Anda di halaman 1dari 8

BAB 4

PEMBAHASAN

Asuhan kebidanan pada persalinan dengan PEB, DM Gestasional, obesitas grade I,


impending eklampsia dan pro SC telah dilakukan kepada Ny. L. Berdasarkan pengkajian dari
faktor risiko dari Ny. L yang menyebabkan komplikasi dalam kehamilannya diantaranya dari
faktor usia ibu, pendidikan ibu, riwayat metode kontrasepsi yang digunakan, IMT saat hamil
32,69 kg/m2 yang masuk dalam kategori obesitas grade I dan riwayat kesehatan keluarga
yang memiliki hipertensi dan diabetes mellitus, serta status ibu sebagai perokok pasif. Ny. L
juga mengalami pusing dan pandangan mata kabur sehingga didiagnosis dengan impending
eklampsia sehingga perlu dilakukan terminasi kehamilan dengan segera dengan cara sectio
secaria.
Dari data subjektif didapatkan data bahwa Ny. L berusia 35 tahun. Berdasarkan teori,
usia ibu hamil yang ≥35 tahun berisiko terjadi komplikasi pada kehamilan salah satunya
adalah preeklampsia. Dan juga perburukan fungi fisiologi tubuh sehingga rentang terjadi
diabetes mellitus (Sadla, 2012). Seseorang yang menderita diabetes militus gestasional
memiliki resiko 4x lipat menderita preeklamsi (Kurniawan, 2017) Salah satu pengaruh
diabetes terhadap kehamilan, salah satunya adalah dapat menyebabkan preeklampsia –
eklampsia. Selama trimester kedua dan ketiga, peningkatan kadar laktogen plasental,
estrogen, progesteron, kortisol, prolaktin, dan insulin meningkatkan resistansi insulin melalui
kerjanya sebagai suatu antagonis yaitu peningkatan produksi glukosa untuk memastikan
suplai glukosa yang berlebihan untuk janin. Dan ini akan memperlambat kerja ginjal
sehingga terjadi kerusakan sistem ginjal dan akan terjadi proteinuria dan peningkatan tekanan
darah. Insiden faktor risiko ini mendekati 50% (Varney, 2007).
Ny. L berpendidikan terakhir SD. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Nuryani,
dkk (2012) yang menunjukkan bahwa ibu yang mengalami preeklampsia 63,1% memiliki
pendidikan kurang. Menurut Djannah (2010), pendidikan seseorang berhubungan dengan
kesempatan dalam menyerap informasi mengenai pencegahan dan faktor risiko preeklampsia,
tetapi hal ini juga dipengaruhi oleh seberapa besar motivasi, atau dukungan lingkungan
seseorang untuk menerapkan pencegahan dan faktor risiko preeklampsia.
Keluhan yang dirasakan ibu saat pertama kali datang adalah kesemutan pada jari tangan
yang dirasakan sejak bulan Oktober 2018. Kesemutan pada jari tangan menjadi tanda
kerusakan saraf yang dapat diakibatkan oleh cedera traumatik maupun stress berulang, infeksi
bakteri atau virus paparan racun dan penyakit sistemik seperi diabetes (Rudystina, 2017).
Berdasarkan hasil anamnesa riwayat kontrasepsi diketahui Ny. L pernah menggunaan
kontrasepsi suntik 1 bulan dengan lama pemakaian ± 2 tahun. Hasil penelitian Beddu (2015)
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara riwayat penggunaan kontrasepsi
hormonal dengan kejadian preeklampsia serta diabetes militus. Begitu pula hasil penelitian
Setiawan (2016) menyatakan bahwa ibu akseptor kontrasepsi sebelum hamil memiliki
kecenderungan 5,636 kali dibandingkan bukan akseptor KB sebelum hamil untuk terkena
preeklampsia serta diabetes mellitus.
Riwayat keluarga memiliki riwayat penyakit hipertensi yaitu ibu pasien dan riwayat
penyakit DM yaitu bapak dari pasien. Riwayat penyakit keluarga menderita hipertensi dan
DM merupakan salah satu faktor risiko terjadinya preeklampsia dan DM Gestasional. DM
cenderung diturukan atau diwariskan, faktor genetik memiliki peluang besar terjadnya DM,
apabila orang tua atau saudara kandung menderita DM ada kecendrungan menderita DM 40%
(Rahmawati et al., 2016). Serta Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam
kehamilan. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak
perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu
mengalami preeklampsia (Angsar, 2008).
Status ibu sebagai perokok pasif juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
preeklampsia. Penelitian yang dilakukan oleh Isnawati (2012) menunjukkan bahwa ibu hamil
yang terpapar asap rokok memiliki risiko mengalami preeklamsia 8.38 kali lebih besar
daripada ibu hamil yang tidak terpapar asap rokok. Paparan kronik Pb berkadar rendah pada
asap rokok dapat menyebabkan akumulasi Pb pada tubula renalis, paru-paru, hepatosit, dan
jaringan. Peningkatan kadar Pb pada darah ibu hamil dapat menjadi faktor resiko dari
terjadinya hipertensi gestasional/preeklampsia, abortus spontan, dan kelahiran premature
(Khasanah, dkk., 2016).
Ibu melakukan ANC sebanyak 10 x hal ini sudah sesuai dengan program pemerintah
bahwa ibu hamil minima 4xdalam mengunjungi tenagan kesehatan, ANC mempunyai arti
dapat menyelamakan nyawa atau menurunkan AKI. Melalui ANC kesempatan pemberian
edukasi dan promosi oleh tenaga kesehatan khususnya bidan bisa dilakukan lebih baik, fungsi
suportif dan komunikatif ANC tidak hanya menurunkan AKI tetapi memperbaiki kualitas
hidup ibu dan bayi yang akan dilahirkan, serta secara tidak langsung kualitas dari pelayanan
kesehatan juga ikut meningkat. Pemberian ANC terpadu serta Skrining Preeklamsi yang di
galakan di kota Surabaya salah satu program untuk menurunkan AKI dan AKB pada kasus
ibu sudah mendapatkan ANC terpadu didalanmya pemerikasan darah, gigi, nutrisi,psikologis
serta terdapat skrining PE dan gula darah, pada skrining PE didapatkan PE (+) ssehingg
mendapatkan penanganan dengan memberikan aspilet serta obat antihipertensi, pemberian
edukasi yang baik sehingga ibu mau dan bersedia untuk di rujuk ke RS
Hasil pemeriksaan data objektif TD 164/93 mmHg. Preeklampsia didapatkan apabila
tekanan darah sistolik melebihi 140 mmHg atau tekanan darah diastolic melebihi 90 mmHg,
sedangkan preeclampsia berat didapatkan apabila tekanan darah sistolik melebihi 160 mmHg
atau tekanan darah diastolic melebihi 110 mmHg.
Pada data obyektif, diperoleh data IMT prahamil sebesar 29,38 kg/m2, berdasarkan
klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) tergolong dalam overweight. IMT saat hamil menjadi
32,69 kg/m2 sehingga berubah menjadi kategori obesitas grade 1. Pada kehamilan terjadi
suatu insulin resisten, hal tersebut fisiologis sebagai kompensasi terhadap perkembangan
hasil konsepsi namun akan memberikan dampak yang buruk apabila kehamilan dialami oleh
wanita dengan overweight dan obesitas (Roberts dkk., 2011). Kondisi ini merupakan faktor
resiko terjadinya DMG. Faktor kegemukan menyebabkan sel-sel beta kurang peka terhadap
rangsang dan kegemukan menekan jumlah reseptor insulin pada sel target di seluruh tubuh
(Guyton,1986). Pada wanita obesitas berisiko 3 kali untuk menderita diabetes dalam
kehamilan, oleh karena keadaan obesitas menyebabkan disregulasi metabolisme tubuh
sehingga sangat berpotensi untuk timbulnya diabetes. Dari literatur juga disebutkan bahwa
pada keadaan obesitas kadar vitamin D lebih rendah dibandingkan dengan wanita hamil
dengan berat badan normal dimana keadaan ini dapat berhubungan dengan terjadinya
gestasional diabetes dan preeklampsia serta terhadap perkembangan otak dan tulang bayi
(Karlsson, 2014). American College of Obstetricians and Gynecologist(ACOG)
merekomendasikan diet sehat (Gunatilake, 2011). Penambahan berat badan yang dianjurkan
umtuk wanita overweight selama kehamilan adalah 7-11,5 kg, pada kasus Ny. L penambahan
BB selama kehamilan sebesar 9 kg. Pemantauan berat badan selama kehamilan merupakan
poin penting dari pelayanan kebidanan, untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat
obesitas. Menurut Sa’adah (2013) pertambahan berat badan yang berlebih berhubungan
dengan kejadian preeklampsia dimana 54% ibu dengan preeklampsia memiliki berat berlebih.
Ibu hamil dengan overweight sebaiknya dimotivasi untuk pertambahan BB sesuai target yang
direkomendasikan dengan pengurangan asupan kalori yang dikombinasi dengan olahraga, hal
ini bertujuan untuk mengurangi dampak buruk bagi ibu dan janin .pada pola nutrisi
didapatkan ibu minum 3000 cc sebelum hal ini dikarnakan ibu mengalami Polydipsia yang
merupakan salah satu tanda DMG tetapi hal ini sangat bertentangan dengan penyakit PEB
yang di derita ibu dimana pembatasan minuman di perlukan agar tidak terjadi odema paru.
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil
didapatkan protein urine 3+. Menurut Prawirohardjo (2014) dan Cunningham (2014), uji
fungsi ginjal berupa tes urin meliputi proteinuria (proteinuria >5 gr/24 jam dalam
pemeriksaan kuantitatif atau > 3+ dalam pemeriksaan kualitatif merupakan salah satu deteksi
preeklampsia), reduksi urin (diabetes mellitus merupakan factor risiko terjadinya
preeklampsia), BUN (Blood Urea Nitrogen), serta kadar elektrolit lainnya dalam urin. Selain
itu, pada pemeriksaan laboratorium juga didapatkan ibu mengalami hypoalbuminemia dengan
kadar albumin 2,9 g/dL (normal 3,4-4,8 g/dL). Pada kehamilan terdapat penurunan kadar
albumin, terutama selama trimester ketiga. Proses ini diduga disebabkan oleh karena
peningkatan kebutuhan protein dan penggunanya oleh janin. Pada penderita PE, penurunan
kadar albumin sebagian adalah akibat ekskresi albumin yang berlebih-lebihan dan disertai
penurunan lgG, peningkatan lgE dan a1 globulin (Lintang, L.S., 2003). Pengaruh utama dari
kadar albumin serum yang rendah (hipoalbuminemia) adalah edema jaringan lunak yang
disebabkan tekanan osmotic koloid intravaskular yang menurun. Hal ini sesuai dengan kasus
ibu yang mengalami edema pada ekstremitas bawah.
Penelitian yang dilakukan oleh Witlin, dkk. (1999) pada 445 wanita hamil dengan PEB
dan eklampsia menunjukkan bahwa serum albumin (kurang dari 3 gram / dl) dapat dianggap
sebagai prediktor PEB dan eclampsia. Penelitian lain yang dilakukan oleh Seong, dkk. (2010)
menunjukkan bahwa kadar albumin serum yang rendah dikaitkan dengan peningkatan
komplikasi ibu. Hipoalbuminemia terjadi terutama karena spasme pembuluh darah sistemik
kecil, peningkatan sekresi angiotensin serta kerusakan dan peningkatan permeabilitas sel
endotel vaskular, sehingga menyebabkan sejumlah besar protein dan cairan bocor dalam
pembersihan jaringan dan hilangnya sejumlah besar protein plasma (terutama serum albumin),
menyebabkan dehidrasi intravaskular. Dehidrasi intravaskular ini dapat mempercepat
munculnya lesi intravaskular, yang dianggap sebagai faktor predisposisi hemolisis,
peningkatan enzim hati dan sindrom low platelet (HELLP) serta hati berlemak akut pada
kehamilan. Selain itu, dapat terjadi pengurangan aliran darah pada hati akibat produksi
albumin menurun. Hipoalbuminemia juga berhubungan dengan meningkatnya risiko section
caesarean, hipertensi berat, kelainan fungsi hati dan ginjal, ascites, dan abruptio plasenta
(Chen dkk., 2016). Kadar albumin serum pada preeklampsia dapat digunakan sebagai
penentu keparahan penyakit dan dapat digunakan sebagai penanda yang berguna untuk
penghentian kehamilan dan hasil kehamilan (Ghazali, dkk., 2014).
Hasil pemeriksaan gula darah puasa ibu adalah 118 mg/dL sedangkan gula darah 2 jam
pp adalah 108 mg/dL . ibu sebelumnya telah periksa gula darah puasa di poli risti RSUD dr.
M. Soewandhie dan didapatkan hasil GDP 131 mg/dL, 1 jam pp 261 mg/dL dan 2 jam pp 220
mg/Dl. Ibu telah mendapatkan terapi injeksi insulin sejak usia kehamilan 24-25 minggu
berdasarkan hasil konsultasi poli risti ke IPD. Sebelumnya ibu tidak pernah menderita
penyakit diabetus mellitus.
Berdasarkan teori disebutkan bahwa ada 2 jenis diabetus mellitus dalam kehamilan
yaitu diabetes mellitus yang diketahui sewaktu hamil yang disebut Diabetes Melitus
Gestasional dan diabetes melitus yang terjadi sebelum hamil disebut Diabetes Melitus
Pragestasi (Bobak, 2004). Oleh karena itu perlu dilakukan skrining DMG pada saat usia
kehamilan 24-28 minggu, mengingat DMG berdampak buruk terhadap ibu dan janin jika
tidak dilakukan penanganan dengan benar. Peningkatan estrogen, progesterone dan HPL
selama kehamilan memproduksi daya tahan terhadap insulin pada jaringan maternal, oleh
karena itu sisa glukosa darah terangkat lebih lama dari keadaan tidak hamil, dimana insulin
yang diproduksi tidak cukup untuk mengatasi resistensi yang di sebabkan oleh HPL, sehingga
kelebihan konsentrasi glukosa terus bertambah yang menyebabkan terjadi DMG (Hanifa,
2005). Resistensi insulin merupakan mekanisme penghematan glukosa untuk memastikan
suplai glukosa pada janin tercukupi. Selama trimerter 2 & 3 hormon estrogen, progesterin,
HPL kortisol dan prolaktin bekerja sebagai antagonis untuk meningkatkan resistensi insulin.
Menjelang akhir kehamilan kebutuhan insulin meningkat 2-4 kali, jika pancreas tidak cukup
memproduksi insulin maka akan menjadi pemicu terjadinya DMG.
Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus diatas yaitu persalinan dengan PEB, DM
Gestasional, obesitas grade I, impending eklampsia dan pro SC di RSUD dr. M. Soewandhie
Surabaya diantaranya adalah pasien dianjurkan untuk tirah baring, melakukan pemeriksaan
NST, pemantauan atau observasi keadaan umum ibu, observasi kemajuan persalinan atau
observasi CHPB, kolaborasi dengan dokter SpOG untuk pemberian obat untuk darah tinggi
(nifedipin, dopamet), obat anti kejang (MgSO4), obat untuk DM (novorapid), pemberian
induksi persalinan dengan misoprostol untuk merangsang kontraksi dan mempercepat
pembukaan serviks, pemantauan cairan meliputi pembatasan cairan oral, pemberian cairan
infus dan pemantauan pengeluaran cairan yaitu urine, pemantauan terjadinya tanda-tanda
impending eklampsia. Saat hari ketiga perawatan, pasien mengalami keluhan pusing dan
pandangan mata kabur serta peningkatan tekanan darah sehingga penatalaksanaan yang
diberikan adalah dengan pemberian obat darah tinggi dan mempercepat proses persalinan
dengan melakukan secsio secarea secara cito. Penatalaksanaan yang diberikan diatas telah
sesuai dengan teori penatalaksanaan asuhan persalinan kepada pasien dengan PEB, DM
Gestasional, obesitas grade I, impending eklampsia dan pro SC
Menurut teori, penatalaksanaan pasien peb yang telah aterm dianjurkan untuk dilakukan
terminasi kehamilan. Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada tiap penderita
dilaksanakan pemeriksaan NST. Pemberian medikamentosa yang dilakukan antara lain:
segera rawat inap, tirah baring miring ke satu sisi, infus RL yang mengandung 5% dextrose
dengan 60-125 cc/jam, dan pemberian anti kejang MgSO4. Pemberian obat untuk darah tinggi
secara oral juga telah diberikan yaitu metildopa 1 tab dan nifedipin 1 tab serta pemberian
injeksi insulin novorapid sebanyak 4 IU juga telah diberikan. Persalinan harus diusahakan
segera setelah pasien stabil. Penundaan persalinan meningkatkan risiko untuk ibu dan janin.
Saifuddin (2013) menyatakan bahwa cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan)
dilakukan berdasar keadaan obstetrik pada waktu itu (inpartu atau belum). Jika serviks
matang, lakukan pemecahan ketuban dan induksi persalinan dengan oksitosin. Induksi
dikerjakan bila NST baik dan belum inpartu dengan skor pelvik baik (skor bishop ≥5). Dalam
kasus ini induksi dilakukan dengan menggunakan misoprostol.
Misoprostol (Cytotec) merupakan PGE sintetis, analog yang ditemukan aman dan tidak
mahal untuk pematangan serviks. Penggunaan misoprostol tidak direkomendasikan pada
pematangan serviks atau induksi persalinan pada wanita yang pernah mengalami persalinan
dengan seksio sesaria atau operasi uterus mayor karena kemungkinan terjadinya ruptur uteri.
Wanita yang diterapi dengan misoprostol untuk pematangan serviks atau induksi persalinan
harus dimonitor denyut jantung janin dan aktivitas uterusnya di rumah sakit sampai penelitian
lebih lanjut mampu mengevaluasi dan membuktikan keamanan terapi pada pasien. Uji klinis
menunjukkan bahwa dosis optimal dan pemberianinterval dosis 25 mcg intravagina setiap
empat sampai enam jam. Dosis yang lebih tinggi atau interval dosis yang lebih pendek
dihubungkan dengan insidensi efek samping yang lebih tinggi, khususnya sindroma
hiperstimulasi, yang didefinisikan sebagai kontraksi yang berakhir lebih dari 90 detik atau
lebih dari lima kontraksi dalam 10 menit selama dua periode 10 menit berurutan, dan
hipersistole, suatu kontraksi tunggal selama minimal dua menit.
Pada pasien Ny.L saat sebelum MKB ibu banyak minum air putih yaitu 3000 mL,
sedangkan saat MKB cairan peroral dibatasi hanya 500 mL per hari. Menurut Saifuddin
(2013), perawatan yang penting pada PEB ialah pengelolaan cairan karena penderita
preeclampsia dan eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan
oliguria. Sebab terjadinya keadaan edema paru, oliguria, syok dan eklampsia pada
preeclampsia belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru
oliguria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, dan penurunan gradient
tekanan onkotik koloid. Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui oral dan infus) dan
output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Hal ini juga berhubungan dengan syarat
pemberian MgSO4 yang salah satunya produksi urin minimal 30 ml/jam. Adapun pada pasien
dengan kandung kemih penuh dapat mengganggu kontraksi uterus sehingga menyebabkan
perdarahan postpartum.
Pada tanggal 08-01-2019 jam 23.00 ibu mengalami nyeri kepala hebat serta mata kabur
yang merupakan tanda-tanda perburukan dari Preeklamsi Berat dan menunjukkan terjadinya
impending eklampsia, maka dikonsultasikan ke dokter SpoG di wakili oleh PPDS jaga untuk
segera diakiri kehamilanya dengan secio sesarea. PEB yang disertai gejala-gejala subjektif
berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan
progresif tekanan darah termasuk preeklampsi berat impending eclampsia. Pasien Peb
dengan disertai tanda-tanda impending eklampsia menurut teori harus segera dilakukan
terminasi kehamilan dengan cara sectio secaria untuk mencegah terjadinya eklampsia dan
perburukan kondisi ibu dan janin. Sectio secaria harus dilakukan secara cepat atau cito dan
persiapan untuk ruangan ICU maupun NICU untuk mencegah kondisi buruk pada ibu dan
janin setelah dilakukan sectio secaria.
Operasi SC dilakukan segera pada tanggal 09-01-2019 pukul 02.00 WIB dan telah
dilahirkan bayi dengan berat badan lahir 4.195 gram, Pb 54 cm, as 8-9 dan ketuban jernih.
Kemudian dilaksanakan pemasangan IUD sesuai dengan persetujuan ibu dan suami. Setelah
operasi SC dilaksanakan ibu dirawat di ruang ICU untuk penanganan pasien lebih intensif
jika terjadi eklampsia. Saat di ICU keadaan umum ibu baik, tanda-tanda vital normal dan
tidak terjadi anemia (HB 9,1 gr/Dl), dilakukan observasi fluxus dan produksi urin dengan
hasil normal. Kemudian pasien dipindah ke ruang perawatan nifas edelweis. Selama
perawatan nifas, bayi di rawat di ruang neonatus, sehingga untuk sementara ibu tidak dapat
dirawat gabung dengan ibu. Hal ini mempengaruhi bonding antara ibu dan bayi. Bonding ibu
dan bayi didapatkan pada saat IMD dan pemberian ASI. Pemberian ASI ibu terganggu karena
ASI belum keluar dan terdapat luka operasi SC sehingga ibu kesulitan dalam memberikan
ASI. Bayi mengalami makrosomia yaitu berat melebihi 4000 gram, hal ini dikarenakan ibu
mengalami DM gestasional sehingga bayi lahir dengan berat badan yang melebihi normal.
Kontrasepsi yang digunakan ibu adalah IUD atau alat kontrasepsi dalam rahim. Hal ini
sudah tepat karena IUD merupakan metode kontrasepsi jangka panjang yang sangat efektif
dan aman bagi ibu dengan tekanan darah tinggi. IUD tidak mengandung hormonal sehingga
tidak mempengaruhi tekanan darah ibu.
Peran bidan dalam kehamilan ibu selanjutnya adalah dengan memberikan asuhan
kebidanan prakonsepsi. Menjelaskan kepada ibu bahwa jarak yang aman untuk hamil lagi
setelah operasi SC minimal adalah 2 tahun. Ibu dengan usia lebih dari 35 tahun harus lebih
berhati-hati dan waspada terhadap kehamilannya karena berisiko terjadi komplikasi pada
kehamilan seperti darah tinggi dan diabetes mellitus. Ibu dengan riwayat preeklampsia dan
diabetes mellitus gestasional berpotensi untuk terjadi lagi di kehamilan berikutnya. Untuk itu
perlu persiapan yang matang terutama dari segi nutrisi harus dibatasi pemicu hipertensi dan
diabetus serta melakukan aktivitas fisik untuk mencegah terjadinya obesitas serta saat hamil
sering periksa ke tenaga kesehatan yaitu bidan dan dokter serta tenaga kesehatan lain untuk
mendapatkan pemeriksaan ANC terpadu.
Kekurangan dalam pengkajian serta asuhan yang kami lakukan adalah tidak ditemukan
data pada rekam medis mengenai diet yang diberikan pada ibu L, dan juga menenui ibu
dalam memberikan asuhan pada masa nifas, pemberian asuhan berkelanjutan diperlukan agar
memastikan ibu dalam kondisi terbaik serta memberikan eduksi pada ibu perawatan massa
nifas yang baik sehingga kondisi ibu pada saat dirumah seperti kondisi di RS.

Anda mungkin juga menyukai