat sampai enam jam. Dosis yang lebih tinggi atau interval dosis yang lebih pendek dihubungkan dengan insidensi efek samping yang lebih tinggi, khususnya sindroma hiperstimulasi, yang didefinisikan sebagai kontraksi yang berakhir lebih dari 90 detik atau lebih dari lima kontraksi dalam 10 menit selama dua periode 10 menit berurutan, dan hipersistole, suatu kontraksi tunggal selama minimal dua menit. Pada pasien Ny.L saat sebelum MKB ibu banyak minum air putih yaitu 3000 mL, sedangkan saat MKB cairan peroral dibatasi hanya 500 mL per hari. Menurut Saifuddin (2013), perawatan yang penting pada PEB ialah pengelolaan cairan karena penderita preeclampsia dan eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya keadaan edema paru, oliguria, syok dan eklampsia pada preeclampsia belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru oliguria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, dan penurunan gradient tekanan onkotik koloid. Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui oral dan infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Hal ini juga berhubungan dengan syarat pemberian MgSO4 yang salah satunya produksi urin minimal 30 ml/jam. Adapun pada pasien dengan kandung kemih penuh dapat mengganggu kontraksi uterus sehingga menyebabkan perdarahan postpartum. Pada tanggal 08-01-2019 jam 23.00 ibu mengalami nyeri kepala hebat serta mata kabur yang merupakan tanda-tanda perburukan dari Preeklamsi Berat dan menunjukkan terjadinya impending eklampsia, maka dikonsultasikan ke dokter SpoG di wakili oleh PPDS jaga untuk segera diakiri kehamilanya dengan secio sesarea. PEB yang disertai gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah termasuk preeklampsi berat impending eclampsia. Pasien Peb dengan disertai tanda-tanda impending eklampsia menurut teori harus segera dilakukan terminasi kehamilan dengan cara sectio secaria untuk mencegah terjadinya eklampsia dan perburukan kondisi ibu dan janin. Sectio secaria harus dilakukan secara cepat atau cito dan persiapan untuk ruangan ICU maupun NICU untuk mencegah kondisi buruk pada ibu dan janin setelah dilakukan sectio secaria. Operasi SC dilakukan segera pada tanggal 09-01-2019 pukul 02.00 WIB dan telah dilahirkan bayi dengan berat badan lahir 4.195 gram, Pb 54 cm, as 8-9 dan ketuban jernih. Kemudian dilaksanakan pemasangan IUD sesuai dengan persetujuan ibu dan suami. Setelah operasi SC dilaksanakan ibu dirawat di ruang ICU untuk penanganan pasien lebih intensif jika terjadi eklampsia. Saat di ICU keadaan umum ibu baik, tanda-tanda vital normal dan tidak terjadi anemia (HB 9,1 gr/Dl), dilakukan observasi fluxus dan produksi urin dengan hasil normal. Kemudian pasien dipindah ke ruang perawatan nifas edelweis. Selama perawatan nifas, bayi di rawat di ruang neonatus, sehingga untuk sementara ibu tidak dapat dirawat gabung dengan ibu. Hal ini mempengaruhi bonding antara ibu dan bayi. Bonding ibu dan bayi didapatkan pada saat IMD dan pemberian ASI. Pemberian ASI ibu terganggu karena ASI belum keluar dan terdapat luka operasi SC sehingga ibu kesulitan dalam memberikan ASI. Bayi mengalami makrosomia yaitu berat melebihi 4000 gram, hal ini dikarenakan ibu mengalami DM gestasional sehingga bayi lahir dengan berat badan yang melebihi normal. Kontrasepsi yang digunakan ibu adalah IUD atau alat kontrasepsi dalam rahim. Hal ini sudah tepat karena IUD merupakan metode kontrasepsi jangka panjang yang sangat efektif dan aman bagi ibu dengan tekanan darah tinggi. IUD tidak mengandung hormonal sehingga tidak mempengaruhi tekanan darah ibu. Peran bidan dalam kehamilan ibu selanjutnya adalah dengan memberikan asuhan kebidanan prakonsepsi. Menjelaskan kepada ibu bahwa jarak yang aman untuk hamil lagi setelah operasi SC minimal adalah 2 tahun. Ibu dengan usia lebih dari 35 tahun harus lebih berhati-hati dan waspada terhadap kehamilannya karena berisiko terjadi komplikasi pada kehamilan seperti darah tinggi dan diabetes mellitus. Ibu dengan riwayat preeklampsia dan diabetes mellitus gestasional berpotensi untuk terjadi lagi di kehamilan berikutnya. Untuk itu perlu persiapan yang matang terutama dari segi nutrisi harus dibatasi pemicu hipertensi dan diabetus serta melakukan aktivitas fisik untuk mencegah terjadinya obesitas serta saat hamil sering periksa ke tenaga kesehatan yaitu bidan dan dokter serta tenaga kesehatan lain untuk mendapatkan pemeriksaan ANC terpadu. Kekurangan dalam pengkajian serta asuhan yang kami lakukan adalah tidak ditemukan data pada rekam medis mengenai diet yang diberikan pada ibu L, dan juga menenui ibu dalam memberikan asuhan pada masa nifas, pemberian asuhan berkelanjutan diperlukan agar memastikan ibu dalam kondisi terbaik serta memberikan eduksi pada ibu perawatan massa nifas yang baik sehingga kondisi ibu pada saat dirumah seperti kondisi di RS.