Anda di halaman 1dari 9

Filsafat Rasionalisme

Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat
terpenting dalam memperoleh dan mengetes pengetahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme mengajarkan
bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah
logis atau kaidah-kaidah logika. Dalam aliran rasionalisme ada dua macam bidang, yaitu bidang
agama dan bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan autoritas, dan
biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama.
Sementara dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme dan terutama berguna
sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisisme, rasionalisme berpendapat bahwa
sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh yang paling jelas
ialah pemahaman kita tentang logika dan matematika.
Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang disebut sebagai bapak
filsafat modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hokum, dan ilmu kedokteran. Ia menyatakan,
bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandingannya, harus disusun oleh satu orang, sebagai
bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metode yang umum. Beliau berpendapat bahwa
sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh lewat
akallah yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan
akal dapat diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu
pasti.
Latar belakang munculnya rasionalisme adalah, keinginan untuk membebaskan diri dari
segala pemikiran tradisional (skolastik; skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school
yang berarti sekolah. Jadi, skolastik yang berarti aliran yang berkaitan dengan sekolah, perkataan
skolastik merupakan corak khas dari sejarah filsafat abad pertengahan), yang pernah diterima,
tetapi ternyata tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Apa yang
ditanam Aristoteles dalam pemikiran saat itu juga masih dipengaruhi oleh khayalan-khayalan.
Descartes menginginkan cara yang baru dalam berpikir, maka diperlukan titik tolak pemikiran
pasti yang dapat ditemukan dalam keragu-raguan, cogito ergo sum (saya berpikir maka saya
ada). Jelasnya bertolak dari keraguan untuk mendapatkan kepastian.
ciri dari filsafat rasionalisme

1. Kepercayaan terhadap kekuatan akal budi


Segala sesuatu dapat dan harus dimengerti secara rasional. Suatu pernyataan hanya boleh
diterima sebagai benar, dan sebuah claim hanya dapat dianggap sah, apabila dapat
dipertanggujawabkan secara rasional. ’Rasional’ itu mempunyai komponen negatif dalam arti:
berdasarkan tuntutan rasionalitas itu ditolak, pendasaran-pendasaran, pernyataan-pernyataan dan
claim-claim yang dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Dasar-dasar yang tidak rasional yang dimaksud adalah tradisi, wewenang tradisional,
otoritas dan dogma. Jadi rasionalisme merupakan semacam pemberontakan terhadap otoritas-
otoritas tradisional. Tidak cukup untuk mendasarkan sebuah tuntutan atas wewenang pihak yang
menuntut, melainkan isi tuntutan itu sendiri harus dapat dipertanggungjawabkan, diperlihatkan
sebagai hal yang masuk akal. Rasional secara hakiki bersifat anti tradisional.
Maka abad ke-17 dan ke-18 diberinama aufklarung atau pencerahan, dimana mereka
telah mengatasi masa-masa manusia yang diliputi kegelapan tradisi dan dogma, kegelapan
karena tunduk dan percaya tanpa mengerti. Paham Aufkarung itu mencerminkan kepercayaan
akan kemajuan dan optimisme polos bahwa umat manusia semakin maju ke arah rasionalitas dan
kesempurnaan moral.
2. Penolakan terhadap Tradisi, Dogma dan Otoritas
Pemikiran Para Tokoh Filsafat Rasionalisme
1. Rene Descartes (1596-1650)
Rene Descartes, adalah pendiri filsafat modern. Beberapa hal yang pernah ia lakukan
yakni: pertama, ia berusaha mencari satu-satunya metode dalam seluruh cabang penyelidikan
manusia; kedua, ia memperkenalkan dalam filsafat, terutama tentang penelitian dan konsep
dalam filsafat yang menjadi prinsip dasar dalam perkembangan filsafat modern. Metode
Descartes dimaksudkan bukan saja sebagai metode penelitian ilmiah, ataupun penelitian filsafat,
melainkan sebagai metode penelitian rasional mana saja, sebab akal budi manusia selalu sama.
Metode Rene Descartes
Descartes memulai metodenya dengan meragukan segala macam pernyataan kecuali pada
satu pernyataan saja, yaitu bahwa ia sedang melakukan keragu-raguan. Maka ia sampai kepada
kebenaran yang tak terbantahkan, yakni: saya berpikir, jadi saya ada (Cogito ergo sum).
Pernyataan ini begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptik yang paling
ekstrim pun tidak akan mampu menggoyahkannya.
Bagi Descartes, pernyataan ”saya berpikir, jadi saya ada” adalah terang dan jelas, segala
sesuatu yang bersifat terang dan jelas bagi akal pikiran manusia dapatlah dipakai sebagai dasar
yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya untuk melakukan penjabaran terhadap
pernyataan-pernyataan yang lain. Segenap ilmu pengetahuan haruslah didasarkan atas kepastian-
kepastian yang tidak dapat diragukan lagi akan kebenarannya yang secara langsung dilihat oleh
akal pikiran manusia. Metode semacam ini dinamakan juga metode ’apriori’. Dengan
menggunakan metode apriori ini kita seakan-akan sudah mengetahui segala gejala secara pasti,
meskipun kita belum mempunyai pengalaman indrawi mengenai hal-hal yang kemudian tampak
sebagai gejala-gejala itu.1[11]
Ide-ide Bawaan Menurut Rene Descartes
Ide- ide Bawaan Descartes Yang paling fundamental dalam mencari kebenaran adalah
senantiasa merujuk kepada prinsip Cogito ergo sum. Hal tersebut di sebabkan oleh keyakinan
bahwa dalam diri sendiri, kebenaran lebih terjamin dan terjaga. Dalam diri sendiri terdapat 3 ide
bawaan sejak lahir, yaitu: (1) pemikiran, (2) Allah, (3) keluasan.
1) Pemikiran. Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir, harus diterima juga
bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
2) Allah sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide sempurna, mesti
ada suatu penyebab sempurna untuk ide itu karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya.
Wujud yang sempurna itu tidak lain dari pada Allah.
3) keluasan. Materi sebagai keluasan atau eksestensi sebagaimana hal itu di lukiskan dan dipelajari
aoleh ahli-ahli ilmu ukur.2[14]
Substansi Descartes menyimpulkan bahwa selain Allah, ada dua substansi : pertama, jiwa
yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan. Akan tetapi,
karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia mengalami banyak kesulitan
untuk membuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya
dunia materil ialah bahwa Allah akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide
keluasan, sedangkan di luar tidak ada satu pun yang sesuai dengannya. Dengan demikian,
keberadaan yang sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia
materil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna.3[15]

2. De Spinoza (1632-1677 M)

Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada tahun 1677 M. Nama
aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari agama yahudi, ia mengubah namanya
menjadi Benedictus de Spinoza. Ia hidup di pinggiran kota Amsterdam. Spinoza maupun Leibniz
mengikuti pemikiran Rene Descartes. Dua tokoh terakhir ini juga menjadikan substansi sebagai
tema pokok dalam metafisika mereka, dan mereka berdua juga mengikuti metode Descartes.
Tiga filosofis ini, Descartes, Spinoza, dan Leibniz, biasanya di kelompokkan ke dalam suatu
mazhab, yaitu Rasionalisme.
Spinoza mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kebenaran
tentang sesuatu, sebagaimana pertanyaan, apa substansi dari sesuatu, bagaimana kebenaran itu
bisa benar-benar yang terbenar. Spinoza menjawabnya dengan pendekatan yang juga
sebelumnya dilakukan oleh Rene Descartes, yakni pendekatan deduksi matematis, yang dimulai
dengan meletakkan definisi, aksioma, proposisi, kemudian barulah membuat pembuktian
berdasarkan definisi, aksioma, proposisi itu.
De Spinoza memiliki cara berfikir yang sama dengan Rene Descartes, ia mengatakan
bahwa kebenaran itu terpusat pada pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan
keluasan adalah tubuh, yang eksistensinya berbarengan4[16]

3. Leibniz (1646-1716 M)
Seorang filosuf Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarawan. Lama menjadi
pegawai pemerintah, menjadi atase, pembantu pejabat tinggi nengara pusat. Dialah Gottfried
Eilhelm von Leibniz yang dilahirkan pada tahun 1646 M dan meninggal pada tahun 1716 M.
metafisikanya adalah idea tentang substansi yang di kembangkanya dalam konsep monad.
Metafisika Leibniz sama-sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam
semesta ini, mekanisme dan keseluruhannya bergantung kepada sebab, sementara substansi
menurut Leibniz ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan,
“sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan, tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap
yang di ciptakannya. Kita lihat bahwa hanya satu substansi , sedangkan Leibniz berpendapat
bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda
dari yang lain, dan Tuhan (supermonad) adalah pencipta monad-monad itu. Karya Leibniz
tentang ini di beri judul Monadology (study tentang monad) yang di tulisnya pada tahun 1714 M.
ini adalah singkatan metafisika Leibniz.5[17]
Pola Pikir Rasionalisme
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa
kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta,
daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi
ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk
menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan
atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut: Humanisme
dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim
bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-
rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme yang antroposentrik. Atheisme
adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewi; rasionalisme tidak
menyatakan pernyataan apa pun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan
apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam
rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.
Di luar konteks religius, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, umpamanya
kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri
penting dari perspektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat
atau kepercayaan yang sedang populer.
Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang
dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual. Rasionalisme modern
hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan René
Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap
sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme
kontinental sama sekali.

Pengertian Empirisme

Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai
doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme.[1] Oleh karena itu, adanya kemajuan ilmu pengetahuan
dapat dirasakan manfaatnya, maka pandangan terhadap filsafat mulai merosot. ilmu pengetahuan besar
sekali manfaatnya bagi kehidupan. Kemudian beranggapan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti
dan benar hanya di peroleh lewat indera (empiri), dan empirislah satu-satunya sumber. Pemikiran
tersebut lahir dengan nama empirisme. Empirisme adalah salah satu aliran yang menekankan peranan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengalaman itu sendiri, dan mengecilkan peranan
akal.

Empirisme, berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh lewat indra. Indra memperoleh kesan-
kesan dari alam nyata, untuk kemudian kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia, sehingga
menjadi pengalaman.

Untuk memahami inti filsafat empirisme perlu memahami dulu dua ciri pokok empirisme yaitu
mengenai makna dan tiori tentang pengetahuan.

Filsafat empirisme tentang teori makna, teori makna dan empirisme selalu harus dipahami lewat
penafsiran pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris jiwa dapat dipahami sebagai gelombang
pengalaman kesadaran, materi sebagai pola jumlah yang dapat di indra dan dihubungkan kualitas
sebagai urutan pristiwa yang sama.

Filsafat emperisme tentang teori pengetahuan, menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran
umum seperti setiap kejadian tentu mempunyai sebab, dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip
dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya.

3. Jenis Empirisme
1) Empirio-Kritisisme
Disebut juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif-idealistik. Aliran
ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian
pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian
apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-
elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai
kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut
oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik.
2) Empirisme Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem filosofis
dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan berikut:
a) Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal dan prinsip kesimpulan induktif
tidak dapat dibuktikan dengan mengacu pada pengalaman.
b) Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada proposisi-proposisi mengenai
data inderawi yang kurang lebih merupakan data indera yang ada seketika
c) Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada dasarnya tidak
mengandung makna.[6]
3) Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai pada
pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara demikian itu, dianggap bukan
pengetahuan. Soal kemungkinan melawan kepastian atau masalah kekeliruan melawan
kebenaran telah menimbulkan banyak pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat
menerima pernyataan bahwa penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu
pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan bahwa pernyataan- pernyataan
empiris, dapat diterima sebagai pasti jika tidak ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut
dan dengan begitu tak ada dasar untuk keraguan. Dalam situasi semacam ini, kita tidak hanya
berkata: Aku merasa yakin (I feel certain), tetapi aku yakin. Kelompok falibisme akan menjawab
bahwa: tak ada pernyataan empiris yang pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi
untuk setiap benda, dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.[7]
Metode filsafat ini butuh dukungan metode filsafat lainnya supaya ia lebih berkembang
secara ilmiah. Karena ada kelemahan-kelemahan yang hanya bisa ditutupi oleh metode filsafat
lainnya. Perkawinan antara Rasionalisme dengan Empirisme ini dapat digambarkan dalam
metode ilmiah dengan langkah-langkah berupa perumusan masalah, penyusunan kerangka
berpikir, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan.
John Locke (1632-1704)

Pendiri empirisme Inggris salah seorang penganut empirisme, yang juga Bapak

Empirisme mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirka, keadaan akalanya masih bersih

ibarat kertas yang kosong yang belum bertuliskan apa pun (tabularasa). Pengetahuan baru

muncul ketika indera manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati

berbagaian kejadian dalam kehidupan. Kertas tersebut mulai bertuliskan berbagai pengalaman

indrawi. Seluruh sisa pengetahuan bisa diketahui dengan jalan menggunakan serta

memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari pengindraan serta refleksi yang pertama dan

sederhana (Juhaya S. Pradja, 1997:18).

Akal semacam tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan.

Hal ini berarti bahwa semua pengetahuan manusia -betapa pun rumitnya- dapat dilacak kembali

sampai pada pengalaman-pengalaman indrawi yang telah tersimpanan rapi di dalam akal. Jika

terdapat pengalaman yang tidak tergali oleh daya ingatan akal, itu berarti merupakan kelemahan

akal, sehingga hasil pengindraan yang menjadi pengalaman manusia tidak lagi dapat

diaktualisasikan. Dengan demikian, bukan lagi sebagai ilmu pengetahuan yang faktual.

 George Barkeley (1685-1753)


Pada era modern, muncul pula George Barkeley yang berpandangan bahwa seluruh

gagasan dalam pikiran atau ide dating dari pengalaman dan tidak ada jatah ruang bagi gagasan

yang lepas begitu saja dari pengalaman. Oleh karena itu, idea tidak bersifat independen.

Pengalaman konkret adalah “mutlak” sebagai sumber pengetahuan utama bagi manusia, karena

penalaran bersifat abstrak dan membutuhan rangsangan dari pengalaman. Berbagai gejala fisikal

akan ditangkap oleh indra dan dikumpulkan dalam daya ingat manusia, sehingga pengalaman

indrawi menjadi akumulasi pengetahuan yang berupa fakta-fakta. Kemudian, upaya

aktualisasinya dibutuhkan akal. Dengan demikian, fungsi akal tidak sekedar menjelaskan dalam

bentuk-bentuk khayali semata-mata, melainkan dalam konteks yang realistik.

 David Hume (1711-1776)

Dia ikut dalam berbagai pembahasan tersebut dan memengaruhi perkembangan dua

aliran. Aliran yang dipengaruhinya adalah skeptisisme dan empirisme.

Dalam hal skeptisisme, Hume mencurigai pemikiran filsafat dan di antara pemikirannya

adalah bahwa prinsip kausalitas (sebab akibat) itu tidak memiliki dasar. Ia juga seorang

agnostik, yakni orang yang berpendirian bahwa adanya Tuhan itu tidak dapat dibuktikan dan

tidak dapat diingkari. Dalam hal empirisme, suatu pandangan yang mengatakan bahwa segala

pengetahuan itu berasal dari pengalaman. Walaupun mungkin ada suatu dunia di luar kesedaran

manusia, namun hal ini tidak dapat dibuktikan. Ia menolak sketisime, skeptisisme menurut

beberapa filsuf adalah pandangan bahwa akal tidak mampu sampai pada kesimpulan, atau kalau

tidak, akal tidak mampu melampaui hasil-hasil yang paling sederhana.[3]

Anda mungkin juga menyukai